Anda di halaman 1dari 13

aspek hukum asuransi syariah

MAKALAH

ASPEK HUKUM ASURANSI SYARIAH


Tugas ini disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah:
ASPEK HUKUM
Dosen Pengampu: Dewy Anita,

Disusun Oleh:
Nikmatul Khoeriyah ( ES III/1623
Atika Sari ( PS III / 1623001)

INSTITUT AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA KEBUMEN


TAHUN 2016 / 2017

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

                   Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam. Atas rahmat, taufik dan hidayah-Nya lah
saya dapat merampungkan makalah ini yang Alhamdulillah sudah ada ditangan pembaca.

            Kata terima kasih tak lupa saya ucapkan kepada rekan-rekan  mahasiswa dan mahasiswi, atas
bantuan dan partisipasinya untuk penyelesaian makalah ini. Adapun isi makalah ini tentang  Aspek
Hukum Asuransi Syariah.

            Besar harapan saya agar makalah ini dapat berguna untuk para rekan-rekan sesama
mahasiswa dan mahasiswi dalam proses perkuliahan untuk membantu Mahasiswa(i) dalam mencari
informasi yang relevan dan aktual serta menambah dan memperluas wawasan kita
mengenaiAsuransi.

            Akhir kata yang kami ucapkan mohon maaf jika dalam proses penulisan makalah ini banyak
kekurangan disana dan disini. Pikiran kritis dan sumbang saran sangat diharapkan demi perbaikan
makalah ini.

  wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Kebumen,25 Oktober2017

  Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Setiap orang akan senantiasa berhadapan dengan kemungkinan terjadinya malapetaka dan
bencana yang membawa kerugian dalam hidupnya. Sebagai seorang muslim, kita yakini bahwa
rangkaian peristiwa tersebut bisa jadi berupa cobaan, teguran maupun azab yang datangnya dari
Allah. Dalam tataran tersebut, semuanya berada dalam bingkai jargon agama qadha  dan qadar  Allah
yang berlaku bagi semua mahluk-Nya. Manusia dituntut untuk menghadapi peristiwa-peristiwa itu
dengan segala upaya, ikhtiyar dan do’a agar apa yang menderanya dapat diminimalisir dampak yang
diakibatkannya.

Risiko di masa mendatang dapat berupa sakit, kecelakaan, bahkan kematian.Dalam dunia bisnis,
risiko yang dihadapi dapat berupa kerugian akibat kebakaran, kerusakan atau kehilangan maupun
risiko-risiko lainnya.Oleh karena itu, setiap resiko harus ditanggulangi sehingga tidak menimbulkan
kerugian yang lebih besar.

Untuk mengurangi risiko yang tidak kita inginkan dimasa yang akan datang orang kemudian
membutuhkan suatu model untuk dapat menanggung berbagai kerugian yang akan ditanggung.
Salah satu cara menghadapi kemungkinan terjadinya bencana atau malapetaka tersebut ialah
dengan menyimpan atau menabung uang. Dalam hal ini, perusahaan yang mau dan sanggup
menanggung setiap resiko yang akan dihadapi oleh nasabahnya adalah perusahaan asuransi.

Sistem atau akad yang dijalankan pada perusahaan asuransi ternyata tidak sejalan dengan
prinsip dasar yang ada dalam ajaran Islam, maka untuk memenuhi tujuan yang sama, dengan tetap
berjalan pada ajaran pokok Islam, ditemukan satu formulasi sistem tersendiri, yang selanjutnya
dikenal dengan nama asuransi takâful. Sistem ini didasarkan pada konsep tolong menolong dalam
kebaikan dan ketakwaan (ta’âwanu alâ al-birri wa al-taqwâ). Berbeda dengan konsep dasar asuransi
non-Islam atau konvensional yang mendasarkan akad sistemnya pada sistem jual beli
(sistem tabâdulî).

B.     RUMUSAN MASALAH

1.      Apa itu asuransi?

2.      Apa dasar hukum asuransi ?

3.      Apa saja jenis-jenis asuransi?

4.      Apa perbedaan antara asuransi konvensional dengan asuransi syariah?


C.     TUJUAN

1.      Mengetahui pengertian asuransi.

2.      Mengetahui dasar hukum asuransi.

3.      Mengetahui jenis-jenis asuransi.

4.      Mengetahui perbedaan antara asuransi konvensional dengan asuransi syariah.

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian

Kata asuransi disebut assurantie  yang bersumber dari bahasa Belanda, bermakna


penanggung dan tertanggung.Dalam bahasa Inggris, disebut insurance  yang bermakna
menanggung suatu kerugian yang terjadi.

Menurut Fatwa Dewan Asuransi Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Fatwa
DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah bagian pertama
menyebutkan pengertian Asuransi Syariah (ta‟min, takaful‟ atau tadhamun) adalah usaha saling
melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam
bentuk aset dan atau tabarru yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko
tertentu melalui akad atau perikatan yang sesuai dengan syariah.[1]

Dari definisi asuransi syariah di atas jelas bahwa pertama, asuransi syariah berbeda dengan
asuransi konvensional. Pada asuransi syariah setiap peserta sejak awal bermaksud saling menolong
dan melindungi satu dengan yang lain dengan menyisihkan dananya sebagai iuran kebajikan yang
disebut tabarru. Jadi sistem ini tidak menggunakan pengalihan risiko (risk tranfer)  di mana
tertanggung harus membayar premi, tetapi lebih merupakan pembagian risiko (risk sharing)  di mana
para peserta saling menanggung. Kedua, akad yang digunakan dalam asuransi syari‟ah harus selaras
dengan hukum Islam (syari‟ah), artinya akad yang dilakukan harus terhindar dari riba, gharar
(ketidak jelasan dana), dan maisir(gambling),  di samping itu investasi dana harus pada obyek yang
halal-thoyyibah.

Asuransi syariah adalah pengaturan pengelolaan risiko yang memenuhiketentuan syariah, tolong
menolong secara mutual yang melibatkan peserta dan operator.Syariah berasal dari ketentuan-
ketentuan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.[2]

Dalam perspektif ekonomi Islam, asuransi dikenal dengan istilah takafulyang berasal dari bahasa
arabtaka<fala-yataka<fulu-takaful yang berarti saling menanggung atau saling menjamin. Asuransi
dapat diartikan sebagai perjanjian yang berkaitan dengan pertanggungan atau penjaminan atas
resiko kerugian tertentu.

Asuransi menurut Undang-undang No. 1 tahun 1992, adalah sebagai berikut:

Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, di mana pihak
penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk
memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin
akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk
memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang
dipertanggungkan.

Dalam perjanjian asuransi di mana tertanggung dan penanggung mengikat suatu perjanjian
tentang hak dan kewajiban masing-masing.Perusahaan asuransi membebankan sejumlah premi
yang harus dibayar oleh tertanggung. Premi yang harus dibayar sebelumnya sudah ditaksirkan
dulu atau diperhitungkan dengan nilai risiko yang akan dihadapi. Semakin besar risiko, maka
semakin besar premi yang harus dibayar dan sebaliknya.

Perjanjian asuransi tertuang dalam polis asuransi, dimana disebutkan syarat-syarat, hak-hak,
kewajiban masing-masing pihak, jumlah uang yang dipertanggungkan dan jangka waktu
asuransi, jika dalam masa pertanggungan terjadi risiko, maka pihak asuransi akan membayar
sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat dan ditandatangani bersama sebelumnya.

B.     Dasar hukum asuransi

Pada saat ini masalah kekhawatiran, keamanan, risiko jiwa dan harta, sertaperlunya asuransi
merupakan isu yang sangat menyibukkan pikiran manusiakarena cukup banyak orang yang dilanda
ketakutan, kegelisahan memikirkankeselamatan diri, keluarga, dan harta benda yang mereka
miliki.Oleh karenaitu, sangatlah wajar apabila ada orang yang mencoba meminimalisir risikojiwa dan
harta benda yang mereka miliki.Dalam rangka meminimalisasirisiko kerugian tersebut, muncullah
berbagai perusahaan asuransi yangmenawarkan rasa aman dari berbagai ketakutan dan
kekhawatiran.Yangmenjadi pertanyaan adalah apakah asuransi diperbolehkan menurut
hukumIslam?Pendapat Abu Zahrah yang dikutip oleh Husain Syahatah, asuransikolektif (ta`āwun)
adalah halal. Menurutnya, asuransi jenis ini merupakanimplementasi sikap tolong-menolong dalam
kebajikan dan ketakwaan yangdiperintahkan Allah.11 Dalam al-Qur’an  Surat al-Ma’idah ayat 2
Allahberfirman:

“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dantakwa, dan jangan


tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Danbertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.

Menurut Husaini, tolong-menolong juga berlaku dalam asuransi kolektif

swadaya yang bersifat sukarela maupun asuransi kolektif pemerintah yangbersifat harus. Sebab,
pada hakikatnya ia adalah firma bersama milik parapenggunanya, mereka sama-sama menjadi
penanggung sekaligus tertanggungasuransi. Syaratnya, dana yang diperoleh halal dan tidak
mengandungsyubhat. Di samping itu model asuransi seperti ini juga pernah diterapkan pada awal
Islam dalam bentuk persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar.Dalam al-Qur’anmemang tidak
ada ayat yang jelas dan tegas mengenai masalah asuransi. Meskipun demikian dalam ayat al-
Qur’an  tetap menyebutkan nilai-nilai yang ada kaitannya dengan masalah asuransi, seperti tolong-
menolong, kerja sama, dan semangat untuk melakukan proteksi terhadap apa yang akan terjadi di
masa yang akan datang. Dalam surat al-Mā’idah ayat 2 sebagaimana sudah dikemukakan,
disebutkan bahwa manusia diciptakan di dunia tidak sendiri tetapi bersama dengan manusia lain.
Dalam fitrahnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, tetapi harus bersama-
sama dengan manusia lain yang hidup dalam masyarakat. Agar hidup manusia itu ringan, manusia
harus saling tolong-menolong dengan sesama manusia.Asuransi Islam pada hakikatnya adalah saling
tolong antar sesamanya. Dengan tolong-menolong kehidupan manusia akan lebih mudah dan
sejahtera, karena tidak seorang pun tahu nasibnya di masa akan datang. Hal ini sesuai dengan firman
Allah surat Luqmān ayat 34:

“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat; dan Dialah
yang menurunkan hujan dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang
dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok; dan tiada seorang pun yang
dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal”.

Dari ayat yang sudah dikemukakan jelas bahwa pengetahuan manusia sangat terbatas, biasanya
manusia hanya bisa merencanakan, sedangkan apa yang akan terjadi besuk pagi atau di masa yang
akan datang ia tidak tahu. Sebagai manusia, dia hanya diberi kemampuan untuk mengatur hidup dan
kehidupannya agar mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Salah satu cara untuk
mencapai kebahagiaan tersebut adalah dengan menyiapkan bekal (proteksi) untuk kepentingan di
masa yang akan datang, agar segala sesuatu yang bernilai negatif, dalam bentuk musibah,
kecelakaan,kebakaran atau kematian, dapat diminimalisasi kerugiannya.Dalam al-Qur’an Allah swt.
mengingatkan agar manusia mempersiapkan secara matang untuk menghadapi masa-masa yang
sulit di masa yang akan datang,dan inilah salah satu prinsip yang menjadi tolok ukur dari nilai
filosofiasuransi Islam, selain dalam bentuk semangat tolong-menolong dan bekerjasama.14
Peringatan itu ada dalam al-Qur’an surat Yusuf ayat 46-49, yangartinya kurang lebih sebagai berikut:

“Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina
yang gemuk-gemuk yang dimakan tujuh ekor sapi betinayang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum)
yang hijau dan (tujuh) yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka
mengetahuinya.”

Dalam ayat berikutnya, yakni Surat Yusuf ayat 47, Yusuf berkata: “Supaya kamu bertanam tujuh
tahun (lamanya) sebagaimana biasanya; maka yangkamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya
kecuali sedikit untuk kamumakan”. Dalam ayat 48 disebutkan: “Kemudian sesudah itu akan datang
tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya
(tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan”;

            Dalam surat yang sama ayat 49 disebutkan: “Kemudian setelah itu akan datang tahun yang
padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras anggur”. Dalam
Surat al-H{asyr ayat 18 Allah juga berfirman,: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah dibuat untuk hari esok (akhirat).
Dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

C.     Jenis-Jenis Asuransi

1.      Dilihat dari fungsinya Asuransi dibedakan :

a.       Asuransi kerugian (non live insurance)

1.       Asuransi kebakaran, kecelakaan kapal terbang dan lain-lain

2.       Asuransi pengangkutan

3.       Asuransi selain di atas, misalnya asuransi kendaraan bermotor pencurian dan lainya.
b.        Asuransi Jiwa (life insurance)

1. Asuransi berjangka

2. Asuransi tabungan

3. Asuransi seumur hidup.

c.  Reasuransi (reasurance)

Merupakan perusahaan yang memberikan jasa asuransi dalam pertanggungan ulang terhadap
resiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi kerugian.

2. Dilihat dari segi kepemilikannya, terbagi atas:

a. Asuransi milik pemerintah;

b. Asuransi milik swasta nasional;

c. Asuransi milik perusahaan asing;

d. Asuransi milik campuran[3]

D.    Perbedaan Antara Asuransi Konvensional Dengan Asuransi Syariah

1.      Akad (Perjanjian)

Perjanjian transaksi bisnis di antara pihak-pihak yang melakukannya harusjelas secara hukum
ataupun non-hukum untuk mempermudah jalannya kegiatan bisnis tersebut saat ini dan masa
mendatang.Akad dalam praktik muamalah menjadi dasar yang menentukan sah atau tidaknya suatu
kegiatan transaksi secara syariah.Hal tersebut menjadi sangat menentukan di dalam praktek asuransi
syariah.Akad antara perusahaan dengan peserta harus jelas, menggunakan akad jual beli (tabâduli)
atau tolong menolong (takâful).

Akad asuransi konvensional didasarkan pada akad tabâduli atau perjanjian jual beli.Syarat sahnya
suatu perjanjian jual beli didasarkan atas adanya penjual, pembeli, harga, dan barang yang diperjual-
belikan.Sementara itu di dalam perjanjian yang diterapkan dalam asuransi konvensional hanya
memenuhi persyaratan adanya penjual, pembeli dan barang yang diperjual-belikan.Sedangkan untuk
harga tidak dapat dijelaskan secara kuantitas, berapa besar premi yang harus dibayarkan oleh
peserta asuransi utnuk mendapatkan sejumlah uang pertanggungan.Karena hanya Allah yang tahu
kapan kita meninggal. Perusahaan akan membayarkan uang pertanggunggan sesuai dengan
perjanjian, akan tetapi jumlah premi yang akan disetorkan oleh peserta tidak jelas tergantung usia.
Jika peserta dipanjangkan usia maka perusahaan akan untung namun apabila peserta baru sekali
membayar ditakdirkan meninggal maka perusahaan akan rugi. Dengan demikian menurut
pandangan syariah terjadi cacat karena ketidakjelasan (gharar) dalam hal berapa besar yang akan
dibayarkan oleh pemegang polis (pada produk saving) atau berapa besar yang akan diterima
pemegang polis (pada produk non-saving).
Akad dalam Islam dibangun atas dasar mewujudkan keadilan dan menjauhkan penganiayaan. Harta
seorang muslim yang lain tidak halal, kecuali dipindahkan haknya kepada yang disukainya. Keadilan
dapat diketahui dengan akalnya, seperti pembeli wajib menyatakan harganya dan penjual
menyerahkan barang jualannya kepada pembeli.Dilarang menipu, berkhianat, dan jika berhutang
harus dilunasi. Jika kita mengadakan suatu perjanjian dalam suatu transaksi bisnis secara tidak tunai
maka kita wajib melakukan hal-hal berikut:

1. Menuliskan bentuk perjanjian (seperti adanya SP dan polis);

2.Bentuk perjanjian harus jelas dimengerti oleh pihak-pihak yang bertransaksi (akad tadâbuli atau
akad takâfuli);

3. Adanya saksi dari kedua belah pihak. Para saksi harus cakap dan bersedia secara hukum jika suatu
saat diminta kewajibannya. (Penulis simpulkan dari firman Allah Swt. dalam Q.s. al-Baqarah [2]: 282).

2. Gharar (Ketidakjelasan)

Definisi gharar menurut Mazhab Syâfi‘î adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam
pandangan kita dan akibat yang paling kita takuti.Gharar/ketidakjelasan itu terjadi pada asuransi
konvensional, dikarenakan tidak adanya batas waktu pembayaran premi yang didasarkan atas usia
tertanggung, sementara kita sepakat bahwa usia seseorang berada ditangan Yang Maha Kuasa. Jika
baru sekali seorang tertanggung membayar premi ditakdirkan meninggal, perusahaan akan rugi
sementara pihak tertanggung merasa untung secara materi. Jika tertanggung dipanjangkan usianya,
perusahaan akan untung dan tertanggung merasa rugi secara finansial.

Pada asuransi syariah akad tadâbuli (saling tukar) diganti dengan akad takâfuli (saling
menjamin), yaitu suatu niat tolong-menolong sesama peserta apabila ada yang ditakdirkan
mendapat musibah.Mekanisme ini oleh para ulama dianggap paling selamat, karena kita
menghindari larangan Allah dalam praktik muamalah yang gharar.

Pada akad asuransi konvensional dana peserta menjadi milik perusahaan asuransi (transfer
of fund). Sedangkan dalam asuransi syariah, dana yang terkumpul adalah milik peserta (shâhib al-
mâl) dan perusahaan asuransi syariah (mudhârib) tidak bisa mengklaim menjadi milik perusahaan.

3.Tabarru’ dan Tabungan

Tabarru’ berasal dari kata , yang artinya sumbangan atau derma. Orang yang menyumbang
disebut mutabarri (dermawan). Niat bertabarru’ bermaksud memberikan dana kebajikan secara
ikhlas untuk tujuan saling membantu satu sama lain sesama peserta asuransi syariah, ketika di
antaranya ada yang mendapat musibah. Oleh karena itu dana tabarru’ disimpan dalam rekening
khusus. Apabila ada yang tertimpa musibah, dana klaim yang diberikan adalah dari rekening tabarru’
yang sudah diniatkan oleh sesama peserta untuk saling menolong.
4.       Riba

Dalam hal riba, semua asuransi konvensional menginvestasikan dananya dengan bunga, yang
berarti selalu melibatkan diri dalam riba. Hal demikian juga dilakukan saat perhitungan kepada
peserta, dilakukan dengan menghitung keuntungan di depan. Investasi asuransi konvensional
mengacu pada peraturan pemerintah yaitu investasi wajib dilakukan pada jenis investasi yang aman
dan menguntungkan serta memiliki likuiditas yang sesuai dengan kewajiban yang harus dipenuhi.

5.       Dana Hangus

Ketidakadilan yang terjadi pada asuransi konvensional ketika seorang peserta karena suatu
sebab tertentu terpaksa mengundurkan diri sebelum masa reversing period. Sementara ia telah
beberapa kali membayar premi atau telah membayar sejumlah uang premi. Karena kondisi tersebut
maka dana yang telah dibayarkan tersebut menjadi hangus. Demikian juga pada asuransi non-saving
atau asuransi kerugian jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka premi yang dibayarkan
akan hangus dan menjadi milik perusahaan.

Kebijakan dana hangus yang diterapkan oleh asuransi konvensional akan menimbulkan ketidakadilan
dan merugikan peserta asuransi terutama bagi mereka yang tidak mampu melanjutkan karena suatu
hal. Disatu sisi peserta tidak punya dana untuk melanjutkan, sedangkan jika ia tidak melanjutkan
dana yang sudah masuk akan hangus. Kondisi ini mengakibatkan posisi yang dizalimi.[4]

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

      Asuransi syariah disebut juga dengan asuransi ta’awun atau tolong-menolong. Oleh krena itu
dapat dikatakan bahwa asuransi ta’awun prinsip dasarya adalalah dasar syariat yang saling toleran
terhadap sesama manusia untuk menjalin kebersamaan dalam meringankan bencana yang diaalami
oleh peserta. Kini masyarakat telah banyak yang beralih ke asuransi syariah, bukan karena syariah
tapi mereka tahu bahwa yang berdasarkan prinsip syariahlah yang lebih baik. Mengapa asuransi
syariah lebih baik karena perasuransian yang ada saat ini (asuransi konvensional) mengandung unsur
gharar, maisyir, dan riba, yang mana ketiga unsur tersebut tidak dibenarkan dalam islam.
Keunggulan asuransi islam terlihat dari konsep, sumber hukum, akad perjanjian, pengolahan dana
dan keuntungan, dibandingkan dengan asuransi konvensional.

DAFTAR PUSTAKA

Uswatun Hasanah, “Asuransi dalam perspektif hukum islam”, Asy-syir’ah jurnal Ilmu Ekonomi dan
Hukum, Vol. 47, No. 1, (Juni 2003).

Muh. Fudhail Rahman, “Asuransi dalam perspektif hukum Islam”, Al-‘Adalah Vol. X, No. 1 (Januari
2011)

[1]Laporan AkhirTim Analisis Dan Evaluasi HukumTentangPerasuransian (Asuransi Syariah) UU No. 2 Tahun
1992,http://www.bphn.go.id/data/documents/asuransi.pdf diakses pada tanggal 25 oktober 2017 jam  05:29

[2] Asuransi syariah bab2,http://digilib.uinsby.ac.id/11254/7/bab2.pdfdiakses pada tanggal 25


oktober 2017 jam 05:29
[3]Muh. Fudhail Rahman, “Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam”Al-‘Adalah, Vol. X
No. 1 Januari 2011, hlm.27

4.Muh. Fudhail Rahman, “Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam”Al-‘Adalah, Vol. X No.
1 Januari 2011, hlm.31

Komentar
Postingan populer dari blog ini
pemikiran ekonomi islam menurut yahya bin umar , ahmad bin hambal dan junaid baghdadi
November 14, 2017

PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM PADA ABAD KE-3 DAN KE-4 Tugas ini disusun guna
memenuhi tugas Mata Kuliah: EKONOMI ISLAM DAN SEJARAH PEMIKIRANYA Dosen
Pengampu: Mukhsinun, S.H.I., M.E.I Disusun Oleh: ATIKA SARI ( PS III / 1623001)
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM PRODI PERBANKAN SYARIAH TAHUN
2017 BAB I PENDAHULUAN A.     LATAR BELAKANG Sejarah membuktikan bahwa
Ilmuwan muslim pada era klasik telah banyak menulis dan mengkaji ekonomi Islam tidak
saja secara normatif, tetapi juga secara empiris dan ilmiah dengan metodologi yang
sistematis, seperti buku Ibnu Khaldun (1332-1406) dan Ibnu Taymiyah, bahkan Al-
Ghazali Al-Maqrizi. Selain itu masih banyak ditemukan buku-buku yang khusus
membahas bagian tertentu dari ekonomi Islam, seperti, Kitab Al-Kharaj karangan Abu
Yusuf (w.182 H/798 M), Kitab Al-Kharaj karangan Yahya bin Adam (.w.203 H), Kitab Al-
Kharaj karangan Ahmad bin Hanbal (w.221 M), Kitab Al-Amwal karangan Abu ’Ubaid
( w.224 H ), Al-Iktisab
BACA SELENGKAPNYA
 Diberdayakan oleh Blogger

Gambar tema oleh badins

UNKNOWN

KUNJUNGI PROFIL

Arsip
Laporkan Penyalahgunaan
aspek hukum asuransi syariah

Anda mungkin juga menyukai