Anda di halaman 1dari 19

Presentasi Kasus

ABLASIO RETINA

Disusun Oleh:
Yulianti (0102001579)
Yuwono Sri Negoro (0102001595)

Narasumber:
dr. Hernawita Suharko, Sp. M.

Departemen Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jakarta - 2007
BAB I
ILUSTRASI KASUS

ANAMNESIS
Identitas
Nama : Ny. S
Usia : 52 tahun
Alamat : Jl. Budaya Batu Ampar, Jakarta Timur
Pekerjaan : swasta
Pendidikan : tamat SD
Agama : Islam
Suku : Jawa

Keluhan Utama
Penglihatan mata kanan mendadak buram sejak 5 hari SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pada 5 hari SMRS, mata kanan pasien mendadak buram, tidak merah dan tidak nyeri.
Tidak ada riwayat trauma sebelumnya. Pasien merasa pandangan menjadi gelap seperti
ada rambut atau asap berterbangan di matanya. Lama kelamaan semakin gelap hingga
yang kelihatan hanya pinggir sebelah kanan. Pasien tidak melihat ada kilatan cahaya
berulang. Tidak terdapat riwayat penglihatan kabur sesaat yang hilang timbul
sebelumnya. Pasien berobat ke dokter mata lalu diperiksa dan dibilang ada masalah di
retina kanan dan perlu dioperasi. Pasien kemudian dirujuk ke RSCM.
Pasien menggunakan kacamata minus (-3 dioptri) di kedua mata sejak 10 tahun lalu.
Pasien tidak mengeluh ada gangguan pada mata sebelumnya.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Hipertensi (+) sejak 10 tahun yang lalu, namun pasien tidak berobat teratur.
Riwayat Diabetes Mellitus disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak terdapat anggota keluarga dengan keluhan serupa dengan pasien.

PEMERIKSAAN FISIK:
Keadaan Umum: pasien tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tanda Vital
Tekanan darah : 140/80 mmHg
Frekuensi nadi : 84 x/menit
Frekuensi nafas : 16 x/ menit
Suhu : 36 oC
Lain-lain : dalam batas normal

PEMERIKSAAN OFTALMOLOGIS
Mata Kanan Pemeriksaan Mata Kiri
1/ 300 proyeksi baik Visus 6/ 12
Tenang Palpebra/ konjungtiva Tenang
Jernih Kornea Jernih
Dalam Bilik mata depan Dalam
Bulat, sentral, middilatasi Iris/ pupil Bulat, sentral, refleks cahaya
(+)
Keruh, shadow test (+) Lensa Keruh, shadow test (+)
n/ p Tekanan Intra Okular n/ p
Baik ke segala arah Pergerakan Baik ke segala arah
Tobacco dust (+) Badan kaca Jernih
Papil bulat, batas tegas, CDR Funduskopi Papil bulat, batas tegas,
0,3, aa/vv = 2/3 CDR 0,3, aa/vv = 2/3
Ablasio retina (+) di superior
temporal meluas ke inferior
temporal. Corrugated (+),
Tear (+), macula on
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
GDS : 105
GD 2 jam post prandial: 143

DAFTAR MASALAH
 Ablasio retina regmatogenosa OD
 Katarak senilis imatur ODS

PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
 Edukasi penyakit dan pengobatan
Non Medikamentosa
 Tirah baring
 Pembedahan: Skleral buckling, vitrektomi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Ablasio retina merupakan suatu kelainan pada mata di mana lapisan sensori retina, sel
kerucut dan sel batang terlepas dari lapisan epitel pigmen retina. 1,2,3 Pada keadaan ini sel
epitel pigmen retina masih melekat erat dengan membran Bruch.3
Terdapat 2 tipe utama ablasio retina, yaitu:
1. Ablasio retina regmatogenosa: terjadi akibat adanya robekan pada retina sehingga
cairan masuk ke dalam rongga subretina, di antara lapisan sensori retina dan sel epitel
pigmen retina.1,2,3,4
2. Ablasio retina non regmatogenosa: tidak terjadi robekan.
Dibagi menjadi 2 tipe, yaitu:

Traksional: lapisan sensori retina tertarik keluar dari sel epitel pigmen retina oleh
kontraksi membran vitreoretina dan tidak diketahui asal dari cairan
subretina.

Eksudatif: cairan subretina berasal dari koroid melalui sel epitel pigmen retina
yang rusak.1

1. Ablasio Retina Regmatogenosa


1.1 Epidemiologi
Ablasio retina regmatogenosa mengenai sekitar 1 dari 10.000 populasi setiap tahun dan
keterlibatan kedua mata sekitar 10 % kasus.1,6 Di Amerika Serikat sekitar 6 % dari
populasi menderita ablasio retina regmatogenosa, dengan insiden 1 dari 15000 populasi,
prevalensi 0,3 %. Laki-laki lebih sering terkena dibandingkan perempuan. Sekitar 15 %
penderita ablasio retina pada satu mata, akan berkembang pula pada mata yang lain.
Lebih sering pada etnis yahudi dan rendah pada orang kulit hitam, dan biasanya pada
orang berusia 40-70 tahun. Insiden ablasio retina idiopatik yang berkaitan dengan usia
sekitar 12,5 kasus dari 100000 setiap tahun, atau sekitar 28000 kasus setiap tahun di
Amerika Serikat.4

1.2 Etiologi
Kelompok orang tertentu memiliki faktor risiko lebih tinggi dibandingkan dengan orang
lain, seperti miopia berat, afakia (misal pada pasien katarak setelah dioperasi tanpa lensa
intraokular), usia lanjut, dan trauma.2,3,4,6 Ablasio retina yang disebabkan oleh trauma
lebih sering terjadi pada individu berusia 25-45 tahun. Hal yang tidak terlalu
berhubungan dengan ablasio retina regmatogenosa, antara lain riwayat keluarga, riwayat
kelainan kongenital mata seperti glaukoma, vitreopati herediter dengan abnormal badan
vitreus, dan riwayat retinopati prematuritas.6
Miopia tinggi, di atas 5-6 dioptri, berhubungan dengan 67 % kasus ablasio retina
dan cenderung terjadi lebih muda dari pasien non miopia. Diperkirakan terjadi pada 5-16
dari 1000 setelah operasi katarak dengan metode ICCE. Risiko ini menjadi lebih tinggi
pada pasien dengan miopi tinggi. Walaupun ablasio retina terjadi pada satu mata tetapi 15
% kemungkinan akan berkembang pada mata yang lainnya, dan risiko ini lebih tinggi,
sekitar 25-30 % pada pasien yang telah menjalani operasi katarak pada kedua mata.2

1.3 Klasifikasi
Ablasio retina regmatogenosa dapat diklasifikasikan berdasarkan patogenesis, morfologi
dan lokasi.
Berdasarkan patogenesisnya, dibagi menjadi
 Tears: disebabkan oleh traksi vitreoretina dinamik dan memiliki predileksi di superior
dan lebih sering di temporal daripada nasal.
 Holes: disebabkan oleh atrofi kronik dari lapisan sensori retina, dengan predileksi di
daerah temporal dan lebih sering di superior daripada inferior, dan lebih berbahaya
dari tears.
Berdasarkan morfologi, ablasi retina regmatogenosa dibagi menjadi :
 U-tears: terdapat flap yang menempel pada retina di bagian dasarnya,
 incomplete U-tears: dapat berbentuk L atau J,
 operculated tears: seluruh flap robek dari retina,
 dialyses: robekan sirkumferensial sepanjang ora serata
 giant tears.
Berdasarkan lokasi, dibagi menjadi :

oral: berlokasi pada vitreous base,

post oral: berlokasi di antara batas posterior dari vitreous base dan equator,

equatorial

post equatorial: di belakang equator

macular: di fovea.1

1.4 Patogenesis
Terjadinya robekan retina disebabkan ketidakseimbangan dari gaya. Terdapat gaya yang
mempertahankan perlekatan retina dengan sel epitel pigmen retina, juga terdapat gaya
lain yang mencetuskan robekan. Ablasio retina regmatogenosa terjadi ketika gaya yang
mencetuskan lepasnya perlekatan retina melebihi gaya yang mempertahankan perlekatan
retina. Tekanan yang mempertahankan perlekatan retina, antara lain tekanan hidrostatik,
tekanan onkotik, dan transpor aktif. Tekanan intraokular memiliki tekanan hidrostatik
yang lebih tinggi pada vitreus dibandingkan koroid. Selain itu, koroid mengandung
substansi yang lebih dissolved dibandingkan vitreus sehingga memiliki tekanan onkotik
yang lebih tinggi. Kemudian, pompa pada sel epitel pigmen retina secara aktif
mentranspor larutan dari ruang subretina ke koroid. Hasil dari aktivitas ketiga hal tersebut
yang mempertahankan perlekatan retina.7
Robekan retina terjadi sebagai akibat dari interaksi traksi dinamik vitreoretina dan
adanya kelemahan di retina perifer dengan predisposisi degenerasi. Pada traksi
vitreoretina dinamik terjadi synchysis, yaitu likuefaksi dari badan vitreus yang akan
berkembang menjadi suatu lubang pada korteks vitreus posterior yang tipis pada fovea.
Cairan synchytic dari tengah badan vitreus masuk melalui lubang tersebut ke ruang
retrohialoid yang baru terbentuk. Proses ini mengakibatkan terlepasnya secara paksa
permukaan vitreus posterior dari lapisan sensori retina. Badan vitreus lainnya kolaps ke
inferior dan ruang retrohialoid terisi oleh cairan synchitic. Proses ini dinamakan acute
rhegmatogenous PVD with collapse atau dikenal dengan acute PVD henceforth.
Selain itu juga dapat terjadi sebagai akibat dari komplikasi akut PVD (posterior
vitreal detachment). Hal ini tergantung dari kekuatan dan lebarnya sisa adhesi
vitreoretina. Robekan yang disebabkan oleh PVD cenderung berbentuk seperti huruf U,
berlokasi di superior fundus dan sering berhubungan dengan perdarahan vitreus sebagai
hasil dari ruptur pembuluh darah retina perifer.1
1.5 Gejala Klinis
Gejala yang sering ditemukan adalah fotopsia. Fotopsia ini terjadi sebagai hasil dari
stimulasi mekanik pada retina. Hal ini diinduksi oleh gerakan bola mata dan lebih jelas
pada keadaan gelap. Sekitar 60 % pasien mengalami fotopsia. Ketika retina robek, darah
dan sel epitel pigmen retina dapat masuk ke badan vitreus dan terlihat sebagai floaters,
yaitu keopakan/ bayangan gelap pada vitreus.1,6 Kedua gejala tersebut merupakan hal
yang sering dikeluhkan oleh pasien.
Setelah beberapa waktu tertentu, pasien menyadari adanya defek lapang
penglihatan mulai dari perifer dan akan progresif ke sentral. Hal tersebut digambarkan
pasien sebagai black curtain. Kuadran dari defek membantu dalam menentukan lokasi
dari robekan retina. Hilangnya penglihatan sentral mungkin dikarenakan keterlibatan
fovea. Selain itu juga dapat terjadi karena tertutupnya oleh bulosa yang besar di depan
makula.
Pada pemeriksaan oftalmologis dapat ditemukan adanya defek relatif pupil aferen
(Marcus Gunn pupil), tekanan intraokular yang menurun, iritis ringan, adanya gambaran
tobacco dust atau Schaffer sign, robekan retina pada funduskopi.1,5 Pada pemeriksaan
funduskopi akan terlihat retina yang terangkat berwarna pucat dengan pembuluh darah di
atasnya dan terlihat adanya robekan retina berwarna merah. Bila bola mata bergerak akan
terlihat retina yang terlepas bergoyang.3

1.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, antara lain ultrasonografi, CT-scan, dan
MRI. Akan tetapi, USG mata lebih superior daripada CT-scan dan MRI. USG dilakukan
apabila pada pemeriksaan oftalmoskop direk ataupun indirek tidak dapat melihat dengan
jelas, misal pada fotofobia berat, periorbital edema, katarak, perdarahan intraokular.6

1.7 Tatalaksana
Tujuan dari tatalaksana ablasio retina adalah melepaskan traksi vitreoretina, dan menutup
robekan retina.5 Pembedahan merupakan pengobatan yang dapat dilakukan untuk tujuan
tersebut. Pemilihan tehnik pembedahan ditentukan oleh ukuran, jumlah dan lokasi dari
robekan.6,7
Tehnik yang dapat digunakan, antara lain scleral buckling, pneumatic retinopexy
dan intraocular silicone oil tamponade. Kebanyakan praktisi lebih sering melakukan
prosedur scleral buckling.
Pasien dengan ablasio retina regmatogenosa akut sebaiknya dirujuk segera ke
dokter spesialis mata atau vitreoretina. Penutupan robekan dicapai dengan menciptakan
adhesi korioretinal yang kuat di sekeliling robekan. Hal ini diperoleh melalui diatermi,
krioterapi, atau fotokoagulasi laser. Diatermi ada 2 macam, yaitu diatermi permukaan
(surface diatermy), dan diatermi setengah tebal sklera (partial penetraling diathermy)
sesudah reseksi sklera. Setelah operasi, sebagian dokter memberikan pasien antibiotik
topikal sebagai profilaksis selama 7-10 hari, siklopegik (misalnya atrofin 1 %) selama 1
bulan, dan steroid topikal (misalnya prednison asetat 1%) selama 1 bulan. Selain itu,
sebaiknya pasien istirahat sebanyak mungkin setelah operasi.2,3,4,5,6,7

1.8 Prognosis
Prognosis dipengaruhi oleh lamanya retina terlepas, mekanisme dasar dari ablasio retina,
dan keterlibatan makula.6

1.9 Pencegahan
Beberapa ablasio retina dapat dicegah. Cara paling efektif untuk pencegahan tersebut
adalah dengan melakukan edukasi untuk memeriksakan diri ke dokter mata jika terdapat
gejala kecurigaan adanya suatu PVD. Dengan mendeteksi awal adanya tear pada retina,
pasien dapat diterapi dengan laser atau cryotherapy, yang akan mengurangi risiko
terjadinya ablasio retina.
Selain itu pada kelompok individu yang memiliki faktor risiko terjadinya ablasio
retina, sebaiknya menghindari aktivitas yang dapat meningkatkan tekanan pada mata.2

2. Ablasio Retina Traksional


2.1 Etiologi
Penyebab utama dari ablasio retina tipe traksi (tractional RD/TRD) adalah:
1. retinopati diabetes proliferatif
2. Retinopathy of prematurity
3. proliferative sickle cell retinopathy
4. trauma tembus segmen posterior

2.2 Patogenesis
Merupakan komplikasi dari retinopati diabetik proliferatif (PDR). Disebabkan oleh
adanya kontraksi progresif dari membran fibrovaskular di daerah perlekatan vitreoretina
yang luas. PVD pada mata diabetes bersifat gradual dan karena perlekatan yang kuat
antara vitreus ke area proliferasi fibrovaskular yang biasanya tidak sempurna dan
menyebabkan traksi pada pembuluh darah baru yang menimbulkan perdarahan vitreus.
3 tipe traksi vitreoretina yang bertanggungjawab terhadap ablasi retina traksional adalah:
1. traksi tangensial (permukaan) yang disebabkan oleh kontraksi membran
fibrovaskular epiretina dan distorsi pembuluh darah retina.
2. traksi anteroposterior yang disebabkan oleh kontraksi membran fibrovaskular
yang meluas dari retina posterior. Biasanya berhubungan dengan arkade mayor
ke vitreus base di anterior.
3. traksi bridging (trampoline) yang merupakan hasil dari kontraksi membran
fibrovaskular yang meregang dari satu bagian retina posterior ke bagian lain. Hal
ini akan menarik dua titik yang terlibat bersama-sama dan bertanggung jawab
terhadap pembentukan stress line seperti pemindahan makula menuju diskus atau
kemanapun tergantung dari arah traksi. Umumnya traksi vitreoretina
menyebabkan traksi retinoskisis dibandingkan ablasio retina.

2.3 Gejala dan Tanda


Gejala yang dapat terjadi, antara lain:
1. fotopsia dan floater biasanya tidak ada karena traksi vitreoretina berkembang tiba-
tiba (insidental) dan tidak berhubungan dnegan PVD akut
2. defek lapang pandang biasanya berkembang lambat dan dapat menjadi stabil
dalam beberapa bulan dan bahkan tahunan
Sedangkan, tanda yang dapat ditemukan pada pemeriksaan oftalmologis, antara lain :
1. retina yang terlepas mempunyai konfigurasi konkaf dan tidak terdapat robekan,
2. SRF lebih dangkal dibandinmgkan dnegan ablasio retina regmatogenosa dan
jarang meluas ke ora serrata,
3. elevasi retiba tertinggi terjadi pada lokasi traksi vitreoretina,
4. mobilitas retina sangat berkurang dan perpindahan cairan tidak terjadi,
5. jika pada ablasi retina traksi ini berkembang robekan, hal ini menandakan adanya
ablasio retina regmatogen dan berkembang dengan cepat (kombinasi ablasi retina
traksi dan regmatogen).

3. Ablasio retina eksudatif


3.1 Epidemiologi
Tidak terdapat angka kejadian ablasio retina eksudatif di Amerika Serikat. Angka
mortalitas dan morbiditas tergantung pada penyakit yang mendasarinya dan sulit untuk
ditentukan pada masing-masing kasus yang berbeda.
Faktor ras mempengaruhi ablasio retina eksudatif berdasarkan penyebab, seperti
melanoma koroid dan ablasio retina eksudatif akibat ARMD (age related macular
degeneration) lebih umum terjadi pada ras kaukasia. Jenis kelamin mempengaruhi
ablasio retina eksudatif berdasarkan penyebab, seperti sindrom efusi uvea dan idiopathic
central serous chorioretinopathy lebih sering terjadi pada pria dibandingkan pada wanita.
Usia juga mempengaruhi ablasio retina eksudatif berdasarkan penyebab. Pada ablasio
retina eksudatif akibat ARMD lebih sering terjadi pada orang yang sudah tua. Sedangkan
idiopathic central serous chorioretinopathy lebih sering terjadi pada usia pertengahan.8

3.2 Etiologi
Dapat terjadi spontan, dengan trauma, uveitis, tumor, skleritis, DM, koroiditis, idiopatik,
CVD, Vogt-Koyanagi-Harada syndrome, kongenital, ARMD, sifilis, reumatoid artritis,
atau kelainan vaskular.8,5,3,6

3.3 Patofisiologi
Mekanisme utama adalah adanya kerusakan pada epitel pigmen retina akibat penyakit
subretina, dan masuknya cairan yang berasal dari koroid ke dalam ruang subretina.1
Pada keadaan normal, cairan akan mengalir dari ruang vitreous menuju koroid.
Arah aliran ini dipengaruhi oleh hiperosmolaritas relatif dari koroid dibandingkan dengan
vitreous dan epitel pigmen retina yang aktif memompa ion dan air dari viterous ke
koroid. Bila terjadi peningkatan cairan atau penurunan pengeluaran cairan dari ruang
vitreous yang melebihi kapasitas mekanisme kompensasi, maka terjadi akumulasi cairan
dalam ruang subretina yang menyebabkan ablasio retina eksudatif. Misalnya pada
keadaan patologis tertentu dimana terdapat pembuluh darah yang abnormal yang bocor
cukup banyak. Pada keadaan lain terjadi kerusakan pada barier pembuluh darah retina.
Semua keadaan tersebut meningkatkan aliran cairan yang masuk ke dalam ruang vitreous.
Sklera yang memiliki ketebalan abnormal, seperti pada nanophthalmos, akan
menurunkan pengeluaran cairan. Kerusakan pada epitel pigmen retina mengakibatkan
gangguan pemompaan cairan keluar.8

3.4 Diagnosis
3.4.1 Anamnesis
Anamnesis yang cermat dapat membantu dalam membedakan penyebab ablasio retina
yang terjadi dari kondisi lain yang memiliki gejala serupa.6
Pada ablasio retina eksudatif keluhan yang umumnya terjadi bukan berupa
fotopsia tetapi kehilangan penglihatan ringan hingga berat, metamorfopsia, atau defisit
pada lapang pandang.5
Pasien dapat mengeluhkan mata merah, yang terjadi bila terdapat patologi pada
uvea. Pasien juga bisa merasakan nyeri bila terjadi skleritis.8

3.4.2 Pemeriksaan oftalmologikus


Pada funduskopi tampak bulae pada retina yang lepas dengan posisi bergantung pada
posisi dari pasien, cairan akan terakumulasi pada daerah yang paling bebas. Karakteristik
retina halus tanpa lipatan seperti pada ablasio retina regmantogenosa.

Pada segmen anterior dapat terlihat tanda radang seperti injeksi episklera,
iridosiklitis, atau bahkan rubeosis bergantung pada penyebab.
Pada kasus kronik eksudat keras dapat terlihat. Pembuluh darah teleangiektasis
yang berdilatasi dapat terlihat.8

3.4.3 Pemeriksaan penunjang


Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejla klinis, namun etiologi penyebab dari
ablasio retina sangat sulit ditentukan hanya berdasarkan gejala klinis semata. Oleh karena
itu diperlukan pemeriksaan penunjang laboratorium. Tes venereal disease research
laboratory (VDRL) dan tes fluorescein treponema antibody (FTA) untuk mengetahui
adanya sifilis. Antibodi antineutrofil sitoplasma, LED, dan faktor reumatoid untuk
mengetahui adanya reumatoid artritis.8

3.4.4 Pemeriksaan radiologis


Ultrasonografi sangat berguna untuk melihat keadaan media. Dapat melihat ketebalan
koroid, massa dalam koroid, lokasi dan ukuran massa koroid, ketebalan sklera. Pelepasan
koroid perifer anular dapat dilihat pada nanophthalmos dan sindrom efusi uvea.
Angiografi fluresen sangat berguna dalam mengidentifikasi daerah yang
mengalami kebocoran di daerah korioretinopati sentral.8

3.4.5 Pemeriksaan histopatologi


Hasil temuan histologis memberikan gambaran yang serupa ablasio retina
regmantogenosa ditandai hilangnya lapisan fotoreseptor bagian luar secara cepat dan
perubahan kronik dicontohkan dengan retinoskisis, kista, dan proliferasi epitel pigmen
retina. Temuan lainnya adalah kebocoran masif ke dalam retina dan ruang subretina.8

3.5 Tatalaksana
Ablasio retina eksudatif, karena perjalanan penyakitnya, memerlukan tindakan intervensi
yang lebih jarang dibandingkan dengan ablasio retina regmantogenosa. Pada ablasio
retina eksudatif dapat sembuh dengan sendirinya bila kondisi penyebab sudah
ditatalaksana dengan sesuai. Untuk mencapai keadaan ini terkadang memerlukan steroid
dosis tinggi pada kasus inflamasi, atau terapi radiasi dan atau reseksi lokal pada kasus
neoplasma intraokuler.5
3.5.1 Medikamentosa
Tatalaksana medis pada ablasio retina eksudatif harus diberikan sesuai dengan kondisi
yang mendasari. Pada awal pengobatan konsultasikan pasien dengan spesialis
vitreoretinal. Bila akan memberikan terpi imunosupresif sangat disarankan untuk
konsultasi dengan ahli imunologi atau reumatologi.
Pada kondisi inflamasi seperti skleritis harus diberikan obat anti inflamasi. Tumor
harus ditangani sesuai jenisnya. Terapi radiasi eksternal atau brakiterapi dengan plaque
dapat digunakan untuk melanoma koroid. Lesi metastatik respon terhadap kemoterapi
atau terapi radiasi lokal. Hemangioma koroid respon terhadap fotokoagulasi laser atau
brakiterapi plaque. Retinoblastoma dapat mengecil dengan kemoterapi kemudian
ditatalaksana lokal dengan panas, laser, atau krioterapi.
Pada infeksi diberikan antibiotik.8

3.5.2 Bedah
Pemilihaan tindakan bedah pada ablasio retina eksudatif berdasarkan kondisi yang
mendasari.
Pada kelainan vaskular harus diterapi dengan laser, krioterapi, atau bahkan
viterktomi untuk meminimalkaan kelainan vaskular. Pada nanoftalmus dimana sklera
sangat tebal, terjadi dekompresi vena vorteks maka merupakan indikasi pembuatan
jendela sklera dan drainase cairan suprakoroid.
Kelainan kongenital seperti optic pits atau colobomas, dapat respon terhadap
vitrektomi dan teeknik endolaser. Korioretinopati serosa sentral dapat respon terhadap
terapi laser ringan pada daerah kebocoran fokal berdasarkan pemeriksaan angiogram
fluoresen.8

3.6 Komplikasi
Dapat terjadi glaukoma neovaskular dan ptisis bulbi.8

3.7 Prognosis
Prognosis bergantung pada kondisi yang mendasari. Prognosis jangka panjang bila
terdapat optic pits akan buruk akibat perubahan kistoid makula sekunder. Pada
korioretinopati serosa sentral tidak sejinak yang dipikirkan, 15% pasien akan memiliki
visus 20/200 atau lebih buruk. Sedangkan untuk ablasio retina eksudatif akibat dari
preeklampsia atau eklampsia akan sembuh tanpa sekuele.8

BAB III
PEMBAHASAN KHUSUS

Pasien, perempuan 52 tahun datang dengan keluhan utama penglihatan mata kanan
mendadak buram sejak 5 hari yang lalu. Mata tidak merah. Dari data tersebut, kelainan
mata pasien dapat digolongkan pada mata tenang, visus turun mendadak.
Kelainan ini dapat terlihat pada neuritis optik, ablasio retina, obstruksi vena retina
sentral, oklusi arteri retina sentral, perdarahan badan kaca, ambliopia toksik, histeria,
retinopati serosa sentral, amaurosis fugaks dan koroiditis.
Dari anamnesis didapatkan keluhan hanya terdapat pada satu mata berupa
penurunan tajam penglihatan disertai bayangan hitam seperti rambut dan asap di lapang
pandang yang berterbangan. Gejala ini disebut floater. Gejala ini adalah gejala yang harus
dianggap adanya robekan atau pelepasan retina sampai dibuktikan tidak oleh pemeriksaan
retina perifer secara teliti dengan oftalmoskop tidak langsung (funduskopi). Floater
umumnya sering terjadi pada pasien miopia, pasien sineresis, perdarahan kecil akibat
retinopati hipertensi. Namun karena keluhan pasien akut maka ablasio retina dapat
menjadi penyebab gejala floater.
Tidak adanya rasa nyeri dapat menyingkirkan diagnosis banding neuritis optik.
Pasien juga tidak merasa nyeri ketika menggerakan bola mata dan tidak terdapat tanda
Uhthoff (penglihatan turun setelah olahraga atau suhu tubuh naik). Pada pemeriksaan
pupil tidak ditemukan defek pupil aferen relatif atau Marcus Gunn pupil.
Obstruksi vena sentral mudah terjadi pada pasien hipertensi. Obstruksi vena
sentral tidak disertai rasa sakit dan mengenai satu mata. Perjalanan penyakitnya berupa
turunnya tajam penglihatan mendadak dan memburuk sampai hanya tinggal persepsi
cahaya. Namun pada pemeriksaan funduskopi tidak ditemukan adanya oklusi vena
sentral, vena yang berkelok-kelok, cotton wool (bercak eksudat), bercak-bercak
perdarahan dan edema makula.
Oklusi arteri retina sentral biasanya mengenai satu mata. Namun gejala
penglihatan kabur sifatnya hilang timbul (amaurosis fugaks) yang tidak sakit kemudian
gelap menetap. Pada pemeriksaan funduskopi tidak ditemukan papil yang pucat dan
gambaran cherry red spot sehingga diagnosis ini dapat disingkirkan. Amblioplia toksik
dari anamnesis dapat disingkarkan karena tidak terdapat penggunaan obat, alkohol dan
bahan toksik lainnya.
Setelah dilakukan pemeriksaan funduskopi, dapat ditegakkan diagnosis ablasio
retina. Pada funduskopi mata kanan ditemukan pelepasan retina dan terlihat robekan dari
retina di daerah temporosuperior, namun pelepasan retina belum mengenai makula.
Adanya robekan retina sebenarnya dapat menyebabkan perdarahan badan kaca sehingga
menimbulkan floater, namun dari pemeriksaan funduskopi masih ditemukan adanya
refleks fundus yang berwarna merah dan badan kaca terlihat masih jernih. Dapat
disimpulkan pada pasien tidak terdapat perdarahan badan kaca.
Floater terjadi karena kesadaran pasien sebagai persepsi adanya bayangan
benda opak dalam korpus vitreum yang bayangannya jatuh di retina. Gejala ini
paling sering ditemukan pada kelainan korpus vitreum. Pada ablasio retina, dapat
terjadi floater karena adanya gerakan mengapung khas kekeruhan korpus vitreum
posterior.
Pada pasien juga terdapat gejala berupa tobacco dust yang bila ditemukan
dalam pemeriksaan slitlamp dengan gejala floater sugestif ke arah adanya robekan
retina. Tobacco dust sendiri adalah makrofag berisikan kumpulan sel epitel pigmen
retina. Adanya tobacco dust menandakan ada posterior vitreous detachment.
Terdapat dua tipe ablasio retina yaitu ablasio retina tipe regmatogenosa dan
non regmatogenosa. Ablasio retina non regmatogenosa dibagi lagi menjadi tipe
traksi dan eksudatif. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
oftalmologis mengarah ke ablasio retina regmatogenosa. Pada funduskopi
didapatkan robekan retina (retinal tear). Etiologi dari ablasio retina regmatogenosa
antara lain malformasi kongenital, trauma (termasuk operasi mata sebelumnya),
penyakit vaskular, miopia tinggi, penyakit vitreus, posterior vitreus detachment
(PVD). Tidak terdapat riwayat trauma pada pasien. Mekanisme terjadinya robekan
retina pada pasien kemungkinan karena posterior vitreus detachment. Pada pasien
terjadi proses degeneratif berupa mencairnya jel vitreus. Proses ini disebut sinkisis.
Pada beberapa mata dengan sinkisis berkembang lubang di korteks vitreus yang
tipis yang membentang diatas fovea. Cairan sinkisis dari dalam rongga vitreus akan
berjalan melalui defek tersebut menuju ruangan retrohialoid yang baru terbentuk.
Akibatnya terjadi penciutan korpus vitreus. Proses ini memaksa pelepasan
permukaan vitreus posterior dari membran limiting interna retina sensoris. Sisa gel
vitreus yang masih padat kolaps di bagian inferior dan ruangan retrohyaloid diisi
sepenuhnya oleh cairan sinkisis. Proses ini dinamakan PVD. Ablasio retina
regmatogenosa dapat terjadi karena komplikasi PVD yang dipengaruhi oleh
kekuatan dan luasnya adhesi vitreoretina sebelumnya. Penciutan ini megakibatkan
traksi pada adhesi vitreoretina sehingga pada tempat tertentu dapat timbul robekan
retina. Robekan terjadi ketika gerakan mata biasa. Setelah timbulnya robekan, jel
yang mencair tadi dapat masuk ke rongga subretina yang pada akhirnya
menyebabkan ablasio retina. Proses ini dapat berlangsung terus-menerus hingga
dapat melibatkan ablasio pada daerah makula.
Tatalaksana yang direncanakan untuk pasien ini adalah pembedahan. Teknik
pembedahan yang digunakan adalah scleral buckling. Tujuannya adalah menutup
robekan retina dengan menyatukan epitel pigmen dengan retina sensorik dan
menurunkan traksi dinamis vitreoretinal. Pada pasien dapat dilakukan vitrektomi
untuk membebaskan traksi korpus vitreum. Sebelum operasi pasien dirawat dan
diharuskan istirahat total dan diberikan siklopegi berupa sulfas atropin eye drops
untuk mengistirahatkan mata.
Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam karena belum terlibatnya
makula. Walaupun ablasio telah terjadi selama 5 hari namun penglihatan pasien dapat
kembali seperti semula setelah operasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology. 4th ed. Oxford: Butterworth Heinemann; 1999. p.
353-94.
2. Anonim. Retinal Detachment. [series online] 2007 July 23 [cited on 2007 August 29].
Available from URL: http://en.wikipedia.org/wiki/Retinal_detachment.
3. Ilyas HS. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004.
4. Larkin GL. Retinal Detachment. [series online] 2006 April 11 [cited on 2007 August
29]. Available from URL: http://www.emedicine.com/emerg/topic504.htm.
5. Anonim. Retinal Detachment. In: Anonim. Handbook of Ocular Disease
Management. [series online] [cited on 2007 August 29]. Available from URL:
http://www.revoptom.com/HANDBOOK/SECT5R.HTM.
6. Gariano RF, Kim CH. Evaluation and Management of Suspected Retinal Detachment.
American Academy of Family Physicians. [series online] 2004 April 1 [cited on 2007
August 29]; vol. 69, no. 7. Available from URL:
http://www.aafp.org/afp/20040401/1691.html.
7. Schwartz SG, Mieler WF. Management of Primary Rhegmatogenous Retinal
Detachment. Comprehensive Ophtalmology Update. [series online] 2004 [cited on
2007 August 29]; 5(6): 285-294. Available from URL:
http://www.medscape.com/viewarticle/496835_6.
8. Wu L. Retinal Detachment Exudative. [series online] 2007 Agustus 2 [cited on 2007
August 2]. Available from URL: http://www.emedicine.com/oph/topic407.htm.

Anda mungkin juga menyukai