Anda di halaman 1dari 17

Primary Survey

Penilaian keadaan pasien dan prioritas terapi didasarkan jenis perlukaan,


tanda-tanda vital, dan mekanisme trauma. Pada pasien yang terluka parah, terapi
diberikan berdasarkan prioritas. Tanda vital pasien harus dinilai secara cepat dan
efisien. Pengelolaan pasien berupa primary survey yang cepat dan kemudian
resusitasi, secondary survey, dan akhirnya terapi definitif.
Proses ini merupakan ABCDE-nya trauma, dan berusaha mengenali
keadaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu, dengan berpatokan pada urutan
berikut :
1. Airway, menjaga airway dengan control servikal (cervical spine control)
2. Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi
3. Circulation dengan control perdarahan (hemorrhage control)
4. Disability : status neurologis
5. Exposure/environmental control : buka baju pasien, tetapi cegah
hipotermia
Airway
a. Penilaian
Beberapa tanda objektif sumbatan airway dapat diketahui dengan
langkah-langkah berikut :
1.Lihat (look) apakah pasien mengalami agitasi atau kesadaran
menurun, agitasi member kesan adanya hipoksia, dan penurunan
kesadaran member kesan adanya hiperkarbia. Sianosis
menunjukkan hipoksemia yang disebabkan oleh kurangya
oksigenasi dan dapat dilihat dengan melihat pada kuku da sekitar
mulut. Tidak adanya retraksi dan penggunaan otot-otot napas
tambahan yang apabila ada, merupakan bukti tambahan adanya
gangguan airway.
2.Dengar (listen) adanya suara-suara abnormal pernapasan yang
berbunyi (suara, napas bisik) adalah pernapasan yang tersumbat.
Suara mendengkur (snoring), berkumur (gurgling), dan bersiul
(crowing sound, stridor) mungkin berhubungan dengan sumbatan
parsial pada faring atau laring. Suara parau (hoarseness,
dysphonia) menunjukkan sumbatan pada laring. Pasien yang
melawan ddan berkata-kata kasar (gaduh, gelisah) mungkin
mengalami hipoksia dan tidak boleh dianggap karena
keracunan/mabuk.
3.Raba (feel) lokasi trakea dan dengan cepat tentukan arah trakea
berada di tengah.
Gambar 8. Look, Listen and Feel

b. Permasalahan
1. Lidah yang jatuh ke belakang dan menyumbat orofaring dan glottis
(stridor)
2. Cairan atau benda semipadat atau benda asing yang menyumbat
lumen saluran pernapasan bagian atas.
3. Penekanan saluran pernapasan dari luar.
4. Terjadi sumbatan benda padat secara total
c. Penanganan
Bila salah satu dari hal-hal tersebut kita temukan maka
segeralah lakukan pembebasan jalan napas.
Jalan napas bebas dapat dicapai dengan ekstensi kepala
sehingga lidah terletak di depan dan tidak menutup hipofaring. Hal ini
dapat dicapai dengan menarik dagu ke depan. Bila ada kecurigaan terjadi
fraktur tulang leher, tindakan membebaskan jalan napas dilakukan tanpa
ekstensi berlebihan kepala dan posisi leher harus diimobilisasi. Umumya
jalan napas harus terlebih dahulu dibuka, dibebaskan, dan dibersihkan.
Bila pasien mengalami penurunan tingkat kesadaran, maka
lidah mungkin jatuh ke belakang dan menghambat hipofaring. Bentuk
sumbatan seperti ini dapat segera diperbaiki dengan cara mengangkat
dagu (chin lift maneuver) atau dengan mendorong rahang bawah kea rah
depan (jaw-thrust maneuver), airway selanjutnya dapat dipertahankan
dengan oropharyngeal airway atau nasopharyngeal airway. Tindakan-
tindakan yang digunakan untuk membuka airway dapat menyebabkan
atau memperburuk cedera spinal. Oleh karena itu, selama mengerjakan
prosedur-prosedur ini harus dilakukan imobilisasi segaris (inline
immobilization).
Head tilt/chin lift maneuver
Berdasarkan AHA, head tilt/chin lift maneuver adalah teknik paling
efektif untuk membuka jalan napas korban yang tidak sadar. Teknik ini
adalah satu-satunya maneuver yang direkomendasikan untuk penolong
awam dan penolong yang berpengalaman ketika ada trauma kepala atau
leher. Head tilt/chin lift maneuver dilakukan dengan meletakkan satu
tangan pada dahi pasien dan kepala dimiringkan kebelakang. Jari pada
tangan lain diletakkan dengan kuat di bawah bagian tulang yang
menonjol pada dagu, angkat dagu ke atas.

Jaw Trhust Manuever

Cara ini dilakukan pada korban dengan riwayat trauma servikal.


Tindakan jaw-thrust dilakukan dengan cara memegang sudut rahang
bawah (angulus mandibula) kiri dan kanan serta mendorong rahang
bawah ke depan. Hal ini harus dilakukan secara hati-hati untuk
mencegah ekstensi kepala.
Heimlich Maneuver

Obstruksi jalan napas dapat disebabkan oleh corpus alienum


misalnya karena tersedak. Tersedak adalah respon fisiologis terhadap
obstruksi saluran napas mendadak. Benda asing obstruksi jalan napas
menyebabkan asfiksia dan merupakan kondisi yang mengkhawatirkan,
yang terjadi sangat akut, pasien sering tidak dapat menjelaskan apa yang
terjadi kepada mereka. Jika parah, dapat menyebabkan hilangnya cepat
kesadaran dan kematian jika pertolongan pertama tidak dilakukan
dengan cepat dan berhasil. Jika benda asing tidak tampak di mulut dan
tidak dapat ditangkap dengan jari atau alat harus dilakukan Heimlich.
Pasien dipegang dari belakang setinggi ulu hati dengan kedua tangan :
tangan yang satu memegang tangan yang lain dengan cukup kuat, tangan
ditekan sehingga diafragma naik dan terjadi tekanan tinggi di rongga
dada. Posisi tangan yang lebih dominan mengepal dan tangan yang lain
diletakkan di atasnya. Gerakan ini dapat mengeluarkan benda asing.

Back Blows
Back blows adalah pukulan atau tepukan pada punggung pasien
sebanyak lima kali yang dapat dilakukan pada siapapun.
Finger sweep
Teknik untuk membersihkan obstruksi mekanik dari saluran napas
bagian atas pada pasien yang tidak sadar. Penyelamat membuka mulut
korban dengan memegang rahang bawah dan lidah antara ibu jari dan
jari-jari. Penyelamat kemudian mencoba untuk menyapu benda asing
keluar dari mulut korban dengan jari.

Apabila dengan cara-cara diatas pasien belum dapat bernapas maka


lakukan pertolongan dengan menggunakan alat seperti di bawah ini :
Oropharingeal Airway

Airway oral disisipkan ke dalam mulut dibalik lidah. Teknik yang


dipilih adalah dengan menggunakan spatula lidah untuk menekan lidah
dan menyisipkan airway tersebut ke belakang. Alat ini tidak boleh
mendorong lidah kebelakang yang justru akan membuat airway buntu.
Alat ini tidak boleh digunakan pada pasien yang sadar karena dapat
menyebabkan sumbatan, muntah dan aspirasi. Pasien yang dapat
mentoleransi airway orofaringeal kemungkinan besar membutuhkan
intubasi.

(a)

Nasopharyngeal Airways
Airway nasofaringeal disisipkan pada salah satu lubang hidung dan
dilewatkan dengan hati-hati ke orofaring posterior dengan menggunakan
jelly. Alat tersebut sebaiknya dilumasi baik-baik kemudian disisipkan ke
lubang hidung yang tampak tidak tertutup. Bila hambatan dirasakan
selama pemasangan airway, hentikan dan coba melalui lubang hidung
yang lainnya.

Pada Skenario : Terdapat suara mendengkur, Mendengkur terjadi karena udara


tidak mengalir dengan mulus melalui saluran pernafasan atau ketika jaringan
lunak atau otot di saluran pernafasan bergetar. Pengelolaan airway Lakukan
chin lift, jaw thrust dengan kontrol servikal in-line.

Breathing
Menjamin terbukanya airway merupakan langkah penting pertama
untuk pemberian oksigen pada pasien, tapi itu baru merupakan langkah
awal. Airway yang terbuka tidak akan berguna bagi pasien terkecuali pasien
juga mempunyai adekuat ventilasi dan mencari tanda-tanda objektif dari
ventilasi yang tidak adekuat.
a. Penilaian
Beberapa tanda objektif ventilasi yang tidak adekuat dapat diketahui
dengan mengambil langka-langkah berikut :
1. Lihat (look) naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan
udara dinding dada yang adekuat. Asimetris menunjukkan
pembelatan (splinting) atau flail chest dan tiap pernapasan yang
dilakukan dengan susah (labored breathing) sebaiknya harus
dianggap sebagai ancaman terhadap ventilasi pasien.
2. Dengar (listen) adanya pergerakan udara pada kedua sisi dada.
Penurunan atau tidak terdengarnya suara napas pada satu atau
kedua hemitoraks merupakan adanya cedera dada. Hati-hati
terhadap adanya laju pernapasan yang cepat, takipneu mungkin
menunjukkan adanya kekurangan oksigen (respiratory
distress).
3. Gunakan pulse oxymeter. Alat ini mampu memberikan
informasi tentang saturasi oksigen dan perfusi perifer pasien,
tetapi tidak memastikan adanya ventilasi yang adekuat.
b. Permasalahan
Ventilasi mungkin terganggu oleh sumbatan airway tetapi juga oleh
gangguan pergerakan napas (ventilatory mechanics) atau depresi susunan
saraf pusat. Apabila pernapasan tidak membaik dengan terbukanya airway,
penyebab lain harus dicari. Trauma langsung pada dada, khususnya yang
disertai trauma tulang iga, menyebabkan rasa sakit setiap kali bernapas dan
menyebabkan pernapasan yang cepat, dangkal, dan hipoksemia. Pasien
lanjut usia yang mengalami trauma toraks dan menderita gangguan paru
mempunyai resiko bermakna untuk mengalami gagal napas pada keadaan
ini.
Cedera intrakranial dapat menyebabkan pola pernapasan yang
abnormal dan mengganggu ventilasi. Cedera servikal dapat menyebabkan
pernapasan diafragmatik sehingga kemampuan penyesuaian untuk
kebutuhan oksigen yang meningkat menjadi terganggu. Transeksi total
servikal, yang masih menyisakan nervus frenikus menimbulkan pernapasan
abdominal dan kelumpuhan otot-otot intercostal. Bantuan ventilasi
mungkin dibutuhkan.
Cedera dinding dada, rongga toraks, atau paru menyebabkan gagal
napas. Pada trauma majemuk, gagal napas dapat pula terjadi bila trauma
mengenai abdomen atas. Cadangan napas dapat menurun bila penderita
telah menderita gangguan napas sebelum terjadi trauma sehingga
pertukaran gas tidak cukup. Sindrom gagal napas pada orang dewasa (Adult
respiratory distress syndrome, ARDS) adalah kegagalan paru karena
trauma, syok, sepsis.
a. Penanganan
Cara menanganinya adalah dengan melakukan ventilasi buatan dan
oksigenasi dengan inflasi tekanan positif secara intermitten dengan
menggunakan udara ekshalasi dari mulut ke mulut, mulut ke hidung atau
mulut ke alat (S- tube masker atau bag valve mask). Ventilasi buatan
dengan tekanan positif jangka panjang sebainya dilakukan melalui
intubasi dengan pipa endotrakeal atau dengan trakeostomi.
Mouth to Mouth
Untuk memberikan bantuan pernapasan mulut ke mulut, jalan
napas korban harus terbuka. Tangan penolong masih tetap melakukan
teknik membuka jalan napas chin lift. Hidung korban harus ditutup bisa
dengan tangan atau dengan menekan pipi penolong pada hidung korban.
Mulut penolong mencakup seluruh mulut korban. Mata penolong
melihat ke arah dada korban untuk melihat pengembangan dada.
Pemberian pernapasan buatan secara efektif dapat diketahui dengan
melihat pengembangan dada korban.Tiupkan napas dengan lambat,
tiupkan setiap napas lebih dari 2 detik, pastikan ada pengembangan dada
korban. Bersiaplah untuk memberikan sekitar 10 sampai 12 napas per
menit(1 nafas setiap 4 sampai 5 detik).

Mouth to Nose
Memberikan napas dari mulut ke hidung direkomendasikan jika
pemberian napas buatan melalui mulut korban tidak dapat dilakukan
misalnya terdapat luka yang berat pada mulut korban, mulut tidak dapat
dibuka, korban di dalam air atau mulut penolong tidak dapat mencakup
mulut korban.

Mouth to Mask
Sebuah masker transparan dengan atau tanpa katup yang
digunakan dari mulut ke masker pernapasan. Ventilasi mulut ke masker
sangat efektif karenamemungkinkan penyelamat untuk menggunakan
dua tangan untuk membuat masker terpasang erat di daerah mulut
pasien.Ada 2 teknik yang mungkin untuk menggunakanmasker mulut.
Teknik pertama posisi penyelamat di ataskepala korban (cephalic
technique). Pada teknik kedua (lateral technique), penyelamat
adalahdiposisikan di samping korban dan menggunakan head tilt– chin
lift.

Bag Valve Mask


Pemberian nafas buatan dengan menggunakan alat dapat
meggunakan Bag Valve Mask (ambu bag). Ambu bag terdiri dari bag
yang berfungsi untuk memompa O2 bebas, valve atau pipa berkatup dan
masker yang menutup mulut dan hidung penderita. Ambu bag sangat
efektif bila dilakukan oleh dua orang penolong yang berpengalaman.
Salah seorang penolong mebuka jalan napas dan menempelkan sungkup
di wajah korban dan penolong lain memegang bagging. Teknik ventilasi
bag valve mask membutuhkan instruksidan praktek. Penyelamat harus
dapat menggunakanperalatan secara efektif dalam berbagai situasi.

Breathing : pernafasan baik ( 16x/menit)


Circulation
Istilah henti jantung adalah istilah umum yang meliputi konsekuensi
hemodinamik pada asistol, fibrilasi ventrikel, dan disosiasi elektrodinamik.
Berhentinya kontraksi jantung tidak benar-benar terjadi pada dua dari tiga
keadaan ini. Bila curah jantung sangat rendah sehingga semua tanda-tanda
henti jantung muncul.
a. Penilaian
Yang dibicarakan adalah volume darah dan cardiac output serta,
perdarahan.
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang akan
mengakibatkan penurunan kesadaran (jangan dibalik: pasien yang sadar
belum tentu normo-volemik).
Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia. Pasien trauma
yang kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas, jarang
yang dalam keadaan hipovolemia. Sebaliknya, wajah pucat keabu-abuan
dan kulit ekstremitas yang pucat, merupakan tanda hipovolemia.
Periksalah nadi yang besar seperti A. femoralis atau A. karotis (kiri-
kanan), untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Nadi yang tidak cepat,
kuat dan teratur biasanya merupakan tanda normovolemia (bila pasien tidak
minum obat beta-blocker). Nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda
hipovolemia, walaupun dapat disebabkan keadaan yang lain. Kecepatan
nadi yang normal bukan jaminan bahwa normo-volemia. Nadi yang tidak
teratur biasanya merupakan tanda gangguan jantung. Tidak ditemukannya
pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi segera
untuk memperbaiki volume dan cardiac output.

a. Permasalahan
Kegagalan sirkulasi yang paling sering terjadi pada korban trauma
adalah syok dan henti jantung yang antara lain terjadi karena perdarahan
yang terlalu banyak atau karena cedera jantungnya sendiri.
Tanda-tanda henti jantung adalah: tidak teraba nadi yang sebelumnya
teraba atau tidak ada denyut pembuluh darah besar karotis atau femoralis.
Salah satu atau kedua tanda utama ini berlaku pada semua situasi.
Perlu dibuat diagnosis dengan cepat dalam hitungan detik akan
kejadian ini. Dilatasi pupil terjadi pada henti sirkulasi dan merupakan tanda
hipoksia. Hipoksia dapat juga mendahului henti jantung sehingga sianosis
serta midriasis telah ada walaupun curah jantung tidak berkurang.
Tidak ada cadangan nyata oksigen di dalam tubuh tetapi pada setiap
saat tersedia kurang lebih 1000 ml oksigen. Jelas bahwa tidak semua
oksigen ini tersedia sepenuhnya untuk keperluan metabolik. Jadi jika
penggunaan oksigen terus tidak berkurang, “cadangan” akan habis terpakai
(paling lama 3 menit). Secara umum, bila sirkulasi tidak mulai kembali
secara spontan, atau tidak ditambah secara buatan, dalam 3 menit sejak saat
berhenti, mungkin tidak ada gunanya kita memulai resusitasi. Oleh karena
itu, henti jantung klinis harus ditangani segera.
c. Penanganan
Syok
Perdarahan merupakan penyebab syok paling umum pada
trauma dan hampir semua pasien-pasien dengan trauma multipel terjadi
hipovolemia. Sebagai tambahan, kebanyakan pasien dengan syok
nonhemoragik memberikan respon yang singkat terhadap resusitasi
cairan. Walaupun tidak lengkap (parsial).
Klasifikasi perdarahan (kehilangan darah) dibagi menjadi
empat kelas berdasarkan tanda-tanda klinis, merupakan perangkat yang
penting untuk memperkirakan presentasi hilangnya darah secara akut.
Perubahan-perubahan ini dapat menunjukkan adanya perdarahan yang
sedang terjadidan sebagai pedoman terapi awal. Penggantian volume
darah hendaknya didasarkan atas respon pasien terhadap terapi awal dan
bukan klasifikasi kehilangan darah. Sistem klasifikasi perdarahan ini
berguuna untuk menetukan tanda-tanda klinis awal patofisiologi kodisi
syok.
Upaya diagnostik dan penangan syok harus dilaksanakan secara
simultan. Prinsip penanganan dasar syok adalah stop perdarahan dan
penggantian volume darah/cairan yang hilang.
Pemeriksaan fisik ditujukan langsung pada diagnosis segera
atas cedera yang mengancam jiwa dan meliputi penilaian ABCDE.
Pencatatan data-data awal penting untuk memonitor respon pasien
terhadap terapi. Tanda-tanda vital, produksi urin, dan tingkat kesadaran
merupakan faktor penting. Bila kondisi memungkinkan, pemeriksaan
yang lebih detil perlu dilaksanakan.
Menjamin airway yang paten dengan ventilasi dan oksigenasi
yang adekuat merupakan prioritas pertama. Pemberian oksigen
tambahan untuk mempertahankan saturasi lebih dari 95%.
Prioritas dalam sirkulasi meliputi control perdarahan yang jekas
terlihat, memperoleh akses intarvena yang cukup dan menilai perfusi
jaringan. Pendarahan dari luka-luka luar umumnya dapat dikontrol
dengan bebat tekan langsung pada perdarahan.
Terapi awal cairan larutan elektrolit istonik hangat, misalnya
Ringer laktat, digunakan untuk resusitasi awal. Cairan jenis ini mengisi
volume vaskuler dengan cara menggantikan kehilangan cairan penyerta
yang hilang ke dalam ruang itertisial dan intraseluler.
Keputusan untuk memberikan transfuse darah didasarkan pada
respon pasien. Tujuan utama transfuse darah adalah untuk
mengembalikan kapasitas angkut oksigen di dalam volume
intravaskuler.
Chest Compression
Jika korban juga bernapas tidak normal (terengah-engah), penolong
harus mengasumsikan korban mengalami henti jantung. Penyelamat
awam harus melakukan panggilan darurat saat penyelamat menemukan
bahwa korban dalam keadaan tidak responsif, operator harus mampu
membimbing penolong awam untuk memeriksa pernapasan pasien serta
langkah-langkah CPR (cardiopulmonary resuscitation), jika diperlukan.
Setelah melakukan panggilan darurat, semua tim penolong harus
segera memulai CPR (lihat langkah-langkah di bawah ini) untuk korban
dewasa yang tidak responsif dengan tidak bernapas atau tidak bernapas
normal (terengah-engah).
Kompresi terdiri dari aplikasi irama dan tekanan yang kuat di
pertengahan sternum. Kompresi mengembalikan aliran darah dengan
meningkatkan tekanan intrathoracic dan langsung menekan jantung. ini
menghasilkan aliran darah dan pengiriman oksigen ke miokardium dan
otak.
Kompresi dada yang efektif sangat penting untuk mengembalikan
aliran darah selama CPR. Untuk alasan ini semua pasien dalam.
serangan jantung harus menerima kompresi dada.
Tim penyelamat harus berusaha untuk meminimalkan frekuensi dan
durasi gangguan dalam kompresi untuk memaksimalkan jumlah
kompresi per menit. Rasio kompresi-ventilasi 30:2 direkomendasikan
dengan kedalaman kompresi 5 cm.

Pedoman AHA 2010 untuk CPR dan ECC merekomendasikan


inisiasi kompresi sebelum ventilasi. Sementara tidak ada bukti manusia
atau hewan yang dipublikasikan menunjukkan bahwa CPR dimulai
dengan 30 kompresi lebih dari 2 ventilasi mengarah ke hasil yang lebih
baik, jelas bahwa aliran darah bergantung pada penekanan dada.
Untuk memaksimalkan kompresi dada, tempatkan korban pada
permukaan keras bila memungkinkan, dalam terlentang posisi dengan
penyelamat berlutut di samping dada korban atau berdiri di samping
tempat tidur. Karena tempat tidur rumah sakit biasanya tidak keras. Kita
merekomendasikan penggunaan papan meski tidak cukup bukti terhadap
penggunaan papan selama CPR.
Penyelamat harus menempatkan satu tangan di tengah (tengah) dari
dada korban dan tangan lainnya di atas tangan pertama sehingga tangan
dapat tumpang tindih dan paralel.
Untuk memberikan kompresi dada yang efektif, mendorong keras
(push hard) dan mendorong cepat (push fast). Hal ini wajar untuk orang
awam dan kesehatan penyedia untuk kompres dada dewasa pada tingkat
minimal
100 kompresi per menit dengan kedalaman kompresi minimal 2 inci / 5
cm). Tim penyelamat harus mengusahakan dada mengembang kembali
ke posisi semula (recoil) disetiap pemberian sati kali kompresi, untuk
memungkinkan jantung untuk mengisi sepenuhnya sebelum kompresi
berikutnya.
Pada bayi, kompresi dada yang dilakukan mengggunakan teknik
yang berbeda. Jika penolong sendirian harus menggunakan teknik
kompresi dada dengan mengguakan 2 jari yang diletakkan di garis antara
kedua puting susu dengan ratio kompresi-ventilasi (30:2). Disarankan
untuk melakukan kompresi pada bayi dengan dua penolong. Pada teknik
ini penolong memegang badan bayi dengan kedua tangannya dan
menempatkan kedua ibu jari intermammary line dengan ratio kompresi-
ventilasi (15:2). Kompresi pada bayi dilakukan kurang lebih 100 kali per
menit secara cepat dan kuat dengan kedalaman kompresi 4cm.

Indikasi Pengakhiran Resusitasi


a. Tanda- tanda Keberhasilan Resusitasi
Suatu resusitasi yang baik dinilai atas 3 dasar, yaitu :
1. Fungsi otak, pernapasan dan jantung dapat
dipertahankan. Bila O2 yang dibutuhkan oleh jaringan otak
dapat mencegah terjadinya kerusakan cerebral, maka ini dapat
dinilai dari beberapa reaksi, antara lain :
a. Berdasarkan diameter pupil . Bila miosis,
menunjukkan hasil yang baik dan bila midriasis
menetap, menunjukkan hasil buruk.
b. Refleks pupil
c. Reflex air mata
d. Struggling (meronta-ronta)
e. Tonus otot meningkat
Bila hal di atas positif, maka hal tersebut menunjukkan indikasi
ke arah perbaikan.
2. Terjadi spontanitas respirasi
Penilaian terhadap respirasi dapat dibagi menjadi :
a. Pernapasan menjadi normal atau apneu, gasping
(megap-megap) atau pernapasan cheyne-stokes
b. Frekuensi pernapasan berkisar antara 16-20 kali/menit
c. Amplitudo pernapasan yang meninggi
3. Fungsi kardiovaskuler
Fungsi kardiovaskuler dapat diketahui dari denyut nadi yang
teratur dan kuat dan juga dari tekanan darah. Bila fungsi
kardiovaskuler telah kembali normal, maka dilakukan penilaian:
a. Monitoring dari organ-organ vital dalam, antara lain
kardiovaskuler, ginjal, dan keseimbangan asam dan
basa.
b. Apakah terdapat fibrilasi ventrikuler dan takikardi
ventrikuler yang berulang.
b. Tanda-tanda Kegagalan Resusitasi
Tanda- tanda dari kegagalan resusitasi dapat dibagi menjadi
beberapa hal, yakni :
1. Interval waktu yang terlalu lama antara fase
cardiopulmonary arrest dengan tindakan resusitasi yang
dilakukan. Bila jarak ini lebih dari 3 menit, maka
kemungkinan besar kerusakan yang cerebral yang
irreversible telah terjadi, sehingga tindakan resusitasi tidak
akan berhasil.
2. Progresivitas yang pasti dari keadaan ini dapat
diketahui, akan tetapi secara klinis terdapat perburukan dari
fungsi respirasi atau fungsi kardiovaskular yang
dimanifestasikan pada perburukan fungsi serebral.
3. Teknik resusitasi yang salah.
a. Tekni resusitasi pernapasan yang salah disebabkan oleh
karena hambatan pada saluran napas, sehingga rasio perfusi
ventilasi tidak dapat mengatasi kebutuhan O2 pada titik
kritis dari serebral.
b. Restorasi kardiovaskular yang kurang tepat. Baik lokasi
penekanan yang keliru tidak akan menghasilkan cardiac
output yang adekuat untuk memenuhi titik kritis dari
kebutuhan daerah serebral.
4. Kerusakan mekanikal
Bila terjadi kerusakan pada paru, kardiovaskuler, atau
rongga thorax maka tindakan resusitasi kardiopulmonal
dapat mengalami kegagalan.
4. Resusitasi yang tidak memadai
Tindakan serta hasil restorasi pernapasan dan restorasi
jantung tidak akan dapat memenuhi titik kritis akan
kebutuhan O2 dari serebral.
5. Tergantung kepada etiologi atau penyebab dari
cardiopulmonary arrest.
c. Penghentian Tindakan resusitasi
1. Kematian klinis
Secara klinis tindakan resusitasi dapat dihentikan apabila
setelah 1-1,5 jam jantung berhenti dan pasien tetap tidak
dapat menunjukkan kesadaran.
2. Kematian jantung
Dapat dimulai dengan tandanya monitoring EKG dalam
waktu paling sedikit 30 menit setelah tindakan resusitasi
selama pemberian obat-obatan.
3. Kematian otak
Secara total bila tidak terdapat aktivitas
elektroensepalografi dan secara klinis terjadi pelebaran
pupil paling sedikit selama 1-2 jam maka dapat dianggap
sebagai indikasi untuk menghentikan resusitasi.
4. Telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan
yang efektif.
5. Upaya resusitasi telah diambil alih orang yang
bertanggungjawab
6. Penolong terlalu capek sehingga tak sanggup
meneruskan resusitasi.
Setelah dimulai resusitasi, ternyata kemudian diketahui
bahwa pasien berada dalam stadium terminal suatu
penyakit yang tak dapat disembuhkan atau hampir dapat
dipastikan bahwa fungsi serebral akan pulih.

Pada Skenario :
 evaluasi perdarahan, terdapat lebam pada lengan kanan
 deformitas sebagian paha kaki kanan disertai luka robek pada pelipis
kanan.
 tekanan darah 90/40 dan nadi 100x/menit

penanganan :
 berikan cairan crystaloid 2 IV line
 Pasang Kateter untuk mengevaluasi outputnya dan untuk
hemostatis

D. Disability
1) Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/AVPU
2) Nilai pupil: besarnya,isokor atau tidak, refleks cahaya dan awasi tanda –
tanda lateralisasi
3) Evaluasi dan re-evaluasi airway, oksigenasi, ventilasi dan circulation7

pada skenario :
1) E2M2V2 (coma)
2) Pupil unisokor
3) Refleks cahaya menurun

E. Exposure
1) Buka pakaian penderita
2) Cegah hipotermia: beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang
cukup hangat7

Anda mungkin juga menyukai