TUGAS MANAJEMEN NYERI DALAM ASUHAN KEPERAWATAN PALIATIF
1. JAWABLAH PERTANYAAN DI BAWAH INI!
a. Jelaskan fisiologi nyeri (resepsi-persepsi-reaksi) 1. Resepsi Stimulu yang menyebab nyeri bisa stimulus mekanik, terminal, kimiawi, dan listrik. Pemaparan stimulus menyebabkan pelepasan kerusakan jaringan melepas histamin, bradikini, apabila kombinasi dengan resptor nyeri sampai pada ambang nyeri, kemudian terjadilah aktivasi melalui kalium di nosiseptor impuls saraf dan menyebar di sepanjang serabut saraf perifer aferen.dua tipe sraf perifer yang mengkonduksi stimulus nyeri yaitu serabut delta-a (myelin, cepat) dan serabut c (tdk bermyelin, kecil, lambat). a. Serabut delta -a (myelin, cepat ) sensasi tajam, terlokalisasi, melokalisasi sumber nyeri, mdeteksi instensitas nyeri b. Serabut c (tdk bermyelin, kecil, lambat). impuls terlokalisasi buruk, viseral, terus menerus Ketika serabu A-delta dan serabut C ditransmisikan impuls sepanjang saraf aferen (prostaglandin, kalium) dan berakhir dibagian karnu dorsalis, medula spinalis, dan didalam karnu dorsalis, medula spinalis dilepaskan neurotransmiter seperti substansia p dilepaskan sehingga di transmisikan ke trac. Spinotalamus. Serabut ssp di otak (pembentukan retikuler, sistem limbik, talamus, korteks sensori, korteks asosiasi), kompensasi tubuh (mengirim stimulus kembali ke bawah kornu dorsalis di medula spinalis/sist nyeri desenden neuroregulator (endorfin) yang menghambat stimulus nyeri dan nyeri dapat berkurang. 2. Persepsi Persepsi merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri. Setelah Stimulus nyeri ditransmisikan ke medulla spinalis, talamus, & otak tengah Dari talamus naik ke bbg area otak, termasuk korteks sensori & korteks asosiasi (di kedua lobus parietalis), lobus frontalis, dan sistem limbik (Paice, 1991). maka individu akan mempersepsikan sensasi nyeri dan terjadi reaksi yang kompleks. Faktor psikologis dan kognitif berinteraksi dengan faktor neueofisilogis dalam mempersepsikan nyeri. Saat individu sadar akan nyeri : terjadi reaksi kompleks. Tiga sistem interaksi persepsi nyeri (Meinhart & McCaffery, 1983) : a. Sensori-Diskriminatif 1) Transmisi nyeri tjd antara talamus & korteks sensori 2) Seorang individu m`persepsikan lokasi, keparahan, & karakter nyeri 3) Faktor2 yg menurunkan tk.kesadaran (ex : analgetik, anestetik, penyakit serebral) menurunkan persepsi nyeri 4) Faktor2 yg meningkatkan kesadaran thd stimulus (ex : ansietas, ggn tidur) meningkatkan persepsi nyeri b. Motivasi-Afektif 1) Interaksi antara p`bentukan sist retikular & sist limbik m`hasilkan persepsi nyeri 2) P`bentukan retikular m`hasilkan respons pertahanan, menyebabkan individu m`interupsi atau m`hindari stimulus nyeri 3) Sistem limbik mengontrol respons emosi & kemampuan yaitu koping nyeri c. Kognitif - Evaluatif 1) Pusat kortikal yg lebih tinggi di otak memengaruhi persepsi 2) Kebudayaan, pengalaman dgn nyeri, & emosi memengaruhi evaluasi thd pengalaman nyeri 3) Sistem ini membantu sso u/m`interpretasi intensitas & kualitas nyeri, shg dpt melakukan suatu tindakan 3. Reaksi a. Respons Fisiologis menstimulasi sistem saraf otonom (simpatis & parasimpatis) 1) Respon Sistem Saraf Simpatis a) Dilatasi bronchiolus & Pe RR b) Peningkatan denyut Jantung (N) c) Vasokonstriksi perifer (pucat,Pe TD) d) Peningkatan kadar glukosa darah e) Diaforesis f) Peningkatan ketegangan otot g) Dilatasi pupil h) Penurunan motilitas sal cerna
2) Respon Sistem Saraf Parasimpatis
a) Pucat b) Ketegangan otot c) Penurunan denyut jantung & TD d) Pernafasan cepat & tidak teratur e) Mual & muntah f) Kelemahan & kelelahan 3) Respons Perilaku : ada 3 fase pengalaman nyeri : antisipasi, sensasi, & aftermath a) Cemas, takut b) Ekspresi wajah : mengatupkan geraham, menggigit bibir, meringis, menangis,dsb c) Fokus perhatian hanya kpd sensasi nyeri d) Apasia, bingung, atau disorientasi e) Depresi b. Jelaskan klasifikasi nyeri! Klasifikasi nyeri dapat dibedakan menjadi 3, yaitu 1. Secara umum = Akut dan Kronik a. Nyeri Akut Terlokalisasi 1) Tajam; seperti ditusuk, disayat, di cubit, dll. 2) Respon saraf simpatis. 3) Penampilan gelisah, cemas 4) Pola serangan jelas b. Nyeri Kronik 1) Menyebar 2) Tumpul : ngilu, linu, kemeng, nyeri, dsb 3) Respon saraf parasimpatis 4) Penampilannya depresi, menarik diri 5) Pola serangannya tidak jelas 2. Berdasarkan sifat :Tertusuk dan Terbakar 3. Secara spesifik : Stomatis dan Viseral, Menjalar, Psikogenik, Phantom, Neorilogis a. Nyeri Somatik 1) Nyeri kulit (superficial): reseptornya adalah kulit, nyeri tajam, lokalisasi jelas. 2) Nyeri dalam (deep pain): reseptor nya adlah jaringan ikat, tulang, sendi, otot, gigi periodontium. Nyeri terasa tumpul, difus dan menyebar kejaringan sekitarnya. Contoh: sakit gigi, kepala neuralgia, mialgia b. Nyeri Visceral Reseptor : otot dalam (Viseral) spt, usus, jantung, periodontium dll c. Nyeri Psikogenik Nyeri yang dipengaruhi oleh factor psikologis. d. Nyeri Alih Nyeri alih orofasial disebabkan masuknya input ke kompleks nucleus sensorik dari berbagai jaringan orofasial (otot wajah, pulpa, laring, faring) sencara bersamaan melalui sarafneurion nositif trigeminal e. Nyeri Phantom 1) Nyeri yang umumnya menyebabkan sensasi terbakar, gatal dan merasa tubuhnya mendapatkan tekanan 2) Bisa merasakan sakit secara singkat bahkan bertahun-tahun 3) Kondisi ini terjadi akibat area otak cortex somatosensorikyang menyimpan data tentang tubuh mengalami perubahan. f. Nyeri Neuorologis Nyeri kronik yang disebabkan oleh kerusakan saraf somatisensorik baik di sentral maupun periper c. Sebutkan 4 komponen dalam mengkaji nyeri pada askep paliatif Komponen dalam mengkaji nyeri pada asuhan keperawatan paliatif ada 4, yaitu: 1) Rangsangan yang menyebabkan nyeri 2) Persepsi pikiran tentang ransangan tersebut 3) Interpretasi orang tersebut mengenai sensasi tidak menyenangkan penyebab nyeri 4) Kerusakan yang dihasilkan dari rangsangan tersebut d. Bagaimanakah strategi untuk memanage nyeri agar kualitas hidup klien baik Strategi yang dilakukan untuk mengelola nyeri agar kualitas hidup klien lebih baik, antara lain: 1) Pemberian obat analgetik teratur buku besar analgetik/ anjuran WHO 2) Penggunaan terapi farmakologis dan non-farmakologis yang sesuai 3) Berbagai macam strategi untuk meningkatkan suasana hati, moral, kesehatan umum, dan ketahanan 4) Diskusi terbuka yang timbul dari hubungan terapeutik yang kuat, untuk membantu intrepetasi yang tepat 5) Intervensi multi-segi untuk mengatasi gangguan hubungan, aktivitas normal kehidupan sehari-hari, perasaan diri, dan kemampuan diri. e. Sebutkan tahapan pemberian analgetik pada setting paliatif Pemilihan pemberian obat analgesik diberikan melalui 3 tahap: 1. Tahap 1. Nonopioid, contoh: aspirin, obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS atau NSAID) dan paracetamol. Obat ajuvan dapat diberikan. Bila nyeri masih menetap atau bertambah maka naik ke tahap berikutnya 2. Tahap 2. Opioid lemah untuk nyeri ringan–sedang, contoh: codeine. Obat nonopioid dan/atau ajuvan dapat diberikan. Bila nyeri masih menetap atau bertambah maka naik ke tahap berikutnya. Obat yang umum diberikan di tahap 2 ini adalah codeine atau tramadol, baik yang dikombinasikan dengan paracatemol atau tidak 3. Tahap 3. Opioid untuk nyeri sedang-berat, contoh: morfin, methadone, patch buprenorphine, fentanyl sistem transdermal. Obat nonopioid dan/atau ajuvan dapat diberikan f. Sebutkan dan jelaskan satu efek samping pemberian terapi opioids pada pasien paliatif Penggunaan opioid jangka panjang dapat menimbulkan efek samping fisiologis seperti mual, muntah, konstipasi, dan toleransi farmakologis. Opioid juga dapat menimbulkan efek samping gangguan psikologis, termasuk di antaranya gangguan depresi, gangguan cemas, gangguan tidur, delirium, dan disfungsi seksual. Risiko adiksi pada penggunaan opioid jangka panjang mencapai 25%. 1. Gangguan Gastrointestinal Gangguan gastrointestinal adalah efek samping yang paling sering ditemukan pada pengguna opioid jangka panjang. Frekuensi gangguan gastrointestinal meningkat pada penggunaan opioid >12 minggu. Gangguan gastrointestinal mempunyai hubungan yang lebih erat dengan opioid kuat seperti morfin dan oxycodone dibandingkan dengan kodein. Sediaan opioid ER/LA (extended release/ long acting) terutama morfin berkaitan dengan risiko konstipasi lebih tinggi.[2,9] Efek samping gangguan gastrointestinal seperti mual dan konstipasi dapat timbul karena kontrol nyeri yang tidak baik akibat dosis opioid tidak optimal atau penghentian terlalu cepat. Disfungsi saluran pencernaan timbul karena aktivasi reseptor mu-opioid selama pemberian terapi. Konstipasi dapat timbul sebagai satu-satunya efek samping pada 41% penelitian. Konstipasi akibat opioid ini umumnya tidak berespons baik terhadap pemberian laksatif dan dapat menimbulkan morbiditas berupa nyeri perut, refluks, perut kembung, hingga ileus obstruktif yang bisa menimbulkan perforasi bila tidak ditangani. 2. Gangguan Tidur Nyeri kronis itu sendiri dapat menyebabkan gangguan tidur. Namun, penelitian menggunakan polisomnografi menunjukkan bahwa penggunaan opioid menimbulkan risiko pola napas iregular dan sleep apnea sentral, sehingga diduga dapat menimbulkan gangguan tidur yang persisten pada pasien nyeri kronis. Prevalensi sleep apnea sentral pada pengguna opioid jangka panjang mencapai 24%. Penggunaan opioid >200 mg dosis ekuivalen morfin merupakan faktor risiko utama terjadinya sleep apnea sentral. Sebuah penelitian melaporkan kelompok yang diberikan morfin intravena mengalami penurunan gelombang lambat (slow-wave) tidur dan berkurangnya fase rapid eye movement yang menyebabkan tidur terganggu. 3. Gangguan Hormonal Gangguan hormonal yang timbul akibat penggunaan opioid disebut sebagai endokrinopati opioid. Gangguan hormonal dapat timbul pada pemberian opioid secara oral, intravena, intrathecal, bahkan transdermal. Sebuah tinjauan pustaka melaporkan penggunaan opioid jangka panjang berhubungan dengan hipogonadisme, sehingga diperlukan evaluasi berkala terhadap gejala-gejala hipogonadisme tersebut. Gejala yang sering dikeluhkan adalah penurunan libido, disfungsi ereksi, depresi, dan letargi. Kadar testosteron menurun setelah 1-4 jam pemberian opioid. Setelah penghentian penggunaan opioid jangka panjang, umumnya kadar testosteron dapat kembali normal setelah 24 jam. Pada wanita gejala lain endokrinopati opioid yang dapat timbul adalah dismenorea dan penurunan kepadatan tulang. 4. Gangguan Kardiovaskular Risiko gangguan kardiovaskular berupa penurunan fungsi jantung dapat meningkat apabila penggunaan opioid dikombinasi dengan obat-obatan lain seperti benzodiazepine. Gangguan kardiovaskular yang dapat timbul berupa bradikardia, vasodilatasi, hipotensi, edema, dan sinkop. Opioid jenis tertentu seperti buprenorphine dan methadone dapat menimbulkan pemanjangan gelombang QTc, sehingga perlu dilakukan elektrokardiografi berkala pada pasien- pasien yang menerima opioid jenis tersebut. Sebuah penelitian kohort melaporkan peningkatan risiko gangguan kardiovaskular berupa infark miokard yang terjadi pada penggunaan jangka panjang opioid (minimal 180 hari) dibandingkan dengan terapi nonopioid jangka panjang. 5. Gangguan Kognitif Penggunaan opioid jangka panjang diduga dapat menimbulkan efek samping gangguan kognitif. Sebuah studi potong lintang melaporkan pasien yang mendapat opioid jangka panjang mengalami penurunan kapasitas memori spasial, penurunan fleksibilitas untuk menangkap perubahan konsep, dan gangguan performa dalam penilaian memori kerja dibandingkan kelompok yang mendapat terapi nonopioid dan kelompok kontrol (pasien sehat). Sebuah studi potong lintang lainnya menemukan bahwa pasien yang menggunakan opioid jangka panjang memiliki kemampuan atensi (dinilai menggunakan COAST-word task) dan kepercayaan diri yang secara signifikan lebih rendah dibandingkan pasien tanpa terapi opioid. 6. Toleransi dan Dependensi Sebuah penelitian mengemukakan bahwa toleransi dan dependensi hampir tidak bisa dihindari pada penggunaan opioid jangka panjang. Potensi toleransi ini yang menjadi alasan untuk menggunakan opioid hanya untuk kasus-kasus tertentu saja yang memang benar membutuhkan opioid. Hal yang tidak kalah penting dalam pemberian opioid adalah mempertahankan dosis yang sama untuk jangka waktu yang lama. Dependensi adalah efek samping lain yang perlu dikhawatirkan dari pemberian opioid jangka panjang. Pasien yang mengalami dependensi opioid akan mengalami gejala withdrawal seperti dilatasi pupil, mual dan muntah, nyeri perut, takikardia, rasa merinding (goose flesh), agitasi, dan bahkan rasa nyeri yang bertambah berat ketika dosis opioid diturunkan atau pemberian dihentikan. 7. Adiksi Prevalensi adiksi pada klinik-klinik manajemen nyeri sekitar 2-14%. Opioid berpotensi menimbulkan adiksi walaupun digunakan sebagai manajemen nyeri berat atau terapi yang diresepkan oleh dokter (prevalensi mencapai 12%). Risiko adiksi meningkat seiring dengan besar dosis opioid yang digunakan. Penelitian oleh Huffman, et al. melaporkan bahwa peningkatan dosis opioid sebanyak 50 mg dosis ekuivalen morfin meningkatkan risiko adiksi 2 kali lipat. 8. Efek Samping Berat dan Kematian Opioid berpotensi menimbulkan efek samping berat (serious adverse events) dan kematian. Efek samping berat adalah efek samping yang mengancam nyawa pasien seperti gagal napas, menyebabkan pasien harus dirawat inap, memerlukan penanganan untuk mencegah gangguan permanen, penyalahgunaan obat (opioid use disorder) atau dependensi, cacat permanen, bahkan kematian. Prevalensi opioid use disorder berkisar antara 0,6-8% di fasilitas kesehatan primer. Sedangkan di klinik manajemen nyeri mencapai 8-16%. Efek samping berat berkaitan dengan dosis opioid yang digunakan dan interaksi obat misalnya dengan alkohol. Dari systematic review Cochrane terbaru, rerata event rate efek samping berat dari keseluruhan penelitan adalah 9% (288 kejadian) dari total 3203 kejadian efek samping akibat opioid. Penelitian Cochrane tersebut menyimpulkan risiko efek samping berat pada pasien dengan opioid meningkat 175% dibandingkan pasien dengan plasebo. Sediaan ER/LA (extended release/ long acting) tidak lebih superior dalam mengatasi nyeri dibandingkan dengan sediaan immediate release. Pemberian ER/LA malah berkaitan dengan risiko overdosis lebih tinggi karena berkaitan dengan dosis total harian opioid yang semakin besar. Penggunaan opioid dengan dosis 20 mg/ hari dosis ekuivalen morfin memiliki hazard ratio 1,9 untuk terjadi overdosis untuk pasien nyeri kronis. Hazard ratio ini meningkat menjadi 7,2 apabila dosis dinaikkan menjadi 100 mg/ hari dosis ekuivalen morfin. Oleh karena itu guidelines CDC terbaru menyarankan dosis opioid agar tetap di bawah 100 mg/ hari. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa penggunaan opioid dosis tinggi dapat meningkatkan risiko overdosis dan kematian, misalnya pada kasus pemberian dosis ekuivalen morfin >100 mg/ hari. Angka kematian akibat overdosis opioid meningkat dari angka 4000 menjadi 13800 dari tahun 1999 ke tahun 2006. Kematian akibat opioid dapat terjadi walaupun pemberian opioid sesuai guidelines. Sebuah penelitian oleh Manchikanti, et al. menunjukkan bahwa kebanyakan kematian akibat opioid terjadi pada pasien yang sedang dalam terapi opioid dari dokter bukan akibat penyalahgunaan opioid. Sekitar 20% kematian terjadi pada pemberian opioid 100 mg dosis ekuivalen morfin dan 40% kematian terjadi pada pasien yang mendapatkan opioid lebih besar dari dosis te