Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi

Gambar 2.1: Sistem Pernapasan dan Tuberculosis


Sumber: Google.com
Sistem respirasi manusia merupakan suatu susunan yang sangat
kompleks. Setiap sel dan jaringan yang menyusunnya memiliki fungsi
dan peranannya tersendiri. Strukturnya yang begitu rumit menjadikan
sistem ini begitu istimewa untuk menopang kehidupan manusia. Tujuan
dari sistem respirasi adalah untuk memperoleh oksigen dari udara ke
jaringan tubuh dan membuang karbondioksida. Pertukaran gas ini sangat
penting. Seluruh sel tubuh membawa oksigen dari respirasi sel untuk
memproduksi ATP atau energi yang dibutuhkan dan dimanfaatkan
manusia untuk melakukan aktivitasnya sehari-hari (Guyton dkk., 2016).
Sistem respirasi manusia dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu sistem
respirasi atas dan sistem respirasi bawah. Bagian-bagian dari dua sistem
respirasi manusia yaitu sistem respirasi atas, yang terdiri dari bagian luar
rongga dada yaitu hidung, rongga hidung, faring, laring, dan trakea atas
dan sistem respirasi bawah, yang terdiri dari bagian dalam rongga dada
yaitu trakea bawah dan paru-paru, termasuk pembuluh bronchial dan
alveoli (Syaifuddin, 2017).

1. Hidung
Hidung adalah bangunan berongga yang terbagi oleh sebuah sekat di
tengah menjadi rongga hidung kiri dan kanan. Hidung meliputi bagian
eksternal yang menonjol dari wajah dan bagian internal berupa rongga
hidung sebagai alat penyalur udara.Di bagian depan berhubungan keluar
melalui nares (cuping hidung) anterior dan di belakang berhubungan
dengan bagian atas farings (nasofaring).
Masing-masing rongga hidung dibagi menjadi bagian vestibulum,
yaitu bagian lebih lebar tepat di belakang nares anterior, dan bagian
respirasi. Permukaan luar hidung ditutupi oleh kulit yang memiliki ciri
adanya kelenjar sabesa besar, yang meluas ke dalam vestibulum nasi
tempat terdapat kelenjar sabesa, kelenjar keringat, dan folikel rambut yang
kaku dan besar. Rambut ini berfungsi menapis benda-benda kasar yang
terdapat dalam udara inspirasi.Terdadapat 3 fungsi rongga hidung :
a. Dalam hal pernapasan: Udara yang di inspirasi melalui rongga
hidung akan menjalani 3 proses yaitu penyaringan (filtrasi),
penghangatan, dan pelembaban.
b. Ephithelium olfactory: bagian meial rongga hidung memiliki fungsi
dalam penerimaan bau.
c. Rongga hidung juga berhubungan dengan pembentukan suara- suara
fenotik dimana ia berfungsi sebagai ruang resonasi.
Pada potongan frontal, rongga hidung berbentuk seperti buah alpukat,
terbagi dua oleh sekat (septum mediana). Dari dinding lateral menonjol
tiga lengkungan tulang yang dilapisi oleh mukosa, yaitu:
1) Konka nasalis superior (karang hidung bagian atas)
2) Konka nasalis medius (karang hidung bagian tengah)
3) Konka nasalis inferior ( karang bidung bagian atas)
(Pranata, 2018).
2. Faring
Faring merupakan saluran yang memiliki panjang kurang lebih 13 cm
yang menghubungkan nasal dan rongga mulut kepada larings pada dasar
tengkorak. Faring berupa pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak
sampai persambungan-nya dengan oesopagus pada ketinggian tulang
rawan krikoid. Maka letaknya di belakang larinx (larinx-faringeal). Faring
dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. Nasofaring, yang terletak di bawah dasar tengkorak, belakang dan
atas palatum molle. Pada bagian ini terdapat dua struktur penting
yaitu adanya saluran yang menghubungkan dengan tuba eustachius
dan tuba auditory. Tuba Eustachii bermuara pada nasofaring dan
berfungsi menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi
membrane timpani. Apabila tidak sama, telinga terasa sakit. Untuk
membuka tuba ini, orang harus menelan. Tuba Auditory yang
menghubungkan nasofaring dengan telinga bagian tengah.
b. Orofaring merupakan bagian tengah farings antara palatum lunak
dan tulang hyodi. Pada bagian ini traktus respiratory dan traktus
digestif menyilang dimana orofaring merupakan bagian dari kedua
saluran ini. Orofaring terletak di belakang rongga mulut dan
permukaan belakang lidah. Dasar atau pangkal lidah berasal dari
dinding anterior orofaring, bagian orofaring ini memiliki fungsi pada
system pernapasan dan system pencernaan. refleks menelan berawal
dari orofaring menimbulkan dua perubahan makanan terdorong
masuk ke saluran cerna (oesophagus) dan secara stimulant, katup
menutup laring untuk mencegah makanan masuk ke dalam saluran
pernapasan. Orofaring dipisahkan dari mulut oleh fauces. Fauces
adalah tempat terdapatnya macam-macam tonsila, seperti tonsila
palatina, tonsila faringeal, dan tonsila lingual.
c. Laringofaring terletak di belakang larings. Laringofaring merupakan
posisi terendah dari farings. Pada bagian bawah laringofaring system
respirasi menjadi terpisah dari sitem digestif. Udara melalui bagian
anterior ke dalam larings dan makanan lewat posterior ke dalam
esophagus melalui epiglottis yang fleksibel (Pranata, 2018)

3. Laring
Laring merupakan saluran udara yang bertindak sebagai pembentukan
suara.Terletak pada garis tengah bagian depan leher, sebelah dalam kulit,
glandula tyroidea, dan beberapa otot kecil, dan didepan laringofaring dan
bagian atas esophagus.Laring tertutup oleh empang tenggorok di sebut
dengan epiglottis, yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berfungsi
menutupi laring saat kita menelan. Laring terdiri dari 5 tulang rawan antara
lain:
a. Kartilago tiroid ( 1 buah) terletak di depan jakun (Adam’s Apple),
sangat jelas terlihat pada pria
b. Kartilago Ariteanoid (2 buah) berbentuk beker
c. Kartilago Krikoid (1 buah) berbentuk cincin
d. Kartilago Epiglotis (1 buah)
Laring di lapisi oleh selaput lender, kecuali pita suara dan bagian
epglotis yang dilapisi oleh sel epitelium berlapis. Pita suara berjumlah 2
buah yaitu:
1) Vertikularis merupakan pita suara palsu yang terdapat di bagian atas
dan tidak mengeluarkan suara
2) Vokalis merupakan pita suara sejati ynag terdapat di bagian bawah
yang membentuk suara.
Fungsi utama pada laring adalah untuk melindungi jalan napas atau
jalan udara dari farings ke saluran napas lainnya. Laring terangkat dibawah
lidah saat menelan sehingga mencegah makanan masuk ke trakea., namun
juga sebagai organ pembentuk suara atau menghasilkan sebagian besar
suara yang dipakai berbicara dan bernyanyi.
Epiglotis terletak diatas seperti katup penutup. Epiglotis adalah
sekeping tulang rawan elastis yang menutupi lubang larings sewaktu
menelan dan terbuka kembali sesudahnya. Pada dasarnya,Larings
bertindak sebagai katup, menutup selama menelan unutk mencegah
aspirasi cairan atau benda padat masuk ke dalam batang tracheobronchial.
Selain pada frekuensi getaran, tinggi rendah suara tergantung panjang
dan tebalnya pita suara itu sendiri. Apabila pita lebih panjang dan tebal
pada pria menghasilkan suara lebih berat, sedangkan pada wanita pita
suara lebih pendek. Kemudian hasil akhir suara ditentukan perubahan
posisi bibir, lidah dan palatum molle.
Disamping fungsi dalam produksi suara, ada fungsi lain yang lebih
penting, yaitu Larings bertindak sebagai katup selama batuk, penutupan
pita suara selama batuk, memungkinkan terjadinya tekanan yang sangat
tinggi pada batang tracheobronchial saat otot-otot trorax dan abdominal
berkontraksi, dan pada saat pita suara terbuka, tekanan yang tinggi ini
menjadi penicu ekspirasi yang sangat kuat dalam mendorong sekresi
keluar (Pranata, 2018).

4. Trakea
Trakea adalah tabung terbuka berdiameter 2,5 cm dan panjang 9-11
cm. Trakea terletak di daerah leher depan esophagus dan merupakan pipa
yang terdiri dari gelang-gelang tulang rawan. Di daerah dada, trakea
meluas dari larings sampai ke puncak paru, tempat ia bercabang menjadi
bronkus kiri dan kanan. Jalan napas yang lebih besar ini mempunyai
lempeng-lempeng kartilago di dindingnya, untuk mencegah dari kempes
selama perubahan tekanan udara dalam paru-paru. Tempat terbukanya
trakea disebabkan tunjangan sederetan tulang rawan (16-20 buah) yang
berbentuk huruf C (Cincin-cincin kartilago) dengan bagian terbuka
mengarah ke posterior (esofagus).
Trakea dilapisi epitel bertingkat dengan silia (epithelium yang
menghasilkan lendir) yang berfungsi menyapu partikel yang berhasil lolos
dari saringan hidung, ke arah faring untuk kemudian ditelan atau
diludahkan atau dibatukkan dan sel gobet yang menghasikan mukus.
Potongan melintang trakea khas berbentuk huruf D. Trakea dipisahkan
oleh karina yang memisahkan bronkus kanan dan kiri (Pranata, 2018).
5. Bronkus dan Percabangannya
Bronkus yang terbentuk dari belahan dua trakea pada ketinggian kira-
kira vertebrata torakalis IV dan V, mempunyai struktur serupa dengan
trakea dan dilapisi oleh jenis sel yang sama. Bronkus-bronkus itu berjalan
ke bawah dan kesamping ersatu tampuk paru. Trakea bercabang menjadi
bronkus utama (primer) kiri dan kanan. Bronkus kanan lebih pendek,
lebih lebar, dan lebih ersatu daripada yang kiri sedikit lebih tinggi dari
arteri pulmonalis dan mengeluarkan sebuah cabang utama lewat di bawah
arteri disebut bronkus lobus bawah. Terdapat 6-8 cincin dan mempunyai 3
cabang. Bronkus kiri lebih ersatu dan lebih langsing dari yang kanan,
dan berjalan di bawah arteri pulmonalis sebelurn di belah menjadi
beberapa cabang yang berjalan ke lobus atas dan bawah.Terdapat 9-12
cincin dan mempunyai 2 cabang.
Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronkus
lobaris (sekunder) dan kemudian menjadi lobus segmentalis (tersier).
Percabangan ini berjalan terus menjadi bronchus yang ukurannya semakin
kecil, sampai akhirnya menjadi bronkhiolus terminalis, yaitu saluran udara
terkecil yang tidak mengandung alveoli (kantong udara). Bronkhiolus
terminalis memiliki diameter kurang lebih 1 mm. saluran ini disebut
bronkiolus. Bronkiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan. Tetapi
dikelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya dapat berubah. Bronkiolus
memasuki lolubus pada bagian puncaknya, bercabang lagi membentuk
empat sampai tujuh bronkiolus terminalis (Pranata, 2018).

6. Alveolus
Alveolus adalah unit fungsional paru. Setiap paru mengandung lebih
dari 350 juta alveoli, masing-masing dikelilingi banyak kapiler darah.
Alveoli bentuknya peligonal atau heksagonal. Alveolus yaitu tempat
pertukaran gas assinus terdiri dari bronkhiolus dan respiratorius (lintasan
berdinding tipis dan pendek) yang terkadang memiliki kantong udara kecil
atau alveoli pada dindingnya. Ductus alveolaris seluruhnya dibatasi oleh
alveoilis dan sakus alveolaris terminalis merupakan akhir paru-paru,
asinus atau kadang disebut lobolus primer memiliki tangan kira-kira 0,5
s/d 1,0 cm. Terdapat sekitar 20 kali percabangan mulai dari trachea sampai
Sakus Alveolaris. Alveolus dipisahkan oleh dinding yang dinamakan pori-
pori kohn (Pranata, 2018).

B. Definisi
Tuberkulosis paru atau TB Paru adalah suatu penyakit infeksi kronik
yang disebabkan M. tuberculosis tidak hanya menyerang paru, tetapi dapat
mengenai organ lainnya (Suharyo, 2013). Basil Mycobacterium tuberculois
mempunyai ukuran cukup kecil yaitu 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron dan
bentuk dari basil ini yaitu batang, tipis, lurus atau agak bengkok, bergranul,
tidak mempunyai selubung tetapi kuman ini mempunyai lapisan luar yang
tebal yang terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat). Sifat dari basil ini agak
istimewa, karena dapat bertahan terhadap pencucian warna dengan asam
sehingga sering disebut dengan basil tahan asam (BTA). Selain itu basil ini
juga tahan terhadap suasana kering dan dingin. Basil ini dapat bertahan pada
kondisi rumah atau lingkungan yang lembab dan gelap bisa sampai berbulan-
bulan namun basil ini tidak tahan atau dapat mati apabila terkena sinar,
matahari atau aliran udara (Widoyono, 2017).

C. Etiologi
Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang terinfeksi
oleh mycobacterium tuberculosis:
1. Herediter
Resistensi seseorang terhadap infeksi kemungkinan diturunkan secara
genetik.
2. Jenis kelamin
Pada akhir masa kanak-kanak dan remaja, angka kematian dan kesakitan
lebih banyak terjadi pada anak perempuan.
3 . Usia
Pada masa bayi kemungkinan terinfeksi sangat tinggi. Pada masa puber
dan remaja di mana terjadi masa pertumbuhan yang cepat, kemungkinan
infeksi cukup tinggi karena diet yang tidak adekuat.
4 . Keadaan (stress)
Situasi yang penuh setress (injury atau penyakit, kurang nutrisi, setress
emosional, kelelahan yang kronik). Meningkatnya sekresi steroid
adrenal yang menekan reaksi inflamasi dan memudahkan untuk
penyebarluasan infeksi. Anak yang mendapatkan terapi kortikosteroid
kemungkinan terinfeksi lebih mudah.
5 . Nutrisi
Status nutrisi yang kurang.
6 . Infeksi berulang
HIV, measles, pertusis. Tidak mematuhi aturan pengobatan.
(Puspitasari, 2019).

D. Klasifikasi
1. Klasifikasi TB berdasarkan Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis tahun 2014.
a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:
1) Tuberkulosis Paru
Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier
TB dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan
paru. Limfadenitis TB di rongga dada (hilus atau mediastinum)
atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang
mendukung TB pada paru, dinyatakan TB ekstra paru. Pasien
yang menderita TB paru dan sekaligus menderita TB ekstra
paru di klasifikasikan sebagai pasien TB paru.
2) Tuberkulosis ekstra paru
Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, ersat: pleura,
kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput
otak dan tulang. Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan
berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis.
Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan berdasarkan
penemuan mycobacterium tuberculosis. Pasien TB ekstra paru
yang menderita TB pada bebrapa organ, diklasifikasikan
sebagai pasien TB ekstra paru pada organ menunjukan
gambaran TB yang terberat.

2. Klasifikasi berdasarkan pengobatan sebelumnya.


a. Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan
pengobatan sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun
kurang dari 1 bulan (< dari 28 dosis).
b. Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya
pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥dari 28 hari).
Pasien iini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan
TB terakhir, yaitu:
c. Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh
dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologis atau klinis (baik karena kambuh atau reinfeksi).
d. Pasien yang diobati setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah
diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
e. Pasien yang diobati setelah putus berobat (lost to follow-up ): adalah
pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up
(klasifikasi ini sebelumnya disebut sebagai pengobatan pasien setelah
putus berobat/default).
f. Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
(Puspitasari, 2019)
E. Epidemiologi
Tuberkulosis merupakan penyakit lama yang masih menjadi pembunuh
terbanyak diantara penyakit menular. Dunia pun masih belum bebas dari TB.
Berdasarkan laporan WHO 2015 diperkirakan ada 1.020.000 kasus di
Indonesia, namun baru terlaporkan ke Kementrian Kesehatan sebanyak
420.000 kasus. Mereka yang belum diperiksa dan diobati akan menjadi
sumber penularan bagi orang disekitarnya. Hal ini yang menyebabkan
seakan-akan masalah TB tak kunjung selesai. Dunia ingin mencapai
eliminasi TB pada tahun 2030 dan Indonesia turut berkomitmen
mencapainya. Indonesia sekarang berada pada ranking kelima, negara
dengan beban TB tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus
adalah sebesar 660.000 dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru
pertahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per
tahunnya (WHO, 2015).
Berdasarkan data rekam medik di RSUD Jaraga Sasameh Buntok
dari rentang bulan Oktober 2020 sampai dengan bulan Desember 2020
terdapat 15 kasus anak terkonfirmasi TB (Rekam Medik RSUD Jaraga
Sasameh, 2020).

F. Patofisiologi
1. Narasi
Penularan tuberculosis paru terjadi karena kuman dibersinkan
ataudibatukkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Partikel
infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung
pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban.
Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan selama berhari-hari
sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terhisap oleh orang sehat
akan menempel pada jalan nafas atau paru-paru. Partikel dapat masuk ke
alveolar bila ukurannya kurang dari 5 mikromilimeter. Basil tuberkel
yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai unit yang
terdiri dari 1-3 basil. Gumpalan basil yang besar cendrung tertahan
dihidung dan cabang bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah
berada diruang alveolus biasanya dibagian bawah lobus atas paru-paru
atau dibagian atas lobus bawah, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi
peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak didaerah tersebut dan
memfagosit bakteria namun tidak membunuh organisme ini. Sesudah
hari-hari pertama leukosit akan digantikan oleh makrofag. Alveoli yang
terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut.
Pneumonia seluler akan sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada
sisa atau proses akan berjalan terus dan bakteri akan terus difagosit atau
berkembang biak didalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening
menuju kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan
infiltrasi sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh
limposit. Reaksi ini membutuhkan waktu 10-20 hari (Puspitasari, 2019).
2. Skema

Microbacterium
Tuberculosis

Masuk melalui tractus


respiratorius

Tinggal di Alveoli

Reaksi inflamasi
(Fagosit oleh neutrofil, Pertahanan primer
makrofag. Limposit tidak adekuat
melisiskan)

Tuberkel ghon
Batuk Risiko penularan

Kalsifikasi Refleks mual/muntah Kurang tersedianya


informasi
Skar kolagenosa Anorexia

Defisit pengetahuan
Intake nutrisi kurang keluarga
Dormant

Nutrisi kurang dari


Sistem imun menurun
kebutuhan tubuh

TBC aktif

Pembentukan sputum
berlebih

Bersihan jalan napas


tidak efektif
Skema 2.1: Patofisiologi
Sumber: Puspitasari, 2019

G. Manifestasi Klinik
Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan
gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat.
Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru,
sehingga cukup sulit untuk di diagnosa secara klinik. Gejala
sistemik/umum, antara lain sebagai berikut:
1. Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya
dirasakan malam hari disertai keringat malam.
2. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat
hilang timbul. Penurunan nafsu makan dan berat badan.
3. Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan
darah).
4. Lemas
5. Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak)
dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya
adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-
kejang.

H. Komplikasi
1. Meningitis.
2. Spondilitis.
3. Pleuritis.
4. Bronkopnemoni.
5. Atelektasis
(Puspitasari, 2019).

I. Collaborative Care Management


1. Tes Diagnostik
a. Pemeriksaan Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi bertujuan menegakkan diagnosis dan
menentukan klasifikasi/tipe, menilai kemajuan pengobatan, dan
menentukan tingkat penularan. Pemeriksaan bakteriologi penting
untuk menemukan M. tuberculosis, semua pasien yang dicurigai
tuberkulosis paru diperiksa tiga spesimen dahak dalam dua hari
kunjungan, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). S (sewaktu) : dahak
ditampung saat pasien terduga TB datang berkunjung pertama kali ke
fasyankes. Saat pulang, pasien membawa sebuah pot dahak untuk
menampung dahak pagi pada hari kedua. P (Pagi) : dahak ditampung
di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur, pot
dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes. S
(sewaktu) : dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi (Kemenkes, 2014)Hasil diagnosis positif
membutuhkan paling sedikit 5000 batang bakteri per mililiter sputum
(Nasution, 2017).

b. Pemeriksaan Mikroskopis Cara Ziehl Neelsen


Pemeriksaan sputum secara mikroskopis untuk diagnosis
merupakan pemeriksaan yang mudah, cepat dan murah. Hasil yang
baik didapatkan dengan membuat sediaan diwarnai dengan cara Tan
Thiam Hok (Kinyoun-Gabbett) atau cara Ziehl-Neelsen. Pewarnaan
tahan asam terlihat bakteri berwarna merah dan latar belakang
berwarna biru, hasil positif ditentukan oleh jumlah bakteri 5.000-
10.000/ml sampel dahak/sputum, hasil negatif belum tentu tidak ada
bakteri. Daya mikroskop cahaya biasa sangat terbatas untuk dapat
mendeteksi jumlah bakteri yang sedikit. Mikroskop fluoresens daya
melihat diperbesar sedikit dengan luas pandangan yang lebih besar
karena lensa obyektif yang lebih besar dan gambar yang terlihat cukup
jelas karena berfluoresensi zat warna auramin rhodamin. Hasil positif
secara mikroskop tidak berarti diagnosis definitif (Utji, 2018). Hasil
BTA positif dilaporkan secara kuantitatif dengan skala IUATLD
(International Union Against Tuberculosis Lung Disease). Berikut
interpretasi hasil berdasar skala IUATLD:
1) Negatif, bila tidak ditemukan BTA dalam 100-300 lapang
pandang.
2) Positif 1 (+1) bila ditemukan BTA 10-99 batang pada 100 lapang
pandang.
3) Positif 2 (+2) bila ditemukan BTA 1-10 per lapang pandang pada
50 lapang pandang.
4) Positif 3 (+3) bila ditemukan BTA > 10 per satu lapang pandang.
Makin banyak bakteri yang ditemukan semakin besar
kemungkinan didapatkan bakteri dalam paru-paru. Penulisan gradasi
hasil bacaan penting untuk menunjukkan tingkat keparahan penyakit
dan tingkat daya penularan penderita tersebut (Girsang et al, 2016).

c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA, pemeriksaan lain atas
indikasi: foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Foto toraks pada
penderita TB memberi gambaran bermacam-macam bentuk
(multiform). Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif,
diantaranya:
2) Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus
atas paru dan segmen superior lobus bawah;
3) Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak
berawan atau nodular
4) Bayangan bercak milier
5) Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif, yaitu :
fibrotik, kalsifikasi, Schwarte atau penebalan pleura
(Pupitasari, 2019).

d. Pemeriksaan Spesimen
Spesimen untuk pemeriksaan bakteriologis BTA adalah sputum,
merupakan bahan yang disekresi dalam traktus trakheum bronkial
yang dikeluarkan dengan cara membatukkan. Dalam keadaan normal,
orang sehat tidak menghasilkan sputum namun pada orang yang
terinfeksi bakteri TBC sputum dihasilkan dalam jumlah sampai 100
ml / perhari, karena bakteri yang menempel pada jalan nafas dengan
gerakan cilianya akan merangsang terbentuknya perkejuannya oleh
karena infeksi yang ditimbulkan.
Volume sputum pada infeksi bakterial akan meningkat, pH
semakin menjadi asam dan suasana kimia berubah. Keasaman yang
kurang dari 6,5 akan mempengaruhi kekentalan sputum sehingga
leukosit meningkat. Sputum yang baik untuk pemeriksaan BTA
adalah: sputum yang kental dan purulen, mengandung banyak sel
leukosit lebih dari 25 / lapangan pandang. Berwarna hijau kekuningan
dengan volume 3,5 ml tiap pengambilan. Warna, bau khas dan
keberadaan darah memberi petunjuk untuk dilakukan pemeriksaan
bakteriologis. Pemeriksaan dengan cara Sewaktu – Pagi – Sewaktu
(SPS). Cara ini adalah cara yang paling murah dan sering dilakukan
karena mampu untuk dipakai sebagai diagnosis pasti infeksi TB Paru.
Selain itu juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang
sudah dilakukan (Nasution, 2017).

J. Manajemen Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Pengumpulan Data
1) Identitas
TB paru banyak terjadi pada anak laki-laki yang berusia >3 tahun
dan yang bertempat tinggal di tempat yang tidak sehat misalnya
banyak orang yang merokok dan banyak orang terkena penyakit
TB hingga menular ke anak. Pada akhir masa kanak-kanak dan
remaja, angka kematian dan kesakitan lebih banyak terjadi pada
anak perempuan.
2) Keluhan utama
Kebanyakan pada kasus Tuberkulosis Paru dengan keluhan batuk
yang lebih dari 3 minggguRiwayat Penyakit Sekarng Anak
dengan TBC biasanya datang ke rumah sakit dengan keluhan:
demam selama >2 minggu dan berulang, batuk selama 3 minggu,
nafsu makan menurun, berat badan turun atau tidak naik 2 bulan
berturut- turut, anak lesu tidak seaktif biasanya, teraba benjolan di
leher atau kelenjar getah bening.
3) Riwayat Penyakit Dahulu Meliputi penyakit yang pernah di derita
oleh penderita yang mungkin sehubungan dengan TB paru.
Riwayat kesehatan dalam keluarga perlu dikajiKemungkinan ada
keluarga yang pernah menderita TB paru.
4) Tumbuh kembang
lMengkaji mengenai pertumbuhan dan perkembanga anak
sesuai dengan tingkat usia, baik perkembangan emosi dan sosial.
5) Imunisasi
Perlu dikaji adalah jenis imunisasi dan umur pemberiannya.
Apakah imunisasi lengkap, jika belum apa alasannya.
Terutama kaji pada status imunisasi BCG (untuk mencegah
penyakit TB Paru).
6) Riwayat Penyakit Keluarga
Secara patologis TB paru tidak di turunkan, tetapi perawat perlu
menanyakan apakah penyakit ini pernah di alami oleh
anggota keluarga lainnya sebagai faktor predisposisi penularan di
dalam rumah.
7) Riwayat Lingkungan
Lingkungan yang mempengaruhi kesehatan anak dengan
Tubeculosis paru yaitu lingkungan yang sebagian besar orang
sekitarnya banyak yang menderita Tuberculosis paru, dan
kondisi rumah yang tidak sehat, misalnya kondisi rumah yang
lembab, kurangnya ventilasi didalam rumah, dan pencahayaan
yang kurang.
b. Pengkajian Primer
1) Airway
Pada umumnya temukan masalah pada jalan pasien dengan TB
paru.
2) Breathing
Perlunya observasi irama napas, keluahan adanya sesak, dan
penurunan saturasi oksigen.
3) Circulation
Tanda-tanda dehigrasi sebagai efek dari kehilangan cairan dan
elektrolit akibat mual/muntah.
4) Disability
Pengkajian mencakup status kesadaran pasien (GCS).
(Puspitasari, 2019).

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinik yang dilaksanakan
oleh perawat, yang ditunjukkan kepada kegiatan yang berhubungan
dengan promosi, mempertahankan kesehatan klien (Caksono, 2014).
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan
pembentukan sputum berlebih
b. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
nutrisi kurang
c. Defisit pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurang
tersedianya informasi.

3. Perencanaan
Perencaanaan adalah suatu tindakan langsung kepada klien yang
dilaksanakan oleh perawat yang ditunjukkan kepada kegiatan yang
berhubungan dengan promosi, mempertahankan kesehatan klien (Caksono,
2014).

a. Diagnosa Keperawatan: Bersihan jalan napas tidak efektif


Intervensi:
1) Pantau keadekuatan patensi jalan napas. Rasional: Patensi
jalan napas adekuat akan membantu suplai O2 secara
maksimal
2) Kaji irama napas dan adanya suara napas tambahan.
Rasional: Irama napas cepat, dangkal dan adanya suara napas
tambahan mengindikasikan adanya sumbatan pada jalan
napas pasien.
3) Lakukan teknik clapping (menepuk bagian dada atau
punggung secara perlahan). Rasional: Teknik clapping dapat
membantu memudahkan pengeluaran sputum dari paru.
4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi. Rasional:
Pemberian terapi farmasi dapat meringankan gejala dengan
cepat.

b. Diagnosa Keperawatan: Nutrisi kurang dari kebutuhan


tubuh
Intervensi:
1) Jelaskan tentang manfaat intake nutrisi yang adekuat
kepada keluarga pasien. Rasional: Keluarga pasien
mengetahui tentang pentingnya nutrisi dalam tubuh.
2) Anjurkan keluarga untuk memberikan makan sedikit tapi
sering. Rasional: Mencegah terjadinya mual dan muntah
3) Anjurkan keluarga memberikan makanan yang disukai
pasien. Rasional: Meningkatkan nafsu makan pasien dan
keinginan pasien untuk makan.
4) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan komposisi
diet. Rasional: Diet tinggi protein, kalori, lemak dapat
membantu memperbaiki status gizi anak.

c. Diagnosa Keperawatan: Defisit pengetahuan keluarga


Intervensi:
1) Jelaskan secara sederhana mengenai proses penyakit,
etiologi, manifestasi klinis, cara penularan dan cara
pencegahan.Rasional: Untuk menambah
wawasan/pengetahuan orang tua pasien mengenai penyakit
TB.
2) Jelaskan tentang program pengobatan dan efek samping
penggunaan OAT. Rasional: Orang tua pasien dapat
memahami dan mengetahui bagaimana program pengobatan
dan apa saja efek samping yang bisa muncul dari pengobatan
jangka panjang.
3) Tanyakan kembali (feedback) kepada orang tua pasien
mengenai apa yang sudah dijelaskan. Rasional: Memastikan
informasi yang sudah disampaikan dapat dipahami oleh
orang tua pasien.

4. Evaluasi
Evaluasi adalah perbadingan yang sitematis dan terencana tenatng
kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan
cara bekesinambungan dengan melibatkan klien, keluarga dan tenaga
kesehatan lainnya (Caksono, 2014).
a. Diagnosa keperawatan: Bersihan jalan nafas tidak efektif Kriteria
hasil:
1) Batuk mulai berkurang.
2) Irama napas vesikuler.
3) Patensi jalan napas adekuat ditandai dengan napas tidak sesak,
gelisah (-), SpO2 normal (95-100%).
(Nanda NIC-NOC, 2015).

b. Diagnosa Keperawatan: Nurisi kurang dari kebutuhan tubuh


Kriteria hasil:
1) Keluarga mampu menjelaskan kembali tentang nutrisi
2) Keluarga melaporkan peningkatan nafsu makan.
3) Menunjukkan berat badan meningkat.
4) Nafsu makan anak meningkat.
(Nanda NIC-NOC, 2015).

c. Diagnosa Keperawatan: Defisit pengetahuan keluarga


Kriteria hasil:
1) Orang tua pasien dapat menjelaskan penyakit TB Paru secara
sederhana.
2) Orang tua pasien mengetahui efek samping penggunaan OAT
jangka panjang.
(Nanda NIC-NOC, 2015).

Anda mungkin juga menyukai