Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

ENDOMETRIOSIS

Disusun oleh:

Jesslyn Wijaya (150100099)


Sarah Davita Ramadhania Tambun (150100147)
Aja Michelle Putri Haberham (150100150)
Rafli Rizaldy Edwar (150100178)

Pembimbing:
dr. Arvitamuriany T. Lubis, M. Ked(OG), Sp. OG

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN
RUMAH SAKIT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini yang
berjudul “Endometriosis”. Penulisan makalah ini adalah salah satu syarat untuk
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Dokter di
Departemen Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan Fakultas Kedokteran
Universitas SumateraUtara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dokter


pembimbing dr. Arvitamuriany T. Lubis, M. Ked(OG), Sp. OG yang telah
meluangkan waktunya dan memberikan banyak masukan dalam penyusunan
makalah sehingga penulis dapat menyelesaikan tepat pada waktunya.

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari


kesempurnaan, baik ini maupun susunan bahannya, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai koreksi dalam penulisan
makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca, akhir kata
penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, 16 Desember 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .....................................................................................................i

Daftar Isi ...............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1

1.1. Latar Belakang ................................................................................................1

1.2. Tujuan Penulisan .............................................................................................1

1.3. Manfaat Penulisan.......................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................3

2.1. Definisi............................................................................................................3

2.2. Klasifikasi .......................................................................................................3

2.3. Epidemiologi ...................................................................................................4

2.4. Etiologi dan Patogenesis .................................................................................5

2.5. Diagnosis.......................................................................................................11

2.6. Staging ..........................................................................................................12

2.7. Diagnosa Banding .........................................................................................13

2.8. Tatalaksana ....................................................................................................13

BAB III STATUS PASIEN ...............................................................................18

BAB IV DISKUSI .............................................................................................24

BAB V KESIMPULAN ....................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................28

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Endometriosis merupakan kelainan ginekologi jinak yang sering diderita


oleh wanita usia reproduksi yang ditandai dengan adanya glandula dan stoma
endometrium di luar letaknya yang normal. Endometriosis disebut sebagai estrogen
dependent disease karena tumbuh dan perkembangan jaringan endometrium
ektopik tersebut membutuhkan stimulasi hormon estrogen.1

Umumnya endometriosis muncul pada usia reproduktif. Angka kejadian


endometriosis mencapai 5-10% pada wanita umumnya, dan lebih dari 50% terjadi
pada wanita perimenopause.2 Telah dilaporkan angka kejadian endometriosis per
tahun berdasarkan penggunaan tindakan pembedahan, yaitu 1,6 kasus per 1000
perempuan usia 15−49 tahun. Kejadian endometriosis pada perempuan dengan
keluhan dismenorea (nyeri haid) adalah 40−80%, sedangkan pada perempuan
dengan infertilitas sekitar 20−50%.3

Perempuan dengan endometriosis secara statistik memiliki risiko yang lebih


tinggi untuk kejadian bayi premature (OR 1.63; 95% CI, 1.32-2.01), abortus (OR
1.75; 95% CI, 1.29-2.37), plasenta previa (OR 3.03; 95% CI, 1.50-6.13), bayi
dengan berat badan kecil masa kehamilan (OR 1.27; 95% CI, 1.03-1.57), dan
persalinan Caesar (OR 1.57; 95% CI, 1.39-1.78) dibandingkan dengan perempuan
sehat.4

1.2. TUJUAN PENULISAN

Tujuan dari penulisan bahan referat ini adalah untuk menguraikan teori-teori
tentang endometriosis. Penyusunan penulisan laporan kasus ini sekaligus untuk
memenuhi persyaratan pelaksanaan kegiatan Program Pendidikan Profesi Dokter

1
2

(P3D) di Departemen Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan Kedokteran


Universitas Sumatera Utara.

1.3. MANFAAT PENULISAN

Penulisan makalah ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan


pemahaman penulis serta pembaca khususnya peserta P3D untuk lebih memahami
dan mengenal endometriosis.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Endometriosis merupakan kelainan ginekologi jinak yang sering diderita


oleh wanita usia reproduksi yang ditandai dengan adanya glandula dan stoma
endometrium di luar letaknya yang normal. Pada definisi disebutkan bahwa
didapatkan jaringan endometrium berlokasi ektopik, di luar kavum uteri, lesi
endometriosis tersebut dapat ditemukan di beberapa tempat, yaitu peritoneum
panggul, ovarium, dinding uterus, kavum douglasi, septum rektovagina, ureter,
vesica urinaria, bahkan ditemukan lokasi jauh walaupun jarang didapat misalnya
usus, apendik, perikardium, pleura, dan sebagainya. Endometriosis disebut sebagai
estrogen dependent disease karena tumbuh dan perkembangan jaringan
endometrium ektopik tersebut membutuhkan stimulasi hormon estrogen.1,5

2.2. KLASIFIKASI

Endometriosis terdiri dari endometriosis interna dan eksterna. Pada


endometriosis interna glandula dan stroma endometrium terletak di dinding
uterus, khususnya di lapisan miometrium yang disebut dengan adenomiosis.
Fundus uteri merupakan tempat paling umum dari adenomiosis. Endometriosis
ekterna adalah suatu kejadian dimana dijumpai kelenjar dan stroma endometrium
di luar ronga uterus. Endometriosis eksterna terutama tumbuh di rongga pelvic,
ovarium, kavum douglas dan jarang sekali dapat tumbuh sampai rectum dan
kandung kemih. Jaringan endometriosis dalam ovarium menyebabkan
terbentuknya kista cokelat.1

3
4

2.3. EPIDEMIOLOGI

Umumnya endometriosis muncul pada usia reproduktif. Angka kejadian


endometriosis mencapai 5-10% pada wanita umumnya, dan lebih dari 50% terjadi
pada wanita perimenopause. Gejala endometriosis sangat tergantung pada letak sel-
sel endometrium. Keluhan yang paling menonjol ialah nyeri pada panggul,
sehingga hampir 71-87% kasus di diagnosis akibat keluhan nyeri kronis hebat pada
saat haid, dan hanya 38% yang muncul akibat keluhan infertil. Juga pernah
dilaporkan terjadinya endometriosis pada masa menopause, dan bahkan terjadi pada
40% pasien histerektomi. Beberapa studi juga mengatakan bahwa wanita Jepang
mempunyai prevalensi yang lebih besar dibandingkan wanita Kaukasia. Selain itu
juga 10% endometriosis ini dapat muncul pada yang mempunyai riwayat
endometriosis di keluarganya.2

Gambar 2.1. Epidemiologi endometriosis

Telah dilaporkan angka kejadian endometriosis per tahun berdasarkan


penggunaan tindakan pembedahan, yaitu 1,6 kasus per 1000 perempuan usia 15−49
tahun. Kejadian endometriosis pada perempuan dengan keluhan dismenorea
(nyeri haid) adalah 40−80%, sedangkan pada perempuan dengan infertilitas
sekitar 20−50%. Data di Klinik Fertilitas Rumah Sakit Umum Daerah Dr.
Soetomo Surabaya tahun 1987 sampai 1991 melalui tindakan laparoskopi
diagnostik didapatkan data bahwa infertilitas disertai endometriosis berkisar
5

23,8% dan pada tahun 1992 sampai 1993 meningkat menjadi 37,2%, terakhir pada
tahun 2002 berkisar 50% (6). Speroff menyebutkan prevalensi endometriosis
tanpa gejala diperkirakan sebesar 4% didapat pada perempuan yang menjalani
sterilisasi elektif, sedangkan data yang lain menyatakan berkisar 2−50% terjadi
pada perempuan asimtomatis didapatkan saat pemeriksaan laparoskopi,
tergantung pada kriteria diagnosis yang dipakai dan populasi yang dipelajari. Pada
remaja ditemukan berkisar 25−47% dengan keluhan nyeri panggul.3

2.4. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Sampai saat ini etiologi endometriosis yang pasti belum jelas. Beberapa ahli
mencoba menerangkan kejadian endometriosis dengan berbagai teori, yakni teori
implantasi dan regurgitasi, metaplasia, hormonal, serta imunologik.2

2.4.1. Teori Aliran Darah Baik (Retrograde Menstruation)


Dari berbagai teori yang ada teori aliran balik darah haid termasuk teori
paling tua menerangkan etiologi endometriosis. Pada teori tersebut digambarkan
bahwa terdapat aliran balik darah haid yang berisi jaringan endometrium melalui
saluran tuba falopii kemudian tumpah keluar dan melakukan implantasi di rongga
peritoneum. Teori yang dikembangkan oleh Sampson pada tahun 1927 ini telah
dikonfirmasi dengan pemeriksaan laparoskopi yang memang terbukti bahwa
terdapat aliran balik darah haid pada sebagian besar perempuan. Beberapa bukti
mendukung teori Sampson, yaitu meningkatnya kejadian endometriosis pada
perempuan dengan anomali duktus Mulleri berupa obstruksi pada kanalis serviks
sehingga darah haid tidak bisa keluar secara normal di uterus. Berdasarkan teori ini
endometriosis merupakan konsekuensi dari aliran balik darah haid melalui saluran
telur yang berlanjut dengan implantasi dan tumbuh di peritoneum dan ovarium.2
Disebutkan juga bahwa disfungsi uterus mempunyai peran krusial pada
kejadian endometriosis. Pada komponen darah haid ditemukan fragmen lapisan
basal endometrium, selanjutnya fragmen tersebut melakukan dislokasi transtuba
6

karena adanya disperistaltik tuba hingga terbentuk endometriosis peritoneum.


Berdasarkan data yang ada sampai saat ini teori aliran balik darah haid merupakan
teori yang paling banyak dianut, walaupun demikian masih terdapat beberapa hal
yang tidak dapat diterangkan dengan teori ini, yaitu misal kejadian endometriosis
pada anak perempuan yang masih belum haid, kejadian pada bayi dan pria.3
Teori regurgitasi mengemukakan adanya darah haid yang dapat mengalir
dari kavum uteri melalui tuba Falopii, tetapi tidak dapat menerangkan terjadinya
endometriosis diluar pelvis.2
2.4.2. Teori Metaplasia

Teori ini menyatakan bahwa endometriosis berasal dari sel ekstra uteri yang
secara abormal melakukan transdiferensiasi atau transformasi menjadi sel
endometriosis. Teori metaplasia celomic mempostulasikan bahwa endometriosis
berasal dari metaplasia sel-sel yang sudah terspesialisasi di lapisan mesotel di
peritoneum dan organ visera abdomen. Diduga hormon dan faktor imunologi yang
berperan menstimuli sel-sel peritoneum tersebut menjadi sel mirip endometrium.2
Teori metaplasia coelomic ini dapat menerangkan kejadian endometriosis
pada remaja putri prepubertas yang belum mendapat haid. Ternyata endometriosis
juga ditemukan pada fetus perempuan, keadaan ini diduga merupakan hasil defek
embriogenesis. Berdasarkan teori ini sel embrionik residu dari duktus Wolf dan
Mulleri tetap persisten dan karena pengaruh hormon estrogen menjadi berkembang
menjadi endometriosis. Teori metaplasia coelomic ini dapat menerangkan kejadian
endometriosis pada remaja bahkan selanjutnya berkembang menjadi endometriosis
stadium berat dan progresif.2

Faktor biokimia dan imunologi endogen berperan menginduksi selsel


undifferentiated berdiferensiasi menjadi sel mirip endometrium di lokasi ektopik.
Gambaran diatas didukung oleh studi Hormone-dependent transformation dari sel
peritoneum menjadi Mullerian-type cells.3
Teori metaplasia menjelaskan terjadinya metaplasia pada sel-sel coelom
7

yang berubah menjadi endometrium. Menurut teori ini, perubahan tersebut terjadi
akibat iritasi dan infeksi atau pengaruh hormonal pada epitel coelom. Dari aspek
endokrin, hal ini bisa diterima karena epitel germinativum ovarium, endometrium,
dan peritoneum berasal dari epitel coelom yang sama.2

Gambar 2.2 Metaplasia sel endometrium.

2.4.3. Teori Hormon


Terkait dengan teori sebelumnya bahwa kejadian endometriosis sebagian
besar didapatkan pada perempuan usia reproduksi dan tidak terjadi pada
perempuan usia pascamenopause yang sudah tidak mempunyai hormon estrogen
lagi. Tampak hormon seks steroid berperan sentral pada patogenesis
endometriosis. Pada siklus haid normal hormon estrogen berperan pada proliferasi
endometrium, keadaan ini sama dengan endometriosis dimana hormon estrogen
menstimulasi proliferasi endometrium ektopik dan meningkatkan respon jaringan
endometriosis terhadap estrogen. Perubahan hormon tersebut berpengaruh pada
proliferasi sel endometrium ektopik, penempelan pada mesotelium dan
penghindaran dari clearance sistem imun tubuh. Keadaan di atas mendukung
konsep bahwa endometriosis adalah estrogen dependent disease.3
Di dalam jaringan endometriosis didapatkan formasi estrogen yang tinggi.
Hormon estrogen yang berada di dalam jaringan endometriosis dapat berasal dari
tiga sumber, yaitu dari ovarium, jaringan ekstraovarium (jaringan adiposa dan
8

kulit) dan berasal dari produksi jaringan endometriosis itu sendiri. Sumber utama
estradiol adalah androstenedion (A) yang berasal dari adrenal dan ovarium,
kemudian dikonversi menjadi estron (E1) dan selanjutnya menjadi estradiol (E2).
Telah terbukti terdapat peningkatan ekspresi enzim 17b hidroksisteroid
dehidrogenase tipe 1 di jaringan endometriosis yang mengkatalisis konversi dari E1
ke E2. Didapatkan bukti pula bahwa estradiol dan sitokin Interleukin (IL)-1b dan
Tumor Necrosis Factor (TNF)-a yang meningkat pada endometriosis akan
mengaktivasi enzim siklo-oksigenase-2 (COX-2) hingga akan meningkatkan
prostaglandin E2 (PGE2). PGE2 ini adalah stimulator paling poten untuk aktivitas
aromatase di stroma jaringan endometriosis. Selain itu didapatkan perbedaan
aktivitas enzim 17b hidroksisteroid dehidrogenase (17b-HSD) antara di jaringan
endometrium eutopik (endometrium yang berada didalam kavum uteri) dan di
jaringan endometrium ektopik (endometriosis). Di jaringan endometrium eutopik
terdapat keseimbangan antara 17b-HSD tipe 1 dan tipe 2. Perlu diketahui sebagai
respons adanya hormon progesteron pada siklus normal endometrium, enzim 17β-
HSD tipe 2 akan melakukan inaktivasi estradiol dengan cara mengkonversi menjadi
estron yang lebih tidak poten.3

Aspek molekuler yang mendasari resistensi progesteron di endometriosis


adalah penurunan secara general kadar reseptor progesteron (RP) terutama
berkurangnya isoform RP-B sehingga menyebabkan sinyal parakrin menghilang.
Telah dibuktikan bahwa mekanisme transkripsi dan epigenetik berupa hipermetilasi
pada regio promoter RP-B berkontribusi pada proses resistensi progesteron.
Jaringan endometriosis tidak mampu mengaktivasi enzim 17β-HSD tipe 2 karena
terdapat “down-regulation” RP-B sehingga gagal melakukan metabolisme estradiol
menjadi estron yang lebih tidak poten. Konsekuensi adalah pasien akan terpapar
dengan Estradiol kadar tinggi terus-menerus. Pemahaman terhadap mekanisme
molekuler yang mendasari defisiensi RP-B menjadi salah satu pemikiran penting
pada patogenesis endometriosis.3
9

Gambar 2.3 Teori hormon.

2.4.4. Teori Defek Sistem Imun


Kemampuan jaringan endometrium untuk mampu bertahan hidup di lokasi
ektopik diduga berhubungan dengan respons imun penderita yang abnormal.
Sampai sekarang belum diketahui imunitas abnormal ini sebagai sebab atau akibat
kejadian endometriosis. Telah diketahui terjadi perubahan imunitas seluler maupun
humoral pada penderita endometriosis sehingga respons imun yang abnormal ini
akan menghasilkan eleminasi yang tidak efektif terhadap debris-debris aliran balik
darah haid. Kondisi ini menjadi faktor penyebab perkembangan penyakit
endometriosis. Regurgitasi jaringan endometrium kedalam rongga peritoneum
memicu respon inflamasi sehingga menyebakan penumpukan makrofag dan
leukosit lokal. Pada penderita endometriosis makrofag peritoneum akan teraktivasi,
sedangkan sel NK akan terepresi karena ada perubahan ekspresi reseptor killer.
Keadaan ini menyebabkan penyakit endometriosis menjadi berkembang melalui
peningkatan produksi sitokin dan faktor pertumbuhan yang menstimulasi
proliferasi endometrium ektopik dan penghambatan fungsi scavenger. Respons
10

inflamasi pada endometriosis akan menyebabkan defek imunsurveilen sehingga


menghambat eliminasi debris darah haid dan memicu implantasi serta pertumbuhan
sel endometrium di lokasi ektopik.3

Gambar 2.4. Teori defek sistem imun.

Selain itu salah satu konsep menarik pada patogenesis endometriosis adalah
sel endometriotik ektopik mempunyai kemampuan menghindar terhadap sistem
imunosurveilen tubuh. Hal ini diterangkan dengan adanya ICAM-1 (intercelluler
adhesion molecule-1) yang akan membangkitkan reseptor soluble dan akan
mengikat ligand leukosit serta berkompetisi dengan kemampuan leukosit
berpartisipasi pada interaksi sel-sel homotipik dan heterotipik. Pada beberapa
penelitian didapatkan ekspresi sICAM-1 mRNA dan protein yang meningkat pada
kultur sel endometriotik.3
11

2.5. DIAGNOSIS

1. Anamnesis
Pada anamnesis perlu ditanyakan apakah ada dijumpai faktor risiko dari
endometriosis. Gejala klinis dari endometriosis berikut ini biasanya memberikan
gambaran area yang melibatkan endometriosis6:
a) Dysmenorrhea
b) Perdarahan haid yang banyak (menorrhagia)
c) Nyeri pada pelvic
d) Nyeri pada abdomen bagian bawah
e) Dyspareunia
f) Dyschezia
g) Perasaan kembung (bloating), mual dan muntah
h) Dysuria
i) Subfertilitas
Karena kebanyakan nodul endometriosis dijumpai pada uterus, ovarum dan
peritoneum posterior, pasien biasanya dating dengan riwayat nyeri panggul yang
progresif. Tidak jarang juga dilaporkan adanya diare atau bahkan hematochezia
yang berhubungan dengan siklus menstruasi jika endometriosis melibatkan colon
rectosigmoid. Demikian juga dysuria, nyeri panggul/flank pain atau hematuria juga
dapat dijumpai bila melibatkan kandung kemih.
2. Pemeriksaan Fisik7
Pemeriksaan fisik pada endometriosis dimulai dengan melakukan inspeksi
pada vagina menggunakan spekulum, yang dilanjutkan dengan pemeriksaan
bimanual dan palpasi rektovagina. Pemeriksaan bimanual dapat menilai ukuran,
posisi dan mobilitas dari uterus. Pemeriksaan rektovagina diperlukan untuk
mempalpasi ligamentum sakrouterina dan septum rektovagina untuk mencari ada
atau tidaknya nodul endometriosis.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan
12

endometriosis ialah:
• Ultrasonografi (USG)
Nodul endometriosis dalam USG tampak sebagai massa yang solid, hypoechoic
dan ireguler. Massa tersebut mungkin berisi fokus ekogenik atau ruang-ruang kistik
kecil yang sering menunjukkan sedikit aliran darah atau tidak ada sama sekali.8
• Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Untuk melihat sejauh mana endometriosis melibatkan organ-organ lain seperti
kandung kemih, rectum atau ureter.8

2.6. STAGING
13

Gambar 2.5. Staging menurut klasifikasi ASRM.

2.7. DIAGNOSA BANDING

a) Adenomiosis
b) Pelvic Inflammatory Disease
c) Kista Ovarium
d) Fibroma Uterus
e) PCOS
f) Fibromialgia

2.8. TATALAKSANA

2.8.1. Penanganan Medis

Pengobatan endometriosis sulit mengalami penyembuhan karena adanya


risiko kekambuhan. Tujuan pengobatan endometriosis lebih disebabkan oleh
akibat endometriosis itu seperti nyeri panggul dan infertilitas. Pengobatan
endometriosis diantaranya ialah1:
a. Pengobatan simtomatik
Pengobatan dengan memberikan anti nyeri seperti paracetamol 500 mg 3
14

kali sehari, Non Steroidal Anti Imflammatory Drugs (NSAID) seperti ibuprofen
400 mg tiga kali sehari, asam mefenamat 500 mg tiga kali sehari. Tramadol,
parasetamol dengan codein, GABA inhibitor seperti gabapentin.1

b. Kontrasepsi Oral
Penanganan terhadap endometriosis dengan pemberian pil kontrasepsi dosis
rendah. Kombinasi monofasik (sekali sehari selama 6 – 12 bulan) merupakan
pilihan pertama yang sering dilakukan untuk menimbulkan kondisi kehamilan palsu
dengan timbulnya amenorea dan desidualisasi jaringan endometrium. Kombinasi
pil kontrasepsi apa pun dalam dosis rendah yang mengandung 30–35 µg
etinilestradiol yang digunakan secara terus-menerus bisa menjadi efektif terhadap
penanganan endometriosis. Tujuan pengobatan itu sendiri adalah induksi
amenorea, Dengan pemberian berlanjut selama 6 – 12 bulan. Membaiknya gejala
dismenorea dan nyeri panggul dirasakan oleh 60 – 95% pasien. Tingkat kambuh
pada tahun pertama terjadi sekitar 17 – 18%. Kontrasepsi oral merupakan
pengobatan dengan biaya lebih rendah dibandingkan dengan lainnya dan bisa
sangat membantu terhadap penanganan endometriosis jangka pendek, dengan
potensi keuntungan yang bisa dirasakan dalam jangka panjang.1,10
c. Progestin
Progestin memungkinkan efek antiendometriosis dengan menyebabkan
desidualisasi awal pada jaringan endometrium dan diikuti dengan atrofi. Progestin
bisa di anggap sebagai pilihan utama terhadap penanganan endometriosis karena
efektif mengurangi rasa sakit seperti danazol, lebih murah tetapi mempunyai efek
samping lebih ringan daripada danazol. Hasil dari pengobatan telah dievaluasi
pada 3 – 6 bulan setelah terapi. Medroxyprogesterone Acetate (MPA) adalah hal
yang paling sering diteliti dan sangat efektif dalam meringankan rasa nyeri.
Dimulai dengan dosis 30 mg per hari dan kemudian ditingkatkan sesuai dengan
respons klinis dan pola perdarahan. MPA 150 mg yang diberikan intramuskuler
setiap 3 bulan, juga efektif terhadap penanganan rasa nyeri pada endometriosis.
Pemberian suntikan progesterone depot seperti suntikan KB dapat membantu
15

mengurangi gejala nyeri dan perdarahan. Efek samping progestin adalah


peningkatan berat badan, perdarahan lecut, dan nausea. Pilihan lain dengan
menggunakan alat kontrasepsi dalam Rahim (AKDR) yang mengandung
progesteron, levonorgestrel dengan efek timbulnya amenorea dapat digunakan
untuk pengobatan endometriosis. Strategi pengobatan lain meliputi didrogestron
(20 – 30 mg perhari baik itu terus-menerus maupun pada hari ke 5 – 25) dan
lynestrenol 10 mg per hari. Efek samping progestin meliputi nausea,
bertambahnya berat badan, depresi, nteri payudara, dan perdarahan lecut.1,11
d. Danazol
Danazol suatu turunan 17 alpha ethinyltestosteron yang menyebabkan level
androgen dalam jumlah yang tinggi dan estrogen dalam jumlah yang rendah
sehingga menekan berkembangnya endometriosis dan timbul amenorea yang
diproduksi untuk mencegah implant baru pada uterus sampai ke rongga
peritoneal. Cara praktis penggunaan danazol adalah memulai perawatan dengna
400 – 800 mg per hari, dapat dimulai dengan memberikan 200 mg dua kali sehari
selama 6 bulan. Dosis dapat ditingkatkan bila perlu unuk mencapai amenorea dan
menghilangkan gejala-gejala. Tingkat kambuh pada endometriosis terjadi kira-kira
5 – 20% per tahun sampai ke tingkat kumulatif yaitu 40% setelah 5 tahun. Efek
samping yang paling umum adalah peningkatan berta badan, akne, hirsutisme,
vaginitas atrofik, kelelahan, pengecilan payudara, gangguan emosi, peningkatan
kadar LDL kolesterol, dan kolesterol total.1,12
e. Gestrinon
Gestrinon adalah 19 nortesteron termasuk androgen, antiprogestagenik, dan
antigonadotropik. Gestrinon bekerja sentral dan perifer untuk meningkatkan kadar
testosterone dan mengurangi kadar Sex Hormon Binding Globuline (SHGB),
menrunkan nilai serum estradiol ke tingkat folikular awal (antiestrogenik),
mengurangi kadar Luteinizing Hormone (LH), dan menghalangi lonjakan LH.
Amenorea sendiri terjadi pada 50 – 100% perempuan. Gestrinon diberikan dengan
dosis 2,5 – 10 mg, dua sampai tiga kali seminggu, selama enam bulan. Efek
16

sampingnya sama dengan danazol tapi lebih jarang.1

f. Gonadotropin Releasing Hormone Agonist (GnRHa)


GnRHa menyebabkan sekresi terus-menerus FSH dan LH sehingga hipofisa
mengalami disensitisasi dengan menurunnya sekresi FSH dan LH mencapai
keadaan hipogonadotropik hipogonadisme, dimana ovarium tidak aktif sehingga
tidak terjadi siklus haid. GnRHa dapat diberikan intramuskular, subkutan,
intranasal. Biasanya dalam bentuk depot satu bulan ataupun depot tiga bulan. Efek
samping antara lain, rasa semburan panas, vagina kering, kelelahan, sakit kepala,
pengurangan libido, depresi, atau penurunan densitas tulang. Berbagai jenis
GnRHa antara lain leuprolide, busereline, dan gosereline. Untuk mengurangi efek
samping dapat disertai dengan terapi add back dengan estrogen dan progesteron
alamiah. GnRHa diberikan selama 6 - 12 bulan.14,15
g. Aromatase Inhibitor
Fungsinya menghambat perubahan C19 androgen menjadi C18 estrogen.
Aromatase P450 banyak ditemukan pada perempuan dengan gangguan organ
reproduksi seperti endometriosis, adenomiosis, dan mioma uteri.1,15

2.8.2. Penanganan Pembedahan pada Endometriosis

Gambar 2.6. Indikasi pembedahan pada endometriosis.16

Pembedahan pada endometriosis adalah untuk menangani efek


endometriosis itu sendiri, yaitu nyeri panggul, sebfertilitas, dan kista. Pembedahan
bertujuan menghilangkan gejala, meningkatkan kesuburan, menghilangkan bintik-
bintik dan kista endometriosis, serta menahan laju kekambuhan.1
17

Gambar 2.7. Rekomendasi pembedahan pada endometriosis.16

a. Penanganan Pembedahan Konservatif


Pembedahan ini bertujuan untuk mengangkat semua sarang endometriosis
dan melepaskan perlengkatan dan memperbaiki kembali struktur anatomi
reproduksi. Sarang endometriosis dibersihkan dengan eksisi, ablasi kauter,
ataupun laser. Sementara itu kista endometriosis < 3 cm di drainase dan di kauter
dinding kista, kista > 3 cm dilakukan kistektomi dengan meninggalkan jaringan
ovarium yang sehat. Penanganan pembedahan dapat dilakukan secara laparotomi
ataupun laparoskopi. Penanganan dengan laparoskopi menawarkan keuntungan
lama rawatan yang pendek, nyeri pasca operatif minimal, lebih sedikit
perlengkatan, visualisasi operatif yang lebih baik terhadap bintik-bintik
endometriosis. Penanganan konservatif ini menjadi pilihan pada perempuan yang
masih muda, menginginkan keturunan, memerlukan hormon reproduksi,
mengingat endometriosis ini merupakan suatu penyakit yang lambat progresif,
tidak cenderung ganas, dan akan regresi bila menopause.1
b. Penanganan Pembedahan Radikal
Dilakukan dengan histerektomi dan bilateral salfingo-oovorektomi.
Ditujukan pada perempuan yang mengalami penanganan medis ataupun bedah
konservatif gagal dan tidak membutuhkan fungsi reproduksi. Setelah pembedahan
radikal diberikan terapi substitusi hormone.1
c. Penanganan Pembedahan Simtomatis
Dilakukan untuk menghilangkan nyeri dengan presacral neurectomy atau
LUNA (Laser Uterosacral Nerve Ablation).1
BAB III

STATUS PASIEN

DATA PRIBADI
Nama : Ny. S
Umur : 32 tahun
Pekerjaan : Perawat
Suku/Agama : Islam
Alamat : Dusun III Aman Damai
Tanggal Masuk : 28 Juli 2020

Ny. S, 32 thn, P0A0, Batak, Islam, D3, Perawat, menikah 1x, istri dari Tn. S, 37
thn, Batak, Islam, SMA, Wiraswasta, datang ke poli Obgin RSP USU Medan
tanggal 28-07-2020 dengan:
Keluhan Utama : Nyeri Perut Bawah
Telaah : Hal ini dialami pasien dalam 1 tahun terakhir, nyeri dirasa
semakin memberat dalam waktu 7 bulan terakhir. Nyeri bersifat hilang timbul,
nyeri dirasakan paling sakit saat haid. Riwayat keluar darah dari kemaluan
disangkal, riwayat haid memanjang disangkal, Riwayat keluar darah diluar siklus
haid disangkal, riwayat keputihan disangkal, riwayat perut dikusuk dan minum
jamu-jamuan disangkal, riwayat berdarah saat berhubungan seksual disangkal,
riwayat nyeri saat berhubungan seksual disangkal, pasien sebelumnya sudah
berobat ke SpOG dan didiagnosis dengan kista ovarium endometriosis kanan.
BAB dan BAK dalam batas normal.
Riwayat Penyakit Terdahulu : -
Riwayat Penggunaan Obat :-
Riwayat Haid : Menarche usia 15 tahun, teratur, siklus 28 hari,
lama 3-4 hari, volume 2-3 x ganti pembalut/hari, nyeri (+). Haid terakhir 5 Juli
2020.

18
19

Total Skor EWS: 0

Total Skor MEOWS: 1


20

Vital Signs
Anemis : (-)

Ikterik : (-)

Sianosis : (-)

Dispnoe : (-)

Edema : (-)

BB : 60 kg

TB : 155 cm

Sensorium : Compos Mentis

TD : 120/80 mmHg

HR : 84x/menit

RR : 20x/menit

Suhu : 36,7 ˚C

Keadaan Umum : Baik

Keadaan Gizi : Baik

Keadaan Penyakit : Sedang

Status Generalisata
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),refleks cahaya (+/+),
isokor, kanan = kiri
Leher : Pembesaran KGB tidak dijumpai
Thorax : Inspeksi : Simetris fusiformis
Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
21

Auskultasi : Jantung: S1(N) S2(N) S3(-) S4(-) reguler, murmur


(-)
Paru : Suara pernafasan: Vesikuler, Suara tambahan: (-)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT< 2 detik, clubbing finger (-), oedem pretibial
(-/-)
Genitalia : Edema pada labia (-)
Abdomen:
Soepel, normoperistaltik, teraba massa kistik, mobile, permukaan rata, dengan
pole atas 3 jari di bawah pusat, pole bawah setentang simpisis, nyeri tekan (-)
Status Ginekologis:
Inspekulo : Porsio erosi (-), darah (-), F/A (+), tidak tampak masa ektopik

VT : Terasa massa kistik, dengan permukaan rata, mobile (+), nyeri


tekan (-), dengan pole atas 3 jari dibawah pusat dan pole bawah setentang
simpisis, kesan dari adneksa kanan teraba massa, parametrium kanan dan kiri
lemas, cavum douglas tidak menonjol.

USG TVS
22

Intrepretasi:
– Kantung kencing kosong
– UT RF BB ukuran 7,89cm x 4,36 cm
– Tampak gambaran kista unilokuler dengan ukuran 9,86 x 11,65 cm dengan
gambaran echo homogen seperti ground glass. Kesan berasal dari adneksa
kanan
– Ovarium kanan ukuran : 2,49 x 2,85 x 1,58 cm
23

– Septa (-), Papil (-)


– Cairan bebas (-)
Kesimpulan: Endometrioma

Pemeriksaa Laboratorium 27 Juli 2020

Kimia Klinik
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hb 11,7 12,0-16,0
Hematokrit 36.50 38-44
Leukosit 10,26 4-11
Trombosit 551 150-440
Ureum 11,90 <50
Kreatinin 0.66 0,6-1,3
Na 138 135-155
K 4,02 3,5-5,0
Cl 100 96-106
HBsAg Non Reactive Non Reactive
HIV Non Reactive Non Reactive
Rapid Covid 19 Non Reactive Non Reactive
CA 125 >600 <35

Diagnosis
Kista Endometrium Kanan
Terapi
Asam mefenamat 500mg/8 jam (P.O)
Inj. Leuprolide asetat 3,75mg/bulan (I.M)
Rencana
Evaluasi terapi setelah 3 bulan
BAB IV

DISKUSI

Teori Pasien
Manifestasi Klinis
Endometriosis merupakan kelainan Pasien wanita berusia 32 tahun datang
ginekologi jinak yang sering diderita dengan keluhan nyeri perut bawah
oleh wanita usia reproduksi yang yang dialami dalam 1 tahun terakhir,
ditandai dengan adanya glandula dan nyeri dirasa semakin memberat dalam
stoma endometrium di luar letaknya waktu 7 bulan terakhir. Nyeri bersifat
yang normal. Gejala endometriosis hilang timbul, nyeri dirasakan paling
sangat tergantung pada letak sel-sel sakit saat haid.
endometrium. Keluhan yang paling
menonjol ialah nyeri pada panggul,
sehingga hampir 71-87% kasus di
diagnosis akibat keluhan nyeri kronis
hebat pada saat haid, dan hanya 38%
yang muncul akibat keluhan infertil.

Diagnosis
Gejala klinis dari endometriosis Pada pasien ditemui:
berikut ini biasanya memberikan •Nyeri abdomen bawah
gambaran area yang melibatkan •Dysmenorrhea
endometriosis: •Pada VT terasa massa kistik, dengan
• Dysmenorrhea permukaan rata, mobile (+), nyeri
• Perdarahan haid yang banyak tekan (-), dengan pole atas 3 jari
(menorrhagia) dibawah pusat dan pole bawah
setentang simfisis, kesan dari adneksa

24
25

• Nyeri pada pelvic kanan teraba massa, parametrium


• Nyeri pada abdomen bagian bawah kanan dan kiri lemas, cavum douglas
• Dyspareunia tidak menonjol.
• D y s c h e z i a P e r a s a a n k e m b u n g •Pada USG tampak gambaran kista
(bloating), mual dan muntah unilokuler dengan ukuran 9,86 x
• Dysuria 11,65 cm dengan gambaran echo
• Subfertilitas homogen seperti ground glass.
Pemeriksaan fisik pada Kesan berasal dari adneksa kanan.
endometriosis dimulai dengan
melakukan inspeksi pada vagina
menggunakan spekulum, yang
dilanjutkan dengan pemeriksaan
bimanual dan palpasi rektovagina.
Nodul endometriosis dalam USG
tampak sebagai massa yang solid,
hypoechoic dan ireguler. Massa
tersebut mungkin berisi fokus ekogenik
atau ruang-ruang kistik kecil yang
sering menunjukkan sedikit aliran
darah atau tidak ada sama sekali.
Tatalaksana
•Pengobatan Medis Pada pasien diberikan dan
•Pengobatan simtomatik direncanakan:
•Kontrasepsi oral •Asam mefenamat 500mg/8 jam (P.O)
•Progestin •Inj. Leuprolide asetat 3,75mg/bulan
•Danazol (I.M)
•Gestrinon •R/ Evaluasi terapi setelah 3 bulan
26

•Gonadotropin Releasing Hormone


Agonist (GnRHa)
•Aromatase Inhibitor
•Penanganan Pembedahan
•Pembedahan Konservatif
•Pembedahan Radikal
•Pembedahan Simtomatis (LUNA)
BAB V

KESIMPULAN

Endometriosis merupakan kelainan ginekologi jinak yang sering diderita


oleh wanita usia reproduksi yang ditandai dengan adanya glandula dan stoma
endometrium di luar letaknya yang normal. Pada definisi disebutkan bahwa
didapatkan jaringan endometrium berlokasi ektopik, di luar kavum uteri.
Endometriosis terdiri dari endometriosis interna dan eksterna. Sampai saat
ini etiologi endometriosis yang pasti belum jelas. Beberapa ahli mencoba
menerangkan kejadian endometriosis dengan berbagai teori, yakni teori implantasi
dan regurgitasi, metaplasia, hormonal, serta imunologik.
Diagnosis endometriosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang berupa USG dan/atau MRI. Endometriosis
ditatalaksana dengan obat-obatan seperti paracetamol atau NSAID sebagai terapi
simptomatik, kontrasepsi oral dosis rendah, progestin, danazol, gestrinon, GnRHa,
aromatase inhibitor, dan terapi pembedahan.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo. Ilmu kandungan Edisi 3. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo. 2011;106-108.
2. Suparman, E. Penatalaksanaan Endometriosis. Biomedik. 2012:4(2):69-78.
3. Hendarto, H. Endometriosis Dari Aspek Teori Sampai Penanganan
Klinis.UNAIR (Surabaya): Airlangga University Press (AUP); 2015
4. Zullo F, Spagnolo E, Saccone G, Acunzo M, Xodo S, Ceccaroni M, et al.
2017. Endometriosis and Obstetrics Complications: A Systematic Review and
Meta- Analysis <diunduh dari: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/28874260/,
pada tanggal 8 September 2020>.
5. PNPK., 2016. PerkumpulanObstetri dan Ginekologi Indonesia, Diagnosis dan
Tatalaksana Preeklampsia, <diunduh dari http://pogi.or.id, pada tanggal 10
April 2017>.
6. Davila, G.W. Endometriosis. 2018 [cited on 12 September 2020]. Available
from: https://emedicine.medscape.com/article/271899-overview
7. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, Himpunan Endokrinologi-
Reproduksi dan Fertilitas Indonesia. Konsensus tatalaksana nyeri haid pada
endometriosis. 2013 [cited on 12 September 2020]. Available from: http://
pogi.or.id/publish/download/pnpk-dan-ppk/
8. Yang, N. Endometriosis. 2020 [cited on 13 September 2020]. Available from:
https://radiopaedia.org/articles/endometriosis
9. Joliniere, J.B., Major, A., Ayoubi, J.M., Cabry, R., Khomsi, F., Lesec, G., et al.
It is Necessary to Purpose an Add-on to the American Classification of
Endometriosis? This Disease can be compared to a Malignant Proliferation
while remaining benign in most cases. EndoGram is a new profile witnesss of
its evolutionary potential. Front surg. 2019:6(27)
10. Vercellini P, Frontino G, De Giorgi O, Pietropaolo G, Pasin R, Crosignani G.
Continuous use of oral contraceptive for endometriosis-associated recurrent

28
29

dysmenorrhea that does not respond to a cyclic pill regimen. Fertil Steril.
2003;80(3):560- 563.
11. Tekin YB, Dilbaz B, Altinbas SK, Dilbaz S. Postoperative medical treatment of
chronic pelvic pain related to severe endometriosis: levonorgestrel-releasing
intrauterine system versus gonadotropin-releasing hormone analogue. Fertil
Steril. 2011;95(2):492-496.
12. Bedaiwy MA, Liu J. Long-term management of endometriosis: medical therapy
and treatment of infertility. Sexuality, Reproduction and Menopause.
2010;8(3):10-14.
13. Vercellini P, Somigliana E, Viganò P, Abbiati, A Barbara G, Crosignani G.
Endometriosis: current therapies and new pharmacological developments.
Drugs. 2009;69(6):649.
14. Zhao L, Wu H, Zhou X, Wang Q, Zhu W, Chen J. Effects of progressive
muscular relaxation training on anxiety, depression and quality of life of
endometriosis patients under gonadotrophinreleasing hormone agonist therapy.
Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol. 2012;162(2):211-215.
15. Abushahin F, Goldman KN, Barbieri E, Milad M, Rademaker A, Bulun SE.
Aromatase inhibition for refractory endometriosis-related chronic pelvic pain.
Fertil Steril. 2011;96(4):939-942.
16. Bedaiwy MA, Barker NM. Evidence based surgical management of
endometriosis. Middle East Fertility Society Journal. 2012;17(57-60).

Anda mungkin juga menyukai