Anda di halaman 1dari 38

DEGRADASI KANDUNGAN C-ORGANIK DAN

HARA MAKRO PADA LAHAN SAWAH DENGAN


SISTEM PERTANIAN KONVENSIONAL

Oleh

I Wayan Diara

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya sehingga
penelitian ini dapat dilaksanakan. Penelitian yang berjudul Degradasi Kandungan C-organik dan
Hara Makro pada Lahan Sawah dengan Sistem Pertanian Konvensional telah dilakukan dengan
tujuan untuk mengetahui seberapa besar terjadinya degradasi/penurunan kandungan C-organik
dan unsur hara makro (N-total, P-tersedia, K-tersedia) pada lahan sawah yang secara terus
menerus dikelola secara konvensional. Hal ini dilatarbelakangi oleh terjadinya penurunan
produksi pada lahan-lahan padi sawah selama beberapa dekade terakhir sebagai akibat
penggunaan sarana produksi terutama pupuk dan pestisida kimiawi. Selain itu juga untuk
mendapat gambaran mengenai ketersediaan unsur hara utama bagi tanaman padi sawah, sehingga
upaya perbaikan kesuburan tanah dan nutrisi tanaman serta peningkatan produksi tanaman padi
sawah dapat dijamin keberkelanjutannya.
Pada laporan ini disajikan kandungan C-organik, N-total, P-tersedia, dan K-tersedia, yang
merupakan indikator utama penentu tingkat kesuburan untuk mendukung pertumbuhan dan
produkasi tanaman. Kandungan dan ketersediaan unsur-unsur tersebut dibandingkan pada dua
sistem pertanian konvensioanal dan pertanian organik.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Prodi Agroekoteknologi atas
dukungan dan memberikan izin untuk melaksanakan penelitian ini, walaupun dengan dana
sendiri. Kepada pihak-pihak lain yang memberikan dukungan bantuan bagi pelaksanaan
penelitian ini kami ucapkan banyak terimakasih.

Denpasar, 5 Juli 2017

Penulis

i
ABSTRAK

Penggunaan sarana produksi seperti pupuk dan pestisida kimia pada pengelolaan padi
sawah dengan sistem pertanian konvensional pada awalnya telah mampu meningkatkat produksi.
Namun pada beberapa decade terakhir produktivitas lahan padi sawah disinyalir menurun dan
terjadi kerusakan lingkungan sebagai akibat terjadinya degradasi kandunga C-organik dan hara
makro. Penelitian tentang Degradasi Kandungan C-organik dan Hara Makro pada Lahan Sawah
dengan Sistem Pertanian Konvensional telah dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
seberapa besar terjadinya degradasi/penurunan kandungan C-organik dan hara utama pada lahan
sawah yang secara terus menerus dikelola secara konvensional. Penelitian ini dilakukan di Subak
Jatiluwih, Penebel, Tabanan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kandungan C-organik tanah pada lahan sawah
dengan sistem pertanian organik selama 7 tahun aplikasi tergolong tinggi (3,225 %), sedangkan
pada pertanian konvensional tergolong sedang (2,267 %). Kandungan unsur hara makro (N-
total, P-tersedia, dan K-tersedia) dalam tanah pada lahan sawah dengan sistem pertanian organik
selama 7 tahun aplikasi berturut-turut tergolong sedang (0,237 %), rendah (13,445 ppm) dan
sedang (157,495 ppm), sedangkan pada pertanian konvensional tergolong rendah (0,184 %),
sangat rendah (7,623 ppm dan rendah (129,050 ppm). Besarnya penurunan atau degradasi
kandungan C- organik, unsur hara makro (N-total, P-tersedia dan K-tersedia) yang terjadi pada
sistem pertanian konvensional berturut-turut 29,71 %, 22,36 %. 43,30 % dan 19,97 %.

Perlu dilakukan penelitian tentang pemberian berbagai jenis pupuk organik yang
dikombinasikan dengan pupuk anorganik pada lahan padi sawah untuk mengkaji penurunan
penggunaan pupuk kimia pada lahan padi sawah dalam mendukung pertanian berkelanjutan.

Kata kunci : C-organik, unsur hara makro, pertanian konvensional

ii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL ………………………………………………………………...

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………. i

ABSTRAK ……………………………………………………………………………… ii

DAFTAR ISI …………………………………………………………………………… iii

DAFTAR TABEL … ………………………………………………………………….. v

BAB I. PENDAHULUAN …………………………………………………………. 1


1.1 Latar Belakang ………………………………………………………… 1
1.2 Perumusan Masalah ............................................................................... 4
1.3 Tujuan penelitian .................................................................................... 5
BAB II. STUDI PUSTAKA …………………………………………………............ 6
2.1 Sistem Pertanian Organik dan Konvensional ………………………… 6
2.2 Pengangkutan C-organik dan Unsur Hara ……………………………. 10
2.3 Karbon Organik Tanah ………………………………………………… 15
2.4 Kebutuhan Unsur Hara Tanaman ……………………………………… 18
BAB III. METODE PENELITIAN …………………………………………………… 20
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian …………………………………………. 20
3.2. Ruang Lingkup Penelitian …………………………………………….. 21
3.3. Bahan dan Alat Penelitian …………………………………………….. 21

BAB IV. HASIL PENELITIAN ………………………………………………………. 22


4.1. Kandungan Karbon (C) Organik Tanah …………………………….. 23
4.2. Kandungan N-total Tanah ………………………………………….. 23
4.3. Kandungan P-tersedia dalam Tanah …………………………………
24
4.4. Kandungan K-tersedia dalam Tanah ………………………………
24

iii
BAB V. PEMBAHASAN …………………………………………………………… 25

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………………….. 28


6.1 Kesimpulan ……………………………………………………………. 28
6.2 Saran …………………………………………………………………… 28

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………….. 30

iv
DAFTAR TABEL

Halaman

No Judul
2.1 Unsur hara makro yang diangkut/dipindahkan oleh tanaman padi unggul ….. 11

2.2 Unsur hara mikro yang diangkut/dipindahkan oleh tanaman padi unggul ……. 11

2.3 Unsur hara makro yang diangkut/dipindahkan oleh tanaman padi unggul
dengan pemupukan dan tanpa pupuk N …………………………………….. 12

2.4 Kebutuhan hara N, P, K bedasarkan analisis tanah ………………………… 12

2.5 Estimasi jumlah enam hara penting yang diangkut dari tanah dan disimpan
dalam biji kedelai ……………………………………………………………... 14

2.6 Estimasi jumlah enam hara penting yang diangkut dari tanah dan disimpan
dalam bagian vegetatif tanaman (bukan biji) di atas tanah …………………… 14

4.1 Kadar C-organik, N-total, P-tersedia dan K-tersedia tanah pada lahan sawah
dengan sistem organik dan konvensional di Subak Jatiluwih, Penebel,
Tabanan ………………………………………………………………………. 22

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Selama tiga dasa warsa terakhir pada umumnya petani menggunakan

input (pupuk dan pestisida) kimia secara berlebihan untuk meningkatkan

produksi pertanian. Pengelolaan lahan pertanian yang selama ini dilakukan

dengan sistem pertanian konvensional berakibat pada degradasi lahan dan

ekosistem. Kenyataannya penggunaan sistem konvensional memberikan

produksi gabah yang cukup tinggi secara cepat karena penggunaan input (pupuk

dan pestisida) kimia yang banyak, sementara penambahan bahan organik sangat

sedikit atau hampir tidak ada sama sekali, disamping benih unggul berdaya hasil

tinggi. Namun tanpa disadari akan terjadi penurunan kandungan unsur hara dan

simpanan C-organik tanah sangat rendah, sehingga pada akhirnya produktivitas

lahan dan produksi tanaman padi tidak dapat dipertahankan secara

berkelanjutan.

Pada lahan sawah yang dikelola secara konvensional biasanya

diusahakan komoditas padi sawah dan palawija seperti kedelai. Degradasi

kandungan C-organik tanah dan unsur hara utama dari dalam tanah oleh

tanaman padi (Oryza sativa L.) dapat terjadi melalui pengangkutan hara

(nutrient removal ) terutama penggunaan varietas unggul. Pillai (1985)

melaporkan bahwa varietas unggul yang umumnya menghasilkan 5 t/ha gabah,

umumnya dapat mengangkut hara tanah sekitar 110 kg N, 34 kg P2O5, 156 kg

1
K2O, 23 kg MgO, 20 kg CaO, 5 kg S, 2 kg Fe, 2kg Mn, 200 g Zn, 150 g Cu, 150

g B, 250 kg Si and 25 kg Cl per ha. Pemindahan terutama Si dan K2O sangat

besar jika malai dan jerami diangkut dari lahan pada saat panen. Namun, jika

hanya gabah yang dipanen dan jerami dibenamkan kedalam tanah,

pengangkutan Si dan K2O dapat dikurangi, meskipun N dan P2O5 masih tetap

diangkut. Hasil penghitungan Datta (1989) di Filipina menunjukkan bahwa

varietas padi IR 36 mengangkut lebih banyak unsur K dan N (unsur makro)

serta Fe dan Mn (unsur mikro) dibandingkan unsur lainnya (Datta, 1989).

Selain tanaman padi, tanaman kedelai (Glycine Max Merr)

membutuhkan unsur hara utama (esensial) yaitu N, P dan K.Sementara unsur

hara lainnya adalah kalcium (Ca), magnesium (Mg), iron (Fe), boron (B),

mangan (Mn), zinc (Zn), copper (Cu), and molybdenum (Mo) yang dibutuhkan

dalam konsentrasi lebih sedikit dan hanya terbatas pada lingkungan tertentu.

Kebutuhan akan unsur hara tergantung pada stadia pertumbuhan kedelai.

Sejalan dengan makin banyaknya biomas yang diakumulasikan, makin banyak

hara yang dibutuhkan untuk mendukung meningkatnya pertumbuhan.

Kebutuhan maksimum adalah selama periode pengisian biji. Oleh karena

kedelai mengandung protein yang tinggi, kebutuhan akan N luar biasa tinggi

selama pembentukan biji (Iowa State University, 2009). Selama

pertumbuhannya unsur hara diserap dari tanah dan dari proses fiksasi; tetapi

pada akhir masa pertumbuhannya banyak unsur hara juga di remobilisasi dari

jaringan tua untuk mendukung perkembangan biji.

2
Kedua jenis komoditas tersebut diatas sangat besar perannya dalam

mempercepat terjadinya degradasi kandungan C-organik dan hara utama pada

lahan sawah yang dikelola secara pertanian konvensional. Namun demikian

berbagai upaya telah untuk mengatasi masalah degradasi lahan pertanian, yaitu

dengan penerapan sistem pertanian organik. Karana pertanian organik berperan

secara luas bagi sistem produksi pertanian secara berkelanjutan (Hsieh, 2005).

Sebagaimana diketahui bahwa sistem pertanian organik adalah sistem yang

sepenuhnya menggunakan input (terutama pupuk dan pestisida) organik,

sementara sistem konvensional menggunakan input kimia dan hampir tidak

menggunakan input organik. Dalam sistem pertanian organik, C-organik

meningkat selain karena penambahan pupuk organik juga karena sisa tanaman,

respirasi mikroba tanah dan juga karena simpanan C-organik akibat sekuestrasi

C atmosfer. Oleh karena itu pertanian organik juga meningkatkan potensi

sekuestrasi C tanah (Booshan and Prasad, 2011) karena dapat mempengaruhi

agronomi, fisiologi dan perbaikan efisiensi N, P dan K tanah (Rahman, 2013).

Pada sistem pertanian organik, C-organik tanah yang meningkat dapat

membantu keberlanjutan kesuburan tanah, melindungi kualitas tanah dan air

yang terkait dalam siklus hara, air dan biologi (Lal, 2004), di samping

merupakan indikator kunci dari kualitas tanah dan keberlanjutan sistem

pertanian karena mempunyai peranan penting dalam mempengaruhi kualitas

fisik dan produktivitas tanah (Komatsuzaki dan Ohta, 2007).

3
Untuk menjaga ketersediaan kandungan C-organik yang cukup dalam

tanah, selalu dilakukan evaluasi cadangan atau simpanan C-organik tanah baik

pada sistem pertanian organik maupun konvensional, karena dengan demikian

dapat diketahui perubahan yang terjadi pada kualitas tanah sebagai respon

terhadap praktek pengelolaan pertanian (Ikemura dan Shukla, 2009). Simpanan

C-organik tanah (soil organic carbon storage) dapat menjadi suatu ukuran bagi

sekuestrasi C di dalam tanah (Huang et al., 2010). Di samping berat:volume

dan kandungan C-organik tanah, kedalaman tanah juga menentukan besar

sekuestrasi atau simpanan C-organik tanah (Komatsuzaki and Syuaib, 2010).

Sementara itu penelitian dan data tentang degradasi kandungan C-organik

tanah dan unsur hara makro (N-total, P-tersedia, K-tersedia) pada lahan padi

sawah, baik yang dikelola dengan sistem pertanian organik maupun pertanian

konvensional di Bali belum banyak tersedia. Oleh karena itu, penelitian tentang

degradasi kandungan C-organik dan unsur hara makro tanah, terutama pada

lahan sawah dengan sistem organik dan konvensional, perlu dilakukan terutama

lahan padi sawah yang dibudidayakan dengan sistem pertanian konvensional.

1.2 Perumusan Masalah

Masalah yang diteliti adalah kandungan C-organik dan beberapa unsur

hara utama tanah di sentra pengembangan komoditas tanaman padi sawah.

Sampai saat ini gambaran tentang kandungan C-organik dan kandungan unsur

hara makro tanah di lahan-lahan komoditas unggulan tanaman padi sawah di

Bali belum tersedia. Perbaikan kesuburan tanah pada lahan sawah dilakukan

4
melalui pemupukan berdasarkan rekomendasi umum sehingga potensi hasil

tanaman dan produktivitas lahan sawah belum tercapai secara maksimal.

Keadaan ini disebabkan oleh karena penelitian melalui analisis kandungan C-

organik dan unsur hara makro/utama tanah di wilayah pengembangan

komoditas padi sawah belum dilakukan secara maksimal.

1.3 Tujuan penelitian

Urgensi (keutamaan) penelitian dan potensi hasil yg bisa didapat

Mendata kandungan C-organik dan beberapa unsur hara makro (N-total,

P-tersedia, K-tersedia) tanah di sentra pengembangan komoditas tanaman padi

sawah di Subak Jatiluwih, Penebel, Tabanan. Potensi hasil yang diperoleh

adalah tersedianya data kandungan C-organik beberapa unsur hara makro/utama

(N-total, P-tersedia, K-tersedia) tanah di sentra pengembangan komoditas

tanaman padi sawah yang dapat digunakan sebagai dasar pengelolaan lahan

sawah secara berkelanjutan di Bali.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Pertanian Organik dan Konvensioanl

Perhatian terhadap usaha memenuhi kebutuhan pangan di Indonesia,

penerapan teknologi revolusi hijau mampu memberikan dampak positif

terhadap peningkatan produksi pangan nasional. Sesungguhnya melalui

penerapan teknologi revolusi hijau yang pada dasarnya ditujukan untuk

memenuhi kebutuhan permintaan produk pertanian yang semakin meningkat, di

dalamnya terkandung sistem pertanian konvensional (Cong Tu el al., 2006).

Dengan penerapan teknologi revolusi hijau yang ditandai oleh introduksi

varietas unggul yang memiliki respon tinggi terhadap pemupukan dan irigasi.

Indonesia berhasil meraih swasembada beras tahun 1984. Selanjutnya disadari

bahwa penerapan revolusi hijau memiliki beberapa dampak negatif, antara lain

terdapat kecenderungan penggunaan input yang tinggi, terutama pupuk dan

pestisida. Penggunaan kedua input tersebut ternyata telah mencemari sumber

daya lahan, tanah dan lingkungan. Berdasarkan pengalaman penerapan revolusi

hijau tersebut, maka pembangunan pertanian ke depan diperlukan reorientasi

pendekatan, terutaman dalam pengembangan sistem produksi padi dan tanaman

pangan umumnya. Salah satu di antaranya adalah dengan cara kembali

menerapkan sistem pertanian organik yang sudah dikenal dan dilaksanakan

sejak jaman dulu kala oleh petani.

6
Terkait dengan pengertian dan persepsi berbagai pihak tentang pertanian

organik masih cukup beragam. Banyak batasan yang dikemukakan, namun

secara sederhana pertanian organik adalah cara dan sistem budidaya pertanaman

yang hanya atau mengutamakan menggunakan bahan-bahan alami (organik) dan

tidak menggunakan atau membatasi penggunakan input kimia (anorganik)

berupa pupuk dan pestisida (Irsal et al., 2006). Selanjutnya dikemukakan pula

bahwa paling tidak terdapat dua alasan yang melatarbelakangi pengembangan

pertanian organik di Indonesia, yang pertama adalah keprihatinan berbagai

kalangan, baik kalangan nasional maupun internasional terhadap keamanan

pangan, kondisi lingkungan, kesehatan, dan kesejahteraan petani, sedangkan

yang kedua adalah terjadinya degradasi fisik dan kimia sebagian lahan, terutama

lahan sawah. Konsep pertanian organik yang dikemukakan Lotter et al. (2003)

yaitu memanfaatkan proses alami di dalam lingkungan untuk mendukung

produktivitas pertanian. Berbagai komponen yang digunakan dalam sistem

tersebut antara lain menggunakan jenis tamanan legume untuk mengikat

nitrogen ke dalam tanah, untuk menanggulangi hama dan penyakit tanaman

digunakan predator, untuk mengembalikan kondisi tanah dan mencegah

terjadinya penumpukan hama digunakan sistem rotasi tanaman. Demikian pula

dalam mengendalikan hama dan penyakit dapat dimanfaatkan mulsa, sedangkan

dalam pengembalian kondisi tanah dapat digunakan bahan alami sebagai bahan

pupuk dan pestisida.

Aplikasi pertanian organik memiliki standar baik yang berlaku secara

nasional maupun internasional. Oleh karena itu produk pertanian organik

7
dilengkapi dengan sertifikat organik yang menandakan bahwa produk pertanian

tersebut diproduksi melalui proses yang mengikuti standar operasional baku

pertanian organik (Scow et al., 1994). Pada kenyataanya untuk beralih dari

pertanian konvensional menjadi pertanian organik diperlukan waktu beberapa

tahun. Sistem pertanian organik akan diawasi secara terus menerus oleh

lembaga sertifikasi (Steven et al., 1994). Hal ini ditujukan untuk menjamin

bahwa produksi yang dihasilkan dapat dipertahankan kualitasnya. Produk dari

sistem pertanian organik memiliki harga jauh lebih mahal daripada produk

sistem konvensional (Lotter, 2003). Kenyataan tersebut juga berlaku untuk

produk pertanian organik di tingkat petani maupun di pedagang/distributor.

Pertanian konvensional merupakan sistem pertanian yang ditujukan

untuk memperoleh produksi pertanian secara maksimal, dimana dalam sistem

pertanian ini digunakan teknologi modern, yang tidak memperhitungkan

keamanan pangan dan pencemaran lingkungan (Seufert et al., 2012). Dijelaskan

pula bahwa pada pertanian konvensional penggunaan bahan agrokimia seperti

pupuk anorganik, pestisida sintesis dan zat perangsang tumbuh, organisme hasil

rekayasa genetika, dan sistem manajemen penanggulangan hama secara terpadu

merupakan teknologi budidaya pertanian yang umum dijumpai pada sistem

pertanian tersebut. Kegiatan sistem pertanian konvensional yang tidak

terkontrol dengan baik akan mempercepat terjadinya degradasi lahan yang pada

gilirannya juga akan mengakibatkan terjadinya penurunan produksi.

8
Pertanian konvensional telah bekerja dalam sistem pangan global

untuk memenuhi pangan masyarakat perkotaan di dunia melalui kehadiran

praktek pertanian secara menyeluruh untuk menjadi apa yang sekarang dikenal

sebagai industri pertanian (Fraser et al., 2005). Pertanian intensif yang menjadi

ciri khas pertanian konvensional menggunakan jumlah tenaga kerja dan bahan

kimia per satuan luas yang lebih tinggi daripada praktek pertanian lainnya.

Namun, bentuk pertanian konvensional dan penggunaan mekanik pertanian

yang intensif ini membutuhkan energi sangat tinggi yang membutuhkan bahan

bakar fosil untuk menyalakan mesin yang memungkinkan untuk usaha pertanian

dalam skala besar (Pimentel et al., 1973; Pimentel et al., 2005). Selanjutnya

Crews dan Peoples (2004) juga mengemukakan bahwa salah satu definisi

pertanian konvensional adalah penggunaan tenaga kerja dalam pengunaan

pupuk konvensional. Pupuk konvensional diterapkan dalam berbagai standar

rasio NPK untuk aplikasi pada tanaman. Aplikasi pupuk ke tanah menyediakan

nutrisi baru secara efektif menghilangkan pertimbangan strategi jangka panjang

untuk mempertahankan dan mengisi hara tanah dan karbon organik tanah.

Pemupukan juga merupakan salah satu perhatian utama yang harus

dipertimbangkan pada pertanian konvensional. Emisi metana dan dinitrogen

oksida masing-masing merupakan emisi GRK paling penting kedua dan ketiga

setelah karbon dioksida (IPCC, 2007), dan emisi tersebut dari bidang pertanian

telah sangat meningkat dengan aplikasi pupuk berbasis amonium. Masalah

lingkungan yang muncul dari penggunaan pupuk konvensional menyoritas

pemisahan antara industri pertanian intensif dan merawat proses ekosistem

9
alami. Misalnya, pupuk konvensional digunakan untuk memberikan jumlah

nutrisi yang melimpah dalam bentuk biokimia yang tersedia, tetapi skala di

mana pupuk diterapkan ditambah dengan siklus air alami telah menyebabkan

muatan nutrisi melalui limpasan yang masuk ke dalam sistem air (Goetz dan

Zilberman, 2000).

2.2. Pengangkutan C-organik dan Unsur Hara

Beberapa proses yang dapat menyebabkan terjadinya kehilangan C-

organik dari dalam tanah dapat melalui (a) respirasi tanah, (b) respirasi

tanaman, (c) terangkut panen, (d) dipergunakan oleh biota, dan (e) erosi. Siklus

karbon di dalam tanah meliputi konversi karbon dioksida atmosfer menjadi

material tanaman melalui proses fotosintetsis diikuti oleh dekomposisi sisa-sisa

tanaman dan binatang ke dalam tanah. Selama proses dekomposisi, transformasi

karbon difasilitasi oleh aktivitas mikroba, oksidasi karbon menjadi karbon

diokasida yang selanjutnya dikembalikan ke atmosfer. Beberapa karbon

kemungkinan selanjutnya diasimilasikan oleh tanaman sebagai ion karbonat dan

bikarbonat atau terangkut dari dalam tanah bahkan sampai ke laut. Setiap

tahun, pergerakan karbon dalam jumlah besar dan terjadi perubahan dari satu

fase ke fase lainnya pada siklus di dalam tanah termasuk pergerakan 10 %

karbon dari tanaman dan 5% karbon dari bahan organik tanah (McLaren dan

Cameron, 1996).

Varietas unggul yang umumnya menghasilkan 5 t/ha gabah, umumnya

dapat mengangkut hara tanah sekitar 110 kg N, 34 kg P 2O5, 156 kg K2O, 23 kg

10
MgO, 20 kg CaO, 5 kg S, 2 kg Fe, 2kg Mn, 200 g Zn, 150 g Cu, 150 g B, 250

kg Si and 25 kg Cl per ha (Pillai, 1985) . Pemindahan terutama Si dan K2O

sangat besar jika malai dan jerami diangkut dari lahan pada saat panen. Namun,

jika hanya gabah yang dipanen dan jerami dibenamkan kedalam tanah,

pengangkutan Si dan K2O dapat dikurangi, meskipun N dan P2O5 masih tetap

diangkut. Hasil penghitungan Datta (1989) di Filipina menunjukkan bahwa

varietas padi IR 36 mengangkut lebih banyak unsur K dan N (unsur makro)

serta Fe dan Mn (unsur mikro) dibandingkan unsur lainnya (Datta, 1989) (Tabel

2.1 dan 2.2).

Tabel 2.1
Unsur hara makro yang diangkut/dipindahkan oleh tanaman padi unggul
Unsur hara makro yang diangkut
Bagian tanaman kg/ton gabah
N P2O5 K2 O MgO CaO S
Jerami 7,6 1,1 28,4 2,3 3,80 0,34
Gabah 14,6 6,0 3,2 1,7 0,14 0,60
Total 22,2 7,1 31,6 4,0 3,94 0,94
*Sumber: Dihitung dari S.K. Datta, 1989. Data dihitung dari data pengangkutan hara
pada var. IR 36 pada level hasil 9,6 t/ha gabah dan 8,3 t/ha jerami (di Filipina).

Tabel 2.2
Unsur hara mikro yang diangkut/dipindahkan oleh tanaman padi unggul
Unsur hara mikro yang diangkut
Bagian tanaman g/ton gabah Kg/ton gabah
Fe Mn Zn Cu B Si Cl
Jerami 150 310 20 2 16 41,9 5,5
Gabah 200 60 20 25 16 9,8 4,2
Total 350 370 40 27 32 51,7 9,7
*Sumber:Dihitung dari S.K. Datta, 1989. Data dihitung dari data pengangkutan hara
pada var. IR 36 pada level hasil 9,6 t/ha gabah dan 8,3 t/ha jerami (di Filipina).

11
Tabel 2.3
Unsur hara makro yang diangkut/dipindahkan oleh tanaman padi unggul
dengan pemupukan dan tanpa pupuk N

Unsur hara makro yang diangkut


Pemupukan N kg/ton gabah
Hasil (t/ha) Bag. N P2O5 K2 O S
Tanaman
Tanpa N Gabah: 3,4 Jerami 18 4,6 71 0,8
Jerami: 2,8 Gabah 34 22,9 12 1,0
Total 52 27,5 83 1,8
174 kg N/ha Gabah: 9,8 Jerami 75 11,5 278 3,3
Jerami: 8,2 Gabah 143 59,5 31 4,9
Total 218 71,0 309 8,2
*Sumber: S.K. Datta, 1987. Varietas IR 36 pada Lahan petani, di Laguna, Filipina,
musim kemarau.

Tabel 2.4
Kebutuhan hara N, P, K bedasarkan analisis tanah

Total N (%) Kebutuhan N


<0,1 Tinggi
0,1-0,2 Sedang
>0,2 Rendah
N tersedia (ppm) Kebutuhan N
50-100 Tinggi
100-200 Sedang
>200 Rendah
P-tersedia (Olsen, ppm) Kebutuhan P
<5 Tinggi
5-10 Sedang
>10 Rendah
K dapat ditukar (me/100g) Kebutuhan K
>0,2 Rendah
*Sumber: S.K. Datta, 1987. Varietas IR 36 pada Lahan petani, di Laguna, Filipina,
musim kemarau.

Kedelai (Glycine Max Merr) membutuhkan lebih banyak nitrogen

dibandingkan jagung, dan kedelai dapat memfiksasi N sampai 50% (Iowa State

University, 2009). Jika unsur hara terbatas, proses-proses seperti pengangkutan

12
air, fotosintesis dan produksi protein, minyak, dan karbohidrat tidak terjadi

dengan laju yang memadai dan pertumbuhan serta perkembangan hasil

menurun.

Unsur N, P dan K adalah unsur hara esensial yang dibutuhkan kedelai.

Hara lainnya adalah kalcium (Ca), magnesium (Mg), iron (Fe), boron (B),

mangan (Mn), zinc (Zn), copper (Cu), dan molybdenum (Mo) yang dibutuhkan

dalam konsentrasi lebih sedikit dan hanya terbatas pada lingkungan tertentu.

Kebutuhan akan unsur hara tergantung pada stadia pertumbuhan kedelai.

Sejalan dengan makin banyaknya biomas yang diakumulasikan, makin banyak

hara yang dibutuhkan untuk mendukung meningkatnya pertumbuhan.

Kebutuhan maksimum adalah selama periode pengisian biji. Oleh karena

kedelai mengandung protein ynag tinggi, kebutuhan akan N luar biasa tinggi

selama pembentukan biji (Iowa State University, 2009). Selama

pertumbuhannya unsur hara diserap dari tanah dan dari proses fiksasi; tetapi

pada akhir masa pertumbuhannya banyak unsur hara juga di remobilisasi dari

jaringan tua untuk mendukung perkembangan biji (Tabel 2.5 dan 2.6).

13
Tabel 2.5
Estimasi jumlah enam hara penting yang diangkut dari tanah
dan disimpan dalam biji kedelai

Jumlah hara dalam biji kedelai pada tingkat


hasil :
Hara Konsentrasi 2 t/ha (30 3,4 t/ha (50 4,7 t/ha (70
bushels/acre) bushels/acre) bushels/acre)

0,012 kg/liter 1,134 kg/ha (pounds/acre)


(pounds/bushel)
Nitrogen 4,20 126 210 294
Fosforus 0,40 12 20 28
Kalium 1,25 38 63 88
Kalsium 0,20 6 10 14
Magnesium 0,23 7 11 16
Sulfur 0,20 6 10 14
*Sumber: www.psu.missouri.edu/soyx)

Tabel 2.6

Estimasi jumlah enam hara penting yang diangkut dari tanah dan disimpan
dalam bagian vegetatif tanaman (bukan biji) di atas tanah.

Jumlah hara dalam brangkasan kedelai pada


tingkat hasil:

Hara Konsentrasi 2 t/ha (30 3,4 t/ha (50 4,7 t/ha (70
bushels/acre) bushels/acre) bushels/acre)
0,012 kg/liter 1,134 kg/ha (pounds/acre)
(pounds/bushel)
Nitrogen 1,30 39 65 91
Fosforus 0,13 4 7 9
Kalium 0,75 23 38 53
Kalsium 1,50 45 75 105
Magnesium 0.22 7 11 15
Sulfur 0.25 8 13 18
*Sumber: www.psu.missouri.edu/soyx)

14
2.3 Karbon Organik Tanah

Sebagai sumber karbon di dalam tanah, terdapat 3 (tiga) kantong utama

pemasok karbon, yaitu : (a) tajuk tanaman pohon dan tanaman semusim yang

masuk sebagai serasah dan sisa panen; (b) akar tanaman, melalui akar-akar yang

mati, ujung-ujung akar, eksudasi akar dan respirasi akar; (c) biota. Serasah dan

akar-akar mati yang masuk ke dalam tanah akan segera dirombak oleh biota

heterotrop, dan selanjutnya memasuki kantong bahan organik tanah.

Tingkat karbon organik tanah dalam ekosistem dikendalikan oleh

berbagai faktor, yaitu iklim, tanah, vegetasi dan waktu dan dapat mencapai

tingkat ekuilibrium dalam kondisi lingkungan tertentu (keseimbangan

lingkungan). Seiring dengan waktu, perubahan dalam penyimpanan karbon

organik tanah (SOC) dikendalikan oleh keseimbangan antara input dan

kehilangan karbon (kehilangan melalui mineralisasi karbon dioksida, dan

erosi). Perbedaan antara karbon organik tanah pada tingkat keseimbangan

lingkungan dan tingkat kehilangan saat ini adalah penyerapan karbon organik

tanah potensial, yaitu, C potensial, karena secara teoritis jumlah ini dapat

dikembalikan ke tanah (Chan et al., 2008). Tingkat karbon organik (SOC) di

tanah sangat tergantung pada praktek-praktek manajemen yang mempengaruhi

input serta kehilangan bahan karbon, yaitu produksi primer bersih, kualitas

residu organik, manajemen residu (misalnya pembakaran, pemasukan),

pengelolaan tanah (misalnya persiapan lahan) dan pengelolaan ternak.

15
Perbandingan relatif karbon dengan nitrogen dan fosfor dalam bahan

organik pada tanah mineral adalah dengan rasio 110:9:1 menurut berat.

Misalnya, setiap 1 ton simpanan C dapat menyimpan 100 kg N sehingga

penambahan akumulasi C dalam tanah akan memberi keuntungan bagi

penambahan simpanan nitrogen (Allison, 1973). Selanjutnya Blair et al. (1995)

menyatakan bahwa karbon tanah telah umum ditetapkan sebagai indikator

keberlanjutan sistem pertanian dan perubahannya dapat terjadi melalui jumlah

total karbon, cadangan karbon karbon dan aktif (labil).

Total karbon merupakan jumlah karbon yang berasal dari karbon organik

dan karbon anorganik. Karbon organik berada pada fraksi bahan organik tanah,

sedangkan karbon anorganik terutama ditemukan pada mineral karbonat.

Cadangan karbon disimpan dalam 3 komponen pokok, yaitu (a) biomasa

merupakan bagian dari vegetasi yang masih hidup, (b) nekromasa merupakan

bagian dari vegetasi yang telah mati, dan (c) bahan organik tanah merupakan

sisa mahluk hidup yang talah mengalami pelapukan baik sebagian maupun

seluruhnya dan telah menjadi bagian dari tanah (Hairiah, et al., 2011).

Karbon labil tanah (fraksi labil) terdiri dari bahan yang mudah

didekomposisi, dengan umur berkisar dari beberapa hari sampai beberapa tahun.

Komponen bahan organik tanah labil terdiri dari 3 (tiga) kelompok, yaitu : (a)

bahan yang paling labil adalah bagian seluler tanaman, hama/binatang seperti

karbohidrat, asam amino, peptida, gula-amino, dan lipida, (b) bahan yang agak

lambat didekomposisi seperti malam (waxes), lemak, resin, lignin dan

16
hemiselulosa, dan (c) biomasa dan bahan metabolis dari mikrobia (microbial

biomass ) dan bahan residu recalcitrant lainnya (Blair et al., 1995).

Fraksi labil berperanan sangat penting dalam mempertahankan kesuburan

tanah yaitu sebagai sumber hara tanaman karena komposisi kimia bahan asalnya

dan tingkat dekomposisinya yang cepat. Karbon labil meliputi cadangan yang

lebih besar dibandingkan dengan biomasa mikroba itu sendiri, dan ditemukan

pada sampel tanah pada bagian dalam profil tanah bersifat mobil dan

bertanggungjawab dalam proses denitrifikasi dan methonogenesis (Blair et al.,

1995). Karbon labil menentukan ada tidaknya perubahan tingkat kelabilan

karbon tanah yang diduga dengan waktu paruh, yang menjadi salah satu

pengukur keberlanjutan sistem pertanian (Blair et al., 1995).

Terkait dengan perubahan yang terjadi di dalam tanah akibat pengelolaan

lahan, Sparling (1992) menyatakan bahwa dapat digunakan sebagai indikator

yang akurat adalah ukuran dan aktivitas mikroba. Pada proses aktivitas mikroba

tanah, karbon dan nitrogen hasil mikroba membantu proses seperti mineralisasi

dan immobilisasi yang secara nyata berpengaruh terhadap fungsi dan kesuburan

tanah, perubahan C global, dan siklus bahan organik tanah. Biomasa mikroba

ini digunakan sebagai bagian dari cadangan bahan organik tanah, dan menjadi

indikator penting bagi perubahan bahan organik dibanding kadar total karbon

organik, karena biomasa mikroba memiliki pengembalian relatif antara 1-2

tahun (Blair et al., 1995). Indeks yang sesuai dan penakar penting untuk

memonitoring perubahan bahan organik tanah sebagai akibat dari pengelolaan

17
lahan adalah karbon mikroba (Cmic), dan mikroba quotient (Cmic/Corg). Mikroba

quotion yaitu karbon mikroba dibagi C-organik tanah (Sparling, 1992).

Perubahan nilai mikroba quotien mengindikasikan masukan bahan organik ke

dalam tanah, seberapa efesien bahan organik ditransformasikan menjadi C

mikroba, kehilangan C dari tanah, pengikatan C organik oleh fraksi mineral

tanah (Sparling, 1992).

2.4 Kebutuhan Unsur Hara Tanaman

Tanaman memerlukan makanan yang sering disebut hara tanaman.

Berbeda dengan manusia yang menggunakan bahan organik, tanaman

menggunakan bahan anorganik untuk mendapatkan energi dan

pertumbuhannya. Dengan fotosintesis, tanaman mengumpulkan karbon yang

ada di atmosfir yang kadarnya sangat rendah, ditambah air yang diubah menjadi

bahan organik oleh klorofil dengan bantuan sinar matahari. Unsur yang diserap

untuk pertumbuhan dan metabolisme tanaman dinamakan hara tanaman.

Mekanisme perubahan unsur hara menjadi senyawa organik atau energi disebut

metabolisme.

Tanaman dapat memenuhi siklus hidupnya dengan menggunakan hara.

Fungsi hara tanaman tidak dapat digantikan oleh unsur lain dan apabila tidak

terdapat suatu hara tanaman, maka kegiatan metabolisme akan terganggu atau

berhenti sama sekali. Disamping itu umumnya tanaman yang kekurangan atau

ketiadaan suatu unsur hara akan menampakkan gejala pada suatu organ tertentu

yang spesifik yang biasa disebut gejala kekahatan.

18
Unsur hara yang diperlukan tanaman adalah Karbon (C), Hidrogen (H),

Oksigen (O), Nitrogen (N), Fosfor (P), Kalium (K), Sulfur (S), Kalsium (Ca),

Magnesium (Mg), Seng (Zn), Besi (Fe), Mangan (Mn), Tembaga (Cu),

Molibdenum (Mo), Boron (B), Klor (Cl), Natrium (Na), Kobal (Co), dan

Silikon (Si). Unsur Na, Si, dan Co dianggap bukan unsur hara essensial, tetapi

hampir selalu terdapat dalam tanaman. Misalnya, unsur Na pada tanaman di

tanah dengan kadar garam yang relatif tinggi dan sering melebihi kadar P

(Fosfor). Silikon (Si) pada tanaman padi dianggap penting walaupun tidak

diperlukan dalam proses metabolisme tanaman. Jika tanaman padi mengandung

Si yang cukup, maka tanaman tersebut lebih segar dan tidak mudah roboh

diterpa angin sehingga seakan-akan Si meningkatkan produksi tanaman

(Anonymous, 2013).

19
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di sentra pengembangan komoditas tanaman padi

di Subak Jatiluwih, Penebel, Tabanan. Subak Jatiluwih secara geografis

berada pada daerah dataran tinggi dengan ketinggian sekitar 675 m di atas

permukaan laut. Berdasarkan data iklim Balai Penyuluhan Pertanian Penebel

daerah ini memiliki iklim tropis dengan dua musim, yakni musim hujan

(Oktober – Maret) dan musim kemarau (April – September). Curah hujan rata-

rata tahunan 2391 mm dan 140 hari hujan. Suhu udara maksimum berkisar dari

26,5 – 29,4 0C dengan rata-rata tahunan 22,5 0C dan suhu tanahnya 25,0 0C.

Jenis tanahnya pada katagori ordo termasuk Andisol, sub ordo : Aquands, great

group : Vitraquands, sub group : Typic vitraquands, family : Typic vitraquands,

berabu vulkanis, isohipertermik. Secara aktual kelas kesesuaian tergolong sesuai

marginal (S3) dengan faktor pembatas hara tersedia (n). Komponen hara

tersedia (n) yang menjadi pembatas adalah P-tersedia dalam tanah tergolong

rendah (15,84 ppm).

Penelitian dilaksanakan membutuhkan waktu selama 2 (dua) bulan.

Waktu tersebut diperlukan untuk pengambilan dan analisis sampel tanah

(kandungan C-organik tanah dan kandungan N-total, P-tersedia dan K-tersedia

dilakukan di Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian Universitas Udayana.

20
3.2 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian meliputi : analisis kadar C-organik tanah dan

beberapa unsur hara makro di sentra pengembangan komoditas tanaman padi

pada pertanian organik dan konvensional. Penelitian dilakukan di sentra

pengembangan komoditas tanaman padi sawah. Pengambilan contoh tanah di

lokasi sistem pertnian konvensional dan organik di Subak Jatiluwih, Penebel,

Tabanan. Analisis kandungan C-organik dan unsur hara makro tanah (N-total,

P-tersedia, dan K-tersedia).

3.3 Bahan dan Alat Penelitian

Untuk penelitian ini digunakan alat-alat pengambil sampel tanah,

kantong plastik, karung plastik, meteran tanah. Untuk analisis sampel tanah

digunakan bahan dan alat untuk analisis sampel tanah di laboratorium, seperti

aquades, HCl-25%, H2SO4, NH4F, (NH4)6Mo7O24.4H2O, NaHCO3, KH2PO4,

NH4OAc 1 N pH 7. Data sekunder berupa data curah hujan di catat dari station

meteorologi terdekat dengan lokasi penelitian dan data lain yang mempunyai

relevansi dengan kajian ini.

21
BAB IV
HASIL PENELITIAN

Parameter yang diamati dalam penelitian ini meliputi: kandungan C-

organik, N-total, P-tersedia dan K-tersedia. Hasil analisis sampel tanah di

masing-masing lokasi pada sistem pertanian konvensional dan sistem pertanian

organik dibandingkan dengan standar kriteria penilaian sifat kimia dan fisik

tanah berdasarkan kirteria laboratorium untuk kandungan unsur kimia dan fisik

Tanah. Kadar C-organik, N-total, P-tersedia dan K-tersedia tanah pada lahan

sawah dengan sistem organik dan konvensional di Subak Jatiluwih, Penebel,

Tabanan disajikan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1
Kadar C-organik, N-total, P-tersedia dan K-tersedia tanah pada lahan sawah
dengan sistem organik dan konvensional di Subak Jatiluwih,
Penebel, Tabanan.

No. Kadar

Lokasi C-Organik N-Total P-tersedia K-tersedia


(%) (%) (ppm) (ppm)
1. Sawah sistem 3,225 (T) 0,237 (S) 13,445 (R) 157,495 (S)
organik *)

2. Sawah sistem 2,267 (S) 0,184 (R) 7,623 (SR) 129,050 (R)
konvensional
**)

Keterangan :
*) Pemberian pupuk kandang (sapi) 2,5 ton ha -1, sejak tahun 2008 (7 tahun)
**) Pupuk Urea sesuai anjuran : 100 -150 kg ha-1
T=tinggi; S=sedang ; SR=sangat rendah.

22
4.1 Kandungan Karbon (C) Organik Tanah

Kandungan C-organik tergolong tinggi (3,225 %) pada lahan padi sawah

dengan sistem pertanian organik, sedangkan pada sistem pertanian konvensional

tergolong sedang (2,267 %) (Tabel 4.1). Terjadi penurunan kadar C-organik

tanah sebesar 29,71 %. Pada lahan padi sawah dengan sistem pertanian organik

yang dilakukan dengan pemupukan dengan pupuk kandang rata-rata 2,5 ton ha-
1
, mampu mempetahankan kandungan bahan organik tanah sampai pada tingkat

dengan katagori tinggi, sedangkan pada lahan padi sawah dengan sistem

pertanian konvensioanal yang dilakukan denganpemupukan urea sebanyak 100

– 150 kg ha-1 ternyata hanya mampu mempertahankan kandungan C-organik

tanah sampai pada tingkat katagori sedang.

4.2 Kandungan N-total Tanah

Kandungan N-total tanah pada lahan padi sawah dengan sistem

pertanian organik mencapai tingkat dengan katagori sedang (0,237 %),

sedangkan pada sistem pertanian konvensional tergolong rendah (0,184%).

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa terjadi penurunan kandungan N-total

tanah sebesar 22,36 %. Penerapan sistem pertanian organik dapat

mempertahankan tingkat kandungan N-total tanah sampai katagori sedang

(Tabel 4.2). Dari hasil penelitian ini dapat dinyatakan bahwa pengembalian

pupuk organik sangat diperlukan untuk mempertahankan kandungan N-total

dalam tanah.

23
4.3 Kandungan P-tersedia dalam Tanah

Sama halnya dengan kandungan N-total tanah, ternyata pertanian

organik yang dilakukan secara terus-menerus, yaitu dengan aplikasi lebih dari 7

tahun di Subah Jatiluwih mampu mempertahankan kandungan P-tersedia dalam

tanah sampai katagori rendah. Di lain pihak dengan pertanian konvensional

ternyata mengakibatkan terjadinya penurunan kandungan P-tersedia sampai

pada tingkat sangat rendah (7,62 ppm), atau menurun dari tingkat rendah pada

pertanian organik menurun sampai 43,30 % pada pertanian konvensional. Hal

ini mengindikasikan bahwa pupuk organik yang diberikan secara terus menerus

mengandung cukup banyak unsur P yang dapat disuplai ke dalam tanah.

4.4 Kandungan K-tersedia dalam Tanah

Pada sistem pertanian organik kandunga K-tersedia masih bisa

dipertahankan sampai tingkat sedang (157,495 ppm), sedangkan pada pertanian

konvensional terjadi penurunak kandungan K-tersedia sampai katagori rendah

(129,050 ppm). Terjadi penurunan sebesar 19,97 % pada pertanian

konvensional. Pemberian pupuk kandang sapi sebesar rata-rata 2,5 ton ha-1

mampu mempertahankan kandungan K-tersedia sampai tingkat katagori sedang,

sedangkan penggunaan pupuk kimia (urea) dengan dosis 100 – 150 kg ha-1

secara terus menerus pada setiap musim tanam mengakibatkan terjadinya

penurunan (degradasi) kandungan K-tersedia sampai ke level rendah.

24
BAB V
PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisis kandungan C-organik dan hara makro (N, P,

K) tanah di Subak Jatiluwih, Penebel, Tabanan secara keseluruhan semua

parameter yang dianalisis menunjukkan bahwa kandungan masing-masing

unsur tersebut lebih tinggi pada sistem pertanian organik dibandingakan dengan

pada pertanian konvensional. Besarnya penurunan atau degradasi kandungan

untuk masing-masing parameter C organik, N-total, P-tersedia dan K-tersedia

yang terjadi pada pertanian konvensional berturut-turut 29,71 %, 22,36 %.

43,30 % dan 19,97 %. Hal ini berarti bahwa penggunaan pupuk kimia (urea

dengan dosis 100 – 150 kg ha-1) yang diberikan secara terus menerus pada

setiap musim tanam tanpa dibarengi dengan pemberina pupuk organik dapat

mengakibatkan terjadinya degradasi kandungan C organik, N-total, P-tersedia

dan K-tersedia dalam tanah. Terjadinya degradasi tersebut akan sangat

berbahaya bagi pengembangan budidaya lahan padi sawah secara berkelanjutan.

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa untuk meningkatkan kadar bahan

organik tanah pada lahan sawah dibutuhkan waktu lebih dari 7 tahun.

Kandungan C-organik tanah pada pertanian konvensional di lokasi tersebut

masih tergolong sedang, yaitu masing-masing 2,267 % yaitu lebih rendah

dibandingkan dengan pertanian organik (Tabel 4.1). Hasil ini didukung oleh

hasil penelitian (Reganold, 1993) yang membandingkan sifat tanah pada sistem

pertanian organik dan konvensional selama 4 tahun menyimpulkan bahwa kadar

25
C-organik tanah secara signifikan lebih tinggi pada pertanian organik daripada

konvensional.

Penurunan C-organik tanah menyebabkan kesuburan tanah rendah dan

kapasitas tukar kation rendah, yang berakibat perlunya tambahan pupuk untuk

mempertahankan hasil ekonomis. Secara umum, peningkatan karbon organic

tanah meningkatkan respon hasil tanaman dan menjaga kualitas air, jadi berarti

memperbaiki kualitas tanah. Suatu penelitian di Michigan USA, menunjukkan

peningkatan hasil tanaman secara potential sekitar 12% dengan setiap

peningkatan bahan organik 1% (Magdoff, 1998). Quiroga et al. (2006)

menemukan bahwa hasil tanaman berhubungan dengan tekstur tanah, dan pada

tekstur yang sama, hasil tergantung pada total kadar bahan organik tanah.

Pengaruh peningkatan kandungan organik dalam tanah terhadap kualitas

air, adalah signifikan, karena prosentase kandungan C-organik secara langsung

berhubungan dengan kapasitas memegang air dari tanah tersebut. Hudson

(1994) melaporkan bahwa peningkatan kandungan bahan organic 1% akan

dapat menjamin bahwa tanah dapat memegang 160 m 3 air yang dibutuhkan

tanaman dalam 1 ha dengan kedalaman 30 cm (1 foot depth). Tanah dengan

bahan organik yang tidak cukup tidak mungkin dapat memegang cukup air atau

memberikan lingkungan bagi kehidupan mikroba yang menguntungkan.

Peningkatan bahan organic tanah akan menghasilkan situasi yang

menguntungkan karena secara positif mempengaruhi kesuburan dan kualitas

tanah serta mempertahankan kondisi fisik, kimia dan biologis yang dibutuhkan

untuk praktek petanian berkelanjutan.

26
Kandungan N-total dalam tanah pada pertanian organik lebih tinggi

daripada pertanian konvensional. Kondisi ini menunjukkan bahwa petani sudah

melakukan penambahan unsur N melalui pemupukan kandang. Seperti

diketahui manfaat dan fungsi unsur N adalah memacu pertumbuhan tanaman

secara umum, terutama pada fase vegetative. Berperan dalam pembentukan

klorofil, asam amino, lemak, enzim dan persenyawaan lain. Unsur N mudah

hilang dan sangat mobil dalam tanah sehingga tanah cepat mengalami

kekurangan N.

Kandungan P-tersedia dalam tanah pada penelitian ini sampai katagori

rendah (13,445 ppm). Selanjutnya pertanian konvensional ternyata

mengakibatkan terjadinya penurunan kandungan P-tersedia sampai pada tingkat

sangat rendah (7,62 ppm), atau menurun dari tingkat rendah pada pertanian

organik menurun sampai 43,30 % pada pertanian konvensional. Hal ini

mengindikasikan bahwa pupuk organik yang diberikan secara terus menerus

mengandung cukup banyak unsur P yang dapat disuplai ke dalam tanah.

Kandungan K-tersedia tergolong sedang pada pertanian organik. Hal ini

menunjukkan bahwa kemungkinan defisiensi K tidak akan terjadi pada lahan

yang diberikan pupuk kandang secara terus-menerus pada lahan padi sawah.

Namun jika tidak dilakukan pemberian pupuk organik, maka akan terjadi

defisiensi K.

27
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini kesimpulan yang dapat ditarik adalah

sebagai berikut:

1. Kandungan C-organik tanah pada lahan sawah dengan sistem pertanian

organik selama 7 tahun aplikasi tergolong tinggi (3,225 %), sedangkan

pada pertanian konvensional tergolong sedang (2,267 %).

2. Kandungan N-total, P-tersedia, dan K-tersedia dalam tanah pada lahan

sawah dengan sistem pertanian organik selama 7 tahun aplikasi berturut-

turut tergolong sedang (0,237 %), rendah (13,445 ppm) dan sedang

(157,495 ppm), sedangkan pada pertanian konvensional tergolong rendah

(0,184 %), sangat rendah (7,623 ppm dan rendah (129,050 ppm).

3. Besarnya penurunan atau degradasi kandungan C-organik, N-total, P-

tersedia dan K-tersedia yang terjadi pada sistem pertanian konvensional

berturut-turut 29,71 %, 22,36 %. 43,30 % dan 19,97 %.

6.2. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian tentang pemberian berbagai jenis pupuk

organik yang dikombinasikan dengan pupuk anorganik pada lahan padi

sawah untuk mengkaji penurunan penggunaan pupuk kimia pada lahan

padi sawah dalam mendukung pertanian berkelanjutan.

28
2. Perlu diteliti analisis usahatani padi sawah dengan menggunakan

kombinasi pupuk organik dan anorganik untuk mengetahui manfaat dan

peningkatan keuntungan yang diterima petani setelah melakukan

peningkatan kesuburan tanah melalui peningkatan kandungan C oragnik

dan unsur hara makro tanah.

29
DAFTAR PUSTAKA

Allison, F. E. 1973. Soil Organic Matter and Its Role in Crop Production. Amsterdam
London New York. Elsevier Scientific Publishing Company, Amsterdam. 647
pp.

Amezketa, E. 1999. Soil Aggregate Stability: A review. J. Sust. Agric, 14: 83-151.

Anonymous. 2013. Fisiologi Pohon. Jumlah kebutuhan unsur hara.


www.fisiologi pohon.com. Januari 2013.

Bhooshan, N., Prasad, C. 2011. Organic Farming: Hope of posterity. In: Hope of
Posterity. editors. Organic Agriculture. UP Council of Agricultural Research
(UPCAR), Lucknow, India. p. 1-10.

Cong Tu, Frank, J.L., Nancy, G., Creamer, J., Mueller, P., Brownie, C., Fger,
K., Melissa, B., and Shuijin, H. 2006. Responses of Soil Microbial
Biomass and N Availability to Transition Strategies from Conventional to
Organic Farming Systems. Agriculture, Ecosystems and Environment,
113:206-215.

Crews, T.E. and M.B. Peoples. 2004. Legume versus fertilizer sources of nitrogen:
Ecological tradeoffs and human needs. Agriculture Ecosystems & Environment
102:279-297.

De Datta, S.K. 1987. Advancees in soil fertility research and nitrogen fertilizer
management for lowland rice. In: Efficiency of nitrogen fertilizers for
rice. IRRI, Manila, Philippines.

De Datta, S.K. 1989. Rice. In: Plucknett, D.L.; Sprague, H.B. (eds.): Detecting
mineral nutrient deficiencies in tropical and temperate crops. Westview
Press Inc.

Doran, J.W. and Parkin T.B. 1994. Definiting and Assessing Soil Quality. In: Doran
J.W. et al., editors. Defining Soil Quality for a Sustainable Environment. SSSA
Spec. Publ. No. 35. Ed. Madison: ASA and SSA, p.3-21.

Fraser, E.D.G., W. Mabee and F. Figge. 2005. A framework for assessing the
vulnerability of food systems to future shocks. Futures 37:465-479.

Hairiah K., Ekadinata A, Sari RR, dan Rahayu S. 2011. Pengukuran Cadangan
Karbon : dari tingkat lahan ke bentang lahan. Petunjuk partis. Edisi
kedua. Bogor, Word Agroforestry Center, ICRAF CEA Regional Office,
University of Brawijaya (UB). Malang, Indonesia. 88 pp.

30
Hsieh, S.C. 2005. Organic Farming for Sustainable Agriculture in Asia with
Special Reference to Taiwan Experience. Available from:
http://www.agnet.org/library/eb/ 558/ (accessed on 31 January 2010).

Huang, Y., Sun, W.J., Zhang, W., Yu, Y.Q. 2010. Changes in Soil Organic Carbon of
Terrestrial Ecosystems in China: A mini review. Sci. China Life Sci., 53: 766-
775.

Hudson B.D. 1994 Soil organic matter and available water capacity. J Soil
Water Conserv. 49(2):189–194

Ikemura, Y., Shukla, M.K. 2009. Soil Quality in Organic and Conventional Farms of
New Mexico. USA J. Org. Systems. Vol.4 No.1 : 34-47.

Iowa State University. 2009. Determine your corn and soybean rotation. Iowa
State University Soybean Extension and Research Program.
Extension.agron.iastate.edu/soybean/Mei 2009.

IPCC (International Panel on Climate Change). 2007. “Changes in Atmospheric


Constituents and in Radiative Forcing” 2007. Available at
http://www.ipcc.ch/pdf/assessment -report/ar4/wg1/ar4-wg1-chapter2.pdf (last
accessed at March 29, 2011).

Irsal, L., K. Subagyono, dan A.P. Setiyanto. 2006. Isu dan Pengelolaan Lingkungan
dalam Revitalisasi Pertanian. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Petanian
25(3) : 173-193.

Komatsuzaki, M., Syuaib, M.F. 2010. Comparison of the Farming System and
Carbon Sequestration between Conventional and Organic Rice Production
in West Java, Indonesia. Sustainability, 2(3): 833-843.

Komatsuzaki, M., Ohta, H. 2007. Soil Management Practices for Sustainable Agro-
Ecosystems. Sust. Sci., 2:103-120.

Lal, R. 2004a. Soil Carbon Impact on Global Climate Change and Food Security.
Science, 304: 1623-1627.

Lotter, D.W., Seidel, R., and Liebhart, W. 2003. The performance of organic and
conventional cropping systems in an extreme climate year. American Journal of
Alternative Agriculture 18 (3):146-154.

Magdoff F (1998) Building soils for better crops, 2nd edn. University of
Nebraska Press,Lincoln, Nebraska.

McLaren, R. G., Cameron, K. C. 1996: “Soil Science - Sustainable Production and


Environmental Protection”. Oxford University Press, 304 pp.

31
Pillai, K.G. 1985. Rice (Oryza sativa L.) Nutrient Removal. Dept. of
Agronomy & Soil Science, Directorate of Rice research (ICAR),
Hyderabad, India. afgahanag.uedavis.edu/b_field/rice-1.

Pimentel, D., P. Hepperly, J. Hanson, D. Douds and R. Seidel. 2005. Environmental,


energetic, and economic comparisons of organic and conventional farming
systems. BioScience 55:573-582.

Rahman, M.M. 2013. Nutrient-Use and Carbon-Sequestration Efficiencies in Soils


from Different Organic Wastes. In: Rice and Tomato Cultivation. Comm. in Soil
Sci. and Plant Anal., 44 (9): 1457-1471.

Reganold J.P. 1993. Effects of Biodynamic and Conventional Farming on Soil Quality
in New Zealand. Department of Crop and Soil Sciences Washington State
University Pullman, Washington, USA.

Scow, K.M., Somasco, O., Gunapala, N., Lau, S., Venette, R., Ferris, H., Miller, R.,
and Sennan, C. 1994. Transition from Conventional to Low-Input Agriculture
Changes Soil Fertility and Biology. California Agriculutre, 48(5): 20-26.

Seufert, V., Ramankutty, V., and Foley, J.A. 2012. Comparing the yields of organic
and conventional agriculture. Nature 48(5): 229-232.

Seybold, C.A., Mausbach, M.J., Karlen, D.L., Rogers, H.H. 1997. Quantification of
soil quality. pp. 387-404. In. R. Lal (ed.) Soil Processes and the Carbon Cycle.
CRC Press, Boca Raton, FL.

Shukla M.K., Lal, R., Ebinger, M.. 2006. Determining soil quality indicators by factor
analysis. Soil Tillage Research. 87 (2): 194-204.

Sparling, G. P. 1992. Ratio of Microbial Biomass Carbon to Soil Organic Carbon as a


Sensitive Indicator of Changes in Soil Organic Matter. Aust. J. Soil Res., 30:
195-207.

Steven, R.T., Somasco, O.A., Mary, K., Friedman, D. 1994. Conventional Low-Input
and Organic Farming Systems Compared. California agriculture, 48 (5):14-19.

Quiroga A, Funaro D, Noellemeyer E, Peinemann N (2006). Barley yield


response to soil

32

Anda mungkin juga menyukai