Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
DISUSUN OLEH:
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………………i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………….ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………………………………………………………...1
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………..5
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Problem Tree (Analysis Core Problem, Determinants And Impacts)…7
2.2 Penjabaran/Penjelasan (Problem Tree)………………………………..8
2.3 Rancangan Solusi Dan Stakeholder Analisis………………………….14
BAB III KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan…………………………………………………………….17
3.2 Rencana Tindak Lanjut………………………………………………...17
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………18
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
depan, semakin rentan tertular. Dia juga melaporkan bahwa beberapa tenaga kesehatan
masih bekerja meskipun mereka mungkin tanpa disadari membawa virus karena negara
tersebut masih tertinggal dalam melakukan pengujian.6,8
Masalah ini tentu menjadi masalah kesehatan global yang belum tahu kapan
akhirnya.. Dalam definisi klasik Winslow tahun 1920, kesehatan masyarakat merupakan
ilmu dan seni mencegah penyakit, memperpanjang hidup dan meningkatkan kesehatan
dan kesejahteraan fisik dan mental. Dari hal tersebut diketahui bahwa ada upaya
kesehatan masyarakat dalam meningkatkan kapasitas komunitas dan masyarakat untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan pribadi.9 Pengupayaan kesehatan masyarakat
ini secara umum terkait dengan 3 hal yaitu agen, pejamu dan lingkungan. Ketiga faktor
itu harus dievaluasi secara mendetail untuk mencari solusi yang tepat demi berkurangnya
atau bahkan selesainya wabah COVID-19 ini.10
Beragam hal itu saling mempengaruhi terjadinya peningkatan kasus COVID-19
pada tenaga kesehatan sehingga dibutuhkan solusi atas peningkatan tersebut untuk
mengurangi angka kejadian dan angka kematian COVID-19 pada tenaga kesehatan.
Model ini digunakan oleh ahli epidemiologi untuk menentukan determinan penyebab
penyakit. Ada 3 determinan yaitu 'agen' dari penyakit, inang penyakit, dan ' 'Lingkungan'
'atau faktor eksternal yang mempengaruhi atau memungkinkan penularan penyakit.
'Faktor waktu' dalam triad epidemiologi adalah titik potong dari tiga simpul (yaitu, agen,
inang, dan komponen lingkungan) dari segitiga yang menyebabkan penyakit. Komponen
waktu mungkin termasuk karakteristik waktu, masa inkubasi / masa laten, lamanya proses
penyakit, tren dan siklus penyakit (yaitu, vektor), musim penyakit, dan bagaimana
karakteristik pribadi dari orang-orang dalam populasi (yaitu, kekebalan kelompok)
mempengaruhi lintasan penyakit.11
Lingkungan adalah media yang menyatukan agn eksternal dan host. Lingkungan
meliputi karakteristik tempat, lingkungan biologis, fisik dan psikososial. Dalam trias
epidemiologi non-infeksi yang dimodifikasi, faktor penyebab, faktor risiko, paparan
lingkungan, seperti perilaku tidak sehat, praktik yang tidak aman atau zat berbahaya
menunjukkan 'agen'. 'Agen' dalam konteks ini berkonotasi dengan 'faktor yang
diperlukan' yang harus ada untuk morbiditas tetapi mungkin tidak mengarah pada
penyakit. 'Agen' dalam penyakit menular biasanya adalah zat bioaktif (yaitu prion, virus,
bakteri, jamur, protozoa) yang pasti menyebabkan penyakit jika kondisi terpenuhi.
4
Terjadinya penyakit memerlukan kombinasi dari apa yang telah disebut sebagai 'faktor-
faktor yang cukup' yang menunjukkan 'inang' (yaitu, individu atau kelompok individu)
yang rentan terhadap agen, dan lingkungan. Kerentanan tuan rumah mungkin didasarkan
pada karakteristik pribadi (yaitu, usia, jenis kelamin, kelompok etnis, pekerjaan atau
kelompok / populasi demografi).10
Triad epidemiologi berlaku untuk penyakit menular dan tidak menular. Peran ahli
epidemiologi adalah memutus konektivitas simpul ini; oleh karena itu, menghentikan
penyebaran penyakit. Mekanisme epidemiologi ini telah memungkinkan kesehatan
masyarakat untuk membawa perubahan positif yang diinginkan dalam mengekang
penyebaran penyakit secara global. Hal ini juga bisa dipraktekan pada infeksi COVID-19
yang telah menjadi pandemi di dunia saat ini. Tentunya, hal terbaik dalam menghadapi
sebuah penyakit adalah melakukan pencegahan. Beragam rangka prevensi juga
diutarakan seperti menurut Leavel& Clark dengan primary, secondary, tertiary dan
quartenary prevention.11
Hal yang tidak kalah penting juga tentang iceberg phenomenon. Menurut teori
Iceberg, kasus asimtomatik atau pra-gejala, kasus salah diagnosis dan kasus yang tidak
5
penggunaan berulang APD bahkan kurangnya pemerataan distribusi APD menjadi faktor
yang cukup kuat dalam lonjakan ini.7 Kurangnya transparansi atau 'budaya kerahasiaan'
di rumah sakit di Indonesia telah menghalangi pekerja medis dan staf dari mekanisme
pengaduan yang efektif atau ruang yang aman untuk menyalurkan keluhan mereka,
terutama terkait dengan ketersediaan APD berkualitas baik dan efektivitas protokol
kesehatan di fasilitas kesehatan, yang sangat penting untuk keselamatan mereka. Setelah
APD tersediapun, staf layanan kesehatan memerlukan pelatihan tentang penggunaannya.
Semua tindakan perlindungan penting agar pekerja merasa aman selama bekerja. Selain
itu, dari sisi pasien, juga didapatkan bahwa tidak semua pasien COVID-19 jujur tentang
penyakitnya akibat ketakutan akan stigma membuat tenaga medis, bahkan yang tidak
berada di garis depan, semakin rentan tertular. Dia juga melaporkan bahwa beberapa
tenaga kesehatan masih bekerja meskipun mereka mungkin tanpa disadari membawa
virus karena negara tersebut masih tertinggal dalam melakukan pengujian swab.6,7,12 Jika
tidak ditangani dengan segera dengan penyusunan upaya solusi, bukan tidak mungkin
lonjakan ini akan terus terjadi dan memperburuk kondisi yang telah ada.
BAB II
PEMBAHASAN
• Komplen pasien
• Pendapatan RS
menurun
Pandemi tidak
teratasi
• Layanan • Jam kerja
menurun meningkat
• Kecelakaan Meningkatkan
kerja CFR
Tidak
seimbangnya
jumlah nakes: Kurangnya Muncul
masyarakat Nakes klaster RS
Pasien tidak jujur Tidak mematuhi APD tak tersedia Distribusi APD tidak
protokol kesehatan merata
Tidak menerapkan Penggunaan APD Anggaran RS
protokol Bekerja di banyak
berulang (re-use)
kesehatan faskes
Regulasi
Angka jam kerja Tidak ada screening
tinggi rutin
Nakes dengan
komorbid
Kesalahan dalam
penggunaan APD
1
8
diperlukan untuk APD dalam praktik di samping intervensi lain agar berhasil melawan
dan memenangkan pertempuran melawan SARS-CoV-2.21,23
Kurangnya transparansi atau 'budaya kerahasiaan' di rumah sakit di Indonesia
telah menghalangi pekerja medis dan staf dari mekanisme pengaduan yang efektif atau
ruang yang aman untuk menyalurkan keluhan mereka, terutama terkait dengan
ketersediaan APD berkualitas baik dan efektivitas protokol kesehatan di fasilitas
kesehatan, yang sangat penting untuk keselamatan mereka. Menurut Ikatan Dokter
Indonesia (IDI), masih ada kekurangan APD bagi sekitar 185.000 dokter dan sekitar 1
juta perawat di tanah air. Lambatnya distribusi APD tidak sejalan dengan peningkatan
kasus COVID-19 yang pesat di Indonesia. Proses penyaluran APD yang lambat di
berbagai daerah membahayakan tenaga kesehatan. Dalam satu kasus yang tercatat di
Flores, Indonesia Timur, seorang dokter menyatakan bahwa para dokter di sana perlu
mencuci dan menyetrika masker bedah sekali pakai dan menggunakannya kembali karena
stoknya sudah habis. Laporan 7 September oleh majalah Tempo mengungkapkan bahwa
pemerintah telah memesan 5 juta item APD dari konsorsium perusahaan Korea Selatan,
tetapi memutuskan untuk menghentikan pembelian 2 juta item terakhir menyusul
ditemukannya Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP) dari penyimpangan harga
dalam proses pengadaan. Selain itu pula dikatakan bahwa fasilitas kesehatan tempat dia
bekerja memiliki alat pelindung diri (APD) yang memadai tetapi kualitasnya tidak
memenuhi standar dan karenanya tidak dapat menyediakan mereka dengan perlindungan
yang mereka butuhkan. Setelah APD tersediapun, staf layanan kesehatan memerlukan
pelatihan tentang penggunaannya. Semua tindakan perlindungan penting agar pekerja
merasa aman selama bekerja. Dia juga melaporkan bahwa beberapa tenaga kesehatan
masih bekerja meskipun mereka mungkin tanpa disadari membawa virus karena negara
tersebut masih tertinggal dalam melakukan pengujian.6,8
Komorbid juga mempengaruhi kejadian COVID-19. Tenaga kesehatan yang
memiliki komorbid tentunya lebih rentan untuk terkena dengan faktor-faktor lain
sebelumnya yang memang sudah ada. Tenaga medis yang terinfeksi COVID-19 yang
memiliki penyakit penyerta, seperti hipertensi atau diabetes mellitus, lebih mungkin
mengembangkan perjalanan dan perkembangan penyakit yang lebih parah. Keberadaan
penyakit penyerta justru harusnya membuat tenaga medis lebih brhati-hati dan harus
11
1. Tenaga kesehatan tidak boleh bekerja saat sakit, bahkan jika datang dengan
tanda atau gejala ringan. Tenaga kesehatan dengan gejala demam dan / atau
gejala pernapasan yang mengkhawatirkan untuk COVID-19 harus melakukan
tes SARS-CoV-2 secepat mungkin. Tenaga kesehatan yang memiliki pajanan
yang tidak terlindungi dengan seseorang dengan COVID-19 yang
dikonfirmasi tetapi tetap asimtomatik harus diuji minimal 5-7 hari setelah
tanggal pajanan dan jika perlengkapan pengujian memungkinkan.
2. Maryland Department of Health (MDH) dan organisasi perawatan kesehatan
bekerja sama untuk mengidentifikasi, mengelola, dan memantau tenaga
kesehatan yang telah mengalami pajanan berisiko tinggi (tidak terlindungi)
terhadap pasien, residen, rekan kerja, atau kontak rumah tangga / sosial
dengan COVID-19 yang dikonfirmasi. Sebagian besar tenaga kesehatan yang
pernah terpajan risiko tinggi diidentifikasi melalui pelacakan pekerjaan
terhadap pelanggaran alat pelindung diri (APD) dan / atau pelacakan kontak
dan penilaian APD yang dikenakan saat melakukan kontak dengan pasien,
penduduk, atau rekan kerja yang positif COVID-19. Tenaga kesehatan dengan
eksposur risiko tinggi juga diidentifikasi melalui wawancara kasus COVID-
19 MDH dan laporan mandiri. MDH merekomendasikan tenaga kesehatan
dengan eksposur berisiko tinggi berpartisipasi dalam karantina sukarela
selama 14 hari setelah tanggal eksposur. Sebagai komponen dari rencana
kepegawaian darurat, jika fasilitas perawatan kesehatan telah kehabisan
semua pilihan kepegawaian lainnya dan mengalami kekurangan staf, tenaga
kesehatan tanpa gejala yang telah mengalami pajanan berisiko tinggi tetapi
tidak dites positif COVID-19 mungkin diminta untuk kembali untuk bekerja
selama masa karantina sukarela. Tenaga kesehatan yang kembali bekerja
dalam waktu itu harus memakai masker wajah kelas medis untuk kontrol
sumber setiap saat. Fasilitas dapat mempertimbangkan untuk meminta tenaga
kesehatan yang terpajan untuk kembali hanya sebagai upaya terakhir, ketika
kekurangan staf tetap ada bahkan setelah kehabisan semua cara normal
12
3.1 Kesimpulan
Perlunya penguatan promosi kesehatan, edukasi baik kepada masyarakat awam
ataupun tenaga kesehatan itu sendiri diperlukan untuk menurunkan angka motalitas
COVID-19 di Indonesia. Masalah utama terkait hal ini adalah keberadaan APD, distribusi
serta penggunaan yang tidak tepat sehingga masih menjadi masalah dan memberikan
kontribusi dalam peningkatan kasus COVID-19 pada tenaga kesehatan.
Pemerintah juga diharapkan memberikan regulasi yang tegas, mengakomodir
ketersediaan APD, dan membantu dalam mempromosikan protocol kesehatan melalui
regulasinya. Diharapkan dengan peningkatan kesadaran, peran aktif masyrakat, tenaga
kesehatan dan pemerintah, kasus COVID akan mereda dan pandemi ini akan berakhir
seperti yang diharapkan.
17
18
DAFTAR PUSTAKA
9. Grant R. A bridge between public health and primary care. Am J Public Health.
2012;102 Suppl 3(Suppl 3):S304. doi:10.2105/AJPH.2012.300825
10. Ogbonna CN. Epidemiology in the News- the Case of COVID-19 Pandemic
Disease. IOSR Journal of Dental and Medical Sciences (IOSR-JDMS). 2020;
19(5):p35-38
11. Ali A, Katz DL. Disease Prevention and Health Promotion: How Integrative
Medicine Fits. Am J Prev Med. 2015;49(5 Suppl 3):S230-S240.
doi:10.1016/j.amepre.2015.07.019
12. Rai DR, Mathew G. A Review on Theories and Models of Disease Causation for
COVID-19. Available at: https://ssrn.com/abstract=3584080
13. Tumbelaka RV. Honesty crucial between patients, health workers during pandemic.
Available from: https://www.thejakartapost.com/academia/2020/05/05/honesty-
crucial-between-patients-health-workers-during-pandemic.html
14. Disemadi HS, Handika DO. Community Compliance with the Covid-19 Protocol
Hygiene Policy in Klaten Regency, Indonesia. LJIH 28: 2020; 121-133
15. Chu, D. K., Akl, E. A., Duda, S., Solo, K., Yaacoub, S., Schünemann, H. J., ...
Schünemann, H. J. (2020). Physical distancing, face masks, and eye protection to
prevent person-to-person transmission of SARS-CoV-2 and COVID-19: a
systematic review and meta-analysis. The Lancet, 395(10242), 1973–1987.
https://doi.org/10.1016/S0140-6736(20)31142-9
16. MacIntyre, C. R., & Wang, Q. (2020). Physical distancing, face masks, and eye
protection for prevention of COVID-19. The Lancet, 395(10242), 1950–1951.
https://doi.org/10.1016/S0140-6736(20)31183-1
17. Leffler, C., Ing, E., McKeown, C., Pratt, D., & Grzybowski, A. (2020). Country-
wide Mortality from the Novel Coronavirus (COVID-19) Pandemic and Notes
Regarding Mask Usage by the Public. Technical Report.
18. World Health Organization, Rational Use of Personal Protective Equipment (PPE)
for Coronavirus Disease (COVID-19): Interim Guidance, 19 March 2020, World
Health Organization, Geneva, Switzerland,
2020, https://www.who.int/publications-detail/rational-use-of-personal-protective-
equipment-for-coronavirus-disease-(covid-19)-and-considerations-during-severe-
shortages.
20