Anda di halaman 1dari 47

Kamis, 20 September 2018Tanggapan

Lima Materi Pokok dalam Revisi UU MK

Rofiq Hidayat

Acara pembenahan kelembagaan dan acara hukum di MK.

Gedung DPR. Foto: RES

Pembahasan terhadap revisi kedua UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) mulai
dilakukan antara DPR dan pemerintah. RUU MK disetujui dalam daftar Prolegnas prioritas 2018 dengan
nomor urut 20. Ada substansi penting dalam revisi RUU MK ini sebagai bagian untuk mendapat masukan
berbagai kepentingan. Komisi III DPR sendiri sudah melakukan kunjungan kerja khusus ke beberapa
daerah.

Wakil Ketua Komisi III DPR, Desmon Junaedi Mahesa mengatakan MK sebagai lembaga pengawal
konstitusi (The Guardian of the Constitusion) dalam rentang waktu 15 tahun melaksanakan
kewenangannya yang mengubah dinamika yang memerlukan perlindungan dan membutuhkan
perlindungan kesehatan.
“Diperlukan beberapa hal yang perlu diselesaikan melalui revisi kedua UU MK, khusus terkait tugas dan
fungsi MK,” katanya kepada Hukumonline , Kamis (20/9/2018).

Komisi yang mengaturnya mulai memuat dan memuat materi RUU MK ini di berbagai daerah. Seperti,
Kalimantan Selatan menjadi salah satu dari sekian daerah yang akan disambangi untuk memperoleh
berbagai kepentingan. Mulai Polda, Kanwil Kementerian Hukum dan HAM, akademisi, dan konsultasi
hukum universitas lokal.

Menurut Desmon, ada beberapa hal pokok dalam RUU MK ini. Pertama, Mengenai tugas dan kewajiban
MK. Kedua, tentang hakim konstitusi mulai persyaratan pengangkatan, pemberhentian, dan masa
jabatan hakim MK. Ketiga, kode etik hakim konstitusi dan dewan etik hakim konstitusi. Keempat, acara
hukum di MK. Kelima, membahas tentang kepaniteraan dan sekretariat jenderal MK.
Dalam praktiknya, kata dia, belum disetujui peraturan-undangan yang spesifik tentang acara hukum dan
tata cara sidang di MK. Beberapa prosedur beracara sidang di MK yang sedang disusun Peraturan MK
perlu diatur kembali dalam materi muatan RUU MK ini.

Misalnya, terkait dengan persidangan dan rapat permusyawaratan hakim, putusan, dan pelaksanaan
putusan MK dalam sidang UU, sengketa kewenangan antar lembaga negara, perselisihan hasil pemilihan
umum atau pilkada.

“Perlu juga ada perubahan kehadapan MK sebagai jawaban atas segala pertanyaan yang muncul.
Utamanya berkaitan dengan verifikasi, rekrutmen hakim, persyaratan calon hakim, dan pengawasan
terhadap etika, perlindungan dan independensi hakim konstitusi, ”katanya.
Wakil Ketua Komisi III DPR lain, Erma Suryani Ranik mengatakan materi perubahan kedua terhadap UU
24/2003 sangat luas. Meskipun pemerintah menjadi pihak pengusul RUU ini, menurutnya DPR perlu
mengkaji ulang terkait dengan masalah dalam UU MK sebelumnya.

Bagi politisi, Partai Demokrat harus mengkaji kebijakan yang diperlukan. Tujuannya agar dapat
memahami kebijakan atau pola penyelenggaraan sistem peradilan yang sesuai dengan standar
internasional serta peraturan di Indonesia.
Bagi Erma, kemerdekaan / independensi hakim konstitusi menjadi bagian penting yang disetujui melalui
revisi UU MK ini. Meskipun konstitusi sudah disetujui oleh MK sebagai salah satu pemegang kekuasaan
kehakiman yang merdeka berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.

“Tapi, perizinan tetap harus diatur dalam UU guna ganti rugi tirani yudikatif dalam penyelenggaraan
sistem pemerintahan yang mengatur,” dalihnya.

Bagi Desmon, sasaran utama dalam materi RUU MK ini antara lain meningkatkan kepercayaan
masyarakat dan menghilangkan persepsi korupsi peradilan terhadap peradilan konstitusi. Karena itu,
penting untuk mengatur integritas dan independensi hakim dari berbagai intervensi / perlindungan serta
keadilan para hakim konstitusi.
Dia menambah RUU ini menjadi bagian dari upaya pemerintah dalam meningkatkan dan menciptakan
peradilan yang transparan, serta memperkuat penegakan dan supremasi hukum di Indonesia. “Intinya,
perjuangan pembenahan (penguatan) keselamatan dan hukum acara di MK,” katanya.

Sejumlah Hal yang Perlu Diatur dalam Revisi UU MK

Aida Mardatillah

Mulai mekanisme konstitusional komplain; pengaturan hukum acara dalam UU; hingga memperbaiki
syarat dan proses seleksi calon hakim MK yang lebih transparan di tiga lembaga pengusul.

Gedung MK. Foto: RES

Rencana Revisi UU No. 8 Tahun 2011 tentang UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (RUU MK) yang diajukan Baleg DPR menimbulkan pertanyaan
publik. Sebab, substansi Revisi UU MK dinilai cacat prosedur dan sarat muatan politik karena diusulkan
di masa darurat pandemi Covid-19 yang tengah melanda dunia termasuk Indonesia.

Sebelumnya, dalam draf RUU MK yang beredar di masyarakat setidaknya ada tiga ketentuan yang
berubah. Misalnya, Pasal 4 draf RUU MK mengatur masa jabatan ketua dan wakil ketua MK selama lima
tahun yang mengubah pasal serupa dalam UU No. 8 Tahun 2011 yang menyebutkan masa jabatan ketua
dan wakil ketua adalah 2 tahun 6 bulan. Dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d RUU MK itu, syarat usia minimal
calon hakim konstitusi diubah/dinaikkan dari 47 tahun menjadi 60 tahun tanpa batas usia maksimal.

Selain itu, Pasal 87 huruf c RUU MK menghapus Pasal 22 UU No. 24 Tahun 2003 terkait periodeisasi
masa jabatan hakim konstitusi selama 5 tahun dan dapat dipilih untuk satu kali masa jabatan berikutnya.
Dalam pasal itu, intinya usia pensiun hakim konstitusi hingga usia 70 tahun disamakan usia pensiun
hakim agung.

Namun begitu, beberapa kalangan berpendapat revisi UU MK memang perlu dilakukan, tetapi bukan
revisi UU MK yang ada seperti saat ini. Lantas apa saja yang seharusnya diubah dalam materi muatan
revisi UU MK? (Baca Juga: Guru Besar Ini Sebut Substansi Revisi UU MK Cacat Prosedural)
Mantan Hakim Konsitusi I Dewa Gede Palguna mengatakan sesungguhnya ada beberapa yang perlu
diubah dalam revisi UU MK yang menjadi kebutuhan MK. Pertama, perlu memaksimalkan kewenangan
MK dalam perlindungan hak konstitusional warga negara. “Ada kewenangan MK yang bersifat limitatif
dalam perannya memberi perlindungan hak konstitusi warga negara,” kata Palguna dalam sebuah
diskusi secara daring bertajuk “MK dalam Perbandingan: Analisis RUU MK”, Senin (11/5/2020).

Palguna menerangkan cakupan perlindungan hak konstitusional hanya melalui pengujian undang-
undang, sehingga gagasan perlunya saluran konstitusional komplain bisa masuk dalam revisi UU MK.
Setidaknya, bisa memberi penafsiran ekstensif bahwa pengujian UU termasuk didalamnya meliputi
mekanisme konstitusional komplain.

“Dengan memberi perluasan pengujian undang-undang, maka MK tidak hanya berwenang menguji
norma pasal dalam UU, tapi juga menguji konstitusionalitas perbuatan/tindakan pejabat publik yang
merugikan hak konstitusional warga negara,” kata dia.
Kedua, perlunya ketentuan hukum acara MK diatur dalam UU MK. Palguna menilai pengaturan hukum
acara dalam UU MK masih sangat sumir karena sebagian diatur dalam Peraturan MK. Sebaiknya, kata
Palguna, hukum acara harus diatur dalam materi muatan UU. Misalnya, ketentuan hukum acara
mengenai pembubaran partai politik, apa cukup dengan ketentuan sumir seperti diatur UU MK?
“Menurut saya tidak cukup,” jawabnya.

Contoh lain, tentang ketentuan hukum acara mengenai sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan UUD Tahun 1945 juga belum cukup dengan ketentuan UU MK. Hal lain soal
ketentuan konstitusional impeachment, apakah model impeachment sudah cukup diatur dalam UU MK?
“Itu tidak bisa dilakukan dengan pengaturan UU MK yang sekarang. Semestinya ini yang perlu diperbaiki
dalam revisi UU MK terkait hukum acara yang sebenarnya ranah materi muatan UU, bukan peraturan
MK.”
Ketiga, fungsi MK sebagai pengawal konstitusi dan tulang punggungnya untuk mengawalnya ada pada
sembilan hakim konstitusi. Karena itu, proses seleksi hakim MK menjadi penting yang Pasal 24 ayat (5)
UU MK, mengharuskan hakim MK memiliki syarat kapasitas dan integritas.

Syarat kapasitas itu, kata dia, tercermin dari hakim MK yang menguasai konstitusi dan sistem
ketatanegaraan. Syarat integritas, seperti tidak memiliki perbuatan tercela, negarawan, dan track
record-nya harus jelas. Hal ini yang seharusnya dijabarkan bagaimana menilai syarat kapasitas itu dalam
revisi UU MK.

“Ini harus ada kriteria yang sama diantara ketiga lembaga pengusung hakim MK yakni MA, DPR, Presiden
agar bisa menghasilkan kualitas dan integritas hakim MK yang sama,” kata dia.
Ia menjelaskan Pasal 19 dan Pasal 20 ayat (2) UU MK yang mensyaratkan tentang pencalonan hakim MK,
harus dilakukan secara transparan. Namun, ke depan perlu diatur mekanisme/tata cara proses seleksi
hakim MK yang terbuka dari unsur ketiga lembaga negara tersebut.

“Seorang hakim MK (diibaratkan, red), di saku kanannya itu ada hukum acara dan di saku kirinya ada
kode etik. Itu yang menyebabkan kepercayaan masyarakat melalui kualitas putusannya.”

Membandingkan MK Korsel
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Iwan Satriawan melihat draf revisi
UU MK secara garis besar hanya merevisi masa jabatan hakim MK. Namun, materi ini perlu
perbandingan dengan hakim MK negara lain. Iwan membandingkan dengan hakim MK Korea Selatan.

Ia menjelaskan mengenai syarat pencalonan hakim MK di Korea Selatan (Korsel), hakim MK berumur
minimal 40 tahun, memiliki pengalaman sebagai praktisi selama 15 tahun, dan tidak ada yang dari unsur
akademisi. “Mereka terbiasa tidak banyak bicara dan tampil di depan publik, tidak dikualifikasikan
sebagai pejabat publik,” kata Iwan.

Mekanisme pengangkatan hakim MK di Korea, sama seperti di Indonesia terdiri dari unsur Presiden,
Nasional Assembly, dan MA. Namun, perbedaanya seleksi hakim MK dilakukan melalui fit and proper
test di tiga lembaga negara tersebut melalui confirmation hearing di National Assembly untuk semua
calon, dan keputusannya ada di masing-masing lembaga pengusul.
Selain itu, masa jabatan hakim MK di Korea Selatan selama 5 tahun dan bisa dipilih kembli dalam satu
periode berikutnya serta usia pensiunnya 70 tahun. Tetapi, perlu dicatat hakim MK di Korea Selatan
tidak pernah mencalonkan diri menjadi pejabat eksekutif setelah tidak menjadi hakim MK, biasanya
mereka menjadi konsultan atau profesor di Kampus.

“Terkait revisi UU MK yang saat ini, belum menjawab masalah pokok dimana revisi UU MK harus sesuai
dengan tujuan (misi) didirikannya MK,” katanya.

Revisi UU MK: Hadiah, Pesanan, atau Kebutuhan? Oleh: Fajar Laksono*)

RED
Gelagat RUU ini dibahas dalam suasana darurat kesehatan menyiratkan 2 hal.

Fajar Laksono. Foto: RES

Pagi-pagi, gadget berdering lirih. Bergetar-getar. Ada pesan singkat masuk. Guru saya, yang baru purna
dari Hakim Konstitusi menuliskan, “Apa yang terjadi dengan MK?”. Disertakan satu file PDF. Draft sebuah
RUU. Tertulis di atasnya “RUU MK FINAL (kirim pengusul Bamus) 210220.pdf. Ada juga dilampirkan oleh
beliau. Capture berita aktual di salah satu harian nasional ibukota. Judulnya mencolok, “Motif DPR
Dipertanyakan”.

Akhirnya ketemu benang merahnya. Hari-hari belakangan, sejumlah wartawan menanyakan hal itu.
Tanya soal draft RUU itu. Ada yang tanya, apa catatan MK terhadap draft itu? Ada juga yang ingin tahu,
apakah MK pernah dimintai pendapat? Saya belum paham konteksnya. Di tengah situasi sekarang ini,
kenapa pula ada ribut-ribut soal revisi UU MK.

Masukan Soal Hukum Acara

Saya jawab menuruti ingatan. Dulu, beberapa tahun lalu, sekira tahun 2016-2017, MK pernah diundang.
Ketika ada rapat lintas kementerian dan lembaga. Lebih dari sekali. Tentu membahas rencana revisi UU
MK. Waktu itu, Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM, menyusun RUU untuk revisi UU MK.
Saya dalam beberapa kesempatan ikut serta. Lagi-lagi, dalam ingatan saya, MK hanya memberi masukan
hal-hal yang terkait dengan hukum acara. Bagaimanapun, tak ada pihak manapun yang lebih menguasai
hukum acara MK, selain MK sendiri. Bukan jumawa. Tetapi, MK yang mempraktikkannya. MK yang
merasakan betul implikasi pengaturan hukum acara dalam UU MK yang sedang berlaku. Maka, titik-titik
mana yang perlu disempurnakan, MK begitu fasih.

Juga, ada sejumlah aturan hukum acara diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK). Ada juga
yang bersemayam di putusan MK. Ada usulan, itu dinormakan dalam UU MK. Supaya lebih pasti dan
terang, supaya publik tahu. Sebatas isu-isu itu yang didiskusikan. Agar hukum acara dapat lebih
menjamin, memberi kepastian, dan memudahkan orang beperkara di MK. Untuk mengakses keadilan
MK. Apakah diakomodir atau tidak, itu tak jadi soalan bagi MK. Kembali, itu otoritas pembentuk undang-
undang.

Soal pengaturan lain-lain, MK sadar sepenuhnya, itu wewenang pembentuk undang-undang. MK tak
boleh ikut-ikutan dalam proses legislasi. Sebab, RUU pada saatnya akan menjadi undang-undang. Dan,
semua undang-undang potensial menjadi obyek judicial review di MK. Kalau MK sempat berpendapat,
itu berarti MK sedang membangun ‘kerangkeng’ bagi dirinya.
Pendapat itu akan menyandera kebebasannya dalam memutus perkara, sekiranya betul undang-undang
itu kelak diuji di MK. Baik formil ataupun materiil. Orbit MK harus dijaga. Tetap pada koordinat sebagai
penguji undang-undang. Tak boleh digeser ke mana-mana. Apalagi dipaksa-paksa merangsek ke area
legislasi aktif. Haram hukumnya dalam tata negara kita hari ini.

Kembali ke draft RUU yang disebut di awal. Saya pastikan, itu bukan draft yang dulu pernah dibahas
sebagai usulan Pemerintah. Seorang rekan di Ditjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham
turut memastikan itu. Dari dia, saya peroleh file PDF draft versi Pemerintah yang dulu. Yang MK pernah
dimintai masukan soal hukum acara.

Bahkan kalau tak salah, draft itu sudah jadi dan sudah sampai di DPR. Tentu untuk dibahas bersama.
Saat itu, RUU MK masuk Prolegnas prioritas tahun 2018. Urutan ke 20. Diantarkan dengan Amanat
Presiden (Ampres). Tapi belakangan, entah kenapa, Ampres itu bisa ditarik kembali oleh Menkumham.
Dengan begitu, revisi UU MK urung dilakukan.
Patut Khawatir

Tetiba kini, “mak bedunduk” muncul draft yang ramai ditanya dan diberitakan itu. Ada banyak hal
menarik dari draft RUU itu. Untuk tak mengatakan janggal atau aneh. Gelagat RUU ini dibahas dalam
suasana darurat kesehatan menyiratkan 2 hal, yakni (1) kurang peka dan kurang bersolidaritas. Ini
seperti kata Prof. Jimly, solidaritas itu ditunjukkan dengan jangan dulu membahas RUU apapun di
tengah situasi sulit ini, dan (2) pada kondisi sekarang, sangat mungkin kedap dari aspirasi publik. Luput
dari atau minim atensi publik.

Hal lainnya, di Konsiderans Mengingat masih bercokol UU Nomor 4 Tahun 2014. Padahal, UU itu sudah
dinyatakan inkonstitusional seluruhnya melalui putusan MK Nomor 1-2/PUU-XII/2014. Bahkan, tak
selang lama setelah UU itu berlaku. Lantas, untuk apa dirujuk? Kalau diaku tak sengaja, atau salah ketik,
sungguh terlalu si perancangnya. Ia tak tahu perkembangan hukum. Betapapun itu masih dalam bentuk
draft.
Kemudian soal substansi perubahan. Tak ada satupun pasal menyangkut penyempurnaan hukum acara.
Padahal, soal hukum acara ini yang paling esensial. Pasal-pasal menyangkut kelembagaan MK saja yang
diubah. Betapapun ini mungkin open legal policy, tapi banyak yang layak disemati tanda tanya besar.

Pertama, soal masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua. Diubah dari 2 tahun 6 bulan, menjadi 5 tahun.
Kedua, syarat usia minimal calon hakim konstitusi. Dari 47 tahun dinaikkan menjadi 60 tahun. Tanpa
batas usia maksimal. Ketiga, anggota Majelis Kehormatan yang cuma 2 orang. Bagaimana bisa bekerja?
Keempat, menghapus periodisasi jabatan hakim konstitusi. Tak lagi 5 tahun dan dapat dipilih kembali
untuk 1 kali masa jabatan. Hakim konstitusi pensiun di usia 70 tahun. Dan seterusnya.

Dari keseluruhan subtansi perubahan itu, satu yang paling dikhawatirkan. Dan, sudah ada narasi negatif
tak terhindarkan. Seperti yang sudah termuat di berita-berita media. Apa itu? Diduga, motif revisi
semata-mata untuk menyenangkan hakim konstitusi yang sekarang menjabat. Buntalan hadiah bagi
yang sudah berlaku menyenangkan. Aromanya tambah tak sedap. Rencana revisi itu diduga ‘by request’
alias ‘pesanan’ pihak tertentu. Makin tak karuan, jika nantinya nalar publik mengarah dan mengiyakan
kesimpulan: revisi itu atas “pesanan” dari internal MK.
Ini berbahaya. Lebih dari apapun. Terutama bagi MK. Sebagai lembaga peradilan yang merdeka.
Lembaga yang sepanjang hayatnya butuh, bahkan bergantung pada public trust. Ini tak boleh terjadi. Ini
harus dicegah. Siapapun, merasa bahwa kemunculan draft RUU itu berpeluang meretakkan peradaban
konstitusi. Ia akan menjadi awal dari mimpi buruk perjalanan sejarah. Ketika mahkota kemuliaan
pengadilan dijarah. Beramai-ramai. Sampai pada derajat terendah.

Harapannya, itu tak benar-benar terjadi. Sekedar imajinasi liar. Fiktif belaka. Semoga. Ronald Dworkin
mengatakan, the courts is the capital of law’s empire. Maka, mari berharap, agar MK tetap tepercaya
menjadi the capital of constitutional law’s empire.

Renungkan, Jangan Buat Tuhan Marah

Saya teringat amanat mulia guru saya. Beliau saat ini Hakim Konstitusi. Indonesia ini negara
berketuhanan. Semua aspek bernegara memiliki spektrum sinar ketuhanan. Karenanya harus disadari,
tindakan apapun kelak harus dipertanggungjawabkan. Ke samping, kepada rakyat. Dan terutama secara
vertikal, kepada Tuhan. Sebenar-benar Maha Pencipta. Maka, pesan beliau yang juga ditulis dibanyak
makalah, kunci hidup bernegara itu sederhana. Apa? Jangan pernah berperilaku yang bisa membuat
Tuhan marah. Sederhana tapi sulit bukan main.
Saya sungguh mengkhawatirkan. Di sebalik kemunculan draft RUU ini, ada perilaku yang membuat
Tuhan marah. Bukan hanya marah, tapi murka. Apakah hadiah atau pesanan, yang pasti, RUU ini tak
sedikitpun menyentuh kepentingan publik. Motif dan skema legislasi seperti ini menyimpangi semua
asas dan teori. Legislasi bukan untuk mengejawantahi konstitusi. Bukan untuk menguatkan MK. Bukan
pula menjawab kebutuhan. Ia sudah terdegradasi menjadi komoditas murah. Dijadikan barang
membarter kesenangan.

Ini sekaligus mengonfirmasi. Betapa bangunan checks and balances yang ada, rapuh dan gampang
dikesampingkan. Bukan saling kontrol dan saling imbangi. Justru antar-cabang kekuasaan negara
terbuka untuk akur dan seimbang dalam tindakan-tindakan hegemonik. Garis batas menjadi samar. Ada
kawan pernah menulis. Mungkin kutipan. Entah dari siapa. Seseorang, tulisnya, setidaknya satu kali,
pernah melampaui batas. Itu terjadi begitu saja. Namun, jika engkau melewatinya beberapa kali, maka
garis batas itu akan menghilang selamanya. Jika ini yang telah terjadi, engkau bukan lagi apapun,
melainkan hanya menjadi lelucon.

Atas dasar itu, jangan lagi melampaui garis batas. Jangan mau jadi lelucon. Untuk menjaga kehormatan
institusi pembentuk undang-undang, untuk membentengi muruah MK, dan yang terpenting, agar Tuhan
tidak murka, mohon dipertimbangkan langkahnya. Renungkan kembali dalam-dalam. Di tengah ‘sunyi’
berlakunya pembatasan sosial sekarang ini. Soal implikasi destruktif yang lebih dahsyat dan masif.
Ketimbang kesenangan yang hendak dituju dari revisi dengan draft RUU itu.
*)Fajar Laksono Suroso adalah Alumnus Program Doktor HTN Universitas Brawijaya. Bekerja di
Mahkamah Konstitusi. Ini pendapat pribadi, tidak mewakili phak atau institusi manapun.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

...

me News Nasional

Wacana Revisi UU MK yang Menuai Kritik...


Selasa, 14 April 2020 | 08:50 WIB

Komentar

Gedung MK

Lihat Foto

Rekomendasi

Diklaim Sebagai Antivirus, Ke Kantor Jangan Lupa Bawa Minyak Kayu Putih

Penulis: Ardito Ramadhan | Editor: Icha Rastika

JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merevisi Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi menuai kritik karena dinilai tidak mengatur hal-hal substansial dalam memperbaiki institusi
MK.

Sebaliknya, draf revisi UU MK itu dinilai lebih banyak mengatur komposisi hakim MK, termasuk soal
masa jabatan hingga usia minimum hakim MK.

"Apa kaitannya dengan masa jabatan yang kemudian dipanjangkan, problem di MK itu bayangan saya
berkaitan dengan pengambilan keputusan, saya enggak tahu seberapa berkualitas sekarang putusan,"
kata pakar hukum tata negara UGM, Zainal Arifin Mochtar dalam sebuah diskusi, Senin (14/4/2020)
kemarin.
Baca juga: Revisi UU MK Diajukan Ketua Baleg DPR sebagai Pengusul Tunggal

Menurut Zainal, putusan MK yang berbeda kualitasnya antara suatu putusan dengan putusan yang lain
mestinya menjadi prioritas ketimbang ketentuan soal masa jabatan.

Ia juga menyoroti kentalnya politisasi di MK yang membuat putusan dapat disetir tanpa kejelasan.

"Ada putusan yang kelihatan serius dalam mengelola konsep putusannya, ada putusan yang seakan-
akan asal jadi," kata Zainal.

"Itu problem menurut saya, lagi-lagi apa hubungannya dengan masa jabatan?" ujar dia.

Pasal 22 UU MK mengatur masa jabatan hakim konstitusi berlaku selama lima tahun dan dapat dipilih
kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya.

Dalam draf revisi UU MK, ketentuan Pasal 22 tersebut dihapus. Ketentuan akhir masa jabatan hakim MK
diatur lewat Pasal 23 yang menyatakan hakim MK dapat diberhentikan dengan hormat bila telah berusia
70 tahun.

Menurut pengajar pakar hukum tata negara STIH Jentera Bivitri Susanti, pembatasan masa jabatan tetap
diperlukan sebagai mekanisme mengukur kinerja dan akuntabilitas para hakim MK.

"Apakah ada cara lain, apakah ada mekanisme lain yang secara kuat mengontrol perilakunya dan juga
bagaimana kinerjanya di mahkamah konstitusi, hal ini yang harus dipertanyakan," ujar Bivitri.

Baca juga: Revisi UU MK, Aturan Usia Minimal Hakim Konstitusi Dipersoalkan
Usia minimal 60 tahun

Pasal lain dalam draf revisi UU MK yang dipersoalkan adalah Pasal 15 yang mengatur sejumlah syarat
untuk menjadi hakim MK.

Dalam Pasal 15 Ayat (2) draf tersebut, usia minimum hakim MK adalah 60 tahun.

Sementara itu, dalam UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang MK, usia minimal hakim MK adalah 47 tahun
dengan usia maksimal 65 tahun saat diangkat.

Menurut Bivitri, kenaikan usia minimum hakim MK itu tidak rasional. Apalagi, belum ada naskah
akademik yang menjelaskan perubahan tersebut.

"Rasionalitasnya itu apa, dalam arti apakah penentuan merit, kemampuan, dan integritas seseorang itu
bisa diukur dengan usia? Ini untuk persoalan usia minimum hakim 60 tahun," kata Bivitri.

Senada dengan Bivitri, Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Donal Fariz menilai. usia minimum hakim
MK menjadi 60 tahun itu juga tidak rasional.

Sebab, MK diprediksi akan mendapat pekerjaan berat ke depan, misalnya pada 2024 mendatang ketika
pemilihan kepala daerah, pemilihan legislatif, dan pemilihan presiden akan dilaksanakan serentak.

"Justru menaikan usia syarat minimum hakim dengan jumlah perkara potensial ke depan menurut saya
adalah sesuatu yang asimetris atau bertolak belakang dengan beban kerja," kata Donal.

Baca juga: Ketentuan Seleksi Hakim Konstitusi Perlu Diatur UU MK


Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, perubahan usia minimum hakim itu
betujuan untuk menyeragamkan usia pensiun hakim di Mahkamah Konstitusi dengan hakim agung di
Mahkamah Agung yaitu usia 70 tahun.

"Juga syarat-syarat menjadi hakim MK, Salah satunya syarat usia minimal 60 tahun," ucapnya

Namun, Zainal menilai alasan itu mengada-ngada. Sebab, meskipun usia maksimum hakim MK dan MA
sama-sama 70 tahun, usia minimum hakim MA adalah 45 tahun.

"Kalau dia sekadar hanya mau menyesuaikan dengan Mahkamah Agung, pertanyaanya adalah kenapa
berstandar ganda? Di ujungnya sama, di awalnya berbeda," kata dia.

Masih berkaitan dengan usia minimum hakim MK, Zainal menyebut pasal 87 huruf c dalam draf RUU MK
yang mengatur soal aturan peralihan juga bermasalah.

Pasal 87 huruf c menyatakan, apabila hakim konstitusi telah berusia 60 tahun maka masa jabatannya
langsung berlanjut sampai usia 70 tahun.

Menurut Zainal, ketentuan tersebut akan menguntungkan para hakim MK yang sedang menjabat karena
delapan dari sembilan hakim telah berusia 60 tahun.

"Delapan di antaranya akan diuntungkan karena semuanya akan nyambung, mungkin juga satu yang
harus berhenti karena mekanisme itu tidak menguntungkan dia yaitu Yang Mulia Saldi Isra," ujar Zainal.

Minta MK bicara
Draf revisi UU MK yang dinilai tidak substantif ini diharapkan dapat mendorong para hakim MK untuk
menyampaikan poin-poin yang semestinya direvisi dan itu bukan soal masa jabatan.

"Harusnya hakim MK yang ngomong bahwa apa problem mereka dengan masa jabatan. Saya berharap
hakim MK yang berani karena ini sangat erat dengan konflik kepentingan mereka," kata Zainal.

Baca juga: Komisi II Usulkan Revisi UU MK untuk Antisipasi Konflik Pilkada

Para anggota DPR pun diingatkan untuk tidak melanjutkan pembahasan RUU MK dan sejumlah RUU
lainnya seperti omninus law RUU Cipta Kerja, revisi KUHP, dan RUU Pemasyarakatan di tengah pandemi
Covid-19.

Bivitri mengatakan, pembahasan yang terus berlanjut di tengah pandemi Covid-19 ini berpotensi
membuat RUU yang disahkan nanti digugat ke MK karena tidak memenuhi syarat partisipasi publik.

"Apabila ini di-bypass dalam konteks banyak RUU dibahas mengabaikan kondisi kita yang harus ada di
rumah, kita bisa katakan bahwa nanti akan terjadi banyak uji formil terhadap RUU itu bila disahkan atau
diundangkan nantinya," kata Bivitri.

Donal menambahkan, DPR bersama Pemerintah terkesan seenaknya membahas rancangan undang-
undang kontroversial di tengah situasi darurat seperti pandemi Covid-19 ini.

"DPR sedang suka-sukanya bersama pemerintah membahas undang-undang kontroversial di momen-


momen yang krusial. Masyarakat disuruh stay at home tapi proses-proses produk potensial yang
kontroversial justru terus dilakukan," kata dia.

Baca juga: Revisi UU Dinilai Tak Jawab Permasalahan di MK

Sementara itu, Supratman mengatakan, pembahasan RUU MK masih menunggu respons dari
pemerintah yaitu berupa surat presiden (surpres) dan daftar inventarisasi masalah (DIM).
"Kan baru disetujui usulan inisiatif DPR, masih nunggu Surpres dan DIM dari presiden," kata dia.

Sebelumnya, dalam rapat paripurna, Kamis (2/4/2020) DPR menyepakati Revisi Undang-Undang tentang
Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi inisiatif DPR.

"Pertama, Pendapat Fraksi-fraksi terhadap RUU Perubahan ketiga atas Undang-undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi RI dilanjutkan dengan Pengambilan Keputusan menjadi RUU Usul
DPR RI," kata Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin.

Baca berikutnya

.09 May 2020, 06:55 WIBRevisi UU MK Sarat Kepentingan Politik

Sumber: https://m.mediaindonesia.com/read/detail/311482-revisi-uu-mk-sarat-kepentingan-politik

Medcom.id/Siti Yona Hukmana REVISI Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (MK) yang diajukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dinilai tidak substansial dan sarat
kepentingan politik. Demikian yang mengemuka dalam diskusi virtual bertajuk Potensi Konflik
Kepentingan di Balik Revisi UU MK yang diselenggarakan lembaga independen Konstitusi dan Demokrasi
(Kode) Inisiatif di Jakarta, Kamis (7/5).Diskusi itu dihadiri Guru Besar Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran Prof Susi Dwi Harijanti, Hakim Mahkamah Konstitusi periode 2015-2020 I Dewa Gede
Palguna, Hakim Konstitusi periode 2003-2008 Maruarar Siahaan, Dosen Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada Zaenal Arifin Mochtar, dan Peneliti Kode Inisiatif Violla Reininda. Susi menyoroti dua sisi
revisi, pertama dari sisi formil. Salah satu UU yang akan diubah mengenai kekuasaan kehakiman. DPR
harus hati-hati apabila melakukan perubahan. Pasalnya, MK sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman
harus independen dan imparsial, tidak boleh memihak, serta harus menyelesaikan perkara yang
diajukan masyarakat secara adil.Dari segi substansi, ada hal yang lebih penting ketimbang mengubah
batasan minimal usia hakim MK dari 47 tahun menjadi 60 tahun, yaitu mengubah menjadi UU tersendiri.
Tujuannya supaya masyarakat yang mencari keadilan diakomodasi dalam mengajukan perkara ke MK.
Masalah usia itu, kata Maruarar, ada unsur kepentingan. Ia melihat agar mereka yang di Mahkamah
Agung (MA) bisa terpilih menjadi hakim MK.Sementara itu, I Dewa Gede Palguna berpendapat ada
semacam imoralitas politik dari upaya DPR merevisi UU MK. Revisi diajukan saat bangsa Indonesia
tengah fokus pada penanganan pandemi virus korona. Hal itu, ujarnya, tidak bisa diterima. “Bagaimana
mungkin ada keterlibatan rakyat di situ ketika perhatian kita fokus mengadapi pandemi,”
ucapnya.Zaenal menambahkan, dari draf RUU MK yang beredar, terdapat sembilan hal perubahan yang
dicantumkan, antara lain revisi pasal untuk menyesuaikan dengan putusan MK, perubahan usia hakim
MK yang mana diatur dalam pasal 4 dan 87 UU MK, dan masa jabatan panitera. Ia menyoroti substansi
RUU tersebut sama sekali tidak mendesak sebab hanya mencabut pasal-pasal yang sudah dibatalkan
MK.Revisi UU MK diajukan anggota DPR perseorangan, yaitu Ketua Badan Legislastif DPR Supratman
Andi Agtas. Usulan revisi itu belum masuk daftar UU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas
2020. (Ind/P-5)

Sumber: https://m.mediaindonesia.com/read/detail/311482-revisi-uu-mk-sarat-kepentingan-politik

.Menyoal Urgensi Revisi UU MK

Aida Mardatillah

DPR diminta tidak membahas RUU MK ini hingga berakhirnya masa darurat pandemi Covid-19, apalagi
isinya dinilai tidak substansi.

Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR. Foto: RES

Rencana Revisi UU No. 8 Tahun 2011 tentang UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (RUU MK) yang diajukan Baleg DPR menimbulkan pertanyaan
publik. Belum lama ini, Baleg DPR mengusulkan perubahan aturan syarat usia, batas pensiun hakim
konstitusi, dan masa jabatan ketua dan wakil ketua MK.
Dalam Pasal 4 draf RUU MK mengatur tentang masa jabatan ketua dan wakil ketua MK selama lima
tahun yang mengubah pasal serupa dalam UU No. 8 Tahun 2011 yang menyebutkan masa jabatan ketua
dan wakil ketua adalah 2 tahun 6 bulan. Dalam RUU MK itu, syarat usia minimal calon hakim konstitusi
diubah dari 47 tahun menjadi 60 tahun tanpa batas usia maksimal.

Selain itu, Pasal 87 huruf c RUU MK menghapus Pasal 22 UU No. 24 Tahun 2003 terkait periodeisasi
masa jabatan hakim konstitusi selama 5 tahun dan dapat dipilih untuk satu kali masa jabatan berikutnya.
Dalam pasal itu, intinya usia pensiun hakim konstitusi hingga usia 70 tahun disamakan usia pensiun
hakim agung.

Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menilai isi draf RUU MK
ini tidak relevan dengan prospek kondisi politik dan penanganan perkara di MK ke depannya. “Legislasi
terkesan pilih-pilih aturan dan sistem mana untuk menguntungkan beberapa pihak saja,” kata Donal
dalam sebuah diskusi bertajuk “Revisi Undang-Undang MK Untuk Siapa?” melalui konferensi video,
Senin (13/4/2020).

Mengenai syarat batas usia minimal hakim konstitusi 60 tahun, Donal menilai batas minimal usia itu
belum jelas rasionalitasnya. Mengingat jumlah perkara yang muncul ke depannya akan cukup banyak
seiring perhelatan Pilkada Serentak 2020 yang berpotensi timbul sengketa hasil pilkada di MK.

Menurutnya, rencana DPR yang ingin mempercepat pembahasan RUU ini bentuk manuver politik dari
anggota dewan. Menurutnya, anggota dewan ingin melobi para hakim konstitusi untuk bertukar (barter)
dengan RUU kontroversial lain, seperti RUU Cipta Kerja, RUU KUHP, atau RUU Pemasyarakatan yang
dimungkinkan bakal digugat ke MK.
Tidak substansi

Dalam kesempatan yang sama, Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jentera
Bivitri Susanti menilai penentuan kualitas hakim dan putusannya tidak hanya dilihat dari usianya.
Menurutnya, masih ada sejumlah indikator utama lain yang dapat menentukan kapabilitas hakim
konstitusi, seperti rekam jejak dan pengalaman penanganan perkara.

Bivitri menilai draf RUU MK tersebut tidak substansi karena tidak ada poin perbaikan/pembenahan
masalah kelembagaan MK saat ini. Apalagi, naskah akademik RUU MK ini pun tidak ada, yang
melatarbelakangi (rasionalitas) setiap perubahan pasal-pasalnya.
“Kita tidak melihat urgensinya RUU MK kalau mengenai syarat usia dan masa jabatan hakim konstitusi.
Akan lebih baik bila isi dari RUU ini mengatur perbaikan institusional yang diperlukan MK saat ini,”
usulnya.

Menurutnya, tidak ada usia ideal atau tidak ideal menjadi seorang hakim MK. Yang terpenting,
bagaimana cara pemilihannya, rekam jejaknya. “Kita jangan terjebak persoalan ukuran usia. Untuk
mengetahui kualitas seorang hakim, misalnya pemilihannya dibuat pertanyaan terbuka dan jawaban-
jawabannya akan dapat dilihat kualitas calon hakim MK tersebut,” kata dia.

Senada, Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar mempertanyakan
urgensi pembentuk UU mengubah masa jabatan MK. “Apakah sudah sangat penting masa jabatan hakim
MK ini? Apa problemnya, saya tidak paham urgensinya ini apa?”
Menurut Zainal, jika batas usia hakim MK ini diubah yang diuntungkan 8 hakim MK dan dirugikan hanya
1 hakim MK yakni Hakim Konstitusi Saldi Isra. “Persoalan batas usia hakim MK ini, seharusnya yang
berbicara hakim MK sendiri, ada apa dengan hakim MK terkait persoalan masa jabatan ini?”

Dia lebih mendukung ukuran pengalaman seseorang ketimbang syarat kematangan seseorang dari sisi
usia. Sebab, usia lebih tua belum tentu menentukan kematangan seseorang. Menurutnya, usia muda
bisa saja menjadi negarawan apabila pengalamannya sudah sangat baik. Misalnya, seberapa banyak
karya tulis seorang hakim MK yang bisa dilihat dari karya-karyanya.

“Jika RUU MK ini menjadi UU, kita akan mendapat hakim konstitusi yang tua dan barangkali akan
mengalami penurunan kualitas kinerja karena usia 60-an tahun kebanyakan kerjanya sudah tidak kuat
(secara fisik, red),” kata Zainal.
Mantan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menilai RUU MK ini sama sekali tidak menyentuh hal-hal
subtansial sebagai creator of democracy yang diinginkan. Misalnya, seharusnya mekanisme
constitustional complain dimasukan dalam RUU ini karena mengubah UUD 1945 sangat sulit.
“Perubahan subtantif dan hukum acara tidak diubah sama sekali dalam revisi UU MK ini,” kata Palguna.

Dia sepakat seharusnya jangan terjebak dalam batas usia dan masa jabatan hakim MK. Sebab, syarat
utama hakim konstitusi itu dalam UUD 1945 adalah negarawan. Dengan begitu, syarat kapasitas dan
integritas yang diutamakan dengan melihat rekam jejaknya. “Dalam proses seleksi pemilihan hakim MK
harus akuntabel dan transparan dari setiap 3 lembaga yakni unsur Presiden, MA, DPR,” kata dia.
“Terlebih, saat ini masa darurat pandemi Covid-19, berhentilah dulu pembahasan RUU MK ini sampai
berakhirnya masa darurat!”

Sebelumnya, Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengajukan usulan RUU MK. Supratman
mengatakan, RUU MK itu perlu dilakukan untuk penyesuaian dengan putusan MK terkait UU tersebut
yang belum ditindaklanjuti. Menurut dia, beberapa putusan MK hasil uji materi akan dimasukan dalam
pembahasan RUU MK.

Menurutnya, RUU MK juga akan dibahas terkait penyeragaman usia pensiun hakim di MK dengan hakim
agung di Mahkamah Agung yaitu usia 70 tahun. Termasuk syarat-syarat menjadi hakim MK, Salah
satunya syarat usia minimal 60 tahun. Supratman menambahkan pembahasan RUU MK masih
menunggu respons dari pemerintah yaitu berupa Surat Presiden (Surpres) dan Daftar Inventarisasi
Masalah (DIM).

Tanggapan

Comment Disclaimer
Seluruh isi komentar adalah tanggung jawab masing-masing pengguna. Berkomentarlah secara bijaksana
dan bertanggung jawab. Redaksi Hukumonline berhak untuk menayangkan atau tidak menayangkan
komentar, dengan mempertimbangkan kepatutan serta norma-norma yang berlaku.

Login

Add a comment

ADD COMMENTM ↓ MARKDOWN

BERITA TERKAIT:

Revisi UU MK: Hadiah, Pesanan, atau Kebutuhan? Oleh: Fajar Laksono*)

Ramai-ramai Tolak Pembahasan Revisi UU Minerba di Saat Darurat Corona

Menghapus Klaster Ketenagakerjaan dari RUU Cipta Kerja, Mungkinkah?

Aliansi: Tunda Pembahasan atau Bahas Seluruh Pasal RKUHP Secara Teliti!

Menanti Sikap DPR atas Perppu Penanganan Covid-19

by TaboolaPromoted Links

BACA JUGA

Daftar | Dapat Hadiah | Daftar Gratis

WeBet Games

Diskresi Pemerintah di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: M Azsmar Haliem*)

San Diego Real Estate Prices Might Be Lower Than You Think

San Diego Real Estate | Search Ads

Work From Home Jobs Might Earn You More Than You Think

Work From Home | Search Ads

Surat Izin Keluar Masuk Jakarta dan Ancaman Pidana

Getting a Job in Dubai Might Be Easier Than You Think

Jobs in Dubai | Search Ads

Back »
Ke Atas · Berita · Search

Lihat Versi Desktop

Home · Tentang Kami · Redaksi · Pedoman Media Siber · Kode Etik · Kebijakan Privasi · Bantuan dan FAQ ·
Karir ·

Copyright © 2020 hukumonline.com, All Rights Reserved

facebook sharing button

whatsapp sharing button

twitter sharing button

linkedin sharing button

Pengamat Nilai Revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Syarat Kepentingan

Rabu, 8 April 2020 22:29 WIB

Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi, Erwin Natosmal Oemar di gedung Komisi Yudisial,
Jakarta, Rabu(25/2/2015).

Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi, Erwin Natosmal Oemar di gedung Komisi Yudisial,
Jakarta, Rabu(25/2/2015).

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi


TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Indonesian Legal Rountable (ILR) Erwin Natosmal Oemar,
mempertanyakan upaya DPR RI membahas Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (RUU
MK).

Menurut dia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang MK masih relevan untuk diterapkan.

"Tidak ada urgensi revisi UU MK,” kata Erwin, saat dihubungi, Rabu (8/4/2020).

Dia menilai revisi terhadap UU MK itu tidak lebih dari upaya memperpanjang masa jabatan hakim
tertentu.

Baca: RUU MK, Hakim Konstitusi Minimal Berusia 60 Tahun

Menurut dia, apabila proses pembahasan RUU MK diteruskan, revisi ini tidak hanya menggoyahkan
kemandirian lembaga peradilan, karena aturannya mudah berubah dan diintervensi secara politik.

Dia mencurigai, revisi hanya untuk memuaskan kepentingan jangka pendek oknum-oknum tertentu.

"DPR harusnya membahas hal-hal penting saja terutama kebijakan yang berkaitan penanggulangan
krisis," kata dia.

Jika diperlukan revisi UU MK, kata dia, terkait kesamaan standar seleksi hakim konstitusi dan
pengawasan hakim.

Baca: Cegah Penyebaran Virus Corona, MK Tunda Sidang Uji UU KPK


Namun, dia menambahkan poin yang sangat vital itu tidak ada dalam revisi ini.

Untuk diketahui, di tengah mewabah coronavirus disease (Covid-19), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI
mengambil kesempatan mengebut pembahasan revisi UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK.

Upaya itu dilakukan setelah sebelumnya DPR sepakat merevisi UU tersebut dalam Rapat Paripurna pada
Kamis (2/4/2020) lalu. Saat ini, proses revisi itu dikabarkan telah bergulir di badan legislasi (Baleg) DPR
RI.

Jika, disahkan RUU ini merupakan perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi. Terdapat sejumlah perubahan di RUU MK itu, diantaranya yaitu Pengangkatan
dan Pemberhentian Hakim Konstitusi.

Baca: Tim Advokasi UU KPK Desak MK Hadirkan Presiden Jokowi

Merujuk pada Pasal 16 huruf c UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, untuk dapat diangkat menjadi
hakim konstitusi seorang calon harus memenuhi syarat berusia sekurang-kurangnya 40 (empat puluh)
tahun pada saat pengangkatan.

Sedangkan, pada RUU MK, disebutkan di Pasal 15 ayat (2) huruf d Untuk dapat diangkat menjadi hakim
konstitusi, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang calon hakim
konstitusi harus memenuhi syarat, berusia paling rendah 60 (enam puluh) tahun.

Selain itu, seorang calon hakim konstitusi juga harus mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum
sekurang-kurangnya 15 tahun, seperti yang tercantum di Pasal 15 ayat (2) huruf h.
Sebelumnya, di UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, seorang calon hakim konstitusi harus
mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun.

Adapun, mengenai pemberhentian, di RUU MK, terdapat perubahan pada batas usia masa jabatan.

Di Pasal 23 ayat (1) huruf c RUU MK, seorang hakim konstitusi diberhentikan dengan hormat dengan
alasan telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun.

Ketentuan ini mengatur aturan di UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, di mana hakim konstitusi
diberhentikan dengan hormat apabila telah berakhir masa jabatannya.

Selain RUU MK, enam RUU krusial lainnya, yaitu Omnibus Law Cipta Kerja, Pendidikan Kedokteran,
Masyarakat Adat, Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila, Aparatur Sipil Negara (ASN), dan Perlindungan
Asisten Rumah Tangga.

Revisi UU MK untuk Siapa?

Idul Rishan - detikNews

Selasa, 16 Jun 2020 16:31 WIB

Kegiatan di Mahkamah Konstitusi (MK) nampak berjalan normal seperti biasa. Rencananya, BPN
Prabowo-Sandiaga akan menyampaikan gugatan Pemilu hari ini. Foto: Rengga Sancaya

Jakarta - Ada dua poin besar dalam draf revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang
menuai kritik dan penolakan dari sejumlah kelompok masyarakat. Pertama, menambah syarat minimal
usia untuk menjadi hakim konstitusi dari 47 menjadi 60 tahun. Kedua, mengubah ketentuan aturan
masa jabatan hakim konstitusi dari model periodisasi ke batas usia maksimum 70 tahun.
Dalam lanskap politik dan teknik legislasi, dua klausul ini cenderung sangat spekulatif. Belum ada satu
pun hasil studi yang membenarkan bahwa menambah syarat usia hakim konstitusi bisa mempengaruhi
kualitas interpretasi terhadap sebuah perkara. Sungguhpun itu dibentuk sebagai syarat, pengaturan
batas minimal usia tak lebih dari sebuah kompromi politik. Dan adakalanya, rasionalisasi pilihan angka
itu jatuh secara insidentil.

Begitu juga dalam konteks masa jabatan hakim konstitusi. Terlalu dini kiranya jika ada persepsi yang
menyatakan bahwa pembatasan masa jabatan hakim dengan klausul usia maksimum akan menguatkan
independensinya dalam mengadili perkara. Sebab independensi jabatan hakim tidak dipengaruhi
dengan syarat usia, melainkan pada prinsip meritokrasi yang melekat dalam proses seleksi dan
pengangkatan hakim.

Tak heran kiranya, jika masyarakat dibuat bingung dengan kebutuhan revisi UU MK. Apa yang menjadi
motif di balik dua klausul itu? Poin perubahan yang sama sekali tidak substantif, bahkan membuka
konflik kepentingan antara hakim konstitusi dan pembentuk undang-undang. Menjadi menarik bila
meletakkan konteks ini jauh lebih luas.

Pada periode kedua pemerintahan Joko Widodo, fungsi legislasi menjadi anasir yang secara signifikan
mendapatkan krisis legitimasi sosial. Begitu masifnya penolakan publik dalam fungsi legislasi (Presiden-
DPR) tentu tidak bisa hanya dimaknai sebagai bekerjanya kontrol kewargaan dalam negara demokrasi.
Melainkan juga harus dilihat sebagai bentuk pentingnya evaluasi kinerja Presiden dan DPR dalam
melaksanakan fungsi legislasi.

Berawal dari proses politik yang buruk pada perubahan UU KPK dan juga diikuti dengan perubahan UU
Minerba, krisis legitimasi publik kemudian mengerangkai pada pembentukan undang-undang lainnya.
Sebut saja RUU Cipta Kerja, sampai dengan yang paling anyar revisi UU MK.

Legitimasi Sosial

Dalam konsepsi hukum dan masyarakat, undang-undang bukan hanya soal legalitas formal, melainkan
juga legitimasi sosial (Sulistiyowati Irianto, 2019).

Luc Wintgens ( 2012) mengungkapkan bahwa krisis legitimasi publik terhadap pembentukan undang-
undang disebabkan akibat proses legislasi yang buruk baik dari segi prosedur maupun isi dari undang-
undang itu sendiri. Rasionalitas publik ditabrak atas dasar kehendak partai, partisipasi publik lemah dan
suara rakyat dibajak dengan kelompok-kelompok penekan yang memiliki kepentingan sektoral atas
pembentukan sebuah undang-undang.

Studi Larkins dalam Judicial Independence and Democratization membenarkan bahwa pola intervensi
pemerintah terhadap lembaga peradilan salah satunya dilakukan dengan proses politik pembentukan
undang-undang yang mengatur lembaga peradilan (Christoper M Larkins, 1996). Polanya sederhana.
Pemerintah memperdagangkan pengaruh dalam materi muatan pembentukan hukum agar hakim
terjebak pada pusaran konflik kepentingan.

Praktik di berbagai negara merefleksikan keadaan yang hampir mirip. Intervensi pemerintah dilakukan
dengan proses politik pada revisi undang-undang kekuasaan kehakiman. Hungaria contohnya,
pemerintah Orban mengubah aturan dengan menambah jumlah hakim konstitusi dari delapan menjadi
lima belas. Kemudian memberikan peran bagi partai penguasa untuk melakukan penunjukan langsung
terhadap hakim-hakim yang baru.

Demikian juga Polandia. Partai pemenang pemilu menolak calon hakim yang diusulkan oleh partai
pendukung pemerintah sebelumnya. Kemudian partai pemenang pemilu mengangkat lima hakim
konstitusi yang baru untuk mendelegitimasi calon yang lama. Semua itu dilakukan agar pemerintah
dapat memberikan pengaruh terhadap hakim ketika dan akan mengadili perkara yang melibatkan
kepentingan pemerintah. Ketika hakim tidak lagi independen, proses peradilan menjadi sangat
transaksional.

Hak Konstitusional Warga Negara

Dalam draf revisi UU MK, Pasal 87 huruf c mengatur apabila hakim konstitusi berakhir masa jabatannya
di usia 60, maka hakim yang bersangkutan dapat meneruskan jabatannya hingga usia 70 tahun. Tanpa
adanya kejelasan dalam ketentuan peralihan, pasal ini bisa mengancam dan mengakibatkan hakim
konstitusi terjebak dalam kubangan konflik kepentingan. Artinya akan ada hakim konstitusi yang
dirugikan ataupun diuntungkan dengan ketentuan perubahan UU MK.

Sebagai contohnya Hakim Saldi Isra. Periodisasi jabatannya habis sebelum usia 60 tahun. Berbanding
terbalik dengan Hakim Aswanto yang periodisasi jabatannya bisa berhenti di usia 60 tahun. Dengan
merujuk ketentuan revisi pasal a quo akan ada hakim konstitusi yang mungkin saja bisa menjabat hingga
dua puluh tahun lamanya. Bisa dibayangkan ketika revisi UU a quo pada akhirnya diujikan di MK, majelis
hakim konstitusi tidak hanya mengadili kepentingan lembaganya, melainkan juga mengadili kepentingan
jabatannya sendiri.

Oleh karena itu revisi UU MK sebaiknya lebih ditujukan untuk mengoptimalisasi pemenuhan hak
konstitusional warga negara. Menelaah kebutuhan kelembagaan MK yang jauh lebih substantif dari
pada sekedar mengatur usia jabatan hakim. Bukan sebaliknya, momentum revisi UU MK justru hanya
menjadi langkah mundur dalam upaya perlindungan hak konstitusional warga negara.

Idul Rishan penulis buku Kebijakan Reformasi Peradilan

Kumparan Logo

News

4 Mei 2020 21:28

Muncul Revisi UU MK di Tengah Corona, DPR Didesak Hentikan Pembahasan

13

kumparanNEWS

Konten Redaksi kumparan

Mahkamah Konstitusi

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Foto: Nugroho Sejati/kumparan

Pandemi wabah corona tak membuat DPR surut membahas sejumlah UU. Setelah tetap membahas RUU
Omnibus Law Cipta Kerja, kini DPR juga masih memproses revisi UU Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam
draf revisi RUU tersebut, setidaknya ada 14 poin perubahan.
Koalisi Save MK yang terdiri dari Indonesian Corruption Watch (ICW), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
Indonesia (PSHK), Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif), PUSaKO Unand, Pukat UGM, dan
YLBHI memberi catatan mengenai rencana revisi ini.

Koalisi menilai draf RUU MK yang diajukan DPR sarat dengan potensi politik transaksional. Dari 14 poin
yang hendak diubah, setidaknya ada tiga yang jadi permasalahan.

Pertama terkait masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK dari semula 2 tahun 6 bulan menjadi 5 tahun.
Ini diatur dalam perubahan Pasal 4 ayat (3) dalam draf RUU.

Sidang perdana Pengujian Perppu Penanganan COVID-19 di MK

Suasana sidang Pengujian Materiil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2020 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

Kedua, menaikkan syarat usia minimal hakim konstitusi dari 47 menjadi 60 tahun. Hal ini diatur dalam
Pasal 15 ayat (2) di draf itu.

Ketiga, masa jabatan hakim dari awalnya 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 kali masa jabatan,
menjadi pensiun di usia 70 tahun. Hal ini diatur dalam Pasal 87 huruf c.

Lantas di mana permasalahannya?

Koalisi berpendapat, 'keistimewaan' bagi hakim MK dalam revisi UU memiliki tujuan terselubung.
Mereka menduga hal ini sebagai cara bagi DPR agar MK menolak permohonan uji materi beberapa UU
yang krusial yang masih berproses di MK, seperti UU KPK dan Perppu Corona.

"Perubahan ini disinyalir mencari cara untuk 'menukar guling' supaya MK dapat menolak sejumlah
pengujian konstitusional utas yang krusial, seperti revisi UU KPK dan Perppu Penanganan COVID-19,"
kata salah satu anggota koalisi, Kurnia Ramadhana, dalam keterangannya, Senin (4/5).
Selain itu, Koalisi Save MK menilai apabila revisi tersebut disetujui sebagai UU, hakim konstitusi yang
umurnya 60 tahun bisa melanjutkan masa baktinya hingga umur 70 tahun.

Sementara bagi hakim yang umurnya kurang dari 60 tahun, tidak dapat memperpanjang masa baktinya.
Sehingga harus mengikuti seleksi lagi sebagai hakim MK setelah umurnya 60 tahun.

Mahkamah Konstitusi, Sidang Kedua MK, Hakim Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra

Hakim Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra saat sidang Perselisihan Hasil Pemilu Umum 2019 di Gedung
Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat(21/8) Foto: Helmi Afandi/kumparan

Berdasarkan penelusuran kumparan, ada setidaknya 3 hakim MK yang berusia di bawah 60 tahun, yakni
Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic, dan Saldi Isra.

Untuk nama terakhir, ia tercatat pernah berbeda pandangan ketika menolak penggunaan hak angket
DPR terhadap KPK dalam uji materi UU MD3 pada 2018 silam. Saat itu ada dissenting opinion dari 3
hakim MK yang menyebut KPK bukan lembaga eksekutif di bawah Presiden. Selain Saldi, ada I Dewa
Gede Palguna dan Suhartoyo.

Sementara satu hakim lainnya Maria Farida menyebut KPK masih di cabang eksekutif. Tapi Maria
menyebut KPK bukan objek hak angket dari DPR. Kini tersisa Saldi dan Suhartoyo yang masih menjabat
hakim MK. Sedangkan Palguna dan Maria sudah purna tugas.

Kembali ke pokok persoalan, Koalisi juga menilai bahwa revisi terhadap UU MK ini tidak mendesak.
Terlebih saat ini negara tengah diterpa pandemi corona.

Ilustrasi gedung DPR RI, DPR RI

Ilustrasi gedung DPR RI. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan

Koalisi memandang jika revisi UU MK tetap dibahas, nuansa konflik kepentingan begitu kental baik dari
DPR maupun Presiden.
"Sebab saat ini MK sedang menyidangkan dua UU yang diusulkan oleh DPR dan Presiden, yakni uji formil
UU KPK dan uji materil Perppu Nomor 1 2020 (Perppu penanganan COVID-19) yang dihujani banyak
kritik," kata Kurnia.

Koalisi juga menilai bahwa isi revisi UU MK tidak substansial dan menjauhkan partisipasi publik. Sebab,
revisi UU MK sama sekali tak masuk dalam program legislasi nasional DPR.

"Untuk itu melihat persoalan di atas, maka Koalisi Save Mahkamah Konstitusi mendesak agar Presiden
Joko Widodo menolak membahas perubahan UU MK dan DPR menghentikan proses legislasi yang tidak
berkualitas dan produktif serta fokus pada penanganan pandemi COVID-19 beserta dampaknya,"
pungkasnya.

jokowi

Presiden Joko Widodo. Foto: BPMI Setpres/Kris

Berikut poin-poin yang hendak diubah dalam draf revisi UU MK:

1. Pasal 4. Di pasal ini yang diubah adalah pada ayat (3) di mana masa jabatan hakim MK yang semula 2
tahun 6 bulan menjadi 5 tahun. Selain itu ada ayat 4f, ayat 4g, dan 4h dihapus.

2. Pasal 7A ayat (1) mengenai kepaniteraan. Di pasal ini yang diubah adalah adanya penjelasan lebih
detail mengenai masa pensiun panitera yakni berumur 62 tahun.

3. Pasal 15 ayat (2d) tentang batas usia minimal hakim MK. Semua disebutkan batas usia hakim MK
adalah 47 tahun dan tertinggi 65 tahun. Sementara dalam draf disebutkan batasan usia naik jadi paling
rendah 60 tahun.

Lalu pasal 15 ayat (2h) yang masih mengatur soal syarat hakim MK, di pasal ini dihapus adanya syarat
calon hakim pernah menjadi pejabat negara. Sehingga syaratnya hanya satu yakni berpengalaman di
bidang hukum selama 15 tahun.
4. Pasal 22 dihapus. Pasal ini sebelumnya membahas mengenai masa jabatan hakim MK.

5. Pasal 23 ayat (1d) soal pemberhentian dari jabatan hakim konstitusi dihapuskan.

6. Pasal 26 ayat (1b) juga dihapuskan. Lalu pasal 26 ayat (5) juga dihapuskan.

7. Pasal 27A ayat (2c, 2d, dan 2e) tentang penegakan kode etik dihapuskan.

8. Pasal 27A ayat (5) dan ayat (6) dihapuskan.

9. Pasal 45 dihapuskan.

10. Pasal 50A dihapuskan.

11. Pasal 57 ayat (2a) dihapuskan.

12. Pasal 59 ayat (2) dihapuskan.

13. Pasal 87 huruf a diatur mengenai masa jabatan ketua dan wakil MK menjadi 5 tahun.

14. Pasal 87c adanya kekhususan bagi hakim MK yang berusia 60 langsung bisa menjabat hingga umur
70 tahun.

***

Anda mungkin juga menyukai