Anda di halaman 1dari 167

MANAGEMENT OF

FRAILTY AS A NEW
GERIATRIC GIANT:
HOW TO DEAL WITH
DILEMMATIC HEALTH
PROBLEMS IN
ELDERLY PATIENT
dr. Lili Legiawati, Sp.KK (K)
SIP. 01.01.0.11.0723156009/07.2022

Management of Frailty
as a New Geriatric Giant:
How to Deal with Dilemmatic
Health Problems in Elderly Patient

Tim Editor:
Purwita Wijaya Laksmi
Frans Liwang
Risca Marcelina

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Prosiding Temu Ilrniah Geriatri 2015
Management of frailty as a new Geriatric Giant:
How to deal with dilernrnatic health problems
in elderly patient

Tim Editor: Purwita Wijaya Laksrni, Frans Liwang,


Risca Marcelena
© 2015 Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia
Cabang Jakarta

vii + 159 halaman


15 x 23 cm

ISBN: 978-979-19931-5-9

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang


Dilarang memperbanyak, mencetak, dan menerbitkan sebagian
atau seluruh isi buku ini dengan cara dan bentuk apa pun juga
tanpa seizin penulis dan penerbit.

Diterbitkan pertama kali oleh


Perhirnpunan Gerontologi Medik Indonesia
Cabang Jakarta
Jakarta, Mei 2015
email: geriatri.rscrnfkui@yahoo.com

Redaktur pelaksana: Sri Herawati

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Penulis

Anna Uyainah Z.N. Divisi Pulmonologi


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RS. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

Asril Bahar Divisi Pulmonologi


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RS. Dr. Cipto Mangunkusurno Jakarta

Dewa Putu Pramantara Divisi Geriatri


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK UGM/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Edy Rizal Wahyudi Divisi Geriatri


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RS. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

Kuntjoro Harirnurti Divisi Geriatri


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RS. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

Lili Legiawati Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin


FKUI/RS. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

Purwita Wijaya Laksmi Divisi Geriatri


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RS. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

R.A. Tuty Kuswardhani Divisi Geriatri


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK Udayana/RS. Sanglah Denpasar

Siti Setiati Divisi Geriatri


Departemen Ilmu Penyakit Dalarn
FKUI/RS. Dr. Cipto Mangunkusurno Jakarta

111

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Kata Pengantar

Peningkatan populasi usia lanjut di belahan dunia hingga saat


ini sayangnya tidak di iringi dengan proses penuaan yang sukses
pada setiap individu usia lanjut tersebut. Berbagai masalah ke­
sehatan terkait juga dengan sindrom geriatri pada populasi tersebut
kerap dijumpai. Hal ini dapat menyebabkan suatu keadaan yang
disebut.frai1 (renta/ rapuh). Frailty memiliki dampak yang cukup
besar terhadap penurunan kualitas hidup, peningkatan kejadian
hospitalisasi, dan peningkatan biaya kesehatan.

Buku ini memuat kumpulan tulisan ilmiah para pembicara


terkait Temu Ilmiah Geriatri yang mengusung tema "Management
ofFrailty as a New Geriatric Giant: How to Deal with Dilemma tic Health
Problems in Elderly· Patient" . Tulisan tersebut diharapkan dapat
menjadi bekal pengetahuan masyarakat profesi kesehatan dalam
menjawab tantangan pelayanan kesehatan bagi kaum usia lanjut
di Indonesia. Selain itu, abstrak penelitian pada orang usia lanjut
di Indonesia juga ditampilkan agar dapat memberikan wawasan
data lokal terkait penelitian orang usia lanjut dan diharapkan da­
pat menjadi acuan bagi perkembangan penelitian selanjutnya di
Indonesia.

Semoga bermanfaat
Jakarta, Mei 2015

Tim Editor

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Daftar Isi

Konsep Kerapuhan (Frailty) pada Usia Lanjut:


Definisi, Patobiologi, dan Manajemen Terkini ......... .. .......... . . . 1

Manfaat Kendali Tekanan Darah 24-Jam dalam


Menurunkan Risiko Komplikasi Hipertensi pada Pasien
Usia Lanjut ..................... ........................................... ..... . . . . . . . . . . . . . . . 19

Evaluasi Rasa Nyeri pada Pasien Geriatri yang Renta


dan/ atau Demensia ... . .. ... .. .. . . .. ... . .. .. ...... ...... .........
. ... . . .. .. .. . . . . .. . . . .. 31

Tata laksana Berjenjang Nyeri Akut dan Kronik Pada


Usia Lanjut . . . .. ......... . .. . . . ... . ... . .. .. . .. .. . .. . .. .
.. .. . . . . . .. .. ... .. . . .. . .. .. . . .. .. .. .. .. . 50

Terobosan Inovasi Long Acting Muscarinic Antagonist


dan Alat Semprotnya................................................................... 61

Panduan Tata Laksana Terkini PPOK dan


Sindrom Asma-PPOK ........ . : .. ... .. .. ....... ...... ........... .. ... .. ..
.. . .. . . . . . . . . 71

Penuaan dan Permasalahan Kulit pada Usia Lanjut .. .. . .. . . .. .. . 81

Tatalaksana Kulit Kering pada Usia Lanjut ............................. 92

Kebutuhan Vaksinasi bagi Populasi Usia Lanjut ..... ..... ... ... . . . . 97

Vaksinasi Herpes Zoster Pada Usia Lanjut .............................. 113

Kumpulan Abstrak Penelitian ..... .. ............ . .. . . . . . .. . . . . .. .. .. . . . . .. ...... 121

Vll

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
KonsepKerapuhan(frai/ty)
pada Usia Lanjut:
Definisi, Patobiologi, dan
Manajemen Terkini
Siti Setiati

Pendahuluan

Proses menua sering dikaitkan dengan penurunan fungsi


organ-organ tubuh secara menyeluruh yang berjalan progresif
seiring bertambahnya usia. Penurunan kapasitas faali tubuh
pada suatu titik akan bermanifestasi dalam bentuk gejala/ tanda
klinis dan penyakit; yang bila terus berlanjut atau terakumulasi
akan menyebabkan kecacatan, disabilitas, ketergantungan,
hingga kematian. Sebelum mencapai disabilitas, terjadi
penurunan kapasitas atau cadangan fisiologis tubuh yang
dapat meningkatkan kere ntanan seorang usia lanjut untuk
mengalami dampak kesehatan yang buruk, suatu kondisi yang
dikenal dengan/railty (kerapuhan).
Frailty merupakan suatu sindrom penurunan kapasitas
fisiologis tubuh akibat proses menua dan berdampak pada
berkurangnya daya tahan terhadap stres serta kerentanan untuk
mengalami luaran kesehatan yang buruk, seperti kejadian
jatuh, delirium, disabilitas, hingga mortalitas. Individu frail
akan mudah jatuh ke kondisi disabilitas dan ketergantungan
meski menghadapi stres ringan. Sebagai contoh, seorang usia
lanjut yang sebelumnya sehat dan mampu beraktivitas sehari­
hari dapat terbaring lemah dan sulit makan setelah mengalami
influenza. Contoh lain, tidak jarang ditemukan pasien usia
lanjut yang malah mengalami penurunan kesadaran setelah
prosedur operasi tertentu meski sebelumnya tampak sehat dan
hemodinamik stabil.

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Konsep frailty ini semakin berkembang beberapa tahun
terakhir karena banyaknya studi yang secara konsisten
membuktikan peran frailty sebagai prediktor independen
berbagai luaran kesehatan buruk, termasuk perburukan
status fungsional, hospitalisasi, dan penurunan angka
kesintasan (survival). Konsep frailty pun dianggap mampu
menjawab mengapa seorang berusia 80 tahun dapat sehat dan
produktif, sementara seorang berusia 80 lainnya mengalami
ketergantungan berat karena kondisi kesehatannya.

Definisi dan Manifestasi

Sesuai dengan namanya,frailty didefinisikan sebagai suatu


kerentanan untuk mengalami kegagalan perbaikan homeostasis
setelah mengalami stres (insult) tertentu. Frailty kini dianggap
sebagai suatu entitas tersendiri, bukan satu atau kumpulan
penyakit/ disabilitas, disebabkan oleh kausa tertentu, serta
merupakan suatu proses yang independen. Beberapa pakar
berani mengatakan bahwa frailty adalah kondisi yang mudah
dikenali secara klinis, misalnya perawakan kurus, lemah,
lambat, atau tidak mampu menjalankan aktivitas sehari-hari.
Adanya stres ringan maupun berat dapat menyebabkan
perubahan signifikan terhadap kondisi kesehatan atau status
fungsional pasien; dari yang independen menjadi dependen,
mobilitas aktif menjadi imobilitas, postur stabil menjadi
instabilitas postural yang rentan jatuh, atau bahkan dari
kondisi sadar menjadi delirium.

Mengapa Terjadi Frailty?

Hingga kini belum ada penjelasan yang memuaskan


tentang patogenesis frailty. Hipotesis saat ini mengemukakan
adanya peran disfungsi tingkat organ, seluler, dan molekuler
yang saling terkait satu sama lain. Secara alamiah, cadangan
fisiologis tubuh memang akan menurun sejalan dengan

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
bertambahnya usia. Namun pada individu frail, penurunan
cadangan fisiologis itu terjadi lebih cepat sehirigga mekanisme
kompensasi homeostasis pun mulai gagal. Berbagai etiologi,
meliputi faktor genetik, epigenetik, dan lingkungan, yang
diketahui berperan dalam proses menua (aging) diduga juga
turut memainkan peran penting dalam kejadian frailty.
Berdasarkan studi longitudinal Women's Health and
Aging Studies-II (WHAS-11) selama 7,5 tahun, diketahui bahwa
kelemahan merupakan manifestasi klinis pertama yang sering
dijumpai pada frailty. Adanya kelemahan menunjukkan
defisit energi pada individu frail, yang utamanya terjadi
akibat penurunan massa dan kekuatan otot skeletal (disebut
juga sarkopenia). Kendati demikian, frailty tidak semata-mata
atau tidak selalu disebabkan oleh sarkopenia. Sekitar 10-30%
individufrail juga ditemukan obesitas dengan massa otot yang
normal.
Sebuah studi potong lintang pada tahun 2009 yang
melibatkan 1.002 perempuan mencoba mengukur 12
parameter pada 6 sistem organ yang berbeda: neuromuskular,
hematologik, inflamatorik, hormonal, adipositas, dan
mikronutrien. Penelitian tersebut menyimpulkan adanya
hubungan nonlinear antara jumlah abnormalitas sistem organ
dan kejadianfrailty yang secara statistik bersifat independen
terhadap usia kronologis dan komorbiditas. Oleh karena itu,
ditarik suatu kesimpulan bahwa faktor inflamasi, hormonal,
hematologik (koagulasi) turut berperan padafrailty, disamping
faktor nutrisi dan neuromuskular.

Patofisiologi Frailty

Sejak pertama kali diperkenalkan oleh Linda Fried


melalui Cardiovascular Health Study (CHS) tahun 2001, frailty
telah dikaitkan dengan penurunan fungsi organ tubuh
secara menyeluruh, bukan hanya sarkopenia dan disregulasi
energi.

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Individu frail memiliki kadar kortisol yang lebih
dibandingkan individu non-frail; dan variasi diurnal kortisol
tersebut cenderung lebih datar pada dini hari. Sebagaimana
diketahui, kadar kortisol tubuh akan meningkat tajam pada
subuh hari (saat bangun pagi). Adanya peningkatan kronis
kadar kortisol pada individu frail menunjukkan keterlibatan
penyakit kronis (terutama inflamasi kronis) serta menurunnya
kemampuan umpan balik negatif ke hipotalamus dan
pituitari.
Temuan lain ialah adanya kadar glukosa yang lebih tinggi
pada individu frail setelah uji tolerasi glukosa oral. Dengan
kadar glukosa puasa (baseline) yang sama, kurva kadar glukosa
subjek frail lebih tinggi pada seluruh waktu pengukuran: menit
ke-0, 30, 60, 120, dan 180 setelah diberi beban glukosa oral 75 g
dibandingkan individu pre-frail dan normal. Masing-masing
kategori subjek telah dikondisikan dengan proporsi seimbang
antara grup diabetes, prediabetes, dan normal. Hal tersebut
membuktikan adanya kerentanan dan penurunan mekanisme
kompensasi faali pada individu frail setelah diberi stres, dalam
hal ini beban glukosa oral.
Selain contoh di atas,frailty juga telah dihubungkan sistem
organ lainnya seperti otak dan sistem saraf pusat (the frail
brain), penurunan sistem imunitas (thefrail immune system), otot
skeletal (the frail skeletal muscle atau sarkopenia), dan sistem
endokrin lainnya (the frail endocrine system).
Berdasarkan studi kohort prospektif pada 273 usia lanjut,
didapatkan bahwa frailty berhubungan dengan peningkatan
risiko kejadian delirium (OR 9,5; 95% 4,8-14,9) dan angka
kesintasan yang lebih rendah (median kesintasan 88 hari vs
359 hari). Proses menua pada otak melibatkan sel-sel rnikroglia
sebagai sel imunitas pada sistem saraf pusat. Sel-sel tersebut
akan diaktifkan apabila tetjadi cedera otak atau inflamasi lokal­
sisternik, serta menjadi hiper-responsif terhadap stimulus kecil
sehingga mempercepat proses kematian neuron.

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Inflamasi juga berperan penting dalam patofisiologi frailty
melalui respon inflamasi kronis derajat rendah (disebut juga
inflammaging), bersifat abnormal, dan hiper-responsif terhadap
stimulus ringan. Beberapa sitokin inflamatorik ditemukan
berhubungan secara independen terhadap frailty, antara lain
IL-6, CRP, TNFa, dan kemokin CXC. Di lain sisi, inflamasi juga
menyebabkan anoreksia dan meningkatkan katabolisme otot
skeletal dan adiposit sehingga memperburuk status nutrisi,
kelemahan otot, dan penurunan berat yang merupakan tanda
dari frailty.
Tanda dan gejala frailty erat kaitannya dengan sarkopenia,
suatu penurunan progresif dari otot, kekuatan, dan performa
otot skeletal. Sarkopenia kini dianggap sebagai komponen
kunci kejadian frailty. Dalam kon . disi normal, homeostasis otot
skeletal melibatkan proses pembentukan sel-sel otot, hipertrofi,
serta pemecahan protein. Keseimbangan tersebut diatur oleh
otak, sistem endokrin, dan sistem imunitas; serta dipengaruhi
kuat oleh status nutrisi dan tingkat aktivitas fisis. Adanya
masalah pada sistem neurologis, endokrin, dan imunitas
dapat merusak keseimbangan fisiologis otot dan mempercepat
kejadian sarkopenia. Berbagai sitokin inflamatorik seperti
IL-6 dan TNFa juga berperan aktif dalam pemecahan otot
guna menghasilkan sumber energi dan menetralisir peptida
antigen.

Model Presentasi Frailty

Saat ini frailty dikenal dalam dua model utama, yaitu


model fenotip dan model akumulasi defisit. Kedua model
tersebut saling melengkapi dan masih terus dikembangkan
dan diperbaiki hingga kini. Model presentasi frailty yang
ideal haruslah mampu memprediksi perjalanan alamiah
serta mengukur respon terhadap intervensi terapi yang akan
diberikan.

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Model Fenotip Frailty
Model fenotip digagas oleh Linda Fried melalui studi
CHS (2001) yang melibatkan 5210 populasi berusia �65 tahun.
Adanya frailty menurut model ini ditentukan oleh 5 variabel:
kehilangan berat badan, kelelahan, aktivitas fisis rendah,
kecepatan berjalan lambat, dan kekuatan genggam tangan
yang lemah (lihat Tabel 1).

Tabel 1. Model Fenotip Frailty

Fenotip Deskripsi
Penurunan berat badan Laporan individual mengenai penurunan
berat badan >4,5 kg; atau penurunan
berat badan �5% per tahun
Kelelahan Laporan individual mengenai kelelahan
minimal 3-4 hari/minggu atau dirasakan
setiap waktu.
Aktivitas fisis rendah Konsumsi energi <383 kkal/min-
ggu (laki-laki) atau <270 kkal/minggu
(perempuan)
Kecepatan betjalan Diukur dengan uji betjalan 15 kaki (4,75
rendah meter). Kriteria kecepatan betjalan pada
model fenotip sebagai berikut: pada
perempuan <5,36 detik dan pada laki-laki
6,92 detik
Kekuatan genggam Diukur dengan dinamometer tangan.
tangan rendah Kriteria kekuatan genggam tangan pada
model fenotip sebagai berikut: pada
perempuan Asia <14,3 kg dan pada laki­
laki Asia 22,4 kg.

Keterangan: Disebut frail apabila terdapat �3 kriteria; disebut pre-frail


terdapat 1-2 kriteria.

Kelima fenotip tersebut memiliki hubungan kausal dan


saling terkait satu dengan yang lain. Proses menua, penyakit,
dan malnutrisi akan menimbulkan sarkopenia pada usia lanjut.
Massa dan kekuatan otot yang rendah, serta kapasitas V02 yang
juga menurun akan berdampak pada menurunkan kecepatan

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
berjalan seseorang. Kecepatan berjalan kini secara evidence­
based telah terbukti berkorelasi kuat dengan aktivitas fisis yang
rendah, disabilitas, dan ketergantungan, yang pada ujungnya
menyebabkan seseorang tidak mampu lagi menjalankan
aktivitas sehari-harinya. Di lain sisi, massa otot yang rendah
juga menyebabkan penurunan laju metabolik basal, yang
berdampak pada penurunan aktivitas fisis seseorang. Usia
lanjut dengan aktivitas fisis yang rendah akan cenderung
mengalami gizi kurang secara kronis, keseimbangan energi
dan nitrogen menjadi negatif, sehingga kembali memperburuk
sarkopenia. Demikian siklus ini terus berputar.
Berdasarkan model fenotip, angka mortalitas setelah 7
tahun pemantauan untuk individufrail, pre frail, dan tidak frail
-

adalah 43%, 23%, dan 12%. Nilai hazard-ratio mortalitas dalam


7 tahun untuk kelompok frail ialah 1,63 (95%CI 1,27-2,08).
Kekurangan model ini ialah tidak menyertakan gangguan
kognitif sebagai komponen frailty. Padahal, gangguan kognitif
termasuk instrumen penting yang mempengaruhi status
fungsional usia lanjut. Perlu diketahui bahwa studi CHS pada
dasarnya mengeksklusi individu dengan Parkinson, riwayat
stroke, gangguan kognitif, atau depresi. Kendati demikian,
model fenotip tetap banyak dipakai karena telah divalidasi
secara independen.

Model Akumulasi Defisit pada Frailty


Berbeda dengan pain pertama, model akumulasi defisit
mengacu pada konsep bahwa frailty merupakan suatu bentuk
risiko yang bersifat multidimensional pada individu. Sejumlah
patologi atau defisit akan terakumulasi sepanjang waktu;
semakin banyak defisit yang terakumulasi, maka semakin renta
individu tersebut. Konsep ini lebih mengukur frailty sebagai
suatu kuantitas dan spektrum, bukan suatu variabel dikotom
(ada atau tidak).
Defisit yang dimaksud dalam model ini dapat berupa
gejala, tanda, penyakit, disabilitas, maupun kelainan hasil

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
laboratoris yang akan terakumulasi seiring penambahan usia,
berkaitan dengan luaran buruk, tidak memiliki titik jenuh
Qumlah maksimal), melibatkan domain yang berbeda, serta
menggunakan parameter yang sama dari waktu ke waktu.
Model akumulasi defisit yang banyak dipakai ialah Frailty
Index (Fl), yang dikembangkan melalui studi kohort prospektif
5 tahun bemama Canadian Study of Health and Aging/CSHA
(n=l0.263). Studi CSHA mengevaluasi 92 variabel dasar dari
gejala, tanda, penyakit, parameter laboratoris, dan disabilitas
untuk menyusun model matematis Frailty Index. Apabila
seseorang memiliki 20 defisit, maka diperoleh nilai FI = 20/92
= 0,22. Nilai FI telah terbukti berkorelasi kuat dengan angka
kesintasan dan luaran buruk kesehatan. Nilai ambang batas FI
�0,25 lazim dipakai untuk menggambarkan kondisi akumulasi
defisit yang akan berdampak buruk.
Dalam perkembangannya, untuk memudahkan
pemakaiannya dalam praktik sehari-hari model FI-92 items
disederhanakan menjadi FI-40 items (lihat Tabel 2) atau
ada juga yang menjadikannya FI-30 items. Penyederhanaan
tersebut dilakukan dengan mengutamakan variabel biologis
yang sensitif, terakumulasi dengan penambahan usia, dan
tidak mencapai nilai maksimal terlalu dini. Nilai hazard-ratio
mortalitas dalam 10 tahun pada individu frail ialah 1,57 (95% CI
1,41-1,74). Nilai tersebut dianggap tidak jauh berbeda dengan
model fenotip.

Penggunaan Model Fenotip dan Akumulasi Defisit

Munculnya dua model presentasi frailty tak pelak


menimbulkan perdebatan dan kontroversi metode mana yang
akan dipakai. Sejatinya kedua model tersebut memiliki tujuan
yang berbeda dan saling melengkapi satu sama lain. Model
fenotip bermanfaat untuk mengidentifikasi risiko kejadian
buruk pada populasi usia lanjut non-disabilitas; sementara

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
frailty index lebih bermanfaat dalam melihat perjalanan
akumulasi defisit yang tetjadi, termasuk pada individu dengan
disabilitas sedang-berat.

Epidemiologi dan Behan Masalah Frailty

Setelah disepakati definisi dan model pengukuran secara


intemasional, maka diperoleh prevalensi frailty sekitar ±10%
pada populasi berusia >60 tahun dan mencapai 25% pada usia
�80 tahun. Namun patut diakui masih terdapat perbedaan
metode pengukuran frailty.
Dalam telaah sistematis yang melibatkan 61.000 usia lanjut,
prevalensi frailty diperkirakan sebesar 9,9% (95%CI 9,6-10,2)
dan 44,2% (95% CI 44,2-44,7) untuk pre-frailty. Kejadian frailty
tersebut akan meningkat secara konsisten seiring penambahan
usia: 65-69 tahun 4%, 70-74 tahun 7%, 75-79 tahun 9%, 80-
84 tahun 16%, dan �85 tahun 26%. Frailty juga lebih sering
dijumpai pada wanita dibandingkan pria (9,6% vs 5,2% ).
Berbagai studi kohort skala besar dan jangka panjang pun
telah menunjukkan dampak frailty terhadap kejadian jatuh,
perburukan disabilitas, hingga mortalitas (lihat Tabel 3). Secara
umum, kelompokfrail akan lebih cenderung mengalami luaran
kesehatan yang buruk bila dibandingkan dengan kelompok
non-frail.
Hal menarik lainnya ialah studi CHS menemukan adanya
tumpang tindih antara frailty, komorbiditas, dan disabilitas.
Frailty dan komorbiditas ditemukan pada 46,2% populasi;
sementara frailty dan disabilitas ditemukan pada 5,7%, serta
kombinasi frailty, disabilitas, dan komorbiditas sebesar 21,5% .
Pada studi ini, terdapat pula kelompok hanya mengalami
frailty, yaitu 26,6%, suatu temuan yang membuktikan bahwa
frailty berbeda (independen) terhadap komorbiditas dan
disabilitas (lihat Tabel 2).

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Tabel 2. Model Frailty Index-40 items
Disebut frail apabila skor FI >=0,25;
disebut pre-frail apabila skor FI 0,08-0,25

SKOR
No DEFIS IT
0 0,25 0,5 0,75 1
1 Gangguan Peng- Tidak Ringan Sedang Berat Sangat
lihatan ada berat
2 Gangguan Pen- Tidak Ringan Sedang Berat Sangat
deng aran ada berat
3 Bantuan untuk Mandiri Bantuan Tergantung
makan minimal total
4 Bantuan untuk Mandiri Bantuan Tergantung
berpakaian dan minimal total
melepas pakaian
5 Kemampuan un- Mandiri Bantuan Tergantung
tuk merawat diri minimal total
6 Bantuan untuk Mandiri Bantuan Tergantung
be!jalan minimal total
7 Bantuan untuk Mandiri Bantuan Tergantung
tidur dan bangun minimal total
dari tidur
8 Bantuan untuk Mandiri Bantuan Tergantung
mandi minimal total
9 Bantuan untuk Mandiri Bantuan Tergantung
pergi ke kamar minimal total
mandi
10 Bantuan untuk Mandiri Bantuan Tergantung
menele£on minimal total
11 Bantuan untuk Mandiri Bantuan Tergantung
berjalan mencapai minimal total
tempat-tempat
ke 'atan
12 Bantuan untuk Mandiri Bantuan Tergantung
berbelanja minimal total
13 Bantuan untuk Mandiri Bantuan Tergantung
mempersiapkan minimal total
makanan sendiri
14 Bantuan untuk Mandiri Bantuan Tergantung
pekerjaan rumah minimal total
tan a
15 Kemampuan un- Mandiri Bantuan Tergantung
tuk minum obat minimal total
16 Kemampuan Mandiri Bantuan Tergantung
untuk mengurus minimal total
keuangan sendiri

10

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
17 Anggapan Sangat Baik Sedang Bu- Sangat
mengenai tingkat baik ruk buruk
keseha tan sendiri
18 Kesulitan untuk Tidak Kesulitan Kesulitan
melakukan aktivi- ada ringan berat
tas sehari-hari
19 Hidup sendiri Tidak Ya
20 Batuk Tidak Ya
21 Merasa lelah Tidak Ya
22 Hidung tersum- Tidak Ya
bat atau bersin
23 Tekanan darah Tidak Ya
tinggi
24 Masalah jantung Tidak Ya
dan peredaran
darah
25 Stroke atau akibat Tidak Ya
stroke
26 Artritis atau Tidak Ya
rematik
27 Penyakit Parkin- Tidak Ya
son
28 Masalah mata Tidak Ya
29 Masalah telinga Tidak Ya
30 Masalah gigi Tidak Ya
31 Masalah paru Tidak Ya
32 Masalah lambung Tidak Ya
33 Masalah ginjal Tidak Ya
34 Tidak dapat men- Tidak Ya
gontrol kemih
35 Tidak dapat men- Tidak Ya
gontrol BAB
36 Diabetes Tidak Ya
37 Masalah dengan Tidak Ya
kaki atau perge-
lan gan kaki
38 Masalah dengan Tidak Ya
saraf
39 Masalah kulit Tidak Ya
40 Fraktur Tidak Ya

Disebut frail apabila skor Fl >=0,25; disebut pre-frail apabila skor Fl 0,08-0,25

11

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Tabel 3. Studi Kohort Mengenai Luaran Buruk Frailty
Perbu-
Lama Pe- rukan Mortalitas
Subjek Kejadian Jatuh
STUD! Tahun mantauan Disabilitas (OR
(n) (OR [95%CI])
(Tahun) (OR [95%CI])
[95%CI])
Cardiovas- 2001 5.317 7 1,12 (1,00-1,26) 1,55 (1,38- 1,32 (1,13-
cular Health 1,75) 1,55)
Study (CHS)
Canadian 2004 9.008 5 T/S T/S 3,69 (2,26-
Study of 6,02)
Health
and Aging
(CSHA)
Women's 2006 1.438 3 0,92 (0,63-1,64) T/S 6,03 (3,00-
Health 12,08)
and Aging
Study
(WHAS)
Study of 2008 6.701 4,5 HR 1,23 (1,02- HR 1,89 HR 2,75
Osteoporo- 1,48) (1,66-2,14) (2,46-3,07)
tic Fractures
(SOF)
OR, odds ratio; HZ, hazard ratio

lntervensifrai/ty

Perlu digarisbawahi, frailty merupakan proses dinamis


yang dapat memburuk ataupun membaik. Laporan adanya
perubahan status frailty pertama kali dilakukan oleh Gill et
al, melalui studi longitudinal 4,5 tahun yang melibatkan 754
populasi �70 tahun di komunitas. Selama masa pengamatan,
58% subyek minimal mengalami 1 kali transisi status frailty,
baik memburuk maupun membaik. Oleh sebab itu, masih
terbuka kemungkinan untuk mengembalikan kondisi frail
ke pre-frail atau dari pre-frail menjadi sehat; atau setidaknya
mencegah dari pre-frail menjadi frail.
Manajemen frailty yang adekuat seyogyanya dimulai dari
identifikasi individu berusia lanjut yang berisiko menjadi
frail, atau dalam kondisi pre-frailty. Dalam ilmu geriatri,
penilaian frailty sebenamya bukan hal yang baru, mengingat
model frailty index yang menitikberatkan pada penggalian
gejala/ tanda, penyakit, dan disabilitas pada pasien secara

12

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
komprehensif-dikeluhkan atau tidak- sama dengan konsep
pengkajian paripurna pasien geriatri (P3G atau comprehensive
geriatric assessment/ CGA).
Dalam telaah sistematis beberapa artikel terkini, berbagai
intervensi telah dicoba guna mengembalikan status frailty ke
arah sehat. Modalitas yang telah diteliti, antara lain latihan
fisis, suplementasi nutrisi, kombinasi latihan fisis dan nutrisi,
agen farmakologis, program multi-dimensional, serta layanan
berbasis rumah. Regimen latihan fisis yang banyak diteliti
mencakup latihan resistensi, aerobik, keseimbangan dan
fleksibilitas; baik dalam intensitas rendah maupun tinggi
selama 2-3 kali/ minggu. Suplementasi nutrisi yang paling
banyak diteliti ialah sumber protein dan/ atau asam amino.
Mayoritas agen farmakologis berupa terapi androgen, DHEA,
estrogen, dan rekombinan hormon pertumbuhan. Meski belum
ada modalitas yang dianggap sempurna, regimen latihan
fisis dan suplementasi asam amino menunjukkan hasil yang
prospektif.
Seperti yang banyak diketahui sebelumnya, latihan fisis atau
olahraga memiliki efek pada otak, sistem hormonal, imunitas,
dan otot skeletal. Hal itulah yang tampaknya sejalan dengan
patobiologi frailty saat ini. Latihan fisis dapat memperbaiki
mobilitas dan kemampuan fungsional (perbedaan rerata 0,18;
95% CI 0,05-0,30). Namun, belum diketahui intensitas (durasi
dan frekuensi) yang tepat.
Sebuah telaah sistematis dari Cochrane dilakukan untuk
melihat manfaat latihan fisis pada usia lanjut yang tinggal di
perawatan jangka panjang, sebuah populasi yang sangat renta
(jrail). Hasil telaah tersebut menunjukkan, latihan kekuatan
dan keseimbangan mampu meningkatkan kekuatan otot dan
kemampuan fungsional. Bahkan, peningkatan sedikit kekuatan
otot telah mampu menghasilkan perbaikan fungsional yang
signifikan.
Di lain sisi, intervensi nutrisi juga ditujukan untuk
memperbaiki status gizi dan penurunan berat badan pada

13

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
frailty. Akan tetapi, hasil penelitian klinis yang ada masih
bervariasi. Latar belakang penelitian nutrisi untuk frailty
sebenarnya cukup sederhana dan mudah dimengerti.
Mengingat bahwa sarkopenia merupakan kausa utama frailty,
maka terapi sarkopenia secara tidak langsung juga diharapkan
akan memperbaiki status frailty.
Pada sarkopenia, laju pemecahan otot lebih besar
dibandingkan laju sintesis protein otot. Adanya stres pada
berbagai defisit kesehatan juga turut meningatkan kebutuhan
metabolik (energi dan protein) . Selain itu pada pasien frailty,
respon sintesis protein otot cenderung menjadi tumpul, suatu
kondisi yang disebut resistensi anabolik. Dengan demikian,
upaya perbaikan sintesis protein otot melalui suplementasi
protein atau asam amino diharapkan mampu memperbaiki
mekanisme patologis tersebut.
Sebuah survei nutrisi pada populasi usia lanjut di Jepang
juga telah mengonfirmasi adanya defisien asam amino pada
individu frail. Dibandingkan kelompok non-frail, individufrail
memiliki kadar asam amino sistein, metionin, valin, isoleusin,
serta protein total yang lebih rendah. Studi observasional
Women's Health Initiative (WHI) juga menyimpulkan bahwa
peningkatan 20% asupan protein berhubungan dengan
penurunan 32% risiko frailty.
Lantas pemyataan berikutnya, apakah dengan suplementasi
asam amino saja sudah cukup untuk stimulasi pembentukan
protein otot? Sebuah meta-analisis yang diakukan oleh Gweon
HS, et al diketahui bahwa asupan asam amino jangka pendek
(3-6 jam) mampu meningkatkan laju fraksi sintesis protein
otot, baik pada individu sehat maupun usia lanjut. Di samping
memicu sintesis protein, asupan asam amino sekaligus akan
menghambat pemecahan protein. Hasil temuan tersebut
memang sangat tergantung dari dosis protein yang diberikan.
Pada suatu dosis tinggi tertentu, suplementasi asam amino
tidak mampu lagi memicu sintesis otot.

14

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Konsep tersebut kemudian diterj emahkan dalam
beberapa penelitian klinis, namun hasilnya belum sepenuhnya
memuaskan. Selain adanya batas maksimal untuk laju sintesis
protein otot, peningkatan massa otot tidak serta-merta
memperbaiki kekuatan dan performa otot. Padahal, frailty
ialah suatu konsep multi-domain yang menitikberatkan pada
kapasitas fisiologis dan fungsional seseorang. Perbaikan massa
otot tidak menjamin bahwa seorang individu mampu bertahan
terhadap stresor ringan tertentu.
Kim CO, et al (2013) melakukan studi klinis acak
terkontrol ganda pada individu frail dengan gizi kurang.
Luaran yang diukur ialah status fungsional; penelitian ini
tidak lagi mengukur kadar protein darah, namun langsung
menerapkannya pada kemampuan fungsional. Regimen yang
diberikan ialah 200 mL makanan yang terdiri dari 400 kkal
energi, 25 g protein, 9,4 g asam amino esensial, dan 400 mL
air mineral. Setelah 12 minggu intervensi, temyata didapatkan
hasil yang bervariasi untuk masing-masing luaran fungsional.
Terapi nutrisi mampu memperbaiki fungsional fisik, short
physical performance battery (SPPB), kecepatan berjalan, timed
up and go test (TUGT); namun tidak berbeda bermakna untuk
variabel kekuatan genggam tangan dan one-legged stance.
Dari studi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa upaya
peningkatan cadangan fisiologis, dalam hal ini suplementasi
asam amino dan kalori, mampu menunjukkan peningkatkan
performa seorang usia lanjut. Oleh sebab itu, adalah rasional
bila individu berusia lanjut mendapatkan jumlah protein harian
yang lebih tinggi dibandingkan dewasa muda. Rekomendasi
dari Studi PROT-AGE memberikan kisaran 1,0-1,2 g/ kg/hari
untuk asupan protein usia lanjut.
Beberapa penyebab diduga sebagai penyebab menurunnya
laju sintesis protein terhadap asupan protein pada usia lanjut
ialah gaya hidup rendah aktivitas fisis (sedentary lifestyle) atau
adanya sitokin inflamasi pada penyakit kronis. Oleh karena
itu, menggabungkan latihan fisis dalam regimen nutrisi

15

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
dianggap sebagai pilihan terbaik saat ini untuk mencegah
sindrom frailty. Di samping itu, mengingat bahwa frailty
juga merupakan akumulasi defisit kesehatan, maka upaya
perbaikan komorbiditas juga penting untuk meminimalisir
dampak inflamasi kronis pada status frailty.

lntervensi Frailty Masa Depan

Saat ini telah berjalan penelitian klinis untuk mencari


pengobatan frailty. Selain modikasi regimen latihan fisis dan
nutrisi, beberapa agen farmakologis seperti ghrelin, analog
vitamin D, serta bimagrumab (BYM338) diharapkan mampu
mencegah kejadian frailty pada individu berisiko. Bimagrumab
ialah antibodi monoklonal yang menghambat reseptor
aktivin tipe 2, reseptor yang berperan dalam pemecahan
otot. Bimagrumab saat ini menjadi opsi untuk terapi rniositis
badan inklusi, suatu penyakit inflamasi otot yang ditandai
dengan kelemahan dan wasting pada otot proksimal dan distal.
Ke depan, bimagrumab diharapkan mampu memperbaiki
sarkopenia dan juga frailty.

Kesimpu lan

Frailty merupakan sindrom medis yang berdampak luas


bagi individu dan masyarakat. Banyak studi multisentra yang
membuktikan peran frailty sebagai prediktor independen
luaran buruk kesehatan, termasuk mortalitas. Sejumlah model
telah dikembangkan untuk mengukur frailty, namun model
fenotip dan akumulasi defisit adalah yang paling sering
digunakan dalam praktik klinis maupun penelitian. Oleh sebab
itu, stratifikasi pasien usia lanjut berdasarkan status frailty
kini menjadi penting karena dapat menentukan intervensi
yang akan diberikan selanjutnya atau memberikan gambaran

16

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
prognosis pasien. Meski belum ada terapi yang optimal untuk
mencegah atau memperbaiki status frailty, latihan fisis dan
suplementasi protein/ asam amino merupakan pilihan terbaik
saat ini. Berbagai pengobatan mutakhir telah dikembangkan
untuk mengatasi sindrom frailty.

Daftar Pustaka
1. Fried LP, Tangen CM, Walston J, et al. Frailty in older adults:
evidence for a phenotype. J Gerontol A Biol Sci Med Sci. 2001
Mar;56(3):M146-56.
2. Rockwood K, Howlett SE, MacKnight C, et al. Prevalence,
attributes, and outcomes of fi tness and frailty in community­
dwelling older adults: report from the Canadian study of health
and aging. J Gerontol A Biol Sci Med Sci. 2004; 59: 1310-7.
3. Woods NF, LaCroix AZ, Gray SL; Women's Health Initiative.
Frailty: emergence and consequences in women aged 65 and
older in the Women's Health Initiative Observational Study. J
Am Geriatr Soc. 2005 Aug;53(8) :1321-30.
4. Bandeen-Roche K, Xue QL, Ferrucci L, et al. Phenotype of frailty:
characterization in the women's health and aging studies. J
Gerontol A Biol Sci Med Sci. 2006; 61: 262-6.
5. Ensrud KE, Ewing SK, Taylor BC, et al. Comparison of 2 frailty
indexes for prediction of falls, disability, fractures, and death fu
older women. Arch Intern Med. 2008; 168: 382-9.
6. Varadhan R, Walston J, Cappola AR, et al. Higher levels and
blunted diurnal variation of cortisol in frail older women. J
Gerontol A Biol Sci Med Sci. 2008 Feb;63(2):190-5.
7. Gweon HS, Sung HJ, Lee DH. Short-term protein intake increases
fractional synthesis rate of muscle protein in the elderly: meta­
analysis. Nutr Res Pract. 2010 Oct;4(5):375-82.
8. Studenski S, Perera S, Patel K, et al. Gait speed and survival in
older adults. JAMA. 2011Jan 5;305(1):50-8.
9. Gill TM, Gahbauer EA, Han L, et al. The relationship between
intervening hospitalizations and transitions between frailty
states.J Gerontol A Biol Sci Med Sci. 2011 Nov;66(11):1238-43.
10. Xue QL. The frailty syndrome: definition and natural history.
Clin Geriatr Med. 2011 Feb;27(1):1-15.

17

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
11. Clegg A, Young J, Iliffe S, et al. Frailty in elderly people. Lancet.
2013 Mar 2;381(9868):752-62.
12. Kim CO, Lee KR. Preventive effect of protein-energy supplemen­
tation on the functional decline of frail older adults with low so­
cioeconomic status: a community-based randomized controlled
study. J Gerontol A Biol Sci Med Sci. 2013 Mar;68(3):309-16.
13. Rodriguez-Artalejo F, Rodriguez-Mafias L. The frailty syndrome
in the public health agenda. J Epidemiol Community Health.
2014 Aug;68(8):703-4.
14. Lahousse L, Maes B, Ziere G, et al. Adverse outcomes of frailty
in the elderly: the Rotterdam Study. Eur J Epidemiol. 2014
Jun;29(6):419-27.
15. Armstrong JJ, Mitnitski A, Launer LJ, et al. Frailty in the Hono­
lulu-Asia Aging Study: deficit accumulation in a male cohort
followed to 90% mortality. J Gerontol A Biol Sci Med Sci. 2015
Jan;70(1):125-31.
16. Rodriguez-Mafias L, Fried LP. Frailty in the clinical scenario.
Lancet. 2015 Feb 14;385(9968):e7-9.

18

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Manfaat Kendali Tekanan Darah
24-Jam dalam Menurunkan Risiko
Komplikasi Hipertensi
pada Pasien Usia Lanjut
Kuntjoro Harimurti

Hipertensi Pada Usia Lanj ut: Suatu Tinjauan Si ngkat

Hipertensi dan komplikasinya merupakan masalah


kesehatan utama pada populasi usia lanjut. Prevalensi
hipertensi secara global sekitar 40% pada tahun 2008.1 Pada
populasi di Amerika Serikat yang berusia di atas 18 tahun
prevalensi hipertensi sekitar 27% dan prevalensi ini meningkat
secara progresif seiring meningkatnya usia, sehingga
mayoritas populasi berusia lanjut mengalami hipertensi. Pada
Framingham Heart Study, sekitar 90% subjek berusia 55 tahun
dengan tekanan darah yang pada awalnya normal kemudian
akan mengalami hipertensi pada suatu saat di kemudian hari.2
Di populasi Asia, prevalensi hipertensi bervariasi antara 30%
di Korea hingga 47% di Mongolia. Di China dengan prevalensi
hipertensi secara keseluruhan 39%, pada populasi berusia >60
tahun prevalensinya 59,4% , dan pada usia 75 tahun 72,8% .3 Di
Indonesia, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
Tahun 2013, prevalensi hipertensi keseluruhan yang didapat
melalui pengukuran pada sampel sebesar 25,8%; dengan
prevalensi yang meningkat pada kelompok usia 45-54 tahun
(35,6% ), 55-64 tahun (45,9% ), 65-74 tahun (57,6% ), dan usia 75
tahun atau lebih (63,8% ) .4
Patofisiologi hipertensi pada kelompok usia lanjut sebagian
besar akibat dari perubahan vaskuler pada proses menua,
terutama yang melibatkan perubahan struktural pada tunika
media yaitu gangguan elastin, deposisi kolagen, serta kalsifikasi,

19

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
yang pada akhirnya menyebabkan kekakuan serta penebalan
lapisan intima-media. Selain itu, kekakuan pembuluh darah
pada proses menua juga disebabkan oleh disfungsi endotel
dan berkurangnya ketersediaan oksida nitrit (nitrit oxide, NO).
Beberapa mekanisme lain diketahui terjadi pada pembuluh
darah besar dan aorta, seperti perubahan kontur denyut arteri
akibat kembalinya secara dini gelombang pembuluh darah
yang terpantulkan dari perifer ke aorta proksimal. Gelombang
yang kembali tersebut ditambah dengan gelombang anterograd
menghasilkan tekanan darah sistolik (TDS) yang meningkat
diikuti dengan peningkatan tekanan dinding ventrikel kiri.
Mekanisme ini secara keseluruhan menyebabkan peningkatan
TDS tanpa diikuti peningkatan tekanan darah diastolik (TDD)
atau disebut sebagai hipertensi sistolik terisolasi (isolated
systolic hypertension, ISH), yang merupakan karakteristik
hipertensi pada populasi usia lanjut.5
Selain perubahan struktural pada pembuluh darah,
terdapat beberapa mekanisme lain yang berkontribusi pada
kejadian hipertensi pada pasien usia lanjut, yaitu peningkatan
aktivitas saraf simpatis, peningkatan sensitivitas terhadap
garam, berbagai komorbid yang sudah ada pada pasien
(seperti penyakit ginjal kronik dan obesitas), serta fenomena
white-coat hypertension yang lebih nyata pada mereka yang
berusia lanjut. Kesemuanya ini, yang umumnya terjadi secara
bersama-sama, menyebabkan prevalensi hipertensi lebih tinggi
pada populasi usia lanjut.5
Komplikasi akibat hipertensi pada usia lanjut terjadi sama
seperti pada kelompok dewasa muda dengan hipertensi, namun
dengan pola yang berbeda. Kejadian penyakit serebrovaskular,
baik strok iskemik maupun hemoragik, merupakan salah satu
komplikasi utama dan banyak terjadi pada pasien hipertensi
usia lanjut. Walaupun dikatakan hubungan antara tekanan
darah dengan kejadian strok tidak sekuat seperti pada
pasien hipertensi dewasa muda, namun karena morbiditas
dan mortalitas terkait-strok meningkat seiring dengan

20

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
meningkatnya usia maka hipertensi masih merupakan fakrot
risiko penting untuk kejadian serebrovaskular. Salah satu
komorbiditas terkait-stroke yang penting adalah penurunan
fungsi kognitif, mulai dari gangguan kognitif ringan hingga
terjadinya demensia (baik demensia vaskular maupun penyakit
Alzheimer) dan ini menjadi penting karena gangguan kognitif
ringan dan demensia juga sering didapatkan pada orang
berusia lanjut yang berkaitan dengan proses penuaannya.
Komplikasi lain seperti penyakit jantung koroner, gagal
jantung, penyakit ginjal kronik, serta penyakit pembuluh
darah perifer secara umum terjadi sama seperti pada pasien
dewasa muda. Sementara beberapa komplikasi lain dikatakan
mempunyai karakteristik dan dampak yang berbeda yaitu
fibrilasi atrium, aneurisma aorta abdominalis, dan komplikasi
di mata (retinopati) . Ketika berbicara mengenai berbagai
komplikasi pada pasien hipertensi usia lanjut, issue yang
harus selalu diingat dan dijadikan target tata laksana adalah
mengenai kualitas hidup.5
Pengkajian terhadap pasien hipertensi usia lanjut harus
dimulai dari pemeriksaan tekanan darah yang akurat dan
dapat dipercaya menggambarkan tekanan darah sebenarnya
dari pasien. Secara teknis tidak ada perbedaan cara pengukuran
tekanan darah antara usia dewasa muda dan usia lanjut, namun
kemungkinan terdapatnya kondisi pseudohypertension
dan white-coat hypertension selalu harus diperhitungkan.
Walaupun perneriksaan tekanan darah secara ambulatoar dan
pemeriksaan tekanan darah secara mandiri di rumah sangat
dianjurkan pada pasien hipertensi termasuk pada usia lanjut,
penggunaannya harus mempertirnbangkan adanya penurunan
fungsi kognitif yang umumnya terjadi pada orang berusia
lanjut. Evaluasi klinis pasien usia lanjut dengan hipertensi
dirnulai dari evalusi terhadap faktor risiko/pemberat yang
dapat dimodifikasi seperti gaya hidup sedentari, merokok,
dan konsumsi alkohol. Evaluasi juga dilakukan terhadap
identifikasi kerusakan target organ, meliputi perneriksaan

21

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
laboratorium, radiologi, maupun pemeriksaan penunjang lain
yang relevan. Selain itu pemeriksaan terhadap komorbid lain
yang sering menyertai hipertensi, seperti diabetes melitus dan
dislipidemia, merupakan pemeriksaan rutin awal yang juga
harus dilakukan (Tabel 1).5

Tabel 1. Evaluasi klinis pasien usia lanjut dengan hipertensi untuk


identifikasi kerusakan target organ dan komorbiditas

Kerusakan target organ/ Pemeriksaan yang dianjurkan


Komorbiditas

Ginjal (nefropati) Urinalisis, ureum, kreatinin, elektrolit,


laju filtrasi glomerulus
Retinopati Funduskopi
Jan tung Foto ronsen dada, elektrokardiografi, dan
ekokardiografi (pada keadaan khusus)
Dislipidemia Profil lipid, yang meliputi: kolesterol
total, kolesterol HDL, kolesterol LDL,
dan trigliserida
Diabetes melitus Gula darah puasa, HbAlc

Seperti pada pasien usia lanjut secara umum, pengkajian


secara paripurna (comprehensive geriatric assessment, CGA)
juga hams dilakukan ketika mengevaluasi pasien usia lanjut
dengan hipertensi. Selain aspek fisik-medik berupa diagnosis
dan derajat beratnya hipertensi serta evaluasi kerusakan target
organ, pengkajian terhadap status fungsional dilakukan untuk
mengetahui dampak hipertensi dan komplikasinya terhadap
mobilitas dan kemandirian pasien. Komplikasi berupa gagal
jantung, penyakit jantung koroner dengan manifestasi angina
yang berat, stroke, retinopati, dan penyakit arteri perifer
dengan klaudikasio dapat sangat mempengaruhi aktivitas
pasien sehari-hari dan menyebabkan ketergantungan akibat
hendaya yang yang ditimbulkannya. Seperti telah disebutkan
di atas, salah satu komplikasi penting hipertensi adalah
kejadian serebrovaskular yang secara langsung menyebabkan
gangguan fungsi kognitif (mulai dari yang ringan hingga

22

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
demensia vaskular dan penyakt Alzheimer), maka penilaian
fungsi kognitif harus selalu dilakukan. Selain karena
komplikasi akibat hipertensi, evaluasi fungsi kognitif perlu
dilakukan sebagai upaya menilai keberlangsungan proses
pengobatan jangka panjang yang membutuhkan kepatuhan
pengobatan dan pemahaman pasien terhadap hipertensi yang
dialaminya. Evaluasi aspek nutrisi dapat menjadi poin penting
dalam tata laksana hipertensi dan komplikasinya, sebagai dasar
modifikasi diet pasien sesuai dengan kondisi hipertensi dan
komplikasinya dengan tetap mempertahankan status nutrisi
pasien pada keadaan normal. Obesitas merupakan salah satu
penyulit hipertensi yang hams diperhatikan dan ditata laksana
dengan benar.

Variabilitas Tekanan Darah 24 Jam pada Pasien Hi per·


tensi dan l mplikasi Klinisnya

Variabilitasi tekanan darah dalam periode 24 jam telah


diketahui sejak lama, yang pada tahun 1970-an dikonfirmasi
melalui pemantauan tekanan darah intra-arterial pada individu
normal dan hipertensi. Karakteristik sirkadian tekanan darah
ini ditandai dengan peningkatan drastis tekanan darah segera
setelah waktu bangun tidur (morning surge) yang mencapai
puncaknya pada sekitar jam 10 pagi, dan kemudian menurun
secara progresif hingga mencapai nilai terendahnya pada
saat malam hari terutama saat tidur (Gambar 1). Pada pasien
dengan hipertensi pola sirkadian ini juga dipertahankan,
dengan kecenderungan amplitudonya yang lebih meningkat
serta terdapat beberapa individu yang tidak menunjukkan
penurunan tekanan darah nokturnal yang disebut sebagai
"nondippers" . 6

23

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
200
180

00 160
J:
E 1 40
.S
QI 1 20

�a. 1 00 Diastolic BP
,-
_____

al
80 ....
.._ ... __ _

60 Morning hours
0
1 8,00 22,00 02,00 06,00 1 0,00 1 4,00 1 8,00

Time of day

Gambar 1 . Pola perubahan tekanan darah dalam periode 24 jam

Variabilitas tekanan darah 24 jam ini mempunyai berbagai


implikasi klinik. Pertama, terdapat fenomena meningkatnya
kejadian kardiovaskular, berupa infark miokard, stroke dan
kematian jantung mendadak, pada pagi hari (sekitar pukul 06 -
10 pagi) dibandingkan pada waktu-waktu lainnya (Gambar 2).
Walaupun teori mengenai fenomena ini menjelaskan berbagai
faktor berperan seperti faktor neuroendokrin serta peningkatan
aktivitas trombosit dan menurwmya aktivitas fibrinolitik pada
pagi hari, namun peningkatan tekanan darah masih merupakan
faktor yang diduga paling berhubungan dengan peningkatan
secara relatif kejadian kardiovaskular pada pagi hari. Kedua,
pasien hipertensi yang tergolong "non-dippers" lebih sering
mengalami komplikasi akibat hipertensi dibanding pasien
hipertensi yang masih dapat mempertahankan pola sirkadian
turunnya tekanan darah pada saat malam hari ("dippers") .
"Non-dippers" yang didefinisikan sebagai penurunan tekanan
darah selama waktu tidur kurang dari 10% bila dibandingkan
saat bangun, terjadi karena meningkatnya aktivitas adrenergik
dan menurunkan aktivitas vagal saat tidur. Ketiga, beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pemantauan tekanan darah
secara ambulatoar selama 24 jam merupakan prediktor yang
lebih baik bila dibandingkan pemeriksaan tekanan darah

24

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
sesaat dalam memprediksi terjadinya berbagai komplikasi
kardiovaskular.7

Hourly frequency of the onset of Ml and stroke " "


1 50

00
N
,., 1 20 200
II
t:
Ql
"'
0 90 1 50

� 60 100
41
0
Ill 30 50
.0
E
:::
z
0 ������� 0
18:00 22:00 02:00 06:00 10:00 14:00 18:00

Time of day

Gambar 2. Peningkatan risiko kejadian kardiovaskular pada ke­


naikan tekanan darah 24-jam

Variabilitas tekanan darah 24-jam ini juga menjadi masalah


penting dalam evaluasi hipertensi pada pasien usia lanjut.
Peningkatan rerata TDS pagi hari (morning surge) diketahui
lebih tinggi pada kelompok pasien berusia 65 tahun lebih bila
dibandingkan pasien kelompok usia di bawahnya.8 Selain
itu, seperti telah disebutkan di atas, fenomena white-coat
hypertension merupakan salah satu karakteristik penting
pada evaluasi hipertensi pada pasien usia lanjut. Pasien usia
lanjut lebih sering mengalami white-coat effect atau white
coat hypertension bila dibanding pasien dewasa muda
dengan prevalensi antara 15% hingga 25% .5 Oleh sebab itu,
pemantauan tekanan darah di luar pemeriksaan rutin di klinik
serta pemantauan ambulatoar atau di rumah selama 24 jam
menjadi salah satu evaluasi yang penting dilakukan pada
pasien hipertensi usia lanjut.

25

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Pentingnya Pengendalian Tekanan Darah 24-Jam
Pada Pasien Hi pertensi Usia Lanj ut

Walaupun pengendalian tekanan darah hingga mencapai


nilai optimalnya merupakan target pada penatalaksanaan
hipertensi, namun penelitian-penelitian mengenai pengobatan
antihipertensi pada pasien usia lanjut menunjukkan hasil yang
masih bervariasi. Target penurunan tekanan darah pada pasien
hipertensi usia lanjut, baik sistolik maupun diastolik, masih
menjadi diskusi dan terus diteliti hingga saat ini. Peningkatan
risiko kardiovaskular dan komplikasi lain hipertensi jelas
terjadi pada peningkatan tekanan darah, namun bukan berarti
ketika tekanan darah diturunkan maka akan diiringi penurunan
risiko komplikasi. Sudah dikenal pola hubungan tekanan darah
dengan risiko komplikasi hipertensi yang berbentuk kurva-J
atau kurva-U, yang menunjukkan bahwa ketika tekanan
darah diturunkan akan terjadi penurunan risiko komplikasi
hipertensi namun pada suatu nilai tekanan darah tertentu
maka risiko komplikasi justru meningkat ketika tekanan darah
diturunkan lebih lanjut (Gambar 3) .9 Oleh sebab itu, beberapa
panduan penatalaksanaan hipertensi terkini menganjurkan
target pencapaian tekanan darah yang tidak serendah target
pada populasi kelompok usia dewasa muda. 10
Selain masalah target tekanan darah, terkait dengan
fenomena variabilitas tekanan darah 24-jam, maka upaya
pengendalian tekanan darah yang terus menerus sepanjang
hari hams menjadi perhatian dalam tata laksana hipertensi
pada pasien usia lanjut. Walaupun sudah banyak penelitian
yang menunjukkan bahwa pengukuran tekanan darah selama
24-jam atau pengukuran tekanan darah di luar kunjungan
pasien ke dokter merupakan prediktor yang lebih baik bila
dibandingkan pengukuran sesaat di klinik,11 •12 namun penelitian
khususnya pada populasi pasien hipertensi usia lanjut masih
terbatas. The Dublin outcome study menunjukkan pada pasien
hipertensi usia lanjut pengukuran tekanan darah 24-jam dan

26

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
A i.46 -- --------------------
.
rn \
::� \.1.36 ...
l:�
t
\.
..
. 30
0 1 .28 ....•
;; t.26 .
:! rn
"E
-...•. •.•
1 :20 ·
"' 1 . 1 8 •• ·
:: 1 . 16

••
· •

rn10 .... ••
:z::
.1 .:�
11 8:!
·· · • ·
·· . . . . ·
· ·. . ...
..··
· · · · ·· · ·· • •. . ...·
· . ..
1,
' ' •• • • o ,

• ..., , •• • .., • . .. . . .
·· · ·· · · · ·
,,.O Lo

0.06
•••

O.ll6
· · ·· ····················· ··· · ·····
0.94 ... �����������,.,...�
....� .. ��..,...
� ..., ....
,.,... .. ..
..-1
1 10 120 130 140 150 160 170

Systolic blood pressure (mmHg)


Bia
1 7 �---

16

1 5
0
i
... 14 .
·
,,
..
...
:15 1 · . .
3 ·..··· ·.
li! ... .·
J: . ····

_·:
. ··
12
· · ·· · ... ..
11
· · · ·· ·
· · · ··· · · :::��;;;
:� ··· ··
· · ·· ···
: '.. "i.o...�
·.:i;.
:;o ··.- · ·�
· ·..,
10

o g-,
,_.,_����-���.....,1
60 70 80 00 100
Diastolic blood pressure (mmHg)
Garnbar 3. Pola hubungan tekanan darah sistolik (A) dan diastolik
(B) dengan komplikasi hlpertensi

pengukuran tekanan darah rnalarn hari rnerupakan prediktor


yang lebih kuat bila dibandingkan pengukuran tekanan darah
di klinik.13 Penelitian Kario pada 519 pasien hipertensi usia
lanjut rnenunjukkan bahwa morning surge rnerupakan prediktor
yang sensitif terjadinya terjadinya penyakit serebrovaskular

27

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
yang silent maupun bermanifestasi klinis.14 Penelitian lain
pada pasien hipertensi usia 60-90 tahun yang tergolong "non­
dippers" kejadian stroke secara bermakna meningkat baik pada
yang mengalami morning surge dan yang tidak, sementara
pada dippers peningkatan kejadian stroke bermakna hanya
pada yang mengalami morning surge.15 Perubahan white-matter
hyperintensity (WMH) yang berdampak pada penurunan
fungsi kognitif yang terjadi sebagai komplikasi hipertensi
yang penting pada pasien usia lanjut, berhubungan lebih kuat
dengan pengukuran rerata tekanan darah sepanjang hari bila
dibandingkan dengan pengukuran darah di klinik saja.16
Atas dasar bukti-bukti klinis di atas, maka tata laksana
yang diberikan untuk pasien hipertensi usia lanjut (baik
non-farmakologik d a n farmakologis) harus mampu
mempertahankan tekanan darah sesuai target secara terus
menerus selama 24-jam. Untuk terapi obat, maka obat
yang dipilih harus mempunyai masa paruh yang panjang
serta mempunyai efek samping yang ringan dan mudah
penggunaan (dosis sekali sehari) agar dapat meningkatkan
kepatuhan pasien. Obat golongan angiotensin receptor-blocker
(ARB) seperti telmisartan dan valsartan, golongan antagonis
kalsium amlodipin, serta ACE-inhibitor ramipril, merupakan
obat-obat yang memiliki karakteristik di atas. Uji klinis obat­
obat tersebut, baik sebagai obat tunggal maupun kombinasi,
menunjukkan telmisartan mempunyai efek pengendalian
tekanan darah 24-jam serta keefektifan yang lebih baik
dalam menurunkan kejadian komplikasi akibat hipertensi
dibandingkan obat lainnya.17-19

Penutup

Hipertensi dan komplikasinya merupakan masalah


kesehatan utama pada populasi usia lanjut, yang memiliki
berbagai kekhususan. Evaluasi dan tata laksana pasien
hipertensi usia lanjut hams dilakukan secara komprehensif

28

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
dengan upaya mempertahankan serta meningkatkan kualitas
hidup sebagai terget utama. Adanya variabilitas tekanan
darah dalam 24 jam yang menimbulkan berbagai implikasi
klinis menjadi dasar upaya pengendalian tekanan darah
yang optimal terns menerus selama 24 jam dengan tujuan
menurunkan berbagai komplikasi akibat hipertensi.

Daftar Pustaka
1. World Health Organization (WHO). Global health observatory
(CHO) data: Raised blood pressure. http:/ / www.who.int/ gho/
ncd/ risk_factors/blood_pressure_prevalence_text/ en/ [cited
May 25, 2015]
2. Lloyd-Jones D, Adams R, Carnethon M, et al. Heart disease and
stroke statistics - 2009 update: a report from the American Heart
Association Statistics Committee and Stroke Statistics Subcom­
mittee. Circulation. 2009;119:e21-181.
3. Park JB, Kario K, Wang J-G. Systolic hypertension: an increasing
cinical cahllange in Asia. Hypertens Res. 2015;38:227-36.
4. Riset Kesehatan Dasar 2013. Pusat Data dan lnformasi. Kemen­
terian Kesehatan Republik Indonesia, 2013.
5. ACCF/AHA 2011 Expert Consensus Document on Hypertension
in the Elderly. A Report of the American College of Cardiology
Foundation Task Force on Clinical Expert Consensus Documents.
Circulation. 2011;123:2434-2506.
6. Mead M, Adgey J, Griffith KE, et al. Controlling blood pres­
sure over 24 hours: a review of the evidence. Br J Cardiol.
2008;15:31-4.
7. Weber MA. The 24-hour blood pressure pattern: does it have
implications for morbidity and mortality? Am J Cardiol.
2002;89(suppl):27A-33A.
8. Koylan N, Sever MS, Ilerigelen B, et al., TRAP Study Group.
Morning surge of blood pressure in the elderly is more prominent
than younger patients in the treatment and ambulatory blood
pressures (TRAP) study. Am J Hypertens (2001) 14 (Sl): 52A.
9. Denker MG, Cohen DL. What is an appropriate blood pressure
goal for the elderly: review of recent studies and practical recom­
mendations. Clini Intervent Aging. 2013:8:1505-17.

29

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
10. James PA, Oparil S, Carter BL, et al. 2014 Evidence-Based Guide­
line for the Management of High Blood Pressure in Adults.
Report From the Panel Members Appointed to the Eighth Joint
National Committee (JNC 8). JAMA. 2014;311(5):507-520.
11. Madin K, Iqbal P. Twenty four hour ambulatory blood pressure
monitoring: a new tool for determining cardiovascular prognosis.
Postgrad Med J. 2006;82:548-551 .
12. Dolan E, Stanton A, Thijs L, et al. Superiority of ambulatory over
clinic blood pressure measurement in predicting mortality. The
Dublin Outcome Study. Hypertension. 2005;46:156-61 .
13. Burr ML, Dolan E, 0-Brien EW, et al. The value of ambulatory
blood pressure in older adults: the Dublin outcome study. Age
Ageing. 2008;37:201-6.
14. Korio K, Pickering TG, Umeda Y, et al: Morning surge in blood
pressure as a predictor of silent and clinical cerebrovascular dis­
ease in elderly hypertensives. A prospective study. Circulation.
2003;107: 1401-6.
15. Pierdomenico SD, Pierdomenico AM, Cuccurullo F. Morning
blood pressure surge, dipping, and risk of ischemic stroke in
elderly patients treated for hypertension. Am J Hypertens. 2014
Apr;27:564-70.
16. White WB, Wolfson L, Wakefield DB, et al. Average daily blood
pressure, not office blood pressure, is associated with progression
of cerebrovascular disease and cognitive decline in older people.
Circulation. 2011;124:2312-9.
17. Neutel JM, Smith DHG. Evaluation of angiotensin II receptor
blockers for 24-hour blood pressure control: Meta-analysis of a
clinical database. J Clin Hypertens. 2003;1:58-63.
18. Mancia G, Schumacher H, Redon J, et al. Blood pressure targets
recommended by guidelines and incidence of cardiovascular
and renal events in the Ongoing Telmisartan Alone and in Com­
bination With Ramipril Global Endpoint Trial (ONTARGET).
Circulation. 2011;124:1727-36.
19. Mancia G, Parati G, Bilo G, et al. Ambulatory blood pressure
values in the Ongoing Telmisartan Alone and in Combination
with Ramipril Global Endpoint Trial (ONTARGET). Hyperten­
sion. 2012;60:1400-6.

30

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Evaluasi Rasa Nyeri pada
Pasien Geriatri ya ng Renta dan/
ata u Demensia
Pu rwita W. Laksmi

Pendahuluan

Nyeri merupakan keluhan yang lazim dijumpai pada


orang usia lanjut (usila). Prevalensi nyeri pada usila di
komunitas berkisar antara 25-56%, sedangkan di fasilitas
perawatan jangka panjang (panti rawat wer dha/ nursing
home) jauh lebih tinggi yakni sekitar 45-80% . Sumber nyeri
bervariasi mulai dari kram, klaudikasio, sakit kepala, nyeri
punggung, nyeri sendi, neuralgia (misalnya neuropati diabetes
melitus/DM, neuralgia pasca herpes/ pos therpetic neuralgia/
PHN, trauma saraf, dan pasca amputasi), hingga nyeri pada
kanker. Pendekatan diagnosis dan tata laksana nyeri pada usila
berbeda dibandingkan pada dewasa muda sehingga menjadi
suatu tantangan tersendiri bagi tenaga kesehatan.1
Terdapat berbagai mitos seputar nyeri pada usila
sehingga kaum usila tidak melaporkan rasa nyeri yang
dideritanya kepada tenaga kesehatan. Di satu sisi, banyak
usila dan keluarganya yang memiliki pemahaman bahwa
nyeri merupakan sesuatu yang wajar terjadi terkait proses
menua dan keyakinan bahwa nyeri yang dialami tidak
dapat diatasi. Di sisi lain, terdapat pula kekhawatiran pada
usila bahwa rasa nyeri merupakan pertanda adanya kondisi
patologis/penyakit yang berat atau bahkan suatu pertanda
menjelang kematian sehingga bila keluhan nyeri dilaporkan
kepada tenaga kesehatan maka akan dibutuhkan perawatan di
rumah sakit serta dilakukan berbagai pemeriksaan penunjang
dan intervensi medis dengan berbagai efek samping yang
tidak diinginkan, pengeluaran biaya yang tidak sedikit,

31

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
kekhawatiran akan timbul ketergantungan terhadap obat anti­
nyeri/ analgesik, dan hilangnya kemandirian atau otonomi
seseorang. Selain itu, sejumlah usila memiliki kesulitan untuk
mengkomunikasikan atau mengkuantifikasikan keluhan nyeri,
baik akibat adanya berbagai penyakit yang diderita, perubahan
kesadaran/ delirium, gangguan fungsi kognitif, afasia atau
disfasia, neuropati sensorik, maupun gangguan penglihatan
dan pendengaran.1•2
Berbagai pemahaman yang keliru dan kendala dalam
komunikasi tersebut menyebabkan tidak disampaikannya
keluhan nyeri kepada tenaga kesehatan. Patut diperhatikan
bahwa tidak disampaikannya keluhan nyeri oleh pasien
berusia lanjut bukan berarti pasien tersebut tidak memiliki/
menderita nyeri. Dengan tidak dilaporkannya rasa nyeri,
membuat kasus nyeri pada usila tidak mendapatkan tata
laksana nyeri seperti yang seharusnya. Pihak tenaga kesehatan
sendiri merniliki keengganan untuk memberikan terapi obat
analgesik pada pasien berusia lanjut karena khawatir terjadi
efek samping dan interaksi obat mengingat adanya penurunan
fungsi organ terkait proses menua dan polifarmasi pada
pasien berusia lanjut.2 Ekspresi/manifestasi klinis nyeri yang
merupakan hasil interaksi multifaktor (fisiologis, psikologis,
dan sosial) juga berbeda-beda antar-individu bahkan dapat
berbeda pada individu yang sama seiring berjalannya waktu
sehingga turut memperumit evaluasi dan tata laksana nyeri
pada pasien berusia lanjut.3
Rasa nyeri yang berkepanjangan pada usila tersebut
lambat laun menjadi nyeri persisten (persistent pain) yang
pada giliran selanjutnya berdampak pada terjadinya luaran
yang buruk seperti gangguan tidur, jatuh, perlambatan proses
rehabilitasi, gangguan untuk melakukan aktivitas hidup sehari­
hari (gangguan status fungsional), menurunnya kegiatan/
aktualisasi sosial, ansietas, depresi, gangguan fungsi kognitif,
peningkatan pemakaian dan biaya perawatan kesehatan,
peningkatan kejadian efek samping obat, serta penurunan
kualitas hidup.2•3

32

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Landi dkk.4 melaporkan dari 3.046 pasien berusia lanjut
yang mendapatkan asuhan medis di rumah (home care), 44 %
menderita nyeri tiap harinya, namun hanya 27% subjek yang
mendapat terapi obat analgesik. Lebih jauh lagi, seiring dengan
usia yang bertambah lanjut proporsi pasien yang mendapatkan
terapi obat analgesik ternyata semakin berkurang, yakni sebesar
33% pada kelompok berusia 65-74 tahun, 26% pada kelompok
berusia 75-84 tahun, dan hanya 21 % pada kelompok berusia �85
tahun. Adanya gangguan kognitif juga meningkatkan risiko
tidak mendapat terapi obat analgesik (adjusted odds ratio/OR
0,8; 95% interval kepercayaan/95% IK 0,69-0,93).4
Nyeri juga dikaitkan dengan status kerentaan (frailty)
individu. Nyeri persisten ditengarai turut berkontribusi
dalam mempresipitasi atau mempercepat terjadinya sindrom
frailty pada usila melalui berbagai mekanisme seperti
gangguan mobilitas, depresi, penurunan asupan makanan,
dan peningkatan beban komorbiditas.5 Berdasarkan analisis
potong lintang data the Canadian Study of Healthy and Aging
Wave 2, Shega dkk.5 mendapatkan 35,5% dari 4.968 subjek
memiliki keluhan nyeri derajat sedang atau berat. Subjek yang
melaporkan keluhan nyeri derajat sedang atau berat, 49,8%
berada dalam kategori renta (jrail) dengan OR 5,52 (95% IK
4,49-6,64), sedangkan pada individu yang tidak renta hanya
16,2%.5
Berpijak pada uraian di atas, deteksi rasa nyeri pada
pasien geriatri khususnya pasien geriatri yang renta dan/ atau
memiliki gangguan fungsi kognitif sangat penting dilakukan
oleh tenaga kesehatan, namun tidak mudah tanpa pengetahuan
dan keterampilan yang memadai. Tulisan ini akan membahas
mengenai evaluasi rasa nyeri pada populasi tersebut sehingga
tenaga kesehatan dapat melakukan deteksi dini yang kemudian
diikuti dengan intervensi tata laksana nyeri yang adekuat
dan evaluasi lanjutan terhadap keberhasilan terapi nyeri
yang dilakukan. Kontrol atau terapi nyeri yang tidak adekuat
termasuk tindakan yang tidak etis pada pasien. Tata laksana

33

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
nyeri yang tepat akan memberikan luaran yang baik seperti
proses pemulihan yang lebih cepat, lama rawat menjadi lebih
singkat, angka rehospitalisasi lebih rendah, dan peningkatan
kualitas hidup.

Pengertian dan Klasifikasi Nyeri

The In ternational A ssociation for the S tu dy of Pain


mendefinisikan nyeri sebagai "suatu pengalaman sensorium
dan emosi yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan."6 Nyeri dapat diklasifikasikan menurut
lama/ durasi, penyebab, lokasi, dan intensitas.1
Berdasarkan durasinya, nyeri digolongkan menjadi
nyeri akut dan persisten. Awitan dan penyebab nyeri akut
bersifat jelas (trauma, Iuka bakar, infark, inflamasi) dengan
durasi singkat. Nyeri akut umumnya memberikan tanda
klinis aktivasi sistem saraf otonom berupa takikardia,
diaforesis dan peningkatan tekanan darah. Intensitas nyeri
akut berkesesuaian dengan derajat berat trauma/penyakit.1
The A merican Geriatric Society (AGS) mendefinisikan nyeri
persisten sebagai pengalaman nyeri yang terus berlanjut
selama periode waktu yang lama (>3 bulan) dan mungkin
berkaitan atau tidak berkaitan dengan proses penyakit yang
dapat diketahui.3 Intensitas nyeri persisten tidak sejalan
dengan patologi yang dapat diobservasi dan umumnya tidak
memberikan tanda klinis aktivasi sistem saraf otonom. Nyeri
persisten berhubungan dengan terjadinya gangguan fungsi
fisik dan psikologis yang turut berkepanjangan.1
Penyebab nyeri digolongkan menjadi nyeri nosiseptif,
neuropatik, campuran nosiseptif dan neuropatik, sindrom
nyeri dengan mekanisme yang tidak diketahui, serta nyeri
terkait gangguan psikologis (misalnya reaksi konversi, nyeri
psikogenik) . Nyeri nosiseptif terjadi akibat stimulasi pada
reseptor nyeri oleh jejas/ trauma pada jaringan, inflamasi,
atau deformasi mekanik. Nyeri nosiseptif dapat berupa nyeri

34

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
somatik (misalnya nyeri akibat fraktur, trauma insisi, trauma
termal) atau viseral (misalnya pada kasus obstruksi usus,
konstipasi, endometriosis). Nyeri neuropatik dapat bersifat
sentral (misalnya nyeri pasca-strok, nyeri terkait sklerosis
multipel) atau perifer (misalnya nyeri pada kasus neuropati
DM dan PHN). Nyeri psikogenik juga termasuk dalam nyeri
non-nosiseptif. 1•3
Lokasi nyeri secara garis besar dapat dibedakan menjadi
nyeri pada regio/ area tubuh tertentu (kepala, punggung, dan
sebagainya) dan nyeri pada sistem tubuh (muskuloskeletal,
vaskular, dan lain-lain). Intensitas nyeri dideskripsikan secara
subjektif dengan mengacu pada skala nyeri. 1

Persepsi Rasa N yeri pada Usila vs. Dewasa Muda

Salah satu karakteristik pasien geriatri adalah manifestasi


klinis yang tidak khas. Seiring bertambahnya usia ditengarai
terdapat perubahan pada sistem saraf yang mengubah persepsi
rasa nyeri pada usila, antara lain penurunan jumlah reseptor
nyeri di kulit dan organ lain, perubahan konduksi saraf, serta
beberapa perubahan sistem saraf pusat yang memengaruhi
proses sensorik.1 Sebagai contoh, kejadian infark miokard tanpa
rasa nyeri (silent myocard infarct) cukup sering terjadi pada
pasien berusia lanjut, demikian pula kasus peritonitis tanpa
rasa nyeri.7 Penelitian Wroblewski dan Mikulowski seperti
dikutip oleh Balducci dkk.7 melaporkan bahwa dari 212 pasien
berusia 60-99 tahun dengan peritonitis akut, hanya 55% yang
mengeluh nyeri perut. Cheng dkk. seperti dikutip oleh Balducci
dkk.7 juga mendapatkan dari 1 .500 pasien dengan kanker yang
telah metastasis, 55 % pasien berusia <45 tahun dan 35 % pasien
berusia antara 45-55 tahun mengeluhkan nyeri, namun hanya
26% pasien berusia >65 tahun yang mengeluh nyeri.
Walaupun demikian, secara umum hasil penelitian
pengaruh proses menua terhadap perubahan persepsi
rasa nyeri pada usila masih belum konsisten. Berdasarkan

35

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
bukti ilmiah yang ada, para pakar menyimpulkan bahwa
perubahan persepsi rasa nyeri terkait proses menua hanya
minimal dan secara klinis tidak bermakna karena penelitian
yang ada banyak yang bersifat retrospektif, tidak ada yang
menyesuaikan atau memperhitungkan faktor penurunan
fungsi kognitif atau hendaya lain pada subjek penelitian yang
menyebabkan kesulitan untuk mengkomunikasikan rasa nyeri,
serta laporan subjek berusia lanjut dapat bervariasi sesuai
dengan skala penilaian rasa nyeri yang dipakai.1•3•7 Selain itu,
adanya komorbid yang menimbulkan nyeri persisten dapat
menumpulkan persepsi terhadap suatu nyeri baru.7

Pendekatan Klinis Keluhan Nyeri pada Pasien Geriatri

Berikut ini adalah langkah-langkah yang direko­


mendasikan oleh AGS terkait pendekatan klinis nyeri persisten
pada pasien berusia lanjut:3
1 . Setiap pertama kali pasien berusia lanjut datang berobat
ke tempat layanan kesehatan pada jenjang atau jenis
manapun, tenaga kesehatan harus mengevaluasi ada
tidaknya nyeri persisten pada pasien tersebut.
2. Setiap nyeri persisten yang telah memberikan dampak
pada fungsi fisik, psikologis atau kualitas hidup harus
dimaknai sebagai suatu masalah yang serius. Selanjutnya
tenaga kesehatan harus melakukan evaluasi nyeri secara
komprehensif pada pasien dengan target pengidentifika­
sian semua faktor yang berpotensi untuk disembuhkan,
penegakkan diagnosis, penyusunan rencana terapi, dan
penetapan prognosis.
3. Pada pasien berusia lanjut dengan gangguan kognitif
sedang-berat atau tidak memiliki kemampuan berkomu­
nikasi secara verbal, tenaga kesehatan harus berupaya
mengevaluasi ada tidaknya nyeri dengan melakukan
pengamatan/ observasi langsung terhadap pasien (saat
istirahat dan saat bergerak/ melakukan aktivitas) atau

36

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
mendapatkan data anamnesis dari pelaku rawat pasien.
4. Pertimbangan risiko dan manfaat berbagai evaluasi dan
pilihan terapi harus didiskusikan dengan pasien dan
keluarga dengan memperhatikan keinginan pasien dan
keluarga .
5. Evaluasi nyeri pada pasien dengan nyeri persisten harus
dilakukan secara berkala untuk mengetahui ada tidaknya
perbaikan, perburukan atau komplikasi.

Nyeri merupakan pengalaman yang bersifat subjektif


sehingga tidak dapat dinilai secara langsung oleh pihak lain.6
Selain itu, tak ada satupun penanda biologis yang objektif
untuk keluhan nyeri. Dengan dernikian bukti paling akurat
dan andal terkait nyeri sesungguhnya adalah deskripsi nyeri
yang dikemukakan oleh pasien itu sendiri. Oleh karena itu,
baik tenaga kesehatan, keluarga maupun pelaku rawat harus
mempercayai pasien dan sungguh-sungguh menanggapi
keluhan nyeri yang dikemukakan pasien, bahkan pada pasien
dengan gangguan fungsi kognitif. Perlu diperhatikan bahwa
manifestasi klinis nyeri pada pasien geriatri dapat tidak khas
seperti delirium, kebingungan, fatig, menarik diri, dan depresi.
Selain itu, pasien berusia lanjut mungkin menggunakan
terminologi seperti rasa tidak nyaman, " kemeng", "pegal",
atau istilah lainnya untuk mengemukakan nyeri yang
dirasakan.1·3,7
Evaluasi nyeri dirnulai dengan anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang cermat dan menyeluruh sehingga dapat diketahui
diagnosis penyebab nyeri dan data dasar/ awal deskripsi
nyeri yang dialarni pasien. Setelah penerapan tata laksana
nyeri, evaluasi keluhan nyeri perlu dilakukan kembali
untuk menetapkan apakah nyeri sudah rnernbaik, rnenetap,
atau justru rnernburuk dengan rnernbandingkan dengan
deskripsi nyeri yang disarnpaikan oleh pasien saat awal
perawatan.1 Allo-anamnesis juga penting dilakukan karena
data yang didapatkan dari keluarga dan pelaku rawat dapat

37

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
memberikan informasi yang berharga terkait nyeri pada
pasien, terutama pada pasien yang memiliki hambatan dalam
mengkomunikasikan rasa nyeri baik karena hendaya kognitif
maupun non-kognitif.3
Anamnesis meliputi data kapan nyeri mulai dirasakan,
kejadian atau penyakit yang terjadi bersamaan dengan
timbulnya rasa nyeri, bagian tubuh tempat nyeri dirasakan
(lokasi), karakteristik nyeri, hal-hal yang meredakan dan
memperberat rasa nyeri, obat yang rutin dikonsumsi, obat yang
telah dikonsumsi untuk mengatasi nyeri dan efeknya terhadap
perbaikan nyeri, riwayat alergi, riwayat penyakit dan operasi
yang pernah dialami, riwayat trauma/jatuh, serta anamnesis
sistem, terutama difokuskan pada sistem muskuloskeletal
dan saraf. Penggunaan gambar tubuh/bagian tubuh manusia
dapat memudahkan pasien untuk menandai lokasi, distribusi
dan penyebaran nyeri. Telusuri pula kemw1gkinan kondisi
patologis yang dapat menimbulkan rasa nyeri seperti artritis,
nyeri pada tempat fraktur lama, neuropati perifer, serta infeksi
(terutama pneumonia, infeksi saluran kemih, infeksi kulit dan
jaringan 1W1ak). 1•2
Pemeriksaan fisik dilakukan secara menyeluruh
dengan perhatian khusus pada sistem muskuloskeletal dan
neuromuskular. Lakukan evaluasi ada tidaknya kelainan
postur, gangguan cara berjalan/ gai t, deformitas sendi,
keterbatasan lingkup gerak sendi, nyeri saat dilakukan gerakan
atau manuver tertentu, serta kelainan neurologis. Lakukan
palpasi untuk menentukan ada tidaknya nyeri tekan pada area
dengan inflamasi, spasme otot, dan trigger points.L2
Pengkajian paripurna pasien geriatri (comprehensive
geriatric assessrnent/ CGA) sangat penting dilakukan. Status
fungsional, psikoafektif, kognitif, nutrisi, sosial-ekonomi
termasuk dukungan keluarga dan pelaku rawat (care giver),
serta kualitas hidup mutlak dievaluasi mengingat kondisi
nyeri dapat memengaruhi dan/ atau dipengaruhi kesemua
hal tersebut.1

38

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Untuk tujuan penegakkan diagnosis, perlu diketahui
apakah nyeri bersifat akut atau persisten, sedangkan untuk
tujuan terapi, perlu diketahui apakah nyeri yang terjadi
merupakan nyeri nosiseptif atau neuropatik. Bila nyeri yang
terjadi adalah nyeri akut, maka perlu segera dicari penyebab
yang mendasari terjadinya nyeri tersebut, sedangkan bila nyeri
yang terjadi adalah nyeri persisten, maka selain perlu mencari
penyebab yang mendasari terjadinya nyeri tersebut juga
perlu diketahui dengan jelas sejauh mana nyeri tersebut telah
berdampak pada status fungsional, psikoafektif, dan kualitas
hidup.1•2 Pada kasus nyeri akut juga perlu ditelusuri apakah
nyeri tersebut mengindikasikan adanya penyakit/ masalah
baru atau merupakan eksaserbasi dari nyeri persisten.3
Penatalaksanaan nyeri persisten bersifat multidimensi
dan membutuhkan pendekatan secara interdisiplin karena
lebih sulit untuk diatasi dibandingkan nyeri akut. Penyebab
nyeri persisten dapat hanya sebagian atau bahkan tidak
dapat diobati sama sekali sehingga strategi tata laksana
perlu dirumuskan dengan baik termasuk program edukasi
mengenai nyeri secara terstruktur serta mengkombinasikan
terapi farmakologik dengan berbagai terapi non-farmakologik
seperti latihan jasmani, akupunktur, psikoterapi suportif,
terapi kognitif (distraksi, relaksasi, biofeedback, hi pnosis), terapi
perilaku, terapi kognitif-perilaku (keterampilan menghadapi
dan mengatasi masalah/ coping skills), dan terapi spiritual.1•3
Umumnya nyeri nosiseptif memberikan respons yang baik
terhadap berbagai obat analgesik yang lazim, sedangkan nyeri
neuropatik sering berlanjut menjadi nyeri persisten yang sulit
diatasi. Nyeri neuropatik seringkali justru memberikan respons
terhadap obat analgesik non-konvensional seperti golongan
anti-depresan dan antikonvulsan. 1

39

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Skala Penilaian Nyeri

The Joi n t Com mission on A ccreditation of Healthcare


Organization menetapkan nyeri sebagai tanda vital kelima
sehingga evaluasi nyeri menjadi salah satu evaluasi rutin
di praktik klinik.3 Terdapat berbagai skala untuk menilai
rasa nyeri, namun secara garis besar dikategorikan menjadi
2 tipe skala yaitu skala unidimensi dan multidimensi. Skala
unidimensi hanya menilai derajat intensitas nyeri sehingga
mudah dilakukan dan hanya membutuhkan waktu singkat
namun tidak komprehensif dalam menilai nyeri, sedangkan
skala multidimensi selain menilai derajat intensitas nyeri juga
mendokumentasikan lokasi dan pengaruh nyeri terhadap
aktivitas sehingga penilaian nyeri menjadi lebih komprehensif,
namun membutuhkan waktu yang cukup lama untuk
menyelesaikan penilaian, tidak praktis untuk diterapkan
dalam praktik klinik sehari-hari, dan beberapa skala penilaian
mensyaratkan pelatihan khusus bagi penilai. 1
Contoh skala nyeri unidimensi yang lazim digunakan
antara lain adalah visual analog scale (VAS), numeric rating scale
(NRS), verbal descriptor scale (VDS), faces pain scale (FPS), dan
pain thermometer scale (PT). Contoh skala nyeri multidimensi
yang lazim digunakan antara lain adalah McGill Pain
Questionnaire (MPQ) dan short-form MPQ (SF-MPQ). Sampai
saat ini tidak ada baku emas skala penilaian nyeri karena
setiap skala nyeri tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing.1•2•6•7 Berbagai penelitian telah dilakukan untuk
menetapkan kesahihan dan keandalan skala-skala nyeri
tersebut, namun kesahihan kriteria (criterion validity) tidak
dapat dievaluasi karena tidak ada skala nyeri yang menjadi
baku emas.8
Untuk dapat secara akurat menilai rasa nyeri yang diderita
oleh dirinya sendiri baik dalam bentuk angka maupun secara
deskriptif, maka seseorang harus memahami instruksi cara
penilaian, mengingat kejadian nyeri pada periode waktu

40

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
tertentu, menilai derajat nyeri dengan menghubungkannya
dengan baku internal yang dipikirkan oleh dirinya sendiri,
dan mampu menginterpretasikan suatu pengalaman terpajan
pada stimulus tertentu sebagai nyeri. Oleh karena itu, para
klinisi dianjurkan untuk memilih skala nyeri yang akan
digunakan sesuai tujuan penilaian, kemampulaksanaan,
dan kondisi pasien (kemampuan pasien untuk mendengar,
melihat, menulis, dan memahami instruksi untuk mengisi/
menyelesaikan skala penilaian) . Setelah satu skala nyeri
dipilih dan pasien mampu untuk menggunakannya, maka
dianjurkan agar selanjutnya skala nyeri yang sama digunakan
untuk melakukan evaluasi ulangan terhadap nyeri pada pasien
tersebut secara berkala.2•3•6•7

Skala nyeri VAS


Skala nyeri VAS horisontal atau vertikal tidak dapat
dilakukan secara verbal, melainkan pasien diminta untuk
secara mandiri memberi tanda pada garis sepanjang 10 cm
dengan skala 0-100 mengenai derajat intensitas nyeri yang
dideritanya. Pada angka 0 terdapat deskripsi/tulisan "tidak
nyeri" dan pada angka 100 terdapat tulisan " nyeri terburuk/
nyeri yang teramat sangat yang dapat dibayangkan." Penilai
selanjutnya mengukur dengan penggaris jarak antara titik 0
ke tanda garis yang dibubuhkan oleh pasien dan hasil yang
diperoleh ditetapkan sebagai skor VAS nyeri pasien.8
Untuk dapat mengisi skala nyeri VAS, pasien hams
memiliki penglihatan dan fungsi motorik yang baik, tingkat
pendidikan yang cukup sehingga dapat memahami angka,
serta kemampuan abstraksi yang baik untuk mengasosiasikan
antara garis berisi angka dengan derajat intensitas nyeri. Skala
nyeri dengan garis vertikal lebih memudahkan proses abstraksi
dibandingkan garis horisontal. Skala nyeri VAS memiliki
tingkat keandalan tinggi terutama pada pasien yang dapat
baca-tulis (test-retest reliability r 0,94), serta tingkat kesahihan
=

konstruksi (construct validity) yang tinggi dengan skala nyeri


NRS (r 0,62-0,91) dan VDS (r 0,71-0,78).8
= =

41

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Skala nyeri NRS
Penilaian nyeri dengan skala nyeri NRS dapat dilakukan
secara verbal atau tertulis. Pasien diminta untuk menyebutkan
(bila dilakukan secara verbal) atau menandai (bila dilakukan
secara tertulis) angka 0-10 yang paling tepat mencerminkan
derajat intensitas nyeri yang dirasakan pasien . Angka
0 mencerminkan " tidak nyeri" sedangkan angka 1 0
mencerminkan "nyeri terburuk/nyeri yang teramat sangat
yang dapat dibayangkan."2•8
Sangat mudah untuk melakukan evaluasi nyeri dan
kemudian menetapkan skor nyeri dengan skala nyeri NRS.
Skala nyeri NRS memiliki tingkat keandalan tinggi, baik pada
pasien yang dapat baca-tulis maupun buta huruf (test-retest
reliability r = 0,96 dan 0,95), serta tingkat kesahihan konstruksi
(construct validity) yang tinggi dengan skala nyeri VAS (r =
0,86-0,95).8

Skala nyeri VDS


Skala nyeri VDS terdiri atas frasa yang menunjukkan
tingkatan intensitas nyeri yang berbeda, yaitu tidak nyeri,
nyeri ringan, nyeri sedang/moderat, nyeri berat, nyeri sangat
berat/ ekstrim, dan nyeri yang teramat sangat yang dapat
dibayangkan. Untuk dapat menggunakan skala nyeri VDS,
pasien hams dapat menginterpretasikan dan mengekspresikan
rasa nyeri secara verbal. Skala nyeri ini selain sahih dan andal,
juga disukai dan menjadi pilihan bagi banyak usila, termasuk
yang memiliki gangguan fungsi kognitif ringan-sedang dengan
tingkat pengisian sebesar 73% . 2

Skala nyeri FPS


Skala nyeri FPS berupa gambar yang disusun berderet
mulai dari ekspresi wajah normal pada sisi paling kiri hingga
ekspresi wajah sangat kesakitan pada sisi paling kanan. Pasien
diminta untuk memilih gambar yang sesuai dengan derajat
intensitas nyeri yang dirasakan pasien. Skala nyeri ini cukup

42

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
sahih clan anclal, termasuk bagi pasien clengan gangguan
kognitif ringan-seclang, tingkat pencliclikan renclah, buta huruf
atau clisleksia. 2

Skala nyeri PT
Skala nyeri PT merupakan bentuk variasi clari VDS.
Bentuknya berupa termometer dengan skala vertikal. Terdapat
tulisan/ cleskripsi frasa tidak nyeri pada bagian paling bawah
hingga cleskripsi nyeri yang teramat sangat yang dapat
dibayangkan pacla bagian paling atas dari gambar termometer
tersebut. Pasien clitunjukkan gambar termometer nyeri tersebut
dan diminta untuk menentukan derajat intensitas nyeri yang
paling sesuai dengan yang dirasakan pasien. Skala nyeri PT
menjadi pilihan pacla pasien dengan gangguan kognitif seclang­
berat atau pasien yang memiliki kesulitan clalam berpikir
abstrak dan mengkomunikasikan nyeri secara verbal. 2

Skala nyeri MPQ


Selain clerajat intensitas nyeri, skala nyeri MPQ juga
menilai aspek sensorik, afektif, clan evaluatif. Terclapat 78
deskripsi nyeri yang harus cliisi ditambah clengan 1 skala
intensitas nyeri sehingga waktu yang cliperlukan untuk
menyelesaikan skala nyeri MPQ cukup lama, hingga sekitar
20-25 menit. Oleh karena itu, dikembangkan versi singkat
clari skala nyeri MPQ (Short-Form MPQ/SF-MPQ) yang hanya
terdiri atas 15 deskripsi nyeri. Skala nyeri SF-MPQ hanya
menilai aspek sensorik dan afektif serta clerajat intensitas nyeri
sehingga clapat cliselesaikan dalam waktu 2-5 menit. Penilai
harus membacakan satu per satu cleskripsi nyeri kepacla pasien
dan menjelaskan lebih lanjut kata yang tidak climengerti oleh
pasien. Pasien kemudian harus memilih 1 kata yang sesuai
clengan konclisi nyeri yang dideritanya.8 Untuk dapat mengisi
skala nyeri MPQ, pasien harus memiliki tingkat pendidikan
yang cukup clan kemampuan abstraksi yang baik.7

43

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Oleh karena bersifat multidimensi dan memiliki sejumlah
pilihan deskripsi nyeri, skala nyeri MPQ dapat mendeteksi
nyeri dengan derajat intensitas ringan. Skala nyeri MPQ
memiliki tingkat keandalan cukup baik (test-retest reliability r
= >0,7), serta tingkat kesahihan konstruksi (construct validity)
yang tinggi dengan skala nyeri VAS (r 0,86-0,95). Skala nyeri
=

SF-MPQ juga memiliki tingkat keandalan cukup baik.8

Evaluasi N yeri pada Pasien Geriatri yang Renta dan/


atau Demensia

Seperti yang sudah diuraikan pada bagian Pendahuluan,


pasien geriatri dengan perubahan kesadaran/ delirium,
gangguan fungsi kognitif (demensia, penyakit Alzheimer),
afasia atau disfasia, neuropati sensorik, serta gangguan
penglihatan dan pendengaran memiliki kesulitan untuk
mengkomunikasikan rasa nyeri yang dialaminya baik kepada
pelaku rawat, keluarga, maupun tenaga kesehatan. Walaupun
demikian, perlu diperhatikan bahwa pasien dengan gangguan
kognitif belum tentu memiliki gangguan dalam berkomunikasi,
sebaliknya pasien dengan gangguan dalam berkomunikasi
belum tentu memiliki gangguan kognitif. Oleh karena itu,
tenaga kesehatan harus memilih skala nyeri yang tepat untuk
digunakan bagi pasien.1•2
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa keluhan
nyeri yang dikemukakan oleh pasien dengan gangguan
kognitif ringan-sedang sama sahihnya dengan keluhan yang
dikemukakan oleh pasien yang memiliki fungsi kognitif
normal. Dengan demikian keluhan nyeri tetap merupakan
bukti paling akurat dan andal adanya nyeri pada kelompok
pasien dengan gangguan kognitif ringan-sedang.1·3
Skala nyeri NRS yang ditanyakan secara verbal merupakan
pilihan pertama untuk menilai derajat intensitas nyeri pada
usila secara umum. Skala nyeri VDS menempati urutan
berikutnya. Pada kaum usila yang mulai memiliki kesulitan

44

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
untuk menyampaikan derajat intensitas nyeri secara verbal,
dapat digunakan skala nyeri PT dan FPS, atau skala nyeri NRS
yang dinyatakan secara tertulis dengan garis/ grafik batang
yang vertikal. 2'6'7 Pasien dengan gangguan kognitif ringan­
sedang dapat memiliki kesulitan untuk mendeskripsikan
nyeri bila menggunakan skala nyeri VAS atau MPQ karena
dibutuhkan kemampuan abstraksi yang tinggi.8 Penggunaan
skala nyeri FPS juga kurang dapat diandalkan untuk menilai
pasien dengan gangguan afek atau kognitif karena pasien
tersebut mungkin mengidentifikasi gambar ekspresi wajah
yang sesuai dengan alam perasaan yang dirasakan ketimbang
rasa nyeri yang dialarni.7
Pada pasien dengan gangguan kognitif berat atau non­
verbal, skala nyeri baku seperti VAS, NRS, VDS, FPS, TPS, dan
MPQ tidak dapat atau tidak tepat lagi digunakan. Hal tersebut
dikarenakan pada populasi tersebut kemampuan memahami
instruksi, berbahasa, abstraksi dapat sudah sangat terganggu. 1 -
3,6 Brummel-Smith dkk.9 melaporkan dari 154 subjek dengan
demensia, sekitar 30% tidak dapat menggunakan skala nyeri
baik verbal, gambar wajah maupun garis numerik.
Untuk mernfasilitasi kesulitan penggunaan skala nyeri
pada populasi pasien dengan gangguan kognitif berat,
dikembangkan penilaian nyeri dengan cara observasi atau
pengamatan langsung. Menurut panduan yang dikeluarkan
oleh ACS, terdapat 6 aspek perilaku yang harus diobservasi
dalam evaluasi nyeri pada pasien berusia lanjut dengan
gangguan fungsi kognitif, yaitu:3
1 . Ekspresi wajah (tampak sedih, tarnpak takut, menyeringai,
meringis, mengerutkan/ mengernyitkan dahi, menutup
mata dengan kuat, berkedip dengan cepat, ekspresi ter­
ganggu lainnya)
2. Verbalisasi, vokalisasi (mengerang, mengaduh, berteriak/
memanggil, bernapas dengan menirnbulkan bunyi yang
berisik, meminta tolong, mengeluarkan suara/ verbally
abusive)

45

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
3. Gerakan tubuh (postur tubuh kaku/ tegang, meningkatkan
pacing, membatasi gerakan, perubahan dalam mobilitas/
cara berjalan)
4. Perubahan interaksi interpersonal (menjadi agresif, meno­
lak perawatan, interaksi sosial menurun, menarik diri)
5. Perubahan pola aktivitas atau rutinitas (menolak makan,
perubahan nafsu makan, durasi istirahat meningkat,
perubahan pola tidur/istirahat, penghentian mendadak
aktivitas yang rutin dilakukan, peningkatan perilaku
mengembara/ wandering)
6. Perubahan status mental (menangis atau keluar air mata,
terlihat semakin bingung, iritabel)

Tidak mudah untuk melakukan evaluasi nyeri berdasarkan


observasi langsung pada pasien, sehingga umumnya penilai
harus mendapatkan pelatihan khusus terlebih dahulu.
Perilaku seperti yang diuraikan pada point no. 1-6 di atas tidak
spesifik atau tidak melulu merupakan manifestasi klinis dari
nyeri. Rasa lapar, haus, terlalu sedikit atau terlalu banyak
stimulus, ansietas, depresi, kesepian, bosan, atau gelisah pada
pasien dengan gangguan fungsi kognitif berat juga dapat
bermanifestasi dalarn bentuk perilaku tersebut. Penilai harus
mengobservasi pasien dan mencatat ada tidaknya, intensitas,
durasi, atau frekuensi dari perilaku-perilaku tersebut untuk
selanjutnya melakukan evaluasi klinis secara komprehensif
agar dapat menetapkan apakah perilaku yang diamati tersebut
akibat adanya nyeri atau penyebab lain.6
Terdapat berbagai skala nyeri berbasis observasi perilaku
yang dapat digunakan untuk mengevaluasi nyeri pada pasien
berusia lanjut dengan demensia berat yang non-verbal atau
pasien berusia lanjut yang non-verbal, yaitu Abbey Pain Scale
(Abbey), Assessment of Discomfort in Dementia (ADD), Checklist
of Nonverbal Pain Indicators (CNPI), Discomfort in Dementia of
the Alzheimer's Type (DS-DAT), the Doloplus 2, the Face, Legs,
Activity, Cry, and Consolability Pain Assessmen t (the FLACC),

46

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Noncommun icative Pa tien t 's Pain Assessmen t Ins tru men t
(NOPPAIN), Pain Assessmentfor the Dementing Elderly (PADE),
Pain Assessment Checklist for Seniors with Limited Ability to
Communicate (PACSLAC), dan Pain Assessment in Advanced
Dementia (PAINAD).10 Berdasarkan telaah yang dilakukan oleh
Herr dkk. 10 terhadap 10 skala nyeri untuk pasien berusia lanjut
dengan demensia yang non-verbal tersebut didapatkan bahwa
saat ini belum ada skala nyeri berdasarkan observasi perilaku
yang telah baku dan dapat direkomendasikan pemakaiannya
secara luas di praktik klinik.
Terdapat variasi antar-pasien demensia dalam hal ekspresi
rasa nyeri dalam bentuk perilaku; ada pasien demensia yang
menunjukkan rasa nyeri dengan perilaku menarik diri, menolak
makan, dan hanya mau berbaring di tempat tidur, namun ada
pula yang menunjukkan perilaku sebaliknya misalnya justru
menjadi agresif dan verbally abusive. Kedua perilaku tersebut
bertolak belakang namun sama-sama mengindikasikan adanya
nyeri. Hanya sedikit skala nyeri yang juga memasukkan
parameter perubahan interaksi interpersonal, pola aktivitas/
rutinitas, dan status mental seperti yang direkomendasikan oleh
AGS. Perubahan status mental tidak hanya disebabkan oleh
rasa nyeri, sehingga memasukkan parameter ini dalam suatu
skala nyeri dapat meningkatkan risiko terjadinya positif palsu
dan menurunkan spesifisitas skala tersebut. Kejadian perilaku
tertentu seperti verbally abusive cukup rendah, sehingga secara
klinis tidak terlalu bermanfaat untuk memasukkan parameter
tersebut dalam skala nyeri.1 0
Evaluasi terhadap kesahihan isi (content validity) bahwa
benar skala tersebut mengukur adanya nyeri tidak dapat
dilakukan karena subjek yang dinilai memiliki gangguan
fungsi kognitif berat yang non-verbal.10 Skala nyeri berdasarkan
observasi perilaku pasien tidak memiliki cut-off point yang
mengindikasikan nyeri atau meredanya nyeri.6 Kegunaan
skala nyeri tersebut lebih pada upaya untuk mengidentifikasi
ada tidaknya nyeri pada pasien dengan demensia yang non-

47

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
verbal, sedangkan pengukuran derajat intensitas nyeri sulit
untuk dilakukan. Bila telah dapat diidentikasi adanya nyeri
pada pasien, selanjutnya perlu dilakukan penilaian nyeri
secara komprehensif. Skala nyeri perilaku dengan penilaian
yang bersifat komprehensif adalah ADD, yang telah diuji
penggunaannya di ruang rawat akut adalah CNPI (selebihnya
diuji di fasilitas perawatan jangka panjang), sedangkan yang
memiliki bukti kuat bahwa keandalannya baik adalah DS­
DAT. 1 0
Pendekatan evaluasi nyeri secara komprehensif yang
direkomendasikan untuk dilakukan pada pasien berusia lanjut
dengan demensia yang non-verbal adalah sebagai berikut:10
Antisipasi dan a s u msikan bahwa terdapat nyeri
berdasarkan kondisi patologis yang terjadi (penyakit, trauma,
tindakan/ prosedur medis, atau pembedahan).
Observasi perilaku pasien untuk menetapkan data dasar
terkait perilaku pasien.
Pantau ada tidaknya nyeri secara berkala dengan
menggunakan daftar indikator perilaku yang komprehensif
seperti yang direkomendasikan oleh AGS. Observasi harus
dilakukan pada saat pasien sedang istirahat dan saat sedang
bergerak/ melakukan aktivitas (transfer, ambulasi, menonton,
makan, dan sebagainya).
Jika tidak jelas apakah terdapat nyeri atau tidak, uji coba
pemberian tempi obat analgesik dapat dilakukan pada pasien.
Jika setelah pemberian terapi obat analgesik terjadi perbaikan
pada perilaku pasien, dapat disimpulkan bahwa pasien
memang mengalami nyeri dan terapi dapat dilanjutkan.

Simpulan

Pendekatan klinis nyeri pada pasien berusia lanjut


berbeda dibandingkan dengan dewasa muda. Adanya
kesulitan mengkomunikasikan rasa nyeri baik karena hendaya
kognitif maupun non-kognitif menyebabkan kasus nyeri

48

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
pada pasien berusia lanjut tidak dideteksi dan diterapi secara
optimal. Tenaga kesehatan perlu memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang memadai untuk dapat mengevaluasi nyeri
pada pasien geriari yang renta dan/ atau demensia.

Daftar Pustaka
1 Ferrell BA, Charette SL. Pain management. In: Halter J, Ous­
lander JG, Tinetti ME, Studenski S, High KP, Asthana S, eds.
Hazzard's Geriatric Medicine and Gerontology. 61h ed. New
York: Mc Graw Hill; 2009.p.359-71.
2 Herr K a, Garand L. Assessment and measurement of pain in
older adults. Clin Geriatr Med. 2001;17(3):457-78.
3 ACS Panel on Persistent Pain in Older Persons. The management
of persistent pain in older persons. J Am Geriatr Soc [Internet] .
2002;50(6 Suppl):S205-24.
4 Landi F, Onder G, Cesari M, Gambassi G, Steel K, Russo a, et
al. Pain management in frail, community-living elderly patients.
Arch Intern Med. 2015;161(22):2721-4.
5 Shega JW, Dale W, Andrew M, Paice J, Rockwood K, Weiner
DK. Persistent pain and frailty: a case for homeostenosis. J Am
Geriatr Soc.2012;60:113-7.
6 Buffum MD, Hutt E, Chang VT, Craine MH, Snow a L. Cogni­
tive impairment and pain management: review of issues and
challenges. J Rehabil Res Dev. 2007;44(2):315-30.
7 Balducci L. Management of cancer pain in geriatric patients. J
Support Oncol. 2003;1 (3):175-91.
8 Hawker GA, Mian S, Kendzerska T, French M. Measures of
adult pain: visual analog scale for pain (VAS pain), numeric rat­
ing scale for pain (NRS pain), McGill pain questionnaire (MPQ),
short-form McGill pain questionnaire (SF-MPQ), chronic pain
grade scale (CPGS), short form-36 bodily pain scale (SF-36 BPS).
Arthritis Care Res. 2011;63(suppl 11):240-52.
9 Brummel-Smith K, London MR, Drew N, Krulewitch H, Singer
C, Hanson L. Outcomes of pain in frail older adults with demen­
tia. J Am Geriatr Soc [Internet]. 2002;50(11):1847-51.
10 Herr K, Bjoro K, Decker S. Tools for assessment of pain in non­
verbal older adults with dementia: A state-of-the-science review.

49

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Tata laksana Berjenjang
Nyeri Akut dan Kronik
Pada Usia Lanjut
Dewa P. Pra ma ntara . S

Pengantar

Pengalaman nyeri dapat dirasakan oleh setiap orang


termasuk usia lanjut, dengan kondisi klinis yang beragam.
Nyeri merupakan pengalaman sensorik atau emosional yang
tidak menyenangkan terkait dengan kerusakan jaringan
baik aktual maupun potensial. Nyeri dikatakan kronik atau
persisten jika berlangsung lebih dari tiga bulan, 1 sedangkan
nyeri akut merupakan respons normal terhadap stimulasi atau
proses penyakit yang mengakibatkan kerusakan jaringan dan
nyeri menghilang setelah kerusakan jaringan membaik atau
stimulus menghilang.2
Secara urnum, prevalensi nyeri pada usia lanjut diperkirakan
berkisar 13-49% dan meningkat menjadi 59-84 % pada fasilitas
perawatan kronik.2 Khusus nyeri kronik, prevalensinya di
komunitas bervariasi antara 25-76%, sedangkan di fasilitas
perawatan kronik meningkat menjadi 83-93% . Lebih banyak
wanita mengalami nyeri daripada laki-laki.3 Sering kali
nyeri tidak terdiagnosis dan tidak mendapat terapi adekuat.
Suatu penelitian membuktikan bahwa sekitar 34 % populasi
usia lanjut yang mengalami nyeri kronik tidak terdeteksi
oleh dokter.2 Karena nyeri berdampak signifikan terhadap
keterbatasan fungsi dan penurunan kualitas hidup usia lanjut,
evaluasi nyeri dianggap sebagai tanda vital ke 5 setelah tekanan
darah, nadi, respirasi, dan suhu tubuh.4
Walaupun terdapat panduan umum pemakaian obat
analgesik secara berjenjang (step-ladder), pendekatan individual
harus dilakukan mengingat heterogenitas karakteristik

50

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
populasi usia lanjut, dan faktor lingkungan. Oleh sebab itu,
tulisan ini akan membahas aspek nyeri baik akut maupun
kronik, tata laksana analgesik berjenjang, serta karakteristik
usia lanjut yang memengaruhi pilihan terapi nyeri.

Pembahasan

Nyeri Akut dan Kronik


Nyeri akut dan nyeri kronik memiliki perbedaan durasi,
patologi, prognosis, keterlibatan saraf otonom, masalah
penyerta, dan terapi. Berhadapan dengan nyeri akut, latar
belakang patologi harus diketahui untuk kemudian diatasi
sehingga prognosis dapat bisa ditentukan (predictable).2

Tabel 1. Perbedaan antara nyeri akut dan kronik.2

Akut Kronik

Durasi beberapa Jarn-hari Beberapa bulan s/ d


ta un
Prognosis Dapat ditentukan Tidak dapat ditentukan
Patologi Ada Biasanya tidak ada
Masalah penyerta Jarang Depresi, Cernas, In-
sornnia
Sistem saraf otonorn Ada Tidak ada
Dampak sosial Jarang Sering
Tera pi Analgesik Multimodalitas

Berhadapan dengan pasien usia lanjut yang mengalami


nyeri akut, multimodalitas penatalaksanan efektif tergantung
pada penilaian nyeri terkait waktu dan derajat nyeri, pilihan
obat baik jenis mapun rute pemberian, serta reevaluasi.5

51

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Tabel 2. Kaitan antara derajat nyeri dan pilihan obat
pada nyeri akut.5

Tidak nyeri Nyeri Nyeri Nyeri berat


ringan sedang

Pilihan obat - Analgesik Analgesik Opiat atau


dan pembe­ oral oral NSAID
rian intravena
penilaian Dalam 20 menit sejak pasien datang
awal
Re evaluasi Dalam 60 Dalam 60 Oalam 60 Dalam 30
menit sejak menit sejak menit se- menit sejak
penilaian pemberian jak pem- pemberian
awal analgesik berian analgesik
analgesik

Pada usia lanjut, analgesik yang dipilih adalah parasetamol


oral atau intravena. Obat antiinflarnasi non steroid atau Non
steroid Anti Inf/amatory Drugs (NSAID), pernakaiannya harus
berhati-hati dengan pernberian yang dirnulai dari dosis
rendah rnengingat efek sarnping gastrointestinal, renal, dan
kardiovaskular, serta interaksi obat.5

penilaian derajat nyeri

Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri berat


( S kor 1 - 3 ) ( s k o r 4-6) (skor 7 - 1 0 )

.J, Paeasetamol oral Opiat intravena

Parasetamol oral + Atau

Atau NSAID N S A I D Rektal

NSAID oral: Atau Suplemen


I b u profen analgesik oral
kodein fosfat

Garnbar 1 . Penilaian nyeri dan kaitannya dengan pilihan anal­


gesik.

52

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Karakteristik usia lanjut
Pasien usia lanjut memiliki beberapa sifat khusus: kondisi
multipatologis dengan konsekuensi polifarmasi, perubahan
fisiologis terkait umur, manifestasi klinis penyakit, serta
penurunan status fungsional.6 Interaksi antara kondisi
multipatologis dan perubahan fisiologis terkait umur
mengakibatkan penurunan kemampuan merespon stres
baik fisiologis maupun patologis. Pasien menjadi rentan
terhadap penurunan fungsional, jatuh, fraktur, isolasi sosial,
dan hospitalisasi. Kondisi ini disebut sebagai rapuh/ renta
(jrailty).7•8
Pada pasien usia lanjut ini, pengaruh perilaku (attitudes) dan
kepercayaan (beliefs) terhadap persepsi nyeri perlu diperhatikan
dalam penilaian dan tata laksana nyeri. Berdasarkan kajian
model biopsikososial serta pendekatan perilaku kognitif
pasien, pramurukti (informal caregivers), dan profesi medis,
diperoleh kesimpulan : 1. Perilaku dan kepercayaan seseorang
berpengaruh terhadap semua pengalaman nyeri; 2. Sikap
"stoicism" sangat nyata dan berkontribusi terhadap nyeri
yang tidak dilaporkan; 3. Kepercayaan pasangan berpengaruh
negatif terhadap perkembangan respons adaptif nyeri kronik;
4. Tenaga kesehatan dapat berbagi pengalaman atau merespon
kepercayaan pasien yang maladaptasi sehingga dapat
merekomendasikan perilaku baru, misalnya menghindari
aktivitas tertentu.7

53

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Table 3. Perubahan Fisiologis pada usia lanjut yang berpengaruh
terhadap pemberian analgesik.3

Fisiologis Perubahan Terkait Dampak Klinik


Penuaan Normal

Absorpsi & fungsi Pengosongan lam- Perubahan absorpsi


traktus gastrointes- bung melambat obat tidak bermakna
tinal -l- Peristaltik
-J, Aliran darah ket- i Risiko efek samping
raktus GI obat terkait GI
Distribusi ,!, Cairan tubuh -J, Distribusi obat yang
i Lemak tubuh terlarut air
-l- Protein plasma j Potensi interaksi
obat
i Waktu paruh obat
terlarut lemak
-l- Aliran darah hepar -l- Metabolisme lintas
�ertama
Metabolisme hepar
-l- Massa dan fungsi
hepar Reaksi oksidasi
Konjugasi tidak
berubah
Efek obat sulit
diprediksi
Ekskresi renal -J, A liran darah ginjal -l- Ekskresi obat di
-l- Filtrasi glomeruler ginjal
-J, Sekresi tubuler j Akumulasi dan efek
obat
Perubahan farma- -l- Densitas reseptor i Sensitivitas terapeu-
kodinamik i Afinitas reseptor tik dan efek samping

Modalitas Nonfarmakologis
Modalitas ini merupakan komponen esensial dalam tata
laksana nyeri komprehensif karena dapat membantu pasien
mengatasi nyeri lebih baik serta memperbaiki fungsi. Beberapa
komponen yang tercakup dalam modalitas ini, antara lain
terapi fisis, terapi psikobehavioral, nutrisi, dan penyesuaian
lingkungan yang ergonomis.4

54

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Modalitas Farmakologis
Sebelum mempergunakan analgesik pada usia lanjut, perlu
diketahui adanya perubahan fisiologis yang memengaruhi
obat seperti disebutkan pada tabel 3. Pada tabel 4 berikut ini
dipaparkan prinsip umum pemakaian analgesik.4

Tabel 4. Prinsip umum tata laksana farmakologis untuk nyeri

1. Perubahan fisiologis pada usia lanjut mengakibatkan peningka­


tan sensitivitas terhadap obat analgesik tertentu.
2. Walaupun ada peningkatan risiko efek samping obat, analgesik
masih aman dan efektif.
3. Pilih obat analgesik dengan cara pemberian yang kurang invasif.
4. Waktu pemberian obat sangat penting. Pada nyeri episodik be­
rat, dipilih obat dengan aksi cepat dan durasi pendek, sedang­
kan pada nyeri kontinyu, dipilih obat lepas lambat.
5. Mulai dengan obat tunggal, dosis rendah, dan dosis dinaikkan
sesuai respon.
6. Lebih disarankan memakai kombinasi obat dengan mekanisme
komplementer dalam dosis rendah dibandingkan obat tunggal
dosis tinggi.
7. Pertimbangkan pemakaian modalitas nonfarmakologis di sam­
ping farmakologis.
8. Lakukan pemantauan terapi secara teratur dan penyesuaian
untuk meningkatkan efikasi serta mengurangi efek samping jika
diperlukan.

Analgesik yang diketahui efektif terhadap nyeri: 1 . Terapi


non sistemik; 2. Asetaminofen; 3. NSAID; 4. Obat golongan
opioid; 5. Terapi ajuvan; 6. Obat antidepresan.3

1. Terapi nonsistemik
Beberapa preparat, seperti capsa1cm, metilsalisilat,
trolamin salisilat, kamfor/fenor, dan agen anestetik. Terapi
topikal efektif untuk nyeri lokal pada sendi atau otot.8

55

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
2. Asetaminofen
Asetaminofen merupakan analgesik pilihan pertama
yang efektif dan aman untuk mengatasi nyeri kronik
muskuloskeletal, seperti osteoartritis dan nyeri punggung
bawah. Pemakaian pada usia lanjut tidak melebihi 4 g sehari
(2 g sehari untuk berat badan < 50 kg). 3

3. NSAID
Obat ini lebih poten daripada asetaminofen, tetapi
memiliki risiko efek samping gastrointestinal, renal, dan
kardiovaskular yang lebih tinggi pada usia lanjut. Pemakaiannya
diperuntukkan bagi nyeri sedang muskuloskeletal, sedangkan
pemilihannya didasarkan pada profil keamanan dan tingkat
risiko pasien. Obat ini menyebabkan 23,5% pasien perlu
perawatan rumah sakit akibat efek negatifnya. Pada usia lanjut,
pemakaian NSAID harus berhati-hati dan dikombinasi dengan
Proton Pump Inhibitor (PPI) untuk menghindari efek samping
gastointestinal.3

4. Obat Golongan Opioid


Obat golongan ini diperuntukkan bagi nyeri sedang-berat
baik pada pasien kanker maupun non-kanker. Efektivitasnya
sama antara pasien usia lanjut dengan pasien usia muda namun
efek samping seperti konstipasi, mual, dizziness, didapatkan
lebih tinggi pada usia lanjut. Untuk pemakaian opioid pada
usia lanjut, diberlakukan prinsip " S tart low go slow" serta
diperlukan pemantauan keuntungan dan efek samping obat.
Selain itu, mungkin diperlukan penyesuaian dosis dan interval
dosis pada pasien gangguan hati atau ginjal untuk mencegah
efek samping. Perlu diingat bahwa salah satu efek samping
serius yang dapat muncul adalah depresi pernapasan. 5
Berdasarkan potensinya, opioid dibedakan menjadi
opioid lemah (misalnya kodein dan dihidrokodein yang
direkomendasikan untuk nyeri sedang - hal ini berbeda dengan
step ladder WHO). Tramadol (efek ganda sebagai agonis opioid
lemah dan menghambat ambilan monoarnin), dan opioid kuat

56

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
(morfin, oksikodon, fentanil, bupremorfin, hidromorfin, dan
metadon). 2

Tabel 5. Analgesik opioid untuk usia �anjut.8

Ekuivalen dengan
Obat Dosis inisial Interval
Morfin 30 mg Oral

Kodein 15-60 mg 6-S jam 200 mg


Oksikodon 5 mg 6-12 jam 20 mg
Oksikodon SR lO mg 12 jam 20 mg
Hidrokodon 5 mg 6 jam 30 mg
Morfin lO mg 4-6 jam 30 mg P0/ 10 mg IV
Morfin SR 30 mg 12 jam 30 mg P0/1 0 mg IV
Morfin ER 20 mg 24 jam 30 mg P0/ 10 mg IV
Hidromorfin 2 mg 4-6 jam 7,5 mg P0/1,5 mg IV
Metadon 5 mg S jam
Fentanil patch 25 mg/ 200 mg/
72jam 72 jam

5. Terapi Ajuvan
Obat golongan ini dikembangkan di luar indikasi
utamanya, tetapi memiliki efek analgesik, yang terutama
dipakai sebagai ajuvan dalam penanganan nyeri neurotik.
Antidepresan dan antiepileptik termasuk dalam golongan
.3
llli.

WHO 1990 memperkenalkan A nalgesic Ladder untuk


mengatasi nyeri kanker yang dapat dipergunakan pula untuk
nyeri kronik seperti terlihat pada gambar berikut. 11

57

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Gambar 2. WHO Analgesic Ladder untuk terapi nyeri. 11

Modalitas Terapi Intervensi


Walaupun terapi farmakologis umum diberikan, terapi
intervensi berupa blok saraf atau prosedur neuroablatif dapat
dilakukan sebelum pemakaian golongan opioid kuat. Terapi
nyeri intervensi adalah disiplin kedokteran yang berfokus
pada diagnosis dan terapi nyeri serta kelainan terkait dengan
aplikasi teknik intervensi dalam tata laksana nyeri persisten
atau intractable, baik secara mandiri maupun bersamaan
dengan terapi lain.
Terapi ini meliputi injeksi epidural, adesiolisis epidural,
facet joint interventions, stimulasi medula spinalis, blok saraf
simpatik, infus intratekal, vertebroplasti dan kifoplasti, injeksi
intraartikuler perifer, neuralgia pascaherpetik, dan denervasi
radiofrekuensi ganglion Gasserian.3

Terapi Komplementer
Terdapat bukti yang menyebutkan bahwa beberapa terapi
komplementer telah dipergunakan untuk mengatasi nyeri tipe
spesifik pada usia lanjut. Modalitas ini mencakup akupunktur,
Transcutaneous/ Percutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS/
PENS), massage (pemijatan), dan refleksologi. 3

58

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Tuntunan dalam Mengatasi Nyeri Pada Usia Lanjut
Pada tahun 2002, AGS telah mengeluarkan panduan tata
laksana nyeri pada usia lanjut sebagai hasil revisi panduan
tahun 1998. Panduan ini berisi tentang penilaian nyeri dan
tata laksana farmakologis. akan tetapi, terapi intervensi tidak
disebutkan di dalamnya. Kemudian di tahun 2009, AGS
merevisi panduannya dengan memasukkan analgesik baru
yang belum memiliki banyak bukti klinis pada usia lanjut.
Berikut dipaparkan panduan tata laksana nyeri pada usia lanjut
yang rapuh/renta (frail elderly). Adapula panduan ASA-Task
Force tahun 2010 mengenai tata laksana nyeri kronik yang
sebenarnya di desain spesifik bukan untuk usia lanjut, tetapi
mungkin dapat dipakai untuk usia lanjut.3

Simpulan

1. Nyeri akut dibedakan dari nyeri kronik atau persisten


dalam hal durasi, patologi, prognosis, dan terapinya.
2. Nyeri pada usia lanjut sering kali" underdiagnosis" dan
"undertreatmen t".
3. Nyeri akut mempunyai patologi yang nyata sehingga
upaya mengatasi patologi tersebut akan menyebabkan
prognosis nyeri dapat diprediksi.
4. Nyeri kronik mempunyai berbagai aspek yang kompleks
sehinga tata laksananya memerlukan modalitas multi­
pel.
5. WHO Analgesic Ladder dapat dipakai sebagai panduan
mengatasi nyeri dalam berbagai tingkatan dengan mem­
perhatikan faktor perubahan farmakokinetik dan farma­
kodinamik pada usia lanjut.

59

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Daftar Pustaka
1. Kaye, A . D., Baluch, A., Scott, J . T . Paint management in the
elderly population: A Review The Ochsner Journal. 2010; 10:
179-87.
2. Linda Ly. 2013. Pain management in older adults, ambulatory
care clinical pharmacist.
3. Abdulla, A., Adams, N., Bone, M. et al. Guidance on the man­
agement of pain in older people. Age and Aging. 2013; 42: i 1-1
57.
4. Barr, J. 0. 2014 Evaluation of pain in older individuals. In: T. L.
Kauffman, R. Scott, J. 0. Barr & M.L. Mora (Eds): A Comprehen­
sive guide to geriatric rehabilitations 3rd Ed. China: Elsevier.
5. France, J., Smith, S. & Smith, L. Management of pain in adults,
the college of emergency medicine, London. 2014.
6. WHO 1989 Health in the Elderly, Jeneva.
7. Rastogi, R. & Meek, B. D. Management of chronic pain in elderly,
frail patients: finding a suitable, personalized method of control,
Clinical Interventions in Aging. 2013; 8: 37-46
8. Khang, P. & Kuo-Wei Lee. 2011 . The frailty syndrome. In: V.
Hirth, D. Wieland, M. Dever-Bumba: Case-based Geriatrics: a
global approach. New York: Mc Graw Hill. 2011. p. 481-8.
9. Temporal, Pain control. In: T. Rosenthal, B. Naughton, M. Wil­
liams: Office Care Geriatrics. Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkin. 2006. p. 48-58.

10. Periyakoil, V. S. Managing persistent pain in older adults. In:


B. A. Williams, A. Chang, C. Ahalt, H. Chen, R. Conant, C. S.
Landefelt et al (Eds): Current Diagnosis & Treatment Geriatrics
2nd Ed. 2014. p. 410-6.
11. WHO 1990 Cancer pain relief and palliative care. Tech Rep Ser.
804: 1- 75.

60

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Terobosan lnovasi long Acting
Muscarinic Antagonist
dan Alat Semprotnya
Asril Bahar

Pendahuluan

Penyakit paru obstruksif kronik (PPOK) merupakan


penyakit kronis pada saluran napas bawah, yang selalu
memburuk dengan manifestasi berupa sesak napas, terbatasnya
aktivitas fisik, dan sebagainya. Secara klinis terdapat beberapa
bukti yang menyatakan bahwa keluhan-keluhan PPOK, kualitas
hidup penderita, serangan eksaserbasinya, dan rerata angka
hospitalisasi dapat diperbaiki bila diberikan terapi pemeliharaan
dengan obat bronkodilator yang baik. Bronkodilator dianjurkan
sebagai terapi utama pada PPOK sejak The Global Initiative for
Chronic Obtructive Long Disease (GOLD) menyatakan bahwa
definisi PPOK bukanlah inflamasi yang ireversibel, tetapi
sebagai obstruksi yang reversibel parsial.
Terdapat beberapa golongan bronkodilator untuk
PPOK, yakni � agonis yang kerja cepat (short acting � agonist
= SABA) atau yang kerja lambat (LABA), antikolinergik
atau antimuskarinik yang kerja cepat (short acting m uscarinic
antagonis SAMA) atau yang kerja lambat (LAMA), teofilin,
=

dan sebagainya. Di antara semua bronkodilator tersebut yang


terbanyak dipakai untuk PPOK dan direkomendasikan oleh
GOLD adalah tiotropium bromida yang termasuk golongan
LAMA.1
Makalah ini akan menunjukkan efektivitas dan keamanan
dari obat tiotropium bromida sebagai salah satu anti
kolinergik golongan LAMA yang dipakai pada terapi PPOK
dan perbandingannya dengan bronkodilator lainnya serta
perkembangan dan efektivitas dari alat semprot (device) .

61

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Farmakologi obat a ntikolinergik untuk PPOK

Obat antikolinergik mempunyai aktivitas antagonis secara


kompetitif terhadap reseptor kolinergik muskarinik, sehingga
terjadi hambatan pada bronkokonstriksi dan hipersekresi
bronkial yang selama ini dilakukan oleh neurotransmiter
parasimpatis asetilkolin. Terdapat 3 reseptor muskarinik M ,
1
M , dan M yang ada di ganglion parasimpatik bronkus paru
2 3
manusia yang kerjanya berbeda-beda. M1 dan M melakukan
3
neuro-transmisi asetilkolin sehingga terjadi kontraksi otot
polos bronkus dan hipersekresi bronkial. M bekerja sebaliknya
2
dengan adanya stimulasi pada reseptor terse but, maka terjadi
efek negatif dengan berkurangnya penglepasan asetilkolin.
Antikolinergik seperti atropin-methonitrat (tidak dipakai lagi
pada PPOK karena daerah terapi keamanannya sempit dan
pemberiannya secara oral atau parenteral, dianggap kurang
efektif), ipratropium bromida, oxitropium bromida dan
tiotropium bromida (sediaan dalam bentuk inhalasi) umumnya
mempunyai sifat-sifat seperti tersebut di atas.2 Keistimewaan
dari tiotropium bromida adalah lebih selektif pada M
3
dengan waktu paruh yang lebih panjang (34,7 jam), sehingga
efektivitas antikolinergiknya lebih baik daripada yang lain dan
dapat diberikan 1 x sehari, sedangkan ipratropium bromida
waktu paruhnya pendek (0,26 jam), sehingga diberikan 4-6
x sehari. Keistimewaan lain dari tiotropium bromida adalah
disosiasinya yang lebih lama terhadap reseptor M (34,7 jam)
3
dibandingkan dengan reseptor M (14,6 jam) dan M (3,6
1 2
jam). Kekuatan tiotropiurrt bromida bisa sampai 10 kali lipat
daripada ipratropium bromida, dan lama kerjanya juga lebih
panjang.3
Antikolinergik ini mempunyai efek bronkodilatasi yang
lebih baik secara bermakna daripada � agonis pada pasien
PPOK. Ini terlihat bila p. agonis diberikan pertama kali pada
terapi PPOK, kemudian diberikan tambahan antikolinergik,
maka efek bronkodilatasinya lebih meningkat. Bila anti

62

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
kolinergik diberikan pertama kali dan pemberian p agonis
berikutnya, maka ia tidak memberikan efek tambahan
bronkodilatasi. Bila 2 obat tersebut diberikan secara bersamaan,
efek bronkodilatasinya relatif sama saja xlengan antikolinergik
yang diberikan secara sendiri. Berdasarkan hal tersebut dapat
dinyatakan bahwa aktivitas parasimpatik adalah komponen
yang reversibel (yang masih bisa diobati) pada PPOK.
Antikolinergik seperti ipratropium bromid a yang
mempunyai kerja pendek dan tiotropium bromida yang
mempunyai kerja panjang memberikan efek bronkodilatasi
pada saluran napas kecil dengan meningkatkan FEV , FVC dan
1
kapasitas inspirasi (IC). Di samping itu, efek antikolinergik juga
mengurangi ruang rugi udara (trapped gas) dan hiperinflasi.
Manifestasinya adalah dalam bentuk berkurangnya sesak
napas dan perbaikan aktivitas fisik. Kondisi ini lebih nyata dan
lebih baik secara bermakna pada pemakaian dengan tiotropium
bromida dibandingkan SABA (baik yang kerja pendek atau
kerja panjang) atau SAMA yang kerja pendek.
Sebelum adanya tiotropium bromida, terapi PPOK
biasanya memakai SABA atau SAMA, bisa juga dalam bentuk
kombinasi SABA + SAMA yang diberikan secara inhalasi rata­
rata 3-4 kali sehari.
Pemakaian obat kombinasi p agonis + anti-kolinergik ini
lebih dipilih karena beberapa alasan berikut : 3

1. Mempunyai mekanisme kerja yang berbeda (simpatis ><


parasimpatis);
2. Berbeda lokasi tempat kerja (saluran napas proksimal ><
distal);
3. Mempunyai efek sinergik/ additive;
4. Lebih kecil dosis obat dan efek sampingnya;
5. Bisa meningkatkan kepatuhan pasien, dibandingkan pem­
berian dengan 1 obat saja; serta
6. Lebih hemat biaya.

Dulunya terapi kombinasi SABA + SAMA ini merupakan


lini pertama terapi PPOK, namun karena pemberiannya 3-6

63

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
kali sehari, maka kepatuhan pasien makin berkurang, sehingga
diperlukan obat lain yang lebih sederhana pemberiannya.
Sejak tahun 1995 terdapat obat golongan LABA yakni
salmeterol dan formeterol yang dipakai untuk terapi
pemeliharaan PPOK. Obat ini cukup efektif secara bermakna
dibandingkan plasebo dalam gejala mengurangi gejala sesak,
meningkatkan PEFR-FEV1 -FVC, mengurangi kebutuhan
bronkodilator emergensi, dan meningkatkan kualitas hidup
pasien. Efek sampingnya sering ditemukan berupa tremor
bila dipakai pada dosis tinggi yakni salmeterol 2 x 100 µg.
salmeterol mempunyai keistimewaan lebih lama kerjanya,
sedangkan formeterol mempunyai awitan yang lebih cepat
seperti SABA. Belakangan terdapat lagi obat LABA yakni
indocaterol yang pemberiannya cukup 1 x sehari.

Perbedaan terapi LABA dengan SAMA pada PPOK

Mahler, dkk 4 yang membandingkan LABA salmeterol 2


kali sehari dengan SAMA ipratropium bromida 4 kali sehari
selama 12 minggu secara random, double-blind, placebo -controlled
trial dengan jumlah 411 orang penderita PPOK. Studi tersebut
mendapatkan salmeterol lebih baik secara bermakna dalam
mengurangi sesak napas dan memperbaiki fungsi paru
daripada ipratropium bromida, serta lebih sedikit dalam
pengunaan tambahan albuterol emergensi.4
Hal yang sama j uga diteliti oleh D ahl, dkk5 yang
membandingkan LABA formeterol dengan SAMA ipratropium
bromida pada 780 penderita PPOK. Formeterol lebih efektif
dalam memperbaiki keluhan dan fungsi paru. Sejak itu LABA
direkomendasikan sebagai terapi awal (bronkodilator jangka
panjang) pada PPOK.5
Kemudian Van Noord, dkk 6 meneliti terapi pemeliharaan
PPOK dalam bentuk kombinasi LABA salmeterol + SAMA
ipratropium bomida dibandingkan LABA salmeterol sendiri
yang digunakan selama 12 minggu. Hasilnya menunjukkan

64

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
bentuk kombinasi LABA + SAMA lebih meningkatkan fungsi
paru dan mengurangi terjadinya eksaserbasi akut PPOK
dibandingkan Salmeterol sendiri.6 Hal yang sama juga terlihat
pada bentuk kombinasi LABA formeterol + SAMA ipratropium
bromida. Berdasarkan hasil penelitian-penelitian tersebut, pada
saat itu disepakati bahwa terapi kombinasi LABA + SAMA
merupakan terapi terbaik dalam pemeliharaan PPOK.

Studi jangka panjang pada LAMA Tiotropium

Terdapat penelitian 1 tahun pemakaian tiotropium bromida


18 µg sekali sehari dibandingkan dengan plasebo pada PPOK.
Penelitian dilakukan secara random, double-blind, double-dummy.
Penelitian oleh Casaburi, dkk7 terhadap 550 penderita PPOK
tersebut yang dikenal sebagai studi USA menunjukkan hasil
peningkatan fungsi paru yang diperoleh dari kenaikan selisih
(trough) FEV1 yang diukur pada 5 menit sebelum pemberian
obat dan 23-24 jam setelah pemberian obat. Selisih FEV1 pada
kelompok tiotropium meningkat jadi 12%, dan nilai FEV1
setelah pemberian 3 jam meningkat jadi 22 % dibandingkan nilai
awal. Perbaikan nilai ini bertahan sampai 1 tahun dan secara
klinis terdapat penurunan gejala sesak napas yang bermakna
dan berkurangnya pemakaian SABA emergensi. Nilai positif
lain didapat dengan adanya peningkatan kualitas hidup (SGRQ
index) sebesar 49% pada kelompok tiotropium dan 30% pada
kelompok plasebo. Eksaserbasi akut dan hospitalisasi dalam 1
tahun juga berkurang menjadi 22 % pada kelompok tiotropium
dan 44% pada kelompok plasebo.7
Pada studi perbandingan antara kelompok tiotropium 1
kali sehari dengan kelompok ipratropium 4 kali sehari, dimana
nilai awal rata-rata FEV1 nya < 1,2 L, ditemukan nilai selisih
FEV1 nya meningkat secara bermakna sebesar 0,12 L setelah 1
tahun penelitian pada kelompok tiotropium, sedangkan pada
kelompok Ipratropium nilainya menurun 0,12 L. Terdapat juga
perbaikan yang bermakna pada kelompok tiotropium berupa

65

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
penurunan gejala sesak napas, perbaikan kualitas hidup dan
makin sedikitnya pemakaian SABA emergensi. Perbaikan sesak
napas pada kelompok tiotropium sebesar 31 %, sedangkan pada
ipratropium 18%. Perbaikan kualitas hidup pada kelompok
tiotropium 52%, sedangkan ipratropium 35%, Kekambuhan
eksaserbasi akut dan hospitalisasi pada kelompok tiotropium
24%, sedangkan pada ipratropium 38% .8
Studi perbandingan LAMA tiotropium 1 x sehari dengan
LABA salmeterol 2 x sehari oleh Donahue, dkk 9 pada 623
penderita PPOK selarna 6 bulan pengamatan, menunjukkan
perbaikan secara bermakna pada FEV 1 , keluhan sesak
napas, perbaikan kualitas hidup pada kelompok tiotropium
dibandingkan kelompok salmeterol.9
. Pada studi pemakaian kombinasi LABA + LAMA
tiotropium, Van Noord, dkk10 meneliti efektivitas LAMA
tiotropium 18 µg 1 x sehari + LABA formeterol 12 µg
dibandingkan tiotropium dan formeterol sendiri-sendiri
pada 74 orang PPOK selarna 6 minggu. Hasilnya tiotropium
lebih superior daripada formeterol dalam efek bronkodilator.
Kombinasi tiotropium + forrneterol lebih superior juga
dibandingkan titropiurn sendiri atau formeterol sendiri dalarn
perbaikan FEV dan FVC serta pengurangan pernakaian
1
salbutarnol ernergensU10) Sejak itu kornbinasi LAMA + LABA
merupakan terapi yang ideal untuk pemeliharan PPOK
terutama tingkat sedang sampai sangat berat dan kombinasi
terapi ini juga direkomendasikan oleh GOLD.
Terakhir penelitian dengan skala besar melibatkan
6.000 pasien PPOK, multinasional (37 negara), multicenter
(450 pusat kesehatan), selama 4 tahun, secara double-blind,
randomized controlled trial yang dikenal dengan studi UPLIFT
( Understanding Poten tial Long-term Impact on Function of
tioropium) menunjukkan bahwa tiotropium secara bermakna
dapat memperbaiki FEV 1 , memperbaiki kualitas hidup
penderita (SGRQ index), mengurangi eksaserbasi akut 14 % dan
hospitalisasi 14%, serta mengurangi risiko kematian sebesar

66

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
13% dibandingkan dengan kelompok kontrol yang diukur
sampai hari ke-1440 penelitian.11

Pemakaian alat semprot (device) pada LAMA

Hampir sebagian besar obat-obat yang dipakai untuk


terapi PPOK dalam bentuk aerosol (inhalasi). Keuntungan obat
inhalasi ini dapat secara langsung diantar ke saluran napas,
dosis total lebih rendah, absorbsi dan distribusi sistemik lebih
rendah, efek samping minimal. Bentuk alat pengantar (device)
inhalasi tersebut dapat berupa Metered Dose Inhaler (MDI), Dry
Powder Inhaler (DPI), dan bisa juga dengan nebulizer. Faktor
utama pemilihan alat inhalasi adalah efektivitasnya dan
kemudahan bagi pasien dalam menghirupnya. Di samping
itu, keamanannya juga diperlukan seperti menghilangkan zat
pelarut yang merugikan seperti CFC, dll. Device yang dipakai
pada LAMA tiotropium pertama kalinya adalah dalam bentuk
DPI yang dinamakan handihaler. Tiotropiumnya sendiri
berada dalam kapsul yang dimasukkan dalam handihaler,
setelah dipecahkan kapsulnya oleh pisau handihaler, barulah
obat diisap dari handihaler.
Dalam studi terhadap pemakaian titropium bromida
inhalasi memakai handihaler pada PPOK selama 4 minggu,
dengan beberapa dosis yakni 9, 18, 36, 72 µg sekali sehari.
Ternyata dosis 18 µg adalah dosis yang terbaik dan teraman
pada perbaikan gejala dan peningkatan fungsi paru sampai
hari ke-29 penelitian.3 Dosis ini adalah dosis optimal untuk
pemeliharaan j angka panjang penderita PPOK dan di
rekomendasikan juga pada tata laksana PPOK oleh GOLD.
Sekitar 2-3% dari tiotropium bromida ini masuk ke saluran
cerna. Ikatan obat dengan protein plasma mencapai 70% . Obat
ini tidak dimetabolisme dalam tubuh, tidak bisa melewati
sawar darah-otak dan dieksresikan melalui urin. Bila dipakai
pada pasien gagal ginjal, maka diperlukan pengaturan dosis.
Efek sampingnya kecil sekali dapat berupa air liur yang

67

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
berkurang, sekresi asam lambung menurun, midriasis, retensi
urin, dan sebagainya. Kebanyakan pasien dapat menoleransi
efek samping ini, antara lain dengan memperkecil dosis.
Belakangan ini dikeluarkan lagi device terbaru berisi
tiotropium bromida yang mempunyai banyak keunggulan
dibandingkan handihaler, yakni Soft Mist Inhaler (SMI). Dosis
tiotropium bromida dalam SMI berisi 2,5 µg per-dosis dan
untuk terapi yang optimal cukup diberikan 2 dosis sekali sehari.
Dengan penurunan dosis ini maka efek samping obat makin
diperkecil, sedangkan efektivitasnya lebih baik dibandingkan
handihaler. SMI ini merupakan generasi terbaru dari device
inhaler dengan dosis terukur dalam device, bebas dari propellant,
memberikan tekanan hirupan obat yang lebih ringan/lembut
dan deposisi obat di jaringan paru yang lebih luas dan merata.
SMI ini berisi fraksi partikel yang halus (soft mist) dengan
ukuran partikel < 5 µm dan mudah digunakan sehingga
dapat dipakai pada semua pasien karena tenaga hirupan
tidak perlu terlalu dalam dan hanya sedikit saja koordinasi
yang diperlukan dari pasien waktu memakainya. Bagian yang
tersangkut di oro-faring atau tertelan di saluran cema juga lebih
sedikit dibandingkan Handihaler. Dibandingkan device MDI,
SMI ini memberikan gerakan tiupan aerosol yang lembut dan
lebih lama kerjanya di dalam saluran napas bawah sehingga
absorbsinya bisa lebih optimal.

Ringkasan

PPOK dinyatakan pada GOLD sebagai penyakit obstruktif


kronis dengan gangguan parsial reversibel, sehingga terapinya
dapat diberikan dengan obat bronkodilator sebagai terapi
pemeliharaan. Efektivitasnya dapat mengurangi sesak napas,
mengurangi hiperinflasi dan memperbaiki kemampuan
beraktivitas. Oleh karena aktivitas parasimpatik sangat
dominan pada PPOK, maka penggunaan obat antikolinergik
sangat dianjurkan dan efektivitas makin membaik bila diberikan

68

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
dikombinasikan dengan � agonis lainnya. Tiotropium bromida
18 µg inhalasi 1 kali sehari adalah salah satu golongan LAMA
yang banyak dipakai dan direkomendasikan oleh GOLD untuk
kelas II ke atas.
Dalam beberapa studi, antara lain UPLIFT, terlihat bahwa
tiotropium bromida yang dipakai dalam jangka panjang,
ternyata lebih unggul daripada bronkodilator lainnya baik
yang kerja pendek maupun yang kerja panjang, terutama
pada perbaikan sesak napas, stabilitas FEV 1 dan FVC,
perbaikan kualitas hidup, berkurangnya eksaserbasi akut
serta hospitalisasi, pemakaian SABA emergensi lainnya, dan
sebagainya. Efektivitas LAMA ini akan bertambah baik bila
diberikan tambahan LABA lainnya. Belakangan terdapat
tiotropium dengan device terbaru dalam bentuk soft mist
inhaler yang lebih efektif dan lebih praktis dibandingkan
pendahulunya bentuk handihaler. Dosis SMI ini lebih kecil
cukup 1 kali sehari, 2 isapan yang berisi tiotropium bromida
2,5 µg, sehingga efek samping obat bisa diperkecil.

Daftar Pustaka
1. Global initiative for chronic obstructive lung disease. Global
strategy for the diagnosis, management and prevention of
Chronic obstructive pulmonary disease. Updated 2015. http://
www.goldcopd.org
2. Barnes PJ. Drugs used in the management of COPD. In: Manag­
ing chronic obstructive pulmonary disease. London: Scientific
Press Ltd. 2000; 35-49.
3. Vincken W. Bronchodilator treatment of stable COPD: long act­
ing anticholinergics. Eur Respir Rev. 2005; 14(94):23-31.
4. Mahler DA, Donohue JF, Barbee RA, et al. Efficacy of salmeterol
xinafoate in the treatment of COPD. Chest 1999; 115:107-15.
5. Dahl R, Greefhost APM, Nowak D, et al. Inhaled formeterol dry
powder versus ipratropium bromide in COPD. Am J Respir Crit
Care Med. 2001;164:778-84.

69

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
6. Van Noord JA, De Munck DR, Bantje TA, et al. Long-term
treatment of COPD with salmeterol and the additive effect of
ipratropium. Eur Respir J. 2000;15:878-85.
7. Casaburi R, Mahler DA, Jones PW, et al. A long-term evaluation
of once-daily tiotropium in COPD. Eur Resir J. 2002;19:217-24.
8. Vincken W, Van Noord JA, Greefhorst APM, et al. Improved
health outcomes in patients with COPD during 1 year's treat­
ment with tiotropium. Eur Respir J. 2002;19:209-16.
9. Donanue JF, Van Noord JA, Bateman ED, et al. A 6-month
placebo-contolled study comparing lung function and health
status changes in COPD patients treated with tiotropium or
salmeterol. Chest. 2002;122:47-55.
10. Van Noord JA, Aumann J, Janssens E, et al. Tiotropium main­
tenance therapy in patients with COPD and the 24-hour spiro­
metric benefit of adding once or twice daily formeterol during
2-week treatment periods. ATS 2003, Seattle. Am J Respir Crit
Care Med. 2003;167:A320.
11. Tashkin DP, Celli B, Senn S, et al. A 4 year trial of tiotro­
pium in chronic obstructive pulmonary disease. N Engl J Med
.2008;359:1616-8.

70

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Panduan Tata Laksana Terkini
PPO K dan Sindrom Asma-PP O K
Anno Uyoinoh ZN

Pendahuluan

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan


penyakit yang sering ditemukan pada usia lanjut, dengan
berbagai penyulit seperti gangguan pernapasan berat,
peningkatan frekuensi eksaserbasi, serta komorbid. Keadaan
tersebut dapat menurunkan kualitas hidup serta meningkatkan
morbiditas maupun mortalitas.
Saat ini PPOK menduduki peringkat keempat penyebab
kematian dan diprediksi akan naik menjadi peringkat ketiga
dalam 20 tahun ke depan. Di Indonesia masa mendatang,
diperkirakan angka kejadian PPOK akan terus meningkat
seiring pertambahan rerata usia hidup dan jumlah perokok
baik pria maupun wanita. Data Riskesdas 2013 menunjukkan
bahwa 3,7% penduduk Indonesia menderita PPOK.
Sekitar 60-85% penderita PPOK di dunia tidak mengetahui
penyakitnya. Begitu pula di Indonesia, masih banyak pasien
PPOK yang tidak mengetahui bahwa dirinya menderita PPOK.
Hal ini disebabkan penderita PPOK tidak memeriksakan diri ke
fasilitas pelayanan kesehatan karena menganggap batuk clan
sesak yang dialami merupakan hal biasa akibat merokok. Di sisi
lain, pada saat penderita PPOK datang ke fasilitas pelayanan
kesehatan, petugas medis umumnya mengatasi keadaan
akutnya, yang dianggap sebagai penyebab berobatnya, tetapi
kemudian pasien tidak melakukan pemeriksaan lanjutan untuk
mencari diagnosis utama yang tepat. Selain itu, belum semua
petugas fasilitas pelayanan kesehatan memahami langkah­
langkah mendiagnosis PPOK. Fasilitas pemeriksaan spirometri

71

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
pun belum merata di fasilitas pelayanan kesehatan primer.
Saat ini telah dikenal dan dilakukan berbagai penelitian
mengenai Asthma-COPD Overlap Syndrome (ACOS) yang
merupakan sindrom gabungan gejala asma dan PPOK.
Keadaan ini diperkirakan terdapat pada 15-25% penderita
PPOK. Seringkali gejala ACOS lebih berat dibandingkan PPOK
atau asma. Pasien ACOS umumnya berusia lebih muda dari
pasien PPOK, mempunyai kombinasi faktor risiko merokok
atau paparan polusi dan atopi. Eksaserbasi akut yang
dialami pasien ACOS biasanya lebih sering dan lebih berat
dibandingkan pasien PPOK atau asama.

Definisi

PPOK merupakan penyakit paru kronik yang umumnya


dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh adanya keterbatasan
aliran udara dalam saluran napas yang persisten dan progresif,
terkait dengan peningkatan respons inflamasi kronik pada
saluran napas dan parenkim paru karena pajanan partikel
atau gas berbahaya. Eksaserbasi dan komorbid pada PPOK
berperan dalam memperberat penyakitnya.
Dampak eksaserbasi, seperti perburukan gejala, pengaruh
pada aktivitas sehari-hari, dan penurunan status kesehatan,
dapat mengakibatkan perawatan RS dan memperlambat
kesembuhan. Setelah mengalami eksaserbasi fungsi paru akan
menurun dibandingkan dengan kondisi sebelum eksaserbasi.
Penurunan ini bersifat persisten dan progresif sehingga
semakin sering eksaserbasi, fungsi paru akan menurun
semakin cepat dan memengaruhi kualitas hidup pasien. Oleh
sebab itu, tata laksana PPOK ditujukan untuk mengobati dan
mencegah terjadinya eksaserbasi agar progresivitas dapat
diperlambat.
ACOS didefinisikan sebagai obstruksi jalan napas
yang tidak reversibel sepenuhnya disertai tanda dan gejala
peningkatan reversibilitas obstruksi.

72

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Faktor Risiko dan Komorbiditas

Beberapa faktor risiko yang dapat memicu terjadi dan


berkembangnya PPOK, antara lain faktor genetik, pajanan
partikel asap rokok, debu organik dan non organik, polusi
udara dalam ruangan dan luar ruangan, jenis kelarnin, usia,
infeksi saluran napas, serta status ekonomi.Komorbiditas
PPOK yang sering ditemui, yaitu penyakit kardiovaskular,
osteoporosis, infeksi sistem pernapasan, ansietas dan depresi,
diabetes, serta bronkiektasis.

D iagnosis

Saat ini diagnosis PPOK dinilai berdasarkan komponen:


1. Keterbatasan aliran udara pada jalan napas atau fungsi
paru yang dinilai dengan spirometri
2. Gejala sesak yang dinilai dengan COPD Assesment Test
(CAT) score atau Modified Medical Research Council Ques­
tionaire for Assessing the severity of Breathlessness (mMRC)
3. Eksaserbasi yang dinilai berdasarkan jumlah eksaserbasi
dalam satu tahun terakhir

Diagnosis PPOK dibagi dalam empat kelompok, yaitu


kelompok A, B, C dan D.

73

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
I >2
4 or
-;:-
·� > 1 leading to
I - hospital

:�..
.... (C) (0) admission
3::
,$1

3 I
-.: 1 (not leading to
... .... - - - - hospital
-
·� c::>
c:a: .�
._
+ admission)

-� 2
�"' I
,!l!
c..;
c::i
(A) (8)
cs

I
1 0
I
CAT < 10 CAT � 10
Symptoms

mMRC 0- 1 mMRC >2


-
Breathlessness

Gambar 1 . Empat kelompok diagnosis PPOK (Sumber: Global


Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease- updated 2014)

Tabel 1. Klasifikasi PPOK berdasarkan gejala, faktor risiko dan


riwayat eksaserbasi

Eksaser-
Klasifikasi
Pasien Karakteristik basi per CAT mMRC
Spirometri
Tahun

A Low Risk Less GOLD l-2 <1 < 10 0-1


Symtoms
B Low Risk More GOLD l-2 <1 > 10 >2
Symtoms
c High Risk Less GOLD 3-4 >2 < 10 0-1
Symtoms
D High Risk More GOLD 3-4 >2 > 10 >2
Symtoms

Sumber: Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease- up­


dated 2014

74

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Tabel 2. Klasifikasi PPOK-GOL berdasarkan spirometri
Pada pasien dengan Obstruksi, yaitu FEVl % (FEVl/fVC) <0,70

GOLD I Ringan FEVl > 80% predicted


GOLD 2 Sedang 50% < FEVl > 80% predicted
GOLD 3 Berat 30% < FEVl < 50% predicted
GOLD 4 Sangat Berat FEVl < 30% predicted

Asthma COPD overlap syndrome (ACOS)


ACOS bukan merupakan satu penyakit, melainkan
gabungan gejala asma dan PPOK yang ditandai oleh
keterbatasan aliran napas persisten dengan gambaran klinik
asma dan PPOK. Faktor risiko ACOS pun merupakan gabungan
faktor risiko dari asma dan PPOK, misalnya mempunyai
riwayat asma, kebiasaan merokok dan lainnya.
Gejala-gejala ACOS yang sering ditemukan antara lain
batuk kronik dengan produksi sputum, sesak, mengi, infeksi
saluran napas bawah berulang, pernah didiagnosis asma,
riwayat menggunakan obat inhalasi, serta riwayat terkena
pajanan rokok atau polutan lainnya seperti polusi udara dalam
ruangan dan luar ruangan.

75

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Tabel 3. Nilai spirometri pada asma, PPOK dan ACOS

Spirometric Asthma COPD ACOS


variable
Normal FEVl/ Compatible with Not compatible Not compatible un-
FVC pre-or post diagnosis with diagnosis less other evidence
BD of chronic airflow
limitation
Post-BD FEVl/ Indicates airflow Requiredfor diag- Usually present
FVC <0.7 limitation but may nosis (GOLD)
improve span-
taneously or on
treatment
FEVl >80% Compatible with Compatible with Compatible with
predicted diagnosis (good GOLD calssi- diagnosis mild
asthma control or fication of mild ACOS
interval between airflow limitation
symptoms) (categories A or B)
if post- BD FEV1/
FVC <0.7
FEVl <80% Compatible with An indicator of An indicator of
predicted diagnosis. Risk severity of airflow severity of airflow
factor for asthma limitation and risk limitation and risk
exacerbations offuture events offuture events
(e.g. Mortality and (e.g. Mortality and
COPD exacerba- exacerbations)
lions)
Post-BD increase Usual at some time Common and more Common and more
in FEV1 >12% in course ofasth- likely when FEV1 likely when FEV1
and 200 ml from ma, but may not is low, but ACOS is low, but ACOS
baseline (reversible be present when should also be should also be
airflow limitation) well-controlled or considered considered
on con trailers
Post-BD increase. High probability of Unusual in Compatible with
in FEV1 >12% asthma COPD. Consider diagnosis of ACOS
and 400 ml from ACOS
baseline (marked
reversibility)

ACOS: asthma-COPD overlap syndrome; BD: bronchodilator, FEV1 : forced


expiratory volume in 1 second; FVC: forced vital capacity; GOLD: Global Initia­
tive for Obstructive Lung Diease.
Sumber: Diagnosis ofDiseases of Chronic Airflow Limitation:Asthma,
COPD and Asthma-COPD Overlap Syndrome (ACOS)-Updated
2015

76

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Tata laksana PPOK dan ACOS

Penatalaksanaan PPOK terdiri dari beberapa aspek di­


antaranya: Berhenti merokok, farmakoterapi, latihan aktivitas
kemampuan fisik, terapi oksigen, vaksinasi influenza dan
pneumokok, antibiotik untuk mengatasi eksaserbasi, Lung
volume reduction surgery/ bronchoscopy Lung volume reduction
surgery, palliative care, end of life care, hospice care.
Terapi pemeliharaan dengan long-acting bronchodilators
merupakan terapi utama untuk menstabilkan PPOK, mencegah
progresifitas dan mencegah eksaserbasi. Golongan obat
bronkhodilator mempunyai beberapa keuntungan diantaranya:
Mempertahankan kestabilan fungsi paru, mengurangi gejala,
mempertahankan kemampuan aktivitas fisik, memperbaiki
kualitas hidup, dan mencegah eksaserbasi.

Tabel 4. Jenis Obat-obatan yang digunakan unruk PPOK

Beta2-agonist
Short-acting beta2-agonists
(SABA)
Long-acting beta2-agonists
LABA
Anticholinergics
Short-acting anticholinergics
(SAMA)
Long-acting anticholinergics
(LAMA)
Combination short-acting beta2-ago­
nists + anticholinergic in one inhaler
Methylxanthines
Inhaled corticosteroids
Combination long-acting beta2-ago­
nists + corticosteroids in one inhaler
Systemic corticosteroids
Phosphodiesterase-4 inhibitors

Sumber: Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease- up­


dated 2014

77

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Rekomendasi Pilihan pertama sesuai klasifikasi PPOK

c I D

ICS + LABA JCS LABA


or and/or
LAMA LAMA

A + - - -

SAMA prn SAMA


or or
SABA prn SABA

I
Sumber: Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease- up­
dated 2014

Alternatif pilihan pengobatan sesuai klasifikasi PPOK

c I D

LAMA + LABA
I JCS + LABA and LAMA
or
or JCS + LABA and PDE4-inh
LAMA and PDE4-inh or
LABA and PDE4-inh LAMA and LABA
or
LAMA and PDE4-inh

A - I -

LAMA
or
· LABA I LAMA and LABA
or
SABA and SAMA
I
I
Sumber: Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease- up­
dated 2014

78

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Alternatif lain pengobatan sesuai klasifikasi PPOK
c I D

I Carbocysteine
SABA and/or SAMA SABA and/or SAMA
Theophylline Theophylline

- - 1 -
A B

SABA and/or SAMA


Theophylline
Theophylline

I
I
Sumber : Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease-
-
updated 2014

Pengobatan ACOS

Setelah diagnosis A COS ditegakkan, tata laksana


dikerjakan sesuai rekomendasi GINA dan GOLD:
1 . Kortikosteroid inhalasi (inhaled corticosteroid/JCS) den­
gan dosis rendah atau sedang sesuai tingkat gejala
2. Tambahkan LABA dan/ atau LAMA
3. Jangan hanya memberikan LABA/ LAMA tanpa ICS
(terapi tunggal LABA/LAMA) atau ICS tanpa LABA/
LAMA (terapi tunggal ICS)

Selain farmakoterapi, GINA dan GOLD merekomendasikan


tata laksana lainnya yang merupakan modifikasi tatalaksana
Asma dan PPOK, antara lain berhenti merokok, latihan fisik,
rehabilitasi paru, pengobatan komorbid dan vaksinasi.

79

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Daftar Pustaka
1. Zeki AA, Schivo M, Chan A, Albertson TE, Louie S . The Asthma­
COPD overlap syndrome: a common clinical problem in the
elderly. J Allergy. 2011;2011:861-926.
2. Global initiative for chronic obstructive pulmonary disease
(GOLD). Global strategy for diagnosis, management and preven­
tion of COPD-updated 2014.
3. GINA-GOLD. Diagnosis of disease of chronic airflow limitation:
asthma, COPD and asthma-COPD overlap syndrome (ACOS).
Available from URL http://www.goldcopd.org/asthma-copd­
overlap.htrnl.
4. Dana Saffel, pharmd, CGP, FASCP. Managing COPD in elderly
patients. Aging Well. 5(2): 8.

80

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Penuaan dan Permasalahan Kulit
pada Usia Lanjut
R.A. Tuty Kuswa rd h a n i

Pendahuluan

Proses penuaan atau aging menyebabkan penurunan fungsi


kulit manusia. Berbagai faktor dapat memengaruhi fisiologis
kulit, yaitu kondisi fisik, penyakit penyerta, penggunaan obat­
obatan, serta lingkungan.
Perubahan fisiologis kulit umumnya dipengaruhi faktor
intrinsik dan ekstrinsik.1 Faktor intrinsik sangat terkait dengan
usia, maka seiring bertambahnya usia terjadi akumulasi jaringan
endogen yang mengalami kerusakan akibat reactive oxygen
species (ROS) yang semakin meningkat. Teori pemendekan
telomer, yaitu bagian terpendek dari eukariotik kromosom,
berpengaruh terhadap proses penuaan pada kulit, di mana
telomer bertanggung jawab mengatur pembelahan sel. Tumor
supresor gen berperan mengatur sel yang mati (apoptosis sel)
atau sel yang tidak berproliferasi (senescence), Sel senescence
dapat menjadi hiperproliferasi seperti pada kanker.
Adapun faktor intrinsik yang tidak bisa diabaikan adalah
faktor genetik. Faktor ekstrinsik yang paling sering adalah
akibat paparan terhadap polutan dan pajanan kronis sinar
1
matahari. Berbagai faktor baik intrisik maupun ekstrinsik
dapat saling terkait satu dengan yang lainnya sehingga
pencegahan aging hams melibatkan aspek multidimensi.

Epidemiologi

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sanjiv 2 di


India tahun 2012 (tabel 1) dikemukakan bahwa dari 2000 pasien
geriatri, jenis kelainan kulit yang paling banyak adalah tumor
jinak kulit (n=547; 74%).

81

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Tabel 1. Spektrum Kondisi Dermatologi pada Geriatri di India2

Kondisi / Lesi Kulit Jumlah % Prevalensi

Wrinkling 191 95.5


Xerosis 171 85.5
Idiopathic guttate hypomelanosis 153 76.5
Senile lentigines 20 10
Senile comedones 13 6.5
Papulosquamous disorders 34 17
Eczemas 78 39
Infections and infestations 87 43.5
Pigmentary disorders 20 10
Benign tumors of the skin 537 74.5
Collagen vascular disorders 7 3.5
Vascular disorders 20 10
Vesiculobullous disorders 1 0.5
Keratinization disorders 25 12.5
Miscellaneous skin condition 35 17.5

Selain data di atas, studi lain pada tahun 2014 pada pasien
berusia lebih dari 70 tahun dengan hiperkeratosis serta xerosis
kutis yang mendapatkan terapi pelembab berisi glikoprotein
yg yang disintesis dengan pseudoalteromonas didapatkan
penurunan secara bermakna derajat keratosis dan kekeringan
kulit.3

Kondisi Kulit pada Populasi Usia Lanjut

Penuaan Intrinsik
Penuaan intrinsik adalah proses sel yang menua seiring
dengan waktu. Telomer (sekuens asam amino pada akhir
rantai DNA) dapat memendek setiap kali proses pembelahan
sel. Proses ini dapat menyebabkan aging dan senescence sel.
Senescence sel adalah pertumbuhan yang terhenti pada siklus sel
mitosis yang bersifat irreversibel. Sel kulit termasuk sel mitosis.
Senescence keratinosit dan fibroblas tampak akumulasi pada
kulit yang tua. Mutasi pada mitokondria DNA dan produksi
ROS dapat mempercepat terjadinya proses menua pada kulit.

82

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Penurunan sistem imun pada proses aging menyebabkan
penumpukan sel senescence pada jaringan serta kemunduran
fungsi organ tersebut.4
Manifestasi proses menua pada kulit berupa kulit berkerut
dan garis/line, serta timbulnya spot (bercak-bercak di kulit).
Hal ini disebabkan penurunan produksi kolagen tipe I serta
fragmentasi kolagen matriks ekstraseluler yang meningkat.
Di samping itu, pada populasi usia lanjut, terjadi kulit kering
(xerosis kutis) yang terkait hilangnya jaringan adiposa dan
penurunan cairan tubuh.4
Kolagen merupakan protein yang terdiri dari asam
amino dan bermanfaat untuk mempertahankan kesehatan
dan keremajaan kulit serta melawan proses menua pada
kulit. Kolagen berfungsi memperkuat jaringan penyusun
kulit sehingga jaringan kulit menjadi kuat dan elastis. Selain
itu, kolagen memberi kekuatan untuk struktur tubuh dan
melindungi struktur kulit dengan cara mencegah penyebaran
zat patogen, zat beracun, rnikroorganisme, dan sel-sel kanker.
Penurunan kolagen seiring usia akan berdampak langsung
pada kondisi kulit, rnisalnya kulit berkeriput, otot mengecil,
kulit kusam hingga kuku rapuh.

Ultraviolet A
Ultraviolet A (UV A) berpengaruh pada terjadinya photo
aging. Pajanan sinar matahari secara langsung mengandung
UV A dalam jumlah banyak. Ultraviolet A juga memiliki
penetrasi kuat ke lapisan dermis kulit.5

Ultraviolet B
Ultraviolet B (UV B) juga berpengaruh pada terjadinya
photo aging. Ultraviolet B seribu kali lebih kuat daripada foton
UV A Sementara itu, UV B menyebabkan sunburn, suntanning,
dan fotokarsinogenesis.5

83

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Photoaging
Photoaging merupakan gejala penuaan kulit terkait
dengan pajanan kronis sinar matahari pada kulit. Photoaging
ditandai dengan adanya keriput, flek hitam, kering, actinic
keratosis, dan purpura.4•6

Gambar 1. Kulit lansia dengan photo ag­


ing 4,6

Neoplasia Kulit
Neoplasia pada kulit orang usia lanjut ditengarai cukup
banyak kasusnya sej alan dengan bertambahnya umur.
Kemampuan tubuh untuk memperbaiki organ sel yang
rusak akan semakin menurun sehingga meningkatkan risiko
terjadinya neoplasia. Gambaran neoplasia berupa lesi benign,
pre malignant, dan malignant.6

1. Lesi Benign
Lesi benign dapat berupa skin tag dan keratosis seboroik.6

Skin Tag
Skin tag ditandai dengan fibroepitelial, warna kulit hingga
hiperpigmentasi, pendular papul. Lokasi paling sering pada
kelopak mata, leher, dan ketiak.

84

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Gambar 2. Skin tags dengan popula-popula
pada kulit lansia6

Dermatitis seboroik
Ditandai dengan makula coklat, papul, plak, warna putih
hingga hitam. Lokasi tersering pada wajah, leher, dan badan.
Dapat timbul rasa gatal ataupun tidak. Bersisik di permukaan
kulit.6
Terapi seboroik dapat dilakukan dengan pemberian obat
anti-inflamasi, keratolitik, antifungi, dan pengobatan altematif
seperti pemberian melaleuca oil.

Gambar 3. Dermatitis seboroik pada kulit orang usia lanjut6

Terapi pada benign neoplasia dapat berupa kemoterapi,


kauterisasi, dan eksisi pada kulit.6

2. Pre Malignancy pada Kulit

Actinic keratosis
Actinic keratosis adalah prekursor neoplasia yang akan
berkembang menjadi karsinoma sel skuamosa dan ditandai

85

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
dengan papul merah bersisik. Terapi penyakit ini berupa eksisi
pembedahan. 6

Gambar 4. Actinic keratosis pada kulit orang


usia lanjut 6

Lentigo maligna
Lentigo maligna merupakan karsinoma in situ melanoma
akibat pajanan kronis sinar matahari. Lokasinya terdapat pada
wajah, makula, berbentuk ireguler, serta pigmentasi bervariasi.
Terapi kasus ini berupa laser atau eksisi biopsi kulit.6

Gambar 5. Lentigo maligna pada kulit orang


usia lanjut 6

3. Lesi Maligna pada Kulit


Lesi maligna pada kulit terdapat 3 jenis, yaitu karsinoma
sel skuamosa, karsinoma sel basal, dan melanoma maligna.
Lesi tersebut memerlukan biopsi dalam penegakkan
diagnosis, namun dapat dikenali dari tanda dan gejala sesuai
kasusnya.6
,
Karsinoma sel skuamosa pada kulit
Karsinoma sel skuamosa merupakan lesi non-melanoma
neoplasma yang banyak pada dewasa muda hingga usia lanjut

86

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
(30-60 tahun). Lesinya berupa pap�I merah, seperti bunga
kol, dengan respons inflamasi di sekitarnya, rapuh, mudah
berdarah, pada wajah atau daerah tubuh yang sering terkena
pajanan sinar matahari. Terapi eksisi berupa kemoterapi,
radioterapi, krioterapi.6

Garnbar 6. Karsinoma sel skuamosa pada kulit orang usia


lanjut 6

Karsinoma sel basal


karsinoma sel basal merupakan lesi non-melanoma
neoplasma yang banyak ditemui pada populasi berusia 50
tahun ke atas. Lesi ditandai dengan patch keras atau ulkus,
translusen, teleangiektasis, dan bersifat rekurens. Terapi
penyakit ini berupa eksisi, kuretase, atau kauter.6

Gambar 7. Karsinoma sel basal pada kulit orang usia lanjut6

Melanoma maligna
Melanoma maligna dikenali dengan gejala dan tanda
" ABCD", yaitu Asymetry, Border irregular, Color variation,
Diameter > 6 mm. Penegakan diagnosis dengan biopsi kulit.5

87

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Gambar 8. Melanoma maligna pada kulit orang usia
lanjut 6
Terapi lesi ini berupa radio partikel I 125, radioterapi, atau
kemoterapi.6

Herpes zoster
Herpes zoster ditengarai 10 kali lipat pada orang berusia
lanjut. Hal ini dikarenakan penurunan sistem imunitas yang
tinggi atau imunosupresif pada populasi usia lanjut. Dari
studi di Amerika Serikat didapatkan prevalensi 83% pada
usia di atas 45 tahun. Gambarannya berupa bintil kecil merah
berisi cairan menggembung pada sekitar kulit yang dilalui
virus. Gejala utama lesi ini adalah nyeri saraf. Terapi nyeri
misalnya dengan gabapentin, serta antiviral topikal atau oral.
Pencegahan dengan melakukan vaksinasi herpes zoster.8

Psoriasis
Psoriasis adalah penyakit kulit kronis yang ditandai dengan
warna kulit memerah tebal, kering, dan bersisik. Menggaruk
pada daerah yang terkena psoriasis dapat memperburuk

Gambar 9. Psoriasis pada kulit orang usia lanjut 9

88

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
'

penyakit tersebut. Pengobatan psoriasis biasanya dengan


memberikan kortikosteroid, krim vitamin A dan D, pelembab,
dan asam salisilat.9

Pencegahan dan perumatan kulit pada orang usia lanjut


• Menjaga kebersihan kulit

• Gunakan tabir surya

• Pelembab

• Dilarang menggunakan tanning

• Mengkonsumsi nutrisi yang tepat dan baik, vitamin, mineral

clan anti-oksidan
• Olahraga yang cukup

• Istirahat selama 7-9 jam 8•9

Peran N utrisi dan Terapi H ormon pada Skin Aging

Proteksi terhadap kulit baik akibat proses penuaan maupu


faktor stres oksidatif merupakan salah satu cara pencegahan
penuaan pada kulit. Proteksi dapat berupa nutrisi seperti anti­
oksidan dan proteksi topikal pada kulit.
Jenis anti-oksidan terkait dengan penuaan pada kulit, yaitu
derifat vitamin E, derivat vitamin C, vitamin A, vitamin B3,
koenzim QlO-coQlO, serta komponen polifenolat.9

Tabel 2. Peranan Antioksidan pada Proses Penuaan9

Sistem Pertahanan Anti-oksidan

Enzim - Enzim yang bekerja langsung


(misalnya SOD, CAT, peroxidase)
- Supporting enzymes (misalnya xanthine
oxidase)

LMWA (Low Molecular - Direct acting LMWA (scavengers)


Weight Antioxidants) - Disintesis oleh sel
- Produk buangan
- Sumber dari makanan (misalnya tokoferol,
asam askorbat, karoten, koenzim QlO,
polifenol)
- Indirect acting LMWA (chelating agents)

89

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Vitamin E
Vitamin E sebagai antioksidan enzimatik dan non
enzimatik. Bentuk biologisnya adalah a-tokoferol. Vitamin
E bekerja pada mitokondria, membantu stabilisasi membran
dan mencegah pembentukan radikal bebas. Pada kulit, bentuk
biologis vitamin E yang berguna sebagai proteksi terhadap UV
berupa vitamin E asetat yang bekerja topikal sebagai pelembab.
Vitamin E topikal bekerja bila kulit terkena pajanan sinar UV
4QOC.9

Vitamin C
Vitamin C atau asam askorbat merupakan agen hidrofilik.
Kombinasi dari antioksidan memerlukan pertimbangan
mengingat efek samping diperkirakan mampu menjadi pro­
oksidan.9·10

Vitamin A
Kebutuhan harian vitamin A adalah 600-1300 mg/hari,
dengan dosis maksimal 3000 mg/hari. Defisiensi vitamin A
menyebabkan sel epitel tertentu memproduksi keratin terlalu
banyak. Protein keratin terdapat pada rambut, kuku, dan pada
lapisan kulit luar. Kelebihan keratin dapat menyebabkan kulit
kasar, yaitu follicular keratinosis. Sebaliknya, hipervitaminosis
vitamin A dapat menyebabkan edema serebral, kerusakan
hati, hingga koma.9·10

Vitamin B3
Vitamin B3 berfungsi sebagai ko-enzim asam amino.
Vitamin B3 mampu memperbaiki tekstur kulit dengan RDA
4-16 mg/hari. Makanan yang mengandung Vitamin B3 antara
lain almon, ikan salmon, dan ayam.9·10

Terapi Sulih Hormon


Terapi sulih hormon biasanya dipertimbangkan
pemakaiannya dalam bidang anti-aging. Hormon pada tubuh

90

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
yang diperkirakan mengalami defisiensi seiring dengan
lanjutnya usia adalah testoteron, DHEA, hormon tiroid,
estradiol, melatonin, hormon pertumbuhan, dan progesteron.
Namun, sampai saat ini masih dipertirnbangkan manfaat dan
kerugian dari terapi sulih hormon tersebut pada populasi usia
lanjut.11

Daftar Pustaka
1. Ivie P. Skin Aging. Acta Dermatoven APA 2008; 17 (2).
2. Grover S. Clinical study of skin changes in geriatric population.
Indian Dermatol Venereol. June 2009; 5: 301-305.
3. Aluigil. The diproprev system in treatment of the skin of the
elderly preliminary data obtained in patients with dryness and
hyperkeratosis. http// dx.doi.org/10.2147 /jvd. Diunduh pada
10 Mei 2015.
4. Dragana Stojiljkovic. Oxidative stress, skin aging and oxidant
therapy. Sientific Journal of The Acta Faculty Medicine NIS.
2014; 31 (4); 207-17.
5. Ortiz AA, Yan B, D'Orazio JA. Ultraviolet radiation, aging and
the skin: prevention of damage by topical cAMP manipulation.
www.mdpi.com/1420-3049/19/5/6202/pdf. Diunduh pada 10
Mei 2015
6. Omar. Common skin in the elderly. SA Fam Pract. 2010;48(5);
29-34.
7. Gary J. Pathophysiology of premature skin aging induce by
ultraviolet light. Departement of Dermatology University of
Michigan Ann Arbor. N Engl J Med. 2010; 337(2): 1419-23.
8. DeRosa A, Gray K. Managing the challenge of herpes zoster in
the long -term care setting. http://
9. Kafi Reza, Kwak H, Schumacher W, et al. Impprovement natu­
rally aged skin with vitamin. http:/ / www. http:/ /archderm.
jarnanetwork.com/ article.aspx?articleid=412795. Diunduh pada
10 Mei 2015
10. http:/ /www.livestrong.com/ article/ 358733-vitamins-to-help­
with-the-thin-skin-of-the-elderly/ . Diunduh pada 10 Mei 2015
11. Klentze M. The new science of anti aging hormone replacement
therapy. Europian Council of Aging Research.; 2013.

91

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Kulit Kering
pada Usia Lanjut
Lili Legiawati

Pendahuluan

Xerosis kutis atau kulit kering adalah masalah yang sering


ditemukan pada usia lanjut dengan insidens dan keparahan
yang meningkat seiring pertambahan usia.1 Prevalensinya
pun bervariasi sekitar 29,5-85% . Kulit kering menyebabkan
keluhan gatal, rasa terbakar, tersengat, dan kulit seperti
tertarik. Keadaan ini merupakan penyebab tersering pruritus
generalisata pada usia lanjut.2
Data statistik kunjungan pasien poliklinik rawat jalan
Divisi Dermatologi Geriatri Departemen Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin FKUI-RSCM tahun 2012-2014 menunjukkan
bahwa kulit kering menduduki urutan pertama kunjungan
pasien. Jumlah kasus baru tahun 2012-2014 berturut-turut
adalah 101, 98 dan 79 kasus.3

Definisi

Kulit kering adalah kondisi kulit yang terjadi apabila


kandungan air dalam stratum korneum menurun sampai di
bawah 10% . Dalam keadaan normal, hidrasi stratum korneum
sebesar 15-45% .2

Etiologi

Perubahan lapisan kulit pada usia lanjut bekontribusi


terhadap timbulnya kulit kering. Perubahan penting terjadi
pada lapisan epidermis. Pembentukan lipid interseluler
stratum korneum menjadi tidak adekuat. Lipid interseluler

92

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
yang terlibat dalam pembentukan lipid dwilapis pada stratum
korneum adalah sfingolipid, sterol bebas, dan fosfolipid,
berperan penting dalam menahan air dan mencegah
kehilangan air. 2
Stratum korneum memiliki struktur menyerupai tembok
yang terdiri atas batubata dan semen sebagai satu kesatuan.
Keratinosit yang sudah mati (korneosit) dan berisi matriks
protein, sebagai batu bata matriks ekstraselular berupa
dwilapis lipid sebagai semen.2
Perubahan stratum korneum pada usia lanjut adalah
peningkatan ukuran dan akumulasi korneosit lain serta
gangguan deskuamasi karena pergantian sel yang lebih lambat.
Selain itu, kandungan natural moisturizing factor (NMF) pun
menurun.2

Perubahan dermis akibat proses penuaan :


1. Penurunan jurnlah pembuluh darah.
2. Reduksi ukuran dan fungsi kelenjar keringat dan seba­
sea.
3. Pergerakan air dari dermis ke epidermis sedikit. 2

Kulit kering pada usia lanjut merupakan masalah yang


kompleks. Penyebab kulit kering pada kelompok usia ini
bersifat multifaktor:
1. Perubahan intrinsik pada keratinisasi.
2. Perubahan intrinsik pada kandungan lipid.
3. Pemakaian pemanas atau pendingin ruangan yang ber­
lebihan.
4. Penyakit kronik seperti penyakit ginjal kronik, sirosis
hepatis
5. Polifarmasi. Umumnya pasien usia lanjut diharuskan
meminum banyak obat. Diuretik, antiandrogen dan se­
bagainya dapat menyebabkan kulit kering.4

93

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Perubahan terkait usia pada kulit
yang berkontribusi pada terjadinya
xerosis

I. Reduced water content


2. Decreasednumber oflipids
3. Increased number and size of corneosyters
4. Decreased sized of sebaceous giand
5. OecrBased s1ied of sweat giand
6. Reduced vasculature

In aged skin, changes occur in both the epidermis and dermis.


The most important changes in the epidermis occur in the
stratum comeum, which is made up of corneocytes and the
intercellular substance. These age·related changes explain
the elderly's susceptibilityto environmental insults,their
diminished Natural Moisturizing Factor (NMF) levels, and the
appearance of cracking, fine while scales and wrinkling.

Gambar 1 . Perubahan kulit pada usia lanjut yang memberikan


kontribusi kulit kering1

Etiologi pasti kulit kering belum sepenuhnya dipahami.


Faktor genetik, riwayat atopi dan lingkungan memberikan
kontribusi. Faktor lain yang diketahui, antara lain iklim dingin
dan kering serta penggunaan harsh/soap cleanser.4

Diag nosis

Kulit kering sering ditemukan pada tungkai bawah


sisi anterolateral, bokong, paha, perut, pinggul dan lengan.
Namun dapat juga mengenai aksila, lipat paha, wajah, dan
kulit kepala. Pada kulit kering derajat ringan, nampak jala­
jala halus berwarna merah muda dengan sisik halus atau
retak-retak. Pada kulit kering derajat sedang kemerahan lebih
nyata dan retak-retak menyerupai porselen retak. Pada kulit
kering derajat berat, tampilan kulit bersisik tebal seperti kulit
ikan (iktiosis).4

94

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Perubahan terkait usia pada kulit
yang berkontribusi pada terjadinya
xerosis

I. Reduced water content


1. Decreased number oflipids
3. lncmssed number and size of corneosyters
4. Decreased si1ed of sebaceous gland
5. Decreased sized of sweat gisnd
6. Reduced vssculature

In aged skin, changes occur in both the epidermis and dermis.


Themost important changes in the epidermis occur inthe
stratum corneum, which is made up of corneocytes and the
intercellular substance. These age-related changes explain
the elderly's susceptibility to environmental insults, their
diminished Natural Moislurizing Factor tNMFl levels, and the
appearance of cracking, fine while scales and wrinkling. Kulit pada orang usia lanjut

Gambar 1 . Perubahan kulit pada usia lanjut yang memberikan


kontribusi kulit kering1

Etiologi pasti kulit kering belum sepenuhnya dipahami.


Faktor genetik, riwayat atopi dan lingkungan memberikan
kontribusi. Faktor lain yang diketahui, antara lain iklim dingin
dan kering serta penggunaan harsh/soap cleanser.4

Diagnosis

Kulit kering sering ditemukan pada tungkai bawah


s1s1 anterolateral, bokong, paha, perut, pinggul dan lengan.
Namun dapat juga mengenai aksila, lipat paha, wajah, dan
kulit kepala. Pada kulit kering derajat ringan, nampak jala­
jala halus berwarna merah muda dengan sisik halus atau
retak-retak. Pada kulit kering derajat sedang kemerahan lebih
nyata dan retak-retak menyerupai porselen retak. Pada kulit
kering derajat berat, tampilan kulit bersisik tebal seperti kulit
ikan (iktiosis).4

94

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana

Tata laksana kulit kering pada usia lanjut meliputi dua


hal penting:
1. Mengontrol faktor lingkungan
2. Mengatasi tanda dan gejala pada pasien.

Tujuan mengobati kulit kering:


1 . Untuk mengembalikan barrier (sawar) epidermis kulit.
2. Untuk mempertahankan kelembaban stratum komeum.

Haroun dkk (2013) mengemukakan enam hal untuk tata


laksana kulit kering pada usia lanjut:
1. Kelembaban dijaga sekitar 45-60% .
2. Suhu ruangan dipertahankan rendah yang dapat ditole­
ransi dan nyaman.
3. Mandi dengan air hangat selama 10 menit.
4. Pemakaian bath oils tidak direkomendasikan untuk orang
usia lanjut karena risiko terpeleset di dalam bath tub.
5. Tidak menggunakan harsh soap dan drying agents.
6. Aplikasi pelembab (moisturizer) minimal 2 kali sehari se­
sudah mandi dan sebelum tidur.2

Draelos (2013)5 menjelaskan pelembab (moisturizer)


adalah bahan yang diaplikasikan eksternal, dapat bersifat
oklusif atau humektan, yang bertujuan untuk merehidrasi kulit
secara optimal. Bahan yang bersifat oklusif bekerja menjaga
kelembapan kulit dengan cara menahan evaporasi melalui
pembentukan lapisan berminyak di permukaan kulit. Bahan
bersifat humektan aktif menarik air dari lapisan kulit yang
lebih dalam dan lingkungan luar. Emolien mengisi celah-celah
antarkorneosit yang berdeskuamasi sehingga memberikan
tekstur yang lembut. Humektan dan emolien ditujukan
untuk mempertahankan kelembapan kulit normal. Pelembab
terapeutik mengandung ketiga komponen oklusif, humektan

95

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
dan emolien. Pelembab terapetik bekerja memperbaiki sawar
kulit, melembutkan dan aktif menarik air dari lingkungan
sekitar. Pelembab terapeutik dan oklusif digunakan untuk
memperbaiki kulit yang kering.5
Akhir-akhir ini berkembang pelembab generasi baru
yang dilengkapi dengan antipruritus, antiinflamasi dan
kandungannya menyerupai lipid fisiologik kulit. Komposisi
lipid fisiologik adalah seramid, kolesterol, asam lemak.
Pemberiannya bertujuan meningkatkan fungsi sawar kulit.
Produk ini dapat di berikan untuk menangani kulit kering pada
usia lanjut yang terjadi akibat kerusakan sawar kulit.

Penutup

Kulit kering merupakan masalah yang sering ditemukan


pada orang usia lanjut. Seiring pertambahan usia, insidens
dan keparahannya meningkat. Penyebab pasti keadaan
ini belum sepenuhnya diketahui. Tata laksana kulit kering
bertujuan untuk memperbaiki sawar kulit yang rusak dan
mempertahankan kelembaban stratum korneum.

Daftar Pustaka
1. Norman R. Xerosis and pruritus in the elderly: recognition and
management. Dermatologic Therapy. 2003; (6): 254-9.
2. Haroun MT. Dry skin in the elderly. Geriatric and aging. 2013; (6):
40-4.
3. Data statistik kunjungan poliklinik divisi dermatologi geriatrick.
2012-2014.
4. White-Chu EF, Reddy M. Dry skin in the elderly: complexities of
a common problem. Clinics in Dermatology. 2011;( 29): 37-42
5. Draelos JD. Modem moisturizer. Myths, misconceptions & truth.
Cutis.2013; 91: 308-14

96

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Kebutuhan Vaksinasi bagi
Populasi Usia Lanjut
Siti Setiati

Pendahuluan

Seperti halnya sistem organ lain pada tubuh manusia,


sistem imun juga mengalami proses penuaan. Kurva imunitas
manusia mulai berkembang pada masa kanak-kanak hingga
mencapai puncak ketika usia dewasa produktif, lalu setelahnya
akan terus menurun hingga tutup usia. Proses ini berlaku
umum untuk setiap individu. Perubahan sistem imun
terkait proses penuaan (age-related changed) disebut sebagai
immunosenescence.
Adanya immunosenescence mengakibatkan individu berusia
lanjut rentan terhadap penyakit infeksi, menurunnya respon
terhadap vaksinasi, serta meningkatkan risiko keganasan
tertentu. Proses immunosenescence adalah mekanisme yang
terjadi pada seluruh komponen sistem imunitas, terutama
pada imunitas adaptif.
Konsep lain yang perlu dipahami, yaitu immunosenescence
berbeda dengan imunodefisiensi. Immunosenescence memang
identik dengan penurunan kuantitas maupun kualitas sistem
imun, tetapi tidak selalu defisit. Jumlah sel limfosit T CDS+ dan
makrofag akan menurun, tetapi elemen imunitas lain seperti
sitokin pro-inflamatorik cenderung meningkatkan seiring
penambahan usia. Kadar interleukin -6 (IL-6), IL-1, dan TNFa
yang lebih tinggi merupakan prediktor terjadinya disabilitas,
kerapuhan (frailty), hingga kematian pada usia lanjut. Oleh
karena itu, beberapa ahli lebih menyukai istilah " Senescent
Immune Remodelling" daripada immunosenescence, yang lebih
tepat untuk menggambarkan plastisitas dari sistem imun
yang menua. Namun karena masih sering dipakai, agar tidak

97

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
menimbulkan kekeliruan interpretasi, istilah immunosenescence
tetap digunakan pada tulisan ini.

Immunosenescence pada Usia Lanjut


Sistem imunitas pada individu sehat dan normal dapat
dibagi menjadi imunitas non-spesifik (innate immunity) dan
imunitas spesifik (adaptive immunity). Imunitas non-spesifik
meliputi sel epitel, fagosit (neutrofil dan makrofag), sel
dendritik, sel natural killer (NK), dan komplemen; sementara
imunitas adaptif lebih lanj u t dibagi menjadi imunitas
humoral (sel limfosit B) dan imunitas seluler (sel limfosit
T). Seluruh komponen imunitas tersebut akan mengalami
immunosenescence.
Pada usia lanjut, fungsi protektif sel-sel epitel pada kulit,
paru, atau saluran cerna akan menurun sehingga patogen
lebih mudah menginvasi jaringan mukosa. Selain imunitas
non-spesifik, perubahan pada imunitas humoral dan seluler
menjadi aspek yang paling signifikan dan banyak diteliti pada
immunosenescence. Penyebab utama perubahan sel limfosit T
ialah involusi kelenjar timus, yaitu kelenjar yang terletak pada
mediastinum anterior superior dan berperan dalam maturasi
sel T. Sejalan dengan penambahan usia, kelenjar timus akan
mengalami atrofi dan stroma jaringannya digantikan oleh
jaringan adiposit. Namun perkembangan imunologi terkini
telah membuktikan bahwa proses immunosenescence tidak
hanya terjadi pada timus, melainkan pada seluruh proses
tahapan pembentukan dan maturasi limfosit T.
Produksi limfosit T berasal pada sumsum tulang dalam
bentuk sel punca hematologik atau hematopoetik stem cells (HSC),
lalu mengalami proses maturasi di timus, serta berdiferensiasi
lebih lanjut menjadi sel efektor atau memori setelah terpapar
antigen tertentu. Proses menua akan menyebabkan penurunan
jumlah dan aktivitas HSC; kemampuan perbaikan diri (self­
renewal) dan berdiferensiasi juga berkurang. Di samping itu,
lingkungan pendukung hematopoiesis di sumsum tulang

98

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
turut mengalami degenerasi dan digantikan oleh jaringan
adiposit.
Terjadinya involusi timus berdampak pada menurunnya
produksi sel T naive (sel T yang belum terpapar antigen). Atrofi
timus terjadi berangsur seiring penurunan kadar timosin. Pada
usia 50-60 tahun, ukuran kelenjar timus akan sulit terlihat
secara anatomis (hanya 1 5 % dari ukuran maksimalnya).
Degenerasi timus ini secara tidak langsung mengubah arah
homeostasis tubuh guna menjaga dan mempertahankan sel
T yang tersisa.
Pada sel T matur yang t e l a h terpapar antigen,
immunosenescence mengakibatkan penurunan kemampuan
ekspansi klonal sel, disebut j u ga oligoclonal expansion .
Sebagaimana yang diketahui, salah satu fungsi imunitas
adaptasi ialah ekspansi klonal, yaitu kemampuan untuk
menambah jumlah sel limfosit yang memiliki reseptor identik
terhadap suatu antigen guna meningkatkan respon imunitas
terhadap antigen tersebut. Oligoclonal expansion mengakibatkan
respon sel T matur terhadap antigen atau mikroba menjadi
tidak adekuat.

I1nplikasi I111 111 unosenescence


Berdasarkan konsep immunosenescence di atas, maka
jelas bahwa populasi usia lanjut merupakan kelompok yang
rentan terhadap penyakit infeksi. Data epidemiologis global
mengungkapkan bahwa pneumonia tercatat sebagai salah
satu penyebab mortalitas dan morbiditas pada usia lanjut. Di
samping itu, infeksi influenza dilaporkan sebagai pencetus
eksaserbasi akut berbagai penyakit kronis pada usia lanjut
sehingga turut menyebabkan luaran kesehatan yang buruk.
Adanya immunosenescence juga mampu meningkatkan reak­
tivasi infeksi laten, seperti tuberkulosis dan herpes zoster.
Konsekuensi logis lain yang diakibatkan oleh immu­
nosenescence ialah menurunkan efikasi terhadap vaksinasi
pada usia lanjut. Beberapa vaksin merupakan virus yang

99

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
dilemahkan dan masih bergantung pada respon imunologis
seseorang, sehingga respon imunitas yang tidak adekuat akan
menurunkan efikasi sebuah vaksin. Pembahasan mengenai
efikasi vaksinasi ini akan diuraikan lebih jelas pada sub-bab
di bawah.
Selain mempengaruhi mekanisme pertahanan tubuh,
immunosenescence juga meningkatkan risiko keganasan. Pada
individu usia lanjut, respon profeliferasi dan kemampuan
sitotoksik sel NK-salah satu sel imun yang penting dalam
mencegah potensi keganasan- akan menurun. Kadar IL-6
yang tinggi juga lazim ditemui pada usia lanjut. Sitokin
IL-6 merupakan stimulus metastasis yang bekerja dengan
meningkatkan proses adesi molekul dan ekspresi VEGF pada
keganasan. Oleh karena itu, beberapa pakar juga menyebut
i m m u n osenescence sebagai penurunan imunosurvailans
terhadap keganasan.

Urgensi Vaksinasi Bagi Populasi Usia Lanjut


Selain balita dan anak-anak, kaum usia lanjut sesungguhnya
kelompok yang memerlukan proteksi khusus terhadap
penyakit infeksi. Hal tersebut menjadi lebih relevan pada masa
kini mengingat semakin meningkatnya usia harapan hidup
(UHH) di berbagai negara termasuk Indonesia, bertambahnya
jumlah dan proporsi populasi berusia �60 tahun di tengah
masyarakat. Individu berusia �60 tahun masa kini lebih
aktif, produktif, dan mandiri, beberapa diantaranya masih
memegang posisi penting dalam kehidupan bermasyarakat,
dibandingkan 2-3 dekade yang lalu.
Selain urgensi dari segi medis, kebutuhan vaksinasi juga
didasarkan pada pertimbangan ekonomis. Individu berusia
lanjut yang mengalami influenza seringkali membutuhkan
rawat inap dan perawatan khusus lainnya, sehingga menelan
biaya yang lebih besar dibandingkan kaum dewasa muda.
Kalkulasi efektivitas vaksinasi juga perlu memperhitungkan
potensi kerugian tidak langsung (indirect cost) yang diperoleh

100

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
dari hilangnya pendapatan dan berkurangnya produktivitas
pada usia lanjut. Di negara-negara Eropa, populasi berusia 2!:65
tahun berkontribusi terhadap 64 % beban ekonomi kesehatan;
46% dari biaya tersebut diakibatkan oleh dana pengobatan
langsung dan selebihnya rnerupakan biaya pengeluaran tidak
langsung.
Setidaknya ada tiga rnanfaat pernberian vaksinasi bagi
usia lanjut. Pertarna, rnernberikan proteksi spesifik terhadap
infeksi tertentu. Kedua, pada usia lanjut yang sering rnemiliki
rnultipatologi, upaya rnencegah suatu infeksi secara tidak
langsung akan rnencegah darnpak sekunder pada kesehatan
yang disebabkan oleh infeksi tersebut. Sebagai contoh, tindakan
vaksinasi juga turut rnenurunkan angka eksaserbasi penyakit
kardiopulrnonal yang sering disebabkan oleh influenza.
Manfaat terakhir ialah rneningkatkan status kesehatan
kelornpok usia lanjut secara urnurn Beberapa vaksinasi telah
.

terbukti secara evidence-based rnarnpu rneningkatkan kualitas


kesehatan seseorang, baik secara langsung rnaupun rnelalui
perbaikan fungsional sehari-hari: rnarnpu bekerja, berrnain
dengan cucu, kernbali dalarn aktivitas sosial, dan sebagainya.
Pada individu yang telah berusia senja, kernarnpuan fungsional
dalarn rnenjalankan kehidupan yang berkualitas rnenjadi fokus
penting dalarn upaya rnenjaga kesehatan.
Hingga saat ini, terdapat beberapa vaksinasi yang
direkornendasi bagi individu berusia 2!:60 tahun. Center
of Disease Con trol and Prevention (CDC) Arnerika Serikat
tahun 2015 rnewajibkan vaksinasi influenza, varisela-zoster,
pneurnokokus (baik polisakarida rnaupun konjugat), serta
dosis booster untuk tetatus, difteri, dan pertusis (Td/Tdap).
Kendati dernikian, vaksinasi lain juga perlukan bila terdapat
faktor risiko atau hendak bepergian, seperti hepatitis A,
hepatitis B, rneningokokus, hernofilus influenza tipe B (HIB),
dernarn tifoid, dan dernarn kuning (yellowfever). Rekornendasi
tersebut sejalan dengan rekornendasi lokal yang dikeluarkan
oleh Perhirnpunan Spesialis Penyakit Dalarn (P APDI) dan

101

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Perkumpulan Gerontologi Medik Indonesia (PERGEMI).
Pada tulisan ini akan diuraikan secara ringkas mengenai
profil dan cara pemberian tiga vaksinasi utama pada usia
lanjut, yaitu influenza, pneumokokus, dan varisela-zoster.
Agar memudahkan pemahaman, konsep patogenesis dasar dari
masing-masing penyakit turut dijabarkan dengan singkat.

Vaksinasi Influenza pada Usia Lanjut

Influenza yang maksud dalam konteks ini ialah seasonal


influenza, utamanya virus influenza tipe A (HlNl dan H3N2),
serta influenza tipe B. Influenza mudah dikenali dengan gejala
awitan akut berupa demam, menggigil, nyeri kepala, nyeri otot
dan sendi, serta kongesti nasal. Namun, penyakit ini biasanya
bersifat asimtomatis sehingga penyebarannya tidak disadari.
Influenza bersifat infeksius, tetapi akan membaik dengan
sendirinya (self-limiting) selama 1-2 minggu pada individu
sehat. Pada usia lanjut dan renta, durasi tersebut dapat lebih
panjang serta kejadian komplikasi lebih tinggi, termasuk
kematian.
Data global mencatat sekitar 3-5 juta kasus berat per tahun
dan 250.000-350.000 kematian yang diakibatkan oleh influenza.
Saat terjadi epidemi musiman influenza, angka kematian
penyakit paru, jantung iskemik, dan kejadian serebrovaskular
pada usia lanjut juga meningkat dengan tajam. Diperkirakan,
pengobatan influenza menelan biaya hingga $US 87 miliar per
tahun di Amerika Serikat.

Struktur virus dan patogenesis influenza


Virus influenza memiliki 8 segmen gen akan mengkode 11
protein. Di antaranya, hemaglutinin (HA) dan neuraminidase
(NA) yang merupakan antigen yang paling penting. Adapula
kanal ion M2 pada selubung virus yang juga bersifat
antigenik.

102

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Protein HA merupakan bagian utama yang akan berikatan
dengan reseptor sel inang. Oleh sebab itu, ada antibodi
terhadap HA akan mencegah ikatan HA dengan reseptor inang
atau memblok fusi virus dengan membran sel. Titer antibodi
terhadap HA diketahui berkorelasi dengan tingkat proteksi
vaksin terhadap infeksi influenza.
Protein NA juga ditemukan pada permukaan virus, tetapi
berperan untuk melepaskan virus baru dari sel inang. Oleh
sebab itu, antibodi terhadap NA tidak mencegah infeksi secara
langsung, melainkan membatasi pelepasan virus dari sel inang.
Kadar antibodi terhadap NA ini diketahui berkorelasi dengan
derajat penyakit yang dihasilkan.
Kanai ion M2 berperan sebagai jalur masuk proton H+
dan pelepasan gen untuk sintesis virus baru di dalam sel
inang. Selain itu, antibodi terhadap M2 juga diketahui mampu
membatasi pembentukan virus baru.

Vaksin influenza
Vaksinasi merupakan strategi utama untuk mencegah
dan mengontrol influenza di masyarakat dibandingkan
pemberian obat anti-influenza. Vaksin influenza yang ada
saat ini berupa vaksin virus inaktif (inactivated vaccines) dan
virus yang dilemahkan (live-attenuated vaccines). Saat ini,
vaksin inaktif lebih banyak tersedia di pasaran dalam bentuk
trivalen (trivalent inactivated vaccine/TIV) yang mengandung
strain virus tipe A (HlNl dan H3 N2) serta tipe B. Vaksin TIV
ada yang mencakup seluruh protein virus, tetapi ada juga
yang berupa subunit (hanya HA dan NA). Berdasarkan data
epidemiologis, strain H3N2 merupakan tipe yang lebih sering
menginfeksi populasi usia lanjut dihandingkan HlNl atau
tipe B.
Menurut telaah sistematis Cochrane tahun 2015, vaksinasi
influenza dapat mencegah influenza atau flu-like illness (RR
0,38; 95CI 0,33--0,44). Beberapa manfaat lain yang dikaji ialah
mengurangi jumlah kunjungan berobat (RR 0,87; 95 % C I

103

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
0,4(}-1,89); mengurangi jumlah hari sakit (Mean Difference -0,12;
95%CI -0,98 - 1,89); mengurangi jumlah izin hari kerja (Mean
Difference -0,04; 95%CI -0,14 - 0,06); serta mengurangi jumlah
rawat inap (RR 0,96; 95% CI 0,85 - 1,08).
Tujuan pemberian vaksin TIV ialah meningkatkan
respon netralisasi antibodi terhadap virus influenza. Namun
karena vaksin ini masih mengandalkan respon imunologis
individu resipien, maka efektivitasnya pada usia lanjut terus
dikembangkan. Efektivitas vaksin terhadap usia lanjut hanya
39%, sementara pada dewasa muda dapat mencapai 59% .
Informasi lain yang perlu diketahui ialah pemberian vaksinasi
influenza perlu dilakukan setiap tahun, mengingat profil virus
yang sering mengalami perubahan antigen dan vaksin pun
harus diperbaharuhi setiap tahun.

Jenis Trivalent inactivated vaccine (influenza tipe A


[HlNl dan H3N2] serta influenza B).
Dosis 1 dosis (0,5 mL) intramuskular per tahun.
Indikasi Seluruh dewasa (�19 tahun) direkomendasikan
untuk mendapatkan vaksinasi influenza per tahun
Kontraindikasi Reaksi alergi berat (seperti anafilaksis) setelah
vaksinasi sebelumnya, terhadap komponen vaksi­
nasi termasuk protein telur.

Vaksinasi Pneumokokus pada Usia Lanjut

S treptococcus pneumoniae merupakan patogen utama


penyebab pneumonia, sekaligus penyebab bakteremia dan
meningitis bakterialis pada usia lanjut. Adanya bakteri S.
pneumoniae pada cairan steril tubuh seperti darah (bakteremia),
serebrospinal, sendi, pleura, atau perikardium disebut sebagai
invasive pneumococcal diseases (IPD).
Angka kejadian pneumonia pada usia lanjut sekitar 17,5
per 1000 pasien usia 65-74 tahun, dan meningkat menjadi
31,4 per 1000 pasien usia �75 tahun. Sekitar 12-48% kasus
pneumonia tersebut disebabkan oleh bakteri pneumokokus.

104

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Sementara itu, angka kejadian IPD diprediksikan 54 per 100.000
populasi berusia �50 tahun. Sekitar 28% dari pneumonia
komuniti merupakan IPD, dan mayoritas (80%) kasus IPD
disebabkan oleh bakteri pneumokokus.

Struktur bakteri dan patogenesis pneumonia pneu­


mokokal
S. pneumokokus dikelilingi oleh kapsul polisakardia yang
memiliki variasi antigen yang sangat luas. Diperkirakan
terdapat lebih dari 90 serotipe kapsul yang berbeda, baik dalam
struktur biokirniawi, imunogenisitas, dan efek klinisnya.
Sebelum menginfeksi jaringan paru, bakteri terlebih
dahulu membentuk kolonisasi pada traktus respiratorius atas.
S. pneumokokus biasanya berikatan dengan sel epitel mukosa
nasofaringeal, lalu menyebar ke sinus atau telinga tengah,
aspirasi ke paru, atau invasi ke peredaran darah. Progresivitas
infeksi menjadi pneumonia tidak serta-merta terjadi, karena
diperlukan faktor tambahan seperti cedera jaringan paru,
penurunan imunitas individu, ko-infeksi virus, dan sebagainya
agar mampu secara klinis menimbulkan tanda atau gejala.
Kapsul polisakarida pada S. pneumokokus merupakan
faktor patogenik utama terjadinya pneumonia dan penyakit
berat lainnya. Kapsul polisakarida berperan dalam mencegah
fagositosis. Antibodi terhadap kapsul polisakarida dapat
terjadi secara alarniah atau melalui pemberian vaksin, namun
hingga saat ini belum cukup untuk memberikan proteksi
terhadap seluruh serotipe.

Vaksin pneumokokus
Pengembangan vaksin pneumokokus telah mengalami
perjalanan panjang pada awalnya ditujukan untuk mencegah
pneumonia pada balita. Pengalaman irnplementasi program
vaksinasi pneumococcal conjugate vaccine- 7 (PCV-7) pada
balita telah berhasil menurunkan angka IPD dan kematian
anak secara drastis di berbagai belahan dunia. Belakangan,

105

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
program vaksinasi pneumokokus untuk usia lanj u t
banyak dikembangkan, dan beberapa negara maju sudah
mewajibkannya.
Saat ini tersedia dua jenis vaksin pneumokokus untuk
dewasa, yaitu pneumococcal polysaccharide vaccine-23 (PPSV-23)
dan pneumococcal conjugate vaccine-13 (PCV-13). Vaksin PPSV-23
mengandung antigen polisakarida kapsul dari 23 jenis serotipe
terbanyak, yang telah mencakup sekitar 90% kasus IPD.
Karena struktur polisakarida bakteri merupakan antigen
yang tidak dipengaruhi (independen) terhadap sel T, melainkan
menstimulasi limfosit B matur (bukan limfosit T), maka jumlah
sel memori menjadi tidak adekuat sehingga membatasi lama
waktu proteksi vaksin ini. Titer antibodi pascavaksinasi
umumnya akan kembali ke titer sebelum vaksinasi dalam
kurun 5-10 tahun. Oleh sebab itu, pemberian PPSV-23 (bila
hanya diberikan tunggal tanpa PCV-13) perlu diulang setiap 5
tahun. Keberadaan sel memori merupakan komponen penting
dalam keberhasilan suatu vaksinasi. Secara fisiologis, sel T
naive akan berdiferensiasi menjadi sel T efektor dan memori;
beberapa sel T efektor juga akan menjadi sel memori setelah
antigen teratasi.
Mengingat keterbatasan PPSV-23 dalamhal durasi proteksi,
dikembangkanlah vaksin pneumokokus generasi selanjutnya,
yaitu PCV-13. Vaksin PCV-13 mengandung polisakarida yang
telah dikonjugasikan dengan protein untuk memicu stimulasi
sel T helper. Metode ini efektif untuk menghasilkan respon
imunitas yang bertahan sangat lama (seumur hidup). Namun
pada vaksin ini hanya dipilih 13 serotipe terbanyak dari 23
serotipe sebelumnya.
Berdasarkan telaah sistematis Cochrane tahun 2013,
vaksinasi PPSV-23 mampu mencegah infeksi pneumokokus
sesuai serotipe vaksin secara umum (OR 0,26; 95%CI 0,14-0,45).
Manfaat tersebut terlihat lebih besar bagi negara berkembang
yang kejadian pneumonia masih sangat tinggi (OR 0,54; 95%CI
0,43-0,67), dibandingkan negara maju (OR 0,54; 95%CI 0,45-

106

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
1,12). Sementara itu, bukti terbaik penggunaan PCV-13 sejauh
ini diperoleh dari Studi CAPiTA (n=85,000 dewasa berusia
�65 tahun di komunitas. Berdasarkan studi tersebut, PCV13
efektif dalam mencegah 75% kasus IPD (sesuai strain vaksin)
dan mencegah 45% kejadian pneumokokus non-bakteremia
(sesuai strain vaksin).
Karena profil kedua vaksin yang saling melengkapi, maka
CDC saat ini merekomendasikan pemberian kedua vaksin
PPSC-23 dan PCV-13 bagi usia lanjut. Namun, pemberiannya
tidak boleh bersamaan dan hams diberi jeda waktu. Bagi
individu yang telah mendapatkan 1 atau lebih dosis PPSV-23,
maka disarankan untuk jeda 1 tahun sebelum pemberian PCV-
13. Apabila individu telah mendapatkan PCV-13 sebelumnya,
maka PPSV-23 sebaiknya diberikan 6 bulan setelahnya dan
tetap diulang setiap 5 tahun. Bagi pasien yang belum mendapat
PCV-13 maupun PPSV-23, direkomendasikan untuk mendapat
PCV-13 terlebih dahulu.

Jenis Pneumococcal polysaccharide vaccine-23 (PPSV-23).


(Serotipe: 1, 2, 3, 4, 5, 6B, 7F, 8, 9N, 9V, lOA, l l A, 12F,
14, 15B, 17F, 18C, 19F, 19A, 20, 22F, 23F, and 33F)
Dosis Seluruh dewasa berusia �65 tahun, atau dewasa �19
tahun dengan faktor risiko tertentu. Dosis perlu diu­
lang setiap 5 tahun.
Indikasi Dosis tunggal (0,5 mL) intramuskular atau subkutan.
Kontrain­ Reaksi alergi berat (seperti anafilaksis) setelah vaksi­
dikasi nasi sebelumnya, atau terhadap komponen vaksin.

Jenis Pneumococcal conjugate vaccine-13 (PCV-13).


(Serotipe: 1, 3, 4, 5, 6A, 6B, 7F, 9V, 14, 18C, 19A,
19F, 23F)
Dos is Seluruh dewasa berusia �65 tahun, atau dewasa
�19 tahun dengan faktor risiko tertentu.
Indikasi Dosis tunggal (0,5 mL) intramuskular atau sub­
kutan.
Kontraindikasi Reaksi alergi berat (seperti anafilaksis) setelah
vaksinasi sebelumnya, atau terhadap komponen
vaksin.

107

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Vaksinasi Varisela-Zoster pada Usia Lanj ut

Herpes zoster merupakan sekumpulan gejala dan tanda


yang terjadi akibat reaktivasi virus varisela-zoster (VVZ) yang
laten pada ganglia dorsal atau nervus kranialis. Dengan kata
lain, setiap individu yang telah mengalami varisela (cacar
air) sewaktu masa kanak atau dewasa muda, memiliki risiko
tinggi untuk mengalami reaktivasi virus pada usia lanjut atau
imunodefisiensi. Namun, beberapa studi juga melaporkan
adanya kasus herpes zoster tanpa didahului vaiisela.
Herpes zoster pada umumnya mudah dikenali dengan
lesi vesikopapular yang bersifat unilateral dan dermatomal,
tidak melewati batas garis tengah tubuh (midline), disertai
dengan rasa nyeri dan terbakar. Selain 1esi kulit, herpes zoster
juga menimbulkan gejala neuropati perifer seperti parestesia,
disestesia, alodinia, hiperestesia, hingga pruritus.
Walaupun tidak menimbulkan kematian dan bersifat
self-limiting, herpes zoster kini menjadi permasalahan penting
karena nyeri panas yang dialami, adanya post-herpeutic neuralgia
(PHN) yang dapat berlangsung lama, serta rasa tidak nyaman
yang membatasi aktivitas sehari-hari. Beberapa komplikasi
sistemik juga dapat terjadi pada herpes zoster, antara lain
herpes zoster oftalmikus, sindrom Ramsay Hunt, superinfeksi
bakteri, meningitis aspetik, Bell's palsy, neuropati motorik,
hingga mielitis dan vaskulopati. Beberapa pakar bahkan
menyebut herpes zoster sebagai penyakit sistemik.
Kekhawatiran tersebut cukup rasional mengingat insidens
herpes zoster yang meningkat tajam pada populasi usia
lanjut. Studi epidemiologi menunjukkan, insidens herpes
zoster pada populasi umum sekitar 3-4 per 1000 penduduk,
namun angka tersebut meningkat tajam pada usia > SO tahun.
Fenomena tersebut tak pelak disebabkan o1eh menurunnya
sistem imunitas terhadap VVZ yang menurun seiring proses
menua.

108

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Reaktivasi virus varicella-zoster pada usia lanjut
Infeksi varisela-zoster diawali dengan penempelan virus
pada ujung saraf regio mukokutaneus. Replikasi virus pada
lokasi perifer ini akan menimbulkan lesi-lesi vesikel yang
sering terjadi pada masa kanak-kanak atau dewasa muda, yang
disebut varisela (cacar air). Meski lesi varisela akan sembuh
sendiri, virus akan tetap bermigrasi ke ganglia dorsal atau
saraf kranialis, masuk ke nukleus neuron untuk mengalami
replikasi atau menjadi laten.
Resolusi varisela akan menghasilkan sel T memori
yang spesifik terhadap VZV. Memori imunitas tersebut
mampu mencegah infeksi varisela dan reaktivasi ringan
(silent reactivation) dari VZV laten. Akan tetapi, jumlah sel T
memori ini akan menurunkan seiring pertambahan usia atau
pada kondisi imunodefisiensi sehingga reaktivasi VZV akan
menimbulkan gejala dan tanda simtomatis.
Selain lesi kulit, reaktivasi VZV ke perifer juga dapat
bermanifestasi dalam bentuk komplikasi lain, sesuai dengan
distribusi saraf yang terlibat. Penjalaran VZV pada nervus
trigeminus akan menyebabkan komplikasi oftalmikus pada
beberapa struktur mata, manifestasi pada nervus VII dan
VII akan menyebabkan neuropati pada wajah dan gangguan
pendengaran yang disebut juga sebagai Sindrom Ramsay Hunt.
Masing-masing komplikasi tersebut memerlukan tata laksana
khusus dengan derajat kesembuhan yang berbeda-beda.
Salah satu komplikasi herpes zoster yang patut diwaspadai
ialah adanya post-herpeu tic neu ralgia (PHN), yakni nyeri
neuropatik yang menetap lebih dari tiga bulan setelah erupsi
akut herpes zoster menghilang. Nyeri masih dapat dirasakan
meski erupsi telah membaik dan dapat berlangsung sampai
berbulan-bulan/ menahun. Sekitar 9-34 % pasien herpes zoster
akan mengalami PHN; angka kejadiannya semakin tinggi pada
kelompok usia untuk usia �60 tahun (60-70% ) .
Dengan modalitas terapi saat ini, hanya sedikit pasien
yang mengalami perbaikan nyeri; umumnya menggunakan

109

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
kombinasi terapi topikal dan sistemik (gabapentin, pregabalin,
atau agen antidepresan trisiklik).

Vaksinasi herpes-zoster
Tersedianya vaksinasi untuk mencegah herpes zoster
merupakan terobosan penting dalam dunia pengobatan. Oleh
karena populasi usia lanjut semakin besar, maka kejadian
herpes zoster pun diprediksi bertambah sehingga kebutuhan
masyarakat terhadap vaksinasi herpes zoster juga semakin
tinggi.
Menurut telaah sistematis Cochrane tahun 2013, vaksinasi
herpes zoster mampu mencegah insidens herpes-zoster secara
efektif (RR 0,50; 95%CI 0,44-0,56). Manfaat tersebut lebih besar
pada kelompok usia �70 tahun (RR 0,63; 95%CI 0,53-0,75)
dibandingkan kelompok berusia 60-69 tahun (RR 0,36; 95%CI
0,36-0,45) mengingat kejadian reaktivasi yang cenderung
meningkat seiring penambahan usia. Manfaat vaksinasi sejauh
ini telah diamati hingga 7 tahun (RR 0,54; 95%CI 0,48-0,61). Di
samping itu, vaksinasi herpes-zoster juga mampu mencegah
kejadian PHN dalam 3 tahun pengamatan (RR 0,34; 95%CI
0,22-0,52).
Rekomendasi saat ini menyarankan pemberian vaksin
herpes zoster pada seluruh individu �50 tahun dengan atau
tanpa kejadian herpes zoster sebelumnya. Individu yang
telah mengalami herpes zoster masih berisiko tinggi untuk
mengalami rekuensi.

Jenis Live-attenuated varicella-zoster virus


Dosis Dosis tunggal (0,65 mL) subkutan.
Indikasi Seluruh dewasa berusia <::60 tahun dengan atau
tanpa kejadian herpes zoster sebelumnya. Vak-
sin juga dapat diberikan pada individu dengan
berbagai penyakit kronis, kecuali yang termasuk
dalam kontraindikasi. Food and Drug Administra­
tion (FDA) telah menyetujui pemberian vaksin usia
populasi berusia <::50 tahun.

110

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Kontrain­ • Individu imunodefisiensi, termasuk tuberkulosis
dikasi aktif;
• Memiliki riwayat anafilaktik atau reaksi anafilak­
toid terhadap komponen vaksin;
• Telah mendapat antivirus terhadap herpes zoster
sebelumnya (dalam 48 dalam), seperti asiklovir
dan sebagainya. Obat tersebut harus dihindari
selama 10 hari setelah pemberian vaksinasi zoster;
• Beberapa Bank Darah menyarankan untuk
menunda donasi darah hingga 30 hari setelah
vaksinasi.

Penutup

Penurunan jumlah dan kualitas sistem imunitas sejatinya


dip�ngaruhi oleh faktor usia dan proses penuaan. Respon
tubuh terhadap infeksi antara anak-anak, dewasa muda,
dan usia lanjut sangat berbeda; kelompok usia lanjut sangat
rentan mengalami komplikasi, morbiditas, hingga kematian
akibat penyakit infeksi. Penyakit influenza pada usia lanjut
dapat memicu eksaserbasi penyakit jantung-paru sehingga tak
jarang memerlukan rawat inap serta pengobatan lebih lama.
Demikian halnya dengan pneumonia yang masih tercatat
sebagai penyebab mortalitas tertinggi pada usia tua, terutama
di Indonesia. Contoh terakhir ialah reaktivasi herpes zoster
yang kerap terjadi pada dekade 5-6 kehidupan, menyebabkan
rasa tidak nyaman (nyeri panas) dan komplikasi neuropati
yang sangat menganggu aktivitas sehari-hari.
Oleh sebab itu, seperti halnya balita dan anak-anak, kelom­
pok usia lanjut juga memerlukan proteksi khusus terhadap
infeksi berupa program vaksinasi. Upaya vaksinasi yang
dianjurkan mencakup influenza per tahun, vaksinasi PCV-13
tunggal yang dikombinasikan dengan PPSV-23 setiap lima
tahun, pemberian vaksin herpes zoster sekali seumur hidup,
serta dosis booster TDP setiap sepuluh tahun bila perlu.
Pemberin vaksinasi tersebut sejatinya diharapkan mencegah
perburukan atau pengeluaran biaya pengobatan yang tidak
perlu.

111

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Daftar Pustaka:
1. Jefferson T, D i Pietrantonj C, Rivetti A, et al. Vaccines for pre­
venting influenza in healthy adults. Cochrane Database Syst Rev.
2014 Mar 13;3:CD001269.
2. Moberley S, Holden J, Tatham DP, et al. Vaccines for preventing
pneumococcal infection in adults. Cochrane Database Syst Rev.
2013 Jan 31;1 :CD000422.
3. Gagliardi AM, Gomes Silva BN, Torloni MR, et al. Vaccines for
preventing herpes zoster in older adults: Update of 2012 Co­
chrane Systematic Review. Report for WHO, December 2013
4. Bonten MJ, Huijts SM, Bolkenbaas M, et al. Polysaccharide con­
jugate vaccine against pneumococcal pneumonia in adults. N
Engl J Med. 2015 Mar 19;372(12):1114-25.
5. Krone CL, van de Groep K, Trzciri.ski K, et al. Immunosenescence
and pneumococcal disease: an imbalance in host-pathogeninter­
actions. Lancet Respir Med. 2014 Feb;2(2):141-53.
6. Lang PO, Aspinall R. Vaccination in the elderly: what can be
recommended? Drugs Aging. 2014 Aug;31 (8):581-99.
7. Boraschi D, Italiani P. Immunosenescence and vaccine failure
in the elderly: strategies for improving response. Immunol Lett.
2014 Nov;162(1 Pt B):346-53.
8. Kawai K, Preaud E, Baron-Papillon F, et al. Cost-effectiveness of
vaccination against herpes zoster and postherpetic neuralgia: a
critical review. Vaccine. 2014 Mar 26;32(15):1645-53.
9. Barnett TC, Lim JY, Soderholm AT, et al. Host-pathogen interac­
tion during bacterial vaccination. Curr Opin Immunol. 2015 May
7;36:1-7.

112

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Vaksinasi Herpes Zoster
Pada Usia Lanjut
Edy Riza l Wachyudi, L Johan Ardi o n

Pendahuluan

Seseorang yang pernah terkena varisela (chicken pox)


memiliki risiko terkena herpes zoster (HZ) atau shingles di
masa yang akan datang. Herpes zoster terjadi akibat reaktivasi
dari virus Varisela zoster yang hidup dormant pada neuron
ganglia sel saraf kranialis, ganglia dorsalis, dan ganglia saraf
otonom.1•2 Herpes zoster memiliki karakteristik berupa lesi di
kulit yang unilateral, disertai ruam vesikuler yang nyeri dan
muncul pada satu dermatom.1•3
Reaktivasi dari virus varisela zoster ini terjadi karena
menurunnya cell-mediated immunity yang spesifik terhadap
virus varisela zoster, yang sebagian besar terjadi karena
immunosenescence dan berbagai kondisi yang mengakibatkan
tertekannya imunitas tubuh.4 Risiko munculnya HZ pada
seumur hidup seseorang adalah antara 23,8-30% atau sekitar
1 dari 4 orang.4 Kawai, dkk 5 dalam sebuah systematic review
menemukan hasil yang serupa, yaitu insidens herpes zoster
di seluruh dunia pada semua kelompok umur 3-5 per 1000
populasi per tahun. Namun, untuk individu berusia 85 tahun
ke atas, risiko ini meningkat menjadi 1 dari 2 orang.4 Telaah
sistematik yang dilakukan oleh Pinchiat dkk, 4 mengkonfirmasi
temuan tersebut dan mendapatkan insidens HZ tiap tahun
pada penduduk Eropa meningkat tajam seiring dengan
bertambahnya usia, yaitu 1 / 1 .000 pada anak-anak di bawah
usia 10 tahun menjadi 10/1000 pada orang usia 80 tahun ke
atas. Selain itu, disebutkan pula bahwa insidens HZ lebih sering
muncul pada perempuan dibanding pada lelaki (perbandingan

113

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
insidens lelaki/ perempuan sekitar 1,4).4 Sementara itu, angka
mortalitas karena HZ di seluruh dunia 0,017-0,465 tiap 1000
populasi tiap tahun.5
Salah satu komplikasi dari HZ yang serius dan sering
muncut yaitu postherpetic neuralgia (PHN). L2A Di Kanada,
terdapat 130.000 kasus HZ tiap tahun dan 17.000 kasus di
antaranya mengalami PHN.1•2 Postherpetic neuralgia merupakan
nyeri hebat dan terus-menerus yang dirasakan setelah 90
hari atau lebih setelah awal mula ruam.3 Rasa nyeri akan
mengganggu aktivitas sehari-hari dan dapat menyebabkan
berat badan turun, keletihan, atau depresi. 3 Selain itu, pasien
dapat mengalami berbagai komplikasi neurologis, seperti
Bell's palsy, Ramsay Hunt syndrome, transient ischemic attack, dan
stroke. 3 Tak hanya itu, HZ yang mengenai nervus trigeminus
(Vl) dapat mengakibatkan berbagai komplikasi pada organ
penglihatan seperti keratitis, skleritis, uveitis, dan nekrosis
retina aku t.3
Postherpetic neuralgia merupakan komplikasi yang sulit
diobati bahkan mustahil walaupun telah menggunakan
analgetik kuat seperti opioid. Bukti patologis memperlihatkan
vaksin varisela zoster menyebabkan kerusakan permanen pada
sistem saraf pusat dan perifer sehingga analgesik tidak dapat
bekerja dan pasien mengalami nyeri yang refrakter. Walaupun
obat antiviral diberikan pada 72 jam setelah awal mula ruam,
hal ini hanya efektif mencegah PHN pada beberapa kasus.1

Profil Vaksin Herpes Zoster (Zostavax®)

Vaksin HZ berisi virus varisela hidup yang telah


d i lemahkan dan direkomendasikan untuk diberikan
pada pasien usia � 60 tahun di Amerika Serikat dan
Kanada.1·2•6 Sementara itu, di Eropa dan Asia vaksin ini telah
direkomendasikan bagi pasien usia � 50 tahun.6 Satu dosis
tunggal vaksin HZ mengandung 19.400 plaque-forming units
(PFU) virus varisela.6.7 Jumlah tersebut 14 kali lipat lebih tinggi

114

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
dibanding vaksin varisela yang hanya mengandung 1500 PFU/
dosis.7 Vaksin ini dikontraindikasikan pada pasien dengan
riwayat reaksi anafilaksis/ anafilaktoid terhadap gelatin dan
neomicin.6 Selain itu, juga tidak direkomendasikan bagi pasien
dengan kondisi imunodefisiensi primer atau didapat termasuk
leukemia, limfoma, atau keganasan lain yang menyerang
sumsum tulang atau sistem limfe, serta AIDS.6 Vaksin ini juga
tidak diperkenankan diberikan pada pasien yang menerima
terapi imunosupresan seperti kortikosteroid dosis tinggi atau
pasien yang dicurigai hamil.6

Efi kasi Vaksin Herpes Zoster

Sebuah penelitian dengan jumlah subjek yang besar


telah dimulai sejak tahun 1998 untuk mengetahui efikasi dari
vaksin HZ. Penelitian tersebut dikenal dengan nama Shingles
Prevention Study (SPS), sebuah randomized controlled trial (RCT)
dengan metode double blind yang melibatkan 38.546 subjek
imunokompeten usia 60 tahun ke atas dan dilakukan di 21
pusat penelitian di Amerika Serikat. Hasilnya, didapatkan
penurunan insidens munculnya HZ dari 11,12 per 1000 orang
per tahun pada kelompok tidak tervaksinasi menjadi 5,42
per 1000 orang per tahun (p<0,001) . Efikasi vaksin dalam
menurunkan rekurensi HZ sebesar 65,5% pada subjek usia
60-69 tahun dan menurun menjadi 54,5% pada subjek usia 70
tahun.8
Pada studi tersebut, didapatkan kejadian 107 kasus PHN;
27 kasus pada pasien yang mendapat vaksinasi dan 80 kasus
pada pasien yang tidak mendapat vaksinasi (0,46 kasus vs. 1,38
kasus tiap 1000 penduduk per tahun, p<0,001). Efikasi vaksin
untuk hal ini, cenderung konstan pada kelompok usia 60-69
dibanding di atas 70 tahun, yaitu 66 % dan 67% .8
Penelitian lain dengan metode penelitian serupa
mengungkapkan hasil yang tidak jauh berbeda. Schmader
dkk. 9 menggunakan subjek imunokompeten usia 50-59 tahun

115

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
sejumlah 22.439 orang yang dibagi rnenjadi dua kelornpok:
kelornpok divaksin dan kelornpok plasebo. Efikasi vaksin
dalarn rnencegah insidens HZ pada penelitian ini 68,5% (95%
CI; 54, 1 -80,6). Insidens munculnya HZ menurun dari 6,57 menjadi
1 ,99 kasus per 1 .000 orang per tahun. 9
Menurut SPS, angka surveilans yang diberikan vaksin
HZ pada seseorang rnencapai 3,12 tahun. Untuk rnelengkapi
hasil penelitian tersebut, dilakukan penelitian kohort bertajuk
Short Term Persistence Substudy (STPS) yang rnelakukan follow
up pada subjek yang terlibat pada SPS, terdiri dari 7.320
subjek kelornpok vaksin dan 6.950 subjek kelornpok plasebo.
Follow up dilakukan sarnpai tahun ke-7 setelah subjek divaksin
HZ atau plasebo. Hasilnya, efikasi vaksin dalarn rnencegah
PHN ialah 60,1 % (95 % CI: -9,8-86,7) selarna 3,3-7,8 tahun
pengarnatan, sedangkan untuk efikasi vaksin untuk insidens
HZ sebesar 39,6% (95 % CI: 18,2-55,5) hingga rnaksirnal 7,8
tahun pernantauan. Sernentara itu, efikasi vaksin untuk HZ
burden of illness (BOI) dalarn pernantauan 3-7 tahun sebesar
50,1 % (95% CI: 14,1-71,0).10
Penelitian kohort STPS ini kernudian dilanjutkan kernbali
sarnpai follow up dari tahun ke-7 sarnpai tahun ke-10 melalui
penelitian Long Term Persistence Study (LTSP) . Menurut
penelitian ini, diketahui perkiraan efikasi vaksin selarna
periode LTSP adalah 21 % (95%CI ; 11-30) untuk insidens HZ
dan 35% (95 %CI: 9-56) untuk insidens PHN. Sernentara untuk
HZ BOI, didapatkan perkiraan efikasi vaksin sebesar 37% (95%
Clx27-46).6

Keamanan dan Efek Samping Vaksin Herpes Zoster

Menurut SPS, jurnlah subjek yang rneninggal setelah


pernberian vaksin HZ, rnerniliki persentase yang sarna
pada kedua kelornpok, yaitu sekitar 4 % . Persentase subjek
yang rnengalarni satu atau lebih efek samping serius pada
kedua kelompok pun sarna, sekitar 1,4 % . Efek sarnping

116

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
yang sering ditemukan pada subjek adalah efek samping
pada lokasi penyuntikan, seperti eritema, nyeri, bengkak,
atau gatal. Kejadian ini dialami 48% subjek pada kelompok
yang mendapatkan vaksin HZ dan 16 % pada kelompok
plasebo.8•11
Sementara itu, Schamader dkk.9 menemukan 63,9%
subjek kelompok vaksin mengalami efek samping pada lokasi
penyuntikan, sedangkan pada kelompok plasebo, hanya 14%
subjek yang mengalaminya (perbedaan 47,1; 95%CI 48,4-50)
Keluhan lain yang dilaporkan Schamader adalah keluhan
sistemik (demam dan nyeri kepala), yang dialami 6,7%
kelompok vaksin dan 24,7% kelompok plasebo (perbedaan 2;
95%CI 1,4-2,6).9
Penelitian lain yang dilakukan Vermeulen dkk.12 pun
mengungkapkan hal serupa. Dengan melibatkan 210 subjek
yang terbagi dalam kelompok vaksin dan kelompok plasebo,
dilaporkan adanya efek samping pada lokasi penyuntikan,
seperti kemerahan, nyeri, gatal, atau bengkak setelah
penyuntikan pertama pada 49% subjek kelompok vaksin dan
10% subjek kelompok plasebo. Setelah penyuntikan kedua,
efek samping tersebut dialami oleh 61,2% subjek kelompok
vaksin dan 6,9% subjek kelompok plasebo.12

Pemberian Vaksin Herpes Zoster Bersamaan dengan


Vaksin Lain

Pemberian vaksin HZ bersamaan dengan vaksin lain telah


diteliti oleh Macintyre dkk.13 Ia mengumpulkan 471 subjek
penelitian yang terbagi dalam dua grup: 1) grup yang diberi
vaksin HZ dan vaksin pneumokok secara bersamaan dan
2) grup yang diberi kedua vaksin tersebut tidak bersamaan
(vaksin pneumokok diberikan lebih dahulu, disusul vaksin
HZ satu bulan kemudian) . Hasilnya, pemberian kedua vaksin
secara bersamaan dapat ditoleransi dengan baik tanpa efek
samping yang membahayakan. Namun, respons antibodi

117

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
terhadap virus varisela zoster yang terinduksi oleh vaksin HZ
yang diberikan bersamaan dengan vaksin pneumokok lebih
rendah dibandingkan dengan vaksin yang tidak diberikan
bersamaan. Nilai perbandingan estimated GMT (geometric
mean titer) antibodi terhadap virus varisela zoster pada 4
rninggu pascaimunisasi vaksin HZ adalah 0,7 (0,61-0,8; 95%
CI) dengan nilai p=0,244. Sementara itu, antibodi terhadap
pneumokok serotipe 3, 14, 19A, dan 22F sama pada kedua
kelompok (p<0,001) . Penelitian ini juga menemukan bahwa
seseorang dengan titer antibodi yang tinggi sebelum vaksinasi
akan cenderung memiliki kadar antibodi yang tinggi pula 4
minggu pascavaksinasi (p< 0,001).13
Ada pula Kerzner dkk.14 yang membandingkan pemberian
vaksin HZ dan vaksin influenza secara bersamaan dan
tidak bersamaan. Hasilnya, tidak didapatkan penurunan
imunogenitas yang signifikan pada kedua vaksin tersebut di
antara kedua grup (p<0,001).14

Simpulan

Pemberian vaksin HZ bagi pasien usia lanjut telah lama


dianjurkan. Efikasi dan keamanan pemberian vaksin ini telah
banyak dibuktikan melalui berbagai penelitian.

Daftar Pustaka
1. Shapiro M, Kvern B, Watson P, et. al. Update on herpes zoster
vaccination: a family practitioner's guide. Can Fam Physician.
2011;57:1127-31.
2. Watson CPN. Herpes zoster and postherpetic neuralgia. CMAJ.
2010;182(16):1713-4.
3. Cohen JI. Herpes zoster. N Eng J Med. 2013;369(3):255-63.
4. Pinchinat S, Cebrian-Cuenca AM, Bricout H, et. al. Similar her­
pes zoster incidence across Europe: results from a systemmatic
literature review. BMC Infect Dis. 2013, 13:170.

118

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
terhadap virus varisela zoster yang terinduksi oleh vaksin HZ
yang diberikan bersamaan dengan vaksin pneumokok lebih
rendah dibandingkan dengan vaksin yang tidak diberikan
bersamaan. Nilai perbandingan estimated GMT (geometric
mean titer) antibodi terhadap virus varisela zoster pada 4
minggu pascaimunisasi vaksin HZ adalah 0,7 (0,61-0,8; 95%
CI) dengan nilai p=0,244. Sementara itu, antibodi terhadap
pneumokok serotipe 3, 14, 19A, dan 22F sama pada kedua
kelompok (p<0,001) . Penelitian ini juga menemukan bahwa
seseorang dengan titer antibodi yang tinggi sebelum vaksinasi
akan cenderung merniliki kadar antibodi yang tinggi pula 4
minggu pascavaksinasi (p< 0,001) .13
Ada pula Kerzner dkk.14 yang membandingkan pemberian
vaksin HZ dan vaksin influenza secara bersamaan dan
tidak bersamaan. Hasilnya, tidak didapatkan penurunan
imunogenitas yang signifikan pada kedua vaksin tersebut di
antara kedua grup (p<0,001).14

Simpulan

Pemberian vaksin HZ bagi pasien usia lanjut telah lama


dianjurkan. Efikasi dan keamanan pemberian vaksin ini telah
banyak dibuktikan melalui berbagai penelitian.

Daftar Pustaka
1. Shapiro M , Kvern B , Watson P , et. al. Update on herpes zoster
vaccination: a family practitioner's guide. Can Fam Physician.
2011;57:1127-31.
2. Watson CPN. Herpes zoster and postherpetic neuralgia. CMAJ.
2010;182(16):1713-4.
3. Cohen JI. Herpes zoster. N Eng J Med. 2013;369(3):255-63.
4. Pinchinat S, Cebrian-Cuenca AM, Bricout H, et. al. Similar her­
pes zoster incidence across Europe: results from a systemmatic
literature review. BMC Infect Dis. 2013, 13:170.

118

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
5. Kawai K, Gebremeskel BG, Acosta CJ. Systematic review of
incidence and complications of herpes zoster: towards a global
perspective. BMJ Open. 2014;4:e004833.
6. SAGE Working Group on Varisela and Herpes Zoster Vaccines. Herpes
zoster vaccines. 2 0 1 4 . Available at http://www.who.int/immuniza­
tion/sage/Guidelines development recommendati ons . pdf (Ac­
cessed May 3rd, 2 0 1 5).

7. Sanford M, Keating GM. Zoster Vaccine (Zostavax®): A review of


its preventing herpes zoster and postherpetic neuralgia in o lder adults.
Drugs Aging. 20 1 0;27(2): 1 59-76.

8. Oxman MN, Levin MJ, Johnson GR, et. al. A vaccine to prevent her­
pes zoster and postherpetic neuralgia in older adults. N Engl J Med.
2005;352:227 1-84.

9. Schamader KE, Levin MJ, Gnann Jr JW, et. al. Efficacy, safety, and
tolerability of herpes zoster vaccine in persons aged 50-59 years. Cl in
Infect Dis. 20 1 2;54:922-8.

10. Schmader KE, Oxman MN, Levin MJ, et. al. Persistence ofthe efficacy
ofzoster vaccine in the Shingles Prevention Study and the Short-Term
Persistence Substudy. Clin Infect Dis. 2 0 1 2 ; 5 5 ( 1 0): 1 320- 1 328.

11. Simberkoff M S , Arbelt RD, Johnson GR, et. al. S afety of herpes
zoster vaccine in the Shingles Prevention Study. Ann Intern Med.
20 1 O; 1 52(9):545-54.

12. Vermeulen JN, Lange JMA, Tyring SK, et. al. Safety, tolerability, and
immunogenicity after 1 and 2 doses of zoster vaccine in healthy adults
2'.60 years of age. Vaccine. 2 0 1 2 ;30:904- 1 0 .

13. Macintyre C M , Egerton T, Mccaughey M , et.al. Concomitant admin­


istration of zoster and pneumococcal vaccines in adults 2'.60 years old.
Human Vaccines. 20 1 0;6( 1 1 ): 894-902.

1 4. Kerzner B, Murray AV, Cheng E, et al. Safety and immunogenicity


profile of the concomitant administration of ZOSTAVAX and inacti­
vated influenza vaccine in adults aged 50 and older. J Am Geriatr Soc.
2007;55( 1 0): 1 499-507.

119

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
umpu la1
A bstrak PenelititA

Te m u l l m i a h Geriatri 2015
Hotel le G ra nd e u r Jakarta
30-31 Mei 2015

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
H ubungan Antara Kadar HbA 1 c dan Mobilitas
Fungsional Pada Pasien Usia Lanjut dengan
Diabetes Melitus Tipe 2
di R S U D Dr. Moewardi Surakarta

Tri Hadi S, Bayu BW, Fatichati B, Sumarmi S


Sub Divisi Geriatri SMF Penyakit Dalam
RSU D Dr.Moewardi Suraka rta/Fa ku ltas Kedokteran UNS

Pendahuluan: Diabetes melitus (OM) adalah salah satu


penyebab dari kematian. Pasien usia lanjut yang menderita
diabetes cenderung menunjukkan defisit pada mobilitas
fungsional, yang mengarah pada resiko besar untuk jatuh
dan merupakan salah satu problem utama pada pasien usia
lanjut. Mobilitas fungsional sering dihubungkan dengan
kontrol glikemik dan kadar HbAlc. Kadar HbAlC yang tinggi
diketahui mempunyai konsekuensi negatif pada sistem saraf,
kekuatan otot, kontrol motorik dan keseimbangan. Sehingga
tujuan dari penelitian ini adalah untuk menginvestigasi
hubungan antara kadar HbAlc dan mobilitas fungsional pasien
OM tipe 2 usia lanjut di RSUO Or.Moewardi Surakarta.
M e t o d o l o g i : P a d a p e n e l i t i a n c rosssec t i o n a l ini
mengikutsertakan 60 pasien usia lanjut yang menderita OM
tipe 2 yang kontrol dipoliklinik geriatri RSUD dr. Moewardi
Surakarta. Kriteria inklusi meliputi kadar HbAlc � 6,5 , tidak
ada riwayat operasi pada ekstremitas, tidak ada ulkus pada
kaki, tidak menggunakan alat bantu untuk berjalan. Mobilitas
fungsional dan resiko jatuh dinilai menggunakan Tes Time
Up and GO. Pada semua pasien dilakukan pengukuran kadar
HbAlc, gula darah puasa dan gula darah 2 jam post prandial.
Korelasi Pearson digunakan untuk menentukan hubungan
antara kadar HbAlc dan mobilitas fungsional, dengan nilai p
:s; 0.05 dianggap signifikan.

122

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan 36 pasien wanita dan
24 pasien pria dengan rata-rata umur 67,65 ± 4,39 tahun. Nilai
mean HbAlc sebesar 9,16 ± 1,54, dengan mean TUG 20,86 ± 5,27
detik. Didapatkan korelasi positif yang sifnifikan antara kadar
HbAlc dan nilai tes TUG, dengan nilai r 0,846 (p < 0,001).
=

Tabel 1. Karakteristik Awai

Variabel n Rerata Simpang baku

Usia 60 67.65 4.39


IMT 60 22.71 2.89
HbAlC 60 9.16 1.54
FPG 60 169.43 63.87
PPG 60 211.71 75.92
TUG 60 20.86 5.27

Tabel 2. Koefisien korelasi Pearson HbAlC dan TUG

TUG HbAlC

TUG Pearson Correlation 1 .804**


Sig. (2-tailed) .001
N 60 60
HbAlC Pearson Correlation .804** 1
Sig. (2-tailed) .001
N 60 60

123

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Gambar 1. Diagram Tebar HbAlc dan TUG

Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa kadar


HbAlc memiliki korelasi yang signifikan dengan mobilitas
fungsional pada pasien usia lanjut yang menderita DM tipe 2
yang mengarah pada resiko jatuh yang lebih besar.

Kata kunci: diabetes melitus; HbAlc, TUG, mobilitas


fungsional, usia lanjut

124

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Proyek Pemberdayaa n Masyara kat:
Penyuluhan H i pertensi, OM tipe II,
Dislipidemia, dan H i perurisemia
pada Kader Posya ndu Lansia
Kelurahan Rorota n, Kecamata n Cilincing,
Jakarta Utara

Zuhri E 1 , Soemawinata A1 , Wismoyo MB2, Anugra h F2,


Mai m u nah S3
1 Dokter I nternship U niversitas I n donesia
2Dokter I nternship U n iversitas Tri Sakti
3Kepala Puskesmas Kel ura han Rorota n , Kecamatan C i l i ncing,
Jakarta Utara

Pendahuluan: Di kelurahan Rorotan, kecarnatan Cilincing,


Jakarta Utara saat ini telah berdiri lima posyandu lansia (usia
� 60 tahun) di lima RW dengan jumlah kader sebanyak 25
orang. Meskipun sudah berdiri sejak satu tahun lalu, kader­
kader posyandu lansia belum pemah mendapat pembekalan
pengetahuan mengenai penyakit-penyakit metabolik seperti
hipertensi, OM tipe II, dislipidemia, dan hiperurisemia. Selama
ini, kegiatan berjalan dengan pengetahuan seadanya. Padahal
pengetahuan tentang penyakit-penyakit metabolik tersebut
sangat diperlukan untuk melaksanakan kegiatan posyandu
lansia. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu upaya untuk
memberikan bekal pengetahuan kepada kader posyandu
lansia.
Tujuan: Memberikan pengetahuan kepada seluruh kader
posyandu lansia di kelurahan Rorotan mengenai hipertensi, OM
tipe II, dislipidemia, dan hiperurisemia melalui penyuluhan.
Metode: Dilakukan penyuluhan terhadap seluruh kader
posyandu lansia kelurahan Rorotan (n=25) . Keberhasilan
penyuluhan dievaluasi dengan cara membandingkan dan

125

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
menganalisis nilai pre-test dan post-test. Materi penyuluhan,
soal pre-test, maupun post-test mencakup definisi, gejala
dan tanda, deteksi dini atau diagnosis, pengobatan non­
farmakologis (diet dan aktivitas fisik), pengenalan komplikasi,
dan persepsi pengobatan jangka panjang hipertensi, DM tipe
II, dislipidemia, dan hiperurisemia.
Hasil: Dari 25 kader posyandu lansia, 14 kader bersedia
untuk mengikuti penyuluhan, pre-test, dan post-test. Diketahui
bahwa kader posyandu lansia mendapatkan tambahan
pengetahuan tentang hipertensi sebesar 51,43 poin (p=0.000),
DM tipe II sebesar 37,14 poin (p=0.000), dislipidemia sebesar
35 poin (p=0.000), dan huperurisemia sebesar 35,71 poin
(p=0.000).
Kesimpulan: Penyuluhan berhasil memberikan tambahan
pengetahuan tentang hipertensi, DM tipe II, dislipidemia, dan
hiperurisemia kepada kader posyandu lansia di kelurahan
Rorotan, kecamatan Cilincing, Jakarta Utara.
Kata Kunci: Kader posyandu lansia, penyuluhan,
hipertensi, DM tipe II, dislipidemia, hiperurisemia.

126

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
H ubungan Skor M ini N utritional Assessment
(MNA) dengan Albumin Serum Pada Pasien
Rawat lnap Usia Lanjut
di RSUD Dr. M oewa rdi Surakarta

H a ryono Y, Bayu BW, Fatichati B, Sumarmi S


Sub Geriatri Bagian l l m u Penyakit Dalam RS Dr. Moewa rdi
Surakarta/Fa ku ltas Kedoktera n U n iversitas Sebelas Maret

Latar Belakang: Penilaian status gizi dengan Mini


Nu tritional Assessmen t (MNA) merupakan multiparameter
screening sekaligus assessment terjadinya malnutrisi pada
pasien usia lanjut. Kuesioner MNA terdiri atas 18 pertanyaan
yang terbagi dalam empat komponen, penilaian antropometri,
penilaian asupan makanan, penilaian secara umum mengenai
gaya hidup dan penilaian secara subjektif. Skor MNA lebih
spesifik mendeteksi risiko terjadinya malnutrisi pada pasien
�anjut usia dibanding dengan skor lain. Albumin serum
inerupakan parameter yang digunakan untuk melihat status
nutrisi seseorang. Penelitian ini bertujuan mengetahui
hubungan skor MNA dengan albumin serum pasien rawat
inap usia lanjut di bangsal RS Dr. Moewardi, Surakarta.
Metode: Penelitian dengan pendekatan Cross-Sectional.
Terdapat 44 sampel penelitian diambil dari pasien rawat
inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada tanggal 1 Maret
2015- 12 April 2015, kriteria inklusi berusia lanjut (elderly) > 60
tahun, penyakit gangguan fungsi hepar dieksklusi. Tersedia
data laboratorium nilai albumin serum. Skor MNA diperoleh
dari wawancara. Analisis uji statistik yang digunakan adalah
Pearson product moment untuk mengetahui hubungan skor
MNA dan serum albumin. Signifikan p � 0.05 untuk semua
uji analitik.
Hasil: Terdapat 24 orang perempuan dan 20 orang laki-laki
pada sampel, 11 orang diantaranya memiliki ekonomi yang

127

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
mampu dan 33 orang tidak mampu, 25 % berpendidikan tinggi,
31,8 % berpendidikan dasar, 43,18% tidak berpendidikan,
34,09 % memiliki resiko malnutrisi, 65,90 % mengalami
malnutrisi. Rata-rata usia 68,79 ± 7,39 tahun, rata-rata albumin
2,5 ± 0,4 mg/ dl. Terdapat hubungan kuat antara skor MNA
dengan nilai albumin serum, r 0.712 (p < 0.01).
=

Kesimpulan: Skor M N A dapat menggambarkan


kadar albumin serum, peningkatan nilai skor MNA dapat
meningkatkan nilai albumin serum pada pasien lanjut usia yang
menjalani rawat inap di RSUD Dr. Moewardi Surakarta

Kata Kunci: Lansia, MNA, Albumin

128

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
A 6 5 Years O l d Woman With Po lycystic Kidney
Disease, Chronic Kidney D isease Stage V,
Diabetes Mellitus Type 2 N ormoweight,
H ypertension Stage I I, Complicated U rinary
Tract Infecti on, Anemia I n Chronic Kidney
Disease

EstiTantri A, Bayu BW, Fatichati B, Sumarmi S


Sub Division Geriatric of I nternal Med icine
Dr.Moewa rdi Hospital Suraka rta/
Med icine Faculty of Sebelas Maret U n iversity

Introduction: Polycystic kdney disease is an inherited


disorder in which clusters of numerous cysts filled with fluid
develop primarily within the kidneys, the cysts can slowly
replace much of the kidney, reducing kidney function and
leading to kidney failure. Polycystic kidney disease can affect
other organs besides the kidney like liver, pancreas, spleen,
ovaries, and large bowel. Elderly is people aged over 65 years
old, where there is a process of aging, where the ability of
tissue to repair or replace and maintain function normally is
decreased slowly so they could not survive against infection
and any damage in the body.
Case: A 65 years old woman came with complaints of
dyspneu, stomach that enlarges, urinate feel hot and pain.
She has done routine dialysis for 1,5 years. From physical
examination we got stomach bigger than chest, liver span
Bern, and palpable lump of mass of cysts 10x5 cm in the regio
hypocondriaca dextra,umbilicus, inguinalis dextra and sinistra,
waist circumference 80cm, hip circumference 85 cm,abdomen
circumference 98cm. hb 9.4, leukocytel5,200, thrombocyte
180,000, ureum 87, creatinine 5.9. From thorax rontgen we get
pleural effusion and cardiomegaly. From usg abdomen we get

129

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
multiple cysts in the hepar, ren dextra and sinistra, ovariurn
dextra and sinistra, ascites,and hepatomegaly. Patient get
therapy kidney diet 1700 kkal, with protein 1 gram/kg weight/
day and low salt < 5 gram/ day,injection of amoxicillin lgram/8
hours, injection of mixed insulin12-0-12 iu subcutan, injection
of furosemide 40 mg/8 hours, diltiazem p.o. lx200 mg,and
dyalisis twice a week

Key words: polycystic kidney disease, chronic kidney


disease, elderly

130

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
I nterrelationships BetweenSerum Uric Acid,
Cl inical Status, Cardiac F unction,
Renal F unction, MetabolicVa riables,
and Leucocyte Profi le

Retty Kharisma Sari 1 , Sa nty Cintiana Dewi2, S r i Sunarti3


1 Resident of I nternal Med icine, Brawi jjaya U niversity­
Saiful Anwar Hospita l , Ma l a n g - l ndonesia
2Resident of cardiovascular Med icine, Brawijaya U niversity­
Saiful Anwar Hospita l , Ma lang-l ndonesia
3Supervisor of I nternal Medicine Geriatric Division,
Brawijaya University- Saiful Anwar Hospita l , Ma lang-l ndonesia

Background: Hyperuricemia is frequently present in


patients with heart failure. Many pathological conditions,
such as tissue ischernia, renal impairment, cardiac impairment,
metabolic syndrome, and inflammatory status, may affect uric
acid (UA) metabolism. This study was to assess their potential
relations to UA metabolism in patient with heart failure.
Aim: To knowtherelationship between UA with clinical
status, cardiac function, renal function, metabolic variables,
and leucocyte profile.
M e t h o d s : W e retr o s p e c t i v e l y a s s e s s e d c l in i c a l
characteristics, renal, metabolic, and inflammatory variables
selected on the basis of previous evidence of their involvement
in cardiovascular disease and UA metabolism in cohort of
randomly selected adults with congestive heart failure (n=122).
We analyze interrelationship between UA and age, body mass
index (BMI), new york heart association (NYHA), fasting blood
glucoese (FBG), systolic blood pressure, blood urea nitrogen
(BUN), creatinin, total cholesterol, triglycerida, low density
lipoprotein (LDL), high density lipoprotein (HDL), and diuretic
dose. Statistical analyses were carried out using spearman and
mann-whitney analysis.

131

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Results : Based onspearman testshows thaturic acid had
significant positive correlation with BMI (r=0.332, p<0.05),
BUN (r=0. 238, p<0.05), creatinin (r=0.426, p<0.05) . The
correlation between uric acid and creatininrevealed moderate
strength of correlation. Correlation between UA and age, FBG,
systolic blood pressure, lipid profile, and diuretic dose were
not significant(p>0.05) . Mann-whitney analysis shows no
significantly differencies of UA level in each group of heart
failure (p>0.05).
Conclusions: There were correlation between UA and
BMI,creatinin level, and BUN level and no differencies of UA
level in each group of heart failure suggests that elevated UA
level reflect an impairment of renal function in heart failure.

Keywords: serum uric acid; heart failure; renal


impairment

132

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Anemia and Cognitive F unction i n H ospital ized
Elderly Patients in Sanglah H ospita l

IB Putu Putrawa n , Tuty Kusward h a n i , I Nyoman Astika,


I G P Suka Arya na, Ro i Purna m i
Divisi Geriatri Bagian/SMF l l m u Penyakit D a l a m FK U N U D/
RSUP Sa n g l a h Denpasar

Background: Anemia is a common problem with serious


consequences in elderly patients but the impact of anemia on
cognitive function has not been extensively studied. The aim
of this study is to evaluate the association between anemia
and cognitive impairment in hospitalized elderly patients with
medical illness.

Method: This is a hospital-based analytic cross-sectional


study. The data were derived from the elderly patients (age �60
years) admitted to Internal Medicine Department of Sanglah
General Hospital between February 2013 and May 2014. A total
of 80 elderly patients were enrolled in this study and divided
into 2 groups: 40 anemic compared to a matched group of
40 non-anemic. Both groups were subjected to MMSE (Mini­
mental state examination), ADL (Activities of daily living)
and IADL (Instrumental activities of daily living). Laboratory
investigations were done including CBC (complete blood
count), iron profile, liver function and kidney functions.

Results: Anemic group performed worse than control


group regarding their executive function tests with statistically
significant difference (p value=0.01), with worse results among
male cases than females and the difference was statistically
significant (p value=0.03). Anemic group perform worse on
their ADL and IADL than controls with statistically significant
difference through their IADL (p value =0.03) .

133

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Conclusion: Anemia could be considered a cause of
cognitive impairment among the elderly, and this may
contribute to deficits in their AOL and IADL. So we recommend
that assessment of executive functions should be a routine
measure when evaluating and follow up anemic elderly.
Also early diagnosis and proper management of anemia may
postpone or prevent impairment in activities of activities of
daily living.

Keywords: anemia, cognitive impairment, elderly

134

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Perbedaan Kesintasan 30-Hari Pasien Usia
Lanjut dengan Pneumonia Komun itas pada
Berbagai Derajat Ketergantungan
di Awa i Perawata n

Petry1 , Kuntjoro H a r i m u rti2, Arya Govi nda Roesheroe2


1 Departemen l l m u Penyakit D a l a m ,
Faku ltas Kedokteron U niversitas I ndonesia ,
2Divisi Geriatri, Departemen l l m u Penyakit D a l a m ,
Faku ltas Kedokteron U n iversitas I ndonesia,

Latar Belakang: Pasien usia lanjut seringkali memerlukan


rawat inap karena infeksi pneumonia yang disertai dengan
penurunan status fungsional. Hubungan antara penurunan
status fungsional pada pasien usia lanjut dengan pneumonia
komunitas yang dirawat inap dengan kesintasan belum banyak
diteliti.
Tujuan: Mendapatkan informasi mengenai perbedaan
kesintasan 30-hari pasien pneumonia komunitas berusia lanjut
dengan berbagai derajat ketergantungan.
Metodologi: Penelitian kohort retrospektif berbasis analisis
kesintasan terhadap pasien usia lanjut dengan pneumonia
komunitas di ruang rawat akut geriatri RSCM periode Januari
2010-Desember 2013. Dilakukan ekstraksi data dari rekam
medik mengenai status fungsional, kondisi klinis dan faktor
perancu, kemudian dicari data mortalitasnya dalam 30 hari.
Status fungsional awal perawatan dinilai dengan indeks ADL
Barthel, kemudian dikelompokkan menjadi tiga kelompok,
yaitu mandiri-ketergantungan ringan, ketergantungan sedang­
berat dan ketergantungan total. Perbedaan kesintasan antara
ketiga kelompok ditampilkan dalam kurva Kaplan Meier.
Perbedaan kesintasan antara ketiga kelompok diuji dengan Log­
rank test, dengan batas kemaknaan <0,05. Analisis multivariat
dengan Cox's proportional hazard regression untuk menghitung

135

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
adjusted hazard ratio (dan interval kepercayaan 95%-nya) dengan
koreksi terhadap variabel perancu.
Hasil: Dari 392 subjek, sebanyak 79 subjek (20,2 % )
meninggal dunia dalam waktu 3 0 hari. Rerata kesintasan
seluruh subjek 25 hari (IK95 % 24,66-26,49), kelompok
mandiri-ketergantungan ringan 28 hari (IK95% 27,38-29,46),
ketergantungan sedang-berat 25 hari (IK95% 23,71-27,25),
ketergantungan total 23 hari (IK95% 21,46-24,86). Kesintasan
30-hari pada kelompok mandiri-ketergantungan ringan
92,1 % (SE 0,029), ketergantungan sedang-berat 80,2% (SE
0,046), ketergantungan total 68,0% (SE 0,041). Crude HR pada
ketergantungan sedang-berat 2,68 (p=0,008; IK95 % 1,29-
5,57), ketergantungan total 4,32 (p<0,001; IK95% 2,24-8,31)
dibandingkan dengan mandiri-ketergantungan ringan. Setelah
dilakukan adjustment terhadap variabel perancu didapatkan
fully adjusted HR pada kelompok ketergantungan total 3,82
(IK95% 1,95-7,51), ketergantungan sedang-berat 2,36 (IK 95%
1,13-4,93).
Simpulan: Terdapat perbedaan kesintasan 30-hari pasien
pneumonia komunitas berusia lanjut pada berbagai derajat
ketergantungan; semakin berat derajat ketergantungan,
semakin buruk kesintasan 30-harinya.
Kata kunci: status fungsional, usia lanjut, pneumonia
komunitas, kesintasan.

136

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
H ubungan Antara Leukositosis
dengan Kejadian lnfeksi
Pada Pasien Usia Lanjut:
Suatu Studi Cross-Sectional

Roi Purnami, I B Putrawan , Su ka Aryana, N Astika,


Tuty Kuswardhani
Divisi Geriatri, Bagian/SMF llmu Penyakit D a l a m , FK U nud/
RSU P Sanglah Den pasar

Pendahuluan: Usia harapan hidup dan proporsi pasien


usia lanjut pada populasi masyarakat kita semakin meningkat,
dan kecenderungannya akan semakin berkembang pada
dekade mendatang. Sebagai konsekuensinya, maka penyakit­
penyakit yang berhubungan dengan proses menua dan
dipengaruhi usia juga akan semakin banyak. Pada umumnya,
teori yang diajarkan pada pusat-pusat pendidikan adalah
tentang gambaran umum atau tipikal tentang penyakit.
Namun demikian, pada pasien usia lanjut justru sering kita
temukan gambaran atipikal penyakit yang sangat berbeda
apabila dibandingkan dengan pola umum penyakit yang
ditemukan pada populasi dewasa muda. Dikatakan memiliki
gambaran atipikal apabila memenuhi satu dari tiga hal berikut:
(a) gambaran yang samar atau tidak jelas dari suatu penyakit,
(b) perubahan gambaran penyakit, (c) tidak ditemukan gejala
penyakit (mungkin saja tidak dilaporkan).
Tuj uan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui hubungan antara leukositosis dengan kejadian
infeksi pada pasien yang datang ke unit gawat darurat RSUP
Sanglah Denpasar pada periode November 2014 sampai April
2015.
Metodologi: Dilakukan studi cross-sectional dengan
mempergimakan data sekunder dari catatan medis pada
pasien usia lanjut yang datang ke unit perawatan gawat

137

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
darurat RSUP Sanglah dalam periode Januari sampai Maret
2015. Data rekam medis dikumpulkan secara konsekutif
selama 6 bulan sampai didapatkan data yang cukup yaitu 80
pasien, dan semuanya diikutkan dalam studi. Kejadian infeksi
ditentukan dengan melihat diagnosis infeksi pada data rekam
medis dan leukositosis dicatat berdasarkan data yang ada yaitu
peningkatan jumlah leukosit diatas nilai normal (nilai normal:
4,10-11,0 x HP/ ul).
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan karakteristik
pasien geriatri (usia �60 tahun) yang menjalani perawatan di
Unit Gawat Darurat RSUP sanglah denpasar dalam waktu
6 bulan (November 2014 sampai April 2015) yaitu: pasien
laki-laki sebanyak 52 orang (65%), wanita 28 orang (35%),
yang mengalami kejadian infeksi 54 orang (67,5%), tidak ada
kejadian infeksi 26 orang (32,5 % ), leukositosis sebanyak 39
orang (48,8 % ) dan tidak mengalami leukositosis sebanyak 41
orang (51,2 % ) . Analisis dilakukan dengan mempergunakan test
korelasi Lambda, dan ditemukan tidak ada hubungan antara
leukositosis dengan kejadian infeksi (p = 0,235), deengan nilai
r: 0,154.
Kesimpulan: Tidak ditemukan hubungan antara
leukositosis dengan kejadian infeksi pada pasien usia lanjut.

Kata Kunci: Leukositosis, Infeksi, Usia Lanjut.

138

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Korelasi antara Delirium dengan Kejadian
Jatuh Pada Pasien Geriatri
yang datang ke Unit Rawat Darurat
R S U P Sanglah Denpasar
Peri ode N ovember 20 1 4 - April 20 1 5

I Nyoman Adi Suparta 1 , l . G . P. Suka Arya na2,


Nyoman Astika2, Tuty Kusward h a n i2,
l . B. Putrawa n2,Rai Purnami2
1 PPDS 1 -Combined degree Penya kit Dal a m F K U n ud/
RSU P Sa n g l a h
2Divisi Geriatri S M F Penyakit D a l a m F K U n u d/RS U P Sanglah

Pendahuluan: Sindrom delirium didefinisikan sebagai


gangguan otak akut yang berhubungan dengan disfungsi
otonomik, motorik dan homeostasis. Hal ini cukup kompleks
& multifaktorial, sehingga seringkali tidak terdiagnosis &
penanganannya minimal. Jatuh menyebabkan peningkatan
morbiditas, kehilangan fungsi fisik, kehilangan kemandirian,
penggunaan sarana kesehatan, dan mortalitas. Perlunya
mengenali sejak awal faktor resiko yang terdapat pada lansia
guna mencegah terjadinya jatuh pada lansia. Kejadian jatuh
dan fraktur merupakan salah satu faktor presipitasi yang
memicu terjadinya delirium pada pasien lansia.
Tujuan: Mengetahui korelasi antara delirium dengan
kejadian jatuh pada lansia yang dating ke UGD RSUP
Sanglah
Metodologi: Penelitian dilakukan dengan metode
retrospektif observasional analitik pada pasien lansia (usia
�60 tahun) pada data kunjungan Unit Rawat Darurat RSUP
Sanglah pada periode November 2014 sampai dengan April
2015, sampel diambil secara acak sederhana dari seluruh data
kunjungan. Setelah mendapatkan profil umum dari pasien
yang datang yang dibagi berdasarkan diagnosis, diagnosis

139

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
sindrom geriatri yang muncul. Data dikumpulkan dan diolah
dengan SPSS, kemudian dilakukan pengukuran distribusi
sampel dengan Kolmogrov-Smirnov dilanjutkan 'dengan uji
korelasi Spearman.
Hasil: Sampel berjumlah 80 pasien, hasil menunjukkan
pasien dengan delirium dan kejadian jatuh sebanyak 26 %.
Dengan jumlah pasien delirium laki-laki (20%) lebih banyak
daripada wanita (12%). Kejadian jatuh berhubungan dengan
kejadian sindrom delirium pada pasien usia lanjut yang
dating ke unit gawat darurat RSUP Sanglah Denpasar, namun
tidak bermakna dengan penyakit penyerta seperti DM (7% ),
hipertensi (56% ), anemia (43,3%) dan pneumonia (40 %) tidak
berhubungan dengan kejadian sindrom delirium. Dengan uji
korelasi Spearman menunjukkan korelasi signifikan antara
delirium dengan kejadian jatuh pada pasien lansia yang dating
ke Unit Gawat Darurat RSUP Sanglah.
Kesimpulan: Dari data kunjungan pasien lansia pada unit
gawat darurat Rumah sakit menunjukan adanya korelasi yang
bermakna antara delirium dengan kejadian jatuh pada lansia
yang datang ke UGD RSUP Sanglah.

Kata kunci: delirium, pasien lansia, kejadian jatuh

140

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Tingkat Pengetahuan Masyarakat
tentang Aspek S osial Usia Lanjut dan
Keberadaan Panti Wherda

Achnes Pa nga ri b u a n 1 , l . G . P.Suka Arya na2, N yoman Asti ka2,


Tuty Kuswa rd hani2 , l . B . Putrawan 2, R a i P u rn a m i 2
1 P PDS1-Co m b i ned degree Penyakit D a l a m FK U n ud/
RSUP Sanglah
2Divisi Geriatri SMF Penyakit Dalam F K U n ud/RSU P Sanglah

Pendahuluan: Semakin lanjut usia menyebabkan


penurunan fungsi indera. Kegagalan beradaptasi dengan
penurunan fungsi indera mengakibatkan kecemasan dan
depresi yang berdampak pada penarikan diri pada lingkungan
sosialnya.Dukungan lingkungan social dari orang yang akrab
dan sebaya dilingkungannya akan memberikan keuntungan
emosional yang berpengaruh pada tingkah laku penerimanya
(Gottlieb).
Tujuan: Mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat
terhadap proses penuaan, dampaknya pada dimensi sosial
usia lanjut dan minat dan kebutuhan akan Panti Wherda,serta
sebagai data dasar untuk dapat melakukan penelitian lebih
lanjut, ataupun intervensi lebih lanjut terkait perananpanti
wherda di masa rnendatang.
Metodologi: Penelitian descriptive kualitative, dengan
sampel berj umlah 62 orang, yang merupakan keluarga
atau pasien di poli geriatri RSUP Sanglah-Denpasar pada
periodeapril 2015. Instrurnen penelitian menggunakan
kuisioner dengan teknik pengambilan sampel menggunakan
rnetode consecutive sampling. Analisis data menggunakan
SPSS 16.0
Hasil: Sebagian besar responden (64 % ) mempunyai
tingkat pengetahuan yang baik tentang proses penuaan dan
pantiwherda. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin

141

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
baik pengetahuannya.Meskipun sebagian besar responden
berpengetahuan baik, hanya 7,5 % responden berpengetahuan
baik yang mempunyai minat tinggal di panti wherda saat usia
lanjut. Meskipun minat terhadap panti Wherdasangatrendah,
namun hamper seluruh responden (90 % ) menginginkan
pembiayaan Panti Wherda dari Pemerintah.
Kesimpulan: Meskipun mayoritas responden memiliki
tingkat pengetahuan baik (64% ), hanya sekitar sebagian kecil
(7,5% ) responden yang mempunyai minat tinggal di panti
wherda saat usia lanjut.

Kata kunci: dimensi sosial, tingkat pengetahuan, usia


lanjut, panti wherda

142

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Profi le Kunj ungan Pasien Geriatri
unit Rawat Darurat RSU P Sanglah Denpasar
Periode November 201 4-Apri l 201 5

Eka Dharma 1 , l . G . P.Suka Aryana2, Nyoman Astika2,


Tuty Kuswardhani2 , l . B . Putrawan2, Rai Purnami2
1 PPDS 1 Penyakit Dalam FK U nud/RSUP Sanglah
2Divisi Geriatri SMF Penyakit Dalam FK Unud/
RSUP Sanglah

Pendahulu a n : Kondisi emergensi sangat p enting


terutama pada pasien-pasien geriatri, penyakit akut sangat
drastis menurunkan kondisi pasien-pasien lansia terutama
kemampuan fungsional serta survival pasien lansia.
Prevalensi Acute Confusional State (ACS) adalah tinggi pada
pasien geriatri (32 %-67% ) , namun sering tidak terdiagnosis
dengan baik karena gejala dan tandanya yang tidak khas.
ACS sendiri memperpanjang masa rawat, meningkatkan 10
kali lipat bantuan AOL dan mortalitas pada pasien geriatri.
Faktor predisposisi ACS antara lain; usia sangat lanjut,
dementia, gangguan AOL, lansia rapuh, obat-obatan yang
mengganggu neurotransmitter otak, polifarmasi dan komorbid
sebelumnya
Tujuan: Mendeskripsikan profil pasien geriatri pada unit
rawat darurat Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Metodologi: Penelitian retrospektif observasional analitik
pada pasien lansia (usia �60 tahun), pada data kunjungan
Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Sanglah pada periode
November 2014 sampai dengan April 2015. Secara umum
profile dibagi sesuai data dasar pasien yaitu menurut keluhan,
rentangan umur, dan jenis kelamin. Data dasar secara khusus
dikelompokkan sesuai diagnosis masing-masing pasien,
diagnosis sindrome geriatri yang muncul serta perbandingan
AOL barthel masing-masing pasien sebelum dan pada saat
kunjungan ke Unit Gawat Darurat.

143

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Hasil: Sampel berjumlah 80 pasien, yang diambil dari
data restropektif rekam medik kunjungan pasien geriatri pada
unit gawat darurat rumah sakit sanglah periode November
2014-April 2015, sampel diambil secara acak sederhana dari
seluruh data kunjungan, hasil menunjukkan 34 % pasien
dengan pneumonia, 16% dengan penyakit kardiovaskular,
10% dengan diabetes melitus, 9% dengan PPOK , dan sisanya
adalah malignansi serta penyait peyerta lainnya.
Kesimpulan: Data kunjungan pasien lansia pada unit
gawat darurat Rumah Sakit menunjukkan sebagian besar
kunjungan pasien geriatri ke unit gawat darurat karena
permasalahan infeksi, sindrome geriatri terbanyak adalah
innanination dan imobility, disertai dengan perburukan pada
AOL barthel dari sebelum kunjungan dan saat kunjungan.

Kata kunci: geriatri, unit rawat darurat

144

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
H ubungan Tingkat Pend idikan Masyarakat
dengan Tingkat Pemahaman terhadap
Hospice Care

D.A.Kartika Tejawati1 , l.G.P.Suka Aryana2,


Nyoman Astika2, Tuty Kuswardhani2 ,l.B.Putrawan2,
Rai Purnami2
1 PPDS 1 -Combined degree Penyakit Dalam FK Unud/
RSUP Sanglah
2Divisi Geriatri SMF Penyakit Dalam FK Unud/
RSUP Sanglah

Pendahuluan: Hospice care adalah program perawatan


dan dukungan kepada mereka yang menderita penyakit
terminal untukdapat hidup lebih nyaman serta meningkatkan
kualitas hidup pasien bersama teman dan keluarga menjelang
kematian. Perawatan ini berfokus pada kenyamanan dari
pasien tersebut, bukan untuk menyembuhkan. Dengan
adanya hospice care, pasien dan keluarganya dapat tinggal
bersama dengan nyaman dirumah mereka walaupun pada
saat itu pasien memerlukan perawatan dirumah sakit.
Sebuah studi yang dilakukan oleh New Englan d Jou nal
of Medicine menyatakan bahwa service dan pembayaran
yang diberikan pada hospice care semakin tahun, semakin
meningkat, namun peningkatan tersebut jauh lebih kecil
dibandingkan dengan perawatan dan lama perawatan di
rumah sakit yang diperlukan oleh pasien terminal pada
periode waktu yang sama.
Tujuan: Mengetahui ada atau tidaknya hubungan tingkat
pendidikan dengan tingkat pemahaman masyarakat
tentang hospice care, dan seberapa besar minat masyarakat
terhadap hospice care, serta sebagai data dasar untuk dapat
melakukan penelitian lebih lanjut, ataupun intervensi lebih
lanjut terkait hospice care

145

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Metodologi: Penelitian deskriptive kualitative, dengan
sampel berjumlah 60 orang yang merupakan penunggu
pasien di Ruang Perawatan Nagasari dan Gandasturi
RSUP Sanglah Alat ukur berupa kuesioner dengan variabel
yang dinilai umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
tingkat pemahaman akan hospice care, dan penerimaan
dan pemanfatan hospice care terhadap diri sendiri dan
keluarga. Pengumpulan data melalui kuesioner dilakukan
dari tanggal 1-30 April 2015, Analisis data menggunakan
Nonparametric Correlations Spearman' s rho
Hasil: Sampel berjumlah 60 responden, sebagian besar
responden (5 6 , 7 %) merupakan perempuan, berumur 2 1 -40
tahun (38,3%), dengan tingkat pendidikan (3 1 ,7%) mengenyam
pendidikan di perguruan tinggi. Uji Nonparametric Correlation
Spearmn s Rho, menunjukan signifikansi antara tingkatpendidikan
dengan pemahaman terhadap hospice care adalah 0. 000. dan 95%
dari responden menerima keberadaan hospice care.
Kesimpulan: Dari 60 responden, 63,3 % tidak mengetahui
tentang hospice care, 33,3% mengetahui tentang hospice
care, dan hanya 3,3 % yang memahami tentang hospice care.
Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan masyarakat
terhadap tingkat pemahaman masyarakat tentang hospice
care dengan significansi 0,000. 95 % Responden menerima
adanya hospice care, menjalani hospice care, dan menerima
adanya keluarga yang akan menjalani hospice care saat
menghadapi penyakit terminal

Kata kunci: hospice care, tingkat pengetahuan, tingkat


pemahaman.

146

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Korelasi Antara Neutrophil lymphocyte Ratio
(N LR) dengan Delirium dan Derajat Beratnya
Community-Acquired Pneumonia (CAP)
Pada Pasien Lanjut Usia
di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

I Putu E k a Krisnha W, RA Tuty Kusward h a n i , I G P S u ka Arya n a ,


N Asti ka, I B Putrawa n , R o i P u r n a m i
Bagia n/SMF l l m u Penyakit D a l a m FK U N U D/RS U P Sa nglah

Pendahuluan: Community-acquired pneumonia (CAP)


memiliki dampak kesehatan yang signifikan pada pasien lanjut
usia, dimana didapatkan kejadiannya yang lebih sering dan
luaran yang lebih berat dibandingkan dengan populasi usia
muda. Pada CAP, neutrophil-lymphocyte count ration (NLR)
telah diidentifikasi sebagai sebuah penanda prognostik yang
akurat dibandingkan dengan penanda infeksi tradisional,
untuk memprediksi beratnya dan luaran penyakit. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mencari korelasi antara NLR
dengan delirium dan beratnya CAP pada pasien lanjut usia.
Metodologi: Penelitian ini merupakan studi potong
lintang analitik yang terdiri dari pasien berusia .:::_ 60 tahun
dengan diagnosis CAP pada kunjungan di Unit Fawat Darurat
(UGD) Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah dalam
periode November 2014 hingga April 2015. Dilakukan suatu
evaluasi terhadap karakteristik klinis pasien, hitung darah
lengkap, skor beratnya pneumonia (skor CURB-65) dan adanya
delirium pada saat masuk rumah sakit.
Basil: Terdapat 50 pasien yang terdiri dari 29 pasien
laki-laki (58%), dengan median umur adalah 71 tahun (61-
93). Nilai median dari leukosit, hitung absolut neutrofil dan
hitung absolut limfosit adalah sebesar 12,5 (4,12-31,0), 10,8
(1,89-29,9), dan 1,02 (0,16-5,10) secara berturut-turut. Delirium

147

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
terdapat pada 15pasien (30% ) Sebagian besar pasie� memiliki
.

skor CURB-65 sebesar 2 (38 % ). Nilai median dari NLR adalah


sebesar 9,61 (0,80-78,68 ) . Terdapat korelasi positif yang
signifikan antara NLR dengan delirium (r 0,507, p 0,000)
= =

dan skor CURB-65 (r 0,512, p 0,000). Terdapat perbedaan


= =

yang signifikan dari nilai NLR antara kelompok delirium dan


tidak delirium (p 0,000), dan paling tidak antara 2 kelompok
=

dari skor CURB-65 (p 0,013).


=

Kesimpulan: Sebagai kesimpulan, peningkatan nilai NLR


berkolerasi dengan delirium dan derajat CAP yang semakin
berat. NLR merupakan suatu penanda yang sederhana dan
mudah untuk dinilai sejak awal kunjungan di UGO.

Kata kunci: NLR, delirium, skor CURB-65

143

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Korelasi antara Penyakit Kardiovaskular dengan
Kejadian Jatu h Pada Pasien Geriatri yang datang
ke Un it Rawat Daru rat RSU P Sanglah Denpasar

Putu Hartawa n 1 , l .G. P.Suka Aryana2, Nyoman Astika2,


Tuty Kuswardhani2, l . B. Putrawan2,Rai Purnami2
1 PPDS1 -Combined degree Penyakit Dalam FK U n ud/
RSU P Sanglah
2Divisi Geriatri SMF Penyakit Dalam FK U nud/RS U P Sanglah

Pendahuluan: Jatuh adalah kejadian yang umum terjadi


pada lansia dan menyebabkan peningkatan morbiditas,
kehilangan fungsi fisik, kehilangan kemandirian, penggunaan
sarana kesehatan, dan mortalitas. Sekitar 35-40 % orang
berusia lebih dari 65 tahun jatuh dalam setiap tahunnya,
setengah dari orang tersebut jatuh lebih dari sekali. Insiden
jatuh meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Terdapat
beberapa faktor resiko yang berperan dalam terjadinya jatuh
pada lansia yang diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu
faktor intrinsik terdiri faktor lokal dan sistemik serta faktor
ekstrinsik yaitu lingkungan. Suatu studi melaporkan bahwa
penyakit kardiovaskular menyumbang 77% dari orang yang
datang unit gawat darurat dengan jatuh atau jatuh berulang
yang tidak dapat dijelaskan dan dengan jatuh yang dikaitkan
dengan hilangnya kesadaran yang tak dapat dijelaskan.
Dengan demikian perlunya mengenali sejak awal faktor resiko
yang terdapat pada lansia guna mencegah terjadinya jatuh
pada lansia.
Tujuan: Mengetahui korelasi antara penyakit kardio­
vaskular dengan kejadian jatuh pada lansia yang datang ke
UGD RSUP Sanglah
Metodologi: Penelitian dilakukan dengan metode
retrospektif observasional analitik pada pasien lansia (usia
�60 tahun) pada data kunjungan Unit Rawat Darurat RSUP
Sanglah pada periode November 2014 sampai dengan April

149

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
2015. Setelah mendapatkan profile umum dari pasien yang
datang dibagi berdasarkan diagnosis dan sindrom geriatric
yang muncul. Data dikumpulkan dan diolah dengan SPSS,
dilakukan uji normalitas data dengan uji Kolmogorov Srnimov
didapatkan hasil data tidak berdistribusi normal, dilanjutkan
dengan analisa menggunakan analisa bivariate metode
Spearman untuk menilai korelasi antara dua variable.
Hasil: Sampel berjurnlah 80 pasien, yang diambil dari data
retrospektif rekam medis kunjungan pasien geriatri ke unit
gawat darurat Rumah Sakit Sanglah. Dari sampel tersebut,
terdapat 33 pasien ( 41.2 % ) merniliki masalah kardiovaskular
dengan karakteristik sampel pasien ACS 7.5%, CHF 7.5 %,
HHD 22.5 %, Hipertensi 3.8 % . Dari 33 pasien tersebut, 19
pasien mengalarni kejadian jatuh. Kemudian dilakukan analisa
untuk menilai adanya korelasi antara penyakit kardiovaskular
dengan kejadian jatuh maka didapat hasil adanya korelasi yang
bermakna (p 0.037).
Kesimpulan: Didapatkan adanya korelasi yang bermakna
antara penyakit kardiovaskular dengan kejadian jatuh pada
lansia yang datang ke UGO RSUP Sanglah

Kata kunci: Penyakit kardiovaskular, pasien lansia,


kejadian jatuh

150

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Laporan Kasus
Pelajaran Dari Kematian Pasien BPSD

Vera', Ku rnia A**, Supriadi J.***


*Bagian l l m u Penyakit D a l a m U niversitas Kristen Maranatha
Bandung
**Bagian Psi kiatri U niversitas Kristen Maranatha
Ba n d u ng
***Fakultas Kedokteran U niversitas Kristen Mara n atha
Ba n d u ng

Behavioural and psychological symptoms of dementia


(BPSD) sering menyebabkan keluarga stress dan frustrasi.
Pendekatan nonfarmakologis harus dicoba terlebih dahulu
untuk pengobatan B PSD, karena terapi farmakologis
berhubungan dengan angka kematian yang tinggi. Wanita
75 tahun dengan BPSD dalam pengobatan datang ke Rumah
Sakit Immanuel dengan penurunan kesadaran dan sepsis
karena pneumonia. Walaupun pengobatan yang agresif telah
dilakukan, pasien meninggal lima hari kemudian. Pengelolaan
BPSD berfokus pada bagaimana dokter mempertimbangkan
manfaat dan risiko terapi farmakologis. Kerja sama yang baik
antara ahli geriatri, psikiater, dan keluarga pasien diperlukan
untuk mengelola pasien secara efektif dan aman.

Kata kunci: BPSD, pneumonia, farmakologis Prevalence,


Incidence & Underlying Disease

151

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Prevalence, Incidence & Underlying Disease
of Hyponatremia In Elderly Patients
at UKI General H ospital Jakarta

Romaida Marbun, H ildebra nd Hanoch Victor, Welly Saluton­


dok, D o n n ie Lu mban Gaol, Nolly Rantung, Eko Priambodo
Departemen Penyakit D a l a m , Fakultas Kedokteran U niversitas
Kristen Indonesia/
Rumah Sakit U m u m U niversitas Kristen I ndonesia, J a ka rta,
I ndonesia

Latar Belakang: Hiponatremia adalah masalah umum


yang sering dijumpai baik di rawat inap dan rawat jalan pada
pasien-pasien geriatri. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
terjadi lebih berat dan lebih sulit untuk dikelola pada orang
tua dibandingkan pada pasien yang lebih muda. Peningkatan
risiko terjadinya hiponatremia pada orang tua dapat dikaitkan
dengan perubahan fisiologis yang berhubungan dengan
penuaan, proses penyakit yang lebih sering ditemukan pada
orang tua, dan peningkatan jumlah obat yang diresepkan
untuk pasien yang lebih tua. Penelitian ini untuk mengetahui
prevalensi, insiden dan etiologi hiponatremia pada pasien usia
lanjut di Rumah Sakit Umum UKI.
Tujuan: Untuk mengetahui prevalensi, insiden, dan
etiologi hiponatremia pada pasien-pasien geriatri dari Januari
samapai Maret 2015 di Rumah Sakit Umum U:KI.
Metode: Studi prospektif observasional yang fokus pada
orang dewasa berusia � 61 tahun yang dirawat di rumah sakit
umum UKI antara 1 Januari dan 31 Maret 2015. Penelitian
ini melaporkan prevalensi hiponatremia pada saat masuk
perawatan dan kejadian hiponatremia yang berkembang/
terjadi selama perawatan di rumah sakit. Juga dilaporkan jenis
kelamin terbanyak untuk kasus hiponatremia dan jenis-jenis
hiponatremianya. Etiologi kasus hiponatremia ditetapkan

152

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
oleh konsensus panel ahli dengan rnenggunakan data yang
dikurnpulkan setiap hari.
Basil: Sejak awal Januari sarnpai akhir Maret 2015,
terdapat 35 kasus, dimana presentasi wanita 65.7%, lebih tinggi
dibandingkan pria. Prevalensi kasus hiponatrernia ketika awal
dirawat yaitu 54.3% dan 45.7% adalah kasus hiponatrernia
yang diternukan terjadi selarna perawatan. Jenis hiponatrernia
hipovolernia didapatkan paling banyak sebesar 80% . Sebanyak
73% kasus hiponatrernia dengan etiologi yang beragarn. Tiga
penyakit terbanyak yang rnendasari terjadinya hiponatrernia,
yaitu infeksi sebesar31 .4 %, disusul diabetes 25.7%, dan intake
sulit 17.2%.
Kesimpulan: Prevalensi kasus hiponatrernia banyak
diternukan pada pasien-pasien geriatri sejak awal perawatan,
sebesar 54.3% kasus. Infeksi, Diabetes dan Intake Sulit adalah
penyakit terbanyak yang rnendasari kejadian hiponatrernia,
bukan Gastroenteritis.

Kata kunci: Pasien Geriatri, Hiponatrernia, Rurnah sakit


Urnurn UKI

153

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
H ubungan Antara Tingkat Pengetahuan dan
Waktu Tempuh ke Puskesmas dengan
Kepatuhan Berobat Pasien Hipertensi
di Poli Lansia Puskesmas Ramah Lansia
Kecamatan Cengkareng pada Bulan Maret 20 1 5

Andri a n i , Blud Puskesmas Kecamatan Cengkareng

Abstrak

Pendahuluan: Menurut data penduduk sasaran Program


Pembangunan KesehatanTahun 2011-2014 Pusdatin Kemenkes
RI 2011,di Kecamatan Cengkareng j umlah l ansia pad
atahun 2014 sebanyak 23.715 jiwa d ari 542.122 penduduk
Cengkareng. Diantara penduduk lansia tersebut terdapat 234
lansia penderita hipertensi yang berkunjung ke Puskesmas
se Kecamatan Cengkareng dan 169 diantaranya berobat di
Puskesmas Kecamatan Cengkareng (Data register puskesmas
Cengkareng Desember 2014). Karena Puskesmas Kecamatan
Cengkareng adalah satu satunya puskesmas yang ramah
lansia di Kecamatan Cengkareng maka sebagian besar
lansia hipertensi tersebut berobat ke Puskesmas Kecamatan
Cengkareng (Laporan Tahunan Puskesmas Kecamatan
Cengkareng). Berdasarkan data register kartu kendali berobat,
di Puskesmas Kecamatan Cengkareng kepatuhan berobat
pada penyakit hipertensi di poli lansia masih dibawah 60% .
Pasien biasanya berhenti berobat karena tubuhnya merasa
sedikit membaik, sehingga diperlukan kepatuhan pasien yang
menjalani pengobatan hipertensi agar didapatkan kualitas
hidup yang lebih baik. Sedangkan faktor yang mempengaruhi
kepatuhan pasien dalam berobat antara lain: kemudahan
menuju fasilitas kesehatan, tingkat pengetahuan pasien, tingkat
pendidikan, tingkatpenghasilan, usiapasien, tersedianya
asuransi kesehatan y ang membayar biaya pengobatan

154

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
(Mutrnainah, 2010). Kepatuhan minum obat pada penderita
hipertensi sangat penting karena dengan minum obat secara
teratur dapat mengontrol tekanan darah. Sehingga dalam
jangka panjang risiko kerusakan organ organ penting tubuh
seperti jantung, ginjal, otak dapat dikurangi. Menurut laporan
WHO, pada tahun 2003, kepatuhan rata rata pasien pada
terapi jangka panjang terhadap penyakit kronis di negara maju
hanya sebesar 50 %, sedangkan di negara berkembang bahkan
lebih rendah (Mutrnainah, 2010). Berdasarkan permasalahan
diatas, penulis ingin mengetahui faktor yang mempengaruhi
kapatuhan pasien hipertensi di poli lansia Puskesmas
Kecamatan Cengkareng. Peneliotian ini dilakukan untuk
mengetahui hubungan tingkat pengetahuan hipertensi serta
waktu tempuh pasien dari rumah ke Puskesmas Kecamatan
Cengkareng dengan kepatuhan pasien dalam pengobatan
hipertensi di Poli Lansia Puskesmas Kecamatan Cengkareng,
sehingga bisa dijadikan pertimbangan dalam pengambilan
kebijakan di dalam Puskesmas Cengkareng.
Metodologi: Penelitian ini menggunakan metode penelitian
cross sectional karena pada penelitian ini variabel - variabel yang
termasuk faktor resiko dan variabel variabel yang termasuk
efek diobservasi sekaligus pada waktu yang sama. Dan untuk
lebih lengkapnya penelitian ini menggunakan penelitian cross
sectional analitik yaitu melakukan analisis hubungan antar
variable dengan pengujian hipotesis (Susila&Suyanto, 2014).
Penelitian dilakukan pada tanggal 1 Maret 2015 sampai dengan
31 Maret 2015. Penelitian ini dilaksanakan di Poli Lansia
Puskesmas Kecamatan Cengkareng, dimana puskesmas ini
merupakan Puskesmas yang ramah lansia.Teknik pengambilan
data dengan pemberiari kuesioner pada responden. Responden
penelitian adalah pasien lansia dengan hipertensi yang
berkunjung ke Puskesmas Kecamatan Cengkareng di Bulan
Maret 2015 dan bersedia mengisi kuesioner. Berdasarkan tipe
data maka analisis data menggunakan uji statistic koefisien
korelasi Eta (17), karena Eta dapat digunakan untuk menguji

155

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
signifikan atau tidaknya hubungan antara variable nominal
dengan variable interval ataurasio (Susila&Suyanto, 2014).
Hasil: Dari hasil uji korelasi Eta pada pengetahuan
terhadap kepatuhan berobat pasien hipertensi di poli lansia
didapatkan nilai koefisien korelasi Eta .848662 . Jika dilihat
dari tabel pedoman interpretasi koefisien korelasi maka tingkat
hubungan pengetahuan hipertensi dengan kepatuhan berobat
pada pasien hipertensi di poli lansia Puskesmas Kecamatan
Cengkareng sangat kuat (interval koefisen 0,80-1,000). Dari
hasil uji signifikan didapatkan hasil F hitung sebesar 105.5479.
Dengan d kpembilang (Vl) =1 dan dk penyebut (V2)= 41 serta
taraf significant 5 % didapatkan F-tabel sebesar 4,08 Kemudian
hasil F hitung dibandingkan dengan F-tabel sebesar 4,08. Jadi F
hitung (105.5479) > F table (4,08) dengan demikian hubungan
antara tingkat pengetahuan pasien hipertensi di poli lansia
dengan kepatuhan berobat adalah significant. Dari Uji Korelasi
pada waktu tempuh pasien hipertensi dari rumah ke Puskesmas
Kecamatan Cengkareng di poli lansia di dapatkan Besamya
koefisien korelasi Eta sebesar 0.0023637, bila dihubungkan
dengan tabel pedoman interpretasi korelasi maka tingkat
hubungan waktu tempuh dari rumah pasien ke Puskesmas
Kecamatan Cengkareng adalah sangat rendah. Dari hasil uji
signifikan didapatkan hasil F hitung sebesar 0.000229613.
Dengan dk pembilang (Vl) =l dan dk penyebut (V2)= 41 serta
taraf significant 5 % didapatkan F-tabel sebesar 4,08. Kemudian
hasil F hitung dibandingkan dengan F-tabel. Jadi F hitung
(0.0023637) < F table (4,08) dengan demikian hubungan antara
waktu tempuh pasien dari rumah ke Puskesmas Kecamatan
Cengkareng adalah tidak signifikan.
Kesimpulan: Dari hasil penelitian dapat ditarik: Ada
hubungan yang sangat kuat dan signifikant antara tingkat
pengetahuan pada pasien hipertensi dengan kepatuhan berobat
di poli lansia Puskesmas Kecamatan Cengkareng pada bulan
Maret 2015. Tidak Ada hubungan antara waktu tempuh dari
rumah pasien ke Puskesmas Kecamatan Cengkareng dengan

156

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
kepatuhan berobat pasen hipertensi di poli Lansia Puskesmas
Kecamatan Cengkareng pada bulan Maret 2015.

157

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
H ubungan Antara lndeks Massa Tubuh dan
Rasio Lingkar Pinggang dan Panggul dengan
Kekuatan Genggaman Tangan Pada Lansia di
Kecamatan Dau Kabupaten Malang

Retti N urlai l i , S r i Sunarti, SpPD-KGer


I nterna l Medicine, Brawij jaya U niversity-Saiful Anwar
Hospita l, Malang-l ndonesia

Latar belakang: Massa dan kekuatan otot berkurang


seiring bertambahnya usia. Test kekuatan genggaman tangan
merupakan tes altematif yang akurat dan sederhana untuk
mengukur kekuatan otot dan sebagai alat untuk memprediksi
angka mortalitas dan morbiditas pada pasien lansia. Faktor­
faktor yang berhubungan dengan kekuatan otot termasuk
status nutrisi, makronutrien yang dikonsumsi, aktivitas fisik
dan pola tidur. Tujuan Penelitian. Penelitian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan
dengan kekuatan genggaman tangan pada lansia seperti status
nutrisi yang bisa diukur melalui Indeks Massa Tubuh (IMT)
dan Rasio Ukuran Pinggang dan Panggul.
Metode: Metode yang digunakan pada penelitian ini
adalah metode potong lintang. Subyek pada penelitian ini 40
subjek dengan usia 64-78 tahun, dengan prosentase laki-laki
(37.5%) dan wanita(62.5% )yang berasal dari posyandu lansia
di Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Kekuatan
genggaman tangan diukur dengan hand grip dynamometer.
Alat ukur manual digunakan untuk mengukur tinggi badan
dan lingkar pinggang dan panggul, yang akan diukur dalam
rasio lingkar pinggang dan panggul, serta timbangan digital
untuk mengukur berat badan. Hasil: Hubungan antara IMT dan
rasio lingkar pinggang dan panggul dianalisa menggunakan
Pearson's correlation coefficient. Semua analisis menggunakan
SPSS 16.1 dan nilai p<0.05 yang dianggap signifikan. Hasil.

158

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Sebagian besar dari subyek penelitian memiliki kekautan
genggaman tangan yang rendah, dengan nilai rata-rata
20.5375kg. Nilai rata-rata IMT pada subyek penelitian adalah
overweight (25.6234kg/ m2) . Terdapat hubungan yang
signifikan dengan korelasi negatif antara kekuatan genggaman
tangan dengan IMT (p<0.05, r= -0.535). dan rasio lingkar
pinggang dan panggul (p<0.05, r= -0.602).
Kata Kunci: Kekuatan genggaman tangan, Indeks Massa
Tubuh (IMT), rasio lingkar pinggang dan panggul

159

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose

Anda mungkin juga menyukai