Anda di halaman 1dari 46

EVALUASI PROGRAM SEKOLAH LANSIA SALIMAH DI YAYASAN INDONESIA

RAMAH LANSIA YOGYAKARTA

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta

Untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Metode Penelitian Kualitatif

Di susun oleh:

Wahid Fitriani Setioningsih

17102241041

PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2020

BAB I
PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Menjadi tua adalah bagian dari fase kehidupan. Secara biologis, prosespenuaan
berarti menurunnya daya tahan fisik yang ditandai dengan semakinrentannya terhadap
serangan berbagai penyakit yang dapat menyebabkankematian (Atchely dalam week, 1998
dalam Izzaty, R.E;dkk, 2008). Namundemikian, pada masa lansia tidak berarti kita tidak
dapat lagi berkarya dalamhidup atau menghasilkan sesuatu yang dapat dihargai lingkungan.
Dijelaskandalam undang –undang Republik Indonesia nomor 13 tahun 1998
tentangkesejahteraan lanjut usia, pasal 1 ayat 2 mendefiniskan lanjut usia adalahseseorang
yang telah mencapai usia 60 tahun (enam puluh) tahun keatas.

Dikalangan masyarakat awam mayoritas mengenal lansia sebatas sebagaiindividu


yang sudah tidak bisa berkativitas secara maksimal dengan dirinyasendiri. Mayoritas orang
berpandangan bahwa lanjut usia hanya akanmenimbulkan masalah saja, tidak bisa mandiri
berarti membebani orang lainseperti anggota keluarga, masyarakat juga lingkungannya.
Masalah tersebutmemang wajar di temukan pada orang –orang lanjut usia karena
lansiamemiliki keterbatasan –keterbatasan fisik maupun psikis.Segi fisik misalnya dengan
menurunnya faktor kesehatan yangberpengaruh pada daya tahan tubuh dan pada akhirnya
daya ingat dankemampuan berkomunikasi terganggu. Segi psikologis misalnya lanjut
usiasering tersinggung dengan keadaan sekitar karena masalah penyesuaian diri.

Pelayanan pendidikan dan pelatihan merupakan salah satu hak penduduk lanjut usia,
dalam hal ini bisa ditarik kesimpulan bahwa pendidikan juga bisa dilakukan tidak terbatas
pada usia. Dalam meningkatkan kesejahteraan lanjut usia pendidikan juga bisa dilakukan
untuk memberdayakan dan juga membuat lanjut usia bisa berdaya, mandiri dan cakap yang
merupakan tujuan dari pendidikan nasional. Dalam hal pelayanan pendidikan lebih
diutamakan pada kelompok lanjut usia potensial yang masihmampu melakukan pekerjaan
dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang dan/atau jasa.

Pendidikan yang dikaitkan dengan usia, maka akan kita jumpai jenis pendidikan
yaitu pendidikan seumur hidup. Pendidikan seumur hidup yangtidak mengenal strata dan usia
membantu masyarakat untuk selalu hidupdalam proses belajar. Seperti dijelaskan oleh
Suprijatno (2007:4) bahwapendidikan seumur hidup (longlife education) digunakan untuk
menjelaskansuatu kenyataan, kesadaran, asas dan harapan baru bahwa proses dankebutuhan
pendidikan berlangsung sepanjang hidup manusia. Salah satuimplementasi pendidikan
sepanjang hayat dapat kita jumpai di SekolahLanjut UsiaIndonesia ramah lansia merupakan
lembaga yang bergerak denganlatar belakang kepedulian terhadap kesejahteraan lanjut usia di
Indonesia.

Sekolah Lansia yang berdiri sejak tahun 2018 yang merupakan salah satu program
pendidikan di Yayasan Indonesia Ramah Lansia Yogyakarta. SALSA dibawahnaungan
Yayasan Indonesia Ramah Lansia merupakan salah satu bukti nyatabahwa usia tidak
membatasi seseorang untuk terus berkarya, mandiri,berilmu, cakap dan kreatif. SALSA
merupakan sekolah yang berdiri di luarsistem persekolahan formal, didirikan dengan tujuan
untuk memberdayakanwarga lanjut usia potensial yang berada di Daerah Istimewa
Yogyakartaakhususnaya dengan kelas yang dibuat dalam ukuran kecil, yaitu hanyamaksimal
10 - 15 orang disatu kelompok. Keberadaan SALSA merupakan buktikepedulian lembaga
swasta terhadap presentase jumlah lanjut usia yang terusmeningkat di Indonesia, khususnya
di Daerah Istimewa Yogyakarta.Pendidikan non formal, seperti dijelaskan dalam Undang –
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikannonformal
dapat didefinisikan sebagai jalur pendidikan di luar pendidikanformal yang dapat
dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. MenurutAxin (1976) dalam Soedomo(1989)
dalam Suprijatno(2007), pendidikannonformal adalah kegiatan belajar yang disengaja oleh
warga belajar danpembelajar di dalam suatu latar yang diorganisasi (berstruktur) yang terjadi
diluar sistem persekolahan. Dari definisi tersebut, dapat di tarik kesimpulanbahwa Sekolah
Lansia Salimah yang sistem pendidikannnyaberada di luar sistem persekolahan merupakan
salah satu wujud pendidikanluar sekolah.

Sekolah lansia salimah merupakan lembaga sekolah milikswasta yang didirikan


dalam rangka memenuhi hak lansia untuk meningkatkan kesejahteraan lanjut usia yang salah
satu haknya adalahmendapatkan pelayanan pendidikan.Sistem pendidikan nasional
mempunyai tujuan, begitu pula dalampelaksanaan pendidikan luar sekolah yang dalam hal ini
adalah sekolah lansiaSalimah tidak lepas dari tujuan pendidikan nasional. Tujuanpendidikan
nasional yang begitu baik memiliki indikator ketercapaian dengandigunakannnya model –
model evaluasi guna membantu keefektifan programserta membantu pengambilan keputusan
terhadap program pendidikan agarbisa terus maju dan bersaing seiring perkembangan zaman
serta untukmengetahui apakah tujuan dari pendidikan sudah tercapai, atau perludiperbaiki
atau bahkan dihentikan. Dalam menilai dan mengukur ketercapaiantujuan pendidikan,
khususnya pendidikan luar sekolah, metode evaluasi danjuga monitoring pendidikan luar
sekolah digunakan untuk menilai danmengukur ketercapaian program pendidikan luar
sekolah. Evaluasi diarahkanuntuk mengambil keputusan atau tindakan terhadap suatu
program.

Model evaluasi CIPP merupakan salah satu model evaluasi yang digunakan oleh
Stufflebleam dalam penelitian di Ohio University. Context,Input, Process, Product
merupakan kepanjangan dari CIPP yang menurut Stufflebleam keempat komponen tersebut
merupakan garis besar dari proses pendidikan.

Sekolah lanjut usia Salimah sebagai sekolah lanjut usiadi Indonesia berdiri sejak tahun
2018, sekolah lanjut usia Salimah tentu memiliki sistem tersendiri yang dibentuk
gunamempertankan dan mengembangkan SALSA mpai saat ini. Oleh karena itu,jika dilihat
dari uraian diatas konsep sekolah lanjut usia Salimah menjadi hal yang sangat perlu dan
dapat menjadi contoh bagi program pendidikan lanjut usia yang ada di Indonesia guna
membantu memberikan pelayanan untuk meningkatkan kesejahteraan lanjut usia
dalambidang pendidikan, baik di lingkup daerah maupun nasional.Program sekolah lanjut
usia juga diharapkan mampu menjadikanmasyarakat lanjut usia, khususnya di Kota
Yogyakarta, menjadi masyarakat lanjut usia potensial yang berdaya, mandiri dan cakap dan
masih bisa turutserta dalam pembangunan baik dalam lingkup kecil di daerah maupun
dilingkup yang lebih luas seperti nasional maupun internasional.

Berdasarkan informasi awal, sekolah lansia Salimah belum optimal dalam menjalankan
program pendidikan luar sekolah dan belum memiliki konsep evaluasi program dalam
konteks, input, proses, hasil. Untuk mendeskripsikan keadaan konteks, masukan, proses dan
produk, maka perludiadakan penelitian program sekolah lanjut usia. Mengingat
pentingnyapengetahuan tentang sebuah program pendidikan, yang dalam hal ini adalah
program sekolah lanjut usia, maka muncul minat penulis untuk meneliti tentang “Evaluasi
Program Sekolah Lanjut Usia Salimah diYayasan Indonesia Ramah Lansia Yogyakarta.”

B. Identifikasi Masalah

Identifikasi permasalahan yang muncul terkait dengan kegiatan evaluasiini antara lain:

1. Masih minimnya pengetahuan masyarakat tentang implementasipendidikan sepanjang


hayat (lifelong education)
2. Masih banyaknya masyarakat, khususnya masyarakat lanjut usia yang
belum terfasilitasi untuk mendapatkan pelayanan program pendidikan lanjut
usia.

3. Besarnya proporsi penduduk lanjut usia yang mengisyaratkan tingginya usia


harapan hidup penduduk DIY.

4. Belum adanya informasi yang menjelaskan kondisi kontek, input, proses


dan produk program di sekolah lanjut usia Salimah

5. Adanya kelompok lanjut usia potensial yang masih bisa diberdayakan.

6. Belum optimalnya fungsi program Sekolah Lanjut Usia Salimah dalam


meningkatkan kesejahteraan sosial lanjut usia khususnya dalam bidang
pendidikan.

7. Pada umumnya masyarakat belum mengetahui bagaimana lanjut usia masih


dapat berperan aktif dalam pembangunan.

8. Kurangnya pengetahuan masyarakat dan mahasiswa mengenai


programPendidikan Luar Sekolah di Sekolah Lanjut Usia Salimah Yogyakarta

c. Pembatasan Masalah

Agar penelitian ini mejadi lebih jelas dan terarah maka penulis membuat
batasan masalah. Berdasarkan pada identifikasi masalah, peneliti membatasi masalah
yang berfokus pada proses evaluasi program sekolah lansia salimah dalam konteks,
input, proses dan hasil. Hal ini bertujuan untuk menghindari perluasan materi yang
akan dibahas selanjutnya.

d. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan penelitian di atas, masalah yang akan dibahasdalam penelitian ini
adalah “Evaluasi Program Sekolah Lansia Salimah di Yayasan Indonesia Ramah Lansia
Yogyakarta”Dari permasalahan utama ini, peneliti selanjutnya merumuskan beberapasub
permasalahan, yaitu:

1. Bagaimana evaluasi program sekolah lansia salimah di Yayasan Imdonesia Ramah Lansi
menggunakan model Evaluasi Context,Input, Process, Product (CIPP)?
2. Apa saja manfaat dan perubahan yang dirasakan oleh warga belajar setelah mengikuti
program pendidikan SALSA di Yayasan Indonesia Ramah Lansia

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui bagaimana evaluasi program pendidikan non formalmelalui program


Sekolah Lansia Salimah di Yayasan Indonesia Ramah Lansia ditinjau melalui konteks
(context), masukan (input), proses (process),dan hasil (product).

b. Untuk menjelaskan apa saja manfaat dan perubahan yang dirasakan oleh warga belajar
setelah mengikuti program sekolah lansia salimah di Yayasan Indonesia Ramah Lansia

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mahasiswa mengenai


permasalahan kesejahteraan sosial terutama kesejahteraan lanjut usia serta metode
penanganannya. Dan juga sebagai bahan rujukan untuk study mengenai evaluasi-evaluasi
program yang bergerak pada bidang sosial dan pendidikan.

b. Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan-masukan kepada Yayasan
Indonesia Ramah Lansia sebagai bahan evaluasi dan perencanaan program, serta untuk
menyajikan masukan bagi pengambilan keputusan tentang modifikasi, perbaikan maupun
pengembangan program.

c. Manfaat Sosial

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kepekaan dan kepedulian sosial masyarakat
terhadap masalah sosial yang terjadi pada lansia khususnya bagi Pemerintah dan umumnya
untuk masyarakat luas.
BAB II

KAJIAN

A. Evaluasi Program

1. Pengertian Evaluasi Program

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia kata evaluasi berarti penilaian. Evaluasi adalah
pengidentifikasian keberhasilan atau kegagalan suatu rencana kegiatan atau program.
Evaluasi berusaha mengidentifikasi mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada
pelaksanaan atau penerapan program.

Terdapat sejumlah definisi evaluasi yang diperoleh dari para ahli. Ralph Tyler
mengemukakan bahwa evaluasi adalah proses untuk menentukan sejauhmana tujuan
pendidikan dapat dicapai, dan upaya mendikumentasikankecocokan antara hasil belajar
peserta didik dengan tujuan program. Cronbach, Alkin dan Stufflebeam menjelaskan bahwa
evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan memperoleh, dan menyediakan informasi
bagi pembuatan keputusan. Popham, Provus dan Rivlin menjelaskan bahwa evaluasi adalah
kegiatan membandingkan data tentang penampilan orang-orang dengan standar yang telah
diterima umum. Malcolm dan Provus,sebagai pencetus gagasan Discrepancy Evaluation,
menjelaskan bahwa evaluasi adalah kegiatan unutk mengetahui perbedaan antara apa yang
ada dengan suatu standar yang telah ditetapkan serta bagaimana menyatakan perbedaan
antara keduanya.

Paulson dalam bukunya “A Strategy for Evaluation Design” yang dikutip oleh
Grotelueschen mengemukakan bahwa, “Evaluation as a process of examining certain
objects or events in the light of specific value standards for the purpose of making adaptive
decisions.” Menurut Paulson evaluasi program adalah proses pengujian berbagai objek atau
peristiwa tertentu dengan menggunakan ukuran-ukuran nilai khusus dengan tujuan untuk
menentukan keputusan-keputusan yang sesuai.

Sellan dengan pengertian di atas, Mugiadi menjelaskan bahwa evaluasi program


adalah upaya pengumpulan informasi mengenai suatu program, kegiatan atau proyek.
Informasi tersebut berguna bagi pengambilan keputusan, antara lain untuk memperbaiki
program, menyempurnakan kegiatan program lanjutan, menghentikan suatu kegiatan, atau
menyebarluaskan gagasan yang mendasari suatu program atau kegiatan. Informasi yang
dikumpulkan harus memenuhi persyaratan ilmiah, praktis, tepat guna, dan sesuai dengan
nilai yang mendasari dalam setiap pengambilan keputusan. Berdasarkan berbagai
pengertian sebagaimana dikemukakan diatas maka evaluasi program dapat didefinisikan
sebagai kegiatan sistematis untuk mengumpulkan, mengolah, menganalisis dan menyajikan
data sebagai masukan untuk pengambilan keputusan. Dalam pengertian ini data adalah
fakta, keterangan, atau informasi yang darinya dapat ditarik generalisasi.

2. Tujuan Evaluasi Program

Tujuan umum evaluasi program pendidikan luar sekolah atau pendidikan non formal adalah
menyediakan atau menyajikan data sebagai masukan bagi pengambilan keputusan tentang
program tersebut. Tujuan umum dapat dijabarkan dalam berbagai tujuan khusus evaluasi
program pendidikan non formal. Tujuan-tujuan khusus tersebut adalah untuk:

a. Memberikan masukan bagi perencanaan program

b. Menyajikan masukan bagi pengambilan keputusan yang berkaitan dengan tindak lanjut,
perluasan, atau penghentian program

c. Memberi masukan bagi pengambilan keputusan tentang yang modifikasi atau perbaikan
program

d. Memberi masukan yang berkenaan dengan faktor pendukung dan penghambat program

e. Memberi masukan untuk kegiatan motivasi dan pembinaan (pengawasan, supervisi, dan
monitoring) bagi penyelenggara, pengelola, dan pelaksana program

f. Menyajikan data tentang landasan keilmuan bagi evaluasi program pendidikan Nonformal.

3. Model-model Evaluasi Program

Model evaluasi ialah model desain evaluasi yang dibuat oleh ahli-ahli atau pakar-
pakar evaluasi yang biasanya dinamakan sama dengan pembuatnya atau tahap
pembuatannya. Model-model ini dianggap model standar atau dapat dikatakan merek
standar dari pembuatannya. Penamaan model evaluasi bervariasi. Sara M. Steele
menamakannya pendekatan (approach) dan Arthur Burman menggunakan istilah format.
Model evaluasi program terdiri atas enam kategori yaitu model evaluasi terfokus untuk
pengambilan keputusan, model evaluasi terhadap unsur-unsur program, model evaluasi
jenis data dan aktivitas program, model evaluasi proses pelaksanaan program, model
evaluasi pencapaian tujuan program, dan model evaluasi hasil dan pengaruh program.

Beberapa model evaluasi yang populer dan banyak dipakai sebagai strategi atau
pedoman kerja pelaksanaan evaluasi program adalah model evaluasi CIPP, model evaluasi
UCLA, model Brinkerhoff, dan model Stake atau Countenance.31 Tetapi pada dasarnya ke-
empat model evaluasi ini memiliki kategori yang sama yaitu untuk mengevaluasi sejauh
mana pencapaian tujuan program. Dalam penelitian ini akan digunakan Model Evaluasi CIPP
yang dikemukakan oleh Stufflebeam untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan program
yang nantinya akan membantu para stakeholder dalam membuat keputusan di masa
mendatang. Stufflebeam adalah ahli yang mengusulkan pendekatan yang berorientasi
kepada pemegang keputusan (a decision oriented evaluation approach structured) untuk
menolong administrator membuat keputusan. Ia merumuskan evaluasi sebagai “suatu
proses menggambarkan, memperoleh dan menyediakan informasi yang berguna untuk
menilai alternatif keputusan.” Ia membuat pedoman kerja untuk melayanai para manajer
dan administrator menghadapi empat macam keputusan pendidikan dan membagi evaluasi
menjadi empat macam, yaitu

1) Context evaluation (Evaluasi Konteks)

Konteks evaluasi ini membantu merencanakan keputusan, menentukan kebutuhan yang


akan dicapai oleh program. Stufflebeam dalam Hamid Hasan menyebutkan, tujuan evaluasi
konteks adalah untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan yang dimiliki evaluan. Dengan
mengetahui kekuatan dan kelemahan ini, evaluator akan dapat memberikan arah perbaikan
yang diperlukan. Dalam hal ini, Suharsimi rikunto memberikan contoh pengajuan
pertanyaan evaluasi konteks sebagai berikut:

a) Kebutuhan apa saja yang belum terpenuhi oleh program?

b) Tujuan pengembangan apa yang belum tercapai oleh program?

c) Tujuan pengembangan apakah yang dapat membantu mengembangkan masyarakat?

d) Tujuan-tujuan manakah yang paling mudah dicapai?

e) Apakah konteks program sudah sesuai dengan tujuan program?

2) Input evaluation (Evaluasi Masukan)

Evaluasi ini menolong mengatur keputusan, menentukan sumbersumber yang ada,


alternatif apa yang diambil, apa rencana dan strategi untuk mencapai kebutuhan serta
bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya. Komponen evaluasi masukan meliputi
sumber daya manusia, sarana dan peralatan pendudukung, dana atau anggaran dan
berbagai prosedur dan aturan yang diperlukan. Dalam hal ini pertanyaanpertanyaan yang
dapat diajukan pada tahap evaluasi masukan ini adalah:

a) Apakah program/layanan yang diberikan kepada klien berdampak jelas pada


perkembangannya?

b) Berapa orang klien yang menerima program/layanan tersebut?

c) Apakah sarana dan prasarana sudah cukup memadai seperti yang dibutuhkan?

d) Sejauh apa kualifikasi yang dimiliki oleh para staff untuk memberikan layanan tersebut?

3) Process evaluation (Evaluasi Proses)

Evaluasi proses untuk membantu mengimplementasikan keputusan. Sampai sejauh


mana rencana telah diterapkan dan apa yang harus direvisi. Begitu pertanyaan tersebut
terjawab, prosedur dapat dimonitor, dikontrol dan diperbaiki. Menurut Suharsimi Arikunto,
evaluasi proses dalam model CIPP menunjuk pada “apa” (what) kegiatan yang dilakukan
dalam program, “siapa” (who) orang yang ditunjuk sebagai penanggungjawab program,
“kapan” (when) kegiatan akan selesai. Oleh stufflebeam diusulkan pertanyaan-pertanyaan
untuk proses sebagai berikut:

a) Apa yang dilakukan?

b) Seberapa baik itu dilakukan?

c) Hambatan apa saja yang dihadapi selama pelaksanaan program?

d) Siapa penanggungjawab program?

e) Kapan program akan selesai?

4) Product evaluation (Evaluasi Hasil)

Evaluasi produk merupakan penilaian yang dilakukan guna melihat


ketercapaian/keberhasilan suatu program dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan
sebelumnya. Pada tahap evaluasi inilah seorang evaluator dapat menentukan atau
memberikan rekomendasi kepada evaluan apakah suatu program dapat dilanjutkan,
dikembangkan/dimodifikasi, atau bahkan dihentikan. Pada tahap evaluasi ini diajukan
pertanyaan evaluasi sebagai berikut:

a) Apakah tujuan-tujuan yang ditetapkan sudah tercapai?

b) Apakah dampak jangka panjang yang diperoleh penerima program?

c) Apakah tujuan pelayanan pada penerima program telah sesuai dengan yang
diharapkan?

d) Apakah pelayanan program yang diberikan memberikan perubahan pada


penerima program?

4. Indikator Evaluasi Program

Dalam hubungan dengan kriteria keberhasilan yang digungakan untuksuatu proses


evaluasi, Feurstein seperti yang dikutip oleh Isbandi Rukminto Adi, mengajukan beberapa
indikator yang perlu untuk dipertimbangkan. Indikator dibawah ini adalah Sembilan
indikator yang paling sering digunakan dalam mengevaluasi suatu kegiatan

1) Indikator ketersediaan (indicators of availability).

Indikator ini melihat apakah unsur yang seharusnya ada dalam suatu proses itu
benar-benar ada. Misalnya dalam suatu program pembangunan sosial yang menyatakan
bahwa diperlukan satu tenaga kader lokal yang terlatih untuk menangani 10 rumah tangga,
maka perlu di cek apakah tenaga kader yang terlatih tersebut benar-benar ada.

2) Indikator relevansi (indicators of relevance).

Indikator ini menunjukan seberapa relevan ataupun tepatnya sesuatu yang teknologi
atau layanan yang ditawarkan. Misalnya, pada suatu program pemberdayaan perempuan
pedesaan dimana diperkenalkan kompor teknologi terbaru, tetapi ternyata kompor tersebut
lebih banyak menggunakan minyak tanah ataupun kayu dibandingkan dengan kompor yang
biasa mereka gunakan. Berdasarkan keadaan tersebut maka teknologi yang lebih baru ini
dapat dikatakan kurang relevan untuk diperkenalkan bila dibandingkan dengan kompor
yang biasa mereka gunakan.
3) Indikator keterjangkauan (indicators of accessibility).

Indikator ini melihat apakah layanan yang ditawarkan masih berada dalam
"jangkauan‟ pihak-pihak yang membutuhkan. Misalnya saja, puskesmas (pusat

kesehatan masyarakat) yang didirikan untuk melayani suatu masyarakat desa berada pada
posisi yang strategis, dimana sebagian besar warga desa dapat dengan mudah datang ke
puskesmas. Atau apakah suatu posko bencana alam berada dalam jangkauan korban
bencana tersebut.

4) Indikator Pemanfaatan (Indicators of Utilisation).

Indikator ini melihat seberapa banyak suatu layanan yang sudah disediakan oleh pihak
pemberi layanan, dipergunakan (dimanfaatkan) oleh kelompok sasaran. Misalnya saja,
seberapa banyak pasangan usia subur yang memanfaatkan layanan jasa puskesmas dalam
meningkatkan KB mandiri. Atau, berapa banyak anak jalanan yang mengikuti kegiatan baca
tulis dari sekian banyak anak jalanan yang belum bisa membaca dan menulis.

5) Indikator Cakupan (Indicators of Coverage).

Indikator ini menunjukkan proporsi orang-orang yang membutuhkan sesuatu dan


menerima layanan tersebut. Misalnya saja, proporsi orang yang menerima bantuan dana
kemanusiaan untuk mengatasi masalah kemiskinan dari sekian banyak orang-orang miskin
di suatu desa.

6) Indikator Kualitas (Indicators of Quality).

Indikator ini menunjukkan standar kualitas dari layanan yang disampaikan ke


kelompok sasaran. Misalnya saja, apakah layanan yang diberikan oleh suatu Organisasi
Pelayanan Kemanusiaan (Human Service Organization) sudah memenuhi syarat dalam hal
keramahan, keresponsifan, dan sikap empati terhadap klien ataupun kualitas dari tangibles
yang ada dalam proyek tersebut.

7) Indikator Upaya (Indicators of Efforts). Indikator ini menggambarkan berapa banyak


upaya yang sudah „ditanamkan‟ dalam rangka mencapai tujuan yang sudah diterapkan.
Misalnya, berapa banyak sumber daya manusia dan sumber daya material yang
dimanfaatkan dalammembangun sarana transportasi antar desa.
8) Indikator Efisiensi (Indicators of Efficiency). Indikator ini menunjukkan apakah sumber
daya dan aktifitas yang dilaksanakan guna mencapai tujuan dimanfaatkan secara tepat guna
(efisien) atau tidak memboroskan sumber daya yang ada dalam upaya mencapai tujuan.
Misalnya saja, suatu layanan yang bisa dijalankan dengan baik hanya dengan menggunakan
4 tenaga lapangan, tidak perlu dipaksakan untuk mempekerjakan 10 tenaga lapangan
dengan alasan untuk menghindari terjadinya pengangguran. Bila hal ini dilakukan maka yang
terjadi adalah pengangguran terselubung (underemployment).

9) Indikator Dampak (Indicators of Impact). Indikator ini melihat apakah sesuatu yang kita
lakukan benar-benar memberikan suatu perubahan di masyarakat. Misalnya saja, apakah
setelah dikembangkan layanan untuk mengatasi kemiskinan selama tiga tahun di suatu
desa, maka angka penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan sudah menurun.

B. Pendidikan Luar Sekolah

Pendididikan luar sekolah merupakan salah satu jalur pendidikan yangtercantum


dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.Lebih jauh tentang
pendidikan luar sekolah dijelaskan sebagi berikut:

1. Pengertian Pendidikan Luar Sekolah

UNESCO dengan Komisi Edgar Faure telah berhasil meletakkanasas pendidikan yang
fundamental dan berlaku untuk penyelenggaraanpendidikan, yakni asas pendidikan seumur
hidup/life long education(Soelaiman Joesoef,2004:39). Asas pendidikan seumur hidup
menjelaskan bahwa setiap manusia berhak mendapatkan kesempatan untuk belajartanpa
adanya batasan usia. Individu usia dini hingga lanjut usia berhak menadpatkan kesempatan
untuk belajar. Asas pendidikan sepanjang hayat memberikan pengetahuan kepada
masyarakat bahwa pendidikan tidak dibatasi hingga usai tertentu. Asas pendidikan
sepanjang hayat memberikan dampak dengan berbagai bentuk penyelenggaraan pendidikan
yang diarahkan bagi pendidikan anak, remaja, orang dewasa dan orang tua baik bagi mereka
yang sudah bekerja maupun belum bekerja.

Penyelenggaraan pendidikan tentu memiliki ciri khas masing –masing yaitu sistem
pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah. Sistem pendidikan luar sekolah telah lama
dikenal dan digunakan diberbagai negara. Pendidikan luar sekolah menurut PHILIPS H.
COMBSdalam Soelaiman Joesoef (2004:50): “Setiap kegaitan pendidikan yang terorganisir
yang diselenggarakan di luar sistem formal, baik tersendiri maupun merupakan bagian dari
suatu kegiatan yang luas, yang dimaksud untuk memberikan layanan kepada sasaran didik
tertentu dalam rangka mencapai tujuan –tujuan belajar”. Menurut definisi tersebut yang
dimaksud pendidikan luar sekolah adalah salah satu sistem pendidikan di luar pendidikan
formal yang dalam pelaksanaannya memiliki tujuan – tujuan belajar untuk memberikan
layanan kepada masyarakat. Pendidikan luar sekolah memiliki ciri –ciri diantaranya
(Soelaiman Joesoef,2004:54):

1. Beberapa bentuk pendidikan luar sekolah yang berbeda ditandai untuk mencapai
bermacam –macam tujuan.

2. Keterbatasan asalah suatu perlombaan antara beberapa PLS yang dipandang sebagi
pendidikan formal dari PLS sebagai pelengkap bentuk –bentuk pendidikan formal.

3. Tanggung jawab penyelenggaraan lembaga pendidikan luar sekolah dibagai oleh


pengeawasan umum/masyarakat, pengawasan pribadi atau kombinasi keduanya.

4. Beberapa lembaga pendidikan luar sekolah didisiplinkan secara ketat terhadap waktu
pengajaran, teknologi modern, kelengkapan dan buku –buku bacaan.

5. Metode pengajaran juga bermacam –macam dari tatap muka atau guru dan kelompok –
kelompok belajar sampai penggunaan audio televisi, unit latihan keliling, demonstrasi,
kursus –kursus, korespondensi, alat –alat bantu visual.

6. Penekanan pada penyebaran program teori dan praktek secara relatif daripada
pendidikan luar sekolah.

7. Tidak seperti pendidikan formal, tingkat sistem pendidikan laur sekolah terbatas yang
diberikan kredensial.

8. Guru –guru mungkin dilatih secara khusus untuk tugas tertentu atau hanya mempunyai
profesional di mana tidaktermasuk identitas guru.

9. Pencatatan tentang pemasukan murid, guru dan kredensial pimpinan, kesuksesan lathan,
membawa akibat peningkatan produksi ekonomi, peningkatan, kesejahteraan dan
pendapatan peserta.
10.Pemantapan bentuk pendidikan luar sekolah mempunyai dampak pada produksi
ekonomi dan perubahan sosial dalam waktu singkat daripada kasus pendidkan formal
sekolah.

11.Sebagian besar program pendidikan luar sekolah dilaksanakan oleh remaja dan orang –
orang dewasa secara terbatas pada kehidupan dan pekerjaan.

12.Karena secara digunakan, pendidikan luar sekolah membuat lengkapnya pembangunan


nasional. Perennya mencakup pengetauan, keterampilan, dan pengaruh pada nilai –nilai
program. Berdasarkan ciri –ciri tentang pendidikan luar sekolah di atas kita dapat
mengetahui bahwa pendidikan luar sekolah merupakan sistem pendidikan yang berorientasi
pada kebutuhan peserta didik dan kebutuhan masyarakat. Pendidikan sekolah dan
pendidikan luar sekolah menjadi sistem yang kemudian memiliki subsistem. Pendidikan
sekolah memiliki sub sistem yaitu pendidikan formal, sementara pendidikan luar sekolah
memiliki sub sistem pendidikan informal dan pendidikan nonformal.

2. Pendidikan Non Formal dan Informal

Pendidikan nonformal sebagai salah satu jalur pendidikan memiliki latar belakang
yaitu untuk meningkatakn pendidikan informal dan untuk melengkapi pendidikan formal.
Melihat beberapa kekurangan dalam pelaksanaan pendidikan informal, pendidikan
nonformal membantu masyarakat untuk mendapatkan pendidikan dengan cara di luar
sistem pendidikan formal yang berjenjang dan ditentukan dalam kurun waktu tertentu.
Sementara pendidikan informal merupakan pendidikan yang menyesuaikan dengan kondisi
sasaran yang sangat luas, sehingga pendidikan informal dapat terlaksana kapan saja dan di
mana saja sesuai dengan kesepakatan bersama antara pihak penyelenggara dan
sasaranprogram pendidikan informal. Menurut Soelaiman Joesoef (2004:73) pendidikan
informal adalah pendidikan yang diperoleh seseorang dari pengalaman sehari –hari dengan
sadar atau tidak sadar, sejak seseorang lahir sampai mati, di dalam keluarga, dalam
pekerjaan atau pengalaman sehari –hari. Berdasarkan pengertian tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa pelaksanaan pendidikan informal bisa dilakukan dalam lingkup terkecil
seperti keluarga, di masyarakat, di tempat kerja, atau dalam kehidupan sehari –hari yang
biasa dialami oleh seseorang. Soelaiman Joesoef juga menjelaskan bahwa dari tempat –
tempat berlangsungnya kegiatan pendidikan informal yang paling tampak saat ini adalah
pendidikan keluarga, pendidikan pemuda dan pendidikan orang tua.

Berkaitan dengan penelitian tentang program sekolah lanjut usia disekolah lanjut usia
Salimah, secara teori Salimah merupakan implementasi dari pendidikan luar sekolah dengan
asas pendidikan sepanjang hayat. Tututan zaman yang kian maju membuat umur tidak lagi
menjadi batas bagi individu untuk belajar guna menyesuaikan diri dengan perkembangan
zaman. Berikut adalah Perbedaan dan persamaan antara pendidikan informal dan
pendidikan non formal (Soelaiman Joesoef, 2004:70-71):

a) Persamaan antara pendidikan Informal dan pendidikan Non Formal

Pendidikan Informal dan pendidikan Non Formal yang merupakan satu kesatuan
dalam pendidikan luar sekolah menurut Soelaiman Joesoef (2004: 32) memiliki persamaan
diataranya sebagai berikut:

1) Kedua –duanya terjadi di luar Pendidikan Formal

2) Clientele diterima tidak atas dasar credentials (seperti misalnya ijazah dan lain
sebagainya), juga tidak atas dasar usia.

3) Dibanding dengan pendidikan formal, pada keduanya materi pandidikan pada umumnya
lebih banyak yang brsifat praktis.

4) Dapat menggunakan metode belajar yang sama

5) Dapat diselenggarakan atau berlangsung di dalam atau di luar sekolah.

b) Perbedaan antara Pendidikan Informal dan Non Formal

Persamaan yang ada antara pendidikan non formal dan pendidikan informal merupakan
faktor yang terkadang membuat masyarakat bingung terhadap perbedaan pendidikan non
formal dan informal. Oleh karena itu ada perbedaan antara pendidikan informal dan
pendidikan non formal yang bisa membantu masyarakat untuk membedakan dan
mengetahui perbedaan antara pendidikan non formal dan pendidikan informal. Kegiatan
pendidikan non formal biasanya lebih familiar untuk masyarakat awam, sementara bentuk
kegiatan pendidikan informal masih sedikit yang mengetahui.

Melihat perbedaan dan persamaan antara pendidikan informal dan non formal di
atas secara teori pendidikan informal dan nonformal merupakan jenis pendidikan yang
berbeda namun saling berhubungan. Secara teknis pendidikan non formal dan informal
merupakan satu kesatuan dalam jenis pendidikan luar sekolah.

C. Pendidikan Sepanjang Hayat

1. Pengertian Pendidikan Sepanjang Hayat

Pendidikan sepanjang hayat adalah wujud dari proses pendidikan yang tidak berhenti
pada jenjang sekolah formal. Implementasi pendidikan sepanjang hayat merupakan wujud
bahwa usia tidak membatasi seseorang untuk terus belajar. Gordon dan Sharan (1982: 2)
mengatakan : “...education is a process that continues in one form oranother throughout
life, and that its purposes and forms must be adapted to the needs of individuals at different
stages in their development.”

Pendidian adalah sebuah proses yang berkelanjutan dalam satu bentuk atau
sepanjang manusia itu hidup, dan tujuan –tujuan serta bentuk–bentuknya harus diadaptasi
sesuai kebutuhan dari indivudu dalam perkembangan dengan taraf yang berbeda –beda.
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa wujud pendidikan seharusnya sesuai
dengan kebutuhan individu seseuai dengan permasalahan dan minat yang berbeda –beda
yang berjalan secara terus menerus.

Menurut Bryony, Fernando dan Ulrich dalam buku Making Lifelong Learning Tangible
(2010:13) yang menyebut pendidikan sepanjang hayat sebagai pembelajaran sepanjang
hayat, mengatakan bahwa: “Learning is e very normal part of everyday life and an integral
part of relationships from the moment we are born through ti our final day”.Berdasarkan
pengertian tersebut yang dimaksud dengan pembelajaran adalah proses normal dari setiap
manusia yang berkaitan dengan kehidupan sejak kita lahir hingg meninggal dunia.
Pengertian tersebut menunujukkan kepada kita bahwa proses pembelajaran selalu terjadi
sepanjang rentan kehidupan manusia yang kemudian dikenal dengan pendidikan sepanjang
hayat.

Longworth dan Davies dalam Geoffrey (1999: 25) mendefinisikan: “Lifelong learning is
the development of human potential through a continuously supportive process which
stimulates and empowers indivuals to acquire all the knowledge, values, skills and
understanding they will require throughout their lifetimes and to apply them which
confidence, creativity and enjoyment in all roles, circumstance, and environments.”
Pembelajaran sepanjang hayat adalah perkembangan manusia potesial yang terus menerus
secara berkelanjutan mendukung proses yang mendorong dan memberi kuasa setiap
individu untuk mendapatkan semua pengetahuan, nilai keterampilan dan mengertimereka
akan membutuhkan sepanjang hidup mereka dan untuk menggunakannya dengan percaya
diri, kreatif dan menyenangkan dalam semua tugas, keadaan dan lingkungan.

EUROPEAN COMMISION dalam ELLI –Development –Team(EDT) (2008: 6) : “Lifelong


learning embraces all learning activity undertaken throughout life, with the aim of
improving knowledge,skills/competences and/or qualifications for personal, social and/or
profesional reasons”. Pembelajaran sepanjang hayat mencakup semua aktivitas
pembelajaran sejalan sepanjang hidup, dengan tujuan meningkatkan pengetahuan,
keterampilan/kompetensi dan/atau kecakapan personal, sosial dan/atau alasan profesional.
Pengertian tersebut menjelaskan bahwa pendidikan sepanjang hayat mencakup semua
aktivitas manusia dalam kehidupan dengan tujuan untk terus meningkatkan aktualisasi diri.
Definisi lain dijelaskan oleh AITCHESON dalam buku yang sama ELLI –Development –
Team(EDT) (2008: 6): “Lifelong education is a comprehensive and visionary concept which
includes formal, non –formal and informal learning extended throughout the lifespan of an
individual to attain the fullest possible development in personal, social and vocational and
profesional life....A key purpose of lifelong learning is democratic citizenship, connecting
individuals and groups to the structure of social, political and economic activity.”

Pendidikan sepanjang hayat adalah sebuah konsep yang sangat luas termasuk
pembelajaran formal, non –formal dan informal sepanjang hidup seseorang untuk mencapai
kemungkinan sedalam –dalamnya untuk pengembangan diri sendiri, kehidupan social,
kejuruan, dan profesional. Kunci tujuan pembelajaran sepanjang hayat adalah demokrasi
kewarganegaraan, menghubungkan individu dan kelompok dalam struktur aktivitas sosial,
politik dan ekonomi. Pendidikan sepanjang hayat dalam dewasa ini masih awam di kalangan
masayarakat, namun dalam perkembangannya wujud pendidikan sepanjang hayat
membantu manusia untuk terus berkarya dan memiliki wadah untuk menimba ilmu yang
tidak terhalang oleh ruang dan waktu. Hal ini disampaikan oleh Jan Figel dalam European
Referance Framework (2007: 1) yang mengatakan bahwa: “We need to develop ourskills
and competences throughout our lives, not only for our personalbfulfilment and our ability
to actively engage with the society in which we live, but for our ability to be successful in a
constantly changing world of work”.

Menurut Jan Figel di atas manusia perlu mengembangkan kemampuan dan


kompetensi selama hidupnya, tidak hanya untuk kelengkapan dan kemampuan diri sendiri
untuk secara aktif mengajak masyarakat di lingkungannya, tetapi kemampuan seseorang
untuk sukses dalam setiap perubahan dunia kerja. Berdasarkan hal tersebut, pendidkan
sepanjang hayat di negara maju sudah begitu dikenal bahkan menjadi salah satu kebutuhan
bagi setiap individu agar bisa terus bersaing di dunia kerja. Selain itu, pendidikan sepanjang
hayat juga menjadi bahan kajian tersendiri di berbagai negara di eropa.

Eropa bahkan memiliki indikator pendidikan sepanjang hayat yang disebut dengan
ELLI (European Lifelong Learning Indicators) yang merupakan indikator pembelajaran
seluruh tingkat kehidupan yang berbeda –beda dari semenjak dalam buaian hingga masuk
keliang lahat, dan melewati perbedaan lingkungan belajar di sekolah, komunitas, pekerjaan
dan kehidupan keluarga. Hal ini disampaikan oleh Bryony, Fernando dan Ulrich dalam buku
Making Lifelong Learning Tangible(2010:10) : “The European Lifelong Learning Index (ELLI) is
a measure of learning throughout the different stages of life from ‘cradle to grave’ and
across the different learning environments of school, community, work and home life.”
Kunci kompetensi untuk pendidikan sepanjang hayat menurut Jan Figel (2007:1) diantaranya
ilmu pengetahuan, keterampilan dan bakat. Ketiga komponen yang menurut Figel
merupakan komponen kompetensi yang dimiliki manusia yang kemudian melatarbelakangi
manusia untuk selalu belajar dengan bekal komptensi masing –masing individu yang
berbeda.

2. Ciri –ciri Pendidikan Sepanjang Hayat

Pendidikan seumur hidup tidak sama dengan pendidikan orang dewasa. Menurut
Soelaiman Joesoef (1992:15) istilah adult education, dan sebagainya, menunjuk suatu
bentuk program pendidikan, sedangkan pendidikan seumur hidup merupakan asas
pendidikan. Sebagai sebuah asas pendidikan, pendidikan seumur hidup memiliki bentuk dan
macam pendidikan yang satu sama lain berbeda yaitu pendidikan in formal pendidikan
formal dan pendidikan nonformal. Menurut PROF.R. WROCZYNSKY dalam Soelaiman
Joesoef (1992:16) wujud asas pendidikan seumur hidup diantaranya adalah:

1. Pendidikan formal yang meliputi berbagai jenis sekolah dari tingkat rendah, menengah
dan tinggi.

3. Pendidikan ekstrakurikuler, yang berjalan sejajar dengan pendidikan formal, dan

4. Pendidikan seumur hidup, yang merupakan lanjutan dari pendidikan formal dan ditijukan
bagi oang dewasa.

Sementara aspek-aspek asas pendidikan sepanjang hayat menurut Soelaiman Joesoef


(1992:18) adalah sebagai berikut:

1.Pendidikan seumur hidup merupakan prinsip pengorganisasian kesempatan. Prinsip in


memungkinkan bahwa setiap kesempatan dalam kehidupan manusia dapat digunakan
untuk berlangsungnya proses pendidikan, seperti pendidikan formal, pendidikan informal
dan pendidikan nonformal.

2.Proses pendidikan yang dilangsungkan berguna untuk meningkatakan pendidikan


sebelumnya, memperoleh keterampilan, mengembangkan kepribadian atau tujuan lain yang
lebih khusus.

3.Pengorganisasian kesempatan ini memungkinkan adanya penyelenggaraan program –


program pendidikan/belajar tertentu seperti latihan bagi orang-orang dewasa.

Selain aspek-aspek di atas, ciri dari pendidkan seumur hidup adalah sebagai berikut:

1. Pemilihan Model –Model Pendidikan .Seleksi untuk menentukan dan menilai model –
model pendidkan sering menjadi lemah karena adanya tuntutan individu masyarakat,
tuntutan perkembangan ekonomi, pengaruh waktu luang dan sebagainya.

2. Sistem Teknokrasi. Pengertian sistem teknokrasi menurut Soelaiman Joesoef (1992:19)


adalah sistem yang diarahkan pada pemberianpelatihan kepada pekerja dan pejabat baik
bersifat ilmiah dan teknis sehingga mereka lebih qualified dalam bidangnya.

3. Kebebasan Dalam Inisiatif dan Partisipasi. Inisiatif dan partisipasi merupakan wujud
kemajuan sosial dan ekonomi yang memberi kebebasan kepada setiap individu untuk aktif
dalam setiap kegiatan pendidikan. Inisiatif dan partisipasi memungkinkann penduduk
dapatbmemperoleh pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan secara tepat dan tepat, di
mana pendidikan seumur hidup memberi kesempatan seluas –luasnya kepada setiap
individu.

4. Pembahasan Tanggung Jawab Pendidikan. Tanggung jawab pendidikan seumur hidup


hendaknya berada pada keluarga, sekolah dan masyarakat, karena ketiga tempat tersebut
merupakan dunia anak selama perkembangannya.

5. Makin Meluasnya Pendidikan Pra –Sekolah. Jumlah masyarakat usia anak yang semakin
tinggi berbanding lurus dengan banyaknya pengembangan pendidikan anak usia dini.
Seperti, TK, KB, TPA dan SPS.

Berdasarkan penjelasan mengenai aspek dan ciri –ciri pendidikan sepanjang hayat di
atas dapat di telaah bahwa, pendidikan sepanjang hayat merupakan sebuah asas
pendidikan. Sementara wujud dari pendidikan berdasarkan asas pendidikan sepanjang hayat
melitputi pendidikan formal, informal, dan nonformal. Masing –masing pendidikan formal
meliputi pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Pendidikan
informal meliputi pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan non formal meliputi
pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan,
pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan
dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik

3. Ragam Program Pendidikan Sepanjang Hayat

Pembagian ragam program pendidikan sepanjang hayat didasarkan pada motivasi


individu dalam mengikuti program, contohnya seorang ibu rumah tangga yang berniat
belajar memasak demi membuat sang suami senang dengan masakannya atau seorang guru
yang belajar bahasa asing karena tuntutan pihak sekolah. Apabila dikelompokkan, ada
banyak ragam program pendidikan sepanjang hayat yang menggambarkan kepentingan
seseorang untuk belajar kembali, mempelajari sesuatu yangbaru baginya. Menurut Dwi
Siswoyo, dkk (2007:166) ragam pendidika sepanjang hayat adalah sebagai berikut:

a. Pendidikan untuk mempertahankan pemenuhan kebutuhan pokok dalam hidupnya


(dalam arti luas: kebutuhan “survival”)
b. Pendidikan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan bidang kerja

c. Pendidikan untuk mengembangkan diri atau meningkatkan kemampuan diri

d. Pendidikan untuk pemenuhan kebutuhan mental dan rekreasional.

Berdasarkan ragam pendidikan sepanjang hayat di atas dapat kita lihat bahwa motivasi
individu yang berbeda –beda membuat ragam pendidikan sepanjang hayat yang juga lebih
bervariasi. Ada yang memang sebuah kebutuhan dasar yang mendesak, namun ada juga
sebagai bentuk rekreasi dan hiburan di waktu luang atau masa tua. Sekolah lanjut usia
Salimah yang merupakan salah satu bentuk pendidikan merupakan salah salah satu ragam
pendidikan sepanjang hayat yang termasuk dalam pendidikan untuk pemenuhan kenutuhan
mental dan rekreasional. Ada yang mengikuti latihan untuk menenangkan batin,
menyenangkan hati, dan mengisi waktu luang. Walaupun kegiatan-kegiatan tersebut
merupakan bentuk belajar, tetapi warga belajar tetap terus belajar karena belajar
merupakan sebuah kebutuhan dan menyenangkan.

D. Pendidikan Orang Dewasa Sebagai Salah Satu Bentuk Asas Pendidikan Sepanjang Hayat

Sejalan dengan perkembangan zaman dan teknologi, orang dewasa membutuhkan


keterampilan untuk menyesuaikan diri memiliki skill yang relevan sesuai dengan kebutuhan
dan perkembangan zaman. Banyaknya lembaga lembaga kursus dengan sasaran manusia
dengan usia dewasa merupakan salah satu bentuk pemecahan masalah tersebut. Sebagai
sistem pendidikan, implementasi pendidikan orang dewasa hendaknya diorganisis, untuk
membantu belajar masa dewasa di seluruh tingkatan masyarakat. Pendidikan orang dewasa
meliputi segala bentuk pengalaman belajar yang dibutuhkan oleh orang dewasa, pria
maupun wanita, sesuai dengan bidang perhatian dan kemampuannya.

Pendidikan orang dewasa memiliki suasana belajar yang berbeda dengan suasana
belajar yang biasa kita temui di pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Dalam
pendidikan orang dewasa dapat ditemui beberapa suasana belajar diantaranya; 1) Berisi
kumpulan manusia aktif. Maksudnya disini adalah pada pendidikan orang dewasa
pembimbing, tentor, atau fasilitator bukanlah menjadi pusat pengetahuan. Peserta didik
atau sebutan sejenisnya merupakan partner diskusi dan fasilitaror adalah pematik untuk
membahas sebuah materi; 2) Suasana hormat –menghormati. Pada orang dewasa akan kita
temui kepuasan apabila pendapat yang ia kemukakan dihormati baik oleh teman sejawat
atau oleh pembimbing. Hal ini bisa menjadi mematik motivasi orang dewasauntuk belajar;
3) Suasana percaya. Peserta didik perlu mendapatkan kepercayaan dari rekan sejawat dan
juga pembimbing sama halnya mereka juga perlu mempercayai pembimbing; 4) Suasana
penemuan diri. Penemuan diri maskudnya adalah orang dewasa dapat menemukan sendiri
masalahnya dan mencari solusinya dengan bimbingan fasilitaror, dengan demikian peserta
didik dapat memahami kelemahan dan kelebihan diri sendiri; 5) Suasana harga –
menghargai. Selain menghormati, menghargai pendapat teman adalah bentuk
daripenghargaan bahwa setiap manusia itu unik dengan gaya pikir masing –masing; 6)
Suasana tak mengancam. Kebebasan mengemukakan pendapat dengan kemungkinan benar
atau salah, yang hasilnya tidak akan berpangaruh ancaman kepada pesert didik. Misalnya
jika salah berpendapat maka akan dipecat; 7) Suasana keterbukaan. Terbuka untuk
mengungkapkan diri, dan terbuka untuk mendengarkan orang lain; 8) Suasana mengakui
kekhasan pribadi. Setiap manusia memiliki tingkat kecerdasan yang berbeda –beda,
sehingga pengakuan kepada setiap individu yang memiliki pemikiran berbeda adalah bentuk
toleransi perbedaan; 9) Suasana membenarkan perbedaan. Perbedaan merupakan hal wajar
yang justru dapat menambah variasi pengetahuan karenasetiap inividu memiliki latar
belakang kehidupan yang berbeda –beda; 10) Suasana mengakui hak berbuat salah.
Kesalahan adalah hal yang wajar dari proses belajar; 11) Suasana membolehkan keraguan.
Prinsip keraguan dalam suasana belajar orang dewasa bertujuan untuk memberikan
kesempatan kepada setiap individu agar dapat berargumen dalam waktu tertentu agar
didapat hasil yang memuaskan; 12) Evaluasi bersama dan evaluasi diri. Evaluasi perlu
dilakukan untuk mengetahui kelemahan, kekurangan serta kemampuan kelebihan bersama
maupun perseorangan sehingga akan terbentuk suasana belajar yang lebih nyaman.

Berdasarkan kriteria suasana belajar pada pendidikan orang dewasa di atas kita dapat
melihat kriteria –kriteria pendidikan orang dewasa di sekeliling kita dengan melihat suasana
belajar yang ada. Pada konsep pendidikan orang dewasa, baik fasilitator maupun peserta
didik berpartisipasi aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Fasilitator merupakan pematik
tema sementara peserta didik lebih aktif dalam membahas tema berdasarkan pengetahuan
yang mereka miliki. Konsep pendidikann orang dewasa lebih sering kita temui dalam
pendidikan non formal. Seperti lembaga kursus dan pelatihan, perguruan tinggi, dansekolah
lanjut usia.

E. Sekolah Lanjut Usia Salimah sebagai Wujud Asas Pendidikan Sepanjang Hayat

Kondisi pendidikan sepanjang hayat di negara –negara di Eropa cukup membuktikan


bahwa eksistensi pendidikan sepanjang hayat di negara maju cukup untuk menjadi contoh
bagi negara lain dalam mengembangkan pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan
sepanjang hayat merupakan sebuah asas, dan pendidikan orang dewasa adalah
salah satu dari wujud pendidikan sepanjang hayat.

Berdasarkan pengertian pendidikan sepanjang hayat menurut para ahli diatas,


sekolah lanjut usia Salimah yang merupakan bentuk pendidikan non formal
membantu manusia untuk mendapatkan ilmu pengetahuan sepanjang hidup
seseorang untuk mencapai kemungkinan sedalam –dalamnya untuk
pengembangan diri sendiri, kehidupan sosial, kejuruan, dan profesional
dengan meningkatkan pengetahuan, keterampilan serta pengembangan
personal lanjut usia dengan mengikuti program sekolah lanjut usia.

Pendidikan orang dewasa dengan sasaran individu dengan usia dewasa


menjadi salah satu bukti bahwa usia tidak menjadi batasan seseorang dalam
belajar. Dalam konteks pendidikan sepanjang hayat lanjut usia termasuk salah
satu individu yang juga masih bisa terus belajar. Sekolah lanjut usia Salimah
merupakan salah satu implementasi pembelajaran sepanjang hayat karena
sasaran di sekolah lanjut usia Salimah adalah individu dengan rentan usia 55
tahun keatas. Walau definisi lanjut usia adalah individu dengan rentan usia 60
tahun ke atas, sekolah lanjut usia Salimah jugamengajak individu pra lanjut
usia untuk menyiapkan diri menghadap masa pensiun.

Abraham Maslow dalam Izzaty (2004: 40) mengemukakan piramida


kebutuhan sebagai tingkatan kebutuhan manusia. Piramida kebutuhan berisi
tingkatan kebutuhan manusia yang menurut Maslow secara runtut kebutuhan
manusia yaitu pemenuhan kebutuhan fisik, kebutuhan akanrasa aman, pengakuan, harga
diri, dan perwujudan diri. Sesuai denga pengertian pendidikan sepanjang hayat di atas
tentang pentingnya pengembangan diri, sekolah lanjut usia Salimah mencoba membantu
para lanjut usia pada masa pra pensiun, pensiun dan pasca pensiun untuk memunuhi
kebutuhan akan perwujudan diri atau aktualisasi diri dengan berumpul dengan teman
sebaya dan membapermasalahan dalam kehidupan sehari –hari, sehingga lanjut usia bisa
terus eksis dan mandiri.

F. Lanjut Usia

Lanjut usia merupakan sasaran dalam program sekolah lanjut usia Salimah. Lanjut usia
yang dipandang sebagai individu yang tidak lagi berdaya berusaha diberdayakan oleh
sekolah melalui program sekolah lanjut usia. Berikut beberapa kajian terkait denga lanjut
usia:

1. Tugas –Tugas Perkembangan Masa Lanjut Usia

Perkembangan manusia terus berjalan dari waktu ke waktu, masa usia lanjut juga
merupakan proses perkembangan manusia, pada masa ini tugas –tugas perkembangan juga
harus diselesaikan, tentunya sesuai dengan tahapan usianya. Tugas –tugas perkembangan
tu adalah (Izzaty,2004: 80):

a. Menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan.

b. Menyesuaikan diri dengan kemunduran dan berkurangnya pendapatan.

c. Menyesuaiakan diri atas kematian pasangannya.

d. Menjadi anggota kelompok sebaya.

e. Mengikuti pertemuan –pertemuan sosial dan kewajiban –kewajiban sebagai warga


negara.

f. Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan.

g. Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara fleksibel.

Tugas –tugas perkembangan lanjut usia tentunya merupakan tanggungjawab masyarakat


umum, karena keberadaan warga lanjut usia di masyarakat, oleh karena itu penanganan
masyarakat lanjut usia tidak bisa lepas dari peran masyarakat umum.

2. Kondisi Lanjut Usia


Di Indonesia, seperti diterangkan sebelumnya hal –hal yang terkait dengan lanjut usia
diatur dalam suatu Undang –Undang yaitu Undang – undang No.13 tahun 1998 tentang
Kesejahteraan Lanjut Usia yang dimaksud dengan lanjut usia adalah seseorang yang berusia
60 tahun. Meningkatnya kondisi sosial ekonomi, pelayanan kesehatan, perbaikan gizi serta
meningkatnya pendidikan berdampak pada meningkatnya rata – rata umur harapan hidup
penduduk. Keberadaan lanjut usia awalnyamenjadi garapan ilmu kedokteran yang memang
sangat besar peranannya dalam membawa lanjut usia menjadi sehat, dan mempengaruhi
proses fisiologisnya sehingga memperpanjang hidup seseorang. Berkaitan dengan ini
munculah gerontologi, yaitu suatu pendekatan ilmiah dari berbagai aspek proses ketuaan
yaitu kesehatan, sosial, ekonomi, perilaku, lingkungan dan lain –lain (Dep Kes RI, 1998).
Adapunaspek –aspek dalam gerontologi yang spesifik yang penting yaitu aspekbiologik,
psikologik, sosial, ekonomi, dan kesehatan, dibidang kesehatan muncul geriatri yang
merupakan cabang dari ilmu kedokteran yang memusatkan pada proses penuaan dan
hubungan antara usia dengan kondisi kesehatan. Adapun beberapa kemunduran kondisi
yang dialami pada masa lanjut usia yaitu diantaranya kemunduran kondisi fisik, kemunduran
kondisi kognitif, kondisi pekerjaan masa pensiun, kondisi sosial emosional. Lima tahun
menjelang masa pensiun, pengaruh proses menjadi tua mengalami percepatan bagi
kebanyakan individu dan adanya loncatan tajam dalam menderita sakit, baik fisik maupun
mental. Dalam situasi yang mendorong orang mendekati limit kemampuan fisik atau
intelektualnya, terlihat adanya kemerosotan dalam kompetensi (Anisah Basleman dan
Syamsu Mappa 2011:21). Departemen Kesehatan RI(1998) menyatakan bahwa menjadi tua
ditandai oleh kemunduran biologis yang terlihat dari gejala kemunduran fisik antara lain:

1. Kulit mulai mengendur dan pada wajah timbul keriput serta garis –garis yang menetap;

2. Rambut mulai berubah dan menjadi putih;

3. Gigi mulai tanggal;

4. Penglihatan dan pendengaran mulai berkurang;

5. Mulai lelah;

6. Gerakan menjadi lamban dan kurang lincah;dan


7. Kerampingan tubuh menghilang, terjadi timbunan lemak terutama dibagian perut dan
pinggul.

Dari keterangan diatas yang dimaksud kemuduran fisik merupakan kondisi dimana orang
lain dapat melihat dengan nyata kondisi fisik masyarakat lanjut usia. Dari kondisi fisik yang
tampak masyarakat dapat menyimpulkan bahwa apakah seseorang sudah memasuki masa
lanjut usia.

Jika ciri –ciri diatas tampak dalam fisik seorang individu, maka dengan mudah
seseorang mengetahui bahwa individu tersebut masuk dalam fase lanjut usia. Namun, ada
beberapa individu yang rajin merawat tubuh atau karena gen keturunan memiliki kondisi
fisik yang tampak muda, namun seseorang yang berusia diatas 60 tahun tetap merupakan
masyarakat lanjut usia.

Selain kemunduran fisik, Departemen Kesehatan RI (1998) menyatakan bahwa


menjadi tua ditandai oleh adanya kemunduran –kemunduran kognitif antara lain sebagai
berikut:

1. Mudah lupa, ingatan tidak berfungsi dengan baik;

2. Ingatan kepada hal –hal pada masa muda lebih baik daripada kepada hal–hal yang baru
terjadi, yang pertama dilupakan adalah nama –nama;

3. Orientasi umum dan persepsi terhadap waktu dan ruang/tempat mundur, karena daya
ingat sudah mundur dan juga karena penglihatan biasanyasudah mundur;

4. Meskipun telah mempunyai banyak pengalaman, skor yang dicapai dalam tes inteligensi
menjadi lebih rendah; dan

5. Tidak mudah menerima hal –hal atau ide –ide baru. Kondisi kognitif yang berkaitan
dengan kecerasan lanjut usia ini dapat dengan jelas kita lihat dari cara berbicara atau
penyampaian ide seorang lanjut usia. Dari ciri –ciri diatas kita dapa simpulkan bahwa lanjut
usia cenderung memiliki memori masa muda yang lebih kuat dari pada memori yang baru
saja terjadi, hal ini biasanya membuat lanjut usia cenderung bercerita dan membanggakan
masa lalunya kepada kerabat, anak, cucu atau kelompok seusia

3. Pekerjaan Dan Masa Pensiun


Seseorang yang mampu mendapatkan penghasilan menunjukkan bahwa dirinya
merupakan manusia yang berguna dan bukan menjadi beban bagi orang lain, karena bekerja
menimbulkan rasa percaya diri, harga diri dan rasa puas. Masa bekerja bagi seseorang
terkait dengan umur.Lembaga pemerintah atau swasta memiliki beberapa aturan yang
menerangkan seorang pegawai atau karyawan harus berhenti dari pekerjaanya pada usia
tertentu yang telah ditetapkan yang disebut dengan purnatugas atau pensiun. Hal demikian
menimbulkan masalah baru bagi lanjut usia karena banyak lanjut usia yang masih ingin
tetap aktif bekerja. Mereka berkeinginan untuk tetap mandiri dan bukan menjadi beban
orang lain, meskipun orang lain itu adalah keluarganya sendiri. Pada beberapa orang,
kemampuan pada periode ini berlangsung lambat, setiap tahun mengalami kemunduran
kemampuan (capabilities), sementara bagi yang lain efek sakit yang serius mungkin
mengakibatkan cepat menyusutnya kemampuan menaggulangi urusan kehidupan sehari –
hari (Anisah dan Syamsu, 2011:21). Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa individu
yang memasuki masa pensiun memiliki kemunduran –kemunduran fungsi fisik, kogitif, dan
sosial emosional yang mengidentifikan bahwa individu tersebut sudah memasuki masa
lanjut usia yang cenderung akan menimbulkan masalah bagi lanjut usia dalam kehidupan
sehari –hari.

4. Usia dan Kaitannya dengan Pendekatan Kegiatan Belajar

Konsep pendidikan sepanjang hayat merupakan konsep pendidikan yang


menerangkan bahwa proses pendidikan seorang individu tidak terbatas oleh usia.
Pendidikan sepanjang hayat membantu masyarakat untuk terus belajar tanpa terhalang
oleh faktor usia. Anisah dan Mappa (2011:22) menjelaskan:

“Dari komposisi usia warga belajar di sekolah lanjutan dan perguruan tinggi dapat terlihat
populasi mereka yang berusia muda sangat mencolok ke arah skala usia yang lebih muda
dibandingkan dengan hanya sejumlah kecil orang berusia 50-an dan 60-an tahunterdaftar di
lembaga tersebut.”

Berdasarkan penjelasan di atas dapat di simpulkan bahwa faktor usia juga harus
difikirkan jika program pendidikan yang diambil terkait dengan program pelatihan yang
memerlukan tingkat konsentrasi atau ketangkasan manual seperti pelatihan membuat
kerajinan tangan, pada individu dengan usia 40 tahun ke atas tidak akan lebih efisien
dibandingkan dengan individu pada usia dewasa awal sampai dewasa madya.

Pada usia 40 tahun ke atas seorang individu lebih memerlukan aktivitas yang lebih
santai dan menyenangkan. Individu dengan usia 40 tahun keatas mengikuti program
pendidikan sekolah cenderung agar tetap bisa memiliki kegiatan sosial dan kelompok yang
mengikuti pendidikan luar sekolah untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan
dengan kelompok sebaya seperti yang terjadi di sekolah lanjut usia Salimah

5. Lanjut Usia Berhasil

Lanjut usia bisa diartikan dari bahasa inggris sebagai successful aging atau optimal
aging. Banyak kriteria yang diusulkan untuk dikatakan sebagai lanjut usia berhasil dari
berbagai kriteria, seperti faktor kesehatan, kemampuan kognitif, dan kesehatan psikis yang
tercermin dalam kondisi lanjut usia. Banyak faktor yang memberikan kontribusi pada umur
seseorang. Jenis kelamin dan ras memiliki kontribusi pada umur panjang seseorang. Wanita
lebih panjang umurnya dar pada laki-laki. Orang kulit putih lebih panjang umurnya dari pada
orang kulit hitam. Ada 4 faktor yang diduga menjadi prediktor yang baik bagi umur panjang
seseorang yaitu:

a. Mobilitas fisik, maksudnya orang yang aktif cenderung berumur panjang

b. Pendidikan, orang dengan pendidikan yang lebih tinggi cenderung lebih panjang umurnya
dari pada yang pendidikanya lebih rendah

c. Pekerjaan, para professional atau orang dengan pekerjaan yang hanya membutuhkan
aktivitas fisik relatif kecil cenderung berumur panjang

d. Aktivitas, orang yang aktif berkerja lebih panjang umurnya dari padaorang yang banyak
menganggur atau pensiun (Izzaty, 2008: 48)

Faktor –faktor di atas dapat membantu masyarakat untuk mengetahui bahwa kondisi
di masa tua ditentukan oleh kondisi seseorang di masa mudanya. Berdasarkan hal tersebut
dapat disimpulkan bahwa individu yang banyak beraktivitas memiliki angka harapan hidup
yang lebih tinggi. Hal ini karena semua organ fisik terlatih untuk bergerak sehingga
kesehatan tubuh lebih terjaga. Selain itu, tubuh yang sehat membantu seorang individu
untuk berfikir sehat dan efeknya adalah otak tidak mudah terkena stres, dengan demikian
angka harapan hidup akan lebih tinggi.

b. Penelitian Relevan

Penelitian yang relavan merupakan peneltian-penelitian yang sudah ada


sebelum penelitian di lakukan oleh seorang peneliti yang di jadikan sebagai
pedoman ataupun sumber lain untuk pelengkap data penelitian. Adanya penelitian
yang relevan menunjukan bahwa penelitian yang di lakukan bukan merupakan
suatu penelitian yang baru. Adapun penelitian yang relavan dengan penelitian yang
di lakukan peneliti adalah:

1. Hasil Penelitian Dyah Ayu W.L dengan Judul Skripsi:"Evaluasi Program Pendidikan
Nonformal melalui Rumah Belajar Anak Jalanan di Yayasan Keluarga Anak Langit Pemkot
Tangerang" Penelitiannya memberikan penjelasan tentang konteks, input, proses dan
produk program pendidikan nonformal rumah belajar anak jalanan di Yayasan Keluarga
Anak Langit. Metode wawancara, dokumentasi dan observasi digunakan dalam penelitian ini
guna mendapatkan data yang bersifat deskriptif dan mendalam. Penelitian ini memberikan
gambaran kepada peneliti tentang evaluasi program. Dari penelitian ini program pendidikan
nonformal rumah belajar anak jalanan dapat dilanjutkan dengan lebih meningkatkan
kualitas dan kuantitas sumber daya manusia serta meningkatkan kualitas program
pendidikan dan kualitas fasilitas ruangan program rumah belajar anak jalanan.Penelitian
dari Dyah Ayu W.L merupakan penelitian evaluasi yang menggunakan model sama dengan
yang saat ini peneliti lakukan. Namun, sasaran dalam penelitian evaluasi ini berbeda.
Program pendidikan nonformal Rumah Belajar Anak Jalanan merupakan program yang
dievaluasi oleh peneliti diatas, sementara dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
indikator model evaluasi CIPP sebagai indikator untuk mendeskripsikan keadaan program
sekolah lanjut usia di Sekolah Lanjut Usia Salimah.

2. Hasil penelitian Fitri Badriyah dengan judul skripsi: Program Sekolah Lanjut Usia Golden
Geriatric Club Di Yayasan Budi Mulia Dua Yogyakarta. Penelitian ini memliki persamaan
tema sasaran yaitu lanjut usia. Penelitian tersebut berorientasi untuk mendeskripsikan
program sekolah lanjut usia di Sekolah Lanjut Usia Golden Geriatric Club yang merupakan
salah satu wujud upaya padapeningkatan pelayanan pendidikan bagi lansia. Sedangkan
perbedaan dengan penelitian ini adalah mendeskripsikan evaluasi program sekolah lansia
salimah.

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaiamana teknik analisis kebutuhan (need assesment) terhadap masyarakat terkait


program pendidikan sekolah lanjut usia?

2. Bagaimana kualifikasi pendidikan penyelengara program pendidikan sekolah lanjut usia?

3. Bagaimana fasilitas pembelajaran?

4. Bagaimana pengelolaan anggaran yang ada?

5. Bagaimana model kegiatan belajar mengajar yang dilakukan?

6. Bagaimana hasil program pendidikan sekolah lanjut usia ditinjau dari keterampilan dan
pengetahuan yang didapatkan peserta didik?

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan penelitian

Penelitian ini menggunakan pendeketan kualitatif. Pendeketan ini bertujuan


untuk yaitu, untuk menyelidiki, menemukan, menggambarkan, dan menjelaskan
kualitas atau keistimewaan dari pengaruh sosial yang tidak dapat dijelaskan, diukur
atau digambarkan melalui pendekatan kuantit (Sugiyono. 2009:15)

Penelitian ini menggunakan kualitatif karena peneliti bermaksud


mendeskripsikan, menguraikan dan menggambarkan mengenai evaluasi program
sekolah lansia salimah di yayasan indonesia ramah lansia yogyakarta.
Dalam penelitian ini sumber data yang di peroleh dan telah terkumpul akan di
analisis untuk menarik kesimpulan yang selanjutnya akan di tuangkan dalam bentuk
tulisan. Dengan pelitian ini di harapkan mampu mengetahui serta mampu
mendeskripsikan evaluasi program sekolah lansia salimah di yayasan indonesia
ramah lansia yogyakarta.

B. Setting Penelitian

1. Tempat Penelitian

Kegitan penelitian ini di laksanakan di Sekolah Lansia Salimah, Kecamatan


Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi tersebut di pilih sebagai tempat
peneitian dengan alasan sebagai berikut:

a. Peneliti sudah pernah melakukan kerjasama sebagai relawan

2. Waktu penelitian

Waktu peneliti untuk mengumpulkan data di laksanakan pada bulan Januari


2021 dalam penelitian ini peneliti akan membaur dengan subyek peneliti tujuannya
adalah agar peneliti dapat memperoleh data secara benar.

3. Subyek peneliti

Peneliti menentukan subyek penelitan menggunakan tokoh informal dan


formal. Pengertian Pemimpin Formal adalah orang yang oleh organisasi atau lembaga
tertentu ditunjuk sebagai pemimpin, berdasarkan keputusan dan pengangkatan resmi untuk
memangku suatu jabatan dalam struktur organisasi, dengan segala hak dan kewajiban yang
berkaitan dengannya, untuk memangku suatu jabatan dalam struktur organisasi, dengan
segala hak dan kewajiban yang berkaitan dengannya, untuk mencapai sasaran organisasi.
Pengertian Pemimpin Informal adalah orang yang tidak mendapatkan pengangkatan formal
sebagai pemimpin, namun karena ia memiliki sejumlah kualitas unggul, dia mencapai
kedudukan sebagai orang yang mampu memengaruhi kondisi psikis dan perilaku suatu
kelompok atau masyarakat.
Pimpinan formal yang menjadi subyek penelitian ini adalah pimpinan guru,
sedangkan pimpinan informal adalah sekelompok masyarakat yang menjadi bagian
dari lembaga KB Dharmayoga Santi UNY yaitu orangtua siswa. Sumber data
penelitian ini adalah pengurus harian yaitu guru KB Dharmayoga Santi UNY selaku
pelaksanaan kegiatan.

Pemilihan subyek peneliitian ini di maksudkan agar peneliti mampu


memperoleh data sebanyak data yang di butuhkan dari berbagai sumber sehingga
data yang di peroleh menjadi Valid. Penentuan kriteria subyek penelitian
berdasarkan intensitas komunikasi antara guru dan orangtua siswa di KB
Dharmayoga Santi UNY.

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini di lakukan agar data yang di
peroleh merupakan data yang valid atau pasti menggambarkan kondisi yang
sebenanrnya pada pelaksanaan kegiatan. Pada penelitian ini tekhnik pengumpulan
data dengan cara observasi, wawancara dan dokumentasi

Teknik observasi adalah teknik pengumpulan data dengan cara peneliti


melakukan pengamatan secara langsung di lapangan. Pengamatat disebut observer
yang diamati disebut observer. Metode observasi merupakan metode pengumpul
data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-
gejala yang diselidiki (Supardi, 2006 : 88). Observasi dilakukan menurut prosedur
dan aturan tertentu sehingga dapat diulangi kembali oleh peneliti dan hasil observasi
memberikan kemungkinan untuk ditafsirkan secara ilmiah. Beberapa informasi yang
diperoleh dari hasil observasi adalah ruang (tempat), pelaku, kegiatan, objek,
perbuatan, kejadian atau peristiwa, waktu, perasan. Alasan peneliti melakukan
observasi adalah untuk menyajikan gambaran realistik perilaku atau kejadian, untuk
menjawab pertanyaan, untuk membantu mengerti perilaku manusia, dan untuk
evaluasi.

Metode wawancara di gunakan oleh peneliti untuk melengkapi dan


menguatkan data dan informasi yang ada untuk menjawab rumusan masalah yang
peneliti lakukan. wawancara adalah percakapan yang dilakukan oleh dua orang atau
lebih yaitu wawancara yang akan mengajukan pertanyaan dan orang yang akan
diwawancarai yang akan memberikan jawaban atas pertanyaan yang akan diajukan
(Moleong, 2005 : 186). Proses wawancara untuk memperoleh keterangan dengan
cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara
dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan
interview guide (panduan wawancara). Wawancara dapat dilakukan dengan tatap
muka maupun melalui telpon.

Penelitian ini juga menggunakan metode dekomentasi. Dokumen menurut


Louis Gottschalk (1986: 38) seringkali digunakan para ahli dalam dua pengertian,
yaitu pertama, berarti sumber tertulis bagi informasi sejarah sebagai kebalikan
daripada kesaksian lisan, artefak, peninggalan-peninggalan terlukis, dan petilasan-
petilasan arkeologis. Pengertian kedua, diperuntukan bagi surat-surat resmi dan
surat-surat negara seperti surat perjanjian, undang-undang, hibah, konsesi, dan
lainnya. Lebih lanjut, Gottschalk menyatakan bahwa dokumen (dokumentasi) dalam
pengertianya yang lebih luas berupa setiap proses pembuktian yang didasarkan atas
jenis sumber apapun, baik itu yang berupa tulisan, lisan, gambaran, atau arkeologis.

Dalam penelitian ini dokumentasi berupa catatan, foto, rekaman ataupun


arsip yang dapat di gunakan sebgai bukti konkret dari penelitian yang di laksanakan.

Tabel 1. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian Evaluasi Program Sekolah Lansia Salimah di Yayasan Indonesia Ramah


Lansia Yogyakarta

No Aspek Metode/Tek Sumber Data


hnik
1. Identifikasi evaluasi program
sekolah lansia salimah di
yayasan indonesia ramah
lansia yogyakarta

a. Letak demografis

b. Sejarah beridiri

c. Tujuan, visi,misi

d. Struktur organisasi

2. Fasilitas Wawancara IFasilitator,


, pengelola program
a. Sarana dan prasarana
dokumentsi, sekolah lansia
b. Pendanaan observasi salimah
c. Pemanfaatan

3. Sumber Daya Manusia Wawancara IFasilitator,


, observasi pengelola program
a. Keadaan pengurus
sekolah lansia
b. keadaan warga belajar salimah
4. Prolgram Kegiatan Wawancara Fasilitator,
, pengelola program
a. Program kegiatan evaluasi
dokumentsi, sekolah lansia
program sekolah lansia
observasi salimah
salimah

D. Instrumen Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan insrumen utama dan instrumen pendukung. Baik


instrumen utama dan dan pendukung dalam penelitian ini, di harapkan mampu
memberikan informasi secara optimal. Instrumen dalam penelitian ini di antaranya
adalah:

1. Peneliti sebagai instrumen pertama.

2. Buku catatan harian sebagai instrumen pendukung.

3. Pedoman wawancara, pedoman observasi dan pedoman dokumentasi.

Berikut adalah langkah-langkah dalam menyusun instrumen data Secara


umum penyusunan instrumen pengumpul data dilakukan dengan penahapan
sebagai berikut:

1. Mengadakan identifikasi terhadap variabel-variabel yang ada di dalam


rumusan judul penelitian atau yang tertera di dalam problematika penelitian.

2. Menjabarkan variabel menjadi sub atau bagian variabel

3. Mencari indikator setiap sub atau bagian variabel

4. Menderetkan deskriptor dari setiap indikator.

5. Merumuskan setiap deskriptor menjadi butir-butir instrumen.

6. Melengkapi instrumen dengan (pedoman atau instruksi) dan kata pengantar.

Menurut Sugiyono (2016:59) terdapat dua hal yang mempengaruhi kualitas


penelitian, yaitu kualitas instrumen penelitian dan kualitas pengumpulan data. Dalam
penelitian kualitatif, kualitas instrumen penelitian berkaitan dengan ketepatan cara
yang di gunakan untuk mengumpulkan data. Dalam penelitian kualitatif yang menjadi
intrumen penelitian adalah peneliti itu sendiri. Oleh karena itu, peneliti juga harus
"divalidasi" sebagai instrumen penelitian, sejauh mana peneliti kualitatif siap
melakukan penelitian yang selanjutnya akan terjun ke lapangan. Peneliti kualitatif
berfungsi menetapkan fokus penelitia, memilih informan sebagai sumber data,
melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, dan membuat
kesimpulan atas temuannya.

Berdasarkan kajian di atas dapat di simpulkan bahwa yang menjadi instrumen


penelitian adalah peneliti itu sendiri, sedangkan instrumen pendukung dalam
penelitian ini berupa pedoman wawancara, pedoman observasi, dan pedoman
dokumentasi serta buku catatan yang akan di gunakan untuk mencatat setiap
kegiatan penelitian di lakukan.

E. Teknik Analisis Data

Tekhnik analisis data di mulai sejak merumuskan dan menjelaskan masalah


sebelumbterjun ke lapangan data yang di kumpulkan dalam penelitian ini
menggunakan ata utama dan data pendukung. Data utama yaitu di peroleh dari
subyek penelitian yaitu orang-orang yang terlibat langsung dalam kegiatan sebagai
fokus penelitian sedangkan ata dokumen di peroleh dari catatan, rekaman, serta
bahan lain yang dapat mendunukung proses penelitian.

F. Reduksi Data

Dalam analisis data penelitian kualitatif, menurut Miles & Huberman (1992: 16)
sebagaimana diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan,
pengabstakan, dan transformasi data "kasar" yang muncul dari catatan-catatan tertulis di
lapangan. Reduksi data berlangsung terus-menerus selama proyek yang berorientasi
penelitian kualitatif berlangsung.Antisipasi akan adanya reduksi data sudah tampak waktu
penelitiannya memutuskan (acapkali tanpa disadari sepenuhnya) kerangka konseptual
wilayah penelitian, permasalahan penelitian, dan pendekatan pengumpulan data mana yang
dipilihnya. Selama pengumpulan data berlangsung, terjadilan tahapan reduksi selanjutnya
(membuat ringkasan, mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus, membuat partisi,
membuat memo). Reduksi data/transfoemasi ini berlanjut terus sesudah penelian lapangan,
sampai laporan akhr lengkap tersusun.
G. Penyajian Data

Penyajian data aitu sekumpulan data yang di uraikan terhadap hasil data
yang di peroleh untuk memudahkan dalammendeskripsikan suatu peristiwa yang
memberikan kemungkinan penarikan kesimpulan (Sugiyono:2016) . Pada tahap
penelitian ini peneliti menyajikan dan mengubungkan data dari hasil penelitian yang
telah di lakukan yang di peroleh dari observasi, wawancara dan dokumentasi yang
telah di reduksi menjadi kalimat yang mudah di pahami.

H. Keabsahan Data

Menurut Sugiyono, (2011:372) menyatakan bahwa datan yang di kumpulkan


diklarifikasi sesuai dengan sifat tujuanpenelitian untuk di lakukan pengeceken
kebenaran melalui tekhnik triangulasi. Triangulasi dalam pengujian kredibiliitas ini di
artikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan
waktu.

Triangulasi dapat di lakukan denganmenggunakan metode yang berbeda,


isalnya dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Misalnya hasil observasi
dapat di cek dengan menggunakan wawancara atau membaca laporan. Akan tetapi
triangulasi bukan hanya mengecek kebenaran dam bukan mengumpulkan berbagai
data, melainkan juga suatu usaha untuk melihat secara jelas hubungan antara
berbgai data, agar mencegah kesalahan dalam analisis data (Radika:2012) .

Peneliti memberikan gamabran yang lengkap mengenai masalah yang di


hadapai penulis di lapangan tidak hanya mengumpulkan data dari berbagai pihak .
Selain itu triangulasi dapat di temukan perbedaan informasi yang dapat merangsang
pemikiran yang lebih mendalam juga di lakukan karena keinginan bersikap hati-hati
terhadap data yang di sampaikan oleh informan. Melaui triangulasi ini tidak sekedar
meniali kebenaran data, akan tetapi juga dapat untuk menyelidiki valditas tefsiran
penulis mengenai data tersebut, maka dengan data yang ada akan memberikan
kemungkinan bahwa kekurangan informasi yang pertama dapat menambah
kelengkapan dari data yang sebelumnya (Radika:2012).

I. Penarikan kesimpulan

Menurut Sugiyono (2016) menyatakan bahwa kesimpulan data adalah kegiatan


mengambil kesimpulan yang berdasarkan pada pengolahan data yang telah di
uraikan sehingga menghasilkan kesimpulan sesuai dengan yang di harakpan, pada
tahap ini peneliti melakukan pemaknaan dan penyajian data yang telah berupa
narasi sehingga dapat di peroleh kesimpulan dari evaluasi program sekolah lansia
salimah di yayasan indonesia ramah lansia yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA

Faisal, Sanapiah. 1981. Pendidikan Nonformal di dalam Sistem Pendidikan dan


Pembangunan Nasional. Surabaya: Usaha Offset Printing.

Ghony, M. Djunaidi dan Almanshur, Fauzan. 2012. Metode Penelitian Kualitatif. Jogjakarta:
Ar-ruzz Media.

Hasan, Hamid. 2009. Evaluasi Kurikulum. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Irawan, Soeharto. 2004. Metode Penelitian Sosial, Suatu Teknik Penelitian Bidang
Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Joesoef, Soelaiman. 2004. Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Moleong, Lexy J. 2007. Metode Penelitian Kualitatif . Bandung: PT. Rosdakarya.

Rita Eka Izzaty dkk. 2013. Perkembangan Peserta Didik. Yogyakarta: UNY Press

Sudjana, Djuju. 2006. Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.

Sugiyono, (2015). Memahami penelitian kualitatif. Bandung: Alfabet

Sugiyono, (2014). Metode penelitian kombinasi (mixed method): Bandung. Alfabeta.

Tayibnapis, Farida Yusuf. 2008. Evaluasi Program dan Instrumen Evaluasi


untuk Program Pendidikan dan Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Lampiran I

PEDOMAN WAWANCARA
EVALUASI PROGRAM SEKOLAH LANSIA SALIMAH DI YAYASAN INDONESIA RAMAH LANSIA
YOGYAKARTA

Pedoman Wawancara untuk Pemimpin dan pengurus Program

Informan :

Jabatan :

Hari/Tanggal Wawancara :

Waktu Wawancara :

Situasi Informan saat Wawancara :

No. Pertanyaan Jawaban

A. Evaluasi Konteks

1. Apakah tujuan yang ingin dicapai yang telah dirumuskan dalam program sekolah lansia
ini benar-benar dibutuhkan oleh warga belajar?

2. Sasaran apa yang ingin dicapai oleh program sekolah lansia?

3. Kebutuhan apa saja yang belum terpenuhi oleh program sekolah lansia?

4. Tujuan pengembangan apakah yang belum tercapai oleh program sekolah lansia?

5. Tujuan pengembangan apakah yang dapat membantu mengembangkan masyarakat


sekitar melalui sekolah lansia ini?

B. Evaluasi Input

1. Berapa jumlah warga belajar yang mengikuti program sekolah lansia?

2. Dari rentang usia berapa saja warga belajar yang mengikuti program tersebut?

3. Apa saja sarana atau fasilitas yang sudah terpenuhi?

4. Apa saja sarana dan fasilitas penunjang yang belum terpenuhi?

5. Berapa jumlah fasilitator dan bagaimana pertimbangan dalam memilih fasilitator?

C. Evaluasi Proses
1. Hari apa dan pukul berapa kegiatan pembelajaran ini dilakukan?

2. Bagaimana strategi dalam mengajarkan materi ini pada warga belajar?

3. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengajarkan warga belajar?

4. Hambatan apa saja yang dirasakan selama proses pelaksanaan program?

5. Bagaimana prosedur agar warga belajar bisa mengikuti sekolah lansia di yayasan
indonesia ramah lansia ?

D. Evaluasi Produk/Hasil

1. Pengalamani apa saja yang sudah pernah didapat dari program ini?

2. Perubahn perilaku seperti apa yang dialami oleh warga belajar setelah mengikuti

program di IRL?

3. Apakah dampak yang diperoleh warga belajar dalam waktu yang relatif panjang dengan
adanya program sekolah lansia ini?

4. Apakah sejauh ini tujuan-tujuan program yang ditetapkan sudah tercapai?

5. Adakah manfaat yang didapat bagi masyarakat sekitar dari program yang dijalankan?

6. Apa harapan anda kedepan dengan adanya program yang dimiliki di Yayasan Indonesia
Ramah Lansia?

PEDOMAN WAWANCARA

EVALUASI PROGRAM SEKOLAH LANSIA SALIMAH DI YAYASAN INDONESIA RAMAH LANSIA


YOGYAKARTA

Pedoman Wawancara untuk Warga Belajar Yayasan Indonesia Ramah Lansia


Informan :

Hari/Tanggal Wawancara :

Waktu Wawancara :

Motto Hidup :

Sekolah :

Alamat :

A. Evaluasi Konteks

1. Sudah berapa lama anda bergabung menjadi warga belajar disini?2. Darimana anda
mendengar tentang adanya Yayasan Indonesia Ramah Lansia ini?

3. Menurut anda, bagaimana program sekolah lansia yang ada di Yayasan Indonesia
Ramah Lansia?

B. Evaluasi Input

1. Apa alasan anda mengikuti program tersebut?

2. Bagaimana perasaan anda setelah mengikuti program tersebut

3. Bagaimana kesan anda terhadap fasilitator program?

4. Kebutuhan apa saja yang belum terpenuhi pada program tersebut?

C. Evaluasi Proses

1. Hari apa dan pukul berapa kegiatan pembelajaran/pelatihan ini dilakukan?

2. Bagaimana suasana belajar atau suasana latihannya?

4. Hambatan apa saja yang dirasakan selama proses pembelajaran/pelatihan?

5. Apa yang anda dapatkan selama proses pembelajaran/pelatihan?

D. Evaluasi Produk/Hasil

1. Pengalaman apa saja yang sudah pernah anda dapat dari sekolah lansia ini?
2. Perubahan perilaku seperti apa andadialami setelah mengikuti program sekolah lansia di
IRL ini?

3. Manfaat apa yang anda peroleh setelah mengikuti program tersebut?

4. Apakah kedepannya anda akan terus mengikuti program tersebut?

5. Apa harapan anda kedepan untuk Yayasan Indonesia Ramah Lansia ini?

Lampiran II

PEDOMAN OBSERVASI

EVALUASI PROGRAM SEKOLAH LANSIA SALIMAH DI YAYASAN INDONESIA RAMAH LANSIA


YOGYAKARTA
A. Konteks

1. Kegiatan sekolah lansia yang ada di Yayasan Indonesia Ramah Lansia

B. Input

1. Fasilitas sarana dan prasarana dalam program sekolah lansia.

2. Keterjangkauan lokasi

C. Proses

1. Pelaksanaan program sekolah lansia dalam pembelajaran.

2. Pelaksanaan program sekolah lansia dalam pelatihan.

3. Jadwal pelaksanaan kegiatan sekolah lansia.

D. Hasil

1. Perubahan perilaku warga belajar

Anda mungkin juga menyukai