"Dialah Allah, tidak ada Tuhan/Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, Dia
mempunyai asmaa'ul husna (nama-nama yang baik)."(Thaa-Haa 20:8)[1]
Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru,
Dia mempunyai al asmaa'ul husna(nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan
suaramu dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara
kedua itu" (Al-Israa' 17:110)[1]
"Allah memiliki Asmaa' ulHusna, maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama
yang baik itu..." (Al-A'raaf :180)[1]
A. Pengertian Asma`ul Husna
C. Perilaku yang Lahir atau Muncul dari Penghayatan terhadap Asma`ul Husna
Al adl
Al-'Adl artinya Maha Adil. Al-‘Adl bearasal dari kata ‘adala yang berarti lurus dan sama. Keadillan Allah SWT bersifat mutlak, tidak
dipengaruhi oleh apapun dan oleh siapapun. Keadilan Allah SWT juga didasari dengan ilmu Allah SWT yang Maha Luas. Sehingga tidak
mungkin keputusan-Nya itu salah. Alloh adalah Pencipta segala keindahan dan keburukan, kebaikan, dan kejahatan. Allah SWT bersifat adil
pada ciptaan-Nya, dalam hal ini ada rahasia yang sulit dimengerti. Tetapi setidak-tidaknya, kita memahami bahwa seringkali orang harus
mengenal lawan kata dari sesuatu untuk memahaminya. Orang yang tidak pernah merasakan kesedihan, tidak akan mengenal kebahagiaan.
Jika tidak ada yang buruk, kita tidak akan mengenal keindahan. Baik dan buruk sama pentingnya. Alloh menunjukkan yang satu dengan
yang lain, yang benar dengan yang salah, dan menunjukkan kepada kita akibat dari masing-masingnya. Dia memperlihatkan pahala sebagai
lawan kata dari siksaan. Lalu dipersilakan-Nya kita untuk menggunakan penilaian kita sendiri. Sesuai dengan takdirnya, masing-masing
mendapatkan keselamatan dalam penderitaan dan rasa sakit, atau kutukan dalam kekayaan. Alloh mengetahui apa yang terbaik bagi
makhluk-Nya. Hanya Alloh yang mengetahui nasib kita. Perwujudan dari nasib itu adalah keadilan-Nya.
Allah SWT berfirman dalam surat Al-An’am ayat 115 :
ا ع
ُ مي
ِ الس
َّ و
َ ُوه
َ ه
ِ ِمات َ ِل ل
َ ك ِل َ ِد ُ ال وعَ ْدال
ِّ َمب ً ص ْد
َ قا ِ ك
َ ِّ َرِب ُمة َ ت
َ ك ِل ْ م َّ َوتَ
مُ علِي َ ْل
Artinya : “Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al Qur'an, sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah-rubah
kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Orang yang adil adalah orang yang berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. Persamaan
inilah yang menunjukan orang yang adil tidak berpihak kepada salah seorang yang berselisih. dan seorang yang adil selalu berpihak kepada
yang benar, karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya. Maka orang yang adil akan melakukan
sesuatu yang patut, tidak sewenang-wenang dan berusaha memutuskan perkara secara adil sesuai hukum yang berlaku, tidak memihak
kepada siapapun dalam memutuskan suatu perkara, membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah.Adil juga dimaknai sebagai
penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya.
Yang pertama Adil terhadap Allah Ta’ala, yaitu dengan tidak berbuat syirik dalam beribadah kepada-Nya, mengimani nama-
nama-Nya dan sifat-sifat-Nya, menaati-Nya dan tidak bermaksiat kepada-Nya, senantiasa berdzikir dan tidak melupakan-Nya
serta mensyukuri nikmat-nikmatNya dan tidak mengingkarinya.
Yang kedua Adil terhadap sesama manusia, yaitu dengan memberikan hak-hak mereka dengan sempurna tanpa menzhaliminya,
sesuai dengan apa yang menjadi haknya.
Yang ketiga Adil terhadap keluarga (anak dan istri), yaitu dengan tidak melebihkan dan mengutamakan salah seorang di antara
mereka atas yang lainnya atau kepada sebagian atas sebagian yang lainnya.
Yang keempat Adil dalam perkataan, yaitu dengan berkata baik dan jujur tidak berdusta, berkata kasar, bersumpah palsu,
mengghibah saudara seiman dan lain-lain.
Yang kelima Adil dalam berkeyakinan, yaitu dengan meyakini perkara-perkara yang disebutkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah
yang shahih dengan keyakinan yang pasti tanpa keraguan sedikitpun dan tidak meyakini hal-hal yang tidak benar yang
menyelisihi keduanya.
Yang keenam Adil dalam menetapkan hukum dan memutuskan perselisihan yang terjadi antara sesama manusia, yaitu dengan
menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber hukum dan pemutus perkara tersebut.
Al-‘Adl
Al-‘Adl artinya Mahaadil. Keadilan Allah Swt. bersifat mutlak, tidak dipengaruhi oleh apa pun dan siapa pun.
Keadilan Allah Swt. juga didasari oleh ilmu Allah Swt. Yang Maha Luas. Sehingga tidak mungkin keputusan-
Nya itu salah. Allah Swt. berfirman:
Yang artinya : “Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (al-Qur’an, sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak
ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(Q.S. al-An’nam/6:115)
Al-‘Adl berasal dari kata ‘adala yang berarti lurus dan sama. orang yang adil adalah orang yang berjalan lurus
dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. Persamaan inilah yang menunjukan
orang yang adil tidak berpihak kepada salah seorang yang berselisih. Adil juga dimaknai sebagai penempatan
sesuatau pada tempat yang semestinya.
Allah Swt. dinamai al-‘Adl karena keadilan Allah Swt. adalah sempurna. Dengan demikian semua yang
diciptakan dan ditentukan oleh Allah Swt. telah menunjukan keadilan yang sempurna. Hanya saja, banyak
diantara kita yang tidak menyadari atau tidak mampu menangkap keadilan Allah Swt. terhadap apa yang
menimpa makhluk-Nya. Karena itu, sebelum menilai sesuatu itu adil atau tidak, kita harus dapat memperhatikan
dan mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan kasus yang akan dinilai. Akal manusia tidak dapat
menembus semua dimensi tersebut.
Seringkali ketika manusia memandang sesuatu secara sepintas dinilai buruk, jahat, atau tidak adil, tetapi jika
dipandang secara luas dan menyeluruh, justru sebaliknya, merupakan suatu keindahan, kebaikan, atau keadilan.
Tahi lalat secara sepintas terlihat buruk, namun jika berada ditengah-tengah wajah seseorang dapat terlihat
indah. Begitu juga memotong kaki seseorang (amputasi) terlihat kejam, namun jika dikaitkan dengan penyakit
yang mengharuskannya untuk dipotong, hal tersebut merupakan suatu kebaikan. Disitulah makna keadilan yang
tidak gampang menilainya.
Sebagian dari keadilan-Nya, Dia hanya menghukum dan memberi sanksi kepada mereka yang terlibat langsung
dalam perbuatan maksiat atau dosa. Istilah dosa turunan, hukum karma, dan lain semisalnya tidak dikenal dalam
syari’at Islam. Semua manusia dii hadapan Allah Swt. akan mempertanggung jawabkan dirinya sendiri.
Lebih dari itu, keadilan Allah Swt. selalu disertai dengan sifat kasih sayang. Dia memberi pahala sejak
seseorang berniat berbuat baik dan melipatgandakan pahalanya jika kemudian direalisasikan dalam amal
perbuatan. Sebaliknya, Dia tidak langsung memberi catatan dosa selagi masih berupa niat berbuat jahat. Sebuah
dosa baru dicatat apabila seseorang telah benar-benar berlaku jahat.
Al-‘Adl artinya Mahaadil. Keadilan Allah Swt. bersifat mutlak, tidak dipengaruhi oleh apa pun dan
oleh siapa pun. Keadilan Allah Swt. juga didasari dengan ilmu Allah Swt. yang MahaLuas. Sehingga
tidak mungkin keputusanNya itu salah. Allah Swt. berfirman:
Artinya : “Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (al-Qur’ān, sebagai kalimat yang benar dan adil.
Tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimatNya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (Q.S. alAn’ām/6:115).
Al-‘Adl berasal dari kata ‘adala yang berarti lurus dan sama. Orang yang adil adalah orang yang
berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. Persamaan
inilah yang menunjukkan orang yang adil tidak berpihak kepada salah seorang yang berselisih. Adil
juga dimaknai sebagai penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya. Allah Swt. dinamai al-‘Adl
karena keadilan Allah Swt. adalah sempurna.
Dengan demikian semua yang diciptakan dan ditentukan oleh Allah Swt. sudah menunjukkan
keadilan yang sempurna. Hanya saja, banyak di antara kita yangtidak menyadari atau tidak mampu
menangkap keadilan Allah Swt. terhadap apa yang menimpa makhluk-Nya. Karena itu, sebelum
menilai sesuatu itu adil atau tidak, kita harus dapat memperhatikan dan mengetahui segala sesuatu
yang berkaitan dengan kasus yang akan dinilai. Akal manusia tidak dapat menembus semua dimensi
tersebut. Seringkali ketika manusia memandang sesuatu secara sepintas dinilainya buruk, jahat, atau
tidak adil, tetapi jika dipandangnya secara luas dan menyeluruh, justru sebaliknya, merupakan suatu
keindahan, kebaikan, atau keadilan. Tahi lalat secara sepintas terlihat buruk, namun jika berada di
tengah-tengah wajah seseorang dapat terlihat indah. Begitu juga memotong kaki seseorang
(amputasi) terlihat kejam, namun ketika dikaitkan dengan penyakit yang mengharuskannya untuk
dipotong, hal tersebut merupakan suatu kebaikan. Di situlah makna keadilan yang tidak gampang
menilainya.
Allah Swt. Mahaadil. Dia menempatkan semua manusia pada posisi yang sama dan sederajat. Tidak
ada yang ditinggikan hanya karena keturunan, kekayaan, atau karena jabatan. Dekat jauhnya posisi
seseorang dengan Allah Swt. hanya diukur dari seberapa besar mereka berusaha meningkatkan
takwanya. Makin tinggi takwa seseorang, makin tinggi pula posisinya, makin mulia dan dimuliakan
oleh Allah Swt., begitupun sebaliknya. Sebagian dari keadilan-Nya, Dia hanya menghukum dan
memberi sanksi kepada mereka yang terlibat langsung dalam perbuatan maksiat atau dosa. Istilah
dosa turunan, hukum karma, dan lain semisalnya tidak dikenal dalam syari’at Islam.
Semua manusia di hadapan Allah Swt. akan mempertanggungjawabkan dirinya sendiri. Lebih dari
itu, keadilan Allah Swt. selalu disertai dengan sifat kasih sayang. Dia memberi pahala sejak
seseorang berniat berbuat baik dan melipatgandakan pahalanya jika kemudian direalisasikan dalam
amal perbuatan. Sebaliknya, Dia tidak langsung memberi catatan dosa selagi masih berupa niat
berbuat jahat. Sebuah dosa baru dicatat apabila seseorang telah benar-benar berlaku jahat.
Al awwal
Al - Awwal
Minggu, September 04, 2011 Web mdmk
Bismillahirrahmanirrahiim
Alhamdulillah kita telah mnginjak di bulan Syawal 1432 H ini.Semoga segala amalan ibadah kita di bulan
Ramadhan kemarin diterima Allah Subhanahu Wa Ta'ala aamiin.
Meneruskan kemarin telah memposting mengenai Ar-Rahman maka pagi ini kita memposting mengenai salah
satu dari Asmaul Husna juga yaitu Al - Awwal.Semoga bermanfaat sahabat
Cara mulia dan terpenting yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada Allah adalah dengan bertawasul
kepada-Nya dengan nama-nama-Nya yang baik.Allah telah memerintahkan kita dalam Al-Qur'an untuk berdoa
dengan menyebut nama-nama-Nya,sebagaimana firman-Nya : "Hanya milik Allah-lah al-Asma al-Husna',maka
bermohonlah dengan menyebut Asmaul al-Husna' itu dan tinggalkan orang-orang yang menyimpang dari
kebenaran dalam ( menyebut ) nama-nama-Nya.Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah
mereka kerjakan.
( QS. Al-A'raf " 180 ).
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam juga bersabda : "Sesungguhnya Alah memiliki sembilan puluh sembilan
nama,seratus kurang satu,barangsiapa menjaganya.ia akan masuk Jannah."
( HR. Bukhari dan Muslim ).
Al - Awwal adalah Zat yang tidak didahului sesuatupun sebelum-Nya, Dialah Zat yang Mahatinggi di atas segala
sesuatu, Dialah Zat yang Mahakaya tidak membutuhkan sesuatu pun.
Al - Awwal adalah Zat yang tidak didahului sesuatupun sebelum-Nya, Dialah Zat yang Mahatinggi di atas segala
sesuatu, Dialah Zat yang Mahakaya tidak membutuhkan sesuatupun.Dialah yang lebih dahulu dari
selainNya.Tiada satu makhluk pun yang dapat menandingi dan menyamai kesempurnaan sifatNya, karena Allah
itu Esa dalam Zat, sifat dan PerbuatanNya.
Al - Awwal adalah Zat yang memiliki sifat awwaliyah, dan sifat ini mengandung sifat dzatiyyah yang
menunjukkan bahwa sifat awwaliyahNya adalah bersifat mutlak, juga ketinggian yang tiada dimiliki kecuali oleh
Allah.
Jika seorang muslim sudah menyadari bahwa ia berasal dari tanah, ada permulaan dan penghabisan, meyakini
bahwa hidupnya hanya untuk beberapa waktu, maka ia akan meyakini bahwa segala kesempurnaan hanya milik
Allah, Rabb semesta alam.
Amal ketaatan yang telah dilakukannya adalah semata-mata karena taufik dan karunia Allah, serta meyakini
bahwa segala sesuatu akan kembali ke asalnya.
Adapun pengaruh nama tersebut terhadap perangai seorang hamba adalah dapat memunculkan kecintaan untuk
selalu mencari kebaikan, selalu memprioritaskan segala bentuk perintah Allah, selalu berlomba-lomba dalam
mencari pahala.
Juga dapat memberikan motivasi untuk selalu mengerjakan shalat pada awal waktu dan selalu berusaha untuk
berada di shaf terdepan, selalu bersungguh-sungguh untuk bisa mengungguli orang lain dalam hal ibadah,
demikian pula sikapnya terhadap berbagai amal kebajikan.
Pembuka Kata
Makna Kata
Nama Allah, Al Awwalu bermakna Yang amat nyata segala ayat-ayat dan perbuatan-Nya.
Penutup Kata
Demikian pengertian yang terkandung di dalam tiap-tiap nama dari Asmaul-Husna
yang amat masyhur itu. Pengertian yang kita terangkan secara ringkas seringkas-
ringkasnya. Bila dibentangkan atau diuraikan dengan panjang, maka nama Allah, Al
Awwalu tidak cukup dengan sebuah buku tebal seribu halaman, Allah tidak terbatas
keagungan, ketinggian, kemuliaan dan kesempurnaa-Nya.
Cara berdoa dengan Nama Allah, Al Awwalu dengan ditambahkan kata Jalla
Jalaaluhu yang artinya : Mulia kemuliaan-Nya. Misalnya "Ya Awwal Jalla
Jalaaluhu"
Al jabar
Al Jabbar
Posted by "Asmaul Husna"Thursday, March 28, 20130 comments
Salah satu Al-Asma`ul Husna adalah Al-Jabbar ( ار َ )ا ْل. Makna Al Jabbar sebagaimana diriwayatkan dari tafsir
ُ َّجب
Ibnu ‘Abbas c. Beliau mengatakan bahwa makna Al-Jabbar adalah Yang Maha Agung, dan sifat Jabarut artinya
sifat keagungan. Demikian dinukilkan oleh Al-Qurthubi t dalam tafsirnya Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang
berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan,
Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Maha Suci,
Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS Al Hasyr 59: 23)
Adapun makna Al-Jabbar secara ringkas seperti yang disampaikan oleh Asy-Syaikh As-Sa’di yaitu : “Yang Maha
Tinggi dan Tertinggi, juga bermakna Yang Memaksa, dan bermakna Ar-Ra`uf Yang kasih sayang, Yang
memperbaiki kalbu yang redam, memperbaiki yang lemah dan tidak mampu, serta yang berlindung kepada-
Nya.” (Tafsir As-Sa’di hal. 946) Ibnu Jarir t mengatakan: “Yang memperbaiki urusan makhluk-Nya, Yang
mengatur mereka dengan sesuatu yang maslahat bagi mereka.” (Dinukil dari Tafsir Ibnu Katsir, 4/367)
Salah satunya bahwa Dialah yang memperbaiki kelemahan hamba-hamba-Nya yang lemah, dan Yang
memperbaiki kalbu yang merasa redam di hadapan-Nya, yang tunduk di hadapan kebesaran-Nya dan
keagungan-Nya. Betapa banyak kalbu yang redam lalu Allah perbaiki, yang fakir lalu Allah berikan kecukupan,
yang hina lalu Allah muliakan, yang kesusahan lalu Allah hilangkan kesusahannya, yang kesulitan lalu Allah
berikan kemudahan. Dan betapa banyak orang yang terkena musibah lalu Allah perbaiki dengan memberinya
taufiq untuk kokoh dan sabar, dan Allah ganti karena musibahnya dengan pahala yang besar. Maka hakikat
makna Jabr adalah memperbaiki keadaan hamba dengan melepaskannya dari kesulitan, serta menghilangkan
darinya kesusahan. Makna (kedua) bahwa Dia Yang Maha memaksa, yang segala sesuatu tunduk kepada
kebesaran-Nya, yang semua makhluk tunduk kepada keagungan-Nya dan keperkasaan-Nya. Maka Dia
memaksa hamba-hamba-Nya kepada apa yang Dia kehendaki berupa sesuatu yang sesuai dengan tuntutan
hikmah-Nya dan kehendak-Nya. Maka mereka tidak dapat lepas darinya.
Makna yang ketiga bahwa Dia yang Maha Tinggi dengan Dzat-Nya di atas seluruh makhluk-Nya, sehingga tidak
seorangpun mendekat kepada-Nya. Al-’Allamah As-Sa’di t menyebutkan makna yang keempat, yaitu bahwa
Dia yang Maha Besar tersucikan dari segala kekurangan dan keserupaan dengan siapapun, serta tersucikan
dari sesuatu yang menyerupai-Nya, baik dalam kekhususan-kekhususan-Nya maupun hak-hak-Nya. (Syarh
Nuniyyah, 2/103-104)
Al Jabbar secara lughoh bisa bermakna ketinggian, keagungan, atau istiqamah. Sedang al jabbar bila
dinisbatkan kepada Allah bisa bermakna “ketinggian atau keagungan sifat yang tidak dapat dijangkau oleh
siapapun”. Ada juga yang memaknai al jabbar sebagai yang maha tinggi yang memaksa semua yang rendah
untuk tunduk patuh kepada-Nya. Dari sini kemudian muncul makna baru dari al jabbar yakni Yang Maha
Pemaksa, Yang Kehendaknya Tidak Diingkari, atau Yang Maha Perkasa.
Allah Yang Maha Pemaksa ketika menciptakan langit dan bumi memerintahkan keduanya datang dengan patuh
atau terpaksa. Mareka menjawab: “Kami datang dengan patuh.” (QS Al Fushilat 41: 11). Pada hakekatnya di
dunia ini tidak ada makhluk yang mampu menentang kehendak Allah. Semua berjalan sesuai dengan
sunnatullah. Seseorang bisa lari dari satu sunnatullah, tetapi dia pasti menuju sunnatullah yang lain. Orang
yang mengikuti sunnatullah dan berjalan di atas syari’at-Nyalah yang dikatakan sebagai orang yang tunduk
patuh kepada-Nya.
Di sisi lain jabbar juga bisa bermakna yang menumbuhkan dan memperbaiki sehingga keadaannya kembali
seperti semula. Dalam konteks ini Allahlah yang dapat menumbuhkan kembali semangat manusia yang hancur
karena mengalami goncangan batin yang disebabkan oleh kematian anggota keluarga, kebangkrutan bisnis,
bencana alam dan sejenisnya. Kefahaman manusia akan kecilnya nilai dunia dibanding dengan akherat akan
menumbuhkan kembali kesadaran bahwa apa yang hilang darinya tidaklah bermakna di hadapan Allah. Dunia
ini hanya bersifat sementara, sedang kehidupan akheratlah yang kekal. Akan tumbuh semangat untuk
mengejar akherat dan melupakan apa yang telah hilang. Allah juga yang dapat memperbaiki kehancuran
akhlak manusia kembali kepada fitrahnya bertauhid seperti ketika berada di dalam kandungan ibunya (QS Al
A’raf 7: 172).
Imam Ghazali sifat Allah Yang Maha Pemaksa ini dapat pula diteladani oleh manusia terpuji seperti Rasulullah
saw. Karena kemuliaan akhlaknya Rasulullah saw, maka para sahabatnya mencintainya, menghormatinya,
menempatkannya pada posisi yang amat tinggi, dan mengikuti pola hidupnya. Dengan sikap dan
keteladanannya Rasulullah saw secara tidak langsung memaksa para sahabat untuk mengikuti perilakunya
dalam kehidupan sehari-hari dan mengadopsi pola hidup Islam yang diajarkannya. Dalam hal ini Rasulullah
tidak mengambil manfaat tetapi memberi manfaat, beliau mempengaruhi tidak dipengaruhi, dan beliau diikuti
tidak mengikuti.
Kita dapat meneladai sifat jabbar dengan memperbaiki kualitas akhlak hingga ke tingkat akhlak mulia. Dengan
akhlak mulia inilah kita memberi keteladanan hidup kepada keluarga kita, sehingga anak dan istri
menghormati. Penghormatan anak istri karena kemuliaan akhlak kepada rumah tangga akan menjadi kunci
sukses dalam membangun keluarga yang berhias sakinah, mawaddah, wa rahmah. Kamuliaan akhlak seorang
kepala rumah tangga secara tidak langsung akan mengundang penghormatan anggota keluarga dan
menggerakkan hati mereka untuk mengikuti kebijakan-kebijakan yang digariskannya untuk keluarganya.
Begitu pula yang akan terjadi bila kepala kantor, kepala perusahaan, kepala daerah, dan kepala negara
berakhlak mulia. Kemuliaan akhlak seorang pimpinan akan menumbuh-kan rasa cinta bawahannya,
mengundang penghormatan mereka, dan mengikuti kebijakannya dengan penuh kesadaran. Yang perlu kita
fahami adalah kemuliaan akhlak ini hanya dapat dicapai dengan Islam. Al Islamu ya’lu wala yu’la ‘alaihi.
Maka pantas sekali kalau Allah swt senantiasa mengutus para nabi dengan berbekal akhlak karimah yang
senantiasa menyeru kepada umatnya u’budullaha wajtanibuththaghut (sembahlah Allah dan jauhilah thaghut).
Seruan untuk menghambakan diri hanya kepada Allah dan menjauhi thaghut inilah yang menjadi fondasi dari
bangunan akhlak karimah yang intinya adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dalam hal ini mestinya
bani Israil menjadi bangsa yang paling beruntung, karena sebagian besar nabi diutus dari golongan mereka.
Tetapi karena keingkarannya maka mereka pula yang menjadi bangsa yang paling banyak dikutuk Allah di
dalam Al Qur’an. Di antara mereka ada kelompok orang yang dimurkai Allah (Yahudi) dan ada pula kelompok
orang yang tersesa t (Nasrani). Mereka telah sesat dan menyesatkan banyak orang (QS Al Maidah 5: 77).
Mestinya kemuliaan akhlak para nabi menjadi teladan bagi para pemimpin bangsa. Manusia karena hawa
nafsunya cenderung untuk berbuat jahat (QS Yusuf 12: 53). Maka para pemimpin dengan kemulian akhlaknya
karena Al Qur’an diharapkan dapat membimbing mereka ke jalan keselamatan. Dengan pemimpin yang
berakhlak karimah maka peraturan dan kebijakan yang digariskan akan sesuai dengan akhlaknya. Pelaksanaan
kebijakan diharapkan tidak menyimpang dari akhlaknya. Pengawasan di lapanganpun diharapkan sesuai
dengan tuntutan akhlaknya. Begitu besar pengaruh akhlak ini, maka tidak mengherankan kalau Rasulullah saw
sebenarnya diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak karimah.
ِ َن ْال ُمهَ ْي ِمنُ ْال َع ِزي ُز ْال َجبَّا ُر ْال ُمتَ َكبِّ ُر ُس ْب َحانeُ ك ْالقُ ُّدوسُ ال َّسالَ ُم ْال ُم ْؤ ِم
َهللا َع َّما يُ ْش ِر ُكون ُ هُ َو هللاُ الَّ ِذي الَ ِإلَهَ إِالَّ هُ َو ْال َم ِل
“Dia-lah Allah Yang tiada sesembahan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera,
Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Al-Jabbar, Yang Memiliki segala
keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.
Dalam hadits Abu Said radhiyallahu anhu, disebutkan bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
م ُخبْزَ تَهُ فِي ال َّسفَ ِرeْ اح َدةً يَتَ َكفَّ ُؤهَا ْال َجبَّا ُر بِيَ ِد ِه َك َما يَ ْكفَأ ُ أَ َح ُد ُك
ِ تَ ُكونُ اأْل َرْ ضُ يوم ْالقِيَا َم ِة ُخبْزَ ةً َو
“Bumi pada hari kiamat akan menjadi satu adonan kue dan dibalikkan oleh Al-Jabbar dengan tangan-Nya sebagaimana
seseorang di antara kalian membalikkan adonan kuenya di saat melakukan safar. (Shahih, HR. Al-Bukhari, 5/2389, no. 6155
tahqiq Mushthafa Al-Bagha)
Al-Jabbar yakni yang memiliki sifat jabarut. Dalam salah satu doa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, yang diriwayatkan
sahabat Auf bin Malik radhiyallahu anhu:
“Aku berdiri (shalat) bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam. Ketika ruku beliau tetap diam
seukuran surat Al-Baqarah. Beliau mengatakan dalam ruku-nya: Maha suci Yang memiliki Jabarut, kerajaan (pengaturan),
kesombongan, dan keagungan. (Shahih, HR. Abu Dawud dan An-Nasai, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullahu dalam Shifat Shalatin Nabi, hal. 133)
Adapun makna Al-Jabbar secara ringkas seperti yang disampaikan oleh Asy-Syaikh As-Sadi rahimahullahu yaitu:
Yang Maha Tinggi dan Tertinggi, juga bermakna Yang Memaksa, dan bermakna Ar-Ra`uf Yang kasih sayang, Yang
memperbaiki kalbu yang redam, memperbaiki yang lemah dan tidak mampu, serta yang berlindung kepada-Nya. (Tafsir As-
Sadi hal. 946)
Ibnu Jarir rahimahullahu mengatakan:
Yang memperbaiki urusan makhluk-Nya, Yang mengatur mereka dengan sesuatu yang maslahat bagi mereka. (Dinukil dari
Tafsir Ibnu Katsir, 4/367)
Di antara nama-nama Allah Subhanahu wa Taala adalah Al-Jabbar. Artinya adalah Yang memaksa hamba-hamba sesuai
yang Dia maukan, baik berupa perintah atau larangan Dikatakan pula bahwa maknanya adalah Yang tinggi di atas makhluk-
Nya Di antara ungkapan orang Arab Nakhlah Jabbarah yakni pohon korma yang besar, yang tangan tidak dapat
menjangkaunya.
Asal maknanya adalah memperbaiki sesuatu disertai semacam paksaan Adapun apa yang Allah Subhanahu wa Taala sifatkan
semacam Al-Aziz Al-Jabbar Al-Mutakabbir, maka dikatakan bahwa Allah dinamai dengan nama itu dari ungkapan jabartu
al-faqir artinya aku memperbaiki keadaan orang faqir. Karena Allah, Dialah yang memperbaiki manusia dengan nikmat-Nya
yang melimpah. Dikatakan pula, karena Dia memaksa manusia kepada kehendak-Nya.
Al-Harras rahimahullahu juga mengatakan bahwa Ibnul Qayyim rahimahullahu menyebutlan tiga makna, yang semuanya
masuk dalam makna nama tersebut, di mana dibenarkan masing-masing makna tersebut dimaukan darinya:Salah satunya
bahwa Dialah yang memperbaiki kelemahan hamba-hamba-Nya yang lemah, dan Yang memperbaiki kalbu yang merasa
redam di hadapan-Nya, yang tunduk di hadapan kebesaran-Nya dan keagungan-Nya. Betapa banyak kalbu yang redam lalu
Allah Subhanahu wa Taala perbaiki, yang fakir lalu Allah Subhanahu wa Taala berikan kecukupan, yang hina lalu Allah
Subhanahu wa Taala muliakan, yang kesusahan lalu Allah Subhanahu wa Taala hilangkan kesusahannya, yang kesulitan lalu
Allah Subhanahu wa Taala berikan kemudahan. Dan betapa banyak orang yang terkena musibah lalu Allah Subhanahu Wa
Taala perbaiki dengan memberinya taufiq untuk kokoh dan sabar, dan Allah Subhanahu wa Taala ganti karena musibahnya
dengan pahala yang besar. Maka hakikat makna Jabr adalah memperbaiki keadaan hamba dengan melepaskannya dari
kesulitan, serta menghilangkan darinya kesusahan.
Makna (kedua) bahwa Dia Yang Maha memaksa, yang segala sesuatu tunduk kepada kebesaran-Nya, yang semua makhluk
tunduk kepada keagungan-Nya dan keperkasaan-Nya. Maka Dia memaksa hamba-hamba-Nya kepada apa yang Dia
kehendaki berupa sesuatu yang sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya dan kehendak-Nya. Maka mereka tidak dapat lepas
darinya.
Makna yang ketiga bahwa Dia yang Maha Tinggi dengan Dzat-Nya di atas seluruh makhluk-Nya, sehingga tidak seorangpun
mendekat kepada-Nya.
Al-Allamah As-Sadi rahimahullahu menyebutkan makna yang keempat, yaitu bahwa Dia yang Maha Besar tersucikan dari
segala kekurangan dan keserupaan dengan siapapun, serta tersucikan dari sesuatu yang menyerupai-Nya, baik dalam
kekhususan-kekhususan-Nya maupun hak-hak-Nya. (Syarh Nuniyyah, 2/103-104)
Makna semacam ini juga diriwayatkan dari tafsir Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma. Beliau mengatakan bahwa makna Al-
Jabbar adalah Yang Maha Agung, dan sifat Jabarut artinya sifat keagungan. Demikian dinukilkan oleh Al-Qurthubi
rahimahullahu dalam tafsirnya (18/47).
Al Jabbar
( Yang Maha Memaksa )
Al Jabbar yang bermakna Yang Maha Memaksakan Kehendak, sebelum membahas tentang Al jabbar
lebih lanjut, mari kita buka pembahasan ini dengan membaca sebuah hadits Qudsi:
“ Kemulian adalah pakaian-Ku dan keangkuhan adalah selempang-Ku, siapa yang mencoba merebutnya dari-Ku
akan ku siksa.” ( HR. Muslim)
Sifat ini dapat disandang oleh manusia terpuji , apabila ia meneladaninya dengan takwa, Allah pun akan
menempatkan pada kedudukan yang lebih tinggi dari pengikutnya, yang berarti ia menjadi pemimpin umat
bahkan mencapai puncaknya tersendiri dengan takwa.
Dengan meneladani sifat Asmaul Husna Al Jabbar ini sikap dan penampilan dari orang ini akan berwibawa,
berpengaruh diikuti dan ditakuti oleh pengikutnya. Kemungkinan tidak ada seorang pun yang dapat
memandangnya kecuali rindu kepadanya. Orang yang menyandang difat ini adalah Nabi Muhammad
SAW. Beliau bersabda:
“Seandainya Musa hidup, dia tidak dapat tidak kecuali mengikutiku” (HR. Ahmad dari Jabir Ra.)
Al Jabbar yang berarti yang maha perkasa lagi maha memaksakan kehendak, menurut hadits Qudsi diatas
bahwa kemulian Allah adalah pakaiannya dan keangkuhan adalah selempangnya, kata tersebut bermakna
memaksa kepada siapapun mahkluk yang mencoba merebut kemulian dan keangkuhan, dengan
perumpamaan kalau manusia yang beranggapan bahwa ia adalah seorang yang perkasa lagi sombong
berarti ia mencoba merebut pakaian dan selempang-Nya.
Maka dari itu manusia tak sepatutnya mempunyai sifat sombong dan angkuh karena akan disiksa oleh
Allah. Dikarenakan ia merebut pakaian dan selempang-Nya. Dengan menciptakan manusia yang
mempunyai akal yang dapat membedakan yang haq dan bathil, mana yang halal dan mana yang haram,
mana yang bermnanfaat dan mana yang mudlarat, mana yang terpuji dan mana yang di murkai-Nya.
Manusia yang diciptakan mempunyai kebebasan, tetapi mempunyai arah tujuan penciptaan kita adalah
untuk mengenal Allah, menemui Allah dan kembali kepada Allah. Untuk itu kalau ingin mengenal Allah
harulah kita mengetahuiAsmaul Husna (nama-nama baik bagi Allah), sebagai mana fitrah sebagai manusia
pada saat penciptaan-Nya.
Manusia hidup didunia mengalami beberapa peristiwa dan berbagai ujian serta cobaan yang dapat
mengguncang hidupnya bahkan melumpuhkannya. Kemiskinan yang membuat gundah gulana, kekayaan
dan kegembiraan yang melenakan, ketakutan yang mencekam, penyakit yang menyerang, kesedihan yang
menghujam, berbagai macam perasaan yang berkecamuk dalam diori manusia.
Allah sebagai Al jabbar dapat memperbaiki yang rusak, meluruskan yang bengkok, menambal yang bocor,
menajamkan yang tumpil, menghilangkan kecemasan dan gundah gulana, memaafkan kesalahan
menagmpuni dosa sehingga dapat kembali kepada sedia kala.
Denga begitu Allah yang Maha Memaksa dapat membuat dan mengalihkan keadaan secara paksa,
apabila kita meminta serta berdoa dengan ihklas disertai dengan takwa. Untuk itu nama Al Jabbar ini dapat
menghilangkan keresahan, menetramkan hati dan jiwa yang resah. Tidak ada tempat yang dapat diminta
lagi selain Allah karena Allah dapat memaksa segala kehendak dan kondisi. Dan apabila kita dihadapkan
kepada kemaksiatkan mintalah perlindungan kepada Allah, dengan perlindungan dan kasih-Nya.
Diantara dzikir, do’a dan wirid yang dapat digunakan untuk melebur diri dalam nama dan sifat al-jabbar
adalah:
• Berdzikir dengan lafadz “Ya Jabbar (Wahai dzat Yang Maha Perkasa/Maha Mulia) dengan jumlah yang
tak terbatas.
• Apabila seseorang yang sungguh-sungguh beriman kepada keperkasaan Allah yang tak terkalahkan itu,
dengan hati bersih mengharapkan kekuatan itu dengan membaca “Ya Jabbar” sebanyak 237 kali, atau
sebanyak-banyaknya pada waktu pagi dan petang, insya Allah dia akan terhindar dari ancaman-ancaman
manusia dan jin sekalipun.
Al alim
1. Al-‘Alim Pada artikel ini hanya empat al-Asmau-al-Husna yang akan kalian pelajari, yaitu:
al-‘Alim, al-Khabir, as-Sami’, al-Basir. Setelah mempelajari topik ini, kalian diharapkan dapat
menjelaskan makna keempat al-Asmau-al-Husna itu, dan menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari. Al-‘Alim artinya Maha Mengetahui. Allah Swt. Maha Mengetahui yang tampak
atau yang gaib. Pengetahuan Allah Swt. tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Segala aktivitas
yang dilakukan makhluk diketahui oleh Allah Swt. Bahkan, peristiwa yang akan terjadi pun
sudah diketahui oleh Allah Swt. Dengan kata lain, pengetahuan Allah Swt. itu tanpa batas.
Luar biasa, bukan? Agar lebih yakin perhatikan firman-Nya berikut ini. ”Dan pada sisi Allahlah
kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. dan Dia
mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur
melainkan Dia mengetahuinya (pula). dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi
dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang
nyata (Lauh Mahfus).” (Q.S. al-An’am/6:59) Subhanallah, luar biasa! Perlu kalian ketahui
bahwa Allah Swt. menyuruh kita untuk menggali ilmu sebanyak-banyaknya, agar kalian
dapat mengetahui ciptaan-Nya, baik yang ada di langit atau yang ada di bumi.
Sesungguhnya, Allah Swt. sangat menyukai orang yang rajin mencari ilmu pengetahuan dan
mengamalkannya. Perilaku yang dapat diwujudkan dalam meyakini sifat Allah al-‘Alim
adalah kita wajib terus-menerus mencari ilmu-ilmunya Allah Swt. dengan cara belajar dan
merenungi ciptaan-Nya. Tapi ingat! Penting juga untuk diperhatikan bahwa kita tidak boleh
merasa paling pandai. Orang berilmu itu wajib tetap rendah hati. Seperti pohon padi,
semakin berisi semakin merunduk. Aktivitas Siswa : 1. Perhatikan Q.S. al-An’am/6:59 pada
pembahasan al-Asmau-al-Husna mengenai al-‘Alim ! 2. Jelaskan pesan-pesan yang ada pada
Q.S. al-An’am/6:59 itu !
َو ِع ْن َدهُ َمفَاتِ ُح اْل َغ ْي ِب ال َي ْعلَ ُمهَ ا ِإال ُه َو َوَي ْعلَ ُم َم ا ِفي اْلَب ِّر َواْلَب ْح ِر *
ِ ِ ٍ ٍ ِ
ض َوال ِ األرْ َو َم ا تَ ْس قُطُ م ْن َو َرقَ ة ِإال َي ْعلَ ُمهَ ا َوال َحَّبة في ظُلُ َم ات
)٥٩( ين ٍ ِاب ُمب ٍ َس ِإال ِفي ِكت ٍ ِط ٍب وال َياب
َ ْ َر
”Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia
sendiri. dan Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur
melainkan Dia mengetahuinya (pula). dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak
pula sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).”
(Surah al-An’am/6:59)
Subhanallah, luar biasa! Perlu kalian ketahui bahwa Allah Swt. menyuruh kita untuk menggali ilmu
sebanyak-banyaknya, agar kalian dapat mengetahui ciptaan-Nya, baik yang ada di langit maupun yang ada
di bumi. Sesungguhnya, Allah Swt. sangat menyukai orang yang rajin mencari ilmu pengetahuan dan
mengamalkannya.
Perilaku yang dapat diwujudkan dalam meyakini sifat Allah al-‘Alim adalah kita harus terus-menerus
mencari ilmu-ilmunya Allah Swt. dengan cara belajar dan merenungi ciptaan-Nya. Tapi ingat! Penting juga
untuk diperhatikan bahwa kita tidak boleh merasa paling pandai. Orang berilmu itu harus tetap rendah
hati.
Al Alim
Posted by "Asmaul Husna"Saturday, March 30, 20130 comments
ن
ِ م
َ ح ِ ّ ــــــــــــــــــــــم الل
ْ ه ال َّر ِ سْ ِب
Al-Alim, العليم, Maha Mengetahui Segala Sesuatu
“Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah; kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga)
burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan
tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan”
Bagi Allah, tidak ada yang tersembunyi. Serapat-rapat manusia menyimpan rahasia, Allah pasti
mengetahuinya. Sekelebat mata yang berkhianat, Allah mengetahuinya. Niat hati yang tersimpan rapi,
Allahpun mengenalinya. Lebih jauh dari itu, rahasia di balik rahasiapun, diketahui-Nya. Sesuatu yang sudah
mengendap lama atau yang telah terlupakan oleh manusia, serta segala yang kini telah berada di bawah
sadarnya, Allah tetap mengetahuinya. Dia berfirman :
“Jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia (mengetahuinya serta) mengetahui rahasia dan
yang lebih tersembunyi (dari rahasia).” (QS. Thaaha: 19)
Lalu, dapatkah kita bersembunyi dari pantauan-Nya? Dapatkah kita merahasiakan sesuatu di hadapan Allah?
Dapatkah kita keluar dari monitoring-Nya?
Sungguh, Allah bahkan telah mengetahui segala sesuatu sebelum terjadi, karena Dialah yang membuat
rencana, Dia pula eksekutornya.
“Tiada satu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis
dalam kitab (Lauhul Mahfudz) sebelum Kami menciptakan-Nya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah
mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid: 22)
Tidak hanya itu, bahkan Allah-lah sumber dari segala sumber ilmu. Dia tidak saja sekadar tahu, tapi Dia adalah
sumber pengetahuan. Perlu diketahui bahwa ilmu Allah itu bukan hasil dari sesuatu, tapi segala sesuatu yang
ada dan terjadi di dunia ini merupakan hasil dari ilmu-Nya. Allah berfirman: “Allah mengetahui apa-apa yang di
hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan
apa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Baqarah: 255)
Meskipun demikian, Allah tidak mau memonopoli ilmu-Nya sendiri. Dia mau berbagi kepada makhluk-Nya,
terutama kepada manusia. Khusus dalam hal ini, manusia dibebaskan menyandang gelar aliim bagi mereka
sampai pada kualifikasi tertentu. Orang yang berpengetahuan boleh disebut aliim, sama dengan Asma yang
disandang Allah. Akan tetapi harus disadari bahwa ilmu manusia tetaplah tak sebanding dengan ilmu Allah,
bahkan tidak ada apa-apanya. “Tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. Al-Israa: 85)
Untuk menggambarkan betapa sedikitnya ilmu manusia, Al-Qur’an menegaskan: “Katakanlah, sekiranya lautan
menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis)
kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (QS. Al-Kahfi: 109)
Itulah sebabnya Rasulullah diperintahkan agar senantiasa berdo’a agar diberi tambahan ilmu. “Ya Tuhanku,
tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (QS. Thaaha: 114)
Ilmu yang diharap tentu saja ilmu yang menimbulkan dampak positif dalam kehidupan, yaitu ilmu yang
melahirkan amal shalih yang sesuai dengan petunjuk Ilahi. Ilmu inilah yang akan menimbulkan kesadaran ten -
tang jatidiri manusia yang merasa dhaif di hadapan Allah swt. Dalam pandangan islam, ilmu yang hakiki
adalah ilmu yang mengantarkan pemiliknya kepada iman, dan ketundukan kepada Allah swt.
Sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan sebelumnya apabila al-Qur’an dibacakan kepada
mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud. Mereka berkata, Mahasuci Tuhan kami,
sesungguhnya janji Tuhan kami pasti terlaksana. Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil
menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (QS. Al-Israa: 107-109).
50 Votes
AL-‘ALIIM
Kata ‘Alim terambil dari akar kata “’ilm” yang menurut pakar-pakar bahasa berarti “menjangkau
sesuatu seusai dengan keadaannya yang sebenarnya”. Bahasa Arab menggunakan semua kata
yang tersusun dari huruf-huruf “äin”, “lam”, “mim” dalam berbagai bentuknya untuk
menggambarkan sesuatu yang sedemikian jelas sehingga tidak menimbulkan keraguan.
Perhatikan misalnya kata-kata “alamat” (alamat) yang berarti tanda yang jelas bagi sesuatu atau
nama jalan yang mengantar seseorang menuju tujuan yang pasti. “Ïlmu” demikian juga halnya, ia
diartikan sebagai suatu pengenalan ayang sangat jelas terhadap suatu objek. Allah SWT dinamai
“’’Alim” atau “’Alim” Karena pengetahuan-Nya yang amat jelas sehingga terungkap baginya hal-
hal yang sekecil apapun.
Dalam Al-Qurán ditemukan banyak sekali ayat-ayat yang menggunakan akar kata yang sama
dengan Asma’AlHusna yang dibahas ini. Kata “’Alim” dalam AL-Qurán ditemukan sebanyak
166 kali. Di samping itu terdapat pula sekian banyak kata “Alim: yang menunjuk kepada Allah
SWT, sebagaimana banyak pula yang menunjuk-Nya dengan menggunakan redaksi “A’lam”
(Lebih Mengetahui). Banyaknya ayat serta beraneka ragamnya bentuk yang digunakan itu,
menunjukkan batap luas dan banyak ilmu Allah SWT.
Ilmu-Nya mencakup seluruh wujud. “Ïlmu Tuhanku meliputi segala sesuatu” (Q.s Al-An’am
6:80). “Pada sisi Allah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia
sendiri dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang
gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula) dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi
dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh
Mahfuzh)” (Q.s. Al-An’am 6:59).
Segala aktivitas lahir dan bathin manusia diketahui-Nya. “Dia mengetahui (pandangan) mata
yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati”(Q.s. Ghafir 40:19), bahkan jangankan
rahasia, yang “lebih tersembunyi dari rahasia”, yakni hal-hal yang telah dilupakan oleh manusia
dan yang berada di bawah sadarnyapun diketahui oleh Allah SWT. “Jika kamu mengeraskan
ucapanmu, maka sesungguhnya Dia (mengetahuinya serta) mengetahui rahasia dan yang lebih
tersembunyi (dari rahasia)” (Q.s Thaha 20:19).
Apapun yang terjadi, telah diketahui-Nya sebelum terjadi, “Tiada suatu bencanapun yang
menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh
Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah.” (Q.s. Al-Hadid 57:22).
Pengetahuan semua makhluk bersumber dari pengetahuan-Nya, “Allah mengetahui apa-apa yang
di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu
Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya” (Q.s. Al-Baqarah 2:255).
Allah “mengajar dengan qalam”, yakni mengajar manusia melalui upaya mereka dan “mengajar
apa yang mereka tidak diketahui”, tanpa usaha mereka, tetapi langsung sebagai curahan rahmat-
Nya. Begitu informasi-Nya dalam Q.s. Al-Alaq.
Manusia tentu saja dapat meraih ilmu berkat bantuan Allah, bahkan istilah “’Alim” pun
dibenarkan Al-Qur’an untuk disandang manusia (Q.s. Az-Zariyat 51:28) tetapi betapa pun dalam
dan luasnya ilmu manusia, terdapat sekian perbedaan antara ilmunya dan ilmu Allah.
Pertama, dalam hal objek pengetahuan; Allah mengetahui segala sesuatu, manusia tidak mungkin
dapat mendekati pengetahuan Allah. Pengetahuan mereka hanya bagian kecil dari setets
samudera ilmu-Nya. “Tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan seidkit” (Q.s. Al-Isra 17:85).
“Katakanlah, kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis)kalimat-kalimat Tuhanku,
sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami
datangkan tambahan sebanyak itu (pula)” (Q.s. Al-Kahfi 18:109).
Kedua, kejelasan pengetahuan manusia tidak mungkin dapat mencapai kejelasan ilmu Allah.
Pensaksian manusia yangpaling jelas terhadap sesuatu, hanya bagaikan melihatnya di balik tabir
yang halus, tidak dapat menembus objek yang disaksikan sampai ke batas terakhir.
Ketiga, ilmu Allah bukan hasil dari sesuatu, tetapi sesuatu itulah yang merupakan hasil dari ilmu-
Nya. Sedangkan ilmu manusia dihasilkan dari adanya sesuatu. Untuk hal yang ketiga ini, Al-
Ghazali member contoh dengan pengetahuan pemain catir dan pengetahuan pencipta permainan
catur. Sang pencipta adalah penyebab adanya catur, sedang keberadaan catur adalah sebab
pengetahuan pemain. Pengetahuan Pencipta mendahului pengetahuan pemain, sedang
pengetahuan pemain diperoleh jauh sesudah pengetahuan pencipta catur. Demikianlah ilmu Allah
dan ilmu manusia.
Keempat, ilmu tidak berubah dengan perubahan objek yang diketahui-Nya. Itu berarti tidak ada
kebetulan di sisi Allah, karena pengetaaahuan-Nya tentang apa yang akan terjadi dan saat
kejadiannya sama saja di sisi-Nya.
Kelima, Allah mengetahui tanpa alat, sedang ilmu manusia diraihnya dengan panca indra, akal
dan hatinya, dimana semuanya didahului oleh ketidaktahuan, “Allah mengeluarkan kamu dari
perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur dengan menggunakannya untuk meraih ilmu)”. (Q.s.
An-Nahl 16:78).
Keenam, ilmu Allah kekal, tidak hilang dan tidak pula dilupakan-Nya. Tuhanmu sekali-kali tidak
lupa. Q.s. Maryam 19:64.
Manusia memperoleh kehormatan karena ilmu yang dianugerahkan Allah kepadanya. “Dia
(Allah) mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman, ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama
benda itu jika kamu memang yang benar!’ Mereka menjawab, ‘Maha Suci Engkau, tidak ada
yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Q.s. Al-Baqarah 2:30-31).
Dalam meneladani sifat Al’Alim, manusia hendaknya terus menerus berupaya menambah
ilmunya. Rasul Saw setelah diperintahkan pada wahyu pertama untuk membaca, diperintahkan
juga untuk berdoa. “(Bermohonlah wahai Muhammad) Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku
ilmu pengetahuan”. (Q.s. Thaha 20:114).
Dalam upaya tersebut manusia dituntut agar dapat menggunakan secara maksimal seluruh potensi
yang dianugerahkan Allah kepadanya – mata, telinga, akal dan kalbu – untuk meraih sebanyak
mungkin ilmu yang bermanfaat, bukan hanya menyangkut “seluruh benda-benda” –yakni
“seluruh alam raya” – yang telah dianugerahkan Allah potensi untuk mengetahuinya sejak
kelahiran manusia pertama, tetapi juga ilmu yang bersifat non empiris yang hanya dapat diraih
dengan kesucian jiwa dan kejernihan kalbu.
Lebih jauh dapat dikatakan bahwa pengetahuan yang hakiki tentang sesuatu adalah pengetahuan
yang menimbulkan dampak dalam kehidupan. Karena itu Ja’far Ash-Shadiq misalnya
menggarisbawahi bahwa, “pengetahuan, bukanlah apa yang diperoleh melalui proses belajar-
mengajar, tetapi ia adalah cahaya yang dinampakkan Tuhan ke dalam hati orang-orang yang
dikehendaki-Nya”
Pengetahuan atau mengetahui sesuatu nenurut Rasul Saw bukan hanya terbatas sampai pada
kemampuan mengekpresikannya dalam bentuk kata tetapi ada pula yang menyentuh hati sehingga
melahirkan amal-amal yang sesuai dengan petunjuk-petunjuk Ilahi. Pengetahuan dalam arti yang
kedua inilah yang pada akhirnya menimbulkan kesadaran akan jati diri manusia sebagai makhluk
yang dhaif di hadapan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.
Ilmu seseorang harus membawanya kepada iman, selanjutnya ini mengantarnya kepada
keikhlasan dan ketundukan kepada Allah. “Supaya orang-orang yang yang mempunyai ilmu
mengetahui bahwa dia (Al-Qur’an) adalah benar-benar dari Tuhanmu, lalu mereka beriman,
kemudian hati mereka tunduk kepada-Nya” (Q.s. Al-Haj 22:54). Demikian terlihat, ilmu
mengantar kepada iman dan iman menghasilkan ketundukan kepada Allah SWT. “Sesungguhnya
orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Alqur’an dibacakan kepada mereka,
mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud. Mereka berkata, ‘Maha Suci Tuhan
kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti terlaksana’, dan mereka menyungkur atas muka
mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu”. (Q.s. Al-Isra 17:107-108-109).
Ilmu juga harus mengantar ilmuwan kepada amal dan karya-karya nyata bermanfaat. Rasul Saw
berdoa memohon perlindungan Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat.
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak
khusyu’, dari diri (perut) yang tidak kenyang dan dari doa yang tidak diterima” (H.R. Muslim).
Setiap ilmuwan dituntut untuk memberi nilai-nilai spiritual bagi ilmu yang diraihnya, sejak
motivasi hingga tujuan dan pemanfaatannya. Memang boleh jadi tidak berbeda cara dan alat-alat
meraih ilmu antara seorang dengan yang lain, hakekat ilmiahpun yang mereka raih tidak berbeda
karena cara, alat dan hakekat ilmiah bersifat universal dan bebas nilai; tetapi motivasi, tujuan dan
pemanfaatan ilmu, bagi ilmuwan yang meneladani Allah dalam sifat-Nya, tidaklah bebas nilai, ia
harus “Bismi Rabbika”.
Tidak etis melupakan peranan Allah atau menutup-nutupinya dalam setiap peristiwa alam,
apalagi mengingkarinya. Ketika benih tumbuh, jangan berkata bahwa alam menumbuhkannya
atau karena unsur ini dan kondisi itu, -kalaupun harus berkata demikian, jangan tutupi atau tidak
mengingatkan peranan Allah, karena yang demikian dapat merupakan salah satu bentuk
kedurhakaan terhadap Allah. Hukum sebab dan akibat, jangan pisahkan ia dari penyebab
pertamanya yakni Allah SWT, karena jika dipisahkan, ia merupakan pengingkaran dan kekufuran
paling sedikit dalam arti mengkufuri nikmat-Nya.
Suatu ketika Rasulullah Saw mengimani sahabat-sahabat beliau shalat subuh di Hudaibiyah,
setelah pada malamnya hujan turun. Seusai shalat beliau mengarah kepada hadirin dan bersabda,
“Tahukah kamu apa yang dikatakan Tuhan (Pemelihara) kamu?”. Mereka berkata, “Allah dan
Rasul-Nya lebih mengetahui”, “Allah berfirman – sabda Rasul menjelaskan – ‘pagi (ini) ada
hamba-Ku yang percaya pada-Ku dan kafir dan ada juga yang kafir pada-Ku dan percaya (pada
selain-Ku). Adapun yang berkata: “Kami memperoleh curahan hujan atas anugerah Allah dan
rahmat-Nya, maka itulah yang percaya pada-Ku serta kafir terhadap bintang’, sedangkan yang
berkata, “kami memperoleh curahan hujan oleh bintang ini dan itu, maka itulah yang kafir pada-
ku dan percaya pada bintang”. (H.R. Al-Bukhari melalui Zaid bin Khalid Al-Juhani).
Dahulu ketika para arsitektur muslim membangun rumah-rumah tempat tinggal, mereka
membangunnya dengan memperhatikan nilai-nilai agama. Memang bahan-bahan yang mereka
gunakan, pengetahuan yang mereka terapkan dapat diketahui oleh muslim dan non muslim, tetapi
yang meneladani Allah dalam ilmu-Nya, membangun rumah dengan memperhatikan nilai-nilai
yang diamanatkan oleh Allah Penganugerah Ilmu. Sehingga sambil memperhatikan ventilasi
udara, pencahayaan, keamanan dan kenyamanan penghuni dan tetangga, mereka juga sangat
mengindahkan privasi dan terhalangnya pandangan yang bukan mahram melihat apa yang
dilarang Allah untuk dilihat. Demikian, wa Allah A’lam.
trackback
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Allah memberi lebih dari yang kita bayangkan, tapi kita hanya mampu menerima tak lebih dari setitik debu. Kita
hanya mampu menerima ilmu yang bisa terlihat oleh panca indera kita. Yang tampak di depan mata, yang kita
pelajari dan bersifat materi. Karena itu, ilmu yang sangat sedikit ini jangan sampai membuat kita sombong dan
takabbur.
Karenanya, meski sedikit kita bisa membuka jalan untuk mendapatkan Al-‘Alim dari Allah semakin lapang.
Mengamalkan ilmu yang kita miliki dengan sebaik-baiknya dan sebesar-besarnya bagi lingkungan dapat makin
melapangkan jalan itu. Jika kita mampu membaca Al-Qur’an, bisa diamalkan dengan membuka taman Alqur’an.
Jika menguasai ilmu ekonomi, bisa menularkan ke orang lain cara-cara berniaga dengan benar. Jika ahli teknologi,
berikan kepada orang yang belum paham teknologi. Jika ada kelebihan di buku, bisa diamalkan melalui wakaf buku
atau Alqur’an, dan beragam cara untuk menarik Al-‘Alim menganugerahkan ilmunya pada kita. Keterbatasan ini
hendaknya makin memacu untuk berbuat semaksimal mungkin dalam berbuat kebajikan. Sudah saatnya kita
berbuat semakin ba-nyak untuk kebaikan orang lain. Menebar pesona kebaikan akan membuka rahmat bagi alam
Pengetahuan manusia mungkin bisa membuat perangkat sains yang luar biasa, tapi mampukah menyamai mahkluk
kecil semacam semut. Menirukan segala lekuk dan ruas-ruasnya. Secanggih apapun peralatan atau ilmu kita tetap
tak akan mampu menirukan ilmunya. Mengamalkan dzikir suci dalam kehidupan sehari-hari kita, semakin
menambah hati ingin selalu merasakan kenikmatan sesungguhnya dari Allah. Kesucian Allah terpancar dari lisan-
lisan yang basah dengan asma ini. Kita hanya ingin merasakan bagaimana nikmat kesempurnaanNya. Mencoba
mencari keridhaan-Nya dalam setiap ilmu yang kita amalkan. Saat kita menikmati ciptaanya, disinilah terasa
kesempurnaan penciptaanya, tak akan mampu kita raih dengan pengetahuan kita yang amat terbatas.
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit,
lalu “Dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqoroh: 29) Dengan sering
membacanya, pemahaman kita tentang ilmu yang selama ini kita amalkan akan bertambah, mendapat berkah. Allah
membuka pintu pengetahuan dari arah yang tidak kita duga sebelumnya. Sesungguhnya Allah memberi kita segala
macam rahmat kesempurnaan yang sesuai bagi kita. Dia mengajarkan kita nama-nama-Nya. Tetapi hidup dan
kekuatan kita terbatas. Ilmu dan diri kita pun terbatas. Kita mencoba merasakan kesempurnaan yang tak terbatas,
ilmu Allah yang tidak terbatas, yang mengetahui segala dan mencari keri-dhaan-Nya.
2. Tujuan
3. Manfaat
1. Untuk menambah ilmu pengetahuan tentang sifat-sifat allah, salah satunya sifat Al-‘Alim.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Kata ‘Alim terambil dari akar kata “’ilm” yang menurut pakar-pakar bahasa berarti “menjangkau sesuatu seusai
dengan keadaannya yang sebenarnya”. Bahasa Arab menggunakan semua kata yang tersusun dari huruf-huruf
“äin”, “lam”, “mim” dalam berbagai bentuknya untuk menggambarkan sesuatu yang sedemikian jelas sehingga tidak
menimbulkan keraguan. Perhatikan misalnya kata-kata “alamat” yang berarti tanda yang jelas bagi sesuatu atau
nama jalan yang mengantar seseorang menuju tujuan yang pasti. “Ilmu” demikian juga halnya, ia diartikan sebagai
suatu pengenalan ayang sangat jelas terhadap suatu objek. Allah SWT dinamai “Alim” atau “’Alim” Karena
pengetahuan-Nya yang amat jelas sehingga terungkap baginya hal-hal yang sekecil apapun.
Tidak tertutup kemungkinan bahwa seorang hamba itu mendapatkan bagian dari sifat ilmu ini, tetapi berbeda
1. Dari banyaknya pengetahuan. Betapapun luasnya pengetahuan seorang hamba, hal itu masih terbatas.
Bagaimana akan dibandingkan dengan ilmu Allah yang tidak ada ujung dan batasnya?
2. Bahwa kasyaf (melihat dengan mata batin) seorang hamba itu, bagaimanapun jelasnya, ia tidak bisa mencapai
tujuan yang tidak ada ujungnya lagi; penyaksiannya terhadap sesuatu itu ibarat ia melihatnya dari balik tirai yang
tipis. Tidak dapat diingkari adanya perbedaan dalam derajat kasyaf itu, sebab pandangan mata batin ibarat mata
lahir dalam memastikan segala sesuaatu yang dipandangnya, seperti perbedaan antara melihat di kala remang-
3. Bahwa ilmu Allah itu tidak diperoleh dari sesuatu, namun sesuatu itulah yang mendapatkannya dari-Nya.
Sedangkan ilmu seorang hamba itu mengikuti sesuatu dan dihasilkan darinya. Jika Anda masih kurang memahami
penjelasan ini, maka ambil contoh ilmu seorang yang baru belajar catur dan orang yang membuatnya, misalnya. Si
pembuat catur menjadi sebab adanya catur, dan adanya catur itu menjadi sebab ilmunya si pelajar catur. Namun
ilmu si pembuat catur lebih dahulu dengan mengadakan catur itu, sedangkan ilmu orang yang belajar catur itu
terakhir. Demikian pula halnya deengan ilmu Allah SWT; ia mendahului segala sesuatu dan menjadi sebab baginya.
Tiada keraguan, Dialah Maha Mengetahui. Segala yang akan terjadi dan telah terjadi tidak luput dari pantauan-Nya,
masa kini atau yang akan dating. Dialah yang mengetahui segala sesuatu. Dia mengetahui apa yang terjadi, dan
segala yang akan terjadi sejak awal, sedang terjadi dan yang akan terjadi sejak awal hingga akhir. Semua eksistensi
di segala zaman berada di dalam pengetahuan Al-‘Alim. Tak ada yang luput, tak seorang pun dapat yang dapat
bersembunyi. Segala eksistensi bereksistensi diciptakan oleh-Nya di dalam batas-batas tertentu yang telah
diciptakan-Nya. Ia mengetahui sebanyak yang diizinkan Allah. Tetapi pengetahuan Allah tiada batasnya.
Pengetahuan yang melingkupi seluruh alam membuat jangkauan otak manusia sedikitpun tak mampu
mengikutinya. Keberadaan Al-‘Alim terkadang menjadi misteri bagi kita, sebagai hambaNya. Saat kita berpikir
Dengan pengetahuan yang tiada batas, Allah bebas memberikan ilmu kepada hamba-Nya yang mematuhi segala
perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Kita sebagai hamba-Nya hanya bisa memohon agar Allah
memberikan kemurahan pengetahuan. Se-bagaimana doa-doa kita. “Rabbana zidna ‘ilmaan naafi’a, warzuqna
fahma”. Untuk membuktikan jika ilmu kita terbatas, cobalah tebak apa yang dilakukan orang ketika masuk dalam
ruangan.
Ilmu-Nya mencakup seluruh wujud. “Ïlmu Tuhanku meliputi segala sesuatu” (Q.s Al-An’am 6:80). “Pada sisi Allah
kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri dan Dia mengetahui apa yang di
daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula) dan tidak jatuh
sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam
Segala aktivitas lahir dan bathin manusia diketahui-Nya. “Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa
yang disembunyikan oleh hati”(Q.s. Ghafir 40:19), bahkan jangankan rahasia, yang “lebih tersembunyi dari rahasia”,
yakni hal-hal yang telah dilupakan oleh manusia dan yang berada di bawah sadarnyapun diketahui oleh Allah SWT.
“Jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia (mengetahuinya serta) mengetahui rahasia dan yang
lebih tersembunyi (dari rahasia)” (Q.s Thaha 20:19). Apapun yang terjadi, telah diketahui-Nya sebelum terjadi,
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis
dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi
Pengetahuan semua makhluk bersumber dari pengetahuan-Nya, “Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan
mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang
dikehendaki-Nya” (Q.s. Al-Baqarah 2:255). Allah “mengajar dengan qalam”, yakni mengajar manusia melalui upaya
mereka dan “mengajar apa yang mereka tidak diketahui”, tanpa usaha mereka, tetapi langsung sebagai curahan
Hamba yang memiliki sifat Al Alim adalah orang yang dianugerahi pengetahuan tanpa belajar apapun dari siapa
pun, tanpa belajar atau berfikir melalui kesucian dan cahaya yang dari nya kita diciptakan. Pengetahuan mengenal
Allah Yang Maha Mengetahui yang diterima oleh seorang hamba dikenal dengan nama “Irfan” Namun manusia yang
menerima pengetahuan tersebut hanya mengetahui perbuatan dan sifat sifat Allah, dan hamba Al Alim mengetahui
Manusia memperoleh kehormatan karena ilmu yang dianugerahkan Allah kepadanya. “Dia (Allah) mengajarkan
kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu
berfirman, ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu memang yang benar!’ Mereka menjawab,
‘Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami;
sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Q.s. Al-Baqarah 2:30-31).
Pengetahuan manusia mungkin bisa membuat perangkat sains yang luar biasa, tapi mampukah menyamai mahkluk
kecil semacam semut. Menirukan segala lekuk dan ruas-ruasnya. Secanggih apapun peralatan atau ilmu kita tetap
Manusia tentu saja dapat meraih ilmu berkat bantuan Allah, bahkan istilah “’Alim” pun dibenarkan Al-Qur’an untuk
disandang manusia (Q.s. Az-Zariyat 51:28) tetapi betapa pun dalam dan luasnya ilmu manusia, terdapat sekian
1. Dalam hal objek pengetahuan; Allah mengetahui segala sesuatu, manusia tidak mungkin dapat mendekati
pengetahuan Allah. Pengetahuan mereka hanya bagian kecil dari setets samudera ilmu-Nya. “Tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan seidkit” (Q.s. Al-Isra 17:85). “Katakanlah, kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk
(menulis)kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku,
meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)” (Q.s. Al-Kahfi 18:109).
2. Kejelasan pengetahuan manusia tidak mungkin dapat mencapai kejelasan ilmu Allah. Pensaksian manusia yang
paling jelas terhadap sesuatu, hanya bagaikan melihatnya di balik tabir yang halus, tidak dapat menembus objek
3. Ilmu Allah bukan hasil dari sesuatu, tetapi sesuatu itulah yang merupakan hasil dari ilmu-Nya. Sedangkan ilmu
manusia dihasilkan dari adanya sesuatu. Untuk hal yang ketiga ini, Al-Ghazali memberi contoh dengan
pengetahuan pemain catur dan pengetahuan pencipta permainan catur. Sang pencipta adalah penyebab adanya
catur, sedang keberadaan catur adalah sebab pengetahuan pemain. Pengetahuan Pencipta mendahului
pengetahuan pemain, sedang pengetahuan pemain diperoleh jauh sesudah pengetahuan pencipta catur.
4. Ilmu tidak berubah dengan perubahan objek yang diketahui-Nya. Itu berarti tidak ada kebetulan di sisi Allah,
karena pengetaaahuan-Nya tentang apa yang akan terjadi dan saat kejadiannya sama saja di sisi-Nya.
5. Allah mengetahui tanpa alat, sedang ilmu manusia diraihnya dengan panca indra, akal dan hatinya, dimana
semuanya didahului oleh ketidaktahuan, “Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur dengan
6. Ilmu Allah kekal, tidak hilang dan tidak pula dilupakan-Nya. Tuhanmu sekali-kali tidak lupa. Q.s. Maryam 19:64.
Dalam meneladani sifat Al’Alim, manusia hendaknya terus menerus berupaya menambah ilmunya. Rasul Saw
setelah diperintahkan pada wahyu pertama untuk membaca, diperintahkan juga untuk berdoa. “(Bermohonlah
wahai Muhammad) Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”. (Q.s. Thaha 20:114).
Dalam upaya tersebut manusia dituntut agar dapat menggunakan secara maksimal seluruh potensi yang
dianugerahkan Allah kepadanya mata, telinga, akal dan kalbu untuk meraih sebanyak mungkin ilmu yang
bermanfaat, bukan hanya menyangkut “seluruh benda-benda” yakni “seluruh alam raya” yang telah dianugerahkan
Allah potensi untuk mengetahuinya sejak kelahiran manusia pertama, tetapi juga ilmu yang bersifat non empiris
yang hanya dapat diraih dengan kesucian jiwa dan kejernihan kalbu.
Lebih jauh dapat dikatakan bahwa pengetahuan yang hakiki tentang sesuatu adalah pengetahuan yang
menimbulkan dampak dalam kehidupan. Karena itu Ja’far Ash-Shadiq misalnya menggarisbawahi bahwa,
“pengetahuan, bukanlah apa yang diperoleh melalui proses belajar-mengajar, tetapi ia adalah cahaya yang
dinampakkan Tuhan ke dalam hati orang-orang yang dikehendaki-Nya”. Pengetahuan atau mengetahui sesuatu
nenurut Rasul Saw bukan hanya terbatas sampai pada kemampuan mengekpresikannya dalam bentuk kata tetapi
ada pula yang menyentuh hati sehingga melahirkan amal-amal yang sesuai dengan petunjuk-petunjuk Ilahi.
Pengetahuan dalam arti yang kedua inilah yang pada akhirnya menimbulkan kesadaran akan jati diri manusia
sebagai makhluk yang dhaif di hadapan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.
Ilmu seseorang harus membawanya kepada iman, selanjutnya ini mengantarnya kepada keikhlasan dan ketundukan
kepada Allah. “Supaya orang-orang yang yang mempunyai ilmu mengetahui bahwa dia (Al-Qur’an) adalah benar-
benar dari Tuhanmu, lalu mereka beriman, kemudian hati mereka tunduk kepada-Nya” (Q.s. Al-Haj 22:54).
Demikian terlihat, ilmu mengantar kepada iman dan iman menghasilkan ketundukan kepada Allah SWT.
“Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Alqur’an dibacakan kepada mereka,
mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud. Mereka berkata, ‘Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya
janji Tuhan kami pasti terlaksana’, dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka
Ilmu juga harus mengantar ilmuwan kepada amal dan karya-karya nyata bermanfaat. Rasul Saw berdoa memohon
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari diri (perut)
yang tidak kenyang dan dari doa yang tidak diterima” (H.R. Muslim).
Setiap ilmuwan dituntut untuk memberi nilai-nilai spiritual bagi ilmu yang diraihnya, sejak motivasi hingga tujuan
dan pemanfaatannya. Memang boleh jadi tidak berbeda cara dan alat-alat meraih ilmu antara seorang dengan yang
lain, hakekat ilmiahpun yang mereka raih tidak berbeda karena cara, alat dan hakekat ilmiah bersifat universal dan
bebas nilai; tetapi motivasi, tujuan dan pemanfaatan ilmu, bagi ilmuwan yang meneladani Allah dalam sifat-Nya,
“Siapa yang mencari ilmu untuk memamerkan diri/menunjukkan kebolehan di hadapan cendekiawan, atau untuk
berbantah-bantahan dengan yang jahil, maka dia di neraka” (Q.s. At-Thabarany dari Ummi Salamah).
Tidak etis melupakan peranan Allah atau menutup-nutupinya dalam setiap peristiwa alam, apalagi mengingkarinya.
Ketika benih tumbuh, jangan berkata bahwa alam menumbuhkannya atau karena unsur ini dan kondisi itu, kalau
pun harus berkata demikian, jangan tutupi atau tidak mengingatkan peranan Allah, karena yang demikian dapat
merupakan salah satu bentuk kedurhakaan terhadap Allah. Hukum sebab dan akibat, jangan pisahkan ia dari
penyebab pertamanya yakni Allah SWT, karena jika dipisahkan, ia merupakan pengingkaran dan kekufuran paling
Suatu ketika Rasulullah SAW mengimani sahabat-sahabat beliau shalat subuh di Hudaibiyah, setelah pada
malamnya hujan turun. Seusai shalat beliau mengarah kepada hadirin dan bersabda, “Tahukah kamu apa yang
dikatakan Tuhan (Pemelihara) kamu?”. Mereka berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”, “Allah berfirman –
sabda Rasul menjelaskan pagi (ini) ada hamba-Ku yang percaya pada-Ku dan kafir dan ada juga yang kafir pada-Ku
dan percaya (pada selain-Ku). Adapun yang berkata: “Kami memperoleh curahan hujan atas anugerah Allah dan
rahmat-Nya, maka itulah yang percaya pada-Ku serta kafir terhadap bintang, sedangkan yang berkata, “kami
memperoleh curahan hujan oleh bintang ini dan itu, maka itulah yang kafir pada-ku dan percaya pada bintang”.
Dahulu ketika para arsitektur muslim membangun rumah-rumah tempat tinggal, mereka membangunnya dengan
memperhatikan nilai-nilai agama. Memang bahan-bahan yang mereka gunakan, pengetahuan yang mereka
terapkan dapat diketahui oleh muslim dan non muslim, tetapi yang meneladani Allah dalam ilmu-Nya, membangun
rumah dengan memperhatikan nilai-nilai yang diamanatkan oleh Allah Penganugerah Ilmu. Sehingga sambil
memperhatikan ventilasi udara, pencahayaan, keamanan dan kenyamanan penghuni dan tetangga, mereka juga
sangat mengindahkan privasi dan terhalangnya pandangan yang bukan mahram melihat apa yang dilarang Allah
untuk dilihat.
Keterbatasan itu sesungguhnya bukan dari Allah, tapi dari kita sendiri. Allah memberi lebih dari yang kita
bayangkan, tapi kita hanya mampu menerima tak lebih dari setitik debu. Kita hanya mampu menerima ilmu yang
bisa terlihat oleh panca indera kita. Yang tampak di depan mata, yang kita pelajari dan bersifat materi. Karena itu,
ilmu yang sangat sedikit ini jangan sampai membuat kita sombong dan takabbur. Karena meski sedikit kita bisa
membuka jalan untuk mendapatkan Al-‘Alim dari Allah semakin lapang. Mengamalkan ilmu yang kita miliki dengan
sebaik-baiknya dan sebesar-besarnya bagi lingkungan dapat makin melapangkan jalan itu.
Jika kita mampu membaca Al-Qur’an, bisa diamalkan dengan membuka taman Alqur’an. Jika menguasai ilmu
ekonomi, bisa menularkan ke orang lain cara-cara berniaga dengan benar. Jika ahli teknologi, berikan kepada
orang yang belum paham teknologi. Jika ada kelebihan di buku, bisa diamalkan melalui wakaf buku atau Alqur’an,
dan beragam cara untuk menarik Al-‘Alim menganugerahkan ilmunya pada kita. Keterbatasan ini hendaknya makin
memacu untuk berbuat semaksimal mungkin dalam berbuat kebajikan. Sudah saatnya kita berbuat semakin ba-
nyak untuk kebaikan orang lain. Menebar pesona kebaikan akan membuka rahmat bagi alam semesta lewat dzikir-
dzikir Al-‘Alim.
Mengamalkan dzikir suci dalam kehidupan sehari-hari kita, semakin menambah hati ingin selalu merasakan
kenikmatan sesungguhnya dari Allah. Kesucian Allah terpancar dari lisan-lisan yang basah dengan asma ini. Kita
hanya ingin merasakan bagaimana nikmat kesempurnaanNya. Mencoba mencari keridhaan-Nya dalam setiap ilmu
yang kita amalkan. Saat kita menikmati ciptaanya, disinilah terasa kesempurnaan penciptaanya, tak akan mampu
kita raih dengan pengetahuan kita yang amat terbatas. Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi
untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu “Dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui
segala sesuatu.” (QS. Al-Baqoroh: 29). Dengan sering membacanya, pemahaman kita tentang ilmu yang selama ini
kita amalkan akan bertambah, mendapat berkah. Allah membuka pintu pengetahuan dari arah yang tidak kita duga
sebelumnya. Sesungguhnya Allah memberi kita segala macam rahmat kesempurnaan yang sesuai bagi kita. Dia
mengajarkan kita nama-nama-Nya. Tetapi hidup dan kekuatan kita terbatas. Ilmu dan diri kita pun terbatas. Kita
mencoba merasakan kesempurnaan yang tak terbatas, ilmu Allah yang tidak terbatas, yang mengetahui segala dan
mencari keridhaanNya.
BAB III
KESIMPULAN
* Al-‘alim menunjukkan dzat yang mengetahui segala sesuatu, ilmunya meliputi yg nampak dan tidak nampak,
samar dan jelas dan meliputi segala hal yang diperbuat seluruh makhluknya.
* Ketika benih tumbuh, jangan berkata bahwa alam menumbuhkannya atau karena unsur ini dan kondisi itu, kalau
pun harus berkata demikian, jangan tutupi atau tidak mengingatkan peranan Allah, karena yang demikian dapat
At tawwab
Allah Subhanahu wa Ta’ala menamai diri-Nya dengan nama At-Tawwab ( ُ) التَّوَّاب, Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan
nama-Nya ini dalam ayat-Nya:
َاب َعلَ ْي ِه إِنَّهُ هُ َو التَّوَّابُ ال َّر ِحي ُم ٍ فَتَلَقَّى َءا َد ُم ِم ْن َربِّ ِه َكلِ َما
َ ت فَت
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Rabbnya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 37)
Ibnul Qayyim rahimahullahu menerangkan dengan ringkas tentang nama tersebut pada dua bait sya’ir:
Asy-Syaikh Muhammad Khalil Harras dalam penjelasannya terhadap dua bait syair itu mengatakan: “Adapun nama At-
Tawwab artinya adalah yang banyak taubat artinya kembali. Maksudnya, menerima taubat hamba dan mengembalikan
kepada hamba berupa ampunan-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ِ َوه َُو الَّ ِذي يَ ْقبَ ُل التَّوْ بَةَ ع َْن ِعبَا ِد ِه َويَ ْعفُو ع َِن ال َّسيِّئَا
َت َويَ ْعلَ ُم َما تَ ْف َعلُون
“Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” (Asy-Syura: 25)
“Yang Mengampuni dosa dan Menerima taubat lagi keras hukuman-Nya; Yang mempunyai karunia. Tiada Ilah (yang berhak
disembah) selain Dia. Hanya kepada-Nyalah kembali (semua makhluk).” (Ghafir: 3)
Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa menerima taubat hamba-Nya selama nyawa belum sampai tenggorokan atau sebelum
matahari terbit dari barat. Maka bilamana muncul tanda kiamat kecil (mati) dengan sampainya nyawa ke tenggorokan atau
muncul tanda kiamat besar dengan terbitnya matahari dari arah barat, ketika itu pintu taubat ditutup. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
“Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal
kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: ‘Sesungguhnya saya bertaubat sekarang.’ Dan tidak (pula
diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. (An-Nisa`: 18)
“Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka), atau
kedatangan Rabbmu atau kedatangan sebagian tanda-tanda Rabbmu. Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Rabbmu
tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum)
mengusahakan kebaikan dalam masa imannya.” (Al-An’am: 158)Dalam hadits yang shahih disebutkan bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Pertama: bahwa Ia memberikan ilham dan taufiq-Nya untuk bertaubat kepada-Nya serta untuk menelusuri syarat-syarat
taubat baik berupa penyesalan (dari perbuatan dosa), istighfar, dan menanggalkan maksiat, bertekad untuk tidak kembali
kepada dosanya serta menggantikan dosanya dengan amal shalih.
,Kedua: bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menerima taubat hamba-Nya, menyambutnya, serta menghapuskan
dosanya, karena taubat yang murni dan benar-benar itu akan melebur kesalahan-kesalahan sebelumnya.
“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan
kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Furqan: 70)
As-Sa’di rahimahullahu juga menjelaskan dalam tafsirnya: “At-Tawwab adalah yang senantiasa memberikan dan menerima
taubat dari hamba-hamba-Nya serta mengampuni dosa orang-orang yang bertaubat. Maka semua yang bertaubat kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan taubat yang murni dan sungguh-sungguh, Allah Subhanahu wa Ta’ala pun akan
menerima taubatnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan taubat kepada hamba-Nya, pertama dengan memberikan
taufiq-Nya kepada mereka untuk bertaubat dan bersungguh-sungguh dengan kalbunya menuju kepadanya, serta menerima
taubat mereka setelah mereka melakukannya dan mengampuni kesalahannya.”
Dengan mengimani nama At-Tawwab kita akan mendapatkan banyak manfaat. Di antaranya, akan tumbuh pada diri kita rasa
syukur yang besar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memberikan taufiq dan ilham-Nya kepada seorang hamba
sehingga muncul pada dirinya keinginan untuk bertaubat serta mencabut diri dari berbagai macam kesalahan dalam bentuk
apapun. Kalaulah bukan karena taufiq-Nya niscaya takkan tumbuh dalam diri ini keinginan untuk bertaubat dan kembali
keharibaan-Nya.
Dengan mengimani nama itu pula, kita mengetahui dengan pasti bahwa pintu taubat senantiasa terbuka, sehingga tidak ada
kata putus asa untuk bertaubat. Tiada kata ‘telanjur basah’ dalam maksiat. Apapun dan berapapun dosanya Allah Subhanahu
wa Ta’ala akan berikan ampunan kepadanya manakala dia dengan sungguh-sungguh bertaubat. Barangkali kita pernah
mendengar sebagian kisah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kita yang mulia, tentang bagaimana Allah Subhanahu wa
Ta’ala menerima taubat seorang yang telah membunuh 100 jiwa, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni pelacur, bahkan
yang berbuat kekafiran sekalipun Allah Subhanahu wa Ta’ala beri ampunan, ketika mereka bertaubat secara sungguh-
sungguh.
Namun yang perlu diperhatikan adalah kesungguh-sungguhan dalam bertaubat dengan memenuhi syarat-syaratnya.
Sebagaimana yang disebutkan Asy-Syaikh Al-Harras di atas; menyesali perbuatan dosanya, mencabut diri darinya, bertekad
untuk tidak mengulanginya, mengganti dengan amal shalih, dilakukan sebelum tertutupnya pintu taubat dan bila berkaitan
dengan hak orang, mengembalikan hak orang yang kita dzalimi, atau meminta kehalalannya.
At-Tawwab adalah yang memberikan kepada hamba-Nya sebab-sebab bertaubat dan Allah yang membuat sebab-
sebabnya. Misal, terkadang Allah membuat seorang hamba sakit, terkena musibah dan lainnya yang semuanya
merupakan cara-cara Allah agar hamba-Nya bertaubat.
Maka nama Allah At-Tawwab adalah Sang Penerima Taubat dan sekaligus memberikan kemudahan serta sebab-sebab
taubat. At-Tawwab adalah Maha Pemberi dan Penerima taubat. Pada dasarnya manusia tidak akan bisa bertaubat
dengan sendirinya, karena setiap orang yang bertaubat pasti ada sebab-sebab yang Allah ciptakan.
Nama Allah At-Tawwab dapat dipahami sebagai Maha Pemberi dan Penerima Taubat, karena prinsip dasarnya tidak
ada kekuatan dan upaya kecuali yang datang dari Allah. Jika bukan karena Allah yang menghendaiki, lisan seorang
hamba tidak akan bisa membaca Al-Qur’an meskipun secara teori ia hebat. Contoh sederhana banyak orang yang
tahu shalat berjamaah itu pahalanya lebih besar di masjid, tapi banyak di antara mereka tidak ke mesjid karena Allah
tidak memberinya kekuatan untuk shalat berjamaah. Mengapa demikian? Karena dia tidak menempuh dan meminta
kepada Allah (agar dimudahkan langkahnya). Untuk itu, taubat juga demikian halnya adalah sesuatu yang harus kita
minta jalannya kepada Allah. Dan ilmu tidak akan berguna kalau tidak bertaubat karena taubat adalah;
1. Penghapus dosa
2. Membuat diri kita jadi ringan dalam beribadah
3. Taubat menjadikan hati kita hidup
4. Membuat kita lezat beribadah
5. Membuat kita tawakkal kepada Allah
6. Bisa mendatangkan keyakinan
Semua itu datangnya dari Allah, seandainya Allah tidak menggerakkan sebab-sebab dan jalannya maka seseorag tidak
akan bisa mendapatkannya. Ketika Allah senang dan suka kepada seorang hamba maka Allah akan buka jalan baginya
untuk bertaubat. Allah memperlihatkan bagi mereka hal-hal yang menakutkan sehingga dengannya mereka bertaubat.
Terkadang juga Allah mengirimkan kepada meraka musibah sehingga mereka kembali kepada Allah.
Dalam surah Al-Hajj ayat ke 46 Allah berfirman:
وب َي ْع ِقلُ و َن هِبَ ا أ َْو آ َذا ٌن يَ ْس َمعُو َن هِبَ ا ۖ فَِإنَّ َه ا اَل َت ْع َمى ِ أََفلَ ْم يَ ِس ريُوا يِف اأْل َْر
ٌ ُض َفتَ ُك و َن هَلُ ْم ُقل
ُّ وب الَّيِت يِف
الص ُدور ِٰ
ُ ُص ُار َولَك ْن َت ْع َمى الْ ُقلَ ْاأْل َب
“Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati (akal) mereka dapat memahami, telinga mereka
dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada, ” (Al-Hajj:
46)
Problem bagi ummat, sebesar apa pun ayat Allah yang ada di depannya kalau mata hatinya sudah buta maka tidak
akan nampak, maka Allah katakan kepada orang kafir betapa banyak ayat-ayat-Nya di langit dan bumi.
آن َغرْيِ َٰه َذا أ َْو بَ ِّدلْ هُ ۚ قُ ْلٍ ت بِ ُق ر ِ ْات ۙ قَ َال الَّ ِذين اَل يرج و َن لَِقاءنَا ائ ٍ َوإِ َذا ُتْتلَى علَي ِهم آيا ُتنَ ا بِّين
ْ َ ُ َْ َ َ َ ْ َْ ٰ َ
َ اف إِ ْن َع َ وح ٰى إِيَلَّ ۖ إِيِّن أ ِ م ا ي ُك و ُن يِل أَ ْن أُب ِّدلَ هُ ِمن تِْل َق ِاء َن ْف ِس ي ۖ إِ ْن أَتَّب
ت َريِّب
ُ ص ْي ُ َخ َ ُِع إاَّل َم ا ي
ُ ْ َ َ َ
اب َي ْوٍم َع ِظي ٍم
َ َع َذ
“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami dengan jelas, orang-orang yang tidak mengharapkan
pertemuan dengan kami berkata, “Datangkanlah kitab selain Al-Qur’an ini atau gantilah.” Katakanlah
(Muhammad), “Tidaklah pantas bagiku menggantinya atas kemauanku sendiri. Aku hanya mengikuti apa yang
diwahyukan kepadaku. Aku benar-benar takut akan azab hari yang besar (Kiamat) jika mendurhakai Tuhanku,”
(Yunus: 15).
Semua yang terjadi di muka bumi ini adalah agar manusia kembali kepada Allah, bukan semakin jauh. At-Tawwab
adalah yang Maha Pemberi sebab-sebab taubat, memudahkan taubat dan memberi taubat. Bagaimana caranya?
Caranya yaitu dengan ayat-ayat yang Allah bukakan, bisa dengan pesan-pesan Allah berupa bencana angin taupan,
gempa dan lainnya, sampai semua hal ini memberikan pelajaran bagi mereka dan masuk kedalam hati.
Kaum nabi Nuh, kaum nabi Luth dan Syuaib dibinasakan oleh Allah, yang demikian itu sebab mereka berbuat dosa.
Dengannya, di antara mereka ada orang yang Allah inginkan bertaubat setelah merasa ketakutan, oleh sebab itu
banyak di antara mereka kembali kepada Allah dengan bertaubat.
Taubat itu merupakan proses sehingga tidak mudah karena membutuhkan energi, tekat, semangat, waktu dan tidak
bisa seketika. Kalau berbicara taubat maka akan berbicara tentang dosa dan kesalahan, sedangkan kesalahan itu berat
untuk di lawan.
Contohnya seorang koruptor, pencuri dan pencopet, walaupun sudah tertangkap terkadang kembali lagi. Hal
itu terkadang karena manusia dikalahkan oleh dosa dan maksiat. Oleh karena itu perlu ada ikhtiar dan do’a karena
taubat tidak bisa datang seketika, seandainya bisa maka orang tidak akan merasakan nikmatnya dalam bertaubat.
Sama halnya dengan orang yang mencari ilmu tanpa ingin bersusah-susah, maka ia tidak akan mendapatkannya
sampai gagak berubah menjadi warna putih. Hal itu menggambarkan tidak mungkin akan mendapatkan ilmu tanpa
bersusah-susah.
Imam Syafii rahimahullah berkata, “Kalau kalian tidak menerima kasarnya guru kalian maka kalian tidak akan
mendapatkan ilmu.”
Maka haruslah bersabar dalam menuntut ilmu. Semua hal itu untuk membangun diri sebagai seorang muslim, semua
butuh proses, apakah ia ingin menjadi ahlu ibadah, ahlu ilmu atau ahli taubah. Semua itu butuh perjuangan yang luar
biasa. Dalam sebuah syair juga dikatakan;
Kepahitan hidup merupakan makanan harian orang mukmin dan itu akan menjadi manis karena rasa iman. Imam
Ahmad bin Hanbal senang diuji dengan sakit, ketika ditanya alasannya beliau berkata; “Saya merasakan nikmat Allah
dengan sakit ini.”
Seandainya seseorang bisa mengikuti ritme kehidupan maka hidup ini tidak akan pernah menjadi masalah baginya,
sehat maupun sakit maka tetap disyukuri. Dengan Allah memperlihatkan ayat-ayat-Nya dan menegur dengan musibah
maka mereka akan kembali dengan taubat, dan Allah pun akan memberikan karunia terhadap mereka dan menerima
taubat mereka. Jadi taubat bukan hanya sekedar menyebut istiqfar saja, tetapi berusaha mendapatkan jalan dan sebab-
sebab tersebut.
Kalau seorang muslim mengerti dan menangkap hikmah hidup ini maka dengan orang pendosa pun kita akan
mendapatkan hikmah. Jadi semua kejadian yang Allah berikan itu supaya hamba-Nya bertaubat kepada Allah.
Alloh At Tawwab adalah Alloh yang terus menerus memberikan kepada kita jalan untuk bertaubat
kepadaNya. Alloh yang memudahkan kita untuk bertaubat kepadaNya. Bagaimana caranya Alloh At
Tawwab memberikan jalan taubat itu? Alloh SWT nampakkan kepada kita tanda-tanda kebesaranNya.
Alloh menggiring kita kepada peringatan-peringatanNya. Alloh ingatkan kita kepada ancaman-
ancamanNya. Sehingga dengan peringatanNya, kita menjadi sadar akan akibat buruk kita melakukan dosa
dan dengan ancamanNya kita menjadi takut akan siksaNya. Akhirnya kita bertaubat dan Alloh At Tawwab
Maha menerima taubat ketika kita bertaubat, Dia kembali menganugerahkan kepada kita pengampunan
dan diterimanya taubat kita.
Kalau kita yang berharap agar Alloh menerima taubat kita, mungkin agak sulit kita karena kita berharap.
Tetapi yang menarik adalah bukan kita yang berharap menerima taubat tetapi Alloh yang menawarkan
kepada kita bahwa kata Alloh “Aku menerima taubatmu”. Barangkali kalau kita ingin meminta maaf kepada
orang yang punya masalah dengan kita, kita bersalah. Kita takut dan khawatir dia tidak mau memaafkan
kita. Tetapi Alloh At Tawwab, Dia menawarkan kepada kita untuk menerima taubatnya. Alangkah
beruntungnya kita.
Alloh berfirman “Dia mengampuni dosa dan penerima taubat”. Alloh pun berfirman “Tidakkah mereka
mengetahui bahwa Alloh menerima taubat”. Dalam Al Qur’an, kata taubat digandengkan dengan
penerimaan taubat. Seakan-akan Alloh ingin mengatakan kepada kita, “Engkau tidak perlu berharap
mengusulkan Aku menerima taubat tetapi Aku yang menawarkan engkau bahwa Aku akan menerima
taubatnya”.
Alloh At Tawwab, Alloh Maha penerima taubat. Bahkan tidak hanya penerima taubat, Alloh gembira
dengan taubat hambaNya. Taubat kita. Bahkan kegembiraan Alloh atas taubatnya kita lebih besar
daripada orang yang bertaubat. Kegembiraan Alloh lebih besar, lebih dahulu daripada kegembiraan orang
yang sedang bertaubat. Ketika seorang Ibu memberikan sesuatu kepada anaknya, bahagia tidak?
Anaknya yang menerima bahagia tidak? Mana yang bahagia, Ibu yang memberi atau anak yang memberi?
Alloh At Tawwab, Alloh yang Maha Bergembira dengan taubat hambaNya melebihi hamba yang sedang
bertaubat.
Alloh At Tawwab adalah Alloh yang mendahului menerima taubat sebelum Anda bertaubat. Alloh SWT
menyatakan diriNya menerima taubat sebelum Anda bertaubat. Mengapa Alloh menerima taubat? Supaya
kita bertaubat. Berarti mana yang lebih dulu? Kita bertaubat dulu atau Alloh menerima taubat? Kata Alloh
“Aku menerima taubat”. Jadi penerimaan taubat Alloh lebih dulu daripada keinginan kita untuk bertaubat.
Sebelum kita bertaubat Alloh sudah bilang “Aku menerima taubat”.
Saking gembiraNya Alloh ketika kita bertaubat, disaat Iblis diusir dari surga karena tidak taat pada perintah
Alloh, Iblis pun dendam kepada manusia. Lalu iblis berkata “Ya Alloh demi kemuliaan dan keperkasaanMu
ya Alloh, aku akan sesatkan semua anak manusia”. Alloh pun berfirman kepada Iblis “Demi keagungan
dan KeperkasaanKu wahai iblis, Aku akan maafkan orang-orang yang berdosa jika mereka mau meminta
ampun kepadaKu”.
Apa syarat diterimanya taubat? Kita menyesal telah melakukan dosa. Kedua, tidak mengulangi dosa yang
telah kita lakukan. Ketiga, jika berkaitan dengan manusia (menyinggung orang lain) atau berkaitan dengan
harta maka tidak cukup dengan mengulangi dan menyesal melainkan mengembalikan hak orang itu. Tidak
ada dosa yang besar bagi Alloh. Karena apa? Karena ampunan Alloh lebih besar dari dosa kita. Tetapi
ketika itu berkait dengan manusia maka itu yang berat yaitu kita harus minta maaf atau menghalalkan hak
yang telah kita ambil.
Mengapa Alloh tidak menghalangi kita dari dosa? Bukankah Alloh Maha Kuasa untuk menghalangi kita
untuk tidak berbuat dosa? Alloh Maha tahu diri kita, Alloh Maha mengetahui. Jika semua kehidupan kita ini
isi nya hanya ketaatan dan tidak pernah berdosa, jangan-jangan kita akan bangga diri seperti Iblis yang
diusir dari Surga karena rasa sombong yang ada di dalam hatinya. Ketika kita berdosa, para ulama
mengatakan kadang-kadang kita melakukan dosa tapi karena kita berdosa akhirnya kita masuk surga.
Kadang-kadang kita berbuat kebaikan karena kita berbuat kebaikan, kita masuk neraka. Kok bisa? Karena
kadang-kadang kita berbuat keburukan setelah kita melakukan keburukan, kita merasakan akibat buruknya
lalu menyesal. Setelah menyesal perih hati kita. Gara-gara menyesal kita membayar perbuatan buruk kita
dan akhirnya kita melakukan ketaatan. Sampai-sampai iblis nyesal. Kadang-kadang orang melakukan
kebaikan karena dia berbuat kebaikan dia masuk neraka. Kenapa? Karena dia sering berbuat baik
akhirnya ingat kebaikannya terus. Akhirnya dia sombong. Akhirnya dia masuk neraka.
Ar rozaq
Makna Ar Razzaq (Maha Memberi Rizki)
Des 19
(Ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc)
“Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi Rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” (Adz-Dzariyat: 58)
Demikian juga dalam hadits Rasul-Nya n yang diriwayatkan dari Anas z, ia berkata, “Orang-orang mengatakan:
“Wahai Rasulullah, harga-harga naik. Kami mohon Anda menetapkan harga.” Beliau menjawab, “Allah l-lah yang
menentukan harga, yang menahan dan yang membentangkan, serta yang memberi rezeki. Aku berharap agar berjumpa
dengan Allah l dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian menuntutku karena sebuah kezaliman dalam urusan darah
atau harta.” (Sahih, HR. Abu Dawud. Disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani)
As-Sa’di t menerangkan makna nama Allah l tersebut, “Maha Pemberi Rezeki terhadap seluruh makhluk, sehingga tidaklah
ada sesuatu yang ada di alam angkasa ataupun alam bumi kecuali menikmati rezeki-Nya dan dilingkupi oleh kedermawanan-
Nya.”
Muhammad Khalil al-Harras berkata, “Salah satu nama Allah l adalah ق ُ ( َال َّر َّزاAr-Razzaq), yang merupakan bentuk
mubalaghah1 dari kata ق ِ ( اَلرAr-Raziq). Perubahan bentuk kata tersebut menunjukkan sesuatu yang banyak, diambil dari
ُ َّاز
ُ ( اَلر َّْزar-razq) yang bermakna pemberian rezeki, yang merupakan bentuk mashdar (kata dasar). Adapun ق
kata ق ُ ( اَل ِّر ْزar-rizq)
adalah nama bagi sesuatu yang Allah l rezekikan kepada seorang hamba (kata benda). Jadi, makna Ar-Razzaq adalah Dzat
yang banyak memberi rezeki kepada hamba-hamba-Nya, yang bantuan dan keutamaan-Nya bagi mereka tidak terputus
walau sekejap mata.
Adapun kata Ar-Razq sama dengan kata Al-Khalq (penciptaan), yaitu sebagai salah satu sifat perbuatan, yakni salah satu
sifat-Nya sebagai Rabb (Rububiyyah). Kata Ar-Razq tidak boleh disandarkan kepada yang selain-Nya, sehingga yang selain-
Nya tidak boleh disebut Raziq (pemberi rezeki) sebagaimana tidak boleh disebut Khaliq (pencipta). Allah l berfirman:
“Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu
(kembali). Adakah di antara yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu?
Mahasuci Dia dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan.” (ar-Rum: 40)
Jadi, semua rezeki itu di tangan Allah l saja. Dialah pencipta rezeki dan pencipta makhluk yang memanfaatkan rezeki
tersebut. Dialah yang menyampaikan rezeki tersebut kepada mereka. Dia juga merupakan Pencipta sebab-sebab
menikmatinya. Oleh karena itu, yang wajib dilakukan adalah menyandarkan rezeki tersebut hanya kepada Allah l satu-satu-
Nya dan mensyukuri-Nya.
Rezeki Allah l kepada hamba-hamba-Nya ada dua macam, yaitu yang umum dan yang khusus. Rezeki yang umum adalah
Allah l menyampaikan segala kebutuhan hidup mereka dan menjaga kelangsungan mereka. Oleh karena itu, Allah l
memudahkan jalan-jalan rezeki bagi mereka. Allah l pun mengaturnya dalam jasad mereka, lalu menyampaikan makanan
yang dibutuhkan jasad ke anggota-anggota tubuh yang kecil maupun yang besar. Rezeki yang umum ini mencakup orang
yang baik maupun yang jahat, muslim maupun kafir, bahkan juga meliputi manusia, jin, dan hewan. Allah l berfirman:
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (Hud: 6)
Rezeki ini mungkin berupa sesuatu yang halal, yang tidak mengandung dosa bagi hamba. Akan tetapi, mungkin pula berupa
sesuatu yang haram namun tetap disebut sebagai rezeki dari sisi ini2, yaitu disalurkannya kepada anggota badan dan
dijadikannya badan tersebut dapat mengambil manfaat darinya, sehingga hal ini tetap bisa disebut rezeki dari Allah l. Sama
saja, baik dia mengambilnya dari yang halal maupun dari yang haram. Yang seperti ini sekadar disebut rezeki (muthlaqur
rizq).
Adapun yang kedua, (rezeki yang khusus) adalah rezeki yang mutlak (yang sempurna), atau rezeki yang bermanfaat di dunia
maupun di akhirat. Rezeki ini diperoleh melalui Rasulullah n dan terbagi menjadi dua.
1. Rezeki bagi kalbu, berupa ilmu dan iman serta hakikat keduanya, karena kalbu sangat membutuhkan pengetahuan akan
kebenaran dan berkeinginan terhadapnya, serta ingin menghamba kepada Allah l. Dengan rezeki ini akan tercukupi dan
hilang rasa butuhnya (karena kalbu tidak akan membaik, beruntung, dan merasa kenyang hingga mendapatkan ilmu tentang
hakikat yang bermanfaat dan aqidah yang benar, akhlak yang mulia, serta bersih dari akhlak yang hina. Apa yang dibawa
Rasul n menjamin dua hal tersebut sesempurna-sempurnanya, dan tidak ada jalan menuju kepadanya melainkan melalui jalan
beliau n).
2. Rezeki bagi badan, berupa rezeki halal yang tidak mengandung dosa. Allah l mencukupi hamba-Nya dengan rezeki yang
halal sehingga tidak membutuhkan yang haram. Allah l juga mencukupi hamba-Nya dengan keutamaan-Nya sehingga tidak
membutuhkan selain keutamaan-Nya.
Rezeki yang khusus untuk mukminin dan yang mereka minta dari-Nya adalah kedua macam rezeki tersebut.
Yang pertama adalah tujuan terbesar, sedangkan yang kedua adalah sarana menuju kepadanya dan yang membantu dalam
mewujudkannya. Bila Allah l memberikan rezeki kepada seorang hamba berupa ilmu yang bermanfaat, iman yang benar,
rezeki yang halal, serta sifat qana’ah (merasa cukup) dengan apa yang Allah l rezekikan, berarti segala urusannya telah
sempurna dan keadaannya telah lurus, baik sisi agama maupun jasmaninya. Rezeki semacam inilah yang dipuji dalam nash-
nash (teks-teks) nabawi dan tercakup dalam doa-doa yang bermanfaat.
Oleh karena itu, bila berdoa kepada Rabbnya, seorang hamba semestinya mengingat dalam kalbunya dua hal ini, sehingga
bila dia mengatakan, ‘Ya Allah, berikan kepadaku rezeki’, yang dia maksud adalah sesuatu yang membuat kalbunya semakin
baik, yaitu ilmu dan petunjuk, serta pengetahuan dan iman; juga yang menjadikan jasmaninya baik, yaitu rezeki yang halal,
yang nikmat, yang tidak sulit, dan tidak mengandung dosa. (Syarh Nuniyyah karya al-Harras, 2/110—111 dengan beberapa
tambahan dari Syarh al-Asma’ wash Shifat, kumpulan penjelasan as-Sa’di)
Dengan mengimani nama Allah l tersebut, kita mengetahui betapa besarnya karunia Allah l dan betapa luasnya rezeki-Nya.
Semua makhluk-Nya: manusia, jin, dan hewan, Allah k berikan rezeki-Nya kepada mereka tanpa kecuali. Lebih dari itu,
Allah l mengkhususkan rezeki yang besar di dunia dan akhirat untuk hamba-Nya yang bertakwa.
Tentu semua itu menuntut kita untuk selalu bersyukur atas semuanya—rezeki iman dan amal, serta rezeki kebutuhan kita
sehari-hari—, tunduk kepada-Nya, memohon kepada-Nya, karena Dialah yang Mahakaya dan Mahamampu, serta tidak
memohon rezeki kepada selain Allah l, siapa pun dia karena pada hakikatnya semuanya tidak memiliki apa pun. Justru
mereka juga mendapatkan rezeki dari Allah Yang Maha Pemberi Rezeki, Ar-Razzaq.
Wallahu a’lam.
Catatan kaki:
1 Bentuk mubalaghah adalah bentuk kata yang menunjukkan makna yang lebih.
2 Kelompok Mu’tazilah tidak menyebut yang haram sebagai rezeki. Pendapat mereka salah. Bahkan, yang haram juga bisa
disebut rezeki dari sisi yang disebutkan ini.
14 Votes
AR-RAZZAQ
Kata Ar-Razzaq, terambil dari akar kata “Razaqa” atau “rizq” yakni rezeki. Yang pada mulanya –
sebagaimana ditulis oleh pakar bahasa Arab Ibnu Faris – berarti “pemberian untuk waktu
tertentu”. Di sini terlihat perbedaannya dengan “Alhibah” dan disini pula dapat dipahami
perbedaan antara “Ar-Razzaq” dan “Al-Wahhab”. Namun demikian, arti asal ini berkembang,
sehingga rezeki antara lain diartikan pangan, pemenuhan kebutuhan, gaji, hujan dan lain-lain,
bahkan sedemikian luas dan berkembang pengertiannya sehingga “anugerah kenabian” pun
dinamai rezeki. Nabi Syuaib yang berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku bagaimana
fikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan Dia menganugerahi aku dari-
Nya rezeki yang baik? (yakni kenabian)” (Q.S Hud 11:88).
Dalam Alqur’an kata Ar-razaaq hanya ditemukan sekali, yakni pada Q.s Az-Zariyat 51:58, tetapi
bertebaran ayat-ayat yang menggunakan akar kata ini, yang menunjuk kepada Allah AWT.
Ar-Razzaq adalah Allah yang berulang-ulang dan banyak sekali memberi rezeki kepada mahluk-
mahluk-Nya. Imam Ghazali ketika menjelaskan arti Ar-Razzaq menulis bahwa, “Dia yang
menciptakan rezeki dan menciptakan yang mencari rezeki, serta Dia yang mengantarnya kepada
mereka dan menciptakan sebab-sebab sehingga mereka dapat menikmatinya”.
Rezeki oleh sementara pakar hanya dibatasi pada pemberian yang bersifat halal, sehingga haram
tidak dinamai rezeki. Tetapi pendapat ini ditolak oleh mayoritas ulama dan karena itulah –
Alqur’an dalam beberapa ayat menggunakan istilah “rizqan hasanan” (rezeki yang baik), untuk
mengisyaratkan bahwa ada rezeki yang “tidak baik” yakni yang haram. Berdasar keterangan di
atas, dapat dirumuskan bahwa “rezeki” adalah “segala pemberian yang dapat dimanfaatkan, baik
material maupun spiritual”.
Setiap mahluk telah dijamin Allah rezeki mereka. Yang memperoleh sesuatu secara tidak
sah/haram dan memanfaatkannya pun telah disediakan oleh Allah rezekinya yang halal, tetapi ia
enggan mengusahakannya atau tidak puas dengan perolehannya, atau terhalangi oleh satu dan hal
lain sehingga tidak dapat meraihnya. Karena itu, agama menekankan perlunya berusaha dan bila
tidak dapat karena terhalangi oleh satu dan lain sebab, maka manusia diperintahkan berhijrah. Di
sisi lain manusia juga harus memiliki sifat “qana’ah”, tetapi ini bukan sekedar “puas dengan apa
yang telah diperoleh”, tetapi kepuasan tersebut harus didahului oleh tiga hal. 1)Usaha maksimal
yang halal, 2)Keberhasilan memiliki hasil usaha maksimal itu dan 3) Dengan suka cita
menyerahkan apa yang telah dihasilkan karena puas dengan apa yang telah diperoleh sebelumnya.
Dengan demikian usaha maksimal tanpa keberhasilan serta kemampuan kepemilikikan, belum
lagi mengantar seseorang memiliki sifat yang dianjurkan agama ini. Lebih-lebih jika ia tidak
dengan suka hati menyerahkan apa yang telah dihasilkannya itu.
Selanjutnya, jaminan rezeki yang dijanjikan Allah kepada mahluk-Nya bukan berarti memberinya
tanpa usaha. Kita harus sadar bahwa yang menjamin itu adalah Allah yang menciptakan mahluk
serta hukum-hukum yang mengatur mahluk dan kehidupannya. Bukankah manusia telah terikat
dengan hukum-hukum yang ditetapkan-Nya? Kemampuan tumbuh-tumbuhan untuk memperoleh
rezekinya, serta organ-organ yang menghiasi tubuh manusia dan binatang, insting yang
mendorongnya untuk hidup dan makan, semuanya adalah bagian dari jaminan rezeki Allah.
Kehendak manusia, instingnya, perasaan dan kecenderungannya, selera dan keinginannya, rasa
lapar dan hausnya sampai kepada naluri mempertahankan hidupnya, adalah bagian dari jaminan
rezeki Allah kepada mahluk-Nya. Karena tanpa itusemua, maka tidak akan ada dalam diri
manusia dorongan untuk mencari makan, tidak pula akan terdapat pada manusia dan binatang
pencernaan, kelezatan, kemampuan membedakan rasa dan sebagainya.
Allah sebagai “Ar-Raazaq” juga menjamin rezeki dengan menghamparkan bumi dan langit
dengan segala isinya. Dia menciptakan seluruh wujud dan melengkapinya dengan apa yang
mereka butuhkan sehingga mereka dapat memperoleh rezeki yang dijanjikan Allah itu. Rezeki
dalam pengertiannya yang lebih umum tidak lain kecuali upaya mahluk untuk meraih kecukupan
hidupnya dari dan melalui mahluk lain. Semua mahluk yang membutuhkan rezeki diciptakan
Allah dengan kebutuhan atas mahluk lain agar dimakannya agar dapat melanjutkan hidupnya,
demikian sehingga rezeki dan yang diberi rezeki selalu tidak dapat dipisahkan. Setiap yang diberi
rezeki dapat menjadi rezeki untuk yang lain, dapat makan dan menjadi makanan buat yang lain.
Jarak antara rezeki dan manusia, lebih jauh dari jarak rezeki dengan binatang, apalagi tumbuhan.
Ini bukan saja karena adanya aturan hukum-hukum dalam cara perolehan dan jenis yang
dibenarkan bagi manusia, tetapi juga karena seleranya yang lebih tinggi. Oleh sebab itu manusia
dianugerahi Allah sarana yang lebih sempurna, akal, ilmu, pikiran dan sebagainya, sebagai bagian
dan jaminan rezeki Allah. Tetapi sekali-kali jaminan rezeki yang dijanjikan Allah bukan berarti
memberinya tanpa usaha.
Jarak antara rezeki bayi dengan rezeki orang dewasapun berbeda. Jaminan rezeki Allah, berbeda
dengan jaminan rezeki orang tua kepada bayi-bayi mereka. Bayi menunggu makanan yang siap
dan menanti untuk disuapi. Manusia dewasa tidak demikian. Allah menyiapkan sarana dan
manusia diperintahkan mengolahnya, “Dia yang menjadikan bagi kamu bumi itu mudah (untuk
dimanfaatkan) maka berjalanlah dia segala penjurunya dan makanlah dari rezeki-Nya” (Q.s Al-
Mulk 67:15). Karena itu ketika Allah Ar-Razzaq itu menguraikan pemberian rezeki-Nya
dikemukakannya dengan menyatakan bahwa, “Nahnu narzuqukum Wa Iyyahum” (Kami
memberi rezeki kepada kamu dan kepada mereka anak-anak kamu (Q.s Al-An’am 6:151).
Penggunaan kata Kami – sebagaimana pernah diuraikan sebelum ini – adalah untuk menunjukkan
keterlibatan selain Allah dalam pemberian/perolehan rezeki itu. Dalam hal ini adalah keterlibatan
mahluk-mahluk yang bergerak itu mencarinya.
Itu sebabnya ketika menyampaikan jaminan-Nya, Allah mengisyaratkan bahwa jaminan itu untuk
semua “dabat” (Yang bergerak). Perhatikanlah Firman-Nya, “Wa Ma Min Dabaten Fil Ardhi
Illa’Ala Alahi Rizquha (Tidak satu dabat [binatang melata yang bergerak] pun di bumi, kecuali
Allah yang menjamin rezekinya” (Q.s. Hud 11:6). Lima kali dalam Alqur’an, Allah mensifati
diri-Nya dengan Khairur Raziqin (sebaik-baik pemberi rezeki) dari enam kali kata “Raaziqin”.
Hanya sekali Alqur’an mensifati Allah dengan Ar-Razzaq, yaitu dalam Q.S. Az-Zariyat 51:58,
“Tiada Aku menghendaki pemberian (rezeki) dari mereka tidak pula Aku menghendaki diberi
makan oleh mereka. Sesunguhnya Allah adalah Ar-Razzaq (Maha Pemberi Rezeki) yang
memiliki kekuatan yang kukuh”. Agaknya itu untuk mengisyaratkan bahwa dalam perolehan
rezeki harus ada keterlibatan mahluk bersama Allah. Alllah adalah sebaik-baik pemberi rezeki,
antara lain karena Dia yang menciptakan rezeki beserta sarana dan prasarana perolehannya,
sedang manusia hanya mencari dan mengolah apa yang telah diciptakan-Nya itu. Bukankah yang
dimanfaatkan manusia dalah bahan mentah yang disiapkan Allah atau hasil olahan dari bahan
mentah yang telah tersedia itu?
Sementara orang berkata bahwa Rasul Saw pernah memuji burung-burung –dengan maksud agar
diteladani- dalam perolehan rezeki mereka,.. “Burung-burung keluar lapar di waktu pagi dan
kembali kenyang disore hari”. Apa yang disabdakan Rasul ini benar adanya, tetapi harus diingat
dan diteladani bahwa burung-burung tidak tinggal diam di sarang mereka, tetapi terbang keluar
untuk meraih rezekinya. Demikian pula seharusnya manusia.
Yang meneladani Allah dalam sifat-Nya ini terlebih dahulu harus menyadari makna-makna di
atas. Ia harus menyadari sepenuhnya bahwa tiada Pemberi Rezeki kecuali Allah SWT. Kesadaran
tentang jaminan rezeki Allah itu –dengan pengertian diatas- harus sedemikian kukuh, tidak
kurang dari kukuhnya keyakinan seorang tentang kemampuannya mengucapkan kata-kata. “Dan
dari langit ada rezeki kamu dan apa-apa yang dijanjikan kepadamu. Demi Tuhan Pencipta langit
dan bumi, yang itu adalah benar, seperti ucapan (yang kamu mampu ucapkan)”. (Q.s. AZ-Zariyat
51:22-23).
Setelah itu sebagai peneladanan Allah Ar-Razzaq (Yang menganugerahkan rezeki material dan
spiritual) dia berkewajiban menjadi penyebab sampainya rezeki Allah yang diterimanya kepada
orang lain, baik dengan ucapan maupun perbuatannya. Semakin banyak mahluk yang diantarkan
kepada rezeki, semakin tinggi keteladannya kepada Ar-Razzaq.
Memang, menyangkut rezeki yang bersifat material seseorang tidak harus atau menghabiskan
seluruhnya. Camkanlah Firman-Nya yang menjelaskan sifat-sifat orang bertaqwa Q.s. Al-
Baqarah 2:3 “dan dari sebagian apa yang Kami rezekikan kepada mereka, mereka nafkahkan”
atau perintah-Nya yang berbunyi, “Dan nafkahkanlah sebagian dari apa yang kami rezekikan
kepadamu” (Q.s. Al-Baqarah 2:54). Ayat-ayat tersebut mengandung makna bahwa sebagian yang
direzekikan dan tidak dinafkahkan itu, hendaknya ditabung untuk keperluan yang tidak terduga.
Adapun rezeki immaterial, berupa ilmu pengetahuam, maka ini terlarang menyembunyikannya,
apalagi “ilmu bertambah bila dinafkahkan berbeda dengan harta yang dapat berkurang karena
diberikan”. Ilmu memelihara manusia, sedang harta harus dipelihara manusia.
Ar Razzaq
Posted by "Asmaul Husna"Saturday, March 30, 20130 comments
Aku tidak menghendaki sedikitpun rizki dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku
makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rizki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh. (QS.
Adz-Dzariyaat: 57-58)
Pada awalnya rezeki itu bermakna tunggal, yaitu pemberian untuk jangka waktu tertentu. Makna ini sekaligus
membedakan antara rezeki dengan hibah, atau antara makna Ar-Razzaq dengan Al-Wahhab. Dalam
perkembangannya makna rezeki itu meluas dan melebar, kadang bermakna pangan, pemenuhan kebutuhan,
gaji, juga hujan yang turun dari langit, bahkan anugerah kenabian pun disebut sebagai rezeki, sebagaimana
perkataan Nabi Syuaib kepada kaumnya:
“Wahai kaumku, bagaimana pendapatmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan Dia
menganugerahi aku dari-Nya rizki yang baik (yakni kenabian)?” (QS. Huud: 88)
Dengan demikian, maka rizki itu bisa meliputi segala pemberian yang dapat dimanfaatkan, baik bersifat
material maupun spiritual. Rizki itu tidak hanya bersifat kebendaan, tapi juga bisa berupa kebahagiaan,
sembuh dari sakit, kesempatan beribadah dengan baik, hidayah, dan banyak lagi lainnya. Sungguh tak
terhingga rizki yang telah diberikan kepada kita.
Ar Rozaq adalah sifat Allah Subhanahu Wata'ala yang baik dan memiliki makna Maha Pemberi Rizki. Rizki yang
diberikan oleh Allah tak terbatas Harta, tahta, kesehatan, kepandaian, pengetahuan dan masih banyak lagi.
Dalam pemberian Rizeky ini Allah Subhanahu Wata'ala tidak pernah membedakan siapa yang akan menerima
rezeki dari-Nya entah itu muslim yang beriman atau mereka yang ingkar. Jika Allah Subhanahu Wata'ala
menghendaki sesuatu terjadi, maka Dia akan menciptakan sebab-sebab kejadiannya. Jika sebuah rezeki ingin
diberikan-Nya pada seorang hamba, maka tak satu pun kekuatan yang bisa menghalanginya. Tak ada
kekuatan yang mampu menghalangi takdir-Nya.
Bila Allah Subhanahu Wata'ala mencintai seseorang, Dia menjadikan makhluk-makhluk semakin membutuhkan
orang dermawan dan kalau saja dia sampai menjadi perantara antara Allah dengan manusia agar rezeki dapat
sampai kepada manusia maka berarti dia memiliki sifat ini juga. Itulah orang yang telah mewarisi sifat ini yang
tangannya dijadikan sebagai gudang rezekinya, tubuh dan ucapannya menjadi gudang bagi rezeki hati.
Persendian adalah sambungan tulang pada tubuh manusia yang berjumlah tiga ratus enam puluh buah. Maka
selayaknya manusia mengeluarkan sedekah bagi setiap persendian tubuhnya, semata-mata untuk mensyukuri
nikmat itu. Dengan adanya semua persendian itu, manusia hidup dengan penuh kesempurnaan dan
kenikmatan. Sekiranya diantara persendian tersebut ada yang rusak atau kering, tentulah akan mendatangkan
gangguan pada tubuh, maka bersedekah atasnya merupakan tasyakur dan juga menghindarkan bala.
Sering manusia mengira, semua yang didapat adalah hasil kerja keras dan usahanya. Sering manusia
menyangka, semua yang terjadi keluar dari jerih payahnya. Padahal, sungguh tak ada daya pada diri manusia
yang lemah ini, Makhluk yang ketika kantuk Allah yang menciptakan sarana-sarana rezeki maupun mereka
yang diberi rezeki dan memberikan sarana kepada makhluknya maupun menciptakan jalan-jalan untuk
menikmatinya.
Rezeki bathiniah lebih tinggi dibandingkan rezeki lahiriah, karena buahnya adalah kehidupan abadi. Adapun
buah dari pemberian rezeki lahiriah berupa kekuatan jasmani yang fana.
Allah menganugerahkan pengetahuan untuk memberikan petunjuk, lidah untuk bersaksi dan mengajar. Dan
kedua tangan untuk membagikan sedekah, sehingga manusia dapat menjadi sebab bagi rezeki. Oleh Karena
itu jika kita diberikan rezeki oleh Allah maka seharusnya kita memberikan sebagian rezeki yang kita miliki
kepada orang yang membutuhkan. Misalnya kita memiliki harta yang berlebih maka kita harus
menyedekahkan sebagian harta kita untuk orang yang membutuhkan.
Makna Ar Razzaaq
AR RAZZAAQ = MAHA PEMBERI REZEKI
Pembuka Kata
Makna Kata
Nama Allah, Ar Razzaaqu dibaca Ar Rozzaq bermakna Yang Memberi dan Melengkapi semua kebutuhan hiduo
dari seluruh makhluk-Nya. Yang Memberikan rizki. Yang memegang komando tertinggi dalam pembagian rizki
Ar Rozaq adalah sifat Allah Subhanahu Wata'ala yang baik dan memiliki makna Maha Pemberi Rizki. Rizki yang
diberikan oleh Allah tak terbatas Harta, tahta, kesehatan, kepandaian, pengetahuan dan masih banyak lagi.
Dalam pemberian Rizeky ini Allah Subhanahu Wata'ala tidak pernah membedakan siapa yang akan menerima
rezeki dari-Nya entah itu muslim yang beriman atau mereka yang ingkar. Jika Allah Subhanahu Wata'ala
menghendaki sesuatu terjadi, maka Dia akan menciptakan sebab-sebab kejadiannya. Jika sebuah rezeki ingin
diberikan-Nya pada seorang hamba, maka tak satu pun kekuatan yang bisa menghalanginya. Tak ada kekuatan
Penutup Kata
Demikian pengertian yang terkandung di dalam tiap-tiap nama dari Asmaul-Husna yang amat masyhur itu.
Pengertian yang kita terangkan secara ringkas seringkas-ringkasnya. Bila dibentangkan atau diuraikan dengan
panjang, maka nama Allah, Ar Razzaaqu tidak cukup dengan sebuah buku tebal seribu halaman, Allah tidak
Cara berdoa dengan Nama Allah, Ar Razzaaqu dengan ditambahkan kata Jalla Jalaaluhu yang artinya : Mulia
As syaafi
ASY-SYAAFI, YANG MAHA PENYEMBUH
Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
DASAR PENETAPAN
Nama Allâh Azza wa Jalla yang maha agung ini disebutkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam hadits yang shahîh. Yakni, dari Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu membacakan doa perlindungan kepada salah seorang (anggota)
keluarga beliau (dengan) mengusapkan tangan kanan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya
membaca (doa):
َ الَ ِشفَا َء إِالَّ ِشفَا ُؤ، ا ْش ِف ِه َوأَ ْنتَ ال َّشا ِفى، اس
ِشفَا ًء الَ يُغَا ِد ُر َسقَ ًما، ك َ َب ْالب
ِ اس أَ ْذ ِه
ِ َّاللَّهُ َّم َربَّ الن
Ya Allâh, Rabb (pencipta dan pelindung) semua manusia, hilangkanlah penyakit ini dan sembuhkanlah,
Engkau adalah asy-Syâfi (Yang Maha Penyembuh), tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan (dari)-Mu,
kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit (lain)[1]
Juga dalam hadits shahîh yang lain, dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu tentang ruqyah (doa/zikir
perlindungan) yang dibaca oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Anas Radhiyallahu anhu
menyebutkan doa yang mirip dengan doa di atas.
Berdasarkan hadits-hadits ini, para Ulama menetapkan nama asy-Syâfi (Yang Maha Penyembuh) sebagai
salah satu dari nama-nama Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang maha indah. Di antara Ulama yang
menetapkannya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah[2] , Imam Ibnul Qayyim rahimahullah[3] ,
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn [4] , Syaikh ‘Abdur Razzâq al-Badr [5] dan lain-lain.
MAKNA ASY-SYAFI
Imam Ibnul Atsîr rahimahullah menjelaskan bahwa asal kata nama ini secara bahasa berarti lepas
(sembuh) dari penyakit [6] .
Sedangkan Imam Fairûz Abâdi rahimahullah mengatakan bahwa arti asal kata nama ini (asy-syifa’) adalah
obat penyembuh [7] .
Sementara al-Halîmi rahimahullah menjelaskan bahwa maknanya secara bahasa adalah menghilangkan
sesuatu yang menyakiti atau merusak pada badan manusia [8] .
Maka, nama Allâh Azza wa Jalla asy-Syâfi berarti Yang Maha Menyembuhkan segala penyakit lahir
maupun batin. Dia Azza wa Jalla lah yang menyembuhkan hati manusia dari berbagai syubhat
(kerancuan/kesalahpahaman dalam memahami Islam), ketidakyakinan, iri, dengki dan penyakit-penyakit
hati lainnya, serta menyembuhkan badan manusia dari berbagai macam penyakit dan kerusakan. Tidak
ada satu pun yang mampu melakukan semua itu kecuali Allâh Azza wa Jalla semata, maka tidak ada
kesembuhan penyakit selain kesembuhan dari-Nya dan tidak ada asy-Syâfi (Yang Maha Penyembuh)
kecuali Dia Azza wa Jalla, sebagaimana ucapan Nabi Ibrâhîm Alaihissallam yang dinukil dalam al-Qur`ân:
Sumber: https://almanhaj.or.id/3679-asy-syaafi-yang-maha-penyembuh.html
8
Jun bysepdhani
“Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku”. (QS. Al-
Syu’ara’: 80).
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah bahwa apabila Nabi
Muhammad SAW menjenguk orang yang sedang sakit maka beliau berdo’a:
Allah Aza Wa Jalla menyembuhkan penyakit hati seperti rasa benci, hasad
dan syahwat, dan Dia juga menyembuhkan penyakit jasad dan tidak boleh
berdo’a dengan menggunakan nama ini kecuali kepada Allah.
ك بِ َخي ٍْر فَهُ َو َعلَى ُكلِّ َش ْي ٍء قَ ِدي ٌر ِ ك هَّللا ُ بِضُرٍّ فَال َك
َ اشفَ لَهُ إِال هُ َو َوإِ ْن يَ ْم َس ْس َ َوإِ ْن يَ ْم َس ْس
1. Do’a.
Allah SWT berfirman:
ََان فَ ْليَ ْست َِجيبُوا لِي َو ْلي ُْؤ ِمنُوا بِي لَ َعلَّهُ ْم يَرْ ُش ُدون
ِ اع إِ َذا َدع ُ َ ََوإِ َذا َسأَل
ِ ك ِعبَا ِدي َعنِّي فَإِنِّي قَ ِريبٌ أ ِجيبُ َد ْع َوةَ ال َّد
Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam sunannya dari Abi Hurairah r.a
berkata: Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barangsiapa yang menjenguk
orang yang sedang sakit yang belum datang ajalnya dan dia berkata di
sisinya sebanyak tujuh kali:
“Aku mohon kepada Allah Yang Maha Agung, Tuhan yang menguasai
‘arsy yang agung, agar menyembuhkan penyakitmu”. Kecuali Allah akan
memberikan kesembuhan baginya dari penyakit tersebut.
آن َما هُ َو ِشفَا ٌء َو َرحْ َمةٌ لِ ْل ُم ْؤ ِمنِينَ َوال يَ ِزي ُد الظَّالِ ِمينَ إِال َخ َسارًا
ِ َْونُن َِّز ُل ِمنَ ْالقُر
“Dan Kami turunkan dari Al Qur’an suatu yang menjadi penawar dan
rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Qur’an itu tidaklah
menambah kepada orang-orang yang lalim selain kerugian. (QS. Al-
Isro’: 82).
Dan Nabi Muhammad SAW menjenguk orang yang sakit dan berdo’a bagi
mereka, meruqyah mereka dengan kitab Allah, Al-Qur’an sebagaimana
beliau meruqyah diri beliau sendiri dengan Al-Qur’an. Sebagaimana
dijelaskan di dalam Ash-Shahihaini dari Aisyah r.a bahwa Nabi
Muhammad SAW berkata kepada orang yang sedang sakit:
بسم هللا تربة أرضنا بريقة بعضنا يشفي مريضنا بإذن بنا
“Dengan menyebut nama Allah, ini adalah tanah dari bumi kami,
dengan menggunakan liur sebagian dari kami, Dia akan menyembuhkan
orang yang sakit dari kami dengan izin Tuhan kami”.
Dan Nabi Muhammad SAW meniup untuk dirinya sendiri dengan Al-
Mu’awwidzat saat beliau menderita sakit yang mengantarkan beliau pada
kematian.
3. Meminum madu.
Allah SWT berfirman:
5. Berbekam (hijamah).
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam kitab shahihnya dari hadits Ibnu
Abbas r.a bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Kesembuhan itu pada
tiga hal yaitu goretan hijamah, meminum madu dan kayyi (membakar kulit
dengan besi yang panas), dan aku melarang umatku melakukan kayyi.”
ِ ُّوب إِ ْذ نَادَى َربَّهُ أَنِّي َم َّسنِ َي الضُّ رُّ َوأَ ْنتَ أَرْ َح ُم الر
ُ)فَا ْستَ َج ْبنَا لَهُ فَ َك َش ْفنَا َما بِ ِه ِم ْن ضُرٍّ َوآتَ ْينَاه٨٣( ََّاح ِمين َ َوأَي
)٨٤( َأَ ْهلَهُ َو ِم ْثلَهُ ْم َم َعهُ ْم َرحْ َمةً ِم ْن ِع ْن ِدنَا َو ِذ ْك َرى لِ ْل َعابِ ِدين
Seharusnya bagi orang yang sedang menderita sakit untuk menjauhi rasa
putus asa sekalipun penyakit tersebut meningkat, sebab kelapangan yang
dijanjikan oleh Allah SWT sangatlah dekat. Diceritakan kepadaku (Syaih
Dr. Amin bin Abdullah asy-Syaqawi) bahwa seseorang tertimpa kecelakaan
mobil yang mengakibatkan dirinya tidak sadar selama empat bulan, dan
ibunya selalu membacakan baginya Al-Qur’an di sisi ranjang tidurnya di
rumah sakit dan berdo’a baginya, kemudian setelah beberapa lama dia
sadar dan Allah telah menyembuhkannya, hidup seperti biasa dan
menikmati rizkinya. Maha Suci Allah Yang Maha menyembuhkan.
Sementara, yang lain seorang lelaki yang menderita penyakit kanker, dan
para dokter telah memutuskan bahwa penyakitnya tidak dapat
disembuhkan. Akhirnya orang tersebut senantiasa meminum madu dan
jintan hitam yang dicampur dengan beberapa jenis rumput-rumputan, dan
dimakannya selama beberapa bulan, maka Allah SWT memberikan
kesembuhan baginya dan menyehatkan badannya. Maha Suci Allah Yang
Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.
Kisah-kisah dalam masalah ini sangat banyak, dan apa yang telah aku
sebutkan adalah secuil dari kisah yang begitu banyak. Segala puji bagi Allah
Tuhan semesta alam, semoga shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada
Nabi kita Muhammad saw dan kepada keluarga, shahabat serta seluruh
pengikut beliau.
Referensi: disarikan dari makalah Syaih Dr. Amin bin Abdullah asy-
Syaqawi, “Syarah Makna Salah Satu Asmaul Husna (Asy-Syafi)“, terjemah:
Muzaffar Sahidu, editor: Eko Haryanto Abu Ziyad, dengan editing
seperlunya
Dasar penetapan Nama Allah Ta’ala yang maha agung ini disebutkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih. Dari
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi …
7 12888 6
Dasar penetapan
َ الَ ِشفَا َء إِالَّ ِشفَا ُؤ، ا ْشفِ ِه َوأَ ْنتَ ال َّشافِى، اس
« ِشفَا ًء الَ يُغَا ِد ُر َسقَ ًما، ك َ َب ْالب
ِ اس أَ ْذ ِه
ِ َّ» اللَّهُ َّم َربَّ الن
“Ya Allah Rabb (pencipta dan pelindung) semua manusia, hilangkanlah penyakit ini dan
sembuhkanlah, Engkau adalah asy-Syaafi (Yang Maha Penyembuh), tidak ada
kesembuhan kecuali kesembuhan (dari)-Mu, kesembukan yang tidak meninggalkan
penyakit (lain)”[1].
Juga dalam hadits shahih yang lain, dari Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu tentang ruqyah(doa/zikir perlindungan) yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, lalu Anasradhiyallahu ‘anhu menyebutkan doa yang mirip dengan doa
di atas.
Imam Ibnul Atsir menjelaskan bahwa asal kata nama ini secara bahasa berarti lepas
(sembuh) dari penyakit[6].
Sedangkan imam Fairuz Abadi menjelaskan bahwa arti asal kata nama ini (asy-syifa’)
adalah obat penyembuh[7].
“Dan apabila aku sakit Dialah Yang menyembuhkan aku” (QS asy-Syu’araa’: 80).
Artinya: jika aku ditimpa suatu penyakit maka tidak ada satupun yang mampu
menyembuhkanku selain Allah Ta’ala, dengan sebab-sebab yang ditetapkan-Nya
membawa kesembuhan bagiku[9].
Imam Ibnul Qayyim ketika menjelaskan makna doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam di atas, beliau berkata: “Dalam ruqyah (doa/zikir perlindungan) ini
(terdapat) tawassul(usaha/sebab untuk mendekatkan diri) kepada Allah dengan
kesempurnaan (sifat) rububiyah-Nya (pengaturan-Nya atas semua urusan makhluk-Nya)
dan kasih sayang-Nya dalam menyembuhkan (penyakit manusia), dan bahwa Dialah satu-
satunya asy-Syaafi (Yang Maha Penyembuh), tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan
(dari)-Nya. Maka ruqyah (doa/zikir perlindungan) ini mengandung tawassul (usaha/sebab
untuk mendekatkan diri) kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya (mengesakan-Nya
alam beribadah), (sifat) ihsan (kebaikan) danrububiyah-Nya”[11].
1. Kesembuhan yang bersifat maknawi dan rohani, yaitu kesembuhan dari penyakit-
penyakit hati manusia
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasehat dari Rabbmu (al-Qur’an)
dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (hati manusia), dan petunjuk serta
rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS Yuunus:57).
Imam Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Allah menjadikan al-Qur’an bagi orang-orang yang
beriman sebagai penyembuh, (dengan) mereka mengambil pengobatan dari nasehat-
nasehat (yang terkandung dalam) al-Qur’an untuk (menyembuhkan) penyakit-penyakit
yang merasuk ke dalam dada (hati) mereka, (juga penyakit yang berupa) bisikan dan
godaan setan (yang akan merusak hati dan keimanan manusia), maka Allah mencukupkan
(nasehat) bagi orang-orang yang beriman dengan penjelasan ayat-ayat-Nya sehingga
mereka tidak butuh lagi kepada nasehat yang lain”[15].
{آن َما هُ َو ِشفَا ٌء َو َرحْ َمةٌ لِ ْل ُم ْؤ ِمنِينَ َوال يَ ِزي ُد الظَّالِ ِمينَ إِال َخ َسارًا
ِ ْ} َونُنز ُل ِمنَ ْالقُر
“Dan Kami turunkan pada al-Qur’an suatu yang merupakan penyembuh dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman dan al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-
orang yang zalim selain kerugian” (QS al-Israa’: 82).
Imam Ibnu Katsir berkata, “Arti ‘al-Qur’an sebagai penyembuh dan rahmat bagi orang-
orang yang beriman’: al-Qur’an akan menghilangkan penyakit-penyakit yang ada di hati
mereka, yang berupa keraguan (ketidakyakinan), kemunafikan, kesyirikan,
penyelewengan dan penyimpangan, maka al-Qur’an akan menyembuhkan semua
(penyakit) tersebut…”[16].
Akan tetapi perlu diingatkan di sini, bahwa fungsi al-Qur’an sebagai petunjuk dari
Allah Ta’alauntuk menyembuhkan penyakit hati, hanyalah bisa diambil oleh orang-orang
yang mengimani kebenaran al-Qur’an serta memahami kandungan makna dan artinya.
Imam Ibnul Qayyim berkata, “al-Qur’an adalah penyembuh yang hakiki dari
berbagai syubhat(kerancuan/kesalahpahaman dalam memahami Islam) dan keragu-raguan
(dalam keimanan), akan tetapi semua (manfaat al-Qur’an) itu tergantung dari (sejauh
mana) kita memahami (kandungan) artinya dan mengetahui maksud (penafsiran yang
benar) darinya”[17].
Adapun tentang penyembuhan yang kedua, yaitu penyembuhan pada fisik dan badan
manusia, ini ditunjukkan dalam beberapa hadits yang shahih.
Keimanan yang benar terhadap nama-Nya yang maha agung ini akan menjadikan seorang
hamba selalu menghadapkan diri dan berdoa kepada-Nya semata-mata agar Dia
memudahkan kesembuhan segala penyakit pada dirinya, utamanya penyakit-penyakit
hatinya yang merupakan penghalang utama bagi manusia untuk mencapai ridha
Allah Ta’ala.
Bersihnya hati manusia dari noda dan penyakit merupakan sumber utama kebaikan
manusia di dunia dan akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika itu
baik maka akan baik seluruh tubuh manusia, tapi jika itu buruk maka akan buruk seluruh
tubuh manusia, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia”[20].
Oleh karena itu, Allah Ta’ala tidak akan menerima hamba yang datang menghadap-Nya
pada hari kiamat nanti, kecuali yang datang dengan hati yang bersih dari segala penyakit.
Allah Ta’ala berfirman,
ٍ }يَوْ َم ال يَ ْنفَ ُع َما ٌل َوال بَنُونَ إِال َم ْن أَتَى هَّللا َ بِقَ ْل
{ب َسلِ ٍيم
“Hari (kiamat) yang (pada waktu itu) harta dan anak-anak tidak bermanfaat, kecuali
orang-orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang bersih” (QS asy-Syu’araa’:
88-89).
Artinya: hati yang bersih dari syirik (menyekutukan Allah), keraguan, mencintai
keburukan, serta bersikeras pada perbuatan bid’ah dan maksiat[21].
Semua penyakit hati bersumber dari buruknya hawa nafsu manusia, sehingga hati ini
terhalang untuk mencapai kedekatan dengan Allah Ta’ala.
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Orang-orang yang menempuh jalan (untuk mencari
keridhaan) Allah Ta’ala, meskipun jalan dan metode yang mereka tempuh berbeda-beda,
(akan tetapi) mereka sepakat (mengatakan) bahwa nafsu (jiwa) manusia adalah
penghalang (utama) bagi hatinya untuk sampai kepada (ridha) Allah, (sehingga) seorang
hamba tidak (akan) mencapai (kedekatan) kepada Allah kecuali setelah dia (berusaha)
menentang dan menguasai nafsunya (dengan melakukan tazkiyatun nufus)”[22].
Maka Allah U Dialah satu-satunya yang maha mampu untuk membersihakn hati dan
mensucikan jiwa manusia dari segala penyakit tersebut, karena Dia Y adalah asy-
Syaafi (Yang Maha Penyembuh) dan tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan (dari)-
Nya, sebagaimana sabda Rasulullah r dalam hadits di atas.
Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam doa beliau yang terkenal,
mengisyaratkan bahwa kebersihan hati dan kesucian jiwa hanyalah semata-mata berasal
dari Allah Ta’ala, yaitu doa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Penutup
Demikianlah, dan kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah dengan nama-
nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia
memudahkan bagi kita kesembuhan dari penyakit lahir dan batin untuk mencapai
kesempurnaan iman dan keridhaan-Nya.