Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN

PENELITIAN STIMULUS

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN HIPERTENSI


PADA LANSIA DI POSBINDU WILAYAH KERJA
PUSKESMAS BUGEL TAHUN 2018

PENGUSUL
Ketua : Ns. Toto Suharyanto, M.Kep.
Anggota : 1. Dra. Yarni, M.Kes.
2. Elisa Fuji Yanti

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS NASIONAL
JAKARTA
2018
HALAMAN PENGESAHAN
1. Judul Penelitian : Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi Pada
Lansia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Bugel Tahun 2018
2. Ketua Tim
a. Nama Lengkap : Ns. Toto Suharyanto, M.Kep.
b. Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 21 Maret 1976
c. NID/NIDN : 0321037602
d. Pangkat/Golongan :-
e. Jabatan Fungsional : Lektor
f. Fakultas/Prodi : Fikes/Keperawatan
g. Alamat : Villa Mutiara Cinere Blok B7/1
h. No. Telepon : 08161407446
i. Email : altruistik21@gmail.com
3. Anggota Tim :
a. Nama : Dra. Yarni, M.Kes.
b. NIDN : 0321037602
4. Jangka Waktu Penelitian : 6 (enam) Bulan
5. Biaya : Rp. 6.500.000,-

Jakarta, September 2018


Mengetahui,
Ka. PPMK dan Kerjasama Ketua,

(Putri Azzahroh, S.ST. M.Kes.) (Ns. Toto Suharyanto, M.Kep.


NIDN: 0413128103 NIDN. 0321037602

Menyetujui
Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan

(Dr. Retno Widowati, M.Si)


NIDN: 0327096502

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt, atas kehendakNya proposal
penelitian dengan judul “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi Pada
Lansia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Bugel Tahun 2018” dapat diselesaikan
dengan baik. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan dalam rangka memenuhi salah satu
kewajiban yang harus dilakukan oleh dosen yaitu dalam rangka pelaksanaan Tri
Dharma Perguruan Tinggi dalam bidang Penelitian
Berkaitan dengan selesainya kegiatan ini, penghargaan dan terima kasih yang
sebesar-besarnya disampaikan kepada :
1. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Nasional, atas bantuan dana yang diberikan.
2. Dr. Retno Widowati, M.Si, Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Nasional
atas ijin dan kesempatan sehingga kegiatan ini berjalan dengan baik dan lancar.
3. Semua pihak yang membantu terlaksananya Penelitian ini

Jakarta, Sepember 2018


Ketua Peneliti

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hipertensi masih menjadi masalah kesehatan karena merupakan penyakit
TheSilent Killer (sering kali dijumpai tanpa gejala ).Hasil Riset Kesehatan
Dasar(Riskesdas) Balitbangkes tahun 2015 menunjukan prevalensi hipertensi secara
nasional mencapai 28,5%. Sedangkan di Provinsi Banten berdasarkan pengukuran
tekanan darah cukup tinggi yaitu 24,0 %.
Kenaikan prevalensi pada hipertensi sejalan dengan bertambahnya usia
terutama pada usia lanjut. Prevalensi hipertensi di kalangan usia lanjut cukup tinggi
yaitu sekitar 40% dengan jumlah kematian sekitar 50% di atas umur 60 tahun. (
Sugiharto, 2007 ). Di Puskesmas Bugel Kota Tangerang, hipertensi berada di urutan
pertama dari sepuluh penyakit terbesar penyakit tidak menular ( PTM ) pada tahun
2016. Jumlah kunjungannya yaitu sebesar 1.598 kunjungan (18,50%). Proporsi
penderita hipertensi pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Bugel selama tahun
2016 adalah 12,03% ( 61 orang dari 507 orang).

B. Kerangka Teori

HIPERTENSI

HIPERTENSI PRIMER : HIPERTENSI SEKUNDER :


1. Genetik,
2. Lingkungan
3. Hiperaktifitas sistem saraf 1. Penggunaan Estrogen
simpatis 2. Penyakit ginjal
4. Sistem renin angiotensin 3. Hipertensi vaskular renal
5. Defek dalam ekskresi Na 4. Hiperaldosteronisme
6. Peningkatan Na dan Ca primer
intraseluler 5. Sindrom cushing
7. Gaya hidup 6. Feokromositoma
8. Obesitas 7. Koarktasio aorta
8. Hipertensi yang
berhubungan dengan
kehamilan

1
C. Permasalahan
Di Puskesmas Bugel Kota Tangerang, hipertensi berada di urutan pertama dari
sepuluh penyakit terbesar penyakit tidak menular ( PTM ) pada tahun 2016. Jumlah
kunjungannya yaitu sebesar 1.598 kunjungan (18,50%). Proporsi penderita
hipertensi pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Bugel selama tahun 2016 adalah
12,03% ( 61 orang dari 507 orang).
Berdasarkan laporan bulanan Pos pembinaan terpadu ( Posbindu ) bulan Februari
2017 diketahui bahwa ada 122 lansia yang berkunjung ke Posbindu terdiri dari 51
orang (41.8% ) dari Posbindu Bugel , 21 orang ( 17.2% ) dari Posbindu Margasari,
dan 50 orang ( 40.9% ) dari Posbindu Pabuaran. Proporsi penderita hipertensi pada
lansia yang berkunjung ke Posbindu selama bulan Februari 2017 adalah 26,23% (
32 orang dari 122 orang)

D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan hipertensi pada lansia di Posbidu wilayah kerja Puskesmas
Bugel tahun 2018..Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
mempersiapkan masa lansia dengan baik

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. A. Hipertensi
1. Pengertian Hipertensi
Hipertensi adalah desakan darah yang berlebihan dan hampir konstan
pada arteri.Tekanan dihasilkan oleh kekuatan jantung ketika memompa
darah.Hipertensi berkaitan dengan kenaikan tekanan diastolik, tekanan sistolik,
atau kedua-duanya secara terus-menerus.Tekanan sistolik berkaitan dengan
tingginya tekanan pada arteri bila jantung berkontraksi (denyut jantung).
Tekanan darah diastolik berkaitan dengan tekanan dalam arteri bila jantung
berada dalam keadaan relaksasi di antara dua denyutan ( Hull, A, 2008 ).
Hipertensi merupakan penyakit kronik degeneratif yang banyak
dijumpai dalam praktek klinik sehari-hari. Menurut Joint National Committe on
Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure tahun 2003,
hipertensi adalah tekanan yang lebih tinggi dari 140/90 mmHg dan
diklasifikasikan sesuai derajat keparahannya, mempunyai rentang dari tekanan
darah tinggi sampai maligna. Keadaan ini dikategorikan sebagai primer /
essensial ( hampir 90% dari semua kasus ) atau sekunder, terjadi sebagai akibat
dari kondisi patologi yang dapat dikenali ( Kushariyadi, 2010 ).
Peningkatan tekanan darah memberikan gejala yang akan berlanjut ke
suatu organ target seperti stroke (untuk otak), penyakit jantung koroner (untuk
pembuluh darah jantung), dan hipertrofi ventrikel kanan (untuk otot jantung).
Hipertensi menjadi penyebab utama stroke yang membawa kematian yang
tinggi, dengan target organ di otak yang berupa stroke( Bustan, M, 2007 ).
Meningkatnya tekanan darah di dalam arteri bisa terjadi melalui
beberapa cara ( Shadine, M, 2010 ) :
a. Jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan lebih banyak cairan
pada setiap detiknya.
b. Arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku, sehingga tidak
dapat mengembang pada saat jantung memompa darah melalui arteri
tersebut. Karena itu darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui
pembuluh yang sempit daripada biasanya dan menyebabkan naiknya
tekanan. Inilah yang terjadi pada usia lanjut, dimana dinding arterinya telah
menebal dan kaku karena aterosklerosis.

3
c. Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan meningkatnya
tekanan darah. Hal ini terjadi jika terdapat kelainan fungsi ginjal sehingga
tidak mampu membuang sejumlah garam dan air dari dalam tubuh. Volume
darah dalam tubuh meningkat, sehingga tekanan darah juga meningkat.
2. Klasifikasi Hipertensi
Batasan hipertensi sulit untuk dirumuskan, biasanya secara
arbitrary.Karena bentuk kurva seperti bel dan kontinyu, maka tidak ada batas
jelas antara normotensi dan hipertensi. Batasan (definisi) hipertensi hanya
dapat dibuat secara operasional ( Joewono, B, 2013 ).
Klasifikasi Hipertensi Menurut Joint National Commitee (JNC) VII (
Setiati, S dkk, 2008 )
Tabel 2.1.
Klasifikasi Hipertensi

Klasifikasi Tekanan darah Sistolik Tekanan darah Diastolik


Tekanan Darah ( mmHg ) ( mmHg )

Normal <120 dan <80


Prehipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi Stadium 1 140-159 atau 90-99
Hipertensi Stadium 2 ≥160 atau ≥100

Selain itu dikenal berbagai pengelompokan hipertensi:


a. Menurut kausanya :
1) Hipertensi esensial ( hipertensi primer ), adalah hipertensi yang penyebabnya
tidak diketahui. Terjadi pada sekitar 90% penderita hipertensi. Hipertensi
essensial kemungkinan disebabkan oleh beberapa perubahan pada jantung dan
pembuluh darah yang kemungkinan bersama-sama menyebabkan meningkatnya
tekanan darah ( Ruhyanudin, F, 2007 ). Hipertensi essensial merupakan penyakit
multifaktor yang salah satunya dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan.
Pengaruh faktor gentik ini sangat bervariasi, dilaporkan sekitar 15% pada
populasi tertentu sampai dengan 60% pada populasi lainnya. Faktor lingkungan
yang mempengaruhi tekanan darah antara lain obesitas, stres, peningkatan

4
asupan natrium, konsumsi alkohol yang berlebihan, dan lain-lain ( Lubis, H dkk,
2008 ). Pada hipertensi essensial, diastolik meninggi saat berdiri, penurunan
menunjukkan hipertensi sekunder ( Sobel, B dan George Bakris, 2009 ).
2) Hipertensi sekunder, adalah jika penyebabnya diketahui. Pada sekitar 5-10%
penderita hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada sekitar 1-2%,
penyebabnya adalah kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu misalnya
pil KB ( Ruhyanudin, F, 2007 ) Hipertensi sekunder juga bisa disebabkan oleh
penyakit / keadaan seperti feokromositoma, hiperaldosteronisme primer
(sindroma Conn), dan sindroma Cushing ( Lubis, H dkk, 2008 ).
b. Menurut gangguan tekanan darah ( Bustan, M , 2007 ) :
1) Hipertensi sistolik ; peninggian tekanan darah sistolik saja.
2) Hipertensi diastolik ; peninggian tekanan darah diastolik saja.
c. Menurut berat atau tingginya peningkatan tekanan darah ( Bustan, M , 2007
):
1) Hipertensi ringan.
2) Hipertensi sedang.
3) Hipertensi berat.
3. Gejala Hipertensi.
Hipertensi adalah penyakit yang biasanya tanpa gejala (Pisa, F et all,
2007). Namun demikian, secara tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan
dan dipercaya berhubungan dengan tekanan darah tinggi. Gejala yang dimaksud
adalah sakit kepala, perdarahan dari hidung, pusing, wajah kemerahan, dan
kelelahan yang bisa saja terjadi baik pada penderita hipertensi maupun pada
seseorang dengan tekanan darah yang normal ( Ruhyanudin, F, 2007 ).
Retina merupakan bagian tubuh yang secara langsung bisa menunjukkan
adanya efek dari hipertensi terhadap arteriola (pembuluh darah kecil).Dengan
anggapan bahwa perubahan yang terjadi di dalam retina mirip dengan perubahan
yang terjadi di dalam pembuluh darah lainnya di dalam tubuh, seperti
ginjal.Untuk memeriksa retina, digunakan suatu oftalmoskop.Dengan
menentukan derajat kerusakan retina (retinopati), maka bisa ditentukan beratnya
hipertensi. Jika hipertensinya berat atau menahun dan tidak diobati, maka dapat
menunjukkan gejala sakit kepala, kelelahan, mual, muntah, sesak nafas, gelisah,
dan pandangan menjadi kabur ( Ruhyanudin, F, 2007 ).

5
4. Komplikasi Hipertensi.
Tekanan darah tinggi apabila tidak diobati dan ditanggulangi, maka
dalam jangka panjang akan terjadi komplikasi serius pada organ-organ sebagai
berikut, yaitu:
a. Jantung.
Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan terjadinya gagal jantung
dan penyakit jantung koroner. Pada penderita hipertensi, beban kerja jantung
akan meningkat, otot jantung akan menyesuaikan sehingga terjadi
pembesaran jantung dan semakin lama otot jantung akan mengendor dan
berkurang elastisitasnya, yang disebut dekompensasi. Akibatnya, jantung
tidak mampu lagi memompa dan menampung darah dari paru sehingga
banyak cairan tertahan di paru maupun jaringan tubuh lain yang dapat
menyebabkan sesak nafas atau oedema. Kondisi ini disebut gagal jantung (
Kurnia, R, 2007 ).
b. Otak.
Komplikasi hipertensi pada otak, menimbulkan risiko stroke.
Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan dua jenis stroke, yaitu stroke
iskemik dan stroke hemoragik. Jenis stroke yang paling sering (sekitar 80%
kasus) adalah stroke iskemik. Stroke ini terjadi karena aliran darah di arteri
otak terganggu.Otak menjadi kekurangan oksigen dan nutrisi.Stroke
hemoragik (sekitar 20% kasus) timbul saat pembuluh darah di otak atau di
dekat otak pecah.Penyebab utamanya adalah tekanan darah tinggi yang
persisten.Hal ini menyebabkan darah meresap ke ruang di antara sel-sel
otak. Walaupun stroke hemoragik tidak sesering stroke iskemik, namun
komplikasinya dapat menjadi lebih serius ( Palmer, A dan Bryan Williams,
2007 ).
c. Ginjal.
Tekanan darah yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kerusakan
sistem penyaringan di dalam ginjal, akibatnya lambat laun ginjal tidak
mampu membuang zat-zat yang tidak dibutuhkan tubuh yang masuk melalui
aliran darah dan terjadi penumpukan di dalam tubuh ( Kurnia, R, 2007 ).
d. Mata.
Tekanan darah tinggi dapat menyumbat arteri di mata, sehingga
menyebabkan kerusakan pada retina (area pada mata yang sensitif terhadap

6
cahaya). Keadaan ini disebut penyakit vaskular retina yang dapat
menyebabkan kebutaan dan merupakan indikator awal penyakit jantung
(Palmer, A dan Bryan Williams, 2007 ).
5. Diagnosis Hipertensi.
Data yang diperlukan untuk diagnosis diperoleh dengan cara anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan penunjang.
Peninggian tekanan darah kadang sering merupakan satu-satunya tanda klinis
hipertensi sehingga diperlukan pengukuran tekanan darah yang akurat.Berbagai
faktor bisa mempengaruhi hasil pengukuran seperti faktor pasien, faktor alat,
dan tempat pengukuran. Anamnesis yang dilakukan meliputi tingkat hipertensi
dan lama menderitanya, riwayat dan gejala-gejala penyakit yang berkaitan
seperti penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskuler dan lainnya, apakah
terdapat riwayat penyakit dalam keluarga, gejala yang berkaitan dengan
penyakit hipertensi, perubahan aktivitas atau kebiasaan (seperti merokok,
konsumsi makanan, riwayat dan faktor psikososial lingkungan keluarga,
pekerjaan, dan lain-lain). Dalam pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran
tekanan darah dua kali atau lebih dengan jarak dua menit, kemudian diperiksa
ulang dengan kontrolatera ( Sugiharto, A, 2007 ).
6. Penatalaksanaan Hypertensi
a. Non farmakologis
Pendekatan nonfarmakologis merupakan penanganan awal sebelum
penambahan obat-obatan hipertensi, dan merupakan hal yang perlu
diperhatikan oleh seorang yang sedang dalam terapi obat.Pada pasien
hipertensi yang terkontrol, pendekatan nonfarmakologis ini dapat membantu
pengurangan dosis obat pada sebagian penderita. Oleh karena itu, modifikasi
gaya hidup merupakan hal yang penting diperhatikan, karena berperan
dalam keberhasilan penanganan hipertensi ( Sugiharto, A, 2007 ).
Pendekatan nonfarmakologis dibedakan menjadi beberapa hal:
1) Menurunkan faktor risiko yang menyebabkan aterosklerosis.
2) Olahraga dan aktivitas fisik.
3) Perubahan pola makan :
a) Mengurangi asupan garam.
b) Diet rendah lemak jenuh.

7
c) Memperbanyak konsumsi sayuran, buah-buahan, dan susu
rendah lemak.
4) Menghilangkan stress.
b. Farmakologis
Selain cara pengobatan nonfarmakologis, penatalaksanaan utama
hipertensi primer adalah dengan obat. Keputusan untuk mulai memberikan
obat antihipertensi berdasarkan beberapa faktor seperti derajat peninggian
tekanan darah, terdapatnya kerusakan organ target, dan terdapatnya
manifestasi klinis penyakit kardiovaskuler atau faktor risiko lain. Terapi
dengan pemberian obat antihipertensi terbukti dapat menurunkan sistole dan
mencegah terjadinya stroke pada pasien usia 70 tahun atau lebih ( Sugiharto,
A, 2007 ).

B. Lansia
1. Pengertian Lansia
Proses menua adalah proses yang terus-menerus ( berlanjut ) secara
alamiah, dimulai sejak lahir dan umum dialami pada semua makhluk hidup.
Lansia bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu masa atau tahap hidup
manusia dimulai dari bayi, kanak-kanak, dewasa, tua sampai lanjut usia (
Takasihaeng, J, 2007 ).
Batasan-batasan lansia menurut WHO, meliputi ( Kushariyadi, 2010 ) :
a. Usia pertengahan (middle age), antara 45 sampai 59 tahun.
b. Lanjut usia (elderly), antara 60 sampai 74 tahun.
c. Lanjut usia tua (old), antara 75 dan 90 tahun.
d. Usia sangat tua (very old), di atas 90 tahun.
Sedangkan pembagian lansia menurut Depkes adalah :
a. Masa lansia awal yaitu usia 46 – 55 tahun.
b. Masa lansia akhir yaitu usia 56 – 65 tahun
c. Masa Manula yaitu usia 65 tahun keatas.
2. Kesehatan Lansia.
Pada umumnya usia tua penuh dengan berbagai gangguan kesehatan.
Hal itu terjadi bukan hanya karena keteledoran orang untuk menjaga
kesehatan sejak masa muda tetapi masa tua memang ditandai dengan berbagai
kemunduran fungsi tubuh. Kemunduran itu bersifat fisiologis dan berjalan

8
secara alamiah. Hingga saat ini belum ada obat atau cara pencegahan
penurunan fisiologis pada lansia, namun tetap dimungkinkan untuk sehat pada
usia lanjut. Hal-hal yang bisa dilakukan untuk tetap sehat pada lansia adalah
menjaga kesehatan dengan baik diantaranya dengan mengkonsumsi makanan
yang bergizi, berolahraga teratur sesuai usia, menjauhkan pikiran dari pengaruh
lingkungan yang negatif, dan secara periodik berkonsultasi pada dokter
minimal 3 bulan sekali ( Takasihaeng, J, 2007 ).
3. Hipertensi pada Lansia
Dimulai dengan aterosklerosis yaitu gangguan elastisitas pembuluh
darah yang berlanjut dengan kekakuan pembuluh darah. Kekakuan pembuluh
darah disertai dengan penyempitan dan kemungkinan pembesaran
plague yang menghambat peredaran darah . Kekakuan dan kelambanan
aliran darah menyebabkan beban jantung bertambah berat yang akhirnya
dekompensasi dengan peningkatan upaya pemompaan jantung yang
memberikan gambaran peningkatan tekanan darah dalam sistem sirkulasi (
Bustan, M, 2007 ).
Tekanan darah tinggi biasa ditemui pada pasien yang sudah berusia
lanjut ( lansia ). Hal ini erat hubungannya dengan proses menua pada
seseorang. Di sini terjadi perubahan berupa berkurangnya elastisitas pembuluh
darah, sehingga terjadi kekakuan pembuluh darah.Keadaan ini diperberat
dengan terjadinya penimbunan lemak di lapisan dalam pembuluh darah.
Tekanan darah tinggi pada lansia yang sering tampak adalah bagian sistole,
atau yang terekam paling atas dari alat pengukur tekanan darah ( Takasihaeng,
J, 2007 ).
Hipertensi pada lanjut usia sebagian besar merupakan hipertensi sistolik
terisolasi (HST), dan pada umumnya merupakan hipertensi primer. Adanya
hipertensi, baik HST maupun kombinasi sistolik dan diastolik merupakan faktor
risiko morbiditas dan mortalitas untuk orang lanjut usia ( Kuswardhani, R,
2008).

C. Posbindu
Posbindu atau pos pembinaan terpadu adalah salah satu bentuk Upaya
Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dan
diselenggarakan dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat dalam penyelenggaraan

9
pembangunan kesehatan, guna memberdayakan masyarakat dan memberikan
kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar.
Posbindu direncanakan dan dikembangkan oleh kader bersama Kepala Desa dan
Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Kader adalah anggota masyarakat
yang dipilih dari dan oleh masyarakat setempat yang disetujui oleh LKMD dengan
syarat mau dan mampu bekerja secara sukarela, dapat membaca dan menulis huruf
latin, dan mempunyai cukup waktu untuk bekerja bagi masyarakat ( Khoiri, A,
2008).
Posbindu juga merupakan suatu bentuk keterpaduan pelayanan kesehatan
terhadap lansia di tingkat desa/ kelurahan di masing-masing wilayah kerja
puskesmas.Keterpaduan dalam posbindu berupa keterpaduan pada pelayanan yang
dilatarbelakangi oleh kriteria lansia yang memiliki berbagai macam penyakit.Dasar
pembentukan posbindu adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
terutama lansia. Adapun tujuan umum posbindu adalah untuk meningkatkan derajat
kesehatan dan mutu kehidupan lansia untuk mencapai masa tua yang bahagia dan
berdaya guna dalam kehidupan keluarga dan masyarakat ( Siahaan, B, 2010 ).
Untuk memberikan pelayanan kesehatan yang prima terhadap lansia,
mekanisme pelaksanaan kegiatan yang sebaiknya digunakan adalah sistem 5 tahapan
(5 meja) sebagai berikut ( Siahaan, B, 2010 ) :
1. Tahap pertama: pendaftaran anggota posbindu sebelum pelaksanaan pelayanan.
2. Tahap kedua: pencatatan kegiatan sehari-hari yang dilakukan lansia serta
penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan.
3. Tahap ketiga: pengukuran tekanan darah, pemeriksaan kesehatan, dan
pemeriksaan status mental.
4. Tahap keempat: pemeriksaan air seni dan kadar darah (laboratorium sederhana).
5. Tahap kelima: pemberian penyuluhan dan konseling

D. Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Hipertensi Pada Lansia.


1. Usia
Usia adalah lamanya hidup dalam tahun yang dihitung sejak dilahirkan
( Hurlock, 2009 ). Hipertensi erat kaitannya dengan usia, semakin tua seseorang
semakin besar risiko terserang hipertensi. Arteri kehilangan elastisitasnya atau
kelenturannya seiring bertambahnya usia. Dengan bertambahnya usia
seseorang, risiko terjadinya hipertensi meningkat. Meskipun hipertensi bisa

10
terjadi pada segala usia, namun paling sering dijumpai pada orang berumur 35
tahun atau lebih. Sebenarnya wajar bila tekanan darah sedikit meningkat dengan
bertambahnya umur.Hal ini disebabkan oleh perubahan alami pada jantung,
pembuluh darah, dan hormon.Tetapi bila perubahan tersebut disertai faktor-
faktor lain maka bisa memicu terjadinya hipertensi. Berdasarkan hasil penelitian
Sugiharto (2007), menunjukkan bahwa OR hipertensi pada kelompok umur 56-
65 tahun jika dibandingkan dengan kelompok umur 25-35 tahun adalah 74,73.
2. Jenis kelamin.
Menurut Hungu (2007) jenis kelamin adalah perbedaan antara
perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir . Bila ditinjau
perbandingan antara wanita dan pria yang menderita hipertensi ternyata terdapat
angka yang cukup bervariasi ( Sugiharto, A, 2007 ). Hingga usia 55 tahun lebih
banyak ditemukan pada pria. Namun setelah terjadi menopause (biasanya
setelah usia 50 tahun), tekanan darah pada wanita meningkat terus, hingga usia
75 tahun tekanan darah tinggi lebih banyak ditemukan pada wanita daripada pria
( Kushariyadi, 2010 ). Hal ini disebabkan karena terdapatnya hormon estrogen
pada wanita ( Mc Gowan, M, 2007 ).
MenurutpenelitiandariSapitri(2016),menunjukkanbahwa ada hubunganantara
jeniskelamindengankejadianhipertensi.Jenis kelamin terbanyak pada wanita
yaitu 56,4% ( DepKes RI, 2008 ).
3. Etnis.
Pengertian etnis atau suku adalah suatu kesatuan sosial yang dapat
dibedakan dari kesatuan yang lain berdasarkan akar dan identitas kebudayaan,
terutama bahasa ( Koentjaraningrat, 2007).
Penelitian klinis yang melibatkan sejumlah besar orang menunjukkan
bahwa orang keturunan Afrika atau Afro-Karibia memiliki tekanan darah yang
lebih tinggi dibandingkan orang Kaukasia (berkulit putih).Hipertensi pada orang
keturunan Afrika lebih sensitif terhadap garam dalam pola makan, yang
diperkirakan berkaitan dengan sistem renin-angiotensin. Orang berkulit hitam
memiliki kadar renin yang lebih rendah ( Palmer, A dan Bryan Williams. 2007).
4. Riwayat keluarga.
Riwayat penyakit keluarga adalah riwayat kesehatan atau keperawatan
yang ada atau yang pernah dimiliki salah satu anggota keluarga yang ada
hubungan darah ( Sugiharto, A, 2007 ).

11
Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan)
mempertinggi risiko terkena hipertensi terutama pada hipertensi primer.
Keluarga yang memiliki hipertensi dan penyakit jantung meningkatkan risiko
hipertensi 2-5 kali lipat ( Sugiharto, A. 2007 ). Penelitian menunjukkan bahwa
tekanan darah seorang anak akan lebih mendekati tekanan darah orangtuanya
bila mereka memiliki hubungan darah dibandingkan dengan anak adopsi. Hal
ini menunjukkan bahwa gen yang diturunkan, dan bukan hanya faktor
lingkungan (seperti makanan atau status sosial), berperan besar dalam
menentukan tekanan darah ( Palmer, A dan Bryan Williams. 2007 ).
Berdasarkan hasil penelitian Sugiharto (2007), menunjukkan bahwa OR
hipertensi pada responden yang memiliki riwayat keluarga hipertensi jika
dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat keluarga hipertensi adalah
6,29.
5. Stress Psikologis
Baron dan Byrne (2007) menyatakan bahwa stress adalah respon
terhadap persepsi kejadian fisik atau psikologis dari individu sebagai sesuatu
yang potensial menimbulkan bahaya atau tekanan emosional.
Hubungan antara stress dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf
simpatis, yang dapat meningkatkan tekanan darah secara bertahap. Stress atau
ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, bingung, cemas, berdebar-debar, rasa
marah, dendam, rasa takut, rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal
melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta
lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Jika stress berlangsung
cukup lama, tubuh berusaha mengadakan penyesuaian sehingga timbul kelainan
organis atau perubahan patologis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi
atau penyakit maag. Berdasarkan hasil penelitian Hasurungan di Kota Depok
(2010) dengan menggunakan desain penelitian case control, menunjukkan
bahwa OR hipertensi pada responden yang mengalami stress psikologis jika
dibandingkan dengan yang tidak stress psikologis adalah 2,99 ( Hasurungan, J,
2010 ).
6. Pola makan.
Pola makan adalah gambaran mengenai jenis makanan dan frekuensi
makan yang dikonsumsi dan berlaku berulang-ulang dan terus-menerus

12
(Afriani, 2013). Adapun pola makan yang dapat berakibat pada kenaikan
tekanan darah diantaranya ;
a. Mengkonsumsi tinggi garam dan lemak.
Pengaruh asupan garam terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui
peningkatan volume plasma, curah jantung, dan tekanan darah. Garam
menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh karena menarik cairan di
luar sel agar tidak keluar, sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan
darah. Berdasarkan hasil penelitian Sugiharto (2007), menunjukkan bahwa
OR hipertensi pada responden yang memiliki kebiasaan mengonsumsi
makanan asin jika dibandingkan dengan yang tidak adalah 4,57. Lemak trans
(ditemukan pada makanan yang diproses, misalnya biskuit dan margarin)
dan lemak jenuh (ditemukan pada mentega, cake, pastry, biskuit, produk
daging, dan krim) telah terbukti dapat meningkatkan kadar kolesterol dalam
darah. Kolesterol yang terlalu tinggi dalam darah dapat mempersempit
arteri, bahkan dapat menyumbat peredaran darah ( Palmer, A dan Bryan
Williams. 2007 ).
Berdasarkan hasil penelitian Sugiharto (2007), menunjukkan bahwa
OR hipertensi pada responden yang memiliki kebiasaan mengonsumsi
lemak jenuh jika dibandingkan dengan yang jarang mengonsumsi lemak
jenuh adalah 2,01.
b. Jarang mengkonsumsi sayur dan buah.
Vegetarian mempunyai tekanan darah lebih rendah dibanding
pemakan daging dan diet vegetarian pada penderita hipertensi dapat
menurunkan tekanan darah ( Bustan, M. 2007 )
7. Gaya hidup.
Gaya hidup adalah pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan
dalam aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup menggambarkan
“keseluruhan diri seseorang” dalam berinteraksi dengan lingkungannya (Kotler,
2008). Adapun gaya hidup yang dapat berakibat pada kenaikan tekanan darah
diantaranya ;
a. Olahraga tidak teratur.
Kurangnya aktivitas fisik meningkatkan risiko menderita hipertensi
karena meningkatkan risiko kelebihan berat badan.Orang yang tidak aktif
juga cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi

13
sehingga otot jantungnya harus bekerja lebih keras pada setiap
kontraksi.Makin keras dan sering otot jantung harus memompa, makin besar
tekanan yang dibebankan pada arteri. Berdasarkan hasil penelitian Sugiharto
(2007), menunjukkan bahwa OR hipertensi pada responden yang tidak
memiliki kebiasaan berolah raga jika dibandingkan dengan yang memiliki
kebiasaan berolah raga adalah 2,35.
b. Kebiasaan merokok.
Selain dari lamanya kebiasaan merokok, risiko merokok terbesar
tergantung pada jumlah rokok yang diisap perhari.Seseorang lebih dari satu
pak rokok sehari menjadi 2 kali lebih rentan hipertensi dari pada mereka
yang tidak merokok. Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin dan karbon
monoksida yang diisap melalui rokok, yang masuk ke dalam aliran darah
dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri dan mengakibatkan
proses atherosklerosis dan hipertensi. Nikotin dalam tembakau merupakan
penyebab meningkatnya tekanan darah segera setelah isapan pertama.
Seperti zat-zat kimia lain dalam asap rokok, nikotin diserap oleh pembuluh-
pembuluh darah amat kecil di dalam paru-paru dan diedarkan ke aliran
darah. Hanya dalam beberapa detik nikotin sudah mencapai otak.Otak
bereaksi terhadap nikotin dengan memberi sinyal pada kelenjar adrenal
untuk melepas epinefrin (adrenalin). Hormon yang kuat ini akan
menyempitkan pembuluh darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih
berat karena tekanan yang lebih tinggi. Setelah merokok dua batang saja
maka baik tekanan sistolik maupun diastolik akan meningkat 10 mmHg.
Tekanan darah akan tetap pada ketinggian ini sampai 30 menit setelah
berhenti mengisap rokok. Sementara efek nikotin perlahan-lahan
menghilang, tekanan darah juga akan menurun dengan perlahan. Namun
pada perokok berat tekanan darah akan berada pada level tinggi sepanjang
hari. Berdasarkan hasil penelitian Sugiharto (2007), menunjukkan bahwa
OR hipertensi pada responden perokok berat (>20 batang/ hari) jika
dibandingkan dengan yang bukan perokok adalah 2,47.
c. Mengkonsumsi alkohol.
Mengonsumsi tiga gelas atau lebih minuman berakohol perhari
meningkatkan risiko mendapat hipertensi sebesar dua kali.Bagaimana dan
mengapa alkohol meningkatkan tekanan darah belum diketahui dengan

14
jelas. Namun sudah menjadi kenyataan bahwa dalam jangka panjang,
minum minuman beralkohol berlebihan akan merusak jantung dan organ-
organ lain. Berdasarkan hasil penelitian Sugiharto (2007), menunjukkan
bahwa OR hipertensi pada responden yang sering mengonsumsi alkohol (≥3
kali/ minggu) jika dibandingkan dengan yang jarang mengonsumsi alkohol
adalah 4,86.
8. Obesitas
Kelebihan berat badan adalah suatu kondisi dimana perbandingan berat
badan dan tinggi badan melebihi standar yang ditentukan.Sedangkan obesitas
adalah kondisi kelebihan lemak, baik di seluruh tubuh atau terlokalisasi pada
bagian bagian tertentu. Obesitas merupakan peningkatan total lemak tubuh,
yaitu apabila ditemukan kelebihan berat badan >20% pada pria dan >25% pada
wanita karena lemak (Ganong W. F, 2003).
Menurut World Health Organization (WHO), obesitas secara sederhana
dapat didefiniskan sebagai akumulasi lemak dalam tubuh yang berlebihan yang
dapat memberikan dampak buruk terhadap kesehatan. Obesitas dapat
dinilai dengan berbagai cara, metode yang lazim digunakan saat ini antara lain
pengukuran IMT (Index Massa Tubuh) dan lingkar perut.
a. IMT ( Index Massa Tubuh )
Metode yang sering digunakan adalah dengan cara menghitung
IMT, yaitu BB/TB2 dimana BB adalah berat badan dalam kilogram dan TB
adalah tinggi badan dalam meter (Caballero B , 2008).
Table 2.2
Klasifikasi IMT (International Diabetes Federation, 2008).

Klasifikasi IMT (kg/m2)


BB kurang (underweight) <18,5
Normal 18,5-24,9
BB lebih (overweight) 25,0-29,9
Obesitas, kelas I 30,0-34,9
Obesitas, kelas II 35,0-39,9
Obesitas ekstrim, kelas III >40

15
b. Lingkar Perut
Metode lain untuk pengukuran antropometri tubuh adalah dengan
cara mengukur lingkar perut. Parameter penentuan obesitas merupakan hal
yang paling sulit dilakukan karena perbedaan cutt of point setiap etnis
terhadap IMT maupun lingkar perut.Sehinggga IDF (Internasional
Diabetes Federation) mengeluarkan kriteria ukuran lingkar perut
berdasarkan etnis (Tjokroprawiro, 2009).
Tabel 2.3
Kriteria ukuran pinggang berrdasarkan etnis
Negara/grup etnis Lingkar pinggang (cm) pada obesitas
Eropa Pria >94
Wanita >80
Asia Selatan Pria >90
Populasi China, Melayu Wanita >80
China Pria >90
Wanita >80
Jepang Pria >85
Wanita >90
Amerika Tengah Gunakan rekomendasi Asia Selatan
hingga tersedia data spesifik
Sub-Sahara Afrika Gunakan rekomendasi Eropa hingga
tersedia data spesifik
Timur Tengah Gunakan rekomendasi Eropa hingga
tersedia data spesifik

Obesitas meningkatkan risiko terjadinya hipertensi karena beberapa sebab.


Makin besar massa tubuh, makin banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok
oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Ini berarti volume darah yang beredar
melalui pembuluh darah menjadi meningkat sehingga memberi tekanan lebih
besar pada dinding arteri.

Berat badan dan Indeks Massa Tubuh (IMT) berkorelasi langsung dengan
tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik.Risiko relatif untuk menderita

16
hipertensi pada orang obesitas 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorang
yang berat badannya normal.Pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-
30% memiliki berat badan lebih. Menurut Mpenelitian yang dilakukan oleh
Sapitri tahun2016 menunjukkan bahwa orang dengan obesitas (IMT>25)
beresiko menderita hipertensi sebesar 6,47 kali dibanding dengan orang yang
tidak obesitas.

17
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilakukan di Posbindu wilayah Puskesmas Bugel Kota Tangerang
Provinsi Banten, yaitu Posbindu Bugel, Margasari dan Pabuaran
B. Alat, Bahan dan Responden
Alat dalam penelitian ini adalah kuesioner untuk mengetahui faktor – faktor yang
berhubungan dengan hipertensi pada lansia di Posbindu wilayah Puskesmas
Bugel Kota Tangerang tahun 2018
C. Cara Kerja
1. Pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan dengan sebelumnya memberikan penjelasan
kepada responden tentang tujuan penelitian, manfaat partisipasi responden
didalam penelitian ini, cara pengisian kuesionerdengan alternative jawaban
tertutup dan terjaminnya kerahasiaan responden.
2. Pengolahan Data
Pemberian kode terhadap data yang diperoleh di lapangan dan memasukan
data dari formulir penelitian kedalam program pengolahan data yaitu SPSS
versi 17.0.dan disajikan dalam bentuk table
3. Analisis Data
a. Analisa univariat
untuk melihat distribusi frekuensi darivariabel dependent dan variabel
independent. Dibuat table distribusi frekuensi dari semua sebaran
variabel yang terdapat dalam penelitian ini.

b. Analisis Bivariat
Data dianalisis dengan menghubungkan antara variabel independent
dengan variabel dependent. Untuk mengetahu ia dan tidaknya hubungan
antara variabel dependent dan variabel independent digunakan table
silang serta melakukan identifikasi variable yang bermakna dengan
menggunakan ujiChi-Square dengan tingkat kemaknaan 95%, yang
berarti apabila P value ≤0,05 berarti ada hubungan yang bermakna antara
variabel dependent dan variable independent, dan apabila P value ≥0.05

18
berarti tidak ada hubung anantara variabel dependent dan variabel
independent.

19
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis univariat yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui distribusi


frekuensi dari masing-masing variabel yang diteliti meliputi variable hipertensi
pada lansia, usia, jenis kelamin, riwayat keluarga, stress psikologis, polamakan,
gaya hidup dan obesitas. Hasil analisis univariat akan disajikan dalam beberapa
tabel berikut.
1. Distribusi frekuensi kejadian hipertensi pada lansia.
Tabel 5.1
Distribusi frekuensi kejadian hipertensi pada lansia di Posbindu wilayah
kerja Puskesmas Bugel Kota Tangerang Tahun 2017
HipertensipadaLansia Frekuensi (n) Persentase (%)
Hipertensi 31 31.3
Tidakhipertensi 68 68.7
Total 99 100.0

Berdasarkan tabel 5.1 diketahui lansia yang hipertensi yaitu sebanyak


31 orang (31.3%), sedangkanlansia yang tidakhipertensiyaitu sebanyak 68
orang (68.7%).

2. Distribusi frekuensi responden berdasarkan usia.


Tabel 5.2
Distribusi frekuensi usia pada lansia di Posbindu wilayah kerja
Puskesmas Bugel Kota Tangerang Tahun 2017
Usia Frekuensi (n) Persentase (%)
≥ 60 tahun 48 48.5
< 60 tahun 51 51.5
Total 99 100.0

Berdasarkan tabel 5.2 diketahui lansia yang berusia ≥ 60 tahunyaitu


sebanyak 48 orang (48.5%), sedangkanlansia yang berusia< 60 tahunyaitu
sebanyak 51 orang (51.5%)

3. Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin.


Tabel 5.3
Distribusi frekuensi jenis kelamin pada lansia di Posbindu wilayah
kerja Puskesmas Bugel Kota Tangerang Tahun 2017
Jenis kelamin Frekuensi (n) Persentase (%)
Perempuan 50 50.5
Laki - laki 49 49.5
Total 99 100.0

20
Berdasarkan tabel 5.3 diketahui lansia yang
berjeniskelaminperempuanyaitu sebanyak 50 orang (50.5%),
sedangkanlansia yang berjeniskelaminlaki – lakiyaitu sebanyak 49 orang
(49.5%).

4. Distribusi frekuensi respon den berdasarkan riwayat keluarga.

Tabel 5.4
Distribusi frekuensi riwayat keluarga pada lansia di Posbindu wilayah
kerja Puskesmas Bugel Kota Tangerang Tahun 2017

Riwayat keluarga Frekuensi (n) Persentase (%)


Ada 39 39.4
Tidakada 60 60.6
Total 99 100.0

Berdasarkan tabel 5.4 diketahui lansia


yangmempunyairiwayatkeluargahipertensiyaitu sebanyak 39 orang
(39.4%), sedangkanlansia yang tidakmempunyairiwayatkeluargahipertensi
yaitu sebanyak 60 orang (60.6%).

5. Distribusi frekuensi responden berdasarkan stress psikologis.


Tabel 5.5
Distribusi frekuensi stress psikologis pada lansia di Posbindu wilayah
kerja Puskesmas Bugel Kota Tangerang Tahun 2017

Stress psikologis Frekuensi (n) Persentase (%)


Ada masalah emosional 51 51.5
Tidak ada masalah emosional 48 48.5
Total 99 100.0

Berdasarkan tabel 5.5 diketahui lansia yang mempunyai masalah


emosional yaitu sebanyak 51 orang (51.5%), sedangkan lansia yang tidak
mempunyai masalah emosional yaitu sebanyak 48 orang (48.5%).

6. Distribusi frekuensi responden berdasarkan polamakan.


Tabel 5.6
Distribusi frekuensi pola makan pada lansia di Posbindu wilayah
kerja Puskesmas Bugel Kota Tangerang Tahun 2017
Pola makan Frekuensi (n) Persentase (%)
Buruk 45 45.5

21
Baik 54 54.5
Total 99 100.0

Berdasarkan tabel 5.6 diketahui lansia yangpolamakannyaburukyaitu


sebanyak 45 orang (45.5%), sedangkanlansia yangpolamakannyabaikyaitu
sebanyak 54 orang (54.5%).

7. Distribusi frekuensi responden berdasarkan gaya hidup.


Tabel 5.7
Distribusi frekuensi gaya hidup pada lansia di Posbindu wilayah kerja
Puskesmas Bugel Kota Tangerang Tahun 2017
Gaya hidup Frekuensi (n) Persentase (%)
Buruk 41 41.4
Baik 58 58.6
Total 99 100.0

Berdasarkan tabel 5.7 diketahui lansia yanggayahidupnyaburukyaitu


sebanyak 41 orang (41.4%), sedangkanlansia yanggayahidupnyabaikyaitu
sebanyak 58 orang (58.6%).

8. Distribusi frekuensi responden berdasarkan obesitas


Tabel 5.8
Distribusi frekuensiobesitaspadalansia di Posbindu wilayah kerja
Puskesmas Bugel Kota Tangerang Tahun 2017
Obesitas Frekuensi (n) Persentase (%)
Obesitas 51 51.5
Tidak obesitas 48 48.5
Total 99 100.0

Berdasarkan tabel 5.8 diketahui lansia yangobesitasyaitu sebanyak 51


orang (51.5%), sedangkan lansia yang tidak obesitas yaitu sebanyak 48
orang (48.5%).

A. Hasil Analisis Bivariat


Analisis bivariat yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui hubungan
antara variabel bebas yaitu usia, jenis kelamin, riwayat keluarga, stress psikologis,
polamakan, gaya hidup dan obesitas dengan variabel terikat yaitu hipertensi pada
lansia. Secara jelas, hasil analisis bivariat akan disajikan dalam beberapa tabel
berikut.

22
1. Hubungan usia dengan hipertensi pada lansia
Tabel 5.9
Hubungan usia dengan hipertensi pada lansia di Posbindu wilayah kerja
Puskesmas Bugel Kota Tangerang Tahun 2017

Usia Hipertensi pada Total p value OR


lansia (Odds
Hipertensi Tidakhi N % Ratio)
pertensi
n % n %
≥ 60 tahun 21 43.7 27 56.3 48 100.0 0.018 3.189
< 60 tahun 10 19.6 41 80.4 51 100.0
Total 31 31.3 68 68.7 99 100.0

Hasil analisis hubungan usia dengan hipertensi pada lansia, diketahui


lansia yang berusia ≥ 60 tahun ada 21 orang ( 43.7%) yang menderita
hipertensi dan lansia yang berusia< 60 tahun ada 10 orang (19.6%) yang
menderita hipertensi. Sedangkan dari lansia yang berusia ≥ 60 tahun ada 27
orang (56.3%) yang tidak menderita hipertensi dan lansia yang berusia < 60
tahun ada 41 orang (80.4%) yang tidak menderita hipertensi.
Hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,018artinya p < alpha
(0,05) dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara usia dengan
hipertensi pada lansia.
Hasil analisis juga diperoleh nilai OR (Odds Ratio) = 3,189 artinya
lansia yang berusia <60 tahun mempunyai peluang 3,189 kali untuk tidak
menderita hipertensi dibandingkan dengan lansia yang berusia ≥ 60 tahun.

2. Hubungan jenis kelamin dengan hipertensi pada lansia


Tabel 5.10
Hubungan jenis kelamin dengan hipertensi pada lansia di Posbind
wilayah kerja Puskesmas Bugel Kota Tangerang Tahun 2017

Jenis kelamin Hipertensi pada lansia Total p OR


Hipertensi Tidak N % value (Odds
hipertensi Ratio)
n % n %
Perempuan 22 44.0 28 56.0 50 100.0 0.011 3.492
Laki - laki 9 18.3 40 81.7 49 100.0
Total 31 31.3 68 68.7 99 100.0

Hasil analisis hubungan jenis kelamin dengan hipertensi pada lansia,


diketahui lansia yang berjenis kelamin perempuan ada 22 orang (44.0%)

23
yang menderita hipertensi dan lansia yang berjenis kelamin laki – laki ada 9
orang ( 18.3%) yang menderita hipertensi. Sedangkan dari lansia yang
berjenis kelamin perempuan ada 28 orang (56%) yang tidak menderita hi
pertensi dan dari lansia yang berjenis kelamin laki – laki ada 40 orang
(81.7%) yang tidak menderita hipertensi.
Hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,011artinya p < alpha
(0,05) dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara jeniskelamin
denganhipertensipadalansia.
Hasil analisis juga diperoleh nilai OR (Odds Ratio) = 3,492 artinya
lansia yang berjenis kelamin laki – laki mempunyai peluang 3,492 kali untuk
tidak menderita hipertensi dibandingkan dengan lansia yang berjenis
kelamin perempuan.

3. Hubungan riwayat keluarga dengan hipertensi pada lansia


Tabel 5.11
Hubungan riwayat keluarga dengan hipertensi pada lansia di Posbindu
wilayah kerja Puskesmas Bugel Kota Tangerang Tahun 2017

Riwayat Hipertensi pada lansia Total p OR


keluarga Hipertensi Tidak N % value (Odds
hipertensi Ratio)
n % n %
Ada 21 53.8 18 46.2 39 100.0 0.000 5.833
Tidakada 10 16.7 50 83.3 60 100.0
Total 31 31.3 68 68.7 99 100.0

Hasil analisis hubungan riwayat keluarga dengan hipertensi pada


lansia, diketahui lansia yang mempunyai riwayat keluarga ada 21 orang (
53.8%) yang menderita hipertensi dan lansia yang tidak mempunyai riwayat
keluarga ada 10 orang (16.7%) yang menderita hipertensi. Sedangkan lansia
yang mempunyai riwayat keluarga ada 18 orang (46.2%) tidak menderita
hipertensi dan ada 50 orang (83.3%) yang tidak mempunyai riwayat
keluarga tidak menderita hipertensi.
Hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,000artinya p < alpha
(0,05) dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara riwayat
keluarga dengan hipertensi pada lansia.
Hasil analisis juga diperoleh nilai OR (Odds Ratio) = 5,833 artinya
lansia yang tidak mempunyai riwayat keluarga hipertensi mempunyai
peluang 5,833 kali untuk tidak menderita hipertensi dibandingkan dengan
lansia yang mempunyai riwayat keluarga hipertensi.

24
4. Hubungan stress psikologis dengan hipertensi pada lansia
Tabel 5.12
Hubungan stress psikologis dengan hipertensi pada lansia di Posbindu
wilayah kerja Puskesmas BugelKota Tangerang Tahun 2017

Stress Hipertensi pada lansia Total p OR


psikologis Hipertensi Tidak N % value (Odds
hipertensi Ratio)
n % n %
Ada masalah 24 47.1 27 52.9 51 100.0 0.001 5.206
emosional
Tidak ada 7 14.6 41 85.4 48 100.0
masalah
emosional
Total 31 31.3 68 68.7 99 100.0

Hasil analisis hubungan stress psikologis dengan hipertensi pada


lansia, diketahui lansia yang ada masalah emosional ada 24 orang (47.1%)
yang menderita hipertensi dan lansia yang tidak ada masalah emosional ada
7 orang (14.6%) yang menderitahipertensi.Sedangkanlansia yang ada
masalah emosional ada 27 orang (52.9%) yang tidak menderita hipertensi
dan lansia yang tidak ada masalah emosional ada 41 orang (85.5%) yang
tidak menderita hipertensi.
Hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,001artinya p < alpha
(0,05) dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara stress
psikologis dengan hipertensi pada lansia.
Hasil analisis juga diperoleh nilai OR (Odds Ratio) = 5,206 artinya
lansia yang tidak mempunyai masalah emosional mempunyai peluang 5,206
kali untuk tidak menderita hipertensi dibandingkan dengan lansia yang
mempunyai masalah emosional.

5. Hubungan pola makan dengan hipertensi pada lansia


Tabel 5.13
Hubungan polamakandenganhipertensipadalansia di Posbindu
wilayah kerja Puskesmas Bugel Kota Tangerang Tahun 2017

Pola makan Hipertensi pada lansia Total p OR


Hipertensi Tidak N % value (Odds
hipertensi Ratio)
n % n %
Buruk 23 51.1 22 48.9 45 100.0 0.000 6.011
Baik 8 14.8 46 85.2 54 100.0
Total 31 31.3 68 68.7 99 100.0

25
Hasil analisis hubungan pola makan dengan hipertensi pada lansia,
diketahui lansia yang pola makannya buruk ada 23 orang (51.1%) yang
menderita hipertensi dan lansia yang pola makannya baik ada 8 orang
(14.8%) yang menderita hipertensi. Sedangkan dari lansia yang pola
makannya buruk ada 22 orang (48.9%) yang tidak menderita hipertensi dan
lansia yang pola makannya baik ada 46 orang (85.2%) yang
tidakmenderitahipertensi.
Hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,000artinya p < alpha
(0,05) dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara
polamakandenganhipertensipadalansia.
Hasil analisis juga diperoleh nilai OR (Odds Ratio) = 6,011 artinya
lansia yang pola makannya baik mempunyai peluang 6,011 kali untuk tidak
menderita hipertensi dibandingkan dengan lansia yang polamakannya
buruk.

6. Hubungan gaya hidup dengan hipertensi pada lansia


Tabel 5.14
Hubungan gaya hidup dengan hipertensi pada lansia di Posbindu wilayah
kerja Puskesmas Bugel Kota Tangerang Tahun 2017

Gaya hidup Hipertensi pada lansia Total p OR


Hipertensi Tidak N % value (Odds
hipertensi Ratio)
n % n %
Buruk 19 46.3 22 53.7 41 100.0 0.013 3,311
Baik 12 20.7 46 79.3 58 100.0
Total 31 31.3 68 68.7 99 100.0

Hasil analisis hubungan gaya hidup dengan hipertensi pada lansia,


diketahui lansia yang gaya hidupnya buruk ada 19 orang (46.3%) yang
menderita hipertensi dan lansia yang gaya hidupnya baik ada 12 orang (
20.7%) yang menderita hipertensi. Sedangkan lansia yang gaya hidupnya
buruk ada 22 orang (53.7%) yang tidak menderita hipertensi dan lansia yang
gayahidupnya baik ada 46 orang (79.3%) yang tidak menderita hipertensi
Hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,013artinya p < alpha
(0,05) dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara gaya hidup
dengan hipertensi pada lansia.
Hasil analisis juga diperoleh nilai OR (Odds Ratio) = 3,311 artinya
lansia yang gaya hidupnya baik mempunyai peluang 3,311 kali untuk tidak
menderita hipertensi dibandingkan dengan lansia yang gaya hidupnya buruk.

26
7. Hubungan obesitas dengan hipertensi pada lansia

Tabel 5.15
Hubungan obesitas dengan hipertensi pada lansia di Posbindu
wilayah kerja Puskesmas Bugel Kota Tangerang Tahun 2017

Obesitas Hipertensi pada lansia Total p OR


Hipertensi Tidak N % value (Odds
hipertensi Ratio)
n % n %
Obesitas 26 51.0 25 49.0 51 100.0 0.000 8,944
Tidak obesitas 5 10.4 43 89.6 48 100.0
Total 31 31.3 68 68.7 99 100.0

Hasil analisis hubungan obesitas dengan hipertensi pada lansia,


diketahui lansia yang obesitas ada 26 orang (51.0%) yang menderita
hipertensi dan lansia yang tidak obesitas ada 5 orang (10.4%) yang
menderita hipertensi. Sedangkan lansia yang obesitas ada 25 orang (49%)
yang tidak menderita hipertensi dan lansia yang tidak obesitas ada 43 orang
(89.6%) yang tidak hipertensi
Hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,000 artinya p < alpha
(0,05) dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara obesitas
dengan hipertensi pada lansia.
Hasil analisis juga diperoleh nilai OR (Odds Ratio) = 8,944 artinya
lansia yang tidak obesitas mempunyai peluang 8,944 kali untuk tidak
menderita hipertensi dibandingkan dengan lansia yang obesitas.

E. PEMBAHASAN
1. Analisis Univariat
a. Distribusi frekuensi kejadian hipertensi pada lansia.
Masih terdapat 68,7% lansia yang tidak menderita hipertensi yang mana
hal ini dikarenakan Lansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas Bugel sudah
mulai memanfaatkan kegiatan Posyandu dan Posbindu diwilayahnya sehingga
mereka dapat memantau kesehatannya secara berkala terutama tekanan darahnya.
b. Distribusi frekuensi responden berdasarkan usia.
Masih terdapat 51,5% lansia yang berusia < 60 tahun yang mana hal ini
dikarenakan rata – rata lansia yang sudah berusia > 60 tahun lebih memilih pulang
kekampung halaman daerah asalnya.
c. Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin.
Masih terdapat 50,5% lansia dengan jenis kelamin perempuan yang
mana hal ini dikarenakan banyak lansia perempuan yang sudah menjadi single
parent ( ditinggal meninggal oleh suaminya ).
d. Distribusi frekuensi responden berdasarkan riwayat keluarga.

27
Masih terdapat 60,6% lansia yang tidak mempunyai riwayat keluarga
hipertensi yang mana hal ini dimungkinkan karena memang tidak adanya
riwayat keluarga yang hipertensi atau memang tidak terdeteksi adanya
hipertensi pada keluarga lainnya.

e. Distribusi frekuensi responden berdasarkan stress psikologis.


Masih terdapat 51,5 % lansia yang mempunyai masalah emosional yang
dikarenakan sebagian besar lansia mengasuh dan mengurus semua keperluan
cucu –cucunya tanpa didampingi oleh asisten rumah tangga sedangkan anak dan
menantunya bekerja.
f. Distribusi frekuensi responden berdasarkan pola makan.
Masih terdapat 54,5% lansia yang pola makannya baik hal ini
dikarenakan lokasi pasar yang berada didekat pemukiman penduduk sehingga
memudahkan untuk mendapatkan kebutuhan sehari – hari termasuk untuk menu
makanan sayur dan buah dan makanan segar lainnya.
g. Distribusi frekuensi responden berdasarkan gaya hidup.
Masih terdapat 58,6% lansia dengan gaya hidup baik hal ini dikarenakan
wilayah tersebut sudah dicanangkan sebagai Kampung Sehat oleh Pemerintah
sehingga penerapan PHBS ( Pola hidup bersih dan sehat ) sudah mulai
diterapkan dalam kehidupan sehari – hari.

h. Distribusi frekuensi responden berdasarkan obesitas.


Masih terdapat 51,5% lansia yang obesitas yang mana hal ini
dikarenakan sebagian besar penduduk setempat merupakan pendatang dari suku
jawa yang sangat menyukai makanan manis (teh manis, kue-kue) juga makanan
sehari – hari yang cenderung manis. Sehingga kalori dari gula yang relative akan
berlebihan dan mengakibatkan obesitas.

F. Analisis Bivariat
1. Hubungan usia dengan hipertensi pada lansia.
Hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,018 artinya p < alpha (0,05)
dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara usia dengan hipertensi
pada lansia. Dari hasil analisis juga diperoleh nilai OR (Odds Ratio) = 3,189
artinya lansia yang berusia < 60 tahun mempunyai peluang 3,189 kali untuk
tidak menderita hipertensi dibandingkan dengan lansia yang berusia ≥ 60 tahun.
Hal ini sesuai dengan teori dari Takasihaeng, J, 2007 bahwa tekanan
darah tinggi biasa ditemui pada pasien yang sudah berusia lanjut (lansia ). Hal
ini erat hubungannya dengan proses menua pada seseorang. dimana terjadi
perubahan berupa berkurangnya elastisitas pembuluh darah, sehingga terjadi
kekakuan pembuluh darah. Demikian pula menurut Bustan, M, 2007 bahwa
dimulai dengan aterosklerosis yaitu gangguan elastisitas pembuluh darah yang
berlanjut dengan kekakuan pembuluh darah. Kekakuan pembuluh darah disertai
dengan penyempitan dan kemungkinan pembesaran plaque yang menghambat
peredaran darah. Kekakuan dan kelambanan aliran darah menyebabkan beban

28
jantung bertambah berat yang akhirnya terjadi dekompensasi dengan
peningkatan upaya pemompaan jantung yang memberikan gambaran
peningkatan tekanan darah dalam sistem sirkulasi.
Berdasarkan hasil penelitian Pramana, Y, 2016 diperoleh ada hubungan
yang signifikan antara usia dengan hipertensi diwilayah kerja Puskesmas Demak
II dengan p valuae 0,026. Demikian pula dengan penelitian dari Anggara, D,
dkk, 2012 di Puskesmas Telaga Murni Cikarang Barat dengan p value 0,000.
Sedangkan berdasarkan penelitian dari Manik, E, 2011 di Posyandu
lansia wilayah kerja Puskesmas Parsoburan Kecamatan Siantar Marihat
Pematangsiantar diperoleh nilai p value 0,605 yang artinya tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara usia dengan kejadian hipertensi. Demikian pula
dengan penelitian dari Novitaningtyas, T, 2014 di Kelurahan Makamhaji
Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo dengan p value 0,148.
Analisis penulis bahwa usia memang mempengaruhi hipertensi pada
lansia karena sebagian besar lansia yang menderita hipertensi berusia ≥ 60 tahun
yang mana aktifitas fisiknya sudah berkurang karena sudah tidak mampu lagi
melakukan aktifitas yang agak berat sehingga ada penumpukan kalori yang lama
kelamaan menjadi obesitas yang merupakan salah satu faktor resiko dari
hipertensi pada lansia. Pada penelitian ini pula didapat mayoritas lansianya
berusia < 60 tahun sehingga angka hipertensi pada lansia di Posbindu wilayah
kerja Puskesmas Bugel masih dapat dicegah dengan dukungan petugas
kesehatan.
2. Hubungan jenis kelamin dengan hipertensi pada lansia
Hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,011 artinya p < alpha (0,05)
dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan
hipertensi pada lansia. Dari hasil analisis juga diperoleh nilai OR (Odds Ratio)
= 3,492 artinya lansia yang berjenis kelamin laki – laki mempunyai peluang
3,492 kali untuk tidak menderita hipertensi dibandingkan dengan lansia yang
berjenis kelamin perempuan.
Hal ini disebabkan karena terdapatnya hormon estrogen pada wanita.
Hingga usia 55 tahun hipertensi lebih banyak ditemukan pada pria. Namun
setelah terjadi menopause (biasanya setelah usia 50 tahun), tekanan darah pada
wanita meningkat terus, hingga usia 75 tahun tekanan darah tinggi lebih banyak
ditemukan pada wanita dari pada pria (Mc Gowan, M, 2007).
Berdasarkan hasil penelitian Chintyawati, Y, 2011 di Puskesmas Lidah
Kulon Kota Surabaya diperoleh ada hubungan yang signifikan antara jenis
kelamin dengan hipertensi dengan p valuae 0,018.
Sedangkan berdasarkan penelitian dari Manik, E, 2011 di Posyandu
lansia wilayah kerja Puskesmas Parsoburan Kecamatan Siantar Marihat
Pematangsiantar diperoleh nilai p value 0,789 yang artinya tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian hipertensi.
Demikian pula dengan penelitian dari Anggara, D,dkk, 2012 di Puskesmas
Telaga Murni Cikarang Barat dengan p value 0,355.

29
Analisis penulis bahwa jenis kelamin memang berhubungan dengan
hipertensi pada lansia karena sebagian besar lansia yang hipertensi berjenis
kelamin perempuan yang sudah berusia > 50 tahun dan sudah menopause yang
mengakibatkan berkurangnya produksi hormon estrogen yang merupakan salah
satu faktor resiko dari hipertensi pada lansia. Selain itu sebagian besar responden
adalah lansia perempuan yang merupakan single parent yang menanggung
beban rumah tangga seorang diri sehingga dapat mengakibatkan hipertensi.
3. Hubungan riwayat keluarga dengan hipertensi pada lansia
Hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,000 artinya p < alpha (0,05)
dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara riwayat keluarga
dengan hipertensi pada lansia. Dari hasil analisis juga diperoleh nilai OR (Odds
Ratio) = 5,833 artinya lansia yang tidak mempunyai riwayat keluarga hipertensi
mempunyai peluang 5,833 kali untuk tidak menderita hipertensi dibandingkan
dengan lansia yang mempunyai riwayat keluarga hipertensi.
Menurut Palmer, A dan Bryan Williams, 2007 tekanan darah seorang
anak akan lebih mendekati tekanan darah orangtuanya bila mereka memiliki
hubungan darah dibandingkan dengan anak adopsi. Hal ini menunjukkan bahwa
gen yang diturunkan, dan bukan hanya faktor lingkungan (seperti makanan atau
status sosial), berperan besar dalam menentukan tekanan darah.
Berdasarkan hasil penelitian Pramana, Y, 2016 diperoleh ada hubungan
yang signifikan antara riwayat keluarga dengan hipertensi diwilayah kerja
Puskesmas Demak II dengan p valuae 0,003. Demikian pula penelitian dari
Manik, E, 2011 di Posyandu lansia wilayah kerja Puskesmas Parsoburan
Kecamatan Siantar Marihat Pematangsiantar diperoleh nilai p value 0,000.
Analisis penulis bahwa riwayat keluarga memang mempengaruhi
hipertensi pada lansia karena dari hasil wawancara yang telah dilakukan didapat
bahwa sebagian besar lansia yang menderita hipertensi mempunyai orang tua (
Ayah, Ibu, Kakek, Nenek ) atau keluarga lain yang menderita hipertensi
sebelumnya. Selain itu sebagian besar lansia tidak mempunyai riwayat keluarga
hipertensi sehingga angka hipertensi pada lansia di Posbindu wilayah kerja
Puskesmas Bugel masih dapat dicegah dengan dukungan petugas kesehatan.
4. Hubungan stress psikologis dengan hipertensi pada lansia
Hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,001 artinya p < alpha (0,05)
dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara stress psikologis dengan
hipertensi pada lansia. Dari hasil analisis juga diperoleh nilai OR (Odds Ratio)
= 5,206 artinya lansia yang tidak mempunyai masalah emosional mempunyai
peluang 5,206 kali untuk tidak menderita hipertensi dibandingkan dengan lansia
yang mempunyai masalah emosional.
Baron dan Byrne (2007) menyatakan bahwa stress adalah respon
terhadap persepsi kejadian fisik atau psikologis dari individu sebagai sesuatu
yang potensial menimbulkan bahaya atau tekanan emosional. Hubungan antara
stress dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis, yang dapat
meningkatkan tekanan darah secara bertahap. Stress atau ketegangan jiwa (rasa
tertekan, murung, bingung, cemas, berdebar-debar, rasa marah, dendam, rasa

30
takut, rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon
adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga
tekanan darah akan meningkat. Jika stress berlangsung cukup lama, tubuh
berusaha mengadakan penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau
perubahan patologis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit
maag.
Berdasarkan hasil penelitian Fitriani, A, 2012, di Kecamatan Cilandak,
Jakarta Selatan diperoleh ada hubungan yang signifikan antara stress dengan
hipertensi dengan p valuae 0,015. Demikian pula penelitian dari Andria, K, 2013
di Sukolilo Surabaya dengan p value 0,047.
Analisa penulis bahwa stress psikologis memang mempengaruhi
hipertensi pada lansia karena sebagian besar lansia mengalami sukar tidur yang
disebabkan adanya permasalahan dalam keluarga seperti masalah dengan anak,
suami, istri, serta anggota keluarga lain yang tidak pernah diutarakan kepada
oranglain tetapi lebih memilih untuk diam dan hanya dipendam dalam hati.
Selain itu juga sebagian besar responden lansia berstatus istri kepala rumah
tangga yang mengurus masalah keuangan dan kebutuhan rumah tangga yang
memicu timbulnya stress pada ibu rumah tangga. Mereka kebanyakan bingung
dalam mengelola keuangan untuk kebutuhan yang semakin meningkat dengan
pendapatan yang tetap. Hal ini membuat mereka tidak bisa mengelola keuangan
dengan baik sehingga hal tersebut menjadi beban pikiran dan menimbulkan
stress. Sedangkan pada lansia wanita yang sudah mengalami menopause stress
psikologis muncul berupa mudah tersinggung, sukar tidur, tertekan, gugup,
kesepian, tidak sabar tegang dan cemas yang mana hal ini merupaka efek dari
penurunan hormon estrogen yang merupakan salah satu faktor resiko terjadinya
hipertensi pada lansia. Selain itu juga dikarenakan sebagian besar mengasuh dan
mengurus semua keperluan cucu –cucunya tanpa didampingi oleh asisten rumah
tangga sedangkan anak dan menantunya bekerja yang mengakibatkan mereka
stress sehingga dapat mengakibatkan hipertensi.
5. Hubungan pola makan dengan hipertensi pada lansia
Hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,000 artinya p < alpha (0,05)
dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara pola makan dengan
hipertensi pada lansia. Dari hasil analisis juga diperoleh nilai OR (Odds Ratio)
= 6,011 artinya lansia yang berpola makan baik mempunyai peluang 6,011 kali
untuk tidak menderita hipertensi dibandingkan dengan lansia yang pola
makannya buruk.
Sesuai dengan teori dari Palmer, A dan Bryan Williams. 2007 yang
mengatakan bahwa lemak trans (ditemukan pada makanan yang diproses,
misalnya biskuit dan margarin) dan lemak jenuh (ditemukan pada mentega,
cake, pastry, biskuit, produk daging, dan krim) telah terbukti dapat
meningkatkan kadar kolesterol dalam darah. Kolesterol yang terlalu tinggi
dalam darah dapat mempersempit arteri, bahkan dapat menyumbat peredaran
darah. Sedangkan Vegetarian mempunyai tekanan darah lebih rendah dibanding

31
pemakan daging dan diet vegetarian pada penderita hipertensi dapat
menurunkan tekanan darah ( Bustan, M. 2007 ).
Berdasarkan hasil penelitian Anggara, D, dkk, 2012 di Puskesmas
Telaga Murni Cikarang Barat diperoleh ada hubungan yang signifikan antara
pola makan dengan hipertensi dengan p valuae 0,000. Demikian pula dengan
penelitian dari Muliyati, H, dkk, 2011 di RSUP DR Wahidin Sudirohusodo
Makassar dengan p value 0,000.
Sedangkan berdasarkan penelitian dari Pramana, Y, 2016 diwilayah
kerja Puskesmas Demak II diperoleh nilai p value 0,678 yang artinya tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara pola makan dengan kejadian
hipertensi. Demikian pula dengan penelitian dari Wijaya, S, 2015 didusun
Sungupan Tirtorahayu Kulonprogo Yogyakarta dengan p value 0,283.
Analisa penulis bahwa pola makan memang mempengaruhi hipertensi
pada lansia karena sebagian besar lansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas
Bugel mengkonsumsi daging ayam, susu yang mengandung lemak dan
gorengan yang banyak mengandung minyak. Sebagian besar lansia juga
mengkonsumsi garam yang berlebihan pada saat memasak seperti ikan asin dan
makanan olahan dan kalengan seperti sarden dan nugget. Sedangkan untuk
konsumsi sayur dan buah sebagian besar lansia hanya makan sayur dan buah
sehari 2 porsi dan itupun tidak setiap hari. Dari hasil penelitian didapat pula
sebagian besar lansia pola makannya baik hal ini dikarenakan lokasi pasar yang
berada didekat pemukiman penduduk sehingga memudahkan untuk
mendapatkan kebutuhan sehari – hari termasuk untuk menu makanan sayur dan
buah dan makanan segar lainnya. Dengan demikian angka hipertensi pada lansia
di Posbindu wilayah kerja Puskesmas Bugel masih dapat dicegah dengan
dukungan petugas kesehatan.
6. Hubungan gaya hidup dengan hipertensi pada lansia
Hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,013 artinya p < alpha (0,05)
dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara gaya hidup dengan
hipertensi pada lansia. Dari hasil analisis juga diperoleh nilai OR (Odds Ratio)
= 3,311 artinya lansia yang gaya hidupnya baik mempunyai peluang 3,311 kali
untuk tidak menderita hipertensi dibandingkan dengan lansia yang gaya
hidupnya buruk.
Sesuai teori dari Sheldon, G, S (2007), Olahraga banyak dihubungkan
dengan pengelolaan hipertensi, karena olahraga yang teratur dapat menurunkan
tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah.
Berdasarkan hasil penelitian Anggara, D, dkk, 2012 di Puskesmas
Telaga Murni Cikarang Barat diperoleh ada hubungan yang signifikan antara
gaya hidup dengan hipertensi dengan p valuae 0,000. Demikian pula dengan
penelitian dari Pramana, Y, 2016 diwilayah kerja Puskesmas Demak II
diperoleh nilai p value 0,013.
Sedangkan berdasarkan penelitian dari Manik, E, 2011 di Posyandu
lansia wilayah kerja Puskesmas Parsoburan Kecamatan Siantar Marihat

32
Pematangsiantar diperoleh nilai p value 0,772 yang artinya tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara gaya hidup dengan kejadian hipertensi.
Analisa penulis bahwa gaya hidup memang mempengaruhi hipertensi
pada lansia karena salah satu penyebabnya adalah sebagian besar lansia yang
hipertensi tidak melakukan olahraga karena keadaan fisiknya yang tidak
memungkinkan seperti sudah tua dan kesibukan mengurus pekerjaan rumah
tangga. Faktor lain juga karena kurang maksimalnya program senam lansia yang
diadakan di Posbindu yang mana pelaksanaannya hanya sebulan sekali yaitu
pada saat hari Posbindu saja. Dari hasil penelitian didapat pula sebagian besar
lansia dengan gaya hidup baik hal ini dikarenakan wilayah tersebut sudah
dicanangkan sebagai Kampung Sehat oleh Pemerintah sehingga penerapan
PHBS ( Pola hidup bersih dan sehat ) sudah mulai diterapkan dalam kehidupan
sehari – hari. Dengan demikian angka hipertensi pada lansia di Posbindu
wilayah kerja Puskesmas Bugel masih dapat dicegah dengan dukungan petugas
kesehatan.
7. Hubungan obesitas dengan hipertensi pada lansia
Hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,000 artinya p < alpha (0,05)
dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara obesitas dengan
hipertensi pada lansia. Dari hasil analisis juga diperoleh nilai OR (Odds Ratio)
= 8,944 artinya lansia yang tidak obesitas mempunyai peluang 8,944 kali untuk
tidak menderita hipertensi dibandingkan dengan lansia yang obesitas.
Obesitas meningkatkan risiko terjadinya hipertensi karena beberapa
sebab. Makin besar massa tubuh, makin banyak darah yang dibutuhkan untuk
memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Ini berarti volume darah yang
beredar melalui pembuluh darah menjadi meningkat sehingga memberi tekanan
lebih besar pada dinding arteri. Berat badan dan Indeks Massa Tubuh (IMT)
berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik.
Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang obesitas 5 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan seorang yang berat badannya normal (Ganong W. F,
2003).
Berdasarkan hasil penelitian Anggara, D, dkk, 2012 di Puskesmas
Telaga Murni Cikarang Barat diperoleh ada hubungan yang signifikan antara
obesitas dengan hipertensi dengan p valuae 0,000. Demikian pula dengan
penelitian dari Oviyanti, N, 2010 di Surakarta diperoleh nilai p value 0,003.
Sedangkan berdasarkan penelitian dari Pramana, Y, 2016 diwilayah
kerja Puskesmas Demak II diperoleh nilai p value 0,272 yang artinya tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara obesitas dengan kejadian hipertensi.
Demikian pula dengan penelitian dari Manik, E, 2011 di Posyandu lansia
wilayah kerja Puskesmas Parsoburan Kecamatan Siantar Marihat
Pematangsiantar diperoleh nilai p value 0,301.
Analisa penulis bahwa obesitas memang mempengaruhi hipertensi pada
lansia karena sebagian besar lansia mengkonsumsi gula untuk membuat teh dan
makanan lain yang berakibat dapat menaikkan berat badan dan juga karena
kurangnya aktifitas fisik para lansia. Akibatnya jumlah kalori yang masuk dan

33
jumlah kalori yang keluar tidak seimbang Sehingga kalori dari gula akan
berlebihan dan mengakibatkan obesitas yang merupakan faktor resiko dari
hipertensi pada lansia. Dari hasil penelitian didapat pula sebagian besar lansia
yang obesitas yang mana hal ini dikarenakan sebagian besar penduduk setempat
merupakan pendatang dari suku jawa yang sangat menyukai makanan manis
(teh manis, kue-kue) juga makanan sehari – hari yang cenderung manis.
Sehingga kalori dari gula yang relative berlebihan dan mengakibatkan obesitas
sehingga dapat mengakibatkan hipertensi.

34
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Dari hasil penelitian hipertensi pada lansia di Posbindu wilayah kerja
Puskesmas Bugel tahun 2017 di dapat angka kejadian lansia yang hipertensi yaitu
sebanyak 31,3%, sedangkan lansia yang tidak hipertensi sebanyak 68,7% yang
artinya hamper sepertiga dari lansia yang berkunjung ke Posbindu menderita
hipertensi.
Dari hasil penelitian ini pula didapat lansia yang berusia< 60 tahun yaitu
sebanyak 51,5%, lansia yang berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 50,5%,
lansia yang tidak mempunyai riwayat keluarga hipertensi yaitu sebanyak 60,6%,
lansia yang mempunyai masalah emosional yaitu sebanyak 51,5%, lansia yang
polamakannya baik yaitu sebanyak 53,5%, lansia yang gaya hidupnya baik yaitu
sebanyak 58,6%, dan lansia yang obesitas yaitu sebanyak 51,5%.
Dari hasil uji statistic didapat adanya hubungan yang signifikan antara usia(
p value = 0.018danOR 3.189), jenis kelamin( p value = 0.011danOR 3.492), riwayat
keluarga( p value = 0.000danOR 5.833), stress psikologis( p value = 0.001danOR
5.206), polamakan( p value = 0.000 dan OR 6.011), gayahidup ( p value = 0.013 da
OR 3.311), dan obesitas ( p value = 0.000 dan OR 8.944) dengan hipertensi pada
lansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas Bugel tahun 2017.

B. Saran
1. Bagi Puskesmas Bugel Kota Tangerang.
Hendaknya dapat meningkatkan cakupan kunjungan Posbindu di
wilayah kerjanya dengan cara berkoordinasi dengan tokoh masyarakat setempat,
membentuk Posbindu di majelis talim – majelis talim yang ada, advokasi atau
meminta dukungan dari pihak Kelurahan yang ada di wilayah kerja setempat,
meningkatkan pengetahuan lansia tentang hipertensi dengan cara penyuluhan
baik kelompok maupun melalui konseling individu di setiap Posbindu, membuat
brosur atau leaflet berupa gambar - gambar yang menarik dan mudah dipahami
oleh lansia tentang hipertensi.membuat spanduk yang isinya tentang ajakan
untuk dating ke Posbindu dan pemeriksaan kesehatan yang dilakukan di
Posbindu.
2. Bagi lansia penderita hipertensi.
Agar dapat memeriksakan tekanan darahnya secara rutin setiap bulannya
ke Posbindu terdekat selain untuk mendapat pengobatan yang rutin juga
diberitahu tentang diet dan polahidup yang baik agar hipertensinya lebih
terkontrol termasuk menigkatkan aktifitas fisiknya dengan berolahraga yang
aman untuk lansia seperti berjalan kaki atau berenang.

35
DAFTAR PUSTAKA

Afriani, N, (2013), Hubungan Pola Makan, Aktivitas Fisik Dengan Status Gizi
Dan Prestasi Belajar Siswa / Siswi Kelas 2 SLTP Negeri 2 Karawang.Jakarta :
Skripsi Universitas Esa Unggul. ( diunduh tanggal 20 Maret 2017, pukul 20.00
wib )
Anggara, D, dkk, (2012), Faktor – faktor yang berhubungan dengan tekanan darah di
Puskesmas Telaga Murni Cikarang Barat.( diunduh 28 Mei 2017, Pukul 21.00
Wib )
Andria, K, ( 2013), Hubungan antara perilaku olah raga, stress dan pola makan dengan
hipertensi pada lanjut usia di Posyandu lansia Kelurahan Gebang Putih,
Kecamatan Sukolilo, Kota Surabaya. (diunduh 28 Mei 2017, Pukul 21.45 Wib )
Baron, Robert A., Byrne, Donn.,& Branscombe, Nyla R. (2007). Social Psychology.
New York: McGraw Hill.
Bustan, M, (2007), Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Cetakan Kedua. Rineka
Cipta. : Jakarta
Badan Pusat Statistik Republik Indonesia,( 2011), Penduduk Menurut Golongan
Umur, Daerah Perkotaan/ Pedesaan, dan Jenis Kelamin, Indonesia.( diun duh
tanggal 20 Maret 2017, pukul 20.30 wib )
Caballero B, (2008), Nutrition Paradox-underweight and obesity in developing
countries. N Engl. J. Med. 352:1514-1516.
Chintyawati, Y, (2011), Hubungan pengetahuan, sikap, dan dukungan keluarga dengan
tekanan darah terkontrol pada penderita hipertensi di Posyandu lansia
Puskesmas Lidah Kulon. ( diunduh tanggal 31 Mei 2017, pukul 24.30 wib )

Depkes, RI, (2008)Pedoman Teknis Penemuan dan Tata Laksana Hipertensi. Jakarta
BadanLitbang Kesehatan;
Direktorat Jendral pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan Departemen
Kesehatan RI,(2015), Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan Tahun 2015: Jakarta ( diunduh tanggal 23 Maret 2017, pukul 20.00
wib )

36

Anda mungkin juga menyukai