Anda di halaman 1dari 24

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Teori Inflasi


Inflasi merupakan kenaikan harga-harga umum yang berlaku dalam suatu
perekonomian dari satu periode keperiode lainnya. Sadono sukirno (2008:27)
Inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus
menerus (continue) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebapkan
oleh berbagai faktor antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat
berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi,
sampai termasuk juga akibat adanya ketidak lancaran distribusi barang. Boediono
(1994:9)

Menurut Nanga (2005 : 248) inflasi yang terjadi di dalam suatu


perekonomian memiliki beberapa dampak atau akibat sebagai berikut:

1. Inflasi dapat menyebabkan terjadinya kesenjangan pendapatan. Hal ini akan


mempengaruhi kesejahteraan ekonomi dari anggota masyarakat, sebab
kesenjangan pendapatan yang terjadi akan menyebabkan pendapatan riil
satu orang meningkat, tetapi pendapatan riil orang lainnya jatuh.
2. Inflasi dapat menyebabkan penurunan dalam efisiensi ekonomi. Hal ini
dapat terjadi karena inflasi mengalihkan investasi dari padat karya menjadi
padat modal sehingga menambahkan tingkat pengangguran.
3. Inflasi juga dapat menyebabkan perubahan-perubahan di dalam output dan
kesempatan kerja, dengan cara memotivasi perusahaan untuk memproduksi
lebih atau kurang dari yang telah dilakukan selama ini.
Kondisi perekonomian dengan tingkat inflasi yang tinggi dapat
menyebabkan perubahan-perubahan output dan kesempatan kerja. Tingkat inflasi
yang tinggi berdampak pada pengangguran. Bila tingkat inflasi tinggi, dapat
menyebabkan angka pengangguran tinggi, ini berarti perkembangan kesempatan
kerja menjadi semakin mengecil atau dengan kata lain jumlah tenaga kerja yang
diserap juga akan kecil. Dari sini terlihat bahwa pemerintah harus menjalankan
kebijakan makro yang tepat. Inflasi mempunyai pengaruh terhadap tingkat
pengangguran. Apabila tingkat inflasi meningkat, maka harga-harga barang dan
jasa akhir juga akan naik, selanjutnya permintaan akan barang dan jasa akhir akan
turun, dan akan mengurangi permintaan terhadap tenaga kerja yang dibutuhkan,
akibatnya akan meningkatkan jumlah pengangguran terbuka. Sehingga inflasi
mempunyai pengaruh yang negatif terhadap tingkat pengangguran Sukirno
(1994).

Inflasi yang tinggi tingkatnya tidak akan menggalakkan perkembangan


ekonomi. Biaya yang terus menerus naik akan menyebabkan kegiatan produktif
yang sangat tidak menguntungkan. Maka pemilik modal biasanya lebih sukan
menggunakan uangnya untuk tujuan spekulasi. Antara lain tujuan ini dicapai
dengan membeli harta-harta tetap seperti tanah, rumah dan bangunan. Oleh karena
pengusaha lebih suka menjalankan kegiatan investasi yang seperti ini, investasi
produktif akan berkurang dan tingkat kegiatan ekonomi menurun. Sebagai
akibatnya maka tingkat pengangguran bertambah. Sadono sukirno (2015:339)

Sadono sukirno (2015:333) menyatakan bahwa berdasarkan penyebab


kenaikan harga-harga yang berlaku, inflasi dibedakan kepada tiga bentuk berikut:

a. Inflasi tarikan permintaan


Inflasi ini biasanya terjadi pada masa perekonomian berkembang dengan
pesat. Kesempatan kerja yang tinggi menciptakan tingkat pendapatan yang
tinggi dan selanjutnya menimbulkan pengeluaran yang melebihi
kemampuan ekonomi mengeluarkan barang dan jasa. Pengeluaran yang
berlebihan ini akan menimbulkan inflasi. Disamping dalam masa
perekonomian yang berkembang dengan pesat, inflasi tarikan permintaan
juga dapat berlaku pada masa perang atau ketidak stabilan politik yang terus
menerus. Dalam masa seperti ini pemerintah belanja jauh melebihi pajak
yang dipungutnya. Untuk membiayai kelebihan pengeluaran tersebut
pemerintah terpaksa mencetak uang atau meminjam dari bank sentral.
Pengeluaran pemerintah yang berlebihan tersebut menyebapkan permintaan
agregat akan melebihi kemampuan ekonomi tersebut menyediakan barang
dan jasa. Maka keadaan ini akan mewujudkan inflasi.
b. Inflasi desakan biaya
Inflasi ini terutama berlaku dalam masa perekonomian berkembag dengaan
pesat ketika tingkat pengangguran adalah sangat rendah.apabila perusahaan-
perusahaan masih menghadapi permintaan yang bertambah, mereka akan
berusaha menaikkan produksi dengan cara memberikan gaji dan upah yang
lebih tinggi kepada pekerjanya dan mencari pekerja baru dengan tawaran
pembayaraan yang lebih tinggi ini. Langkah ini mengakibatkan biaya
produksi meningkat, yang akibatnya akan menyebapkan kenaikan harga-
harga berbagai barang. Pada tingkat kesempatan kerja yang tinggi
perusahaan akan sangat memerlukan tenaga kerja. Keadaan ini cenderung
akan menyebapkan kenaikan upah dan gaji karena:
1. Perusaahaan-perusahaan akan berusaha mencegah perpindahan
tenaga kerja dengan menaikkan upah dan gaji.
2. Usaha-usaha untuk memperoleh pekerja tambahan hanya akan
berhasil apabila perusahaan-perusahaan menawarkan upah dan gaji
yang lebih tinggi.
c. Inflasi di impor
Inflasi dapat juga bersumber dari kenaikan harga-harga barang yang
diimpor. Inflasi ini akan terwujud apabila barang-barang impor yang
mengalami kenaikan harga mempunyai peran yang penting dalam kegiatan
pengeluaran perusahaan-perusahaan. Salah satu contohnya adalah efek
kenaikan harga minyak dalam tahun 1970an kepada perekonomian negara-
negara barat dan negara-negara pengimpor minyak lainnya. Kenaikan
hargaminyak tersebut menaikkan biaya produksi, dan kenaikan biaya
produksi mengakibatkan kenaikan hargaharga. Kenaikan harga minyak yang
tinggi pada tahun 1970an (yaitu dari US$30.00 pada tahun 1973 berubah
menjadi US$ 12.00 pada tahun 1974 menjadi US$ 30.00 pada tahun 1979)
menyebabkan masalah stagflasi yaitu inflasi ketika pengangguran tinggi
diberbagai negara.

2.1.1 Inflasi Berdasarkan Parah Tidaknya


Berdasarkan parah tidaknya inflasi dibedakan menjadi 4 macam diantaranya:
1) Inflasi ringan ( di bawah 10% setahun).
2) Inflasi sedang ( antara 10 - 30% setahun).
3) Inflasi berat ( antara 30 - 100% setahun)
4) Hiperinflasi ( di atas 100% setahun).
Inflasi yang tinggi tidaklah baik karena sangat menyengsarakan
masyarakat dalam suatu negara. Sebaliknya inflasi yang terlalu rendah juga sangat
merugikan negara, maka dari itu kondisi inflasi yang wajarlah yang dapat
memberikan keadaan positif bagi perekonomian suatu negara. Inflasi juga
digunakan untuk mengartikan peningkatan persediaan uang akibat naiknya tingkat
harga. Inflasi berpengaruh besarterhadap produksi maupun ekspor dan impor.
Inflasi menyebabkan turunnya produksi, terutama produksi barang yang akan
diekspor sehingga harga pokok dari hasil yang diproduksi juga meningkat.

2.1.2 Kebijakan Pemerintah Mengatasi Inflasi

Ketika inflasi terjadi maka untuk mengatasinya pemerintah mengeluarkan


kebijakan untuk meningkatkan pajak dan mengurangi pengeluaran agregat. Usaha
untuk mengurangi pengeluaran agregat yaitu dengan cara mengurangi
pengeluaran pemerintah, sehingga tekanan inflasi dapat dikurangi (Indriayu,
2009)

2.1.3 Kebijakan Pemerintah Dalam Mengatasi Inflasi Dan Pengangguran

Permasalahan-permasalahan ekonomi seperti inflasi dan pengangguran


tentunya akan mewujudkan berbagai pengaruh buruk bagi perekonomian itu
sendiri. Untuk menghindari pengaruh yang tidak baik tersebut, diperlukan
berbagai kebijakan ekonomi untuk mengatasinya. Kebijakan-kebijakan
pemerintah di bidang ekonomi terdiri atas kebijakan fiskal dan kebijakan moneter.

2.1.4 Kebijakan Fiskal

Kebijakan fiskal merupakan langkah pemerintah membuat perubahan


dalam bidang perpajakan dan pengeluaran pemerintah dengan maksud untuk
memengaruhi pengeluaran agregat dalam perekonomian. Melalui kebijakan fiskal
masalah pengangguran dan inflasi dapat diatasi (Indriayu, 2009). Berikut ini
adalah jenis-jenis kebijakan fiskal:

1. Kebijakan fiskal ekspansif (expansionary fiscal policy): menaikkan


belanja negara dan menurunkan tingkat pajak netto. Kebijakan ini untuk
meningkatkan daya beli masyarakat. Kebijakan fiskal ekspansif dilakukan
pada saat perekonomian mengalami resesi atau depresi dan pengangguran
yang tinggi.
2. Kebijakan fiskal kontraktif (contractionary fiskal policy): menurunkan
belanja negara dan menaikkan tingkat pajak. Kebijakan ini bertujuan untuk
menurunkan daya beli masyarakat dan mengatasi inflasi. Berikut ini
beberapa pengaruh kebijakan fiskal bagi perekonomian.

2.1.5 Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter merupakan kebijakan pemerintah melalui bank sentral


untuk memengaruhi penawaran uang dalam perekonomian atau mengubah suku
bunga, dengan maksud untuk memengaruhi pengeluaran agregat. Berikut ini
jenis-jenis kebijakan moneter dalam mengatasi masalah pengangguran dan inflasi.
Adapun Jenis-jenis Kebijakan Moneter:

1. Kebijakan moneter ketat (tight money policy) untuk mengurangi atau


membatasi jumlah uang beredar. Kebijakan ini dilakukan pada saat
perekonomian mengalami inflasi.
2. Kebijakan moneter longgar (easy money policy) untuk menambah
jumlah uang beredar. Kebijakan ini dilakukan untuk mengatasi
pengangguran dan meningkatkan daya beli masyarakat (permintaan
masyarakat) pada saat perekonomian mengalami resesi atau depresi.
2.1.6 Pengaruh Kebijakan Fiskal bagi Perekonomian

1. Pemerintah menggunakan kebijakan fiskal untuk mencapai tujuan-


tujuan seperti inflasi yang rendah dan tingkat pengangguran yang
rendah.
2. Berdasarkan teori ekonomi Keynesian, kenaikan belanja pemerintah
sehingga APBN mengalami defisit dapat digunakan untuk merangsang
daya beli masyarakat (AD = C + G + I + X - M) dan mengurangi
pengangguran pada saat terjadi resesi atau depresi ekonomi.
3. Ketika terjadi inflasi, pemerintah harus mengurangi defisit (atau
menerapkan anggaran surplus) untuk mengendalikan inflasi dan
menurunkan daya beli masyarakat.

2.1.7 Hubungan Inflasi dan Pengangguran

Sejak lama ahli-ahli ekonomi telah menyadari bahwa apabila tingkat


pengangguran rendah, masalah inflasi akan dihadapi. Makin rendah tingkat
pengangguran, makin tinggi tingkat inflasi. Sebaliknya apabila terdapat masalah
pengangguran yang serius, tingkat harga-harga adalah relatif stabil. Berarti tidak
mudah untuk menciptakan penggunaan tenaga kerja penuh dan kestabilan harga
secara serentak.

Pada tahun 1958, AW Phillips, seorang Profesor di London School of


Economics menulis artikel berdasarkan studi lapangan tentang adanya hubungan
antara kenaikan tingkat upah dan pengangguran di Inggris pada tahun 1861-1957.
Dari hasil studi ini maka diperoleh hubungan negatif antara presentase kenaikan
upah dengan pengangguran. Kurva phillips juga digunakan untuk
menggambarkan hubungan diantara tingkat kenaikan harga dengan tingkat
pengangguran. ini berarti sifat perkaitan diantara inflasi harga dan tingkat
pengangguran tidak berbeda dengan sifat hubungan diantara inflasi upah dan
tingkat pengangguran seperti yang diterangkan diatas. Pada waktu pengangguran
tinggi, kenaikan harga- harga relatif lambat, akan tetapi makin rendah
pengangguran, makin tinggi tingkat inflasi yang berlaku.

Kurva Phillips diperoleh semata-mata atas dasar studi empirik, tidak ada
dasar teorinya. Lipsey pada tahun 1960 mencoba untuk mengisi dasar teorinya.
Untuk tujuan ini Lipsey menggunakan sebagai dasar penjelasannya adalah teori
pasar tenaga kerja. Dalam pasar tenaga kerja, tingkat upah cenderung turun
apabila

terdapat pengangguran (kelebihan tenaga kerja) dan akan naik apabila terdapat
kelebihan permintaan akan tenaga kerja. Dengan demikian, apabila dalam pasar
terdapat kelebihan penawaran, ini akan tercermin pada banyaknya orang yang
(menganggur) mencari pekerjaan.

Natural rate of unemployment ini digambarkan sebagai perpotongan antara


kuva Phillips dengan sumbu horizontal (UN). Artinya, pada titik perpotongan
tersebut tingkat pengangguran berada dalam situasi dimana terdapat kestabilan.

Gambar 2.1 Kurva Philips

(Sumber: Nhopirin)
Analisis Lipsey mengenai kurva Phillips dengan menggunakan teori pasar
tenaga kerja mulai dengan dua pernyataan yaitu penawaran dan permintaan akan
tenaga kerja menentukan tingkat upah, kedua tingkat/laju perubahan tingkat upah
ditentukan oleh besarya kelebihan permintaan (excess demand) akan tenaga kerja.
Tingkat perubahan upah mempunyai hubungan searah (positif) dengan kelebihan
permintaan. Makin besar kelebihan permintaan akan tenaga kerja tingkat
perubahan upah juga makin besar. Sedangkan kelebihan permintaan mempunyai
hubungan terbalik (negatif) dengan tingkat pengangguran. Makin besar kelebihan
permintaan

akan tenaga kerja, pengangguran cenderung makin kecil.

2.2 Pertumbuhan Ekonomi


2.2.1 Pengertian Pertumbuhan Ekonomi

Prof. Simon Kuznets dalam kuliahnya pada peringatan Nobel


mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai kenaikan jangka panjang dalam
kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-
barang ekonomi kepada penduduknya, kemampuan ini tumbuh sesuai dengan
kemajuan teknologi, dan penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang
diperlukannya.

Menurut Zaris, pertumbuhan ekonomi adalah sebagian dari perkembangan


kesejahteraan masyarakat yang diukur dengan besarnya pertumbuhan domestik
regional bruto per kapita (PDRB per kapita). Pertumbuhan ekonomi berarti
perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa
yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat
meningkat.38

Menurut Suryana, Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan GDP


(Gross Domestic Product) tanpa memandang bahwa kenaikan itu lebih besar atau
lebih kecil dari pertumbuhan penduduk dan tanpa memandang apakah ada
perubahan dalam struktur ekonominya. Menurut Boediono,40 pertumbuhan
ekonomi adalah suatu proses dari kenaikan output perkapita dalam jangka waktu
yang panjang. Pertumbuhan ekonomi disini meliputi 3 aspek

yaitu :

1) Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses (aspek ekonomis) suatu


perekonomian berkembang, berubah dari waktu ke waktu.

2) Pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan adanya kenaikan output perkapita,


dalam hal ini ada 2 aspek penting yaitu output total dan jumlah penduduk.
Output perkapita adalah output total dibagi jumlah penduduk.

3) Pertumbuhan ekonomi dikaitkan dengan perspektif waktu jangka panjang.


Dikatakan tumbuh bila dalam jangka panjang waktu yang cukup lama (5
tahun) mengalami kenaikan output.

Proses Pertumbuhan Ekonomi Proses pertumbuhan ekonomi dipengaruhi


oleh dua macam faktor, faktor ekonomi dan nonekonomi. Pertumbuhan ekonomi
suatu negara tergantung pada sumber alamnya, sumber daya manusia, modal,
usaha, teknologi, dan sebagainya.

a. Faktor Ekonomi

Para ahli ekonomi menganggap faktor produksi sebagai kekuatan utama


yang mempengaruhi pertumbuhan. Beberapa faktor ekonomi tersebut
diantaranya;

1. Sumber Alam

Faktor produksi kedua adalah tanah.Tanah yang dapat ditanami


merupakan faktor yang paling berharga. Selain tanah, sumber daya
alam yang penting antara lain minyak-minyak gas, hutan air dan bahan-
bahan mineral lainnya.
2. Akumulasi Modal

Untuk pembentukan modal, diperlukan pengorbanan berupa


pengurangan konsumsi, yang mungkin berlangsung selama beberapa
puluh tahun. Pembentukan modal dan investasi ini sebenarnya sangat
dibutuhkan untuk kemajuan cepat dibidang ekonomi.

3. Organisasi

Organisasi bersifat melengkapi dan membantu meningkatkan


produktivitasnya.

4. Kemajuan teknologi

Perubahan teknologi dianggap sebagai faktor paling penting di dalam


proses pertumbuhan ekonomi. Perubahan itu berkaitan dengan
perubahan di dalam metode produksi yang merupakan hasil
pembaharuan atau hasil dari teknik penelitian barn.

5. Pembagian kerja dan skala produksi

Spesialisasi dan pembagian kerja menimbulkan peningkatan


produktivitas. Keduanya membawa kearah ekonomi produksi skala
besar yang selanjutnya membantu perkembangan industri.

b. Faktor Nonekonomi

Faktor nonekonomi bersama-sama saling mempengaruhi kemajuan


perekonomian. Oleh karena itu, faktor nonekonomi juga memiliki arti penting di
dalam pertumbuhan ekonomi. Beberapa factor nonekonomi diantaranya :

1. Faktor sosial
Faktor sosial dan budaya juga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Kekuatan faktor ini menghasilkan perubahan pandangan, harapan,
strukturdan nilai-nilai sosial.

2. Faktor sumber daya manusia


Kualitas input tenaga kerja, atau sumber daya manusia merupakan
factor terpenting bagi keberhasilan ekonomi.

3. Faktor politik dan administratif

Struktur politik dan administrasi yang lemah merupakan penghambat


besar bagi pembangunan ekonomi negara terbelakang. Administrasi
yang kuat, efisien, dan tidak korup, dengan demikian amat penting bagi
pertumbuhan ekonomi

2.2.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi

2.2.2.1 Teori-teori pertumbuhan ahli ekonomi klasik

Ahli-ahli ekonomi klasik, di dalam menganalisis masalah- masalah


pembangunan, terutama ingin mengetahui tentang sebab- sebab perkembangan
ekonomi dalam jangka panjang dan corak proses pertumbuhannya. Beberapa ahli
ekonomi klasik yang terkemuka untuk dibahas satu demi satu.

1. Pandangan Adam Smith

Smith mengemukakan beberapa pandangan mengenai beberapa faktor


yang penting peranannya dalam pertumbuhan ekonomi.
Pandangannya yang pertama adalah peranan sistem pasar bebas,
Smith berpendapat bahwa sistem mekanisme pasar akan mewujudkan
kegiatan ekonomi yang efisien dan pertumbuhan ekonomi yang teguh.
Kedua perluasan pasar. Perusahaan- perusahaan melakukan kegiatan
memproduksi dengan tujuan untuk menjualnya kepada masyarakat
dan mencari untung. Ketiga spesialisasi dan kemajuan teknologi.
Perluasan pasar, dan perluasan ekonomi yang digalakkannya, akan
memungkinkan dilakukan spesialisasi dalam kegiatan ekonomi.
Seterusnya spesialisasi dan perluasaan kegiatan ekonomi akan
menggalakkan perkembangan teknologi dan produktivitas meningkat.
Kenaikan produktivitas akan menaikkan pendapatan pekerja dan
kenaikan ini akan memperluas pasaran.

3. Pandangan Malthus dan Ricardo


Tidak semua ahli ekonomi Klasik mempunyai pendapat yang positif
mengenai prospek jangka panjang pertumbuhan ekonomi. Malthus
dan Ricardo berpendapat bahwa proses pertumbuhan ekonomi pada
akhirnya akan kembali ke tingkat subsisten. Jumlah penduduk atau
tenaga kerja adalah berlebihan apabila dibandingkan dengan faktor
produksi yang lain, pertambahan penduduk akan menurunkan
produksi per kapita dan taraf kemakmuran masyarakat. Maka,
pertambahan penduduk yang terns berlaku tanpa diikuti pertambahan
sumber-sumber daya yang lain akan menyebabkan kemakmuran
masyarakat mundur kembali ke tingkat subsisten.

4. Teori Schumpeter
Pada permulaan abad ini berkembang pula suatu pemikiran baru
mengenai sumber dari pertumbuhan ekonomi dan sebabnya
konjungtur berlaku.Schumpeter menyatakan bahwa pertumbuhan
ekonomi tidak akan terjadi secara terus menerus tetapi mengalami
keadaan dimana adakalanya berkembang dan pada lain mengalami
kemunduran. Konjungtur tersebut disebabkan oleh kegiatan para
pengusaha (enterpreneur) melakukan inovasi atau pembaruan dalam
kegiatan mereka menghasilkan barang dan jasa. Untuk mewujudkan
inovasi yang seperti ini investasi akan dilakukan, dan pertambahan
investasi ini akan meningkatkan kegiatan ekonomi.

5. Teori Harrod-Domar
Teori ini pada dasarnya melengkapi analisis Keynes mengenai
penentuan tingkat kegiatan ekonomi. Untuk menunjukkan hubungan
diantara analisis keynes dengan teori harrod-domar. Teori keynes pada
hakikatnya menerangkan bahwa perbelanjaan agregat akan
menentukan tingkat kegiatan perekonomian. Analisis yang
dikembangkan oleh Keynes menunjukkan bagaimana konsumsi rumah
tangga dan investasi perusahaan akan menentukan tingkat pendapatan
nasional. Analisis harrod-domar bahwa sebagai akibat investasi yang
dilakukan tersebut pada masa berikutnya kapasitm barang-barang
modal dalam perekonomian akan bertambah. Seterusnya teori harrod-
domar dianalisis keadaan yang perlu wujud agar pada masa berikutnya
barang-barang modal yang tersedia tersebut akan sepenuhnya
digunakan. Sebagai jawaban tersebut menurut harrod-domar agar
seluruh barang modal yang tersedia digunakan sepenuhnya,
permintaan agregat haruslah bertambah sebanyak kenaikan kapasitas
barang-barang modal yang terwujud sebagai akibat dari investasi di
masa lalu.

2.2.2.1 Teori Pertumbuhan Neo-Klasik

Dalam analisis Neo-Klasik, permintaan masyarakat tidak menentukan laju


pertumbuhan. Dengan demikian menurut teori Neo- Klasik, sampai dimana
perekonmian akan berkembang, tergantung kepada pertambahan faktor-faktor
produksi dan tingkat kemajuan teknologi. Ahli ekonomi yang menjadi perintis
mengembangan teori tersebut diantarnya :

1) Teori J.E.Meade

Profesor J.E.Meade dari Universitas Cambridge membangun suatu


model pertumbuhan ekonomi neo-klasik yang dirancang untuk
menjelaskan bagaimana bentuk paling sederhana dari sistem ekonomi
klasik akan berperilaku selama proses pertumbuhan ekuilibrium.

2) Teori Solow

Menurut Solow, keseimbangan yang peka antara Gw dan Gn tersebut


timbul dari asumsi pokok mengenai proporsi produksi yang dianggap
tetap, suatu keadaan yang memungkinkan untuk mengganti buruh
dengan modal. Jika asumsi itu dilepaskan, keseimbangan tajam antara
Gw dan Gn juga lenyap bersamanya. Oleh karena itu Solow
membangun model pertumbuhan jangka panjang tanpa asumsi proporsi
produksi yang tetap. Dengan asumsi tersebut, Solow menunjukan dalam
modelnya bahwa dengan koefisien teknik yang bersifat variabel, rasio
modal buruh akan cenderung menyesuaikan dirinya, dalam perjalanan
waktu, ke arah rasio keseimbangan. Untuk mengetahui maju tidaknya
suatu perekonomian diperlukan adanya suatu alat pengukur yang tepat.
Alat pengukur pertumbuhan perekonomian ada beberapa macam
diantaranya:

a. Produk Domestik Bruto (PDB)


Produk Domestik Bruto merupakan jumlah barang dan jasa akhir
yang dihasilkan oleh suatu perekonomian dalam satu tahun dan
dinyatakan dalam harga pasar.

b. Produk Domestik Bruto per Kapita (Pendapatan per Kapita)


Produk Domestik Bruto per Kapita merupakan jumlah PDB nasional
dibagi dengan jumlah penduduk atau dapat disebut sebagai PDB
rata-rata atau PDB perkepala.

c. Pendapatan per jam kerja

Pendapatan per am kerja merupakan upah atau pendapatan yang


dihasilkan per jam kerja. Biasanya suatu negara yang mempunyai
tingkat pendapatan atau upah per jam kerja lebih tinggi daripada di
negara lain, boleh dikatakan negara yang bersangkutan lebih maju
daripada negara yang satunya.

2.2.2.2 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Pengangguran

Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pengangguran dapat


dijelaskan dengan hukum okun (ohm’s law), diambil dari nama Arthur Okun,
ekonom yang pertama kali mempelajarinya. Yang menyatakan adanya pengaruh
empiris antara pengangguran dengan output dalam siklus bisnis. Hasil studi
empirisnya menunjukan bahwa penambahan 1 (satu) point pengangguran akan
mengurangi GDP (Gross Domestik Product) sebesar 2 persen. Ini berarti terdapat
pengaruh yang positif antara pertumbuhan ekonomi dengan pengangguran dan
juga sebaliknya pengangguran terhadap pertumbuhan ekonomi. Penurunan
pengangguran memperlihatkan ketidakmerataan. Hal ini mengakibatkan
konsekuensi distribusional.

Pengangguran Berhubungan juga dengan ketersediaan lapangan pekerjaan,


ketersediaan lapangan kerja berhubungan dengan investasi, sedangkan investasi
didapat dari akumulasi tabungan, tabungan adalah sisa dari pendapatan yang tidak
dikonsumsi. Semakin tinggi pendapatan nasional, maka semakin besarlah harapan
untuk pembukaan kapasitas produksi baru yang tentu saja akan menyerap tenaga
kerja baru.

2.3 Kurva Phillips


Kurva philips terjadi dimana trade off antara inflasi yang rendah atau
pengangguran yang rendah. Jika tingkat inflasi yang diinginkan adalah rendah,
maka akan terjadi tingkat pengangguran yang sangat tinggi. Sebaliknya, jika
tingkat inflasi yang diinginkan tinggi, maka akan terjadi tingkat pengangguran
yang relatif rendah.

Inflation rate (% 4

per year) 4
2 7

Gambar 2.2 Kurva Philips Unemployment rate (%)


Sumber : Alghofari, 2010

Kurva Phillips menggambarkan hubungan antara tingkat inflasi dengan


tingkat pengangguran didasarkan pada asumsi bahwa inflasi merupakan
cerminan dari adanya kenaikan permintaan agregat. Dengan naiknya
permintaan agregat, berdasarkan teori permintaan, permintaan akan naik,
kemudian harga akan naik pula. Dengan tingginya harga (inflasi) maka
untuk memenuhi permintaan tersebut produsen meningkatkan kapasitas
produksinya dengan menambah tenaga kerja (tenaga kerja merupakan satu-
satunya input yang dapat meningkatkan output). Akibat dari peningkatan
permintaan tenaga kerja, maka dengan naiknya harga-harga (inflasi)
pengangguran menjadi berkurang

2.4 Teori Pengangguran


Pengangguran adalah suatu keadaan di mana seseorang yang tergolong
dalam angkatan kerja ingin mendapatkan pekerjaan tetapi belum dapat
memperolehnya. Sadono sukirno (2000:8) Pengangguran adalah masalah
makroekonomi yang mempengaruhi manusia secara langsung dan merupakan
yang paling berat. Bagi kebanyakan orang, kehilangan pekerjaan berarti
penurunan standar kehidupan dan tekanan psikologis. Jadi tidaklah mengejutkan
jika pengangguran menjadi topik yang sering dibicarakan dalam perdebatan
politik dan para politisi sering mengklaim bahwa kebijakan yang mereka tawarkan
akan membantu menciptakan lapangan kerja. N. Gregory Mankiw (2003:150)

Menurut Sukirno (1994) dalam algafari (2010:43), penganggguran adalah


suatu keadaan dimana sesorang yang tergolong dalam Angkatan kerja ingin
mendapatkan pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya. Seseorang yang tidak
bekerja, tetapi tidak secara aktif mencari pekerjaan tidak tergolong sebagai
penganggur. Factor utama yang menimbulkan pengangguran adalah kekurangan
pengeluaran agregat. Para pengusaha memproduksi barang dan jasa dengan
maksud untuk mencari keuntungan. Keuntungan tersebut hanya akan diperoleh
apabila para pengusaha dapat menjual barang yang mereka produksikan. Semakin
besar permintaan, semakin besar pula barang dan jasa yang akan mereka produksi.
Kenaikan produksi yang dilakukan akan menambah penggunaan tenaga kerja.
Dengan demikian, terdapat hubungan yang erat diantara tingkat pendapata
nasional yang dicapai (GDP) dengan penggunaan tenaga kerja yang dilakukan:
semakin tinggi pendapatan nasional (GDP), semakin banyak penggunaan tenaga
kerja dalam perekonomian.

Menurut Sukirno (2015:328). Berdasarkan penggolongan pengangguran


dapat dibedakan beberapa jenis pengangguran sebagai berikut:

1. Pengangguran normal atau friksioal, pengangguran yang disebabkan


oleh tindakan seseorang pekerja untuk meninggalkan kerjanya dan
mencari kerja yang lebih baik atau sesuai dengan keinginannya..
2. Pengangguran siklikal, kemerosotan dalam permintaan agregat
mengakibatkan perusahaan-perusahaan mengurangi pekerja atau
menutup perusahaannya, sehingga pengangguran akan bertambah.
3. Pengangguran Struktural, pengangguran yang disebabkan oleh adanya
perubahan struktur dalam perekonomia.
4. Pengangguran teknologi, pengangguran yang ditimbulkan oleh
penggunaan mesin dan kemajuan teknologi.

Sadono sukirno (2000:10-11) mengklasifikasikan pengangguran


berdasarkan cirinya, dibagi menjadi empat kelompok:

a. Pengangguran Terbuka
Pengangguran ini adalah tenaga kerja yang sungguh-sungguh tidak
mempunyai pekerjaan. Pengganguran jenis ini cukup banyak karena
memang belum mendapat pekerjaan padahal telah berusaha secara
maksimal dan sebagai akibat pertambahan lowongan pekerjaan yang lebih
rendah daripada pertambahan tenaga kerja. Efek dari keadaan ini di dalam
suatu jangka masa yang cukup panjang mereka tidak melakukan suatu
pekerjaan. Jadi mereka menganggur secara nyata dan separuh waktu, dan
oleh karenanya dinamakan pengangguran terbuka. Pengangguran terbuka
dapat pula wujud sebagai akibat dari kegiatan ekonomi yang menurun,
dari kemajuan teknologi yang mengurangi penggunaan tenaga kerja, atau
sebagai akibat dari kemunduran perkembangan suatu industri.

b. Pengangguran Tersembunyi
Pengangguran ini adalah tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal
karena suatu alasan tertentu. Salah satunya adalah karena kecilnya
perusahaan dengan tenaga kerja yang terlalu banyak sehingga untuk
menjalakan kegiatannya tidak efisien. Kelebihan tenaga kerja yang
digunakan digolongkan dalam pengangguran tersembunyi.
c. Setengah Menganggur
Pengangguran ini adalah tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal
karena tidak ada lapangan pekerjaan, biasanya tenaga kerja setengah
menganggur ini merupakan tenaga kerja yang bekerja kurang dari 35 jam
selama seminggu. Mereka mungkin hanya bekerja satu hingga dua hari
dalam seminggu, atau satu hingga empat jam sehari. Pekerja-pekerja yang
mempunyai masa kerja seperti ini digolongkan sebagai setengah
menganggur.

d. Pengangguran Bermusim
Pengangguran ini adalah tenaga kerja yang tidak bekerja karena terikat
pada musim tertentu. Pengangguran seperti ini terutama di sektor pertanian
dan perikanan. Pada umumnya petani tidak begitu aktif di antara waktu
sesudah menanam dan panen. Apabila dalam masa tersebut mereka tidak
melakukan pekerjaan lain maka mereka terpaksa menganggur.
2.5 Hubungan Antara Inflasi Dengan Pengangguran
Dengan adanya kecenderungan bahwa tingkat inflasi dan pengangguran
kedudukannya naik (tidak ada trade off ) maka menunjukkan bahwa adanya
perbedaan dengan kurva philips dimana terjadi trade off antara inflasi yang rendah
atau pengangguran yang rendah. Nopirin (2000). Pada awalnya, kurva Phillips
memberikan gambaran kasar mengenai kausalitas proses inflasi. Rendahnya
tingkat pengangguran dianggap memiliki keterkaitan dengan ketatnya pasar
tenaga kerja dan tingginya tingkat pendapatan dan permintaan dari konsumen.
Kurva Phillips juga memberikan gagasan mengenai pilihan (trade off) antara
pengangguran dan inflasi.

Jika tingkat inflasi yang diinginkan adalah rendah, maka akan terjadi
tingkat pengangguran yang yang sangat tinggi. Sebaliknya, jika tingkat inflasi
yang diinginkan tinggi, maka akan terjadi tingkat pengangguran yang relatif
rendah (Dernburg dan Karyaman Muchtar, 1992). Kurva Phillips menggambarkan
hubungan antara tingkat inflasi dengan tingkat pengangguran didasarkan pada
asumsi bahwa inflasi merupakan cerminan dari adanya kenaikan permintaan
agregat. Dengan naiknya permintaan agregat, berdasarkan teori permintaan,
permintaan akan naik, kemudian harga akan naik pula. Dengan tingginya harga
(inflasi) maka untuk memenuhi permintaan tersebut produsen meningkatkan
kapasitas produksinya dengan menambah tenaga kerja (tenaga kerja merupakan
satu-satunya input yang dapat meningkatkan output). Akibat dari peningkatan
permintaan tenaga kerja, maka dengan naiknya harga-harga (inflasi)
pengangguran berkurang.
2.6 Hubungan Antara Upah Dengan Pengangguran
Tenaga kerja yang menetapkan tingkat upah minimumnya pada tingkat
upah tertentu, jika seluruh upah yang ditawarkan besarnya dibawah tingkat upah
tersebut, seseorang pekerja akan menolak mendapatkan upah tersebut dan
akibatnya menyebabkan pengangguran. Jika upah yang ditetapkan pada suatu
daerah terlalu rendah, maka akan berakibat pada tingginya jumlah pengangguran
yang terjadi pada daerah tersebut. Namun dari sisi pengusaha, jika upah
meningkat dan biaya yang dikeluarkan cukup tinggi, maka akan mengurangi
efisiensi pengeluaran, sehingga pengusaha akan mengambil kebijakan
pengurangan tenaga kerja guna mengurangi biaya produksi. Hal ini akan berakibat
peningkatan pengangguran. Menurut Badan Pusat Statistik berdasarkan indikator
Upah/gaji pekerja adalah upah yang dibayarkan sebelum dipotong pajak
upah/pendapatan, baik dalam bentuk uang, maupun bentuk barang kepada pekerja

Penelitian Farid Alghofari (2010) tentang Analisis Tingkat Pengangguran


Di Indonesia Tahun 1980-2007 bertujuan untuk menganalisis hubungan jumlah
penduduk, tingkat inflasi, besaran upah, dan pertumbuhan ekonomi terhadap
jumlah pengangguran di Indonesia dari tahun 1980-2007. Berdasarkan analisis
yang dilakukan menunjukkan bahwa jumlah penduduk, besaran upah, dan
pertumbuhan ekonomi memiliki kecenderungan hubungan positif dan kuat
terhadap jumlah pengangguran. Hal ini mengindikasikan bahwa kenaikan jumlah

penduduk dan angkatan kerja, besaran upah, dan pertumbuhan ekonomi sejalan
dengan kenaikan jumlah pengangguran. Sedangkan tingkat inflasi hubungannya
positif dan lemah, hal ini mengindikasikan tingkat inflasi tidak memiliki
hubungan terhadap jumlah pengangguran.

2.7 Penelitian Terdahulu


Nugroho (2013) melakukan penelitian dengan judul “Analisis PDRB,
Inflasi, Upah Minimum Provinsi, dan Angka Melek Huruf terhadap Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT) di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1990-2011”.
Dengan menggunakan model analisis regresi linier berganda. Hasil penelitian ini
juga menunjukkan beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat pengangguran
terbuka (TPT). Dari empat faktor yang diteliti (PDRB, Inflasi, UMP dan AMH),
terbukti bahwa UMP dan Angka Melek Huruf (AMH) berpengaruh positif dan
signifikan terhadap tingkat pengangguran terbuka (TPT). Hal ini dapat dimengerti
mengingat tingkat upah yang ditetapkan pemerintah di atas keseimbangan pasar
dirasa sangat membebani perusahaan dalam biaya produksinya, dan kualitas
pendidikan yang tinggi membuat masyarakat Jawa Tengah enggan bekerja pada
tingkat upah yang mereka rasa kurang sesuai dengan pengorbanan yang
dikeluarkan dalam proses menempuh pendidikan.

Penelitian oleh Sarimuda dengan judul “Pengaruh Produk Domestik


Regional Bruto (PDRB), Upah Minimum Kab/Kota (UMK), Inflasi, dan Investasi
terhadap Pengangguran Terbuka Di Kab/Kota Provinsi Jawa Timur Tahun 2007 –
2011”. Pada penelitian ini menjelaskan bahwa variabel Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) berpengaruh negatif signifikan terhadap pengangguran,
variabel Upah Minimum Kab/Kota (UMK) berpengaruh negatif signifikan
terhadap pengangguran, dan variabel inflasi berpengaruh positif tidak signifikan
terhadap pengangguran, dan variabel investasi berpengaruh negatif tidak
signifikan terhadap pengangguran.

Penelitian oleh Hasan Basri, Indria Mayesti, dan Nurdin (2019) dengan
judul “Pengaruh UMP, Inflasi, IPM, dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap
Pengangguran di Provinsi Jambi”. Model analisis data yang digunakan adalah
model regresi berganda dengan menggunakan pendekatan metode kuantitatif dan
kualitatif. Secara simultan UMP, inflasi, IPM dan pertumbuhan ekonomi
berpengaruh signifikan terhadap pengangguran di Provinsi Jambi selama periode
2000-2015. Sedangkan secara parsial diketahui bahwa UMP inflasi, dan IPM
berpengaruh signifikan terhadap pengangguran di Provinsi Jambi, sementara itu
pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh signifikan.
Penelitian oleh Mutiara Shifa (2017) dengan judul “Analisis Pengaruh
Tingkat Inflasi Terhadap Tingkat Pengangguran DiKota Medan”. Model analisis
data yang digunakan adalah model regresi linear sederhana. Dari hasil analisis
estimasi regresi linear sederhana 0.945 > 0.005 membuktikan bahwa tingkat
inflasi adanya pengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap pengangguran.
Dengan hasil estimasi tersebut membuktikan bahwa curva Philips tidak bisa
diterapkan di kota Medan dari tahun 2005 – 2014.

2.8 Kerangka Pemikiran


Tingkat inflasi dapat memiliki hubungan positif atau negatif terhadap
besarnya jumlah pengangguran yang terjadi. Peningkatan pada inflasi akan
menyebabkan peningkatan jumlah pengangguran. Hal ini terjadi sebagai akibat
dari peningkatan pada tingkat inflasi akan menurunkan tingkat investasi ,
Akibatnya jumlah pengangguran meningkat seiring kesempatan kerja yang
rendah. Di samping itu, inflasi juga dapat memberikan pengaruh positif terhadap
jumlah pengangguran. Hal ini terjadi karena didasarkan pada asumsi bahwa inflasi
merupakan cerminan dari adanya kenaikan permintaan agregat. Dengan naiknya
permintaan agregat, berdasarkan teori permintaan, permintaan naik, harga akan
naik pula.
Dengan tingginya harga (inflasi) maka untuk memenuhi permintaan
tersebut produsen meningkatkan kapasitas produksinya dengan menambah tenaga
kerja (tenaga kerja merupakan satu-satunya input yang dapat meningkatkan
output). Akibat dari peningkatan permintaan tenaga kerja maka dengan naiknya
harga-harga (inflasi) pengangguran akan berkurang.
Besaran upah akan mempengaruhi jumlah pengangguran melalui
permintaan dan penawaran tenaga kerja. Besaran upah dapat memiliki hubungan
positif atau negatif terhadap jumlah pengangguran. Hal ini terjadi karena upah
minimum yang diterima adalah upah terendah yang akan diterima oleh pencari
kerja. Hal tersebut akan mempengaruhi seseorang untuk menganggur dalam
waktu tertentu untuk mencari pekerjaan terbaik dan tentunya upah yang tinggi.
Jika tenaga kerja menetapkan upah tertentu sebagai upah minimum yang diterima
dan seluruh upah yang ditawarkan besarnya dibawah besaran upah tersebut maka
seseorang akan menolak mendapatkan upah tersebut. Pada pihak pengusaha,
penetapan upah minimum yang tinggi akan menyebabkan jumlah pengangguran
yang bertambah. Hal ini dikarenakan perusahaan mengambil kebijakan efisiensi
biaya produksi dengan mengurangi tenaga kerja. Besaran yang digunakan untuk
mengukur jumlah pengangguran yang dilakukan adalah dengan besaran upah rata-
rata per propinsi dalam satu tahun.
Penerapan teori kurva phillips digunakan untuk menganalisis
hubungan inflasi dan pengangguran. Menurut kurva phillips peningkatan
inflasi seharusnya mampu mengurangi pengangguran. Berdasarkan data inflasi ,
ump dan pengangguran di Provinsi Riau maka penulis ingin menguji kesesuaian
atau tidaknya teori kurva Philips terhadap data yang diperoleh. Beikut kerangka
pemikiran hipotesis dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.8 dibawah

ini:
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran

(Sumber: Visio 2019)

2.9. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah teori sementara yang kebenarannya masih perlu diuji


setelah peneliti mendalami permasalahan penelitiannya dengan seksama serta
menetapkan anggapan dasar (Arikunto, 2006). Dengan mengacu pada dasar
pemikiran yang bersifat teoritis dan berdasarkan studi empiris yang pernah
dilakukan berkaitan dengan penelitian dibidang ini, maka akan diajukan hipotesis
sebagai berikut :
H1: Diduga terdapat pengaruh antara inflasi terhadap pengangguran di
Provinsi Riau.
H2: Diduga terdapat pengaruh antara pertumbuhan ekonomi terhadap
pengangguran di Provinsi Riau.
H3: Diduga terdapat pengaruh secara bersama-sama antara inflasi dan
pertumbuhan ekonomi terhadap pengangguran di Provinsi Riau.

Anda mungkin juga menyukai