Anda di halaman 1dari 9

Nama : Zaqiah Nursolehah

NIM : AK118211

Kelas : 3C

TUGAS MANAJEMEN NYERI DALAM ASUHAN KEPERAWATAN PALIATIF

1. JAWABLAH PERTANYAAN DI BAWAH INI!


a. Jelaskan fisiologi nyeri (resepsi-persepsi-reaksi)
1. Resepsi
Stimulu yang menyebab nyeri bisa stimulus mekanik, terminal, kimiawi,
dan listrik. Pemaparan stimulus menyebabkan pelepasan kerusakan jaringan
melepas histamin, bradikini, apabila kombinasi dengan resptor nyeri sampai pada
ambang nyeri, kemudian terjadilah aktivasi melalui kalium di nosiseptor impuls
saraf dan menyebar di sepanjang serabut saraf perifer aferen.dua tipe sraf perifer
yang mengkonduksi stimulus nyeri yaitu serabut delta-a (myelin, cepat) dan
serabut c (tdk bermyelin, kecil, lambat).
a. Serabut delta -a (myelin, cepat )
sensasi tajam, terlokalisasi, melokalisasi sumber nyeri, mdeteksi instensitas
nyeri
b. Serabut c (tdk bermyelin, kecil, lambat).
impuls terlokalisasi buruk, viseral, terus menerus
Ketika serabu A-delta dan serabut C ditransmisikan impuls sepanjang saraf
aferen (prostaglandin, kalium) dan berakhir dibagian karnu dorsalis, medula
spinalis, dan didalam karnu dorsalis, medula spinalis dilepaskan neurotransmiter
seperti substansia p dilepaskan sehingga di transmisikan ke trac. Spinotalamus.
Serabut ssp di otak (pembentukan retikuler, sistem limbik, talamus, korteks
sensori, korteks asosiasi), kompensasi tubuh (mengirim stimulus kembali ke
bawah kornu dorsalis di medula spinalis/sist nyeri desenden neuroregulator
(endorfin) yang menghambat stimulus nyeri dan nyeri dapat berkurang.
2. Persepsi
Persepsi merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri. Setelah Stimulus
nyeri ditransmisikan ke medulla spinalis, talamus, & otak tengah Dari talamus
naik ke bbg area otak, termasuk korteks sensori & korteks asosiasi (di kedua lobus
parietalis), lobus frontalis, dan sistem limbik (Paice, 1991). maka individu akan
mempersepsikan sensasi nyeri dan terjadi reaksi yang kompleks. Faktor psikologis
dan kognitif berinteraksi dengan faktor neueofisilogis dalam mempersepsikan
nyeri. Saat individu sadar akan nyeri : terjadi reaksi kompleks. Tiga sistem
interaksi persepsi nyeri (Meinhart & McCaffery, 1983) :
a. Sensori-Diskriminatif
1) Transmisi nyeri tjd antara talamus & korteks sensori
2) Seorang individu m`persepsikan lokasi, keparahan, & karakter nyeri
3) Faktor2 yg menurunkan tk.kesadaran (ex : analgetik, anestetik, penyakit
serebral) menurunkan persepsi nyeri
4) Faktor2 yg meningkatkan kesadaran thd stimulus (ex : ansietas, ggn tidur)
meningkatkan persepsi nyeri
b. Motivasi-Afektif
1) Interaksi antara p`bentukan sist retikular & sist limbik m`hasilkan persepsi
nyeri
2) P`bentukan retikular m`hasilkan respons pertahanan, menyebabkan
individu m`interupsi atau m`hindari stimulus nyeri
3) Sistem limbik mengontrol respons emosi & kemampuan yaitu koping nyeri
c. Kognitif - Evaluatif
1) Pusat kortikal yg lebih tinggi di otak memengaruhi persepsi
2) Kebudayaan, pengalaman dgn nyeri, & emosi memengaruhi evaluasi thd
pengalaman nyeri
3) Sistem ini membantu sso u/m`interpretasi intensitas & kualitas nyeri, shg
dpt melakukan suatu tindakan
3. Reaksi
a. Respons Fisiologis menstimulasi sistem saraf otonom (simpatis &
parasimpatis)
1) Respon Sistem Saraf Simpatis
a) Dilatasi bronchiolus & Pe RR
b) Peningkatan denyut Jantung (N)
c) Vasokonstriksi perifer (pucat,Pe TD)
d) Peningkatan kadar glukosa darah
e) Diaforesis
f) Peningkatan ketegangan otot
g) Dilatasi pupil
h) Penurunan motilitas sal cerna

2) Respon Sistem Saraf Parasimpatis


a) Pucat
b) Ketegangan otot
c) Penurunan denyut jantung & TD
d) Pernafasan cepat & tidak teratur
e) Mual & muntah
f) Kelemahan & kelelahan
3) Respons Perilaku : ada 3 fase pengalaman nyeri : antisipasi, sensasi, &
aftermath
a) Cemas, takut
b) Ekspresi wajah : mengatupkan geraham, menggigit bibir, meringis,
menangis,dsb
c) Fokus perhatian hanya kpd sensasi nyeri
d) Apasia, bingung, atau disorientasi
e) Depresi
b. Jelaskan klasifikasi nyeri!
Klasifikasi nyeri dapat dibedakan menjadi 3, yaitu
1. Secara umum = Akut dan Kronik
a. Nyeri Akut
Terlokalisasi
1) Tajam; seperti ditusuk, disayat, di cubit, dll.
2) Respon saraf simpatis.
3) Penampilan gelisah, cemas
4) Pola serangan jelas
b. Nyeri Kronik
1) Menyebar
2) Tumpul : ngilu, linu, kemeng, nyeri, dsb
3) Respon saraf parasimpatis
4) Penampilannya depresi, menarik diri
5) Pola serangannya tidak jelas
2. Berdasarkan sifat :Tertusuk dan Terbakar
3. Secara spesifik : Stomatis dan Viseral, Menjalar, Psikogenik, Phantom, Neorilogis
a. Nyeri Somatik
1) Nyeri kulit (superficial): reseptornya adalah kulit, nyeri tajam, lokalisasi
jelas.
2) Nyeri dalam (deep pain): reseptor nya adlah jaringan ikat, tulang, sendi,
otot, gigi periodontium. Nyeri terasa tumpul, difus dan menyebar
kejaringan sekitarnya. Contoh: sakit gigi, kepala neuralgia, mialgia
b. Nyeri Visceral
Reseptor : otot dalam (Viseral) spt, usus, jantung, periodontium dll
c. Nyeri Psikogenik
Nyeri yang dipengaruhi oleh factor psikologis.
d. Nyeri Alih
Nyeri alih orofasial disebabkan masuknya input ke kompleks nucleus
sensorik dari berbagai jaringan orofasial (otot wajah, pulpa, laring, faring)
sencara bersamaan melalui sarafneurion nositif trigeminal
e. Nyeri Phantom
1) Nyeri yang umumnya menyebabkan sensasi terbakar, gatal dan merasa
tubuhnya mendapatkan tekanan
2) Bisa merasakan sakit secara singkat bahkan bertahun-tahun
3) Kondisi ini terjadi akibat area otak cortex somatosensorikyang menyimpan
data tentang tubuh mengalami perubahan.
f. Nyeri Neuorologis
Nyeri kronik yang disebabkan oleh kerusakan saraf somatisensorik baik di
sentral maupun periper
c. Sebutkan 4 komponen dalam mengkaji nyeri pada askep paliatif
Komponen dalam mengkaji nyeri pada asuhan keperawatan paliatif ada 4, yaitu:
1) Rangsangan yang menyebabkan nyeri
2) Persepsi pikiran tentang ransangan tersebut
3) Interpretasi orang tersebut mengenai sensasi tidak menyenangkan penyebab nyeri
4) Kerusakan yang dihasilkan dari rangsangan tersebut
d. Bagaimanakah strategi untuk memanage nyeri agar kualitas hidup klien baik
Strategi yang dilakukan untuk mengelola nyeri agar kualitas hidup klien lebih baik,
antara lain:
1) Pemberian obat analgetik teratur buku besar analgetik/ anjuran WHO
2) Penggunaan terapi farmakologis dan non-farmakologis yang sesuai
3) Berbagai macam strategi untuk meningkatkan suasana hati, moral, kesehatan
umum, dan ketahanan
4) Diskusi terbuka yang timbul dari hubungan terapeutik yang kuat, untuk membantu
intrepetasi yang tepat
5) Intervensi multi-segi untuk mengatasi gangguan hubungan, aktivitas normal
kehidupan sehari-hari, perasaan diri, dan kemampuan diri.
e. Sebutkan tahapan pemberian analgetik pada setting paliatif
Pemilihan pemberian obat analgesik diberikan melalui 3 tahap:
1. Tahap 1. Nonopioid, contoh: aspirin, obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS atau
NSAID) dan paracetamol. Obat ajuvan dapat diberikan. Bila nyeri masih menetap
atau bertambah maka naik ke tahap berikutnya
2. Tahap 2. Opioid lemah untuk nyeri ringan–sedang, contoh: codeine. Obat
nonopioid dan/atau ajuvan dapat diberikan. Bila nyeri masih menetap atau
bertambah maka naik ke tahap berikutnya. Obat yang umum diberikan di tahap 2
ini adalah codeine atau tramadol, baik yang dikombinasikan dengan paracatemol
atau tidak
3. Tahap 3. Opioid untuk nyeri sedang-berat, contoh: morfin, methadone, patch
buprenorphine, fentanyl sistem transdermal. Obat nonopioid dan/atau ajuvan
dapat diberikan
f. Sebutkan dan jelaskan satu efek samping pemberian terapi opioids pada pasien
paliatif
Penggunaan opioid jangka panjang dapat menimbulkan efek samping fisiologis
seperti mual, muntah, konstipasi, dan toleransi farmakologis. Opioid juga dapat
menimbulkan efek samping gangguan psikologis, termasuk di antaranya gangguan
depresi, gangguan cemas, gangguan tidur, delirium, dan disfungsi seksual. Risiko
adiksi pada penggunaan opioid jangka panjang mencapai 25%.
1. Gangguan Gastrointestinal
Gangguan gastrointestinal adalah efek samping yang paling sering ditemukan
pada pengguna opioid jangka panjang. Frekuensi gangguan gastrointestinal
meningkat pada penggunaan opioid >12 minggu. Gangguan gastrointestinal
mempunyai hubungan yang lebih erat dengan opioid kuat seperti morfin dan
oxycodone dibandingkan dengan kodein. Sediaan opioid ER/LA (extended
release/ long acting) terutama morfin berkaitan dengan risiko konstipasi lebih
tinggi.[2,9] Efek samping gangguan gastrointestinal seperti mual dan konstipasi
dapat timbul karena kontrol nyeri yang tidak baik akibat dosis opioid tidak
optimal atau penghentian terlalu cepat. Disfungsi saluran pencernaan timbul
karena aktivasi reseptor mu-opioid selama pemberian terapi. Konstipasi dapat
timbul sebagai satu-satunya efek samping pada 41% penelitian. Konstipasi akibat
opioid ini umumnya tidak berespons baik terhadap pemberian laksatif dan dapat
menimbulkan morbiditas berupa nyeri perut, refluks, perut kembung, hingga ileus
obstruktif yang bisa menimbulkan perforasi bila tidak ditangani.
2. Gangguan Tidur
Nyeri kronis itu sendiri dapat menyebabkan gangguan tidur. Namun, penelitian
menggunakan polisomnografi menunjukkan bahwa penggunaan opioid
menimbulkan risiko pola napas iregular dan sleep apnea sentral, sehingga diduga
dapat menimbulkan gangguan tidur yang persisten pada pasien nyeri kronis.
Prevalensi sleep apnea sentral pada pengguna opioid jangka panjang mencapai
24%. Penggunaan opioid >200 mg dosis ekuivalen morfin merupakan faktor
risiko utama terjadinya sleep apnea sentral. Sebuah penelitian melaporkan
kelompok yang diberikan morfin intravena mengalami penurunan gelombang
lambat (slow-wave) tidur dan berkurangnya fase rapid eye movement yang
menyebabkan tidur terganggu.
3. Gangguan Hormonal
Gangguan hormonal yang timbul akibat penggunaan opioid disebut sebagai
endokrinopati opioid. Gangguan hormonal dapat timbul pada pemberian opioid
secara oral, intravena, intrathecal, bahkan transdermal. Sebuah tinjauan pustaka
melaporkan penggunaan opioid jangka panjang berhubungan dengan
hipogonadisme, sehingga diperlukan evaluasi berkala terhadap gejala-gejala
hipogonadisme tersebut. Gejala yang sering dikeluhkan adalah penurunan libido,
disfungsi ereksi, depresi, dan letargi. Kadar testosteron menurun setelah 1-4 jam
pemberian opioid. Setelah penghentian penggunaan opioid jangka panjang,
umumnya kadar testosteron dapat kembali normal setelah 24 jam. Pada wanita
gejala lain endokrinopati opioid yang dapat timbul adalah dismenorea dan
penurunan kepadatan tulang.
4. Gangguan Kardiovaskular
Risiko gangguan kardiovaskular berupa penurunan fungsi jantung dapat
meningkat apabila penggunaan opioid dikombinasi dengan obat-obatan lain
seperti benzodiazepine. Gangguan kardiovaskular yang dapat timbul berupa
bradikardia, vasodilatasi, hipotensi, edema, dan sinkop. Opioid jenis tertentu
seperti buprenorphine dan methadone dapat menimbulkan pemanjangan
gelombang QTc, sehingga perlu dilakukan elektrokardiografi berkala pada pasien-
pasien yang menerima opioid jenis tersebut. Sebuah penelitian kohort melaporkan
peningkatan risiko gangguan kardiovaskular berupa infark miokard yang terjadi
pada penggunaan jangka panjang opioid (minimal 180 hari) dibandingkan dengan
terapi nonopioid jangka panjang.
5. Gangguan Kognitif
Penggunaan opioid jangka panjang diduga dapat menimbulkan efek samping
gangguan kognitif. Sebuah studi potong lintang melaporkan pasien yang
mendapat opioid jangka panjang mengalami penurunan kapasitas memori spasial,
penurunan fleksibilitas untuk menangkap perubahan konsep, dan gangguan
performa dalam penilaian memori kerja dibandingkan kelompok yang mendapat
terapi nonopioid dan kelompok kontrol (pasien sehat). Sebuah studi potong
lintang lainnya menemukan bahwa pasien yang menggunakan opioid jangka
panjang memiliki kemampuan atensi (dinilai menggunakan COAST-word task)
dan kepercayaan diri yang secara signifikan lebih rendah dibandingkan pasien
tanpa terapi opioid.
6. Toleransi dan Dependensi
Sebuah penelitian mengemukakan bahwa toleransi dan dependensi hampir tidak
bisa dihindari pada penggunaan opioid jangka panjang. Potensi toleransi ini yang
menjadi alasan untuk menggunakan opioid hanya untuk kasus-kasus tertentu saja
yang memang benar membutuhkan opioid. Hal yang tidak kalah penting dalam
pemberian opioid adalah mempertahankan dosis yang sama untuk jangka waktu
yang lama. Dependensi adalah efek samping lain yang perlu dikhawatirkan dari
pemberian opioid jangka panjang. Pasien yang mengalami dependensi opioid akan
mengalami gejala withdrawal seperti dilatasi pupil, mual dan muntah, nyeri perut,
takikardia, rasa merinding (goose flesh), agitasi, dan bahkan rasa nyeri yang
bertambah berat ketika dosis opioid diturunkan atau pemberian dihentikan.
7. Adiksi
Prevalensi adiksi pada klinik-klinik manajemen nyeri sekitar 2-14%. Opioid
berpotensi menimbulkan adiksi walaupun digunakan sebagai manajemen nyeri
berat atau terapi yang diresepkan oleh dokter (prevalensi mencapai 12%). Risiko
adiksi meningkat seiring dengan besar dosis opioid yang digunakan. Penelitian
oleh Huffman, et al. melaporkan bahwa peningkatan dosis opioid sebanyak 50 mg
dosis ekuivalen morfin meningkatkan risiko adiksi 2 kali lipat.
8. Efek Samping Berat dan Kematian
Opioid berpotensi menimbulkan efek samping berat (serious adverse events) dan
kematian. Efek samping berat adalah efek samping yang mengancam nyawa
pasien seperti gagal napas, menyebabkan pasien harus dirawat inap, memerlukan
penanganan untuk mencegah gangguan permanen, penyalahgunaan obat (opioid
use disorder) atau dependensi, cacat permanen, bahkan kematian. Prevalensi
opioid use disorder berkisar antara 0,6-8% di fasilitas kesehatan primer.
Sedangkan di klinik manajemen nyeri mencapai 8-16%. Efek samping berat
berkaitan dengan dosis opioid yang digunakan dan interaksi obat misalnya dengan
alkohol. Dari systematic review Cochrane terbaru, rerata event rate efek samping
berat dari keseluruhan penelitan adalah 9% (288 kejadian) dari total 3203 kejadian
efek samping akibat opioid. Penelitian Cochrane tersebut menyimpulkan risiko
efek samping berat pada pasien dengan opioid meningkat 175% dibandingkan
pasien dengan plasebo.
Sediaan ER/LA (extended release/ long acting) tidak lebih superior dalam
mengatasi nyeri dibandingkan dengan sediaan immediate release. Pemberian
ER/LA malah berkaitan dengan risiko overdosis lebih tinggi karena berkaitan
dengan dosis total harian opioid yang semakin besar. Penggunaan opioid dengan
dosis 20 mg/ hari dosis ekuivalen morfin memiliki hazard ratio 1,9 untuk terjadi
overdosis untuk pasien nyeri kronis. Hazard ratio ini meningkat menjadi 7,2
apabila dosis dinaikkan menjadi 100 mg/ hari dosis ekuivalen morfin. Oleh karena
itu guidelines CDC terbaru menyarankan dosis opioid agar tetap di bawah 100
mg/ hari.
Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa penggunaan opioid dosis tinggi dapat
meningkatkan risiko overdosis dan kematian, misalnya pada kasus pemberian
dosis ekuivalen morfin >100 mg/ hari. Angka kematian akibat overdosis opioid
meningkat dari angka 4000 menjadi 13800 dari tahun 1999 ke tahun 2006.
Kematian akibat opioid dapat terjadi walaupun pemberian opioid sesuai
guidelines. Sebuah penelitian oleh Manchikanti, et al. menunjukkan bahwa
kebanyakan kematian akibat opioid terjadi pada pasien yang sedang dalam terapi
opioid dari dokter bukan akibat penyalahgunaan opioid. Sekitar 20% kematian
terjadi pada pemberian opioid 100 mg dosis ekuivalen morfin dan 40% kematian
terjadi pada pasien yang mendapatkan opioid lebih besar dari dosis te

Anda mungkin juga menyukai