Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Pada kemajuan teknologi informasi komunikasi saat ini tidak hanya
memberikan dampak yang positif tetapi juga memberikan dampak yang buruk.
Penyampaian akan informasi begitu cepat dimana setiap orang telah dengan
mudah memproduksi informasi, dan informasi yang begitu cepat tersebut
melalui beberapa media sosial seperti facebook, twitter, ataupun pesan telpon
genggam seperti, whatsapp dan lain sebagainya yang tidak dapat difilter
dengan baik.
Informasi yang dikeluarkan baik orang perorang maupun badan usaha
melalui media sosial dan elektronik ketika telah terkirim dan dibaca oleh
banyak orang dapat mempengaruhi emosi, perasaan, pikiran  bahkan tindakan
seseorang atau kelompok. Sangat disayangkan apabila informasi yang
disampaikan tersebut adalah informasi yang tidak akurat terlebih informasi
tersebut adalah informasi bohong (hoax) dengan judul yang sangat provokatif
mengiring pembaca dan penerima kepada opini yang negatif. Opini negatif,
fitnah, penyebar kebencian yang diterima dan menyerang pihak ataupun
membuat orang menjadi takut, terancam dan dapat merugikan pihak yang
diberitakan sehingga dapat merusak reputasi dan  menimbulkan kerugian
materi.

2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan UU ITE ?
2. Analisis UU ITE terhadap pasal 28

1
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian UU ITE
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronikatau biasa disingkat
dengan UU ITE merupakan Undang-Undang(UU) yang didalamnya mengatur
segala hal tentang teknologi informasi yang berlaku di Indonesia. UU ini mulai
dirancang pada tahun 2003 oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi
(kominfo) yang saat itu dijabar oleh Syamsul Mu’arif. Kemudian UU ITE terus
digodog hinggs akhirnya lahirnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang diresmikan
secara langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Panjang sekali
perjalanan UU ITE hingga akhirnya dapat bergulir sebagai konstitusi yang
mengatur arus internet yang ada di Indonesia ini.
Awal mula dirumuskan undang-undang ini adalah demi menjaga stabilitas
arus internet Indonesia dari hal-hal yang dapat merusak serta melindungi hak-
hak para pengguna internet. Namun dalam berbagai kajian yang membahasa
UU ITE secara mendalam, telah ditemukan beberapa kejanggalan yang ada
dalam UU ITE serta dirasa perlu dilakuka sebuah revisi. Banyak sekali kasus-
kasus yang terjadi akibat imbas dari UU ITE yang banyak dipertanyakan oleh
para ahli. Sehingga akhirnya terjadilah revisi UU ITEpada bulan oktober 2016
dengan terdapat 4 hal yang berubah. Namun dari revisi tersebut pun dirasa para
ahli masih belum dapat menjaga stabilitas internet Indonesia serta perlu
diadakan kajian lebih lanjut. Oleh karena itu sebagai rakyat Indonesia
hendaknya ikut aktif mengawal jalannya konstitusi yang ada ini sehingga tidak
terjadi yang namanya kesewenang-wenangan dari para pemangku jabatan.
Pasal 1 UU ITE mencantumkan diantaranya definisi Informasi Elektronik.
Berikut kutipannya :
”Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,
foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail),

2
telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses,
simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu memahaminya.”
Dari definisi Informasi Elektronik di atas memuat 3 makna:
1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik
2. Informasi Elektronik memiliki wujud diantaranya tulisan, suara, gambar.
3. Informasi Elektronik memiliki arti atau dapat dipahami.

Jadi, informasi elektronik adalah data elektronik yang memiliki wujud dan
arti. Informasi Elektronik yang tersimpan di dalam media penyimpanan
bersifat tersembunyi. Informasi Elektronik dapat dikenali dan dibuktikan
keberadaannya dari wujud dan arti dari Informasi Elektronik.

2. Analisis UU ITE pasal 28

Dengan adanya internet saat ini memudahkan pihak-pihak tertentu atau


orang menyebar berita bohong kepada orang lain. Bukan hanya itu jumlah
penyebaran hoax atau berita bohong semakin besar tidak berbanding lurus
dengan jumlah persidangan yang seharusnya juga besar. Dengan masih belum
mampu menjerat beberapa pelaku hoax, sangat disayangkan pemerintah hanya
melakukan pemblokiran terhadap situs-situs  hoax. Sementara si pembuat
berita hoax masih dapat terus berproduksi melakukan ancaman dan
memperluas ruang gerak.
Dalam melawan hoax dan mencegah meluasnya dampak negatif hoax,
pemerintah pada dasarnya telah memiliki payung hukum yang memadai. Pasal
28 ayat 1 dan 2 UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE, Pasal 14 dan 15 UU No. 1
tahun 1946, Pasal 311 dan 378 KUHP, serta UU No. 40 tahun 2008 tentang
Penghapusan Diskiriminasi Ras dan Etnis merupakan beberapa produk hukum
yang dapat digunakan untuk memerangi penyebaran hoax. Selain produk
hukum, pemerintah juga sedang menggulirkan kembali wacana pembentukan
Badan Siber Nasional yang  dapat menjadi garda terdepan dalam melawan
penyebaran informasi yang menyesatkan, selain memanfaatkan program

3
Internetsehat dan Trust+Positif yang selama ini menjalankan fungsi sensor dan
pemblokiran situs atau website yang ditengarai memiliki materi negatif yang
bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana yang telah diubah
oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU 19/2016) menyatakan :
“Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita
bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam
Transaksi Elektronik.”
 Perbuatan yang diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE merupakan salah
satu perbuatan yang dilarang dalam UU ITE. UU ITE tidak menjelaskan apa
yang dimaksud dengan “berita bohong dan menyesatkan”.
Kata “bohong” dan “menyesatkan” adalah dua hal yang berbeda. Dalam
frasa “menyebarkan berita bohong” yang diatur adalah perbuatannya,
sedangkan dalam kata “menyesatkan” yang diatur adalah akibat dari perbuatan
ini yang membuat orang berpandangan salah/keliru. Selain itu, untuk
membuktikan telah terjadi pelanggaran terhadap Pasal 28 ayat (1) UU ITE
maka semua unsur dari pasal tersebut haruslah terpenuhi. Unsur-unsur tersebut
yaitu:
a. Setiap orang
b. Dengan sengaja dan tanpa hak.
Perlu dicermati perbuatan dengan sengaja itu apakah memang
mengandung niat kejahatan atau tidak dalam perbuatan itu dan melakukan
perbuatan tanpa hak atau melawan hukum
c. Menyebarkan berita bohong dan menyesatkan.
Karena rumusan unsur menggunakan kata “dan”, artinya kedua unsurnya
harus terpenuhi untuk pemidanaan, yaitu menyebarkan berita bohong (tidak
sesuai dengan hal/keadaan yang sebenarnya) dan menyesatkan
(menyebabkan seseorang berpandangan pemikiran salah/keliru). Apabila

4
berita bohong tersebut tidak menyebabkan seseorang berpandangan salah,
maka tidak dapat dilakukan pemidanaan. Menurut pandangan psikologis,
faktor yang dapat menyebabkan seseorang cenderung mudah percaya
pada hoax. Orang lebih cenderung percaya hoax jika informasinya sesuai
dengan opini atau sikap yang dimiliki ditambah orang yang menerima
informasi tidak dibekali oleh berbagai ilmu.
d. Yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.
Unsur yang terakhir ini mensyaratkan berita bohong dan menyesatkan
tersebut harus mengakibatkan suatu kerugian konsumen. Artinya, tidak
dapat dilakukan pemidanaan, apabila tidak terjadi kerugian konsumen di
dalam transaksi elektronik.
Semakin berkembangnya hoax di masyarakat juga mendorong beberapa
pihak dalam mulai melawan penyebaran hoax. Sejak tahun 2016 lalu,
Facebook mulai memperkenalkan fitur yang memungkinkan sebuah link
artikel yang dibagi melalui Facebook akan diberi tanda Dispute (ditentang)
bagi artikel-artikel yang ditengarai menyebarkan informasi yang dapat
diragukan kebenarannya.
Aplikasi pesan instan populer seperti Line juga mulai memerangi hoax
dengan aktif menyebarkan informasi melalui Line New manakala suatu
hoax mulai ramai di tengah masyarakat.
Pencegahan berita hoax dapat dilakukan pengetahuan akan internet Sehat
dengan literasi media. Literasi media adalah seperangkat kecakapan yang
berguna dalam proses mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan
menciptakan pesan dalam beragam bentuk. Literasi media digunakan
sebagai model instruksional berbasis eksplorasi sehingga setiap individu
dapat dengan lebih kritis menanggapi apa yang mereka lihat, dengar, dan
baca.
Orang yang melanggar ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU ITE dapat diancam
pidana berdasarkan Pasal 45 ayat (2) UU ITE yaitu:

5
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita
bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam
Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp  1 miliar.
Contoh Kasus
Sebagai contoh dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Tinggi DKI
Jakarta Nomor: 36/Pid.Sus/2018/PT.DKI, putusan tersebut menguatkan
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor
1116/Pid.Sus/2017/PN.Jkt.Brt, dalam putusan tingkat pertama tersebut
terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan, bersalah melakukan
tindak pidana secara bersama-sama melakukan penipuan dengan sarana
Transaksi Elektronik dan Tindak Pidana Pencucian Uang. Penipuan tersebut
dilakukan dengan cara tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan
mengenai investasi yang mengakibatkan kerugian konsumen. Perbuatan
terdakwa tersebut, diancam pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 45A
ayat (1) UU 19/2016 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
Terdakwa dihukum dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun dan
dijatuhkan pula pidana denda sebesar Rp 500 ribu dengan ketentuan apabila
denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan
kurungan.
Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menyatakan :
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang
ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras,
dan antargolongan (SARA).

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi


Elektronik (UU ITE) khususnya pasal 28 ayat (2) juga mememiliki unsur
penting yakni “menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu

6
dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA).” Berbeda dengan UU Diskriminasi, UU ITE
menggunakan unsur SARA yang diterjemahkan dengan “suku, agama, ras, dan
antargolongan” ini menunjukkan bahwa muatannya lebih luas lingkupnya di
banding UU Diskriminasi. Karena tidak hanya mengatur etnas dan ras namun
ada unsur kejahatan dalam frase “agama dan antar golongan”, yang tidak ada
dalam UU Diskriminiasi tersebut.

Karena pasal 28 ayat (2) ITE merupakan pasal paling kuat bagi tindak
pidana penyebaran kebencian di dunia maya di banding pasal-pasal pidana
lainnya. Maka tren penggunaan pasal 28 ayat (2) ITE ditahun-tahun mendatang
pasti lebih meningkat, ini karena elemennya lebih luas, dengan ancaman pidana
yang lebih berat dan secara spesifik mudah menyasar penyebar kebencian
berbasis SARA di dunia maya, dibanding UU lainnya.

Dalam pemantauan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Pasal UU


ITE ini telah digunakan dalam berbagai kasus penyebar kebencian di
Indonesia, berbeda dengan Pasal dalam UU Diskriminasi Rasial, yang belum
pernah digunakan sama sekali dalam Pengadilan. Beberapa kasus yang
menggunakan pasal-pasal dalam UU ITE umumnya terfokus kepada
penyebaran kebencian agama, dan belum pernah digunakan terkait kasus-kasus
penyebar kebencian berbasis ras dan etnis.

Orang yang melanggar ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU ITE dapat diancam
pidana berdasarkan Pasal 45 ayat (2) UU ITE yaitu:

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita
bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam
Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp  1 miliar.

7
Pertama, kasus Sandy Hartono yang diadili Pengadilan Negeri Pontianak
tahun 2011. Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Pontianak tanggal 20
September 2011 Nomor : 347/Pid.B/2011/PN.PTK ia terbukti membuat akun
facebook palsu dan memasukkan gambar-gambar maupun kalimat yang
berisikan penghinaan terhadap agama Islam. Ia di pidana penjara selama 6
(enam) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) karena dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang
ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan
antar golongan (SARA),

Kedua, kasus Alexander Aan yang diadili di Pengadilan Muaro Sumatera


barat tahun 2012, berdasarkan putusan No 45 /PID.B/2012/PN.MR ia di hukum
dua tahun penjara dan 3 bulan serta denda 100 juta karena terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana “Dengan sengaja dan
tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa
kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA)” berdasarkan
putusan pengadilan ia terbukti telah Terdakwa telah membuat di Akun
Facebook Terdakwa (Group Ateis Minang) yang bernama Alex Aan, email
indesgate@yahoo.co.id berupa tulisan yang menghina agama.

8
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Perbuatan penyebaran berita bohong diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU
ITE merupakan salah satu perbuatan yang dilarang dalam UU ITE dan pasal 28
ayat (2) yakni “menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA) dan orang yang melanggar ketentuan tersebut di atur
oleh UU ITE pasal 45 ayat (2).
Semakin besarnya jumlah penguna internet dan dengan mudahnya
mendapatkan informasi saat ini menjadikan berita hoax semakin dengan mudah
tersebar
2. Saran
Masyarakat perlu dibekali dengan pengetahuan akan internet Sehat dengan
Literasi media sehingga dapat mengenali ciri-ciri berita hoax, dan penerima
berita dapat mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dalam mengambil makna
dari suatu berita

9
DAFTAR PUSTAKA

Abner, Khaidir, Mohammad Ridho Abdillah, Rizky Bimantoro, Weiby Reinaldy.


2017. Penyelahgunaan Informasi Berita Hoax di media. Diambil dari :
https://mti.binus.ac.id/2017/07/03/penyalahgunaan-informasiberita-hoax-di-
media-sosial/
Icjr. 2017. Tren Penggunaan Pasal 28 Ayat 2 Ite. Di ambil dari :
http://icjr.or.id/tren-penggunaan-pasal-28-ayat-2-ite-terkait-penyebar-kebencian-
berbasis-sara-akan-meningkat/
Undang-Undang dan Transaksi Elektronik
https://www.academia.edu/30579954/MAKALAH_INDIVIDU_ANALISA_UU_
ITE

10

Anda mungkin juga menyukai