Anda di halaman 1dari 3

NARASI

Panel: Budaya Pendidikan Kita

Akar budaya pendidikan di Tanah Air menjalar panjang sejak masa lampau nan jauh. Padepokan,
peguron (perguruan), dan pesantren tradisional adalah contohnya. Pada masyarakat Hindu Bali
dikenal gurukula yang terinspirasi dari epos Mahabharata dalam pewayangan. Pendidikan
tradisional menekankan ajaran keagamaan dan budi pekerti, tetapi juga pengetahuan lingkungan
alam. Hubungan guru-murid atau kiai-santri sangat erat. Murid atau santri diwajibkan tinggal di
pondokan atau di pesantren yang terpisah dari keluarganya. Melatih kemandirian dan tanggung
jawab dalam menjalani kehidupan.

Pendidikan tradisional mengalami perkembangan seiring perjalanan waktu. Banyak pesantren


tradisional berkiprah dalam pergerakan perjuangan bangsa pada masa penjajahan. Sebagian
pesantren didirikan oleh organisasi pergerakan seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Pelajaran tidak hanya terpaku pada kitab-kitab suci dan bahasa Arab melainkan juga ilmu-ilmu
modern, pendidikan cinta Tanah Air, pembinaan karakter bangsa, dan sebagainya. Pada era
sekarang, santri juga disiapkan menjadi pionir pembangunan.

Panel: Pendidikan Era Kolonial

Kedatangan bangsa Barat ke Nusantara membawa perubahan dalam pendidikan. Portugis


membangun sekolah untuk kepentingan penyebaran agama Nasrani. Kitab Injil diterjemahkan ke
dalam bahasa Melayu dan diajarkan di sekolah-sekolah di Kepulauan Maluku, Minahasa, Flores
dan juga beberapa kota di Jawa.

Menjelang akhir abad ke-19, pemerintah kolonial membuka pendidikan dasar angka siji (angka
satu) berbahasa Belanda untuk anak-anak priyayi pribumi; disusul angka loro (angka dua); dan
terakhir diubah menjadi Hollandsch Inlandsche School. Lulusan angka sidji dapat melanjutkan
ke sekolah menengah pertama Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) dan lanjutan atas
Algemeen Middlebaare School (AMS). Pada awal abad ke-20, pemerintah memberlakukan
Politik Etis dengan program irigasi, emigrasi, dan edukasi. Berbagai sekolah mulai tingkat dasar
hingga pendidikan tinggi didirikan. Efeknya, muncul kaum terpelajar pribumi sebagai elite
modern yang kemudian menjadi motor penggerak pergerakan kebangsaan.

Panel: Pijar yang Memancar

Di alam penjajahan, pijar-pijar kecerdasan anak negeri memancar. Ki Hadjar Dewantara


mendirikan sekolah Taman Siswa di tengah tekanan sistem kolonial. “Pendidikan adalah benteng
pertahanan menuju kemerdekaan dan karena itu harus dipertahankan dari gempuran musuh,”
ungkap Ki Hadjar pantang menyerah. Di Sumatera Barat, Muhammad Sjafei, membentuk
Indonesisch Nederlansche School Kayutanam yang menolak campur tangan penjajah.

Kaum perempuan tak ketinggalan menyalakan api pendidikan. Dewi Sartika di Jawa Barat,
Roehanna Koeddoes dan Rahmah El Yunusiyah di Sumatera Barat mendirikan sekolah khusus
bagi kaumnya agar meraih pendidikan setara dengan kaum lelaki. Raden Ajeng Kartini dikenal
sebagai tokoh emansipasi bagi kaum perempuan. Ia menjadi inspirasi tentang arti penting
pendidikan dan kemandirian perempuan. Srikandi-srikandi cerdas itu mengabdikan hidupnya
bagi kemajuan kaumnya.

Panel: Sekolah Luar Sekolah

Pendidikan Indonesia menumbuhkan sifat partisipatif. Di luar sekolah formal, tumbuh sekolah
alternatif atas inisiatif masyarakat demi mencerdaskan anak-anak yang tidak terserap dalam
pendidikan formal. Sanggar Anak Akar untuk anak-anak pinggiran di Jakarta, Sokola Rimba
anak-anak Suku Anak Dalam di Jambi, Sekolah Masjid Terminal anak-anak dhuafa dan jalanan
di Depok, sekolah darurat di kolong jembatan anak-anak kampung kumuh di Jakarta, dan
Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah anak-anak petani di Salatiga, adalah beberapa contoh
sekolah di luar sekolah yang dibangun masyarakat.

Metode dan sistem pengajaran di sekolah-sekolah alternatif disesuaikan dengan lingkungan


tempat tinggal anak-anak. Melalui sekolah alternatif, anak-anak dari kalangan tidak mampu tetap
dapat mengenyam pendidikan. Sekolah-sekolah itu dibangun sebagai bentuk partisipasi aktif dan
kepedulian masyarakat agar pendidikan untuk semua dan setara, serta mimpi dan cita-cita anak
terwujud.

Layanan Pendidikan Kepercayaan

Inklusivitas pendidikan kita mencakup Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa bagi peserta didik yang menganutnya. Mereka mendapatkan layanan pendidikan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan hak asasinya. Pendidikan untuk
semua, merata dan setara menjadi visi dalam pendidikan ini.

Pendidikan kepercayaan adalah pembelajaran tentang kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa. Peserta didik adalah siswa pendidikan formal jenjang pendidikan dasar dan menengah dan
pendidikan kesetaraan yang menyatakan dirinya sebagai penghayat kepercayaan. Pendidik
memberikan pelajaran pendidikan kepercayaan sesuai dengan ajaran kepercayaan peserta didik.

Panel: Biduk Pendidikan

Sejak proklamasi kemerdekaan negara Republik Indonesia, dibentuk institusi untuk mengelola
dan mengembangkan pendidikan yang disesuaikan dengan tujuan pendidikan nasional. (Petik
secara ringkas dari Pendahuluan buku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia).

Panel: Nakhoda Pendidikan

Sejak kemerdekaan hingga sekarang, kita memiliki 37 Menteri Pendidikan dengan variasi
berbagai sebutan. Para menteri adalah nakhoda utama yang melayarkan biduk pendidikan dalam
upaya mengarungi lautan pengetahuan di Tanah Air. Setiap menteri mengembangkan kebijakan
sesuai dengan tantangan zamannya. Apa pun kebijakan para menteri, semua bermuara pada satu
tujuan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Panel: Pencapaian

Indonesia memiliki sangat banyak generasi unggul yang cerdas. Pencapaian prestasi mereka
tampak dalam berbagai kompetisi baik di negeri sendiri maupun di mancanegara. Beberapa di
antaranya adalah (sebutkan beberapa pelajar yang memenangkan lomba, olimpiade, dsb.)
Mereka adalah suar-suar kecerdasan anak bangsa yang akan terus membawa kemajuan dan
kejayaan negeri ini.

Panel: Epilog

Era digital tengah bergerak tanpa tahu ujungnya. Tantangan dunia pendidikan kini dan ke depan
adalah merespons disrupsi teknologi. Pendidik, anak didik, kurikulum, dan infrastruktur
pendidikan dihadapkan pada kemajuan teknologi tanpa harus kehilangan jati diri dan karakter
sebagai bangsa Indonesia. Pendidikan yang berkeadilan dan berbasis pada digital atau teknologi
menyongsong di muka.

Kemajauan ilmu komputer memungkinkan mesin ini mengambil alih peran atau pekerjaan
manusia melalui kecerdasan buatan dan mesin pembelajar. Pada saat yang bersamaan, dunia
pendidikan tetap dan terus dituntut menyiapkan sumber daya manusia berkualitas yang tidak
tergantikan oleh mesin. Filosofi Ki Hadjar Dewantara yakni ing ngarsa sung tuladha, ing madya
mangun karsa, tut wuri handayani—di depan memberi panutan, di tengah memberi semangat, di
belakang memberi dorongan—ditantang menjawab kemajuan teknologi dan revolusi industri 4.0
dalam dunia pendidikan Indonesia kini dan esok.

Anda mungkin juga menyukai