Anda di halaman 1dari 56

Edisi 18 Volume X No.

01 Juni 2015 ISSN : 1978-1253

Media Inspirasi & Ide Litbangkes

INDONESIA
DARURAT RESISTENSI
VEKTOR DBD

DENGUE,
ANTARA VAKSIN DAN SEROTIPE BARU

PNS berburu beasiswa,


why not??!

Ceritaku di Lobar:
“…Yang Berpengaruh Yang Blusukan … “

Japanese encephalitis
Arthropod Viral Disease Yang Belum Banyak Dikenal
KILAS PERISTIWA
Mereka menempuh jarak lebih dari 200 KM un-
tuk sampai di Loka Litbang P2B2 Ciamis dari
Kampus Kesehatan Lingkungan, Poltekkes Ban-
dung. Beberapa moment kebersamaan tera-
badikan melalui lensa Kilas Peristiwa...

Gerombol segitiga

Bersantai Menonton...

Siap beraksi….

Tanpa meja….
Mounting practice...
Kementerian Kesehatan RI
Badan Litbang Kesehatan
Loka Litbang P2B2 Ciamis
©2015
ISSN : 1978-1253
SUSUNAN REDAKSI
Penanggung Jawab:
Lukman Hakim, SKM, M.Epid

Pemimpin Redaksi:
Mara Ipa, SKM, MSc

Sekretaris Redaksi:
Dani Arif Cahyadi, S.Sos

Redaktur:
Joni Hendri, SKM, M.Biotek  Firda Yanuar Pradani, S.Si. M.Si
Rohmansyah W.N, S.Sos  Hubullah Fuadzy, S.Si  M. Umar Riandi, S.Si
Mutiara Widawati, S.Si  Aryo Ginanjar, SKM

Kontributor Tamu:
Endang Puji Astuti, SKM, M.Si  Heni Prasetyowati, S.Si, M.Sc  Fery Jelitawati

Redaktur Pelaksana:
Pandji Wibawa Dhewantara, S.Si, MIL

Keuangan:
Nela Maliana, SE

Layout dan Fotografer:


Pandji Wibawa Dhewantara
Wawan Ridwan
Joni Hendri

Alamat Redaksi:
Loka Litbang P2B2 Ciamis
Jl. Raya Pangandaran Km.03 Ds. Babakan Kp. Kamurang
Pangandaran 46396, Jawa Barat – Indonesia
Telp/Faks: (0265) 639375
Email: sekretariat.inside@gmail.com

Terbit Pertama:
Desember 2006 (Terbit 2 Kali dalam setahun)

Diterbitkan oleh:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan
Loka Litbang Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang (P2B2) Ciamis

Redaksi menerima karya tulis asli. Redaksi berhak menyunting tulisan yang akan dimuat tanpa mengubah isi. Tulisan yang dimuat
sepenuhnya menjadi hak Majalah Inside. Pengiriman karya tulis disertai dengan alamat lengkap, nomor telepon yang dapat dihubungi,
dan alamat pos elektronik (pos-el). Untuk tulisan panjang (5-7 halaman) maksimal 10000 karakter tanpa spasi di Microsoft Word,
sedangkan tulisan pendek (1-2 halaman) maksimal 2000 karakter tanpa spasi.
Hak cipta atas seluruh artikel yang dimuat di majalah ini sepenuhnya milik redaksi. Redaksi berhak untuk mengumumkan dan
memperbanyak, tanpa perlu persetujuan penulis.

Cover image:
DAFTAR ISI

FOKUS UTAMA

6
INDONESIA DARURAT RESISTENSI
VEKTOR DBD

11 Abate, intimidasi-kah bagi jentik


Aedes aegypti?

17
DENGUE,
ANTARA VAKSIN DAN SEROTIPE BARU

CAKRAWALA DAERAH

20 Ceritaku di Lobar: “…Yang Berpengaruh Yang Blusukan … “

MENGENAL PERNAPASAN SERANGGA


AKUATIK 23
31 PNS berburu beasiswa, why not??!
INSPIRASI

#penelitiprofesional: Hindari research misconduct!


34
Japanese encephalitis
38 Arthropod Viral Disease Yang Belum Banyak Dikenal

Investigasi

44 FILARIASIS DI KABUPATEN CIAMIS:


Sebaran Kasus dan Karakteristik Penderita

Berkenalan Yuk! Dengan Si KARIS dan Si KARSU 49


51 Renungan: Milik Sang Pencipta
2 Edisi 18  Juni 2015
SUDUT REDAKSI

Marhaban Yaa Ramadhan…dengan mengucap syukur Alhamdulil-


lah, insIDE edisi pertama di Tahun 2015 terbit bersamaan dengan umat
muslim memasuki Bulan Ramadhan 1436H. Umat muslim sedunia lebih
kurang selama satu bulan diwajibkan menjalankan ibadah puasa. Ada
yang memaknai Bulan Suci Ramadhan semacam jeda dari sebelas bulan
yang ada dalam satu tahun. Berbagai manfaat puasa bagi kesehatan pun
telah diteliti diantaranya sebagai memelihara keseimbangan ritme organ
pencernaan.Demikian pula keberadaan makhluk hidup di alam keseim-
bangan perlu dijaga, tidak terkecuali serangga. Adalah Natural Equilibri-
um, yaitu alam diciptakan Tuhan dalam kondisi seimbang Beberapa se-
rangga ada yang bermanfaat ada yang sekedar mengganggu tetapi ada
juga yang berbahaya salah satunya adalah nyamuk.
Edisi kali ini, Majalah insIDE mengangkat issue mengenai resisten-
si Aedes aegypti sebagai vektor penular virus dengue terhadap insek-
tisida. Fokus utama pada edisi kali ini di antaranya: Indonesia Darurat
Resistensi Vektor DBD; Abate, Intimidasi-kah bagi jentik Aedes aegypti?.
Informasi terkini seputar virus Dengue, antara vaksin dan serotipe baru,
semoga dapat menambah referensi pembaca semua.
Tulisan yang tidak kalah menginspirasi insIDE sajikan seperti pa-
da Rubrik Cakrawala Daerah Ceritaku di Lobar : Yang berpengaruh yang
Blusukan; kemudian tulisan-tulisan menarik lainnya diantaranya:
Mengenal Pernapasan Serangga Akuatik; PNS berburu beasiswa, why not;
dan panduan bagi peneliti #penelitiprofesional :Hindari Research Miscon-
duct!.
Semoga suguhan berbagai topik tulisan di majalah insIDE kali ini,
dapat me-refresh informasi dan menambah pengetahuan baru sebagai
persembahan kami menyajikan tulisan tulisan yang lebih kekinian bagi
para pembaca insIDE dimanapun berada. Kami pun selalu menantikan
tulisan, kritik dan masukan dari Pembaca sekalian. Selamat menjalankan
ibadah puasa…!

Redaksi

Edisi 18  Juni 2015 3


EDITORIAL

Program pencegahan dan pengendalian Demam Berdarah Dengue di Indone-


sia selama ini dilakukan dengan kebijakan case management (case supportive) dan
pengendalian vektor. Case management atau penanganan kasus dilakukan untuk
mencegah meningkatnya angka kesakitan (IR) dan angka kematian (Case Fatality
Rate/CFR). Penanganan terhadap penderita DBD yang dilakukan sampai saat ini
bersifat supportif karena obat dan vaksin DBD yang memadai belum ditemukan,
sampai saat ini masih dalam tahap penelitian sehingga upaya pengendalian vektor
menjadi salah satu cara efektif untuk menurunkan kasus dan penyebaran DBD. Pen-
gendalian vektor yang sudah dilakukan selama ini oleh program selain partisipasi
masyarakat melalui kegiatan menguras, mengubur, menutup (3M) adalah dengan
menggunakan insektisida. Insektisida digunakan untuk mengendalikan vektor DBD
baik pada fase larva maupun fase dewasa (nyamuk). Pada fase larva menggunakan
larvasida (Temephos dan Insect Growth Regulator/IGR) dan pengendalian pada fase
dewasa menggunakan adultisida (Fogging).
Organofosfat dan malathion adalah golongan insektisida yang sudah
digunakan sejak tahun 1970, sedangkan golongan piretroid sintetik (antara lain per-
methrin dan deltamethrin) digunakan sejak tahun 1980-an sampai sekarang. Pengen-
dalian larva Ae. aegypti saat ini menggunakan temephos dalam bentuk granula 1%
yang dilarutkan dalam wadah/penampungan air di rumah tangga. Malathion, perme-
thrin atau deltamethrin digunakan untuk pengendalian rutin jangka pendek dengan
cara thermal fogging ataupun ultra low volume terhadap Ae. aegypti dewasa bila
terjadi ledakan kasus DBD. Masyarakat biasa menggunakan insektisida aerosol atau-
pun semprot di rumah tangga (household sprays) yang mengandung pyrethroid.
Penggunaan insektisida dalam jangka lama akan memberikan dampak terjadinya
resistensi vektor dan pencemaran lingkungan. Resistensi adalah kemampuan popu-
lasi vektor untuk bertahan hidup terhadap suatu dosis insektisida yang dalam
keadaan normal dapat membunuh spesies vektor tersebut. Jenis resistensi ini dapat
berupa resistensi tunggal, resistensi ganda (multiple) dan resistensi silang .
4 Edisi 18  Juni 2015
Faktor-faktor yang menyebabkan berkembangnya resistensi meliputi faktor
genetik, biologi dan operasional. Faktor genetik antara lain meliputi frekuensi,
jumlah dan dominasi alel resisten. Faktor biologi-ekologi meliputi perilaku serang-
ga, jumlah generasi per tahun, keperidian (fecundity), mobilitas dan migrasi. Faktor
operasional meliputi jenis dan sifat insektisida yang digunakan, jenis-jenis insek-
tisida yang digunakan sebelumnya, persistensi, jumlah aplikasi dan stadium sasaran,
dosis, frekuensi dan cara aplikasi, bentuk formulasi dan lain-lain. Faktor genetik dan
biologi-ekologi lebih sulit dikelola dibandingkan faktor operasional. Faktor genetik
dan biologi merupakan sifat asli serangga sehingga diluar pengendalian manusia.
Sejumlah penelitian yang dilakukan di berbagai wilayah di Indonesia
menemukan bahwa telah terjadi resistensi dari beberapa jenis insektisida dengan
dosis yang beragam. Besarnya potensi DBD sebagai masalah kesehatan membuat
upaya pengendalian vektor menjadi sangat penting. Namun adanya resistensi vektor
DBD terhadap beberapa insektisida yang telah secara luas digunakan menjadi suatu
tantangan yang harus segera diatasi. Diperlukan manajemen resistensi yang baik dan
diterapkan secara menyeluruh agar penggunaan insektisida hanya membawa efek
buruk terhadap kesehatan manusia tanpa berperan pada pengendalian vektor.

Edisi 18  Juni 2015


5
FOKUS UTAMA

INDONESIA DARURAT RESISTENSI


VEKTOR DBD
Oleh : Joni Hendri

Pendahuluan
Infeksi oleh virus dengue atau yang lebih populer disebut dengan demam
berdarah dengue (DBD) telah menjadi momok yang menakutkan bagi
penduduk dunia termasuk di Indonesia. Pada tahun 2013 Insiden Rate (IR)
DBD di Indonesia tercatat kurang lebih sebesar 35-40 per 100.000 penduduk
dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 0,73%.1 Dengan jumlah penduduk
sebanyak 253.609.643 jiwa (data BPS 2013) maka kurang lebih 8,9 juta jiwa
penduduk Indonesia berisiko terinfeksi virus dengue dan sebanyak 64.970 jiwa
meninggal dunia akibat virus mematikan ini.
Belum adanya vaksin dan obat anti-dengue yang saat ini siap digunakan,
mengharuskan para pemangku kebijakan menitikberatkan pengendalian in-
feksi dengue pada pengendalian serangga penyebar penyakit (vektor) yaitu
nyamuk Aedes aegypti maupun Aedes albopictus menggunakan berbagai jenis
insektisida. Berdasarkan peraturan pemerintah nomor 7 tahun 1973 tentang
“Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Insektisida”, in-
sektisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik, serta virus
yang dipergunakan untuk memberantas atau mencegah binatang-binatang
yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia. 2 Saat ini beberapa jenis in-
sektisida telah digunakan sebagai pengendali nyamuk seperti Organofosfat,
Karbamat, Sintetis piretroid, Neonikotinoid, Fenilpirasol, Hormon tertentu maupun
beberapa insektisida nabati dan mikroba. 2
Sejarah dunia mencatat, insektisida telah digunakan oleh manusia sekitar 1000
tahun sebelum masehi. Saat itu, insektisida masih berupa insektisida alami seperti
belerang, ekstrak lada maupun nikotin untuk mematikan beberapa hama tanaman.
Pada tahun 1940 tepatnya pada saat perang dunia II, insektisida sintetis telah di-
produksi secara terbatas seperti arsenik, rotenon, gas sianida dan klorit. Dichlorodi-
phenyltrichloroethane (DDT) merupakan insektisida sintesis pertama yang dibuat
sebagai pengendali serangga.3 Penggunaan DDT di Indonesia sebagai insektisida
diawali oleh pemerintah Belanda sebagai pengendali nyamuk malaria pada tahun
1945 di Jawa Barat.4 Selajutnya organofosfat dan piretriod sintetik tercatat telah
digunakan sejak tahun 1970an.5
Selain dapat memutus rantai penularan penyakit serta menurunkan popu-
lasi dan umur vektor, penggunaan insektisida memiliki dampak lainnya yaitu
resistensi. Menurut WHO resistensi adalah gambaran situasi dimana serangga
target seperti nyamuk tidak dapat dibunuh oleh dosis standar insektisida atau

6 Edisi 18  Juni 2015


berhasil menghindari kontak dengan
insektisida. Serangga dapat memiliki
sifat resistensi tunggal, resistensi gan-
da (multiple) maupun resistensi silang
(cross resistance).2 Sejak dilaporkan
oleh Melander tahun 1914, resistensi
menjadi hal yang menarik untuk
diteliti.6 Teridentifikasi pula bahwa
insektisida DDT yang dianggap “dewa”
pada saat pertama kali ditemukan juga
diduga telah mengalami penurunan
daya bunuh.7
Berdasarkan mekanismenya re-
sistensi dapat digolongkan dalam dua
katagori yaitu biokimia dan perilaku. Resistensi vektor DBD merupakan dampak dari penggunaan insek-
tisida (ilustrasi gambar oleh: almeradhika_toon)
Mekanisme biokimia berkaitan
dengan adaptasi berdasarkan peru-
bahan enzimatik sehingga serangga seperti nyamuk mampu mengurai molekul
insektisida menjadi molekul lain yang tidak mematikan (detoksifikasi). Jika
terjadi terus menerus hal tersebut akan mengarah pada perubahan genetik
pada aras molekular serangga dan tentunya dapat diturunkan ke generasi beri-
kutnya. Sedangkan resistensi perilaku berkaitan dengan kemampuan serangga
yang secara alami merubah perilakunya sehingga insektisida tidak mencapai
targetnya.2
Menurut WHO status resistensi ditentukan melalui tiga dasar penentuan
yaitu molekuler, fenotipik, dan kegagalan pengendalian. Resistensi molekuler
didasarkan pada mutasi gen yang berhubungan dengan adanya sifat resistensi
yang diturunkan. Interpretasi tingkat resistensi dapat disimpulkan berdasar-
kan individu vektor yang memiliki gen resisten serta prekuensinya dalam pop-
ulasi serangga uji. Resistensi fenotipik didasarkan pada uji kerentanan vektor
terhadap dosis standar dari insektisida sehingga diperoleh informasi prosen-
tase strain vektor tertentu yang toleran terhadap dosis standar insektisida.
Sedangkan untuk kegagalan pengendalian didasarkan pada fenomena epi-
demologi dimana resistensi diidentifikasi sebagai penyebab meningkatnya
kasus di wilayah tertentu yang dibuktikan dengan adanya kegagalan pengen-
dalian vektor di lapangan. Dalam pengendalian serangga seperti nyamuk
penyebar penyakit, metode terakhir ini tidak digunakan, pengendalian vektor
seyogyanya diketahui dan dikendalikan dengan sesegera mungkin tanpa
menunggu bukti kegagalan pengendalian.6

Status Resistensi Nyamuk DBD Di Indonesia


Jika merunut ke belakang, penggunaan insektisida kimia oleh pemerintah
sudah dilakukan sejak tahun 1970an melalui foging intensif terhadap rumah

Edisi 18  Juni 2015 7


dengan radius 100 meter dari penderita DBD.8 Insektisida yang digunakan saat
itu kemungkinan adalah dichlorodiphenyltrichloroethane (DDT) yang juga biasa
digunakan sebagai kontrol nyamuk penular penyakit malaria. Selanjutnya pada
tahun 1980 temofos 1% mulai digunakan secara masal untuk membunuh jentik
nyamuk sebagai insektisida pendamping pelaksanaan fogging. Hasil evaluasi
menunjukkan bahwa penggunan kombinasi insektisida saat itu dilaporkan
mengalami keberhasilan dalam menurunkan vektor 9, namun demikian jika
merujuk artikel lainnya diketahui bahwa secara umum kasus infeksi dengue di
Indonesia dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan. 1
Resistensi insektisida terhadap nyamuk di Indonesia secara umum sudah
mulai dilaporkan pada tahun 1980 dimana nyamuk Anopheles terindikasi resis-
ten terhadap insektisida DDT di Jogjakarta dan beberapa daerah di Jawa Ti-
mur.10 Selanjutnya, publikasi pada tahun 1977 menyebutkan bahwa Aedes telah
resisten terhadap DDT dari hasil koleksi nyamuk yang ada di Jakarta. 11
Setelah itu beberapa penelitian mengenai resistensi berbagai jenis insek-
tisida terus bermunculan. Jentik Aedes terlaporkan telah resisten terhadap
temefos 1% di Jakarta, Kota Bandung, Kota Bogor, Kota Tasikmalaya, Kota Suka-
bumi, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Garut, Yogyakarta, Surabaya Palem-
bang, dan Banjarmasin Barat.12–18 Vektor DBD juga terlaporkan telah resisten
terhadap Malation 0,8%, Permetrin 0,75%, Sipermetrin 0,05%, D-aletrin, Delta-
metrin 0,05%, Bendiocarb 0,1%, Lamdasihalotrin 0,05% dan etofenfork 0,5%
di beberapa wilayah di Indonesia. 13,14,17,19,5,20–23 Hal ini menunjukkan bahwa
hampir semua insektisida yang digunakan di Indonesia telah mengalami
penurunan daya bunuh terhadap nyamuk penyebar penyakit DBD. Walaupun
bersifat individual namun jika kondisi ini terus dibiarkan maka cepat atau lam-
bat pada masa yang akan datang bukan tidak mungkin semua vektor DBB men-
jadi nyamuk yang sulit untuk dikendalikan.

Pemetaan Status Resistensi Sebagai Dasar Manajemen Resistensi Insek-


tisida
Manajemen resistensi vektor terhadap insektisida adalah hal yang sangat
perlu dilakukan sebagai konsekuensi penggunaan bahan tersebut untuk pen-
gendalian infeksi virus dengue. Pemangku kepentingan yang akan melakukan
pengendalian perlu melakukan kajian tentang riwayat penggunaan insektisida
secara menyeluruh bukan hanya pada sektor kesehatan saja tapi juga pada
sektor pertanian, rumah tangga maupun pihak lain yang menggunakan insek-
tisida. Dengan demikian pengendalian vektor akan efektif dan tepat sasaran
serta dapat mencegah atau setidaknya memperlambat timbulnya resistensi
vektor.2
Salah satu informasi yang sangat mendesak untuk diketahui adalah
pemetaan status kerentanan vektor di Indonesia. dengan adanya informasi ini
maka para pemangku kepentingan dapat menetukan jenis insektisida yang te-
pat untuk digunakan di masing masing daerah. Selain itu pemahaman mengenai

8 Edisi 18  Juni 2015


status resistensi di suatu wilayah dapat memberikan gambaran mengenai
mekanisme terjadinya perubahan kerentanan vektor. Pada bahasan sebe-
lumnya diketahui bahwa hampir semua insektisida yang pernah digunakan di
Indonesia telah mengalami penurunan daya bunuh dan terjadi di beberapa dae-
rah. Namun demikian informasi tersebut tidak merata dan terjadi dalam
rentang waktu yang bervariasi pula.
Sebagai jawaban dari kebutuhan program tersebut maka pada tahun 2015
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Re-
publik Indonesia melakukan kajian untuk memperoleh gambaran mengenai
peta status resistensi di Indonesia pada tingkat provinsi. Penelitian akan dil-
akukan di 34 provinsi dan melibatkan seluruh instansi yang ada dibawah ampu-
an Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat. Penelitian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi penggunaan jenis insektisida di wilayah endemis DBD,
mengetahui sebaran jentik nyamuk vektor, mengetahui status kerentanan ter-
hadap insektisida fase dewasa dan pra dewasa serta mengetahui faktor yang
berpengaruh terhadap status resistensi vektor. Uji resistensi nyamuk dewasa
akan dilakukan terhadap insektisida Malation 0,8%, Sipermetrin 0,05%, Delta-
metrin 0,05% dan Lamdasihalotrin 0,05%. Sedangkan untuk nyamuk stadium
pra-dewasa atau jentik akan dilakukan terhadap temefos 1%.

Penutup
Badan kesehatan dunia WHO masih mengandalkan pengendalian vektor
menggunakan insektisida secara terpadu sampai dengan tahun 2020 disamping
harapan keberhasilan vaksin dengue yang saat ini masih dalam tahap uji klinis
tahap III. Oleh karena itu pemetaan status resistensi di Indonesia merupakan
informasi krusial dalam pelaksanaan manajemen resistensi insektisida. Hara-
pannya dengan adanya informasi tersebut insektisida yang digunakan lebih
tepat sesuai dengan status resistensi masing masing daerah. [JH]

Daftar Pustaka
1. Karyanti, M. R. et al. (2014). The changing incidence of Dengue Haemorrhagic Fever in
Indonesia: a 45-year registry-based analysis. BMC Infect. Dis., Vol.14.
2. Ditjen PP dan PL. (2012). Pedoman Penggunaan Insektisida (Pestisida) Dalam Pengen-
dalian Vektor. Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.
3. Ware, D. . & Whitacre, D. (2006). An Introduction to Insecticides (4th edition). Univer-
sity of Monnesota (Internet). Diakses tanggal 28 Januari 2015. [Tersedia di: http://
ipmworld.umn.edu/chapters/ware.htm].
4. Alfiah, S. (2011). Dikloro Difenil Trikloroetan (DDT). Vektora, III:pp.149–156.
5. Ahmad, I., Astari, S. & Tan, M. (2007). Resistance of Aedes aegypti (Diptera: Cu-
licidae) in 2006 to pyrethroid insecticides in Indonesia and its association with oxidase
and esterase levels. Pakistan J. Biol. Sci., Vol. 10:pp.3688–3692.
6. WHO. (2012). Global strategy for dengue prevention and control 2012-2020. 1–34
WHO Press, Genewa, Swiss.
7. IRAC. Insecticide Resistance: Causes and Action. Southern IPM Centre (Internet) di-

Edisi 18  Juni 2015 9


akses tanggal 25 januari 2015 [Tersedia di: www.sripmc.org / IRACMOA / IRMFact-
Sheet.pdf].
8. Kusriastuti, R. & Sutomo, S. (2005). Evolution of Dengue Prevention and Control
Programme in Indonesia DF / DHF Disease Burden. Dengue Bull., Vol.29:pp.1–7.
9. Suroso, T. (1996). Dengue Haemorrhagic Fever in Indonesia: Epidemiological Trend
and Development of Control Policy. Dengue Bull., Vol. 20:pp.35–40.
10. Kirnowardoyo, S. (1985). Status of Anopheles malaria vectors in Indonesia. Southeast
Asian J. Trop. Med. Public Health Vol.16:pp.129–132.
11. Chadwick, P. R., Invest, J. F. & Bowron, M. B. (1977). An Example of Cross-
resistance to Pyrethroids in DDT-resistant Aedes aegypti. Pestic. Sci., Vol.8:pp.618–
684.
12. Mardihusodo, S. J. (1995). Microplate assay analysis of potential for organophosphate
insecticide resistanse in Aedes aegypti in the Yogyakarta Municipality, Indonesia.
Berkala Ilmu Kedokteran, Vol. XXVII.
13. Raharjo, B. (2006). Uji Kerentanan (Susceptibility test) Nyamuk Aedes aegypti
(Linnaeus) Dari Surabaya, Palembang Dan Beberapa Wilayah Di Bandung. (Tesis),
Institut Teknologi Bandung, Bandung.
14. Sinta, Sukowati, S. & Fauziyah, A. (2008). Kerentanan Nyamuk Aedes aegypti Di
Daerah Khusus Ibukota dan Bogor terhadap Insektisida Malathion dan Lamdacyhalo-
thrin. J. Ekol. Kesehat., Vol. 7:pp.722–731.
15. Mulyatno, K. C., Yamanaka, A., Ngadino & Konishi, E. (2012). Resistance of Aedes
aegypti (L.) larvae to temephos in Surabaya, Indonesia. Southeast Asian J. Trop. Med.
Public Health, Vol. 43:pp.29–33.
16. Istiana, Heriyani, F. & Isnaini. (2012). Resistance status of Aedes aegypti larvae to
temephos in West Banjarmasin. Buski, Vol. 4.
17. Putra, R. ., Ahmad, I., Rahayu, R., Susanti, S. & Prasetyo, D. (2013). Mapping of Mos-
quito Aedes Aegyptii and Aedes Albopictus Biochemical Resistance to Insecticide
From Reasearch to Community Services.(Internet) Diakses tanggal 25 Januari 2015,
[Tersedia di: http://www.lppm.itb.ac.id/research/?p=1161]
18. Fuadzy, H., Hodijah, D. N., Jajang, A. & Widawati, M. (2015).Kerentanan Larva Ae-
des aegypti Terhadap Temefos di Tiga Kelurahan Endemis Demam Berdarah Dengue
Kota Sukabumi. Beletin Penelit. Kesehat. In Press.
19. Astari, S. & Ahmad, I. (2005). Uji Resistensi dan Efek Pyperonyl Butoxid Sebagai
Sinergis Pada Tiga Strain Nyamuk Aedes aegypti (Linn) (Diptera:Culicidae) Terhadap
Insektisida Permetrin, Cypermetrin dan D-Aletrin. Bul. Penelit. Kesehat., Vol.
33:pp.73–79.
20. Widiarti et al. (2011). Peta Resistensi vektor Demam Berdarah Dengue Aedes aegypti
Terhadap Insektisida Kelompok Organofosfat, Karbamat dan Piretroid di Provinsi
Jawa Tengah dan Derah Istimewa Jogjakarta. Bul. Penelit. Kesehat., Vol. 39.
21. Pradani, F. Y., Ipa, M., Marina, R. & Yuliasih, Y. (2011). Status Resistensi Aedes
aegypti dengan Metode Susceptibility di Kota Cimahi terhadap Cypermethrin. Aspira-
tor, Vol. 3:pp.18–24.
22. Nurjanah. (2013). Status Kerentanan Vektor Aedes aegypti terhadap Insektisida dan
Kaitannya dengan Kejadian Kasus Demam Berdarah di Kota Bogor. (Tesis) IPB, Bo-
gor.
23. Sunaryo, Ikawati, B., Rahmawati & Widiastuti, D. (2013). Status Resistensi vektor
Demam Berdarah Dengue Aedes aegypti Terhadap Malathion 0,8%, Permethrin 0,25%
Di Provinsi Jawa Tengah. J. Ekol. Kesehat., Vol. 132.

10 Edisi 18  Juni 2015


FOKUS UTAMA

Abate, intimidasi-kah bagi jentik Aedes aegypti?


Oleh : Hubullah Fuadzy

K
reatif, tak terpikirkan, namun belum tentu benar. Sekilas
yang terpikir setelah membaca berita Pikiran Rakyat
(26/01/2015) mengenai masyarakat Desa Jatisura di
Kabupaten Majalengka yang melakukan fogging massal
menggunakan asap dari serabut kelapa dicampur bubuk abate. Pros-
esnya sederhana, hanya menaburkan bubuk abate pada sabut kelapa
kering yang disimpan pada wadah yang terbuat dari batok kelapa,
kemudian dibakar agar mengepul asap. Harapan masyarakat adalah
nyamuk Aedes aegypti yang ada di dalam dan luar rumah dapat mati setelah kontak
dengan asap tersebut. Walaupun, diakui oleh tokoh masyarakat setempat belum ada
bukti yang menyatakan bahwa nyamuk tersebut mati.
Upaya pengendalian vektor tersebut muncul akibat kekecewaan masyarakat Desa
Jatisura kepada pihak pemerintah setempat yang dinilai lamban dalam mengan-
tisipasi merebaknya penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di wilayah tersebut.
Selain itu, muncul pula kekhawatiran masyarakat apabila melihat kondisi curah hu-
jan yang cukup tinggi, serta keadaan lingkungan pemukiman yang sangat berpotensi
bagi perkembangbiakan nyamuk Ae. aegypti sebagai serangga penular penyakit
DBD.
Penyakit DBD ini disebabkan oleh virus dengue, ditularkan oleh nyamuk Aedes ae-
gypti sebagai vektor dominan dan Aedes albopictus sebagai vektor sekunder. Penu-
laran terjadi karena kebutuhan biologis nyamuk untuk mematangkan telurnya, beru-
pa darah manusia (antropofilik). Apabila darah manusia itu terinfeksi virus dengue,
maka nyamuk selama hidupya akan terinfeksi virus dengue juga. Pada saat nyamuk
tersebut menghisap darah manusia lainnya, maka sebagian virus dengue akan berpin-
dah dari nyamuk ke manusia, terjadilah kesakitan DBD.
Angka kesakitan DBD di Jawa Barat sungguh sangat memperihatinkan. Bahkan Gu-
bernur Jawa Barat secara langsung mengintruksikan jajaranya di Dinas Kesehatan
Jawa Barat untuk segera berkoordinasi dengan Kabupaten/Kota dalam rangka
mengantisipasi wabah DBD tahun 2015. Bukan hal yang berlebihan apabila kita
melihat pengalaman lonjakan kasus DBD di Jawa Barat. Pada tahun 2004 tercatat
kasus DBD di Jawa Barat mencapai 19.012 kasus dengan 214 diantaranya mening-
gal dunia (CFR 1,13%). Pada tahun 2010 meningkat tajam hingga mendapat predikat
sebagai propinsi dengan kasus DBD ke-2 tertinggi di Indonesia dengan jumlah kasus
mencapai 26.661 kasus dengan 184 diantaranya meninggal dunia (CFR 0,69). Ta-

Edisi 18  Juni 2015 11


hun 2013 menurun hingga
mencapai 23.118 kasus dan
162 diantaranya meninggal
dunia (CFR 0,70%). Muncul
kekhawatiran lonjakan kasus
di tahun 2015 sebagai
konsekuensi dari siklus lima
tahunan DBD.
Mengurai penyakit DBD di
Jawa Barat, sungguh sangat
beralasan apabila warga Jawa
Barat merasa kecewa dan
khawatir dengan kembali
merebaknya DBD. Rasa itu
mungkin terwakili oleh
masyarakat Desa Jatisura di
Kabupaten Majalengka. Lihat
saja, setiap ada kesakitan
akan diikuti oleh adanya kematian. Walaupun harus diakui bahwa pemerintah telah
berhasil menurunkan angka kematian, tapi angka kesakitan cenderung mengalami
kenaikan yang berarti. Artinya jaminan kesehatan universal yang digagas pemerintah
melalui program BPJS/kartu sehat sebagai upaya kuratif telah berhasil.
Sebenarnya paradigma kuratif kurang tepat bila dijadikan sebagai prioritas
kesehatan, yang paling tepat adalah promotif dan preventif. Bagaimana caranya
supaya masyarakat itu tetap sehat. Paradigma kuratif membutuhkan tenaga, waktu,
dan biaya besar yang harus ditanggung pemerintah, sedangkan promotif-preventif
merupakan swadaya masyarakat. Apabila paradigma promotif dan preventif yang
menjadi prioritas kesehatan, dan masyarakat Indonesia telah memahami dan menga-
malkannya, maka anggaran kuratif yang besar tersebut dapat dialihkan pada pem-
bangunan sumber daya untuk mencapai masyarakat madani.
Salah satu upaya preventif dalam penanganan penyakit DBD adalah menggalakkan
program pemberantasan sarang nyamuk (PSN) plus dimasyarakat, yaitu menguras,
menutup, dan mengubur tempat penampungan air yang berpotensi menjadi habitat
bagi Ae. aegypti plus penggunaan insektisida. Inti dari program ini adalah bagaimana
caranya supaya masyarakat memahami dan mengamalkan perilaku hidup bersih dan
sehat (PHBS), khususnya di rumah-rumah penduduk dan lingkungan sekitar pem-
ukiman.
Pada dasarnya sampai dengan detik ini belum ditemukan penanganan DBD yang
efektif dan berkelanjutan selain dari pelaksanaan PSN plus. Adapun pemanfaatan
insektisida untuk mengendalikan populasi Ae. aegypti hanya penanganan sementara
saja. Sebagai gambaran saja, hari ini dan dua minggu kemudian satu pemukiman

12 Edisi 18  Juni 2015


dilakukan pengasapan (fogging) dan jentiksida, semua populasi Ae. aegypti mati,
baik jentik, maupun nyamuk dewasa. Namun tidak dilakukan PSN, maka dua
minggu selanjutnya (1 bulan), akan ditemukan Ae. aegypti kembali di rumah-rumah
penduduk. Kenapa? Ini terkait dengan keunikan nyamuk Ae. aegypti. Telur Ae. ae-
gypti mampu menempel pada sela-sela wadah/bak/penampungan air lainnya yang
kering selama kurang lebih 6 bulan. Oleh karena itu, penggunaan insektisida tanpa
menyikat wadah/bak/penampungan air lainnya hanya akan membunuh jentik, dan
nyamuk dewasa saja. Telur nyamuk yang menempel pada wadah yang kering, be-
berapa bulan kemudian tergenang oleh air hujan, maka telur dapat menetas menjadi
jentik, kemudian menjadi pupa, dan akhirnya nyamuk dewasa yang siap menularkan
penyakit DBD. Tentu saja tidak menghilangkan fungsi insektisida, tetapi persepsi
yang harus dibangun adalah PSN diikuti oleh penggunaan insektisida, bukan pula
sebaliknya.
Dewasa ini muncul hasil-hasil penelitian yang menyatakan bahwa insektisida sintetik
baik dari golongan organofosfat, karbamat, dan piretroid telah resisten bagi Ae. ae-
gypti. Resistensi ini merupakan kendala serius dalam pengendalian vektor Aedes,
sebagai manifestasi utama penanganan DBD. Lebih serius lagi apabila resistensi ini
terjadi pada stadium jentik. Hal ini berdasarkan pengembangan teknologi insektisida
yang cukup pesat pada target nyamuk dewasa, dan lambat pada jentik. Sederhanan-
ya, apabila nyamuk dewasa telah resisten terhadap insektisida sintetik golongan or-
ganofosfat, maka dapat dirotasi dengan insektisida golongan piretroid. Berbeda
dengan insektisida untuk target jentik, yang diakui efektif oleh masyarakat dunia
hanya abate dari golongan organofosfat. Adapun penggunaan Bacillus thuringiensis
israeliensis (BTI), metopren, dan piriproksifren masih terus dikembangkan, dan be-
lum se-efektif temefos.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, menjadi menarik apabila pada kesempatan ini
diulas mengenai interaksi abate dengan jentik Ae. aegypti, dan bagaimana abate ini
menjadi insektisida yang istimewa dalam upaya pengendalian jentik Ae. aegypti.

Interaksi Abate dengan Jentik Aedes aegypti


Keampuhan abate dalam membunuh jentik Ae. aegypti belum dapat ditandingi oleh
larvasida lainnya. Dengan konsentrasi yang relatif kecil, abate mampu membunuh
100% jentik yang berada dalam penampungan air. Selain itu, sudah dapat dipastikan
tidak berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat, serta cara penggunaannya pun
relatif lebih mudah. Berdasarkan hal tersebut, tentu saja abate menjadi momok yang
menakutkan bagi jentik Ae. aegypti. Tapi apakah hanya sebatas itu?.
Abate merupakan merek dagang dari senyawa aktif pembunuh jentik, yaitu temefos.
Dikenal dua bentuk temefos yaitu Granule (GR) dan Emulsifiable Concentrate (EC).
Pemerintah Indonesia sendiri lebih mempopulerkan temefos dalam bentuk Granule
sebagai larvasida pengendali populasi jentik Ae. aegypti. Temefos ini sudah dipakai
pemerintah sejak tahun 1976. Pada tahun 1980, dipopularkan dengan merek dagang

Edisi 18  Juni 2015 13


Abate 1 G (bahan aktif: temefos 1%) ditetapkan sebagai bagian dari progam pember-
antasan massal Aedes aegypti di Indonesia. Program ini bertujuan untuk memutus
mata rantai penularan penyakit DBD dengan cara membunuh jentik Ae. aegypti di
daerah endemis dan sporadis, serta dilakukan secara terus menerus dengan konsen-
trasi tertentu untuk menghindari terjadinya wabah.
Konsentrasi temefos dalam 1
bungkus abate yang dianjurkan oleh
WHO adalah 0,02 mg/L sebagai kon-
sentrasi diagnostik. Pemerintah Indo-
nesia menerapkan aturan penggunaan
temefos dalam abate sebanyak 1 mg/
L sebagai konsentrasi operasional.
Berbeda, namun sebenarnya mem-
iliki tujuan yang sama. Dengan
teknologi slow release, abate mampu
melepaskan secara perlahan senyawa
temefos yang menyelimuti granul
(biasanya berupa butiran pasir) ke Salah satu contoh penggunaan temefos yang kurang tepat sasaran (sumber
dalam air bersih, sehingga konsentra- gambar :http://www.tanjungpinangpos.co.id/2011/33432/musim-hujan-
si air konstan pada 0,02 mg/L. Se- awas-dbd-dan-malaria)
bagai contoh, apabila air dalam pen-
ampungan telah habis, kemudian diisi kembali tanpa disikat, maka abate yang tersisa
akan melepaskan temefos secara perlahan hingga konsentrasi air mencapai 0,02 mg/
L. Begitu seterusnya, dengan asumsi apabila masyarakat menguras tempat penam-
pungan air setiap 2 minggu sekali maka abate dapat bertahan dalam air selama 3
bulan. hal ini sesuai dengan penelitian Garza-Robledo, et al (2011) di Meksiko yang
menyimpulkan bahwa rentang waktu efektifitas temefos adalah 91 hari setelah
ditaburkan pada tempat penampungan air.
Takaran Abate 1 GR yang dianjurkan oleh pemerintah adalah untuk 100 liter air un-
tuk 10 gram bubuk Abate. Apabila tidak memiliki alat untuk menakar, dapat
digunakan sendok makan dengan takaran satu sendok makan peres (rata bagian
atasnya) sama dengan 10 gram Abate 1 G. Apabila menggunakan kuantitas air yang
berlebih, takaran dapat disesuaikan.
Uraian diatas merupakan teori yang biasanya diajarkan oleh para fasilitator pelatihan
pengendalian vektor kepada audiensnya, atau para dosen kepada mahasiswanya.
Teori yang disampaikan terasa manis dan menggemaskan. Tidak salah apabila
dikatakan pada tahun 1980an abate ini sangat efektif dan diandalkan dalam pengen-
dalian jentik Ae. aegypti, berbeda dengan realitas di masyarakat pada dekade ini.
Pasalnya telah bermunculan permasalahan baru yang disebabkan oleh penggunaan
abate di masyarakat, mulai dari penipuan yang dilakukan oleh penjual abate ilegal
hingga perilaku masyarakat dalam penggunaan abate yang mengakibatkan terjadinya
resistensi insektisida.

14 Edisi 18  Juni 2015


Penelitian Fuadzy (2014) menemukan bahwa penjual abate ilegal memaksa kepada
warga masyarakat di Kota Tasikmalaya untuk membeli abate dengan harga yang
bervariasi, dan belum tentu juga abate tersebut mengandung temefos yang disyarat-
kan. Indikator yang paling nyata adalah pada kemasan tidak tercantum izin Dinas
Kesehatan, kandungan produk, dan cara penggunaannya. Hal tersebut memberikan
makna bahwa abate tersebut merupakan produk ilegal yang belum diketahui khasi-
atnya.
Abate tersebut, kemudian ditaburkan sembarang oleh masyarakat tanpa aturan pa-
kai. Menurut pengakuan warga, diketahui bahwa terdapat beberapa warga yang
menaburkan 1 bungkus abate ke sumur, ada yang menaburkan ke penampungan air
dispenser, ada pula yang menaburkan ke selokan. Diketahui pula bahwa ada sebagi-
an masyarakat yang memperoleh abate dari kader kesehatan, kemudian ditaburkan
pada bak mandi. Sebulan kemudian, membeli pula dari penjual abate dan ditabur-
kan lagi di bak mandi, sehingga terjadi peningkatan frekuensi penggunaan abate.
Perilaku masyarakat tersebut dapat mempercepat terjadinya resistensi jentik Ae.
aegypti terhadap temefos. Hal ini sesuai dengan WHO (1976), bahwa terdapat min-
imal 4 faktor yang mempengaruhi laju perkembangan resistensi serangga terhadap
suatu jenis insektisida, yaitu 1] faktor genetik, 2] faktor ekologi, 3] faktor fisiologi,
dan 4] frekuensi penggunaan insektisida sebagai faktor dominan.
Resistensi jentik Ae. aegypti terhadap abate di Kota Bandung telah dilaporkan oleh
Raharjo (2006) yang menyimpulkan bahwa jentik yang diperoleh di sekitar kampus
ITB dan perumahan Golf Ujung Berung memiliki tingkat resistensi rendah, se-
dangkan jentik yang berasal dari Jalan Gagak masih tergolong toleran namun men-
dekati resisten. Begitu pula penelitian Fuadzy (2014) di Kota Tasikmalaya, yang
menjelaskan bahwa dari 5 wilayah yang diteliti, jentik yang diperoleh dari Ke-
lurahan Karsamenak dan Tugujaya terindikasi resisten terhadap temefos.
Melonjaknya kondisi resistensi ini tidak hanya terjadi di kota-kota di Propinsi Jawa
Barat, tetapi terjadi pula di beberapa kota di Indonesia seperti Surabaya, Palem-
bang, Kendari, dan Bali. Hal ini sungguh sangat memprihatinkan dalam upaya pe-
nanganan kasus DBD. Abate sebagai insektisida andalan sudah tidak efektif lagi,
sedangkan alternatif lain masih terus dikembangkan untuk dapat digunakan secara
efektif dan efisien dalam pengendalian vektor.
Berdasarkan ulasan tersebut, muncul pertanyaan yang menggelitik. Apakah abate
masih mampu mengintimidasi jentik Ae. aegypti? Jawabannya bervariasi. Bila ja-
wabannya masih mampu mengintimidasi, alasannya adalah masih banyak wilayah
lain yang menyatakan bahwa Ae. aegypti masih rentan terhadap temefos, seperti
Kalimantan Selatan, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta. Bila jawabannya sudah tidak
mampu lagi, alasannya adalah pada dekade 1980, abate masih baru digunakan oleh
pemerintah sehingga Ae. aegypti belum beradaptasi dengan temefos. Tetapi pada
saat ini, abate sudah digunakan lebih dari 30 tahun, dan Ae. aegypti pun sudah lama
beradaptasi dengan temefos. Hal ini sesuai dengan penelitian Georgio (1998) bah-

Edisi 18  Juni 2015 15


wa resistensi serangga terhadap suatu insektisida akan terjadi apabila digunakan
secara intensif selama 2 sampai 20 tahun dan terus menerus sepanjang tahun.
Upaya yang terus dikembangkan dan menjadi tren saat ini adalah penelitian dan
pengembangan insektisida berbasis hayati. Hal yang paling menarik dari insektisida
hayati adalah bahan hayati berupa metabolit sekunder berpotensi sebagai toksin bagi
serangga, tidak menimbulkan resistensi pada serangga, serta Indonesia memiliki
keanekaragaman hayati yang melimpah. Oleh karena itu, upaya alternatif ini perlu
juga disokong oleh pemerintah melalui kebijakan dan anggaran yang mendukung
pengembangan insektisida hayati, serta peran lembaga swadaya masyarakat untuk
terus memberikan pendidikan bagi masyarakat untuk beralih menggunakan insek-
tisida hayati. [HF]

Referensi
Dinas Kesehatan Prop. Jawa Barat. Data Demam Berdarah Dengue di Jawa Barat. Unpublished.
Fuadzy H. 2014. Status Kerentanan Larva Aedes aegypti Linn. Terhadap Temefos Pada Daerah En-
demis DBD Di Kota Tasikmalaya. Laporan Riset Pembinaan Badan Litbang Kesehatan RI.
Garza-Robledo, A. a., Martínez-Perales, J. F., Rodríguez-Castro, V. a., & Quiroz-Martínez, H. 2011.
Effectiveness of Spinosad and Temephos for the Control of Mosquito Larvae At A Tire Dump In
Allende, Nuevo Leon, Mexico. Journal of the American Mosquito Control Association, 27(4), 404–
407. doi:10.2987/11-6133.1
Georghio GP, Melon R. dalam Georghio G.P., and Sito, T., 1998. (editors) Pest Resistance to Pesti-
cides. Plenum Press. New York. p. 769.
Kemenkes RI. 2011. Modul Pengendalian Demam Berdarah Dengue. Dirjen Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta.
Pikiran Rakyat. 2015. http://www.pikiran-rakyat.com/node/313670. Diakses tanggal 27 Februari 2015.
Raharjo B. Uji Kerentanan (Susceptibility Test) Nyamuk Aedes aegypti (Linnaeus) Dari Surabaya,
Palembang, dan Beberapa Wilayah di Bandung Terhadap Larvasida Temephos (Abate 1 SG).
Bandung: ITB Bandung. 2006.
WHO. 1976. Expert Committee on Insecticide Resistance of Vectors and Reservoirs of Diseases to
Pesticides. Criteria and meaning of tests for determining the susceptibility or resistance, un-
published document, annex of 585 WHO technical report series, WHO/VBC/ 81.6, 4 pp.
WHO. 2010. Specifications And Evaluations For Public Health Pesticides; Temephos. FAO/WHO Eval-
uation Report 340/2010

16 Edisi 18  Juni 2015


FOKUS UTAMA

DENGUE,
ANTARA VAKSIN DAN SEROTIPE BARU
Oleh: Heni Prasetyowati

B
erbicara masalah penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
mungkin sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat kita. Pen-
yakit yang disebabkan oleh virus dengue ini kerap menjadi wa-
bah yang menelan korban jiwa. Seperti diketahui bahwa virus
Dengue memiliki empat serotipe yang selama ini dikenal oleh masyarakat,
yaitu : DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Virus ini menunjukkan banyak
karakteristik yang sama dengan virus lain dari golongan flavivirus, seperti
mempunyai genom RNA rantai tunggal yang dikelilingi oleh nukleokapsid
ikosahendral dan terbungkus oleh selaput lipid. Juga virionnya mempunyai
diameter kira-kira 50 nm
Struktur antigen ke empat serotipe ini sangat mirip satu dengan yang
lain, namun antibodi terhadap masing-masing serotipe tidak dapat saling
memberikan perlindungan silang. Variasi genetik ini tidak hanya
menyangkut antar serotipe, tetapi juga didalam serotipe itu sendiri
tergantung waktu dan daerah penyebarannya. Secara klinik, ke empat
serotipe memiliki tingkatan manifestasi yang berbeda, tergantung dari
serotipe virus Dengue
Sampai saat ini belum ditemukan vaksin atau obat yang mampu me-
nangkal serangan virus Dengue. Sebenarnya, infeksi dengue memberikan
kekebalan seumur hidup untuk serotipe tertentu tetapi untuk infeksi beri-
kutnya dengan tipe berbeda memungkinkan peningkatan derajat kepara-
han. Pada kasus Demam Berdarah (DB) ringan, biasanya pasien akan sem-
buh sendiri, namun untuk beberapa kasus berat membutuhkan pertolongan
medis untuk dapat sembuh. Karena itu para ahli berupaya mengembangkan
vaksin untuk mengeliminasi keempat serotipe tersebut secara bersamaan.
Dasar pengembangan vaksin dengue berdasarkan pada mekanisme pato-
genesis DBD. Teori yang disetujui sampai sekarang ialah ADE yang terlibat
secara langsung dalam progresivitas DBD yang terkait infeksi sekunder het-
erolog. Orang yang sudah terkena infeksi primer dengue akan memiliki re-
spons imunitas humoral maupun seluler yang protektif terhadap tipe DENV
yang sebelumnya telah menginfeksi. Berdasarkan hal itu, dikembangkan

Edisi 18  Juni 2015 17


berbagai jenis vaksin seperti LAV, chimera, DNA dengue, dan DENV teri-
naktifasi.
Vaksin yang memiliki potensi untuk terus dikembangkan adalah LAV,
vaksin chimera, vaksin DNA dengue, dan vaksin DENV terinaktifasi. Vaksin
itu mampu menghasilkan respons imun protektif terhadap ke-4 tipe DENV.
Vaksin-vaksin tersebut pernah diujikan secara klinis dengan jumlah sampel
yang terbatas. Meski begitu, vaksin dengue ini dinilai belum siap diluncur-
kan ke masyarakat karena memiliki banyak hambatan serta kekurangan,
yaitu masih terjadi reaksi silang antar serotipe virus dengue, yaitu DEN-1,
virus DEN-2, virus DEN-3, dan virus DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan
menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan
antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga
tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe
lain. Reaksi silang ini memberikan dampak seseorang tidak dapat kebal
secara keseluruhan dari virus dengue. Oleh karena itu, penelitian vaksin
dengue ini masih terus diteliti, terutama di beberapa negara tropis seperti
Thailand dan Indonesia.
Agar vaksin dengue dapat memberikan proteksi optimal, diperlukan in-
duksi imunitas terhadap ke-4 tipe DENV sekaligus. Keamanan vaksin perlu
dipertimbangkan dan tidak menimbulkan ketidakseimbangan respons imun
yang dapat meningkatkan keparahan penyakit. Perlu diperhatikan pula
efektivitas protektif vaksin berupa imunogenisitas dan antigenisitas vaksin
dalam menginduksi respons imunitas humoral dan seluler. Perlu diper-
hatikan pula teknik produksi, penggunaan, dan penyimpanan vaksin yang
baik. Vaksin harus ekonomis dan mudah didapat karena sebagian besar
wilayah endemis DBD terdapat di negara yang sedang berkembang.
Belum juga vaksin dengue hasil penelitian bertahun-tahun diluncurkan,
para ahli mendapat tantangan baru yaitu adanya hasil penelitian yang men-
gidentifikasi subtipe virus dengue yang kelima. Penemuan yang kemukakan
oleh Nikos Vasilaksis ini menyebutkan bahwa sampel virus dengue yang
diperolah pada saat wabah di negara bagian Serawak Malaysia ini diduga
berbeda dengan keempat virus yang telah ada. Perbedaan ini terlihat pada
hasil sequensing dimana analisis filogenetik virus ini menunjukkan jalur
yang berbeda dengan keempat virus dengue lainya. Selain itu percobaan
pada monyet uji menunjukkan hasil antibodi yang berbeda terhadap virus
jenis baru ini dibandingkan dengan antibodi yang dihasilkan dari keempat
serotipe yang lain.
Keberadaan serotipe kelima ini teridentifikasi hanya pada satu orang
yang menderita DBD di Sarawak Malaysia. Nikos Vasilaksis menduga
kemungkinan serotipe ini beredar pada kera di daerah Sarawak dan telah

18 Edisi 18  Juni 2015


beredar di hutan Malaysia dan Indonesia untuk puluhan ribu tahun.
Dugaan ini didasarkan pada hasil penelitian mengenai siklus virus dengue
sylvatic (siklus penularan di hutan). Strain virus dengue sylvatic secara
ekologis dan evolusi memiliki garis keturunan yang berbeda. Strain ini
beredar di hutan Asia tenggara dan Afrika barat dan terpelihara diantara
kera dan nyamuk Aedes arboreal.
Jika dilihat filogenetiknya keempat virus dengue (DENV) serotipe yang
beredar di antara manusia muncul secara independen dari nenek moyang
virus dengue sylvatic. Pada awalnya keempat serotipe ini menginfeksi pri-
mata non-manusia. Namun seiring dengan keberadaan populasi manusia
yang besar dan cukup padat transmisi keempat virus dengue ini beralih an-
tar manusia dan terpelihara terus menerus oleh nyamuk. Disisi lain virus
dengue sylvatic yang asli masih ada dan dipertahankan pada primata non-
manusia melalui nyamuk Aedes di hutan Asia Tenggara dan Afrika Barat.
Meskipun siklus penularannya terjadi di hutan diantara kera, namun
terdapat bukti adanya kontak antara strain virus dengue ini dengan manu-
sia di Asia Tenggara dan Afrika. Infeksi virus ini juga menyebabkan penya-
kit yang parah pada manusia. Selain itu terdapat juga bukti eksperimental
yang menyatakan bahwa tidak ada penghalang adaptif untuk munculnya
strain virus dengue sylvatic ini dalam populasi manusia. Dengan kenyataan
ini menunjukkan siklus penularan virus dengue sylvatic ke manusia adalah
kemungkinan yang sangat besar terjadi.
Adanya penemuan dugaan serotipe dengue baru ini menjadi tantangan
tersendiri dalam pembuatan vaksin dengue. Mengingat butuh waktu lama
untuk menghasilkan suatu vaksin yang mampu memberi proteksi terhadap
empat serotipe sekaligus. Dengan adanya serotipe baru maka perlu
penelitian lebih lanjut mengingat kemungkinan adanya penularan serotipe
dengue yang baru ke manusia, sehingga proteksi bukan hanya untuk empat
serotipe tapi lima serotipe virus dengue. [HP]

Referensi
Researchers identify fifth dengue subtype” Lisa Schnirring, CIDRAP. http://www.cidrap.umn.edu/news-
perspective/2013/10/researchers-identify-fifth-. dengue-subtype
“First New Dengue Virus Type in 50 Years” Dennis Normile, Science. http://news.sciencemag.org/
health/2013/10/first-new-dengue-virus-type-50-years
“DENV-5: virus from the jungle comes to humans?” Ian McKay, Virology Down Under. http://
virologydownunder.blogspot.com.au/2013/10/denv-5-virus-from-jungle-comes-to-humans.html
“Fever from the forest: prospects for the continued emergence of sylvatic dengue virus and its impact
on public health” N. Vasilakis et al. Nat Rev Microbiol. 2011 June 13; 9(7): 532–541. http://
www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3321645/

Edisi 18  Juni 2015 19


CAKRAWALA DAERAH

Ceritaku di Lobar: “…Yang Berpengaruh Yang Blusukan … “


Oleh: Mara Ipa

“Karena hidup adalah sebuah perjalanan…”, kalimat yang


sederhana namun mempunyai kedalaman makna bagi siapa
yang membacanya. Seperti itulah yang saya rasakan untuk
memotivasi diri sendiri ketika akan memulai sebuah perjalan-
an atas tugas yang diemban ini. Perjalanan yang tentunya
dinanti untuk destinasi kali ini, “Bagaimana tidak?!” Lokasi
penelitian kali ini adalah tujuan wisata yang dikenal turis
mancanegara, yaitu Kabupaten Lombok Barat (Lobar). Sebut
saja salah satunya pantai Senggigi, eksotisme pantainya yang
bisa menghipnotis dengan pesona sunset yang ditawarkan.
Lalu, bergeser sedikit ke wilayah utara kita akan menemukan keindahan Lombok
Utara, “Waah, berjajar pulau-pulau atau bahasa sasaknya adalah Gili, tersebutlah
Trawangan, Meno dan Air. Siapa yang indera pendengarnya tidak langsung
merespon ketika menangkap lontaran kata tersebut…”

Bahasan kali ini, mari merapat sedikit ke jajaran lintas sektor, kita jeda dulu
bahasan tentang keindahan Pulau Lombok. PKK akronim dari Penggerak Kesejahter-
aan Keluarga sangat akrab di telinga para ibu-ibu, namun bagaimana geliat organ-
isasi terdepan di lingkungan masyarakat di era kekinian ini? Untuk yang satu ini Ka-
bupaten Lombok Barat sangat layak untuk bersuara lantang, adalah Ny. Hj. Nanik
Suryatiningsih Zaini Arony. Ketua Penggerak PKK yang satu ini berbagi kisahnya atas
perannya sebagai pembisik orang nomor satu di Kabupaten Lombok Barat, sehingga
gaya blusukan-nya sukses sebagai jalan tol dalam menyampaikan aspirasi warga
Kabupaten Lombok Barat.

Apa sih peran Ibu sebagai Ketua Penggerak PKK Kabupaten Lobar?
“Saya selaku ketua ini tugasnya membantu pemerintah yaa program pemerintah
apa yang harus saya lakukan karena saya sebagai isteri bupati berkewajiban untuk
membahasakan menyampaikan pesan dari Pemerintah Kabupten Lombok Barat…di
samping itu juga kami PKK punya program sendiri tapi saya sinergikan dengan pro-
gram pemerintah…”

Dengan siapa saja Ibu berbagi tugas?

20 Edisi 18  Juni 2015


“Saya selalu berkoordinasi dengan isteri
camat karena mereka ketua PKK Kecamatan
juga PKK Desa isteri kepala desa kita selalu
berkoordinasi ketemu, rutin, mungkin ini
satu-satunya di Indonesia, di sini di Lombok
Barat ada persatuan paguyuban isteri
kepala desa, itu memang saya bentuk waktu
itu supaya mudah untuk kita berkomunikasi
menyampaikan program-program yang ada,
baik di kabupaten maupun di kecamatan…”
Ketua Penggerak PKK Kabupaten Lombok Barat (Dok. Pribadi)

Bagaimana gaya kerja Ibu?


“Saya terjun langsung ke dusun bukan ke desa lagi…ada suatu kebanggan bagi
masyarakat kalau kita turun langsung ke dusun , kalau saya ke dusun isteri kepala
desa pasti kesana bahkan kalau saya turun ke dusun itu isteri kepala desa sekeca-
matan ikut nimbrung disana jadi masyarakatnya ikut seneng …”

“Karena bagaimanapun juga semua manusia siapapun orangnya apapun


pangkatnya pasti butuh pengayoman butuh dihargai, untuk itu kalau kita turun ke
dusun kan mereka merasa diperhatikan ”

Kenapa harus pake blusukan … apa ngga capek kan tinggal tunjuk
saja pasti diikuti?
“Ndak bisa itu … ndaak bisa karena sudah saya sampaikan seperti itu dengan
berbagai macam pola dan gaya…saya itu sampaikan ke isteri camat sampe saya
sudah evaluasi mau saya kasih hadiah kecamatan yang terbaik bagaimana isteri
Camat membina masyarakatnya sering turun ke desa-desa..karena begini masyara-
kat Indonesia ini kan masih berpikir emosional …mana yang sering didatengin mana
yang sering dikunjungi salaman itu yang dia senengi kan tapi dia apa isinya itu tidak
dia camkan…”

Menurut Ibu apa sih daya ungkit dari blusukan itu sendiri?
“Kendala-kendala di masyarakat di dusun kita tampung saya sampaikan ke Pak
Bupati karena kalau saya sampaikan ke Pak Bupati kan lewat jalan tol yaa pagi
berangkat sore nyampe laaa…”
“…kalau saya ke dusun lewat jalan yang goyang-goyang saya sampaikan ke
Pak Bupati ke dinas PU, ya walaupun gak langsung dibangun masyarakat itu
sudah seneng karena saya sudah janji nanti akan saya sampaikan, terus
petugas PU datang ngukur saja sudah seneng, kan merasa diperhatikan…”

Edisi 18  Juni 2015 21


Materi kesehatan sendiri apa saja yang disampaikan saat blusukan?
“Saya selaku Ketua PKK mengajak bersama-sama pengurus PKK memotivasi
masyarakat untuk membantu pemerintah kabupaten lombo barat disana yang saya
sampaikan tentang kesehatan misalnya bagaimana kebiasaan-kebiasaan yang tid-
ak baik supaya menjadi baik…merokok menyusui asi eksklusif…”

Bagaimana respon masyarakat dengan blusukan yang Ibu lakukan?


“Artinya dengan latar belakang yang berbeda ada yang sekolah ada yang tidak
tentu cara menyerap informasi juga berbeda …”
“Karena memang kalau kita lakukan dengan motivasi yang terus menerus dan
mereka itu menganggap kita itu sama dengan mereka tentu akan mudah mereka
itu serap akan informasi tersebut…”
“Kalau kita sudah akrab sama mereka tentu akan mudah dia akan melakukan peru-
bahan perubahan yang lebih baik tapi tentunya masyarakat ini juga ada yang ban-
del…”

Gaya blusukan menjadi hal yang biasa saat ini semenjak Presiden Jokowi
meng-expose-nya ketika menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Terlepas segala
pro dan kontra dari gaya blusukan ini, hal positif yang ditangkap sesuai dengan ura-
ian Ibu Bupati Kabupaten Lombok Barat bahwa ada kekuatan terhadap penerimaan
pesan itu sendiri ketika masyarakat lebih melihat “siapa” bukan “apa”. Penyam-
paian pesan dalam komunikasi kesehatan harus diakui bahwa ada perbedaan tang-
gapan atas pesan dan komunikator. Masyarakat lebih suka atau percaya pada
“siapa” yang mengatakan pesan dan bukan pesan itu sendiri. Hal ini membuktikan
bahwa pesan sangat erat hubungannya dengan siapa yang menyampaikannya
(Effendy,1992).*MI+

Penulis adalah peneliti Loka Litbang P2B2 Ciamis, Badan Litbang Kesehatan, Kemen-
terian Kesehatan RI

Referensi
Effendy, Onong Uchyana. 1992. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Remaja Rosda-
karya. Bandung.

22 Edisi 18  Juni 2015


PENDIDIKAN

MENGENAL PERNAPASAN
SERANGGA AKUATIK
Oleh: Muhammad Umar Riandi

Pendahuluan

Serangga akuatik berevolusi dari nenek moyang daratan dan beragam adaptasi diper-
lukan untuk dapat kembali ke air. Kadar oksigen dalam air relatif lebih sedikit
dibandingkan di udara karena karakteristik fisika dari air. Oksigen berdifusi 32.4000
kali lebih lambat di air dibandingkan dengan di udara. Begitu juga dengan kelarutan
oksigen di air hanya 12-15 ppm dibandingan kelarutan oksigen di udara sebesar
20.000 ppm. Hal tersebut menunjukkan sulitnya serangga untuk mendapatkan oksi-
gen di air. (http://entomology.unl.edu)
Karena itu, untuk mendapatkan jumlah oksigen yang setara di air, serangga air harus
dapat memfasilitasi pertukaran udara saat dipermukaan pada laju yang lebih tinggi
dibandingkan hewan yang bernapas di daratan. Akan tetapi, spirakel dari serangga
darat terlalu kecil untuk berfungsi didalam air, dan kutikula mereka impermeabel
bagi pertukaran udara. Karena itu, agar beberapa serangga dapat mengeksploitasi
kembali relung perairan, diperlukan beberapa adaptasi yang memungkinkan serangga
bernapas di air.
Berdasarkan Chapman (2013), serangga akuatik mendapatkan oksigen langsung dari
udara bebas atau dari oksigen terlarut di air. Untuk mendapatkan oksigen dari udara
bebas, serangga akuatik harus memiliki cara untuk tetap berhubungan dengan udara
di permukaan air atau melakukan kunjungan rutin ke permukaan air. Serangga aku-
atik yang mendapatkan oksigen terlarut di air memiliki kutikula permeabel, modifi-
kasi trakea menjadi insang, atau dengan bantuan gelembung plastron.
Serangga Akuatik yang Mendapatkan Oksigen dari Udara Bebas
Pada cara respirasi ini, serangga akuatik mendapatkan oksigen langsung dari udara
bebas di permukaan air. Dengan kata lain, serangga akuatik ini harus memiliki cara
untuk tetap berhubungan dengan udara bebas ataupun membawa udara bebas tersebut
sebagai cadangan oksigen.
Modifikasi Spirakel
Beberapa serangga, seperti larva Eristalis (Diptera), memiliki alat penghubung semi-
permanen dengan permukaan air ketika berada di dalam air. Hal ini memungkinkan
larva tetap berada di air selama mungkin. Larva Eristalis (Hover fly) memiliki sifon

Edisi 18  Juni 2015 23


panjang teleskopik yang dapat memanjang hingga 6 cm dari larva yang hanya pan-
jang 1 cm. Dengan sifon panjang ini, spirakel posterior dapat mencapai permukaan

Gambar 1. Larva Eristalis memiliki siphon panjang untuk dapat mengambil udara dari permukaan air (atas) (Chapman
2013). Nepa cinerea (kiri dan tengah bawah) dan Renatra linearis (kanan bawah) memiliki siphon yang berguna untuk
mengambil udara permukaan saat berada di alam air (http://aramel.free.fr)..

sementara tubuhnya lainnya di dasar lumpur. Modifikasi spirakel menjadi sifon ini
pun dapat dijumpai pada serangga Nepa cinerea (Water scorpion) dan Renatra li-
naris (Chapman, 2013).

Pada kebanyakan larva nyamuk (Culicidae) kunjungan periodik ke permukaan air


diperlukan untuk memperbarui oksigen pada tramkea. Masalah yang dihadapi oleh
serangga akuatik yang melakukan kunjungan ke permukaan adalah membuka lapisan
permukaan air dan mencegah air masuk ke dalam spirakel saat serangga menyelam.
Hal ini diatasi dengan adanya rambut hidrofobik pada sekeliling tepi spirakel yang
akan menutup spirakel saat menyelam dan terbuka akibat tegangan permukaan air
ketika serangga ke permukaan.

Beberapa spesies serangga akuatik lain mendapatkan oksigen dari udara bebas
dengan menancapkan spirakelnya hingga ke jaringan aerenkim tumbuhan air. Kebia-
saan ini dilakukan oleh larva Donacia (Coleoptera), Chrysogaster (Diptera), larva
dan pupa Notiphila (Diptera) dan larva
nyamuk Mansonia. Terkecuali larva
Mansonia, semua serangga akuatik
tersebut hidup di lumpur dengan kan-
dungan oksigen sangat sedikit
(Chapman, 2014).

Gambar 3. Modifikasi spirakel pada larva Mansonia

24 Edisi 18  Juni 2015


Pertukaran Udara melalui Gelembung Udara
Serangga air seperti larva nyamuk dapat me-
nyelam selama suplai oksigen pada trakea masih
ada. Akan tetapi, pada beberapa serangga akuatik
memiliki penyimpanan udara ekstratrakea berupa
gelembung udara yang dibawa serta saat mereka
menyelam. Spirakel serangga tersebut membuka
pada gelembung tersebut sehingga menyediakan
udara cadangan selain yang terdapat di trakea. Hal
ini memberikan serangga kemampuan untuk me- Gambar 2. Pergerakan rambut hidrofobik
disekeliling spirakel ketika larva Stratiomya
nyelam lebih lama dibandingkan tanpa gelem- (Stratiomyidae) menyelam dan di permukaan.
bung. Pergerakan rambut ini seluruhnya pasif,
bergantung pada gaya fisika antara rambut dan
Posisi penyimpanan gelembung udara berbeda- air. (Chapman, 2013)

beda pada setiap spesies. Pada Dytiscus


(Coleoptera) berada di bawah elytra. Pada Notonecta (Hemiptera) udara dipegang
oleh rambut hidrofobik panjang pada permukaan ventral tubuh, selain itu juga
dibawah sayap dan sebagai lapisan film tipis dipegang oleh rambut kecil pada per-
mukaan dorsal sayap depan.
Udara yang dibawa juga memberikan efek mengapung di air sehingga ketika serang-
ga berhenti berenang atau melepaskan cengkeraman dari vegetasi air, serangga naik
ke permukaan. Letak cadangan udara berada pada posisi yang memudahkan serang-
ga mengganti udara saat memecah permukaan air. Contohnya pada Dytiscus yang
naik ke permukaan ekor terlebih dahulu dan memperbarui udara pada subelytra me-
lalui ujung posterior elytra.

Gambar 4. Gelembung udara cadangan pada (a) Dytiscus dan (b) Abedus (http://aramel.free.fr & dragonflywom-
an.wordpress.com)

Sebuah gelembung udara menyediakan oksigen bagi serangga lebih besar saat bere-
nang karena berfungi juga sebagai insang sementara. Ketika serangga berenang, kan-
dungan gas-gas pada gelembung mengalami kesetimbangan dengan gas-gas terlarut
di air.
Secara normal, pada awal penyelaman, gelembung akan mengandung kira-kira 21%
oksigen dan 79% nitrogen. Gas karbondioksida sangat mudah larut di air, sehingga
tidak pernah terkandung banyak pada gelembung. Dalam jangka pendek

Edisi 18  Juni 2015 25


penyelaman, kandungan O2 pada
gelembung berkurang seiring
penggunaan oleh serangga sehingga
terdapat peningkatan proporsi kan-
dungan Nitrogen. Sebagai hasilnya,
proporsi kandungan gas pada gelem-
bung dan lingkungan sekitar (air)
tidak setimbang. Pada saat inilah
terjadi pertukaran gas antara gelem-
Gambar 5. Skema pergerakan gas-gas pada gelembung udara
dan air yang digunakan oleh serangga akuatik (Chapman, 2013)
bung dan gas-gas terlarut di air.
Pergerakan ini cenderung mengem-
balikan proporsi ke kesetimbangan sebelumnya. Oksigen cenderung berdifusi dari
lingkungan air ke gelembung karena tekanan oksigen pada gelembung berkurang.
Sedangkan nitrogen cenderung berdifusi keluar dari gelembung ke air sekitar karena
tekanan nitrogen pada gelembung naik. Oleh karena itu oksigen yang tersedia bagi
serangga lebih banyak daripada kandungan oksigen gelembung pertama kali, dan
gelembung ini berfungsi sebagai insang.

Serangga Akuatik yang Mendapatkan Oksigen dari Air


Pada serangga akuatik yang mendapatkan oksigen dari air, mengandalkan modifikasi
organ untuk dapat mengambil oksigen terlarut di air. Oksigen yang didapat ini cukup
untuk memenuhi kebutuhan serangga tersebut. Terdapat beberapa cara yang dil-
akukan seperti difusi kutikula, insang trakea, dan respirasi plastron.
Difusi Kutikula
Pada banyak serangga yang hidup di air, difusi oksigen terjadi melalui kutikula. Pada
beberapa larva pertukaran gas hanya dilakukan melalui cara ini. Difusi kutikula ber-
gantung pada permeabilitas kutikula dan rendahnya tekanan oksigen di jaringan
dibandingkan air. Pada banyak larva memiliki kutikula yang relatif permeabel. Pada
Aphelocheirus (Hemiptera:Heteroptera) contohnya, kutikula pada stadium larva tera-
khir lebih permeabel empat kali lipat dibandingkan stadium dewasa.

Gambar 6. (a) Stadium pertama larva Simulium dan (b) larva Chironomus (http://
naturalvision.co.uk & http://bugguide.net)

26 Edisi 18  Juni 2015


Pada stadium pertama larva Simulium (Diptera) dan Chironomus (Diptera), dimana
sistem trakeanya dipenuhi cairan, difusi kutikula ke dalam hemolimf memenuhi
semua kebutuhan serangga. Meskipun secara umum sirkulasi darah rendah, dan laju
difusi melalui darah juga rendah serta tidak akan memenuhi kebutuhan serangga
lebih besar. Umumnya serangga yang mendapatkan oksigen dari air memiliki sistem
trakea meskipun spirakelnya tidak berfungsi. Hal ini disebut sistem trakea tertutup.
Sewaktu oksigen digunakan oleh kebutuhan serangga, tekanan parsial dalam trakea
turun menciptakan gradien tekanan antara trakeoli dibawah kutikula dan air yang di
sebelahnya. Pada keadaan ini oksigen dari air berdifusi ke sistem trakea seluruh
tubuh sehingga dapat digunakan oleh jaringan. Sistem trakea tak dapat dikempa
(incompressible) diperlukan dalam proses ini, jika tidak trakea akan melipat oleh
tekanan air ketika oksigen digunakan.
Insang Trakea
Pada beberapa serangga akuatik, jaringan trakeoli terdapat dibawah embelan ber-
bentuk daun membentuk insang. Kutikula pada embelan ini sangat tipis dengan
jaringan trakeoli dibawahnya. Embelan ini dikenal dengan insang trakea. Pada ban-
yak larva Zygoptera, terdapat tiga insang caudal; larva Trichoptera memiliki insang
abdominal seperti filamen; adapun pada larva Plecoptera posisi insang bervariasi
bergantung pada spesiesnya. Larva Anisoptera (Odonata) memiliki insang pada
bagain anterior rektum dikenal dengan brachial chamber. Air diambil masuk dan
keluar oleh aktivitas otot yang kebanyakan tidak berhubungan dengan usus.
Secara umum, meskipun pergantian udara terjadi melalui insang trakea, beberapa
serangga mampu bertahan tanpa insang pada kondisi tekanan oksigen air normal.
Pada larva Agrion (Odonata), 32-45% absorpsi oksigen secara normal terjadi melalui
insang trakea dan selebihnya melalui kutikula. Akan tetapi, ketika tekanan oksigen di
air rendah, insang sangat penting dalam memperluas area bagi pertukaran udara.

Gambar 7. Insang caudal pada larva Zygoptera (kiri atas) dan abdominal gill pada larva
Trichoptera (tengah atas). Pada larva Anisoptera memiliki insang pada brachial chamber
(kanan atas, bawah)

Edisi 18  Juni 2015 27


Respirasi Plastron
Beberapa serangga akuatik memiliki struktur rambut khusus untuk menahan lapisan
film tipis udara secara permanen diluar tubuh sedemikian rupa sehingga difusi gas-
gas melalui hubungan air-udara selalu tersedia. Lapisan film tipis udara ini disebut
plastron dan trakea membuka pada plastron sehingga oksigen dapat langsung masuk
ke jaringan tubuh.
Volume plastron selalu konstan dan biasanya dalam jumlah kecil sehingga tidak ber-
fungsi sebagai cadangan udara, namun khusus berfungsi sebagai insang. Volume
plastron yang konstan dijaga oleh struktur rambut hidrofobik yang tersusun berdeka-
tan sehingga air tidak dapat masuk diantara mereka kecuali pada tekanan tertentu,
melebihi tekanan dapat diterima oleh serangga secara normal. Tekanan seperti itu
mungkin dapat terjadi melalui penggunaan oksigen dari plastron sehingga tekanan
internal tereduksi atau ketika serangga berada pada air yang dalam dan mengalami
tekanan hidrostatik tinggi.
Pada serangga dewasa, plas-
tron dijaga oleh rambut yang
tersusun sangat rapat dan
tidak dapat basah karena si-
fatnya yang hidrofobik atau
orientasinya. Penyusunan
rambut paling resistan ter-
hadap basah didapat melalui
penyusunan rambut secara
paralel dengan permukaan
tubuh. Aphelocheirus
(Hemiptera) mendekati kon-
disi ini dengan memiliki ram-
but yang menekuk pada
ujungnya; pada serangga lain
Gambar 8.( a) Plastron pada Aphelocheirus (Hemiptera) mem-
seperti Elmis (Coleoptera), rambutnya perlihatkan bagian roset spirakel dan persimpangan trakea
miring. Pada serangga lain umumnya dengan saluran pada kutikula yang dihubungkan dengan plas-
memiliki rambut plastron kurang tron. (b) Makroplastron pada Hydrophilus (Coleoptera). (c)
Makroplastron pada Elmis (Coleoptera). (Chapman, 2013)
efisien dibandingkan pada
Aphelocheirus, memiliki rambut lebih jarang sehingga udara mudah terlepas. Akan
tetapi beberapa serangga yang memiliki kerapatan rambut 3x10 4 hingga 1,5x105 mm-
2
biasanya memiliki plastron permanen dan cukup untuk kebutuhan serangga. Pada
kasus ini, plastron biasanya dilengkapi oleh makroplastron yang kurang permanen,
berupa lapisan udara yang lebih tebal diluar plastron dan dipegang oleh rambut lebih
panjang daripada plastron, contohnya pada Hydorphilus (Coleoptera) atau melalui
ereksi rambut plastron seperti pada Elmis.

28 Edisi 18  Juni 2015


Serangga yang Sesekali Terendam Air
Sudah menjadi hal yang biasa bagi serangga terestrial untuk jatuh ke air. Akan tetapi
hal tersebut secara umum tidak memerlukan evolusi adaptasi khusus. Namun, se-
rangga yang hidup dekat tepi air, terkena dampak tenggelam dan timbul yang lebih
sering sehingga cenderung memerlukan adaptasi di udara dan di air. Hal ini berlaku
pada serangga yang hidup pada zona pasang-surut (intertidial) dimana perendaman
air terjadi secara berkala atau yang hidup di tepi sungai.

Beberapa kumbang zona pasang


surut seperti Bledius dan Dichi-
rothicus menghindari peren-
daman air secara efektif dengan
hidup di lubang dan celahan
dimana terdapat cukup udara
terperangkap bagi mereka untuk
bertahan secara aerobik selama
beberapa jam. Jika mereka
bener terendam, mereka men-
jadi tidak bergerak sebagai hasil
dari anoxia.
Gambar 9. Insang spirakel dari pupa Simulium
(black fly). (Klowden, 2007; Chapman, 2013)

Pada beberapa serangga seperti pupa Simulium (Diptera), adaptasi zona pasang-surut
dilakukan dengan adanya organ khusus, yakni insang spirakel. Organ insang spirakel
ini merupakan modifikasi dari kutikula pada spirakel dan membawa plastron yang
dihubungkan dengan sistem trakea melalui aerofil. Di air, plastron menyediakan
antarmuka gas-air yang cukup besar untuk difusi, sedangkan celah-celah pada insang
menyediakan saluran langsung untuk masuknya oksigen. (Chapman, 2013)

Keuntungan insang spirakel adalah luasnya permukaan untuk melakukan ekstraksi


oksigen dari air juga memungkinkan terjadinya respirasi terestrial ketika tidak teren-
dam tanpa kekhawatiran kehilangan cairan seperti pada spirakel konvensional pada
kondisi kering. Ketika kondisi kering, serangga mampu mengambil udara langsung
melalui area insang spirakel paling dekat spirakel dan bagian distal struktur insang
umumnya tidak berfungsi. Dengan insang spirakel ini, oksigen dapat diambil tapa
mengurangi permeabilitas kutikula dan mengalami kehilangan cairan. Dibandingkan
insang trakea, insang spirakel juga memberikan keuntungan sediktnya adaptasi os-
moregulator karena insang tidak permeabel terhadap air dan mekanisme bagi
pengambilan air tidak terlalu penting (Klowden, 2009). [MUR]

Edisi 18  Juni 2015 29


Referensi
Chapman, R.F. 2013. The Insect: Structure and Function. Simpson S.J dan Douglas A.E., editor. New York (US): Cam-
bridge University Press
Klowden, M.J. 2007. Physiological System in Insect. Massachucsetts (US): Academic Press
Respiration in Aquatic Insect [internet]. [diunduh 2014 Nov 25]. Tersedia pada: http://entomology.unl.edu/ent801/
ent801home.html
Aquatic Insect [internet]. [diunduh 2014 Nov 25]. Tersedia pada: http://aramel.free.fr/ INSECTES32.shtml
Chironomus [internet]. [diunduh 2014 Nov 25]. Tersedia pada http://bugguide.net/node/ view/83349

30 Edisi 18  Juni 2015


INSPIRASI

PNS berburu beasiswa, why not??!


Oleh: Mutiara Widawati

S
ebagai salah satu aspek yang punya peranan pent-
ing untuk membentuk negara yang berkualitas,
seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) tentunya perlu
mengembangkan ilmunya. Aparatur negara diharap-
kan dapat memiliki kemampuan yang terus berkembang seir-
ing dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Setiap ta-
hunnya, angka pelajar yang berkarir sebagai PNS kian
meningkat. Kemajuan teknologi berupa jaringan internet men-
jadi faktor pemicu, banyak dari abdi-abdi negara ini yang semakin terdorong untuk
belajar, memperluas wawasan, dan melihat dunia baik di dalam negeri maupun di
luar negeri.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa biaya untuk melanjutkan sekolah tidaklah
murah. Apalagi jika kita ingin melanjutkan sekolah ke luar negeri yang memerlukan
biaya yang tidak sedikit dan sangat tergantung pada kondisi nilai mata uang rupiah
yang terus menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Untuk urusan melanjutkan
sekolah, kita harus menyiapkan dana hingga ratusan juta rupiah setahun. Tentunya
bagi seorang PNS, hal ini akan terasa berat jika hanya bergantung pada dengan
pembiayaan pribadi.
Namun, melanjutkan sekolah saat ini bukan lagi menjadi impian yang sulit di-
wujudkan. Sebenarmya, banyak sekali peluang beasiswa bagi PNS untuk mengen-
yam pendidikan yang lebih tinggi, baik di dalam negeri ataupun di luar negeri.
Melanjutkan pendidikan dengan beasiswa tentunya memiliki kelebihan tersendiri
dibandingkan dengan biaya sendiri. Secara finansial kita akan terbantu untuk ma-
salah biaya pendidikan hingga masalah biaya hidup. Untuk itu kita harus rajin men-
cari informasi tentang ketersediaan beasiswa-beasiswa ini. Akses teknologi infor-
masi yang cepat dan mudah seperti saat ini memungkinkan kita untuk mengumpul-
kan informasi beasiswa dengan cepat. Kita hanya harus bersabar dan teliti dalam
mencermati informasi beasiswa tersebut.
Beberapa hal yang harus dipersiapkan sebelum kita melamar beasiswa adalah
sebagai berikut:

 Ijazah, Transkrip Nilai, dan Surat Rekomendasi dari Dosen Pembimbing atau
Atasan

Edisi 18  Juni 2015 31


Bagi kita yang berminat untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri, jangan
menunda untuk menerjemahkan dokumen-dokumen tersebut ke dalam bahasa
Inggris, dan buatlah salinan legalisasi sebanyak mungkin.
 Proposal penelitian
Kebanyakan persyaratan beasiswa, khususnya untuk studi Master dan Doktor
mensyaratkan agar kita membuat proposal penelitian terkait dengan studi yang
akan diambil.
 Keluarga
Bagi yang sudah berkeluarga, hal ini juga harus dipastikan sebelum mencari
beasiswa. Umumnya beasiswa luar negeri biasanya memberikan biaya untuk
keluarga juga, tetapi jika tidak, artinya kita harus bersiap-siap menyediakan dana
tersendiri untuk membiayai anggota keluarga kita.
 Bekerja
Jangan lupa juga bahwa kita harus memastikan bahwa atasan di tempat kita
bekerja memberikan ijin untuk melanjutkan studi agar tidak ada masalah
kedepannya.
 Kesehatan
Sebagian besar beasiswa mencakup asuransi kesehatan, walaupun demikian
sebaiknya kita pastikan juga apa yang di-cover oleh asuransi agar tidak
mempengaruhi kesehatan kita saat studi.
 Seleksi administrasi
Apa yang kita tulis dalam formulir aplikasi akan menjadi penentu keberhasilan
selanjutnya, begitu pula dengan kelengkapan dokumen untuk seleksi administra-
si, jangan sampai kurang lengkapnya dokumen membuat kita kehilangan kesem-
patan memenangkan beasiswa.
 Seleksi wawancara
Pada tahap ini biasanya yang ditanyakan yaitu di antaranya latar belakang pen-
didikan, alasan mengambil program studi, dan rencana penelitian yang akan dil-
akukan. Jika kita ingin melanjutkan studi ke luar negeri maka kita dituntut untuk
mampu menyajikannya dalam bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Maka,
mulai tingkatkanlah kemampuan bahasa Inggris kita.

Berikut tips-tips yang dapat digunakan untuk mendapatkan beasiswa:


 Tingkatkan kemampuan bahasa asing. Bagi pelamar beasiswa luar negeri, ke-
mampuan bahasa asing adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi. Sebagian
besar beasiswa mensyaratkan batas nilai TOEFL atau IELTS yang harus kita
miliki.
 Cermati semua persyaratan beasiswa dan petunjuknya dengan cermat untuk
memastikan bahwa kita memang layak untuk mendapatkan beasiswa tersebut.

32 Edisi 18  Juni 2015


 Isi semua pertanyaan di formulir dan Situs-situs beasiswa:
lampirkan semua materi penunjang, www.lpdp.depkeu.go.id
seperti ijazah, transkrip, surat rek- www.nesoindonesia.or.id
omendasi dari dosen pembimbing www.chevening.org/indonesia/
atau atasan, proposal penelitan, dan www.australiaawardsindonesia.org
esai. Setiap penyedia beasiswa tentu www.aminef.or.id
akan berbeda-beda dalam ketentu- www.rumahbeasiswa.com
annya. www.educationuk.org/scholarship
 Ikuti petunjuk, siapkan semua per-
syaratan dan lampirkan hal yang benar-benar dipersyaratkan.
 Perhatikan kerapian saat mengisi aplikasi, sebisa mungkin diketik dan difotokopi
beberapa lembar untuk uji coba pengisian aplikasi.
 Pada umumnya penyedia beasiswa meminta kita untuk membuat Motivation Let-
ter (surat/esai tentang motivasi kita dalam mengambil sebuah studi). Maka, bu-
atlah sebuah tulisan/esai yang berkesan dan meyakinkan. Pengalaman yang pal-
ing sederhana bisa menjadi sangat berkesan jika diceritakan tanpa perlu berlebi-
han.
 Perhatikan deadline penyerahan aplikasi. Kirimkanlah aplikasi jauh sebelum batas
waktu pengumpulan aplikasi yang ditentukan, karena sangat jarang ada program
yang memberikan perpanjangan deadline.
 Pastikan aplikasi dikirim ke alamat yang tepat. Tuliskan nama kita di setiap hala-
man aplikasi, agar tetap teridentifikasi walaupun tercecer.
 Jangan lupa buat berkas cadangan, gandakan semua dokumen terlebih dahulu,
sehingga jika terjadi sesuatu maka kita bisa menyiapkan lagi dengan cepat.
 Cek, dan cek ulang. Baca lagi dengan cermat, kalau bisa mintalah teman atau
orang terdekat untuk memeriksa ulang aplikasi kita.
 Mintalah bantuan jika tidak mengerti. Jika tidak mengerti dengan aplikasinya, jan-
gan ragu untuk menghubungi penyedia beasiswa yang bersangkutan.

Banyak situs-situs yang kunci memuat informasi seputar beasiswa. Biasanya situs
universitas juga memuat informasi beasiswa dan menampilkannya pada menu inter-
national student atau scholarship. Dapat pula kita cari pada search engine pada
Google atau yang lain, masukkan kata kunci „beasiswa‟ atau „scholarship’, dan situs-
situs tersebut dapat kita telusuri. Jika kita menggunakan twitter, kita juga bisa mem-
follow akun @beasiswa atau sejenisnya yang selalu berbagi informasi tentang
beasiswa, dan kita akan lebih mudah dan cepat untuk diakses karena kita akan lang-
sung mendapatkan informasi yang kita butuhkan.[MW]

Jadi, mau sekolah gratis? Selamat berburu beasiswa!*

Edisi 18  Juni 2015 33


PENDIDIKAN

#penelitiprofesional: Hindari research misconduct!


Oleh: Pandji Wibawa Dhewantara*

D
alam beberapa tahun terakhir, kita semua pernah
dikejutkan dengan adanya beberapa kasus yang men-
impa kalangan akademisi di Indonesia yang terjerat
dengan plagiasi, kan? Apa yang terlintas dalam benak kita
saat mendengar hal itu? Dari mulai, “Kok bisa ya?” atau “Ngeri juga
ya kalo kena kasus seperti itu, tersebar luas di media massa se-
Indonesia bahkan seluruh dunia pun tahu!”
So, menjadi seorang ilmuwan, baik itu peneliti maupun akademisi,
merupakan profesi yang tidak kalah mulia dengan profesi lainnya. Menggali fenom-
ena, mencari kebenaran, berinovasi, dan membuat terobosan untuk menyelesaikan
masalah secara ilmiah melalui riset-riset untuk kepentingan bersama dan kese-
jahteraan masyarakat luas merupakan tugas dan tanggung jawab sebagai seorang
ilmuwan. Memberikan informasi ilmiah secara jujur dan netral, artinya bahwa infor-
masi tersebut bebas dari berbagai kepentingan, merupakan aspek yang wajib di-
miliki untuk menjadi ilmuwan profesional.
Publikasi, apapun bentuknya, baik itu jurnal ilmiah, buku, laporan teknis, tesis, dis-
ertasi, bahkan opini di media massa, merupakan salah satu bentuk pertanggungja-
waban ilmiah sebagai seorang ilmuwan. Dalam menyebarluaskan informasi hasil
penelitian tersebut ke masyarakat luas tentu ada batasan-batasan yang perlu kita
perhatikan sebagai ilmuwan. Ketika kita menjadi seorang ilmuwan, maka kita telah
menjadi bagian dari komunitas ilmiah. Tentu, ada norma-norma yang perlu dijaga
dan dipatuhi. Kontribusi kita terhadap ilmu pengetahuan yang dituangkan dalam
bentuk publikasi ilmiah akan selalu diperhatikan dan dibaca oleh jutaan ilmuwan di
dunia ini. Apalagi di era teknologi informasi yang pesat seperti sekarang ini, setiap
orang dapat dengan mudah mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan melalui
publikasi-publikasi ilmiah yang setiap detik selalu update.
Berbicara tentang etik peneliti dalam meneliti dan memublikasikan hasilnya,
menurut Kode Etik Peneliti yang diterbitkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indo-
nesia (LIPI), norma yang perlu kita jaga sebagai seorang peneliti maupun akade-
misi , khususnya dalam memublikasikan penelitian adalah menghindari berperilaku
tidak jujur dalam bentuk pemalsuan data (falsifikasi), pemalsuan hasil penelitian
(fabrikasi), pencurian proses, data, atau hasil (plagiarisme), dan pemublikasikan

34 Edisi 18  Juni 2015


temuan sebagai asli di lebih dari satu media (duplikasi). Agar kita terhindar dari
empat hal misconduct itu, mari kita pahami satu per satu, sebagai berikut:

Falsifikasi.
Jebakan pertama yang harus kita hindari adalah falsifikasi. Menurut Committee

“manipulating research data with the intention of giving a false impression. This
includes manipulating images (e.g. micrographs, gels, radiological images), re-
moving outliers or ‘inconvenient’ results, changing data points, etc...”

on Publication Ethics (COPE), falsifikasi adalah:

Kedua definisi falsifikasi tersebut pada


intinya adalah sama, yaitu memanipu- Sementara menurut Perka LIPI Nomor
lasi data. Kadang kita dalam 06/E/2013 tentang Kode Etik Peneliti:
menganalisis data penelitian dihadap-
kan pada data-data yang “jelek”, sim-
pangan yang besar atau outliers. Nah, Falsifikasi adalah memanipulasi bahan
berhati-hatilah dalam memperlakukan penelitan, peralatan atau proses, men-
data-data seperti itu! Penjelasan COPE gubah atau tidak mencantumkan data
tentang falsifikasi tersebut secara jelas atau hasil sedemikian rupa, sehingga
menyatakan bahwa sekecil apapun penelitian itu tidak disajikan secara
bentuk memanipulasi data termasuk
akurat dalam catatan penelitian
kategori pelanggaran (misconduct)
dalam penelitian/pelaporan. Hal yang
perlu kita perhatikan, bahwa membu-
ang data yang “jelek” tadi dengan sen-
gaja agar didapatkan hasil yang
“bagus” adalah awal dari perilaku falsi-
fikasi.

Fabrikasi
Selain itu, jebakan kedua adalah fabrikasi. Definisi fabrikasi menurut Perka LIPI
Nomor 06/E/2013 tentang Kode Etik Peneliti adalah “mengarang, mencatat,
dan/atau mengumumkan hasil penelitian tanpa pembuktian telah melakukan

Edisi 18  Juni 2015 35


proses penelitian”. Dengan demikian, peneliti yang memanipulasi penelitian atau
publikasi termasuk kategori melakukan fabrikasi. Fabrikasi penelitian ini mungkin
saja dapat terjadi, terlebih apabila peneliti tidak bisa menjaga integritas dan ne-
tralitasnya sebagai ilmuwan. Hati-hati! ketika kita disodorkan imbalan oleh pihak-
pihak tertentu yang meminta kita untuk mengeluarkan publikasi hasil penelitian
terkait kepentingannya.

Plagiarisme
Plagiat, menurut Perka LIPI tentang
Kode Etik Peneliti , adalah bentuk pen-
curian hasil pemikiran, data atau
temuan, termasuk yang belum dipub-
likasikan. Secara singkat, plagiarisme
adalah “mengambil alih gagasan atau
pernyataan tertulis dari orang lain,
tanpa pengakuan pengambilalihan
dan menggunakannya sebagai bagian
dari karyanya.”
(Ilustrasi oleh: almeradhika_toon)

Nah, untuk plagiarisme ini ada beberapa jenis plagiarisme. Dan, apabila kita tidak
berhati-hati, maka dapat menjerumuskan kita pada kategori plagiat. Berdasarkan
definisinya, bahwa mengambil ide penelitian seseorang juga sudah termasuk pla-
giat. Jangan lupa, bahwa ide seseorang itu juga adalah kekayaan intelektual.
Dengan kata lain, selain kita plagiat, kita pun telah mencuri kekayaan intelektual-
nya, lho!
Dengan demikian, hal yang perlu diperhatikan oleh kita semua adalah kehati-hatian
kita dalam mencuplik atau mengutip publikasi. Mengutip hasil penelitian, pern-
yataan, atau materi identik karya seseorang bahkan karya sendiri pun, jika tanpa
ada sitasi publikasi asli penelitian sebelumnya adalah tindakan plagiasi. Ingat, bah-
wa pada saat kita mengutip pernyataan atau hasil penelitian sendiri yang telah
dipublikasikan juga perlu mencantumkannya sebagai rujukan, karena jika tidak
demikian, maka kita pun termasuk melakukan self-plagiarism. Dalam plagiarisme
juga dikenal istilah publikasi “salami-slicing”. Istilah publikasi salami ini adalah
memublikasikan hasil sebuah penelitian dengan cara memotong-motong hasil
penelitian tersebut ke dalam beberapa artikel.
Lalu, bagaimana langkah kita untuk terhindar dari “jebakan -jebakan” ini? Setelah

36 Edisi 18  Juni 2015


memahami hal-hal apa yang dapat merusak integritas kita sebagai peneliti, maka
landasan utama dalam kita bertindak, meneliti, dan memublikasikan hasil penelitian
kita adalah kejujuran dan netralitas kita sebagai peneliti (ilmuwan). Sementara un-
tuk membantu kita dalam mencegah adanya plagiasi dalam publikasi yang akan kita
sebarluaskan, kita dapat menggunakan beberapa aplikasi deteksi plagiasi.
Kini ada tools yang dapat membantu para penulis agar terhindar dari plagiasi. Ada
yang gratis dan ada juga yang berbayar. Selain dalam bentuk aplikasi, penulis pun
dapat menggunakan jasa penyuntingan naskah yang disertai dengan pengecekan
plagiasi. Salah satu aplikasi berbayar yang dapat digunakan untuk membantu
menghindari plagiasi/duplikasi seperti iThenticate yang juga direkomendasikan oleh
beberapa jurnal internasional. Jadi, marilah kita jaga integritas dan kredibilitas kita
sebagai ilmuwan, kawan! *PWD+
*Penulis adalah peneliti di Badan Litbang Kesehatan dan Managing Editor Jurnal
ASPIRATOR: Jurnal Penelitian Penyakit Tular Vektor

Sumber:
 COPE Website: http://publicationethics.org/category/keywords/data-
manipulation-/-falsification
 Perka LIPI Nomor 06/E/2013 tentang Kode Etik Peneliti

Edisi 18  Juni 2015 37


INSPIRASI

Japanese encephalitis
Arthropod Viral Disease Yang Belum Banyak Dikenal
Oleh: Aryo Ginanjar

Japanese encephalitis (JE) adalah penyakit tular vektor yang dapat


disebarkan oleh nyamuk khususnya Culex tritaeniorhynchus dan Culex
gelidus, dimana pada manusia dapat menyebabkan peradangan
membran disekitar otak. Selain manusia, penyakit ini juga dapat
menyerang binatang seperti kuda, babi, burung dan hewan peliharaan
lain. Umumnya penderita penyakit ini tidak memiliki gejala yang jelas,
namun pada kasus dengan gejala yang jelas, fatalitasnya bisa mencapai
20-50%. Penderita dengan gejala yang jelas juga memiliki risiko yang
lebih tinggi untuk munculnya berbagai gangguan syaraf seperti
keterbelakangan mental, perubahan kepribadian, gangguan motorik dan
verbal.1
Penyakit JE pada manusia merupakan suatu jalan akhir dalam siklus
penularan (dead-end), karena viraemia pada manusia terjadi
hanya beberapa jam saja sehingga sulit ditularkan
lebih lanjut kepada orang lain. Manusia
Angka kematian yang yang terserang penyakit ini dapat
ditimbulkan di Indo- berakibat kematian apabila tidak
segera ditangani dengan baik,
nesia cukup tinggi
terutama pada anak. Umur anak
(sekitar 23%) dan paling rawan terinfeksi JE antara 5
hampir 20% dari hingga 9 tahun.2
yang selamat Pengawasan JE di Indonesia
memiliki kecacatan dilakukan oleh Badan Litbangkes dan
Dirjen P2PL bekerja sama dengan PATH
melalui 15 rumah sakit sentinel yang
tersebar di 6 provinsi seperti Sumatra Barat,
Kalimantan Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
Timur, dan Papua. Pemilihan daerah sentinel didasarkan pada kondisi
lingkungan dengan risiko JE yang tinggi serta berdasarkan perbedaan
letak geografis. Sentinel mendeteksisemua klinis kasus Acute

38 Edisi 18  Juni 2015


Encephalitis Syndrome (AES) berdasarkan definisi kasus dari standar
WHO untuksurveilans JE. Spesimen (CSS ELISA capture) dikirim ke
laboratorium Badan Litbangkes di Jakarta. Kasus JE telah dikonfirmasi di
6 provinsi yang terdapat rumah sakit sentinel, hal ini menegaskan
bahwa JE adalah penyakit endemik di Indonesia.3

Agen Penyebab Japanese encephalitis


JE termasuk penyakit arbovirosis
Fatalitas akibat JE bisa men-
yang disebabkan oleh virus Japanese
enchepalities. Virus JE termasuk dalam capai 20-50%. Penderita
anggota kelompok Flavivirus, famili dengan gejala yang jelas ju-
Flaviviridae. Virus ini mempunyai ga memiliki risiko yang
diameter antara 40-50 nm . Virus JE lebih tinggi untuk muncul-
termasuk virus Ribonucleicacid (RNA)
nya berbagai gangguan
yang beramplop, sehingga tidak tahan
terhadap pelarut lemak seperti eter, syaraf seperti keterbe-
khloroform, sodiumdeoksikholat dan lakangan mental, peru-
enzim proteolitik atau enzim bahan kepribadian,
lipolitik .Virus ini juga sangat sensitif gangguan motorik dan ver-
terhadap detergen dantripsin, tetapi
tahan terhadap aktinomisin D atauguanidin. Dalam keadaan basa (pH 7-
9) virus JE stabil,tetapi dengan pemanasan 56°C selama 30 menit dan
penyinaran dengan sinar ultra violet, virus JE menjadi inaktif. 4

Mekanisme Penularan
Virus dapat menyebar lewat gigitan nyamuk khususnya Culex
tritaeniorhynchus dan Culex gelidus serta beberapa jenis nyamuk lainnya
seperti Culex vishnui, Culex pseudovishnui dan Culex fuscocephala.5
Interval antara infeksi virus dan permulaan sekresi nyamuk tidak
dipengaruhi umur nyamuk, konsentrasi asupan gula nyamuk dewasa,
sejarah kenyang darah sebelum pengambilan darah terinfeksi, atau
sejarah kenyang darah setelah terinfeksi. Selain suhu lingkungan,
Interval sekresi virus juga diduga sedikit dipengaruhi dipengaruhi oleh
nutrisi yang berbeda saat fase larva dan konsentrasi virus yang berbeda
saat konsumsi darah. Sekresi virus akan terhambat jika nyamuk yang
terinfeksi ditempatkan pada suhu 20°C. Penghambatan ini kemungkinan
besar terjadi karena aktivitas fisiologis jaringan nyamuk yang menurun
pada suhu rendah, dibandingkan dengan penundaan perbanyakan

Edisi 18  Juni 2015 39


virus.6
Siklus JE akan terjadi apabila binatang ternak, sebagi contoh babi,
yang mengalami viremia akibat infeksi JE tergigit oleh nyamuk C.
tritaeniorhynchus dan nyamuk tersebut menggigit ternak babi lainnya,
sehingga ternak babi lain menjadi terinfeksi virus JE. Dalam tubuh
ternak babi, virus akan mengalami replikasi tanpa menimbulkan gejala
klinis. Dalam hal ini ternak babi disebut sebagai amplifying host.7 Dalam
waktu 3 hari ternak babi akan mengalami viremia. Selama mengalami
viremia, ternak babi dapat tergigit oleh nyamuk C. tritaeniorhynchus lain
sehingga nyamuk tersebut akan membawa virus JE di dalam tubuhnya
dan menyebarkannya ke ternak babi lainnya dan manusia. Manusia akan
terinfeksi virus JE apabila tergigit oleh nyamuk yang membawa virus JE
tersebut. Pada penyakit JE, manusia merupakan dead-end host dan dapat
menyebabkan ensefalitis.8

Diagnosa
Pasien dengan gejala klinis JE, pada pemeriksaan darah lengkapnya
dapat ditemukan gambaran anemia, laju endap darah meningkat, dan
leukositosis ringan dengan jenis polimorfonuklear yang lebih banyak
dibanding sel mononuklear. Pada cairan serebrospinal umumnya
menunjukkan jumlah sel 100–1000/ml yang pada awalnya berupa sel
polimorfonuklear yang dengan cepat menjadi sel mononuklear.
Sedangkan uji laboratorium yang berperan sebagai standar baku
diagnostik JE adalah menggunakan teknik ELISA (enzyme linked
immunosorbent assay).9
Spesimen yang dapat digunakan untuk uji ELISA adalah darah dan
cairan serebro spinalis (CSS). Kedua spesimen sebaiknya diambil
sesegera mungkin untuk mendeteksi antibody IgM terhadap virus
Japanese encephalitis. Spesimen darah harus dikumpulkan dalam waktu
4 hari setelah mulai sakit untuk isolasi virus dan setidaknya 5 hari
setelah mulai sakit untuk deteksi antibodi IgM fase akut. Pengambilan
spesimen kedua pada fase konvalesens harus dikumpulkan 10-14 hari
setelah spesimen pertama.8 Konfirmasi diagnostik JE dapat dilakukan
dengan melakukan isolasi virus dari darah, CSS atau jaringan otak.
Teknik lain yang dapat digunakan untuk konfirmasi adalah pemeriksaan
RT-PCR (reverse transcriptase polymerase chain reaction), namun
metode-metode konfirmasi ini memerlukan teknik dan peralatan
khusus.10

40 Edisi 18  Juni 2015


Gejala Klinis
Japanese encephalitis umumnya menyerang anak-anak di daerah
endemis. Kasus JE paling sering terjadi pada anak di bawah 5 tahun.
Sedangkan pada daerah non endemis penyakit ini menyerang anak dan
dewasa. Tidak jelas apakah ada pola musiman yang muncul, karena
kasus dilaporkan sepanjang tahun. Infeksi virus Japanese encephalitis
umumnya tidak memiliki gejala khusus, namun dapat menyebabkan
demam, meningitis, myelitis atau ensefalitis. Ensefalitis adalah
presentasi yang paling umum dikenal, dan secara klinis tidak dapat
dibedakan dari penyebab lain dari sindrom ensefalitis akut.11
Munculnya gejala pada infeksi JE dipengaruhi berbagai faktor seperti
faktor virus, faktor inang, dan endemisitas. Faktor virus diantaranya
adalah jalur masuknya virus, jumlah virus yang masuk dan daya infeksi
terhadap sel syaraf. Faktor inang yang mempengaruhi adalah umur,
genetik, kondisi kesehatan, dan imunitas, sedangkan sekitar 10% dari
populasi yang suseptibel dapat terinfeksi setiap tahunnya. 8 Angka
kematian yang ditimbulkan di Indonesia cukup tinggi (sekitar 23%) dan
hampir 20% dari yang selamat memiliki kecacatan, jadi dapat dinilai
bahwa dampak penyakit JE di Indonesia tergolong tinggi. Pasien yang
dapat dicurigai (suspect) terinfeksi virus JE adalah yang memiliki
keluhan awal berupa demam, nyeri kepala, kuduk kaku, kesadaran
menurun, gerakan abnormal seperti tremor dan kejang. Kemudian akan
timbul keluhan dan gejala pada hari ke 3-5 berupa kekakuan otot, koma,
pernafasan yang abnormal, dehidrasi, dan penurunan berat badan.
Keluhan dan gejala lain yang mungkin muncul adalah reflek tendon
meningkat, paresis, suara pelan dan parau.9

Pencegahan dan Pengendalian


Untuk mengurangi penyebaran penyakit JE, maka pemutusan rantai
penularan (virus, vektor nyamuk dan induk semang)
perludilakukan.Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan
dalamrangka pemutusan rantai penularan, misalnya dilakukannya
penyuluhan kepada masyarakat akan bahaya infeksi JE pada manusia
terutama pada anak-anak,ditetapkannya relokasi peternakan babi atau
binatang mamalia lainnya yang jauhdari pemukiman penduduk yang
padat untukmenghindari kontak antara vektor dengan manusia,
menghambatpopulasi vektor dan penerapkan sistem karantina
yangketat dengan cara memperketat pengawasan lalu lintas ternak

Edisi 18  Juni 2015 41


(khususnya babi) di setiap daerah point of entry. JE merupakan pen-
Masuknya hewan babi dari negara atau daerah
yakit zoonosis po-
positif JE kewilayah Indonesia secara ilegal
perlu diwaspadai.Pemberian larvasida misalnya tensial, maka kasus
pada air yang menggenang, seperti bak air, yang terjadi pada
untuk membunuh larva dan jika diperlukan, manusia akan
dilakukan penyemprotan nyamuk dewasa berdampak secara
secara di sekitar rumah, kandang ternak sosial, psikologis dan
maupun di sekitar lokasi yang diduga sebagai
tempat istirahat nyamuk vektor. Selain senyawa politis yang akhirnya
-senyawa kimia sintetis tersebut, senyawa kimia akan mempengaruhi
alami yang berasal dari tumbuhan perlu berbagai sendi ke-
dikembangkan sebagai larvasida yangbaik, hidupan di suatu
seperti ekstrak daun langsap negara.
(Lansiumdomesticum), bawang merah (Allium
cepa), dan biji jarak (Ricinus communis).12
Penggunaan vaksin JE terbukti dapat menurunkan kasus JE secara
signifikan di Jepang, Korea Selatan,Cina, Taiwan dan Thailand.13 Di
Indonesia, penggunaan vaksin JE pada manusia belum disosialisasikan,
karena kebijakan penggunaan vaksin masih belum diatur. Hal ini
disebabkan tidak cukup data untuk mengidentifikasi daerah berisiko
paling tinggi dan waktu paling baik untuk melakukan vaksinasi.
Pengumpulan data dasar dari tiap propinsi di Indonesia baik pada
manusia maupun hewan reservoir,serta pelatihan diagnosis laboratori-
um akan menghasilkan data surveilans yang lebih komprehensif sehing-
ga dapat dijadikan arah kebijakan bagi pengendalian dan pencegahan
penyakit JE di Indonesia. Mengingat JE merupakan penyakit zoonosis po-
tensial, maka kasus yang terjadi pada manusia akan berdampak secara
sosial, psikologis dan politis yang akhirnya akan mempengaruhi
berbagai sendi kehidupan di suatu negara. Untuk itu, diagnosis secara
klinis dan laboratorium terutama di rumah sakit perlu ditingkatkan.
Selain itu, penelitian dan monitoring infeksi dan vektor JE perlu dil-
akukan secara terpadu dan berkesinambungan dan dilakukan di labora-
torium BSL 3 yang aman bagi lingkungannya, sehingga dapat
menghasilkan kebijakan dalam rangka pencegahan danpengendalian
penyakit JE di Indonesia yang lebih optimal.[AG]

Penulis adalah peneliti Loka Litbang P2B2 Ciamis, Badan Litbangkes, Kemenkes
RI

42 Edisi 18  Juni 2015


Referensi
1. University of California. Japanese Encephalitis Handouts. Accessed July 29.
Berkeley. 2009. th 2012 on: http://uhs.berkeley.edu/home/healthtopics/
PDF%20Handouts/Japanese%20Encephalitis.pdf
2. Gautama, K. Pelaksanaan surveilans JE di Bali .Workshop and training
surveilans JE di Rumah Sakit . Jakarta. 2005. 17-19 Februari, 2005 . 24 hlm.
3. Suwandono, A., A. Sasmito. Japanese Encephalitis Surveillance in Indonesia:
current status and activities. 2006. Accessed July 29th 2012 on: http://
www.path.org/vaccineresources/files/JE_surv_Indonesia_Oct06.pdf
4. Dong, K.Y., et all. Biophysical Characterization of Japanese Encephalitis
Virus (KV 1899) Isolated from Pigs in Korea . J . Vet .Sci. 5(2) : 125-130.
2004.
5. Epidemiology Unit Ministry of Health Sri Lanka. Japanese Encephalitis, A
manual for Medical Officer of Health. 2012. Accessed July 2nd 2012 on:
http://www.epid.gov.lk/web/attachments/article/141/JE%20book.pdf
6. Takahashi, M. The effect of environmental and physiological conditions of
Culex tritaeniorhynchus on the pattern of transmission of Japanese
encephalitis virus. 1976. Journal of Medical Entomology, Volume
13,Number 3, pp. 275-284(10).
7. William DT, Daniels PW, Lunt RA, Wang LF, Newberry KM, Mackenzie JS.
Experimental Infections of Pigs With Japanese Encephalitis Virus and
Closely Related Australian Flavivirus. Am. J. Trop. Med. Hyg. 65 (4): 379 –
387. 2001.
8. Lubis I. Masalah Penyakit Japanese Encephalitis di Indonesia. Cermin Dunia
Kedokteran 61: 24-27. 1990.
9. Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. DR. Sulianti Saroso. Pedoman
tatalaksana kasus dan pemeriksaan laboratorium Japanese encephalitis di
rumah sakit. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan, Departemen Kesehatan RI. Jakarta. 2007.
10. Directorate of National Vector Borne Diseases Control Programme,
Ministry of Health &Family Welfare India. Guidelines for Clinical
Management of Japanese Encephalitis. 2012. Accessed on : http://
nvbdcp.gov.in/Doc /Clinical%20Management-JE.pdf
11. WHO. Manual for the Laboratory on: Diagnosis of Japanese Encephalitis
Virus Infection. 2007. Accessed on: http://www.who.int/
immunization_monitoring/Manual_lab_diagnosis_JE.pdf
12. Suwasono, H. Berbagai Cara Pemberantasan LarvaAedes aegypti. Cermin
Dunia Kedokteran . 119:32-34. 1997.
13. Tsai, T .F. New Initiatives for Control of Japanese encephalitis by
Vaccination. Report of WHO/CVI Meeting . Bangkok, Thailand . Vaccine 18:
1-25. 2000.

Edisi 18  Juni 2015 43


INVESTIGASI

FILARIASIS DI KABUPATEN CIAMIS:


Sebaran Kasus dan Karakteristik Penderita
Oleh: Endang Puji Astuti

Pendahuluan
Filariasis yang juga dikenal dengan sebutan kaki gajah merupakan pen-
yakit yang ditularkan oleh nyamuk. Penyebab penyakit kaki gajah adalah
cacing filaria, di Jawa Barat cacing penyebab penyakit ini didominasi oleh
spesies Wuchereria bancrofti. Proses penularannya berlangsung lama dan tid-
ak terlihat secara sepesifik sehingga banyak penemuan kasus sudah menjadi
kronis. Kasus filariasis di Indonesia, pada tahun 2000 telah tercatat di 231
kabupaten dari 26 provinsi. Pelaporan kasus klinis pada tahun 2009 telah
mencapai 11.914 dan tersebar di 308 kabupaten/kota di 33 provinsi (Ditjen
PP dan PL, Depkes RI, 2009) (Anonim, 2010).
Jawa Barat merupakan salah satu provinsi penyumbang data kasus filari-
asis,.Pada tahun 2009 Provinsi Jawa Barat merupakan penyumbang ke-enam
tertinggi di Indonesia dengan 474 kasus (Anonim, 2010 dan merupakan
provinsi penyumbang kasus tertinggi di Pulau Jawa. Kasus klinis yang
merupakan hasil pemeriksaan Sediaan Darah Jari (SDJ) selama tahun 1999 –
2008 ditemukan di 12 wilayah dari 25 kabupaten/kota di Jawa Barat. Kasus
kronis yang tercatat tahun 2002 – 2013 sebanyak 886 penderita yang terse-
bar di 25 kabupaten/kota, salah satunya adalah Kabupaten Ciamis (Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2012). Berdasarkan latarbelakang tersebut
maka dalam studi ini akan dikemukakan mengenai sebaran kasus dan karak-
teristik penderita filariasi di Kabupaten Ciamis

Sebaran Kasus Filariasi di Kabupaten Ciamis


Secara umum di Kabupaten Ciamis tidak pernah ditemukan penduduk
yang teridentifikasi positif Mikrofilaria (Mf) yang merupakan indikasi
seseorang yang terinfeksi cacing penyebab penyakit kaki gajah. Namun
ditemukannya kasus kronis menyebabkan kabupaten Ciamis menjadi salah
satu wilayah yang diwaspadai akan terjadinya penularan filariasis.
Penemuan kasus kronis tersebar di delapan kecamatan di Kabupaten Ciamis

44 Edisi 18  Juni 2015


Tabel 1. Distribusi kasus kronis Filariasis di Kabupaten Ciamis tahun 2011
Jenis Waktu
No Lokasi Gejala
Kelamin Usia penemuan
1 laki-laki 70 Padaherang Bengkak di kaki
2 wanita 60 Sindangwangi Bengkak di kaki
3 wanita 30 Padaherang Bengkak di kaki sejak lahir
4 wanita 35 Kalipucang 15/01/2006 Bengkak di kaki
5 wanita 55 Cikembulan 29/06/1995 Bengkak di kaki sejak lahir
6 laki-laki 55 Sukamantri 2008 Bengkak di kaki
7 wanita 42 Panumbangan 06/10/2010 Bengkak di kaki
8 wanita 40 Panumbangan 06/10/2010 Bengkak di kaki
9 wanita 39 Ciamis 20-Okt-10 Kaki kiri bengkak
10 wanita 63 Lumbung 17-02-2011 Kaki kiri bengkak
11 laki-laki 63 Lumbung 17-02-2011 Luka kaki kiri dan bengkak
12 laki-laki 40 Panumbangan 21-10-2011 Kaki Kiri Bengkak

dimana Kecamatan Panumbangan merupakan wilayah penyumbang terban-


yak kasus kronis dibandingkan kecamatan yang lain (Tabel 1).

Pengambilan sediaan darah jari untuk mendeteksi mikrofilaria telah dil-


akukan di wilayah kerja Puskesmas Sukamantri dan Panumbangan. Di
Sukamantri dilakukan pengambilan SDJ sebanyak 744 sampel sedangkan di
Panumbangan sebanyak 234 sampel, namun hasilnya semua negatif (Dinas
Kesehatan Kabupaten Ciamis tahun 2011). Sementara itu, hasil pemeri-
kasaan mikrofilaria terhadap 18 penderita kronis juga menunjukkan hasil
negatif, walaupun 12 penderita diantaranya menunjukkan gejala khas.
Secara epidemiologi, terjadinya penularan suatu penyakit karena in-
teraksi antara faktor host (manusia), agent (mikrofilaria) dan lingkungan
(termasuk di dalamnya adalah nyamuk vektor). Menurut Hendrik L. Blum
(1974), terdapat empat faktor yang yang mempengaruhi status kesehatan
manusia, yaitu: lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan 6.
Faktor manusia selain imunitas adalah perilaku terhadap suatu penyakit.
Perilaku mempunyai pengaruh terhadap tingkat kesehatan seseorang. Ket-
erkaitan antara hal tersebut, maka dilakukan suatu survei untuk melihat
sejauhmana perilaku masyarakat di wilayah endemis filariasis khususnya di
wilayah Kec. Panumbangan yang mempunyai jumlah penderita kronis
terbanyak di Kab. Ciamis.

Edisi 18  Juni 2015 45


Karakteristik Penderita

Survey yang dilaksanakan tim Loka Litbang P2B2 Ciamis pada tanggal
21 Maret 2012 di Desa Medanglayang Kecamatan Panumbangan, Kabupat-
en Ciamis dengan menggunakan 30 responden yang telah menandatangani
persetujuan untuk diwawancarai (informed concent). Desain penelitian
menggunakan potong lintang (cross sectional) dengan teknik pengambilan
sampel secara purposive sampling. Perilaku masyarakat yang dinilai meliputi
pengetahuan dan persepsinya tentang filariasis.

Tabel 2. Karakteristik Responden berdasarkan Pengetahuan terhadap Filariasis di Desa


Medanglayang Kec. Panumbangan Kab. Ciamis
Pengetahuan (%)
Karakteristik responden
Baik Sedang Kurang
15 – 25 tahun 10.0 6.7 0.0
26 – 35 tahun 10.0 6.7 6.7
Umur
36 – 45 tahun 6.7 13.3 3.3
> 45 tahun 0.0 6.7 30.0
tdk tamat SD 0.0 0.0 10.0
tamat SD 6.7 16.7 23.3
Pendidikan SMP 10.0 13.3 3.3
SMA 3.3 6.7 3.3
PT 3.3 0.0 0.0
tdk bekerja 10.0 3.3 13.3
Petani 0.0 0.0 6.7
pedagang 0.0 10.0 6.7
Pekerjaan
Jasa 0.0 3.3 6.7
Pns 3.3 0.0 0.0
Pelajar 10.0 20.0 6.7

Responden yang berhasil ditemui pada saat survei sebagian besar di


dominasi oleh wanita atau ibu-ibu yaitu sebesar 70% dan responden sebagai
penduduk asli juga mendominasi yaitu sebesar 83,3%. Berdasarkan ke-
lompok umur, pengetahuan responden pada kelompok umur > 45 merupa-
kan kelompok umur yang pengetahuannya masih termasuk kategori kurang.
Berdasarkan tingkat pendidikan, responden tidak tamat SD sampai tamat
SD sebagian besar masih kurang pengetahuannya terhadap filariasis. Jika
dilihat dari segi pekerjaan, hanya yang mata pencaharian petani, pedagang,
jasa yang pengetahuannya tentang filariasis tergolong katagori rendah.

46 Edisi 18  Juni 2015


Hasil berbeda ditunjukkan pada hasil penilaian persepsi responden jika
dilihat berdasarkan karakteristik responden (tabel 3). Pada pertanyaan per-
sepsi yang mencakup tingkat bahaya, keparahan, penatalaksanaan kasus,
pencegahan dan pengendalian filariasis sebagian besar responden termasuk
dalam kategori skor sedang. Persepsi mereka yang sudah baik, namun tidak
diikuti dengan praktek dan pengetahuan yang baik. Mereka masih
menganggap bahwa filariasis adalah penyakit yang tidak ditularkan oleh
nyamuk dan menganggap penyakit tersebut termasuk penyakit degeneratif
seperti asam urat, hipertensi, dll.
Tabel 3. Karakteristik Responden berdasarkan Persepsi terhadap Filariasis di Desa Me-
danglayang Kec. Panumbangan Kab. Ciamis
Persepsi
Karakteristik Responden
Baik Sedang Kurang
15 – 25 10.0 6.7 0.0
26 – 35 6.7 16.7 0.0
Umur
36 – 45 6.7 13.3 3.3
> 45 3.3 20.0 13.3
tidak tamat SD 0.0 6.7 3.3
tamat SD 10.0 23.3 13.3
Pendidikan SMP 13.3 13.3 0.0
SMA 3.3 10.0 0.0
Akademik/PT 3.3 0.0 0.0
tidak bekerja 3.3 13.3 10.0
Petani 0.0 3.3 3.3
Pedagang 3.3 10.0 3.3
Pekerjaan
Jasa 3.3 6.7 0.0
PNS 3.3 0.0 0.0
Pelajar 6.7 6.7 0.0

Skor penilaian terhadap variabel pengetahuan dan persepsi responden


dikategorikan menjadi tiga kategori yaitu kurang, sedang dan baik. Penge-
tahuan responden terhadap filariasis sebagian besar termasuk dalam kate-
gori sedang yaitu sebanyak 17 responden, sedangkan 12 responden memiliki
persepsi terhadap penatalaksanaan kasus, pengendalian nyamuk vektor fila-
riasis masuk dalam kategori kurang.
Pengetahuan masyarakat yang masih rendah dipengaruhi oleh banyak
faktor, diantaranya adalah promosi kesehatan yang belum komprehensif,
kurangnya pengetahuan kader atau tenaga kesehatan sebagai ujung tombak
dalam penyampaian informasi ke masyarakat. Selama ini media yang efektif
yang masih banyak dipilih oleh masyarakat adalah media televisi. Oleh kare-

Edisi 18  Juni 2015 47


Gambar 1. Distribusi
Pengetahuan dan Sikap
Responden terhadap Fila-
riasis di Desa Medangla-
yang Kec. Panumbangan
Kab. Ciamis

na itu perlu dilakukan upaya penguatan promosi kesehatan melalui berbagai


metode terutama untuk filariasis sebagai salah satu masalah kesehatan
masyarakat di wilayah Kabupaten Ciamis sehingga bisa memutus rantai pen-
ularan serta menurunkan kasus Filariasis di wilayah tersebut.

Penutup
Penularan filariasis sebagai penyakit vektor perlu di waspadai karena
dapat menyebabkan kecacatan dan psikososial bagi penderita dan keluarga.
Penderita kronis yang di dalam darahnya sudah tidak ditemukan mikrofilaria
(negatif) harus tetap di rawat sehingga luka yang ditimbulkan tidak semakin
memperparah kondisi penderita.
Penyuluhan tentang penyakit filariasis harus lebih diperkuat karena pen-
yakit ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan manusia itu sendiri.
Masyarakat perlu mengetahui cara penularan, cara pencegahan dan pen-
gobatan dan tatalaksana perawatan penderita. Informasi tentang kesehatan
yang tepat akan mempengaruhi kondisi perilaku hidup bersih dan sehat indi-
vidu dan masyarakat.[EPA]

Referensi
Anonim. 2010. “Filariasis di Indonesia” [Topik Utama]. Buletin Jendela Epidemiologi. Vol. I Juli
2010 hal. 1 – 8. ISSN 2087 – 1546. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi. Kementerian
Kesehatan RI.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. 2012. Situasi P2 Filariasis Provinsi Jawa Barat 2007 –
2011. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. Kemenkes RI.
Dinas Kesehatan Kabupaten Ciamis. 2011. Situasi P2 Filariasis Kab. Ciamis. Dinas Kesehatan
Kabupaten Ciamis. Kementerian Kesehatan RI.
Anonim. Profil Kecamatan Panumbangan Kabupaten Ciamis. [Disitasi : 2 Desember 2012].
www.ciamiskab.go.id/

48 Edisi 18  Juni 2015


Berkenalan Yuk! Dengan Si KARIS dan Si KARSU
Oleh : Fery Jelitawati
Balai Besar Litbang Vektor dan Reservoir Penyakit, Salatiga

Setiap pegawai negeri sipil atau PNS yang sudah melangsungkan


perkawinan mempunyai isteri atau suami yang sah, diberikan Karis dan
Karsu. Karis adalah singkatan dari Kartu Isteri, sebaliknya Karsu adalah
Kartu Suami. Keduanya adalah kartu identitas isteri/suami. Jadi, bukan na-
ma orang, yaa!
Seorang isteri almarhum PNS yang sakit stroke kebingungan saat mengu-
rus gaji pensiun janda sedang disisi lain pegawai Taspen meminta KARIS
kepada ibu tersebut. Hal inilah yang perlu diantisipasi oleh PNS yang ber-
sangkutan sebelum pensiun atau sebelum almarhum supaya sang isteri tidak
mengalami kesulitan dan kebingungan nantinya. Demikian pula para pejabat
kepegawaian agar tidak berpangku tangan, segera tanpa menunda-nunda
pekerjaan dalam hal ini. Mendengar ucapan isteri seorang Pegawai Negeri
Sipil yang menyatakan bahwa tidak memiliki Kartu Isteri hal ini sangatlah
memprihatinkan.
Setiap isteri/suami Pegawai Negeri Sipil harus memiliki Karis atau Karsu
sesuai dengan Peraturan Kepala
BKN nomor 1158a/KEP/1983 tang- Manfaat Karis dan Karsu:
gal 25 April 1983 tentang Kartu  Sebagai bukti bahwa PNS yang
Isteri/Suami Pegawai Negeri Sipil. bersangkutan telah melaporkan
Karis/Karsu adalah identitas perkawinannya kepada pejabat
isteri/suami Pegawai Negeri Sipil Pembina kepegawaian
dalam arti pemegangnya adalah  Tanda bukti sah sebagai isteri/
isteri/suami sah dari Pegawai Negeri suami PNS
Sipil yang bersangkutan. Kenapa Untuk mempermudah
diperlukan Karis/Karsu? Karena Ka- penyelesaian pemberian hak-
ris/Karsu salah satu persyaratan un- hak sebagai isteri/suami PNS
tuk mendapatkan pensiun/pensiun jika terjadi permasalahan
janda atau duda dari PNS. Apabila
 Untuk mempermudah
PNS berhenti dengan hormat dengan
hak pensiun maka Karis/Karsu yang penyelesaian pemberian hak-
telah diberikan kepada isteri/ hak sebagai isteri/suami PNS
suaminya tetap berlaku, begitu juga jika terjadi permasalahan
apabila PNS/atau pensiunan PNS

Edisi 18  Juni 2015 49


Beberapa ketentuan Karis/Karsu :
 Karis/Karsu ditetapkan oleh Kepala BKN
 Karis/Karsu berlaku selama yang bersangkutan menjadi isteri/suami sah
dari PNS yang bersangkutan
 Apabila seorang PNS berhenti sebagai PNS tanpa hak pension maka Ka-
ris/Karsu yang telah diberikan kepada suami/isteri dengan sendirinya tid-
ak berlaku lagi
 Apabila seorang isteri/suami PNS bercerai, maka Karis/Karsu yang telah
diberikan kepadanya dengan sendirinya tidak berlaku lagi tetapi apabila ia
rujuk/kawin kembali dengan bekas suami/isterinya, maka Karis/Karsu
tersebut dengan sendirinya berlaku kembali

Berdasarkan keputusan Kepala BAKN nomor 1158a/KEP/1983 tanggal 25


April 1983 tentang Karis/Karsu PNS, beberapa syarat pembuatan Karis/
Karsu sebagai berikut :
1. Surat pengantar dari unit kerja
2. Fotocopy Karpeg
3. Fotocopy SK PNS/Kenaikan pangkat terakhir
4. Fotocopy akte/buku nikah
5. Pas foto ukuran 2x3 sebanyak 2 (dua) lembar

Dasar Hukum :
 UU nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
 UU nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagaima-
na telah diubah dengan Undang-undang nomor 43 Tahun 1999
 Peraturan Pemerintah nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Per-
aturan Pemerintah nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan
Perceraian PNS
 Keputusan Kepala BAKN 1158a/KEP/1983 tanggal 25 April 1983 ten-
tang Karis/Karsu PNS
 Surat Edaran Kepala Kantor Wilayah II BAKN nomor 22a/KW.II.K/II/86
tanggal 3 Februari perihal Permintaan Karpeg dan Karis/Karsu
 Surat Edaran Kepala BAKN nomor 08/SE/1983 tanggal 26 Maret 1983
tentang Petunjuk Permintaan, Penetapan, Penggunaan Kartu Isteri/Kartu
Suami Pegawai Negeri.

50 Edisi 18  Juni 2015


RENUNGAN

Milik Sang Pencipta


Oleh: Hubullah Fuadzy

Sang serangga? Serangga itu terbang penuh dengan nuansa elok dan ele-
gan. Bak Paduka Raja yang melangkah tapak demi tapak menuju singgasa-
na. Tubuhnya hitam panjang dengan nuansa putih yang menawan. Kepala,
toraks, dan abdoman menjadi penyangga untuk tetap lestari menjalani
hidup. Melekat sebuah probosis pada bagian kepala yang berperan sebagai
petanda jati diri, juga menjadi alat untuk memperoleh asupan nutrisi nan
bergizi. Ketika nutrisi berkurang, nektar menjadi pelepas rasa lapar. Ketika
hendak mematangkan embrio, darah segar menjadi bahan utama selimut
keturunan. Disajikan pula lukisan dua buah lyra seperti lengkungan arit
dipisahkan oleh sebuah garis tegas pada bagian dorsal toraks. Abdomen
dengan guratan putih dan hitam yang tertata rapih, membuat serangga ini
begitu cantik nan rupawan.
Ketika terlahir ke dunia sebagai serangga dewasa, dia mengepakkan sa-
yapnya untuk terbang dengan begitu gagahnya. Serangga tahu berapa
jumlah kepak sayap yang harus dihasilkan untuk dapat terbang, dan berapa
kepak sayap untuk dapat mendarat di permukaan. Bahkan pada saat kawin
di udara, serangga tahu kepakan sayap yang harus dilakukan untuk dapat
menyaingi kepakan sayap pasangannya. Sehingga serangga tidak mengala-
mi kecelakaan pada saat take off, terbang, kawin, dan landing.
Benar bahwa serangga ini berperilaku sebagai penular penyakit demam
berdarah dengue. Benar bahwa serangga ini dapat mengganggu kenya-
manan. Benar bahwa serangga ini hidup pada daerah yang sangat, sangat
bersih, sehingga setiap manusia kurang menyadari keberadaan sang se-
rangga. Benar pula bahwa penyakit yang ditularkan serangga ini dapat
membawa pada kematian.
Cerita yang mengejutkan adalah kelas serangga telah diketahui berada di
dunia sejak 400 juta tahun sebelum manusia menginjakkan kaki di bumi.
Telah ribuan tahun lamanya, manusia menyatakan perang terhadap se-

Edisi 18  Juni 2015 51


rangga pengganggu, tetapi serangga mampu bertahan hingga hari ini, esok,
lusa, dan entah sampai kapan lagi. Termasuk sang serangga, untuk member-
antas hingga zero pest, manusia telah berinvenstasi hingga nominal tak
terhingga, tetapi sang serangga masih menularkan penyakit tanpa pandang
bulu. Serangga tahu bagaimana melawan agresi yang dilakukan oleh manu-
sia.
Jadi, dibalik keindahan purna rupa, terdapat keburukan perilaku. Ini satu
hal, jadi teringat kata Aa Gym; orang lain akan menghargai, menghormati,
dan menganggap kita orang, karena Allah SWT tidak membuka aib kita. Ba-
yangkan kalau Allah SWT membuka aib kita satu saja, orang akan me-
mandang kita dengan pandangan yang berbeda. Betul!.
Kembali ke Laptop. Hal lainnya adalah siapakah arsiteknya? siapakah pen-
didiknya? dan yang paling penting adalah apa nomenklatur binomialnya?.
Jawaban utama adalah Masya Alloh, jawaban sekunder adalah wow amaz-
ing. Jawaban sebenarnya adalah Tuhan Yang Maha Esa, yang memiliki sifat
Sang Pencipta, pemilik nyamuk Aedes aegypti. Lalu kemudian terbersit satu
keyakinan, Tuhan tidak menciptakan makhluk-Nya tanpa tujuan dan
manfaat bagi makhluk yang lainnya. Sebuah pertimbangan; Tuhan, kemudi-
an keberadaan manusia dan Aedes aegypti, maka lahirlah ilmuwan, industri,
sekolah, dan lain sebagainya. *HF+

52 Edisi 18  Juni 2015

Anda mungkin juga menyukai