MORBUS HANSEN
Disusun oleh :
Sofia Kusumadewi G4A013096
2015
PRESENTASI KASUS
MORBUS HANSEN
Disusun Oleh:
Pembimbing
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. K
Umur : 42 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Pesawahan 02/03 Rawalo
Suku : Jawa
Kewarganegaraan : Indonesia
Tanggal masuk : 4 Mei 2015
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Bercak kemerahan pada daerah tangan dan kaki
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Onset : 1 tahun yang lalu
Lokasi : kedua tangan dan kaki
Faktor Memperberat :-
Faktor Memperingan :-
Kronologi : Pasien mengaku sejak 1 tahun yang lalu muncul
bercak-bercak kemerahan pada kedua anggota
geraknya. Bercak dirasa tidak gatal dan nyeri,
namun pasien merasa terasa menebal. Pasien juga
merasa sering kesemutan sejak 1 tahun yang lalu.
Sekarang, pasien merasa kebas pada kedua
ekstrimitas. Pasien mengaku rasa kebas semakin
memberat setiap harinya.
Selain itu, pasien juga merasa wajah menjadi
membengkak seperti muncul benjol-benjol.
Keluhan ini dirasakan seiring dengan keluhan
kebas pada kedua anggota geraknya. Bagian daun
telinga juga dirasa membesar, namun tidak nyeri.
Menurut keterangan pasien, di lingkungan tempat
tinggal dan sekitarnya tidak terdapat orang dengan
keluhan serupa dengannya. Pasien mengaku
keluhan dirasakan baru pertama kali. Pasien
belum pernah memeriksaan keluhan ini kepada
dokter.
Gejala penyerta : rasa kebas dan sering kesemutan pada kedua
anggota gerak, wajah berbenjol-benjol, telinga
membesar.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat menderita keluhan yang sama :-
Riwayat batuk pilek dalam 1 bulan terakhir : -
Riwayat hipertensi :-
Riwayat diabetes :-
Riwayat penyakit jantung :-
Riwayat penyakit ginjal :-
Riwayat alergi makanan :-
Riwayat alergi obat :-
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat menderita keluhan yang sama :-
Riwayat hipertensi :-
Riwayat diabetes :-
Riwayat penyakit jantung :-
Riwayat alergi : tidak diketahui
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal hanya bersama suami. Pasien merupakan seorang ibu rumah
tangga, sedangkan suaminya bekerja sebagai pegawai swasta. Pendidikan
akhir pasien adalah SD. Status ekonomi pasien menengah ke bawah.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Baik
Kesadaram : compos mentis
Tanda Vital
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Respiration rate : 20 x/menit
Suhu : 36,6
Status Generalis
Kepala : Simetris, mesochepal, venektasi temporal (-/-)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Discharge (-), deviasi septum (-)
Mulut : Lidah sianosis (-), atrofi papil lidah (-)
Telinga : Discharge (-)
Leher : Deviasi trakhea (-)
Status Lokalis
Thorax : tidak dilakukan pemeriksaan
Abdomen : tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : tidak dilakukan pemeriksaan
Status Dermatologikus
regio facialis : nodul eritematosa, multipel, berbatas tidak
tegas (Facies Leonina), madarosis pada alis
(Gambarr 1.1)
regio auricularis dex et sin : nodul eritematosa, multipel, batas tidak
jelas (Megalolobulus) (Gambar 1.2)
regio antebrachii dex et sin : makula eritematosa batas tegas
regio cruris dekstra sinistra : xerosis (+), skuama (+), ekskoriasi (+),
erosi (+)
Gambar 1.1 Facies Leonina Gambar 1.2
A. Definisi
Morbus Hansen yang disebut juga Lepra adalah infeksi kronik yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Lepra merupakan salah satu penyebab
paling sering neuropati perifer di seluruh dunia. Mycobacterium leprae
ditemukan oleh G.H Armauer Hansen di Norway pada tahun 1873 (Girao et
al, 2013).
B. Etiologi
Mycobacterium leprae belum berhasil dibiakan secara in vitro.
Mycobacterium leprae berkembang biak pada suhu 30 - 33°C dalam waktu 12
hari. Mikroorganisme ini merupakan mikroorganisme yang kuat yang dapat
bertahan hidup di lingkungan selama 10 hari (Lockwood, 2010). M. leprae
merupakan kuman gram positif yang berbentuk basil dengan ukuran 3-8 µm x
0,5 µm, yang mempunyai komponen antigenik kompleks yang terdiri dari
lipid, karohidrat dan protein, sehingga kuman ini tahan asam dan alkohol
(Kosasih et al, 2010).
C. Epidemiologi
Lepra ditemukan di beberapa negera, terutama di Asia, Afrika,
Amerika latin, daerah tropis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial
ekonominya rendah. Makin rendah sosial ekonomi rendah makin berat
penyakitnya, sebaliknya faktor sosial ekonomi tinggi sangat membantu
penyembuhan (Kosasih et al, 2010).
Peyakit ini masih tetap menjadi endemik di Negara seperti Afrika dan
Negara-negara Asia Tenggara. Variasi geografi pada tahun 2009 menunjukkan
dari 141 negara yang melaporkan, hanya 7 negara yang terdeteksi 85 %
kasusnya dalah kasus baru. Contohnya pada tahun 2009 di India terdapat 94 %
kasus lepra baru dari 79 % populasi saat itu. Pada tahun 2005 – 2007 di Brasil
17 % dari populasi berkontribusi pada 53 % kasus baru. Untuk Indonesia
sendiri pada tahun 2007, 14 dari 33 provinsi terdapat 83 % kasus baru.
Sedangkan China pada tahun 2009, 3 dari 31 provinsi mempunyai 54, 5 %
kasus baru (Al-Qubati et al, 2012).
D. Patomekanisme
Faktor risiko untuk terjadinya lepra adalah tinggal di area yang
diketahui sebagai daerah endemik, ada keluarga yang menderita lepra, genetik,
terpapar dari lingkungan sekitar, dan kemiskinan. Meskipun cara masuk M.
leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti, beberapa
penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering adalah melalui kulit
yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal.
Pengaruh M. leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang.
Oleh karena itu penyakit lepra dapat disebut sebagai penyakit imunologik.
Gejala klinisnya sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada
intensitas infeksinya (Lockwood, 2010)
Sebagai proteksi awal sebelum bakteri masuk ke dalam kulit, terutama
kompartemen imunologik bakteri tersebut harus melewati beberapa sawar,
salah satunya adalah berbagai mekanisme non-spesifik seperti sistem
fagositosis yang diperankan terutama oleh sel makrofag. Bakteri yang
ditangkap akan melalui beberapa proses yang bertujuan untuk mengeliminasi
bakteri, sehingga pada 95% individu yang terinfeksi oleh M. leprae tidak
menimbulkan gejala klinis atau minimal hanya subklinis saja. Setelah berbagai
sawar nonspesifik tersebut gagal, maka barulah akan bekerja mekanisme
imunitas spesifik, melalui aktivasi sel-sel imunokompeten oleh stimulasi
antigen M. leprae (Abbas dan Lichtman, 2004).
Bila basil M. leprae masuk ke dalan tubuh seseorang, dapat timbul
gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis
bergantung kepada sistem imunitas seluler (SIS) penderita. SIS yang baik
akan tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah
memberikan gambaran lepromatosa. Makrofag dalam jaringan yang berasal
dari monosit di dalam darah ada yang mempunyai nama lain sel Kupffer di
hati, sel alveolar di paru, sel glia dari otak, dan yang dari kulit disebut
histiosit. Salah satu tugas makrofag adalah melakukan fagositosis. Kalau ada
kuman masuk, akibatnya akan bergantung pada SIS. Apabila SIS-nya tinggi,
makrofag akan mampu memfagosit M. leprae. Datangnya histiosit ke tempat
kuman disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor
kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus
difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang
berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel. Apabila SIS rendah
atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang sudah ada di
dalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow
atau sel lepra atau sel busa dan sebagi alat pengangkut penyebarluasan (Abbas
dan Lichtman, 2004).
Pada lepra tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan
demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman
dapat bermultiplikasi dengan bebas yang kemudian dapat merusak jaringan.
Kelainan kulit yang terjadi lebih ekstensif. Lesi kulit terdiri dari nodus yang
infiltratis dan plak. Kelainan saraf dapat simetris (Lee et al, 2012).
E. GAMBARAN KLINIS
Sebelum membahas mengenai gambaran klinis akan dibahas mengenai
klasifikasi terlebih dahulu. Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah
spectrum determinate pada penyakit lepra yang terdiri atas berbagai tipe,
yaitu:
IL : Indeterminate leprosy
TT : Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
BT : Borderline tuberculoid
BB : Mid borderline
BL : Borderline lepromatous bentuk yang labil
LLs : Lepromatous subpolar
LLp : lepromatosa polar, bentuk yang stabil
TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang
stabil. Jadi tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LLp adalah tipe
lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%. Sedangkan tipe antara BT dan
LLs disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara
tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran 50% tuberkuloid dan
50% lepromatosa. BT lebih banyak tuberkuloidnya, sedang BL dan LLs lebih
banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti
dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun LLp. Indeterminate leprosy tidak
termasuk dalam spectrum (Lee et al, 2012).
Tabel 1. Klasifikasi Ridley-Jopling
F. Differential Diagnosis
Diagnosis banding pada lepra tergantung dari bentuk efloresensinya.
Pada lesi berbentuk makula maka diagnosis bandingnya adalah (Lockwood,
2010) :
1. Vitiligo
Lesi pada vitiligo mengalami hipopigmentasi, pada lepra hipopigmentasi
yang terjadi tidak pernah total atau komplit seperti pada vitiligo.
2. Pityriasis alba
Pada pityriasis alba terdapat hipopigmentasi yang seringkali sulit
dibedakan dengan lepra, namun pada pityriasis alba permukaannya
biasanya bersisik dan tidak ada AFB (Acid Fast Bacillus).
3. Pityriasis versikolor
Pada pityriasis versikolor tidak selalu bersisik, dan daerah distribusinya
pada punggung dan dada serta gambaran makulanya berbeda dengan pada
lepra.
4. Tinea Korporis
Pada tinea korporis lesi dirasakan sangan gatal dan bisa terdapat vesikel
pada pinggirannya dan pada kerok kulit didapatkan jamur.
Pada lesi berbentuk plak dan annular, diagnosis bandingnya adalah
granuloma multiform, sarkoidosis, dan kutaneus tuberkulosis yang mungkin
mirip dengan lepra tipe TT. Namun, pada penyakit-penyakit diatas tidak
ditemukan adanya kelaianan saraf perifer seperti anestesi pada lesi.
Pada lesi berbentuk nodul, diagnosis bandingnya adalah kutaneus
leishmaniasis dimana pada penyakit tersebut teradapat nodul juga, disertai
krusta dan ulserasi setelah beberapa minggu atau bulan. Di daerah Afrika
Timur penyakit ini sulit dibedakan dengan lepra tipe LL karena lesinya yang
mirip. Dibedakan dari dilakukannya slit-skin smears dan leishmanin test yang
positive pada kutaneus leishmaniasis. Untuk lesi pada Nerves nya perlu
dipikirkan pula beberapa diagnosis banding seperti diabetes melitus,
amyloidosis, infeksi HIV dan keracunan logam berat (Lockwood, 2010).
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Bakterioskopik
Sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung
yang diwarnai dengan pewarnaan BTA Ziehl Neelsen. Pertama harus
ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah
terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat
diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu
kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling aktif
berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping
telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut
karena pada cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae (Kosasih
et al, 2010).
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada
sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0
sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan
pandang (LP) (Kosasih et al, 2010).
1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
2+Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
3+Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
4+Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
5+Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP
6+Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan
dengan jumlah solid dan non solid.
IM= Jumlah solid x 100 %/ Jumlah solid + Non solid
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100
BTA, I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karena untuk mendapatkan 100 BTA
harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+
maksimum harus dicari 100 lapangan (Kosasih et al, 2010).
2. Pemeriksaan Histopatologi
Gambaran histopatologi tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan
kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan
non solid. Tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (
subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis
yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan
banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur – unsur
tersebut. Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M. leprae sebagai
tempat berkembangbiak dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan
(Kosasih et al, 2010).
3. Pemeriksaan Serologik
Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang
terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA
(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML
dipstick, PCR (Kosasih et al, 2010).
4. Tes Lepromin
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan
prognosis lepra tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk
menunjukkan sistem imun penderita terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin
dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal.
Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2 hari (reaksi Fernandez) atau 3 – 4
minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi
dan eritema yang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M.
Leprae, yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test (PPD) pada
tuberculosis (Kosasih et al, 2010).
Reaksi Mitsuda bernilai :
0 Papul berdiameter 3 mm atau kurang
+ 1 Papul berdiameter 4 – 6 mm
+ 2 Papul berdiameter 7 – 10 mm
+ 3 papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulsera
H. Penatalaksanaan
Regimen pengobatan lepra disesuaikan dengan yang direkomendasikan
oleh WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi lepra disederhanakan
menjadi:
1. Pausi Basiler (PB)
2. Multi Basiler (MB)
Dengan memakai regimen pengobatan MDT (Multi Drug Treatment).
Kegunaan MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat,
mengatasi ketidakteraturan penderita dalam berobat, menurunkan angka putus
obat pada pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat mengeliminasi persistensi
kuman lepra dalam jaringan. Regimen Pengobatan Lepra tersebut
(WHO/DEPKES RI), PB dengan lesi tunggal diberikan ROM (Rifampicin
Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat sekali saja langsung RFT (Release
From Treatment). Obat diminum di depan petugas. Anak-anak Ibu hamil tidak
di berikan ROM (Al-Qubati et al, 2012)
Rifampicin Ofloxacin Minocyclin
(50-70 kg)
Anak 300 mg 200 mg 50 mg
(5-14 th)
diselesaikan selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum dosis obat ini, dinyatakan
RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan
setelah RFT dilakukan secara pasif untuk tipe PB selama 2 tahun dan tipe MB
selama 5 tahun.
I. Komplikasi
Lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma dan
infeksi kronik sekunder dapat menyebabkan hilangnya jari jemari ataupun
ekstremitas bagian distal. Juga sering terjadi kebutaan. fenomena lucio yang
ditandai dengan artritis, terbatas pada pasien lepromatosus difus, infiltrative
dan non noduler. kasus klinik yang berat lainnya adalah vaskulitis nekrotikus
dan menyebabkan meningkatnya mortalitas. amyloidosis sekunder merupakan
penyulit pada penyakit leprosa berat terutama pada ENL kronik (Lockwood,
2010).
J. PROGNOSIS
Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit.
Kesembuhan bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan.
Terkadang pasien dapat mengalami kelumpuhan bahkan kematian, serta
kualitas hidup pasien menurun (Kosasih et al, 2010).
III.PEMBAHASAN
Lepra adalah penyakit infeksi yang kronik, penyebabnya adalah
Mycobacterium leprae yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi,
selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernapasan bagian
atas, sistem retikulo-endotelial, mata, otot, tulang, dan testis. Diagnosis MH
multibasiler pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.
Pada anamnesis didapatkan bercak kemerahan pada tangan dan kaki sejak
satu tahun lalu. Bercak dirasa tidak gatal dan nyeri, namun pasien merasa terasa
menebal. Pasien juga merasa sering kesemutan sejak 1 tahun yang lalu. Sekarang,
pasien merasa kebas pada kedua ekstrimitas. Selain itu, pasien juga merasa wajah
menjadi membengkak seperti muncul benjol-benjol. Bagian daun telinga dirasa
membesar, namun tidak nyeri.
Gejala klinis untuk morbus hansen tipe multibasiler dimana lesi kulit berupa
makula datar, papul yang meninggi, dan nodus. Jumlah lesinya lebih dari 5,
distribusi lebih simetris, hilangnya sensasi kurang jelas. Penularan lepra belum
diketahui secara pasti namun berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak
langsung antar kulit yang lama dan erat. Selain itu, dapat pula melalui inhalasi,
sebab Mycobatcterium Leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet.
Pada status dermatologis pada regio facialis dan regio auricularis dekstra
sinistra ditemukan nodul eritematosa dengan batas yang tidak jelas, multipel, dan
pada regio antebrachii sinistra ditemukan macula eritemotosa, batas jelas, ukuran
plakat, regio cruris dekstra sinistra didaptakan xerosis dengan skuama dan erosi.
Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah
sedikit, kemudian dengan cepat menyebar keseluruh badan. Makula disini lebih
jelas dan lebih bervariasi bentuknya. Walaupun masih kecil, papul, nodus lebih
tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetrik dan beberapa nodus tampak
melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan
pinggir didalam infiltrat lebih jelas dibanding tepi luarnya, dan beberapa plak
tampak seperti punch-out. Saraf menebal disertai gangguan fungsi saraf dan nyeri
tekan, bisa terjadi pada satu atau beberapa saraf tepi. Oleh karena fungsi saraf tepi
sudah terganggu, akibatnya kulit yang mati rasa bila kena benturan akan terjadi
luka. Kulit yang kering bisa menjadi pecah dan selanjutnya gangguan pada otot-
otot penggerak jari tangan dan kaki atrofi.
Pada kasus ini didiagnosis banding dengan pitiriasis Rosea karena lesi
hipopigmentasi, makula eritematosa dengan pinggir meninggi. Pasien ini
diberikan terapi MDT dengan 3 jenis obat yaitu rifampisin, Dapson dan
Clofazimine. DDS 100 mg/hari, rifampisin 600 mg setiap bulan, dan clofazimine
300 mg setiap bulan, diteruskan dengan 50 mg setiap hari. Kombinasi obat ini
diberikan 12-18 bulan. Apabila bakterioskopis masih positif, pengobatan harus
dilanjutkan sampai bakterioskopis negatif. Selama pengobatan dilakukan
pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan secara bakteriologis minimal setiap 3
bulan. Jadi besar kemungkinan pengobatan lepra multibasilar ini hanya selama 2
sampai 3 tahun. Edukasi untuk pasien berupa nasihat untuk patuh dalam berobat
serta sedapat mungkin menghindari trauma agar tidak terjadi infeksi lain.
IV. KESIMPULAN
1. Lepra adalah penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya Mycobacterium
leprae, yang bersifat intraselular obligats.
2. Insidensi puncak pada usia 10-20 tahun dan 30-50 tahun. Berdasarkan Ridley
and Jopling lepra dibagai menjadi TT, BT, BB, BL ,LL, dan menurut WHO
dibagi menjadi Multibasiler dan Pausibasiler.
3. Diagnosis Lepra dilakukan berdasarkan pemeriksaan klinis, bakteriologis, dan
histopatologis.
4. Penatalaksanaan lepra dengan terapi regimen Multi Drug Treatment mulai
diterapkan untuk mencegah kemungkinan timbul resistensi. Dengan
pelaksanaan MDT, lepra sekarang jauh lebih mudah untuk dikontrol. Deteksi
dini dan pengobatan penyakit, reaksi, dan kekambuhan merupakan kunci
untuk mencegah kecacatan dan memungkinkan pasien untuk menjalani
kehidupan yang relatif normal.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas AK, Lichtman AH. 2004. Basic Immunology. 2 nd ed. Philadelphia :
Elsevier. p.21-33.
Al-Qubati YA, de Oliveira MLW, Caldas MDP, et al. 2012. WHO Expert
Committee on Leprosy. Geneva : World Health Organization. p. 1-3, 17-28.
Girao RJS, Soares NLR, Pinheiro JV, et al. 2013.Leprosy Treatment Dropout : a
Systematic Review. Brazil : International Archives of Medicine.
Kosasih A, Wisnu IM, Daili ES, Menaldi SL. 2010. Kusta. In : Djuanda A,
Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p.73-88.
Lee DJ, Rea TH, Modlin RL. Leprosy. 2012. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatology In
General Medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill Companies. p. 2253-62.
Lockwood DNJ. Leprosy. 2010. In : Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C,
editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed. UK : Wiley-Blackwell. p.
32.1 – 32. 20.
Lockwood DNJ. 2010. Leprosy. In : Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C,
editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed. UK : Wiley-Blackwell. p.
32.1 – 32. 20.
Playfair JHL, Chain BM. 2013. Immunology at a Glance. 10th ed. UK : Wiley-
Blackwell. p.10-1, 66-7.
Vital RT, Illaramendi X, Nascimento O, et al. 2012. Progression of Leprosy
Neuropathy. Brazil : Departement of Neurology. Published January 6th ,.