Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

OLEH
I GEDE YOGA VALENTINO
2014901254

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN ( ITEKES ) BALI
TAHUN 2020/2021

1
LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR

A. TINJAUAN KASUS

1. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis
dan luasnya (Smeltzer & Bare, 2001).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Sjamsuhidajat
& Wim de Jong, 2005).
Fraktur adalah diskontinuitas atau kepatahan pada tulang baik bersifat
terbuka atau tertutup. Fraktur Radius ulna terputusnya kontinuitas tulang dan
ditentukan sesuai jenis dan luasnya, yang dapat diabsorpsi (Sjamsuhidajat, 2005)
Patah tulang terbuka disebut juga dengan compound fracture tersebur memiliki
beberapa definisi dari masing-masing literatur. Salah satu pengertian yang
dikemukakan tersebut adalah keadaan patah tulang yang terjadi dengan adanya
hubungan antara jaringan tulang yang patah tersebut dengan lingkungan eksternal
dari kulit, sehingga dapat mengakibatkan infeksi (Sjamsuhidajat, 2004).
Fraktur antebrachii adalah terputusnya kontinuitas tulang radius ulna, pada
anak biasanya tampak angulasi anterior dan kedua ujung tulang yang patah
masih berhubungan satu sama lain. Gambaran klinis fraktur antebrachii pada
orang dewasa biasanya tampak jelas karena fraktur radius ulna sering berupa
fraktur yang disertai dislokasi fragmen tulang.

Fraktur dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis, yaitu : (Mansjoer,


2000; Price, 2006) :
1) Fraktur menurut hubungan antara ujung tulang yang mengalami fraktur
dengan jaringan sekitar, yaitu :
a) Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih
utuh) tanpa komplikasi.

1
b) Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit.

2) Fraktur berdasarkan bentuk patahan tulang, diantaranya :


a) Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang.
b) Fraktur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang
tulang seperti:
(1) Hair Line Fraktur (patah retak rambut)
(2) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks
dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya biasanya pada distal
radius anak – anak.
(3) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks
lainnya yang terjadi pada tulang panjang anak – anak.
3) Klasifikasi fraktur berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan
mekanisme trauma, yaitu :
a) Garis patah melintang adalah fraktur yang arahnya melintang pada tulang
akibat trauma angulasi atau langsung.
b) Garis patah oblik adalah fraktur yang arah garis patahnya membentuk
sudut terhadap sumbu tulang akibat trauma angulasi.
c) Fraktur spiral adalah fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral
yang disebabkan trauma rotasi.
d) Fraktur kompresi adalah fraktur yang terjadi ketika dua tulang
menumbuk tulang ketiga yang berada diantaranya atau terjadi trauma
aksial – fleksi pada tulang spongiosa.
e) Fraktur avulsi adalah trauma tarikan/traksi otot pada insersinya di tulang,
misalnya fraktur patela.
4) Fraktur berdasarkan jumlah garis patahan, dapat dibagi menjadi :
a) Fraktur komunitif adalah fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
b) Fraktur segmental adalah fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
c) Fraktur multiple adalah fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
2
tidak pada tulang yang sama.
5) Fraktur berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
a) Fraktur undisplaced (tidak bergeser) adalah garis patah lengkap tetapi
kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
b) Fraktur displaced (bergeser) adalah terjadi pergeseran fragmen tulang
yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas
(1) Dislokasi ad latitudinem (dislokasi ke arah lintang).
(2) Dislokasi ad longitudinem (dislokasi tulang saling menjauhi contoh
karena tarikan traksi terlalu besar).
(3) Dislokasi cum kontraktione (dislokasi tulang menjadi pendek).
(4) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah
sumbu dan overlapping).
(5) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
(6) Dislokasi ad peripheriam (dislokasi karena rotasi).

2. Etiologi
Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan
puntir mendadak dan kontraksi otot yang ekstrim. Patah tulang mempengaruhi
jaringan sekitarnya mengakibatkan oedema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan
sendi, dislokasi sendi, ruptur tendon, kerusakan saraf dan pembuluh darah. Organ
tubuh dapat mengalami cedera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau
gerakan fragmen tulang (Brunner & Suddarth, 2005)
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya fraktur:
a. Faktor ekstrinsik yaitu meliputi
kecepatan dan durasi trauma yang mengenaitulang, arah serta kekuatan
tulang.
b. Faktor intrinsik yaitu meliputi
kapasitas tulang mengabsorpsi energi trauma, kelenturan, densitas serta
kekuatan tulang.
Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (2006) ada 3 yaitu:
1. Cidera atau benturan
2. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah
menjadi lemah oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis.
3
3. Fraktur beban
Fraktur baban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang
baru saja menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima dalam
angkatan bersenjata atau orang- orang yang baru mulai latihan lari.
Sebagian besar patah tulang merupakan akibat dari cedera, seperti
kecelakan mobil, olah raga atau karena jatuh. Jenis dan beratnya patah tulang
dipengaruhi oleh arah, kecepatan, kekuatan dari tenaga yang melawan tulang, usia
penderita dan kelenturan tulang. Tulang yang rapuh karena osteoporosis dapat
mengalami patah tulang.

3. Patofisiologi
Penyebab fraktur dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : fraktur fisiologis
dan fraktur patologis. Faktor trauma dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : trauma
langsung (direct) yaitu tulang patah pada tempat benturan, misalnya benturan
pada lengan bawah menyebabkan patah tulang radius ulna. Kemudian trauma tak
langsung (indirect) yaitu patah tulang tidak pada tempat benturan, melainkan oleh
karena kekuatan trauma diteruskan oleh sumbu tulang dan terjadi fraktur di tempat
lain. Fraktur patologi adalah fraktur yang disebabkan oleh karena tumor atau
proses patologi lainnya. Tulang sering kali menunjukkan penurunan densitas.
Penyebab yang paling sering dari fraktur semacam ini adalah tumor baik tumor
primer maupun metastasis. Trauma yang menyebabkan fraktur di daerah radius
distal biasanya merupakan trauma langsung, yaitu jatuh pada permukaan tangan
sebelah volar atau dorsal. Jatuh pada permukaan tangan sebelah volar
menyebabkan dislokasi fragmen fraktur sebelah distal ke arah dorsal. Dislokasi ini
menyebabkan bentuk lengan bawah dan tangan bila dilihat dari samping
menyerupai garpu. (Sjamsuhidajat & Wim De Jong, 2005). Manifestasi klinis
yang muncul pada pasien pre operasi dengan fraktur radius adalah pasien
mengeluh nyeri pada daerah fraktur, pasien nampak meringis, terdapat nyeri tekan
pada area yang patah, perubahan bentuk (deformitas), krepitasi, peningkatan nadi,
keterbatasan dalam bergerak, ketidakmampuan menggerakkan tangan yang
fraktur, penurunan kekuatan otot, serta wajah pasien yang nampak cemas dan
selalu bertanya tentang keadaan dirinya. Sedangkan manifestasi klinis pada pasien
post operasi dengan fraktur radius adalah terdapat nyeri tekan pada area luka post
operasi, pasien mengeluh nyeri, pasien meringis, nyeri dirasakan saat
4
menggerakkan ekstremitas yang luka, terdapat luka post operasi, pasien tidak bisa
menggunakan ekstremitas yang sakit, pasien bertanya – tanya dengan perawatan
pasca operasi, kebutuhan pasien dibantu, pasien terpasang drain.

4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstrimitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur
menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang bias di ketahui dengan
membandingkan dengan ekstrimitas yang normal. Ekstrimitas tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4. Saat ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan yang lainya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat
dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya
baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera (Smelzter dan
Bare, 2002).

5. Pemeriksaan Diagnostik
Adapun pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan pada pasien fraktur
adalah (Doengoes, 2000; Smeltzer & Bare, 2001) :
1) Foto rontgen (X-Ray)

5
Foto rontgen dilakukan untuk melihat kepadatan tulang, lokasi, tekstur dan
erosi pada tulang.
2) Hitung darah lengkap (complete blood count)
Untuk mengetahui peningkatan atau penurunan hematokrit, peningkatan
jumlah sel darah putih adalah respon stres normal setelah trauma.
3) CR (creatinin)
Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
4) CT-Scan
Untuk melihat rincian bidang tertentu tulang yang terkena dan dapat
memperlihatkan tumor jaringan lunak cedera ligament tendon.
5) MRI (Magneting Resonanace Imaging)
Dilakukan untuk melihat abnormalitas seperti : tumor, penyempitan jalur
jaringan lunak melalui tulang.
6) Angiografi
Dilakukan untuk melihat struktur vaskuler akibat adanya desakan
aneurysme.

6. Penatalaksanaan Medis

Adapun penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan pada pasien fraktur


antara lain : (Mansjoer, 2000; Smeltzer & Bare, 2002)
1) Terapi konservatif
a) Proteksi saja
Dengan menggunakan mitella agar kedudukan tetap baik.
b) Immobilisasi saja tanpa reposisi
Adalah mempertahankan reposisi selama masa penyembuhan
tulang, misalnya pemasangan gips atau bidai pada fraktur inkomplit dan
fraktur dengan kedudukan baik.
c) Rehabilitasi
Adalah proses pemulihan kembali fungsi tulang yang dapat
dilakukan dengan fisioterapi aktif dan pasif.
d) Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips
Gips adalah alat imobilisasi eksternal yang kaku yang dicetak
sesuai kontur tubuh dimana gips ini dipasang. Tujuan pemasangan gips
6
adalah untuk mengimobilisasi bagian tubuh dalam posisi tertentu dan
memberikan tekanan yang merata pada jaringan lunak yang terletak
didalamnya.
e) Traksi
Traksi adalah alat pemasangan gaya tarikan ke bagian tubuh.
Traksi digunakan untuk menimbulkan spasme otot, untuk mereduksi,
mensejajarkan dan mengimobilisasi fraktur. Traksi harus diberikan
dengan arah dan besaran yang diinginkan untuk mendapatkan efek
terapeutik. Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban
dengan tali pada ekstremitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan
sedemikian rupa, sehingga arah tarikan segaris dengan sumbu panjang
tulang patah.
Reeves, Roux, Lockhart (2001) menyatakan bahwa terdapat dua tipe
traksi yaitu kulit dan tulang :
(1) Traksi kulit
Traksi Buck merupakan tipe traksi kulit yang sering digunakan
sebelum pembedahan pada fraktur tulang pinggul untuk mengurangi
spasmus, reduksi dislokasi, menghindari kontraktur fleksi tulang
pinggul dan mengurangi rasa sakit pinggang bagian bawah ( low back
pain).
Traksi halter leher-kepala digunakan untuk rasa sakit, strain
dan salah urat pada leher. Beban disambungkan melalui spread bar ke
halter dengan sabuk pengikat di bawah dagu dan mengelilingi kepala
pada dasar tengkorak.
Traksi russel sama dengan traksi buck, ditambah dengan
suspensi yang mengangkat ke atas yaitu berupa sling (bidai) dibawah
lutut atau paha bagian bawah. Traksi ini digunakan untuk fraktur
tulang panggul, luka di paha dan beberapa luka di lutut. Traksi russel
memungkinkan dilakukannya gerakan.
Terdapat dua tipe traksi pelvis. Traksi ini menggunakan
pengikat untuk rasa sakit pada punggung bagian bawah dan yang lain
menggunakan sling untuk fraktur panggul.

7
(2) Traksi tulang
Penjepit steinmann atau tali kirschner merupakan perangkat
yang dimasukkan ke dalam batang tulang kemudian diikat dengan
perangkat traksi.
Traksi kepala atau tengkorak menggunakan jepitan crutchfield
atau vinckle yang dimasukkan ke dalam tengkorak dan diikat pada
beban. Perangkat ini merupakan traksi tulang sederhana. Perangkat
halo (lingkaran) diikat pada tulang tengkorak dan rompi dipasang
pada torso. Traksi tulang ini digunakan untuk fraktur tulang belakang.
2) Terapi operatif
1) Terapi operatif dengan reposisi secara tertutup
a) Reposisi tertutup (fiksasi eksterna)
Setelah reposisi baik berdasarkan kontrol radiologis intra
operatif maka dipasang alat fiksasi eksterna.
b) Reposisi tertutup dengan radiologis diikuti fiksasi interna
Contoh : reposisi tertutup fraktur supra condylair humerus pada
anak diikuti dengan pemasangan pararel pins. Reposisi fraktur collum
pada anak diikuti dengan pinning dan immobilisasi gips. Cara ini terus
dikembangkan menjadi “close nailing” pada fraktur femur dan tibia
yaitu pemasangan fiksasi interna meduler (pen) tanpa membuka
frakturnya.
2) Terapi operatif dengan membuka frakturnya
a) ORIF (Open Reduction with Internal Fixation)
Merupakan tindakan insisi pada tempat yang mengalami cedera
dan ditentukan sepanjang bidang anatomic menuju tempat yang
mengalami fraktur. Keuntungannya yaitu reposisi anatomis dan
mobilisasi dini tanpa fiksasi luar.
Indikasi dari ORIF :
(1) Fraktur yang tidak bisa sembuh atau bahaya avasculair nekrosis
tinggi. Misalnya : Fraktur talus, fraktur collom femur.
(2) Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup. Misalnya : fraktur
avulasi, fraktur dislokasi
(3) Fraktur yang dapat direposisi sulit dipertahankan. Misalkan :
fraktur pergelangan kaki
8
(4) Fraktur intra-articuler. Misalnya : fraktur patela
b) OREF (Open Reduction with eksternal Fixation)
Reduksi terbuka dengan alat fiksasi eksternal dengan
mempergunakan kanselosa screw dengan metil metaklirat (akrilik gigi)
atau fiksasi eksternal dengan jenis-jenis lain misalnya dengan
mempergunakan screw schanz. Indikasi dari OREF : fraktur terbuka
disertai hilangnya jaringan atau tulang yang hebat, fraktur dengan
infeksi, fraktur yang miskin jaringan ikat.

7. Komplikasi

Komplikasi fraktur menurut Smeltzer dan Bare (2001) dan Price (2005)
antara lain:
1) Komplikasi awal fraktur antara lain: syok, sindrom emboli lemak, sindrom
kompartement, kerusakan arteri, infeksi, avaskuler nekrosis.
a) Syok
Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak
kehilangan darah eksternal maupun yang tidak kelihatan yang bias
menyebabkan penurunan oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstra sel
ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstrimitas, thoraks,
pelvis dan vertebra.
b) Sindrom emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam
pembuluh darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari
tekanan kapiler atau karena katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi
stress pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan
terjasinya globula lemak pada aliran darah.
c) Sindroma Kompartement
Merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot
kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa
disebabkan karena penurunan ukuran kompartement otot karena fasia
yang membungkus otot terlalu ketat, penggunaan gibs atau balutan
yang menjerat ataupun peningkatan isi kompatement otot karena

9
edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah
(misalnya : iskemi dan cidera remuk).
d) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bias ditandai denagan tidak ada
nadi, CRT menurun, syanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan
dingin pada ekstrimitas yang disbabkan oleh tindakan emergensi
splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.
e) Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan.
Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan
masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi
bias juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin
dan plat.
f) Avaskuler nekrosis
Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang
rusak atau terganggu yang bias menyebabkan nekrosis tulang dan di
awali dengan adanya Volkman’s Ischemia (Smeltzer dan Bare, 2001).
2) Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain: mal union,
delayed union, dan nonunion.
a) Malunion
Malunion dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah
sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya. Malunion merupaka
penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan
dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan
pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
b) Delayed Union
Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan
dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed
union merupakankegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu
yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena
penurunan suplai darah ke tulang.
c) Nonunion

10
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Nonunion di tandai dengan adanya pergerakan yang berlebih
pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseuardoarthrosis.
Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang (Price dan
Wilson, 2006).
TINJAUAN TEORI
ASUHAN KEPERAWATAN TENTANG FRAKTUR

A. Pengkajian

Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan


suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data
untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien. Tahap
Pengkajian merupakan dasar utama dalam memberikan asuhan keperawatan
sesuai dengan kebutuhan individu (Nursalam, 2001).
Adapun data – data yang didapatkan pada pasien dengan fraktur, yaitu
(Doengoes, 2000) :
1) Data pre operasi
Pada pengkajian fraktur akan didapatkan data subyektif dan data obyektif.
Data subyektif : pasien mengeluh rasa nyeri pada daerah fraktur, pasien
mengeluh mengalami keterbatasan gerak, pasien mengeluh
lemah, pasien mengatakan tidak mampu melakukan
aktifitas, pasien mengeluh pusing, pasien mengatakan
cemas dengan keadaannya.
Data obyektif : pasien tampak meringis, ada perdarahan, tampak bengkak
pada luka atau area fraktur, kehilangan fungsi pada bagian
yang terkena, hipertensi (respon terhadap nyeri/cemas),
hipotensi (kehilangan darah), lemah, pemendekan tulang,
perubahan warna pada daerah fraktur (memar).

2) Data post operasi


Data subyektif : pasien mengeluh nyeri pada daerah pembedahan, pasien
mengatakan tidak mampu melakukan aktivitas sehari – hari,
11
pasien mengatakan dalam memenuhi kebutuhannya dibantu
oleh keluarga dan perawat, pasien mengatakan badannya
terasa lemah, pasien bertanya-tanya tentang keadaanya,
pasien mengatakan kurang tahu tentang perawatan yang
harus dilakukan di rumah sakit atau dirumah.
Data obyektif : adanya luka post operasi, terpasang drain, demam yang
terus menerus, pasien tampak meringis pada saat bergerak,
pasien tampak lemas, adanya pendarahan, intake dan output
tidak seimbang (intake < output), adanya tanda-tanda syok
seperti hipotensi, takikardia, akral dingin, pasien tampak
bertanya-tanya tentang keadaaannya.

B. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul menurut Carpenito, L.J


(2000) pada pasien pre operasi fraktur adalah :
a) Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan sekunder terhadap
fraktur.
b) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan penurunan kekuatan dan ketahanan
sekunder terhadap fraktur.
c) Ansietas berhubungan dengan kurang informasinya tentang tindakan
pembedahan.
d) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan.
e) Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan sisi masuknya organisme
sekunder fraktur terhadap pembedahan dan adanya jalur invasif.
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul menurut Carpenito, L.J
(2000) pada penderita post operasi adalah :
a) Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks jaringan otot
sekunder terhadap pembedahan.
b) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan dan
ketahanan sekunder terhadap pembedahan.
c) Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan sisi masuknya organisme
sekunder terhadap pembedahan dan adanya jalur invasif.

12
d) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan post
pembedahan.
e) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang
perawatan pasca operasi.

C. Perencanaan

Pada perencanaan diawali dengan prioritas diagnosa. Adapun prioritas


masalah pada pasien pre operasi berdasarkan atas ancaman kehidupan dan
kesehatan menurut Griffth – Kenney Christensen, yaitu (Tarwoto &
Wartonah, 2006) :
1) Kekurangan volume cairan
2) Nyeri akut
3) Kerusakan mobilitas fisik
4) Resiko terhadap infeksi
5) Ansietas
Tahap selanjutnya yaitu menyusun rencana keperawatan sesuai dengan
diagnosa keperawatan yang muncul. Rencana keperawatan berdasarkan
prioritas diagnosa keperawatan yaitu :
1) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan.
Tujuan : volume cairan adekuat
Kreteria hasil : perdarahan dapat dihentikan, tidak terdapat tanda -
tanda syok hipovolemik.
Intervensi :
Observasi tanda-tanda vital (rasional: nadi cepat dan lemah, penurunan
tekanan darah, peningkatan respirasi dan suhu merupakan tanda – tanda
terjadinya syok hipovolemik), catat intake dan output (rasional: mengetahui
balance cairan), anjurkan banyak minum (rasional: membantu memenuhi
kebutuhan cairan per oral), observasi terhadap tanda-tanda syok hipovolemik
(rasional: sebagai dasar tindakan berikutnya apabila tanda – tanda syok
ditemukan) dan kolaborasi dalam pemberian cairan sesuai indikasi (rasional:
membantu memenuhi kebutuhan cairan pasien).

2) Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan sekunder terhadap fraktur.


13
Tujuan : nyeri yang dirasakan pasien berkurang atau hilang.
Kriteria hasil : pasien mengatakan nyeri berkurang, menunjukan
ekspresi wajah rileks, nadi 70 – 80 x/menit,
menunjukkan penggunaan keterampilan distraksi.
Intervensi :
Observasi tanda – tanda vital (rasional: peningkatan nadi mengindikasikan
terjadinya nyeri), observasi skala nyeri pasien (rasional: dengan
mengobservasi skala nyeri berdasarkan PQRST dapat diketahui tingkatan
nyeri pasien dan sejauhmana efektifitas tindakan keperawatan yang
dilakukan), ajarkan teknik distraksi dan relaksasi (rasional: teknik distraksi
dan relaksasi dapat mengalihkan perhatian pasien dari rasa nyeri), berikan
stimulasi kutaneus (rasional: stimulasi kutaneus dapat menyebabkan
pelepasan edofrin, sehingga memblok transmisi stimulus nyeri) dan
kolaborasi dalam pemberian analgetik (rasional: pemberian analgetik dapat
menghambat penyampaian stimulus nyeri ke pusat saraf nyeri).

3) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan penurunan kekuatan dan ketahanan


sekunder terhadap fraktur.
Tujuan : pasien dapat melakukan mobilitas fisik sesuai dengan
kemampuannya.
Kreteria hasil : pasien menunjukkan keinginan berpartisipasi dalam
aktifitas, ADL pasien terpenuhi dan pasien mampu
meningkatkan kekuatan fungsi yang sakit.
Intervensi :
Observasi tingkat aktifitas pasien (rasional: mengetahui rentang gerak yang
bisa dilakukan pasien), observasi kekuatan otot pasien (rasional: mengetahui
perkembangan kekuatan otot pasien), bantu pasien dalam mobilisasi secara
bertahap (rasional: melatih kekuatan otot yang menurun sehingga kekuatan
otot meningkat) , ajarkan serta bantu pasien dalam ROM aktif pasif
(rasional: melatih persendian dengan harapan persendian dan otot pasien
tidak kaku), masukkan aktifitas sehari-hari dalam therapy fisik (rasional:
meningkatkan fungsi otot yang tidak mengalami gangguan melalui aktifitas)
dan libatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan pasien (rasional:
membantu dalam pemenuhan ADL pasien).
14
4) Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan sisi masuknya organisme
sekunder terhadap fraktur.
Tujuan : tidak terjadi infeksi.
Kreteria hasil : tidak adanya tanda – tanda infeksi (rubor, kalor, dolor,
tumor, fungsio laesa), tidak demam, bebas drainase
purulen.
Intervensi :
Observasi tanda – tanda vital (rasional: mengetahui adanya tanda – tanda
infeksi salah satunya adalah peningkatan suhu tubuh), observasi tanda-tanda
infeksi seperti rubor, kalor,dolor, tumor dan fungsio laesa (rasional:
mengetahui sejak dini tanda infeksi sehingga dapat digunakan sebagai dasar
intervensi berikutnya) , rawat luka dengan teknik steril (rasional: perawatan
luka dengan prinsip steril dapat mempercepat proses penyembuhan luka dan
menekan pertumbuhan mikroorganisme penyebab infeksi), kolaborasi dalam
pemeriksaan lab terutama WBC (rasional: peningkatan WBC menunjukkan
terjadinya perlawanan imun tubuh terhadap mikroorganisme penyebab
infeksi yang masuk ke dalam tubuh) dan kolaborasi pemberian antibiotik
(rasional: pemberian antibiotik dapat menghambat dan menekan
pertumbuhan mikroorganisme penyebab infeksi).

5) Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang tindakan


pembedahan.
Tujuan : ansietas pasien berkurang.
Kreteria hasil : pasien mengatakan rasa cemas yang dirasakan
berkurang ataupun hilang.
Intevensi :
Berikan penjelasan dan informasi tentang prosedur tindakan pembedahan
(rasional: menambah pengetahuan dan pemahaman pasien tentang prosedur
tindakan pembedahan), libatkan pasien atau orang terdekat dalam proses
pengambilan keputusan (rasional: pasien dalam kondisi cemas akan
mengalami keraguan dalam pengambilan keputusan sehingga diperlukan
orang terdekat serta dipercaya oleh pasien) dan dorong pasien untuk
mengungkapkan apa yang ingin diketahui (rasional: dengan mengetahui
15
yang ingin diketahui pasien, diharapkan informasi yang diberikan lebih tepat
sasaran).
Pada perencanaan diawali dengan prioritas diagnosa. Adapun prioritas
masalah pada pasien pre operasi berdasarkan atas ancaman kehidupan dan
kesehatan menurut Griffth – Kenney Christensen, yaitu (Tarwoto &
Wartonah, 2006) :
1) Kekurangan volume cairan
2) Nyeri akut
3) Kerusakan mobilitas fisik
4) Resiko terhadap infeksi
5) Kurang pengetahuan
Rencana keperawatan pada pasien post operasi berdasarkan prioritas
diagnosa keperawatan yaitu :
1) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan.
Tujuan : volume cairan adekuat
Kreteria hasil : perdarahan dapat dihentikan, tidak terdapat tanda -
tanda syok hipovolemik.
Intervensi :
Observasi tanda-tanda vital (rasional: nadi cepat dan lemah, penurunan
tekanan darah, peningkatan respirasi dan suhu merupakan tanda – tanda
terjadinya syok hipovolemik), catat intake dan output (rasional: mengetahui
balance cairan), anjurkan banyak minum (rasional: membantu memenuhi
kebutuhan cairan per oral), observasi terhadap tanda-tanda syok hipovolemik
(rasional: sebagai dasar tindakan berikutnya apabila tanda – tanda syok
ditemukan) dan kolaborasi dalam pemberian cairan sesuai indikasi (rasional:
membantu memenuhi kebutuhan cairan pasien).
2) Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks jaringan otot
sekunder terhadap pembedahan.
Tujuan : nyeri berkurang atau hilang.
Kreteria hasil : pasien mengatakan nyeri berkurang, menunjukan
ekspresi wajah rileks, nadi 70 – 80 x / menit.
Intervensi :
Observasi tanda – tanda vital (rasional: peningkatan nadi mengindikasikan
terjadinya nyeri), observasi skala nyeri pasien (rasional: dengan
16
mengobservasi skala nyeri berdasarkan PQRST dapat diketahui tingkatan
nyeri pasien dan sejauhmana efektifitas tindakan keperawatan yang
dilakukan), ajarkan teknik distraksi dan relaksasi (rasional: teknik distraksi
dan relaksasi dapat mengalihkan perhatian pasien dari rasa nyeri), berikan
stimulasi kutaneus (rasional: stimulasi kutaneus dapat menyebabkan
pelepasan edofrin, sehingga memblok transmisi stimulus nyeri) dan
kolaborasi dalam pemberian analgetik (rasional: pemberian analgetik dapat
menghambat penyampaian stimulus nyeri ke pusat saraf nyeri).

3) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan dan


ketahanan sekunder terhadap pembedahan.
Tujuan : pasien dapat melakukan mobilitas fisik sesuai dengan
kemampuannya.
Kreteria hasil : pasien menunjukkan keinginan berpartisipasi dalam
aktifitas, ADL pasien terpenuhi dan pasien mampu
meningkatkan kekuatan fungsi yang sakit.
Intervensi :
Observasi tingkat aktifitas pasien (rasional: mengetahui rentang gerak yang
bisa dilakukan pasien), observasi kekuatan otot pasien (rasional: mengetahui
perkembangan kekuatan otot pasien), bantu pasien dalam mobilisasi secara
bertahap (rasional: melatih kekuatan otot yang menurun sehingga kekuatan
otot meningkat) , ajarkan serta bantu pasien dalam ROM aktif pasif
(rasional: melatih persendian dengan harapan persendian dan otot pasien
tidak kaku), masukkan aktifitas sehari-hari dalam therapy fisik (rasional:
meningkatkan fungsi otot yang tidak mengalami gangguan melalui aktifitas)
dan libatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan pasien (rasional:
membantu dalam pemenuhan ADL pasien).

4) Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan sisi masuknya organisme


sekunder terhadap pembedahan dan adanya jalur invasif.
Tujuan : tidak terjadi infeksi.
Kreteria hasil : tidak adanya tanda – tanda infeksi (rubor, kalor, dolor,
tumor, fungsio laesa), tidak demam, bebas drainase
purulen.
17
Intervensi :
Observasi tanda – tanda vital (rasional: mengetahui adanya tanda – tanda
infeksi salah satunya adalah peningkatan suhu tubuh), observasi tanda-tanda
infeksi seperti rubor, kalor,dolor, tumor dan fungsio laesa (rasional:
mengetahui sejak dini tanda infeksi sehingga dapat digunakan sebagai dasar
intervensi berikutnya), rawat luka dengan teknik steril (rasional: perawatan
luka dengan prinsip steril dapat mempercepat proses penyembuhan luka dan
menekan pertumbuhan mikroorganisme penyebab infeksi), jaga balutan
tetap kering (rasional: kondisi balutan luka yang basah dan lembab menjadi
tempat yang kondusif bagi berkembangnya mikroorganisme penyebab
infeksi), kolaborasi dalam pemeriksaan lab terutama WBC (rasional:
peningkatan WBC menunjukkan terjadinya perlawanan imun tubuh terhadap
mikroorganisme penyebab infeksi yang masuk ke dalam tubuh) dan
kolaborasi pemberian antibiotik (rasional: pemberian antibiotik dapat
menghambat dan menekan pertumbuhan mikroorganisme penyebab infeksi).

5) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang


perawatan post operasi.
Tujuan : pasien mengerti dan memahami tentang perawatan post
operasi.
Intervensi :
Kaji ulang tingkat pengetahuan pasien tentang perawatan pasca operasi
(rasional: mengetahui sejauhmana pemahaman pasien tentang perawatan
pasca operasi), diskusikan hal – hal yang ingin diketahui tentang perawatan
pasca operasi (rasional: dengan mendiskusikan hal yang ingin diketahui
pasien diharapkan informasi yang akan disampaikan tepat pada sasaran),
berikan penjelasan tentang perawatan pasca operasi (rasional: menambah
pemahaman pasien tentang perawatan pasca operasi), evaluasi kembali hal –
hal yang ditanyakan pasien tentang perawatan pasca operasi (rasional:
mengetahui sejauhmana pemahaman pasien tentang penjelasan yang
diberikan), berikan pujian tentang apa yang telah dipahami pasien (rasional:
memberikan penghargaan atas apa yang telah dipahami oleh pasien).

D. Pelaksanaan
18
Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan yang
dimulai setelah perawat menyusun rencana keperawatan. Persiapan proses
implementasi akan memastikan asuhan keperawatan yang efisien, aman, dan
efektif.

Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai


tujuan yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan
disusun dan ditujukkan pada nursing order untuk membantu klien mencapai
tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu rencana tindakan yang spesifik
dilaksanakan untuk memodifikasi faktor – fakror yang mempengaruhi masalah
kesehatan pasien.

E. Evaluasi
Evaluasi merupakan suatu proses kontinu yang terjadi saat perawat
melakukan kontak dengan klien, evaluasi menyediakan nilai informasi mengenai
pengaruh intervensi yang telah direncanakan dan merupakan perbandingan dari
hasil yang diamati dengan kriteria hasil yang telah dibuat pada tahap perencanaan.
Setelah dilaksanakan tindakan keperawatan maka hasil yang diharapkan
pada pasien pre operasi fraktur adalah sesuai dengan rencana tujuan yaitu volume
cairan adekuat, nyeri berkurang atau hilang, pasien dapat melakukan mobilitas
fisik sesuai dengan kemampuannya, infeksi tidak terjadi, kerusakan integritas kulit
tidak terjadi, pasien tampak serta ansietas pasien berkurang atau teratasi. Dan
evaluasi yang diharapkan dari pasien post operasi fraktur adalah sesuai dengan
rencana tujuan yaitu syok hipovolemik tidak terjadi, volume cairan adekuat, nyeri
berkurang atau hilang, pasien dapat melakukan mobilitas fisik sesuai dengan
kemampuannya, infeksi tidak terjadi, serta pasien mengerti dan memahami
tentang perawatan dan pengobatan penyakitnya.

19
Daftar pustaka

Brunner and Suddarth (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8 volume 3,
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Nurarif Huda, Kusuma Hardi. ( 2015 ). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis dan NANDA Nic – Noc. Jogjakarta: Mediaction.

Potter, Perry. 2010. Fundamental Of Nursing. Indonesia. Salemba Medika.

20

Anda mungkin juga menyukai