Anda di halaman 1dari 12

Tugas Mini Review

PROSES FERMENTASI PADA PRODUK SOYBEAN (TEMPE) DAN


HASIL DARI FEREMNTASINYA

Rafly Eko Setiawan (2001603520)

Abstract
Fermented soybean products are consumed in many Asian countries and
are one of the potential sources of bioactive peptides. Soybean is fermented
using bacteria (Bacillus subtilis and lactic acid bacteria) and fungi (Mucor spp.,
Aspergillus spp. and Rhizopus spp.), resulting in different types of fermented
products. one of the famous soybean products is tempe. tempeh has a very large
protein content. mushrooms that play a role in making tempeh is Rhizopus
oligosporus. from the fermentation process with Rhizopus oligosporus produced
several products or reactions such as volatile gas, protein hydrolysis, and so on.
Through this mini review, it is expected to find out about the benefits and results
of fermented products, especially soybean.
Key words: Soybean, tempeh, microorganism, fermentation

1. Pendahuluan
Makanan merupakan salah satu aspek penting yang dapat menunjang
kehidupan manusia, banyak sekali jenis makanan yang dapat di konsumsi
dan juga sangat beragam inovasi yang banyak di temukan pada produk
makanan. Ada beberapa upaya yang dapat memperpanjang umur simpan
dari suatu makanan, salah satunya adalah dengan teknologi fermentasi.
Fermentasi merupakan suatu proses perubahan kimia pada suatu substrat
organik melalui aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme
(Suprihatin, 2010). Proses fermentasi dibutuhkan starter sebagai mikroba
yang akan ditumbuhkan dalam substrat. Starter merupakan populasi
mikroba dalam jumlah dan kondisi fisiologis yang siap diinokulasikan pada
media fermentasi (Prabowo, 2011). Hasil fermentasi diperoleh sebagai
akibat metabolisme mikroba-mikroba pada suatu bahan pangan dalam
keadaan anaerob. Mikroba yang melakukan fermentasi membutuhkan
energi yang umumnya diperoleh dari glukosa. Dalam keadaan aerob,
mikroba mengubah glukosa menjadi air, CO2 dan energi (ATP). Beberapa
mikroba hanya dapat melangsungkan metabolisme dalam keadaan anaerob
dan hasilnya adalah substrat yang setengah terurai. Hasil penguraiannya
adalah air, CO2, energi dan sejumlah asam organik lainnya, seperti asam
laktat, asam asetat, etanol serta bahan-bahan organik yang mudah menguap.
Perkembangan mikroba-mikroba dalam keadaan anaerob biasanya dicirikan
sebagai proses fermentasi (Muchtadi dan Ayustaningwarno 2010).
Fermentasi dilakukan terhadap suatu bahan makanan untuk mendapatkan
produk makanan baru yang dapat memperpanjang daya simpan (Farnworth,
2008). Aktifitas mikrobia pada fermentasi akan menyebabkan perubahan
kadar pH dan terbentuk senyawa penghambat seperti alkohol dan
bakteriosin yang dapat menghambat pertumbuhan mikrobia pembusuk
(Waites dkk., 2001).
Banyak sekali produk makanan yang memanfaatkan teknologi
fermentasi, seperti permbuatan yoghurt dari susu, Keju dari susu, pada
aplikasi pembuatan roti, pembuatan anggur dan fermentasi pada produk –
produk soybean. Banyak sekali industri yang memanfaatkan keuntungan
dalam memanfaat mikrobiologi baik untuk memperpanjang umur simpan
serta memberikan manfaat yang lebih kepada tubuh dan dapat
menambahkan asupan gizi. Pada review jurnal kali akan membahas lebih
dalam tentang salah kandungan dan yang terjadi dalam salah satu produk
fermentasi soybean yaitu tempe.

2. Fermentasi pada soybean


Kedelai (Soybean) adalah sumber protein nabati yang paling diakui,
yang juga berkontribusi terhadap berbagai manfaat kesehatan. Selain protein,
kedelai mengandung nutrisi dasar, seperti kandungan lipid, vitamin, mineral,
gula gratis dan mengandung isoflavon, flavanoids, saponin dan peptida yang
memiliki nilai terapeutik (Kim et al., 2006; Wang, Neal, Mark, & Elvira,
2008a). Dilihat dari segi pangan dan gizi, kedelai merupakan sumber protein
yang paling murah di dunia. Berbagai varietas kedelai yang ada di Indonesia
mempunyai kadar protein 30,53 sampai 44%, sedangkan kadar lemaknya 7,5
sampai 20,9% (Koswara 1995). Meskipun kadar lemaknya tinggi (sekitar
18%), tetapi kadar lemak jenuh dan nilai kalorinya rendah serta bebas
kolesterol. Di dalam lemak kedelai terkandung beberapa fosfolipida penting,
yaitu lesitin, sepalin, dan lipositol (Cahyadi 2007). Zat-zat dalam kedelai
yang berfungsi menurunkan kolesterol, antara lain sterol tanaman, saponin,
dan tokotrienol. Kedelai juga dikenal paling rendah kandungan racun kimia
dan residu pestisidanya (Cahyadi 2007).
Dalam proses fermentasi kedelai, senyawa komplek yang terdapat pada
kedelai, akan di pecah menjadi molekul atau senyawa yang lebih sederhana,
hal tersebut dikarenakan oleh aktivitas bakteri. Senyawa atau molekul yang
lebih seberhana memiliki manfaat yang lebih spesifik untuk tubuh.
Ferementasi kedelai dengan mengunakan mikroorgranisme yang berbeda
dapat menambahkan biofunctionality properties yang dapat menghasilkan
lebih banyak isoflavones dan peptide. (Cho et al., 2011; Sanjukta, Rai,
Muhammed, Jeyaram, & Talukdar, 2015; Zhang, Tatsumi, Ding, & Li, 2006).
Hasil dari fermentasi kedelai adalah pelepasan peptida yang disebabkan
enzim proteolitik yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang terlibat selama
fermentasi (Rai & Jeyaram, 2015; Sanjukta et al., 2015). Peptida bioaktif
tidak aktif dalam urutan protein induk dan dilepaskan pada hidrolisis
enzimatik selama fermentasi dan pencernaan gastrointestinal. Peptida ini
adalah rantai 2-20 asam amino dan aktivitasnya tergantung pada panjang
rantai, komposisi asam amino dan urutan asam amino. Peptida meningkatkan
sifat fungsional dari makanan fermentasi dan dapat bertindak sebagai
alternatif alami untuk berbagai obat sintetis. Dalam produk kedelai yang
difermentasi, nilai-nilai terapeutik peptida yang dimediasi berbeda dengan
mikroba spesifik yang terlibat dalam proses fermentasi dan varietas kedelai
yang digunakan untuk fermentasi. Peptida bioaktif dalam kedelai yang
difermentasi telah dipelajari untuk berbagai sifat terapeutik seperti
antioksidan (Sanjukta et al., 2015; Watanabe, Fujimoto, & Aoki, 2007)
Komposisi protein pada kedelai juga dapat mempengaruhi pembentukan
peptida bioaktif. Dalam studi mereka, Gibbs et al. (2004) telah menunjukkan
bahwa glycinin adalah prekursor 95% dari peptida yang terbentuk oleh
hidrolisis protein kedelai. b-conglycinin, protein utama lainnya dalam kedelai
ditemukan resisten terhadap degradasi proteolitik bahkan oleh sistem multi-
enzim (Gibbs et al., 2004). Profil asam amino bebas dari produk fermentasi
tidak hanya tergantung pada starter yang digunakan tetapi juga pada varietas
kedelai yang digunakan untuk fermentasi. Meskipun, tingkat hidrolisis
protein pada varietas kedelai yang difermentasi dengan strain proteolitik
adalah serupa, bebas yang asam amino bertanggung jawab untuk aktivitas
antioksidan lebih tinggi pada kedelai hitam dibandingkan dengan kedelai
kuning (Sanjukta et al., 2015)

3. Jenis – jenis fermentasi pada produk Soybean


Fermentasi kedelai menghasilkan produk yang berbeda berdasarkan
banyak kriteria tetapi mikroba adalah penyebab utama untuk perbedaan karena
mereka mempengaruhi aroma, tekstur, teuraphceutical dan nilai-nilai
neutraceutical. Bacillus spp., Bakteri asam laktat (LAB) dan jamur adalah
faktor yang paling penting dalam produk kedelai yang difermentasi (Cao, Liao,
Wang, Yang, & Lu, 2009; Donkor, Henriksson, Vasiljevic, & Shah, 2005;
Gibbs et al., 2004; Kwon et al., 2007).

3.1. Fermentasi Soybean dengan bakteri


Bakteri yang biasanya digunakan dalam proses fermentasi
soybean adalah bakteri Bacillius spp. Pada fermentasi yang dilakukan
oleh bakteri Bacillius spp. Dihasilkan alkaline fermentation.
Sedangkan contoh launnya adalah pada fermentasi soymilk yaitu
dengan menggunakan bakteri Lactic Acid. Yang dihasilkan adalah
suasana acid fermentation. Bakteri disini memiliki peranan untuk
memecah dan mengaktifkan bioactive compound pada produk
soybean. Sebagai contoh adalah pada fermetasi soymilk mengunakan
bakteri yang menjadi sumber bioactive peptides dan isoflavones.
(Kitawaki et al., 2009)

3.2. Fermentasi Soybean dengan Fungi


Selain starter bakteri, jamur berfilamen juga digunakan dalam
beberapa produk fermentasi kedelai di Asia untuk memberikan
aroma, warna, dan biology activity. Produk fermentasi soybean
yang paling dikenal karena mengunakan fungi dalam
fermentasinya adalah tempe, tahu, dan douche. Contoh fungi yang
digunakan dalam fermentasi adalah Aspergillus oryzae dalam
pembuatan miso dan Rizhopus spp. Dan Fusatirium spp.
(Steinkraus, Yap, Van Buren, Provvidenti, & Hand, 1960). Dari
hasil ferementasi dengan fungi dihasilkan banyak manfaat, seperti
dalam produk tempe yang mengandung banyak manfaat kesehatan
seperti antioxidant, antimicrobial, anticancer, antihypertensive,
antithrombotic and hypocholesterolaemic effect. (Gibbs et al., 2004;
Moreno et al., 2002; Nout & Kiers, 2005)

3.3. Fermentasi Soybean dengan gabungan fungi dan bakteri.


Ada beberapa produk kedelai yang difermentasi, di mana
bakteri dan jamur digunakan dalam pengembangan akhir produk
fermentasi. seperti contohnya adalah dalam produk Doenjang-meju,
yaitu pasta kedelai fermentasi tradisional Korea, yang difermentasi
menggunakan bakteri dan jamur. Bakteri yang terlibat dalam proses
ini adalah B. subtilis dan jamur termasuk Rhizopus spp., Mucor
spp., Geotrichum spp., Dan Aspergillus spp. (Jung, Lee, & Jeon,
2014). Bakteri dan jamur dalam fermentasi tersebut berguna untuk
mengidrolisis makro molekul ke dalam bentuk yang lebih
sederhana. Dalam sebuah penelitian ditemukan bahwa fermentasi
dengan mengunakan R. oligosporus dan B. subtilis memiliki
derajat protein hidrolisi lebih tinggi di bandikan dengan single
starter (Fungi atau bakteri). (Weng & Chen, 2011)

4. Produk Soybean (Tempeh)

Terdapat banyak sekali produk fermentasi soybean seperti tempe, tahu,


soymilk, oncom, dan lain sebagainya. Semua produk fermentasi soybean
tersebut memiliki manfaat yang sangat baik untuk kesehatan. Dalam
bahasan ini akan lebih berfokus terhadap produk tempe yang nantinya akan
membahas tentang bakteri serta senyawa yang ada pada produk tempe.

4.1. Definisi tempe


Tempe merupakan salah satu produk fermentasi yang
umumnya berbahan baku kacang kedelai yang difermentasi dan
mempunyai nilai gizi yang baik bagi kesehatan. Fermentasi pada
pembuatan tempe terjadi karena adanya aktivitas dari kapang
Rhizopus oligosporus. Kapang yang tumbuh pada tempe tersebut
mampu menghasilkan beberapa enzim seperti enzim protease
yang berfungsi untuk mengurai protein menjadi peptida yang
lebih pendek dan asam amino bebas, enzim lipase yang berfungsi
untuk mengurai lemak menjadi asam-asam lemak, enzim amilase
yang berfungsi untuk mengurai karbohidrat kompleks menjadi
senyawa yang lebih sederhana. Melalui proses fermentasi, maka
komponen-komponen nutrisi yang kompleks pada kedelai dapat
dicerna oleh kapang dengan reaksi enzimatis dan akan dihasilkan
senyawa-senyawa yang lebih sederhana.
Tempe berpotensi digunakan untuk melawan radikal
bebas, sehingga dapat menghambat proses penuaan dan
mencegah penyakit degeneratif (jantung koroner, diabetes, kanker
dan lain-lain). Selain itu tempe juga mengandung zat antibakteri
penyebab diare, penurun kolesterol darah, pencegah penyakit
jantung, hipertensi, dan lain-lain. Tempe kaya akan serat pangan,
kalsium, vitamin B dan zat besi. Berbagai macam kandungan
yang terdapat dalam tempe mempunyai nilai obat dan antibiotika
untuk menyembuhkan infeksi. Tempe juga mengandung
superoksida desmutase yang mampu menghambat kerusakan sel
dan proses penuaan. Dalam sepotong tempe, terkandung berbagai
unsur yang bermanfaat, seperti protein, lemak, hidrat arang, serat
dan vitamin, enzim, serta komponen antibakteri dan zat
antioksidan yang berkhasiat sebagai obat, diantaranya fitosterol,
asam fitat, asam fenolat, lesitin dan inhibitor protease (Cahyadi,
2006).
Tempe juga termasuk kedalam makanan yang tinggi akan
protein serta lemak, Selain menjadi sumber protein dan lipid
dalam diet vegetarian, tempe menjadi menarik karena sifat gizi /
fungsionalnya yang menarik. Telah diamati bahwa produk
kedelai fermentasi, seperti tempe, miso dan natto, lebih tahan
terhadap oksidasi lipid daripada kedelai tanpa fermentasi. Kadar
isoflavon dalam tempe relatif tinggi dibandingkan produk kedelai
lainnya. Tempe mentah mengandung kadar daidzein dan
genestein tertinggi, dibandingkan dengan minuman tahu atau
kedelai. Namun, proses penggorengan tempe secara signifikan
(hingga 45%) mengurangi total isoflavon (Haron, Ismail, Azlan,
Shahar, & Peng, 2009).

4.2. Proses fermentasi pada Tempe


Fermentasi kedelai dalam proses pembuatan tempe akan
menyebabkan perubahan kimia maupun fisik pada biji kedelai,
sehingga menjadikan tempe lebih mudah dicerna oleh tubuh
dibandingkan dengan kedelai secara langsung. Tempe juga
memiliki berbagai sifat unggul diantaranya yaitu mengandung
lemak jenuh rendah, kadar vitamin B12 tinggi, mengandung
antibiotik, dan berpengaruh baik pada pertumbuhan badan.
Selain itu asam-asam amino pada tempe lebih mudah dicerna
oleh tubuh jika dibandingkan dengan kacang kedelai. Vitamin
B12 yang terdapat pada tempe diproduksi oleh sejenis bakteri
Klabsiella peumoniae. Tempe bukan saja sebagai sumber
protein, tetapi juga sebagai sumber mineral makro dan mikro
dalam jumlah yang cukup. Dalam kedelai terdapat antioksidan
faktor II (6,7,4 trihidroksi isoflavon) yang mempunyai sifat
antioksidan paling kuat dibandingkan isoflavon lainnya dalam
kedelai.
Selama proses fermentasi, pencernaan substrat secara
enzimatik, yang dapat menyebabkan peningkatan jumlah asam
amino bebas, senyawa nitrogen yang larut dalam air, asam
lemak bebas, dan pada pengembangan rasa khas. Selama
fermentasi tempe, penurunan jumlah lipid kasar yang dapat
diamati, karena lipid berfungsi sebagai sumber energi utama
bagi mikroorganisme selama proses fermentasi. Hidrolisis
protein dapat bertambah sebesar 25% dari protein kedelai awal
(Sparringa & Owens, 1999)

4.3. Fungi Yang digunakan dalam fermentasi tempe


Tahap fermentasi pada pembuatan tempe melibatkan jamur
sebagai inokulum. Inokulum yang biasa digunakan yaitu jamur
dari genus Rhizopus beberapa jenis kapang Rhizopus spp. yang
digunakan seperti Rhizopus oligosporus, Rhizopus oryzae,
Rhizopus stolonifer (kapang roti), atau Rhizopus Arrhizus yang
merupakan jenis kapang yang tumbuh baik suhu optimum
pertumbuhan 28˚-35˚C dan kelembaban di bawah 65% -70%.
Jamur – jamur tersebut biasanya terdapat pada ragi instan
dari tempe. Selain jenis jamur Rizhopus spp. Bias juga terdapat
jenis inoculum lain seperti Aspergillus niger, Mucor javanicus,
Trichosporon pululans, dan Fusarium sp dan lain sebagainya
Fungsi ragi tempe pada proses fermentasi adalah untuk
menghidrolisis senyawa komplek menjadi senyawa sederhana
menggunakan enzim. Jamur Rhizopus oligosporus, Rhizopus.
oryzae, Rhizopus stolonifer dan Rhizopus arrhizus yang
terkandung dalam ragi tempe mampu menghasilkan enzim.
Enzim yang dapat dihasilkan oleh jamur pada ragi tempe
adalah amilase dan pektinase. Amilase merupakan enzim yang
menghidrolisis amilum menjadi gula. Jamur yang mampu
menghasilkan enzim amilase adalah R. oligosporus dan R.
oryzae. Pektinase merupakan enzim yang menghidrolisis pektin.
Jamur yang menghasilkan pektinase adalah R. stolonifer dan R.
arrhizus. R. oligosporus dapat menghasilkan enzim protease
lebih banyak dari pada R. oryzae. R. oryzae cenderung lebih
banyak menghasilkan enzim amilase (Koswara, 1992).

5. Hasil dari Fermentasi pada Tempe


Pada proses fermentasi pastinya akan ada beberapa reaksi yang terjadi
selama fermentasi. Biasanya reaksi tersebut di sebabkan oleh jamur atau ragi
tempe yang menyebabkan beberapa produk hasil reaksi seperti, terbentuknya
gas volatile, aroma yang khas dari tempe, serta hadirnya LAB (Lactic Acid
Bacteria) selama proses fermentasi tempe.

5.1. Produksi senyawa volatile oleh Rhizopus oligosporus


Kedelai awalnya memiliki rasa yang tidak enak, karena
adanya reaksi dikatalis dari minyak kedelai menjadi senyawa
volatile seperti heksnol atau heksanal. (Shogren et al., 2003).
Sedangkan sebaliknya pada tempe kedelai yang difermentasi
oleh Rhizopus oligosporus cendung memiliki rasa dan bau yang
lebih enak dibandingkan dengan kedelai utuh. (Nout and
Rombouts, 1990) hal tersebut dikarenakan terbentuknya volatile
1-octen-3-ol dan 3-octanone, yang biasanya diproduksi misalnya
oleh jamur Agaricus bisporus, Calocybe indica dan Pleurotus
spp., Dianggap memberikan kontribusi besar terhadap aroma
jamur yang khas (Cruz et al., 1997; Venkateshwarlu et al., 1999).

R. oligosporus telah digunakan untuk fermentasi makanan


selama berabad-abad dan sifat nutrisi dari substrat makanan
ditingkatkan selama fermentasi (Cuevas-Rodriguez et al., 2004;
Nout and Kiers, 2005). Jumlah senyawa volatil yang tinggi
diproduksi oleh R. oligosporus juga dapat berkontribusi pada
aroma yang lebih baik. Dalam genus Rhizopus, R. oligosporus
termasuk dalam kelompok R. microsporus (Jennessen et al.,
2005; Schipper dan Stalpers, 1984). Berikut merupakan analisis
senyawa volatile yang di hasilkan oleh Rhizopus oligosporus.

Gambar 1. Typical profile of volatile metabolites produced by Rhizopus oligosporus J401


on malt extract agar (MEA) during 29 h of fermentation. The whole
chromatogram up to 40 min retention time is shown.

Dari hasil penelitian tersebut tedapat senyawa volatile yang di


hasilkan pada saat fermentasi tempe serta sifat volatile tempe
yang spesifik dan tidak sama dengan sifat volatile yang
dihasilkan oleh jamur Agaricus bisporus, Calocybe indica dan
lain sebagainya.

5.2. Hidrolisis protein oleh Rhizopus oligosporus


Rhizopus spp. dapat menghasilkan berbagai karbohidrat,
lipase, protease, phytase, dan enzim lainnya, yang
menghidrolisis konstituen kedelai dan berkontribusi pada
pengembangan tekstur, rasa, dan aroma tempe yang diinginkan.
Hidrolisis enzimatik juga dapat mengurangi atau menghilangkan
konstituen antinutritional. Akibatnya, kualitas nutrisi dari produk
fermentasi dapat ditingkatkan (Nout dan Rombouts, 1990).
Pengaruh fermentasi pada total kandungan nitrogen tidak
terlalu spesifik tetapi peningkatan konsentrasi asam amino bebas
merupakan parameter hasil dari fermentasi. Pola asam amino,
tergantung oleh indeks asam amino esensial dan tidak
terpengaruh selama 24 jam fermentasi. Fermentasi yang lebih
lama dapat mengurangi kandungan lisin (25% hilang setelah 60
jam; Winarno dan Reddy, 1986). Hingga saat ini efek fermentasi
pada masing-masing sub unit kurang diperhatikan dari protein
kedelai utama.
Protein utama pada kedelai adalah glycinin dan P-
konglikin. Glycinin terdiri dari enam subunit (A n -Bn) yang
terbentuk dari polipeptida asam (A1- A5) dan polipeptida dasar
(B1-B4) yang bersifat asam dan basa. polipeptida secara kovalen
dihubungkan satu sama lain dengan ikatan disulfida, untuk
membentuk subunit. Subunit glycinin dapat dipisahkan menjadi
kelompok yang berbeda: I, A1a B2, AlbBlb, dan A2Bla; dan II, A3B4
dan A5A4B3 (Yamauchi et al., 1991)
Dari hasil percobaan pada jurnal tersebut terjadi
penambahan total protein yang dapat diamati, pada pengujian
digunakan parameter dari beberapa jenis tempe yaitu berupa
mentah, soaked, dan cooked dimana ketiganya menghasilkan
jumlah protein yang cukup banyak akibat peristiwa hidrolisis
protein. Protein hidrolisi juga merupakan factor penting dalam
menentukan rasa pada produk tempe yang sudah jadi.

5.3. Pertumbuhan lactic Acid bacteria dab rizhopus oligosporus pada


fermentasi tempe
Hanya LAB tertentu yang bisa tumbuh bersama dengan R.
oligosporus, dan bahwa pertumbuhan mereka tidak mengurangi
pertumbuhan jamur di tempe, juga tidak mengubah penampilan
produk akhir. Dimungkinkan untuk menerapkan BAL ini sebagai
ko-kultur dengan R. oligosporus untuk meningkatkan keamanan
dan kualitas fermentasi tempe barley. LAB digunakan dalam
banyak fermentasi makanan yang berbeda, misalnya sosis, roti,
yoghurt, keju dan asinan kubis, dan umumnya dianggap aman
(GRAS). Namun, spesies yang berbeda disesuaikan dengan
lingkungan dan substrat yang berbeda (Wood et al., 1995)
Data berikut menunjukan bahwa LAB tidak
mempengaruhi pertumbuhan dari R. oligosporus.
Gambar 2. Growth of L. plantarum SR3.60 (n), L. fermentum ATCC 14931 (E), L. reuteri DSM
20016 (5) and L. lactis SR3.53 (o) during the fermentation of barley tempeh with R.
oligosporus (n =3, F SD). No LAB were detected in the control (barley inoculated with
only fungus). Different letters (a, b, c) indicate significant differences ( P b0.05) between
LAB species at the end products.
Spesies BAL ini selain cepat tumbuh dan juga dapat
dijadikan pencegah phatogenic microbes serta memertahankan
dan meningkatkan mutu organoleptic. Dalam hal ini Spesies
BAL cocok untuk tumbuh dengan Rhizopus oligosporus tanpa
mengurangi fungsi dari jamur serta tidak mempengaruhi
ferementasi.

6. Kesimpulan
Fermentasi merupakan salah satu bentuk pengolahan suatu bahan
makanan yang menyebabkan proses perubahan kimia pada suatu substrat organik
melalui aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Dengan adanya
ferementasi oleh bakteri, maka dapat memperkaya kandungan nutrisi dari produk
tersebut. Fermentasi juga dapat dilakukan dengan mengunakan bakteri, fungi,
atau keduanya. Salah satu proses ferementasi terjadi pada kacang kedelai yaitu
pada produk tempe. Dalam produk tempe ini jamur yang berbeperan adalah
Rhizopus oligosporus. Terdapat beberapa hasil dari proses ferementasi dari
Rhizopus oligosporus, seperti senyawa volatile yang menyebabkan bau
khas pada tempe, hydorlisi protein yang menambahkan kandungan nutrisi,
serta kemampuan kombinasi dengan BAL yang memungkinkan dapat
melindungi jamur Rhizopus oligosporus. Dari bakteri phatogenic dan
lainya.
7. Referensi
Cahyadi, W., 2007. Teknologi dan Khasiat Kedelai, Bumi Aksara, Jakarta
Cahyadi,W. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Jakarta: Bumi Aksara.
Cao, X. H., Liao, Z. Y., Wang, C. L., Yang, W. Y., & Lu, M. F. (2009).
Evaluation of a lipopeptide biosurfactant from Bacillus natto TK-1 as a
potential source of antiadhesive, antimicrobial and antitumor activities.
Brazilian Journal of Microbiology, 40, 373-379
Cho, Y. S., Kim, S. K., Chang, B. A., & Jae, Y. J. (2011). Preparation,
characterization and antioxidant properties of gallic acid-grafted-
chitosans. Carbohydrate Polymers, 83, 1617-1622
Donkor, O. N., Henriksson, A., Vasiljevic, T., & Shah, N. P. (2005). Probiotic
strains as starter cultures improve angiotensin-converting enzyme
inhibitory activity in soy yogurt. Journal of Food Science, 70, 375-381
Farnworth, R. E. 2008. Handbook of Fermented Functional Foods. Second Ed.
CRC Press. USA.
Gibbs, B. F., Zoygman, A., Masse, R., & Mulligan, C. (2004). Production and
characterization of bioactive 643 peptides from soy hydrolysate and soy-
fermented food. Food Research International, 37, 123
Haron, H., Ismail, A., Azlan, A., Shahar, S., & Peng, L. S. (2009). Daidzein
and genestein contents in tempeh and selected soy products. Food
Chemistry, 115, 1350–1356
Jung, J. Y., Lee, S. H., & Jeon, C. O. (2014). Microbial community dynamics
during fermentation of doenjang-meju, traditional Korean fermented
soybean. International Journal of Food Microbiology, 185, 112-120
Kim, S. L., Berhow, M. A., Kim, J. T., Chi, H. Y., Lee, S. J., & Chung, I. M.
(2006). Evaluation of soyasaponin, isoflavone, protein, lipid, and free
sugar accumulation in developing soybean seeds. Journal of Agricultural
Food Chemistry
Kitawaki, R., Nishimura, Y., Takagi, N., Iwasaki, M., Tsuzuki, K., & Fukuda,
M. (2009). Effects of Lactobacillus fermented soymilk and soy yogurt on
hepatic lipid accumulation in rats fed a cholesterol-free diet. Bioscience,
Biotechnology, and Biochemistry, 73, 1484-1488
Koswara, S. 1995. Teknologi Pengolahan Kedelai Menjadikan Makanan
Bermutu. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Koswara, S., 1992. Teknologi Pengolahan Kedelai Menjadikan Makanan
Bermutu. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Kwon, D. Y., Jang, J. S., Hong, S. M., Lee, J. E., Sung, S. R., & Park, H. R.
(2007). Longterm consumption of fermented soybean-derived
chungkookjang enhances insulinotropic action unlike soybeans in 90%
pancreatectomized diabetic rats. European Journal of Nutrition, 46, 44-
52
Moreno, M. R. F., Leisner, J. J., Tee, L. K., Ley, C., Radu, S., Rusul, G., et al.
(2002). Microbial analysis of Malaysian tempeh, and characterization of
two bacteriocins produced by isolates of Enterococcus faecium. Journal
of Applied Microbiology, 92, 147-157
Muchtadi, T. dan F. Ayustaningwarno. 2010. Teknologi Proses Pengolahan
Pangan. Institut Pertanian Bogor Press. Bogor.
Nout, M. J. R., & Kiers, J. L. (2005). Tempe fermentation, innovation and
functionality: update into the third millennium. Journal of Applied
Microbiology, 98, 789-805
Nout, M. J.R.; Rombouts, F. M. 1990. Recent developments in tempe research.
J. Appl. Bacteriol., 69,609-633
Prabowo, S. 2011. Substitusi Tepung Gari dalam Pembuatan Roti. Jurnal
Teknologi Pertanian. Vol. 07, No. 01, Hal 25-27.
Rai, A. K., & Jeyaram, K. (2015). Health benefits of functional proteins in
fermented foods. In J. P. Tamang (Ed.), Health benefits of fermented
foods and beverages (pp. 455- 474). Boca Raton, FL: CRC press
Sanjukta, S., Rai, A. K., Muhammed, A., Jeyaram, K., & Talukdar, N. C.
(2015). Enhancement of antioxidant properties of two soybean varieties
of Sikkim Himalayan region by proteolytic Bacillus subtilis fermentation.
Journal of Functional Foods, 14, 650-658.
Sanjukta, S., Rai, A. K., Muhammed, A., Jeyaram, K., & Talukdar, N. C.
(2015). Enhancement of antioxidant properties of two soybean varieties
of Sikkim Himalayan region by proteolytic Bacillus subtilis fermentation.
Journal of Functional Foods, 14, 650-658.
Sparringa, R. A., & Owens, J. D. (1999). Protein utilization during soybean
tempeh fermentation. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 47,
4375–4378
Steinkraus, K. H., Yap, B. H., Van Buren, J. P., Provvidenti, M. I., & Hand, D.
B. (1960). Studies on tempeh- an Indonesian fermented soybean food.
Food research, 25, 777-788
Suprihatin. 2010. Teknologi Fermentasi. Surabaya: UNESA Pres.
Waites, M. J, Morgan, N. L., Rockey, J. S., dan Higton, G. 2001. Industrial
Microbiology: An Introduction. Blackwell Science Ltd., London: 12-13.
Wang, W., Neal, A. B., Mark, A. B., & Elvira, G. D. M. (2008a). Conglycinins
among sources of bioactives in hydrolysates of different soybean
varieties that inhibit leukemia cells in vitro. Journal of Agricultural and
Food Chemistry, 56, 4012-4020
Watanabe, N., Fujimoto, K., & Aoki, H. (2007). Antioxidant activities of the
watersoluble fraction in tempeh-like fermented soybean (GABA-tempeh).
International Journal of Food Science and Nutrition, 58, 577-587.
Weng, T. M., & Chen, M. T. (2011). Effect of two-steps fermentation by
Rhizopus oligosporus and Bacillus subtilis on protein of fermented
soybean. Food Science and Technology Research, 17, 393-400
Winarno, F. G; Reddy, N. R. 1986. Tempe. In Legume Based Fermented
Foods; Reddy, N. R., Pierson, M. D., Salunkhe, D. K., Eds.; CRC Press:
Boca Raton, FL, 95-117.
Wood, B.J.B., Holzapfel, W.H., 1995. The Genera of Lactic Acid Bacteria. The
Lactic Acid Bacteria, vol. 2. Blackie Academic & Professional, London,
pp. 44–227.
Yamauchi, F.; Yamagishi, T.; Iwabuchi, S. 1991. Molecular understanding of
heat-induced phenomena of soybean protein. Food Rev. Znt.7,283-322.
Zhang, J. H., Tatsumi, E., Ding, C. H., & Li, L. T. (2006). Angiotensin I-
converting enzyme inhibitory peptides in douchi, a Chinese traditional
fermented soybean product. Food Chemistry, 98, 551-557.

Anda mungkin juga menyukai