Anda di halaman 1dari 9

The 

COVID-19 pandemic has impacted religion in various ways, including the


cancellation of the worship services of various faiths and the closure of Sunday
schools, as well as the cancellation of pilgrimages, ceremonies and festivals.[1] Many
churches, synagogues, mosques, and temples have offered worship
through livestream amidst the pandemic.[2]
Relief wings of religious organisations have dispatched disinfection supplies,
powered air-purifying respirators, face shields, gloves, coronavirus nucleic acid
detection reagents, ventilators, patient monitors, syringe pumps, infusion pumps, and
food to affected areas.[3] Other churches have offered free COVID-19 testing to the
public.[4] Adherents of many religions have gathered together to pray for an end to
the COVID-19 pandemic, for those affected by it, as well as for wisdom for physicians
and scientists to combat the diseas.[5][6]

     
tirto.id - Keuskupan Agung Jakarta memberikan imbauan pencegahan virus corona COVID-19 di
lingkungan sekitar dan di gereja. Virus corona COVID-19 ini bisa menular dari manusia ke manusia
dengan berbagai cara. Pertama, manusia bisa tertular jika tidak sengaja menghirup percikan ludah
dari bersin atau batuk penderita COVID-19.

Kedua, manusia bisa tertular jika memegang mulut atau hidung tanpa mencuci tangan terlebih
dahulu setelah menyentuh benda yang terkena air liur penderita. Ketiga, penularan bisa terjadi
lewat kontak jarak dekat dengan penderita, seperti bersentuhan atau berjabat tangan.

Virus corona bisa mengancam siapa saja, tetapi lebih berisiko menyerang orang tua, serta orang
yang sedang sakit atau memiliki kekebalan tubuh lemah.

KAJ merekomendasikan beberapa cara untuk mencegah penularan dan penyebaran COVID-19 di
gereja, sesuai dengan kondisi di Indonesia/Keuskupan Agung Jakarta seperti dikutip dari Siaran Pers
Keuskupan Agung Jakarta, yaitu sebagai berikut:

1. Umat dapat tetap beribadah di gereja, tetapi bagi mereka yang sedang menderita sakit
pernapasan (batuk, pilek, sakit tenggorokan), disarankan untuk tinggal di rumah dan berobat ke
dokter.

2. Diharapkan umat merawat kebersihan tangannya masing-masing dengan membawa hand


sanitizer sendiri.
3. Air suci di pintu masuk gereja tetap disediakan. Umat dapat menggunakannya ataupun tidak.

4. Penerimaan komuni dianjurkan sebaiknya menggunakan tangan saja.

5. Ritus Salam Damai dengan bersalaman masih dapat dilaksanakan dengan tetap memperhatikan
kebersihan tangan masing-masing, atau umat boleh tidak melakukannya.

6.Pada Upacara Penghormatan Salib Jumat Agung, untuk kesempatan kali ini umat dipersilakan
membawa dan menggunakan salibnya sendiri.

.
Saran WHO untuk Cegah Penularan Virus Corona COVID-19

Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menyarankan langkah-langkah


perlindungan untuk semua orang terhadap virus corona COVID-19. Hingga Selasa (3/3/2020), virus
ini telah menyebar ke lebih dari 60 negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Sebagian besar orang yang terinfeksi virus corona COVID-19 mengalami penyakit ringan dan bisa
sembuh, tetapi bisa lebih parah bagi orang lain. Hal yang terpenting untuk mencegah penyebaran
virus ini adalah menjaga kesehatan dan melindungi orang lain dengan melakukan hal berikut:

1. Bersihkan tangan secara teratur dan menyeluruh dengan cairan berbasis alkohol atau cuci tangan
dengan sabun dan air.

Mencuci tangan dengan sabun dan air atau menggunakan cairan pembersih berbasis alkohol bisa
membunuh virus yang mungkin ada di tangan Anda.

2. Pertahankan jarak setidaknya 1 meter (3 kaki) antara Anda dan siapa saja yang batuk atau bersin.

Ketika seseorang batuk atau bersin, mereka menyemprotkan tetesan cairan kecil (droplet) dari
hidung atau mulut mereka yang mungkin mengandung virus. Jika Anda terlalu dekat, Anda bisa
menghirup tetesan air, termasuk virus corona COVID-19 jika orang tersebut positif COVID-19.

3. Hindari menyentuh mata, hidung dan mulut. Tangan menyentuh banyak permukaan dan virus
corona bisa menempel di sana. Setelah terkontaminasi, tangan dapat memindahkan virus ke mata,
hidung, atau mulut Anda. Dari sana, virus bisa masuk ke tubuh Anda dan bisa membuat Anda sakit.

4. Pastikan Anda, dan orang-orang di sekitar menjaga kebersihan pernapasan, yaitu dengan menutup
mulut dan hidung dengan siku atau bagian lain yang tertekuk saat Anda batuk atau bersin. Kemudian
segera buang tisu bekas.

Cairan dari pernapasan atau droplets bisa menyebarkan virus. Dengan mencegah cairan itu
menyebar, Anda melindungi orang-orang di sekitar Anda dari virus seperti flu dan COVID-19.

5. Tetap di rumah jika Anda merasa tidak sehat. Jika Anda mengalami demam, batuk dan kesulitan
bernapas, cari bantuan medis dan hubungi mereka terlebih dahulu. Ikuti arahan otoritas kesehatan
setempat Anda.
Otoritas nasional dan lokal akan memiliki informasi terbaru tentang situasi di daerah Anda.
Menelepon terlebih dahulu akan memungkinkan penyedia layanan kesehatan dengan cepat
mengarahkan Anda ke fasilitas kesehatan yang tepat. Ini juga akan melindungi Anda dan membantu
mencegah penyebaran virus dan infeksi lainnya.

6. Baca perkembangan terbaru tentang COVID-19. Ikuti saran yang diberikan oleh penyedia layanan
kesehatan, otoritas kesehatan publik nasional dan lokal tahu tentang cara melindungi diri sendiri dan
orang lain dari COVID-19.

Di antara laporan-laporan berita sepanjang waktu, wawancara dengan para pakar


kesehatan masyarakat, dan pakar yang mengeluarkan pro dan kontra berbagai strategi
pemberantasan penyakit, kita hampir-hampir tidak pernah kehilangan informasi dan
perspektif tentang COVID-19. Namun masih ada banyak pertanyaan yang kita gumuli untuk
dijawab dengan yakin penuh: Mengapa ini terjadi? Apa yang harus kita lakukan dalam
menanggapinya? Dan di mana Tuhan dalam semua ini? Di dalam.
Banyak orang Kristen telah menulis buku-buku tentang pandemi — dari John
Lennox hingga John Piper , dan bahkan orang-orang ternama selain John. Apa yang
mengilhami Anda untuk mengkontribusikan buku Anda sendiri?

Kembali pada bulan Maret, majalah Time bertanya apakah saya akan membuat artikel tentang


pandemi. Dengan judul yang agak provokatif: “Kekristenan Tidak Memberikan Jawaban
Tentang Virus Corona. Memang Tidak Seharusnya.” Saya mau mengatakan bahwa hal ini
mengarahkan kita kepada Kitab Roma pasal 8, tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada
Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan (ayat 26) —ini adalah hal yang luar
biasa yang dikatakan oleh Paulus. Dan apa yang dikatakannya kepada saya adalah bahwa kita
seharusnya merendahkan diri dalam menghadapi hal ini, bukan berpikir bahwa kita harus
mengetahui semua jawaban.
Setelah artikel tersebut terbit, saya mendapatkan umpan balik. Orang-orang mengirim saya
email menanyakan, “Bagaimana bisa Anda berkata seperti itu?” Dan saya diinformasikan
tentang perkataan orang-orang di Twitter (saya sendiri tidak pernah melihat Twitter).
Sementara itu, saya terus mendengar orang-orang menggunakan ayat Firman Tuhan dengan
cara yang kurang memadai. Buku ini adalah upaya untuk mengeksplorasi bagaimana Alkitab,
dalam keseluruhan narasi dan alurnya, benar-benar berbicara tentang keadaan yang kita alami
sekarang.

Ketika COVID-19 melanda, banyak dari kita yang mengalami kejutan. Apakah Anda
berpikir bahwa gereja Barat telah hidup nyaman dan aman begitu lama sehingga lupa
bagaimana untuk menghadapi kegelapan, penderitaan, dan krisis?

Benar! Saya berbicara dengan seorang pemimpin gereja senior beberapa minggu yang lalu
tentang hal ini, dan dia berkata: “Anda tahu, Tom, kita tidak meratap dengan sangat baik.
Kita tidak terbiasa dengan hal tersebut. Tapi kita juga tidak merayakannya dengan sangat
baik. Apa yang kebanyakan kita lakukan adalah satu melampiaskan rasa puas. ” Dan saya
pikir dia benar. Saya terus mendengar orang-orang Kristen bertanya, “Mungkinkah ini akhir
dari dunia?” Dan saya ingin mengingatkan mereka bahwa hal seperti ini telah terjadi berulang
kali. Sebagai contoh, pada tahun 1917–1918, ada pandemi flu Spanyol yang hebat, di mana
gereja-gereja di beberapa bagian dunia ditutup selama setahun. Kita lupa bahwa sebelumnya
kita sudah pernah mengalaminya .
Selanjutnya, untuk generasi baby boomer, yang bertumbuh setelah Perang Dunia II, kita
belum ada perang di wilayah kita. Kita belum mengalami pandemi. Memang, kita telah
mengalami beberapa krisis ekonomi, tetapi kita berhasil mengatasinya dengan segala
kekurangan dan kelebihannya Kita mengacau dan melanjutkan seolah-olah tidak ada hal
buruk yang akan terjadi. Kita melupakan sejarah.

Saya tertarik saat membaca ulang Surat-surat Martin Luther baru-baru ini, yang salah satunya
saya kutip di dalam buku saya. Luther harus menghadapi hal-hal semacam ini setiap beberapa
tahun, baik untuk dirinya sendiri atau untuk orang-orang di kota-kota tetangga yang berteriak,
“Tolong! Kita di masa epidemi yang hebat. Orang-orang sekarat. Apa yang kita lakukan?
“Luther berbicara tentang mematuhi aturan minum obat, membantu secara praktis di mana
Anda bisa, dan tidak terlibat dalam menularkan penyakit kepada orang lain jika
kemungkinana Anda terinfeksi. Dia sangat pragmatis, dengan efektif berkata, Ini cara kita
mengatasinya. Janganlah kita membuat kehebohan teologis yang besar tentang hal tersebut.

Kitab Anda menggambarkan begitu banyak tema Perjanjian Lama, khususnya dari
Mazmur dan Ayub. Mengenai yang terakhir, Anda berpendapat bahwa “bagian dari
inti Ayub tepatnya adalah karakter yang belum terselesaikan.” Apakah Anda pikir
orang Kristen dewasa ini bergumul dengan ambiguitas karena mereka tidak memiliki
landasan yang lebih kuat dalam Perjanjian Lama?

Saya pikir Perjanjian Baru memiliki tempat untuk ambiguitas juga. Ada banyak tempat dalam
Perjanjian Baru yang berakhir dengan semacam titik-titik-titik, karena itu yang disebut hidup
oleh iman.
Secara keseluruhan, saya pikir bagian dari masalah kita adalah rasionalisme dari dua atau tiga
ratus tahun terakhir di dunia Barat, yang telah meresap ke dalam gereja karena kritik
rasionalis terhadap kekristenan telah mengatakan hal-hal seperti: “Aha, lihat, ilmu
pengetahuan modern menunjukkan kepada kita bahwa kekristenan itu palsu!” Sebagai
tanggapan, orang Kristen rasionalis mengatakan, “Tidak, mari kita tunjukkan bahwa
semuanya benar-benar rasional!” Hal ini menyebabkan kita menginginkan untuk memiliki
jawaban atas segalanya, sehingga kita mengatakan hal-hal seperti: “Karena Allah berdaulat,
Dia pasti melakukan ini dengan sengaja atau setidaknya mengizinkannya terjadi dengan
sengaja.” Kita berpikir kita harus bisa melihat apa yang Dia lakukan. Tapi sesungguhnya saya
tidak yakin bahwa kita diberikan akses semacam itu.

Salah satu momen favorit saya dalam Perjanjian Baru adalah dalam surat Paulus kepada
Filemon tentang Onesimus, si budak. Dia menulis, ’Sebab mungkin karena itulah dia
dipisahkan sejenak dari padamu, supaya engkau dapat menerimanya untuk selama-
lamanya”(1:15). Dengan kata lain, Paulus berpikir mungkin dia dapat melihat apa yang
Tuhan rencanakan dalam situasi ini. Tapi dia tidak akan mengatakannya secara pasti.
Dalam hal ini dibutuhkan kerendahan hati. Kini hal itu bisa melebar ke belakang menjadi
sikap “Kita tidak tahu apa-apa, siapa peduli?” Hal ini tidaklah bijaksana, karena kita
diberikan pedoman. Tetapi dengan mengetahui semua detailnya, seperti kata pepatah, lebih
mahal dari nilai gaji kita. Itulah pekerjaan Tuhan. Tugas kita adalah, apa saja yang Tuhan
suruh kita kerjakan, kita lakukan dengan baik.

Ketika Anda berbicara tentang Injil, Anda menekankan sebuah contoh saat Yesus
berdiri di depan makam Lazarus, dan menangis. Apa yang akan Anda katakan kepada
seseorang yang bukan Kristen, yang bergulat dengan masalah penderitaan, dan yang
bertanya: “Apa gunanya Tuhan yang menangis? Saya bisa menangis. Siapa saja bisa
menangis. Yang kita butuhkan adalah tindakan; kita perlu melakukan sesuatu!
Bagaimana Yesus yang menangis dapat menolong? ”
Ada banyak tindakan di dalam cerita tersebut, dan tindakan yang tumbuh dari air mata.
Seperti yang sering terjadi, faktanya, air mata yang dicatat di dalam Injil terkadang
merupakan elemen penting. Apa yang ditunjukkan adalah, Tuhan yang menciptakan dunia
ini, yang menjadi manusia sebagai Yesus dari Nazaret, tidak hanya duduk di atas, melihat ke
bawah dan berkata, “Oke, aku akan membereskan kekacauanmu.” Sebaliknya, Dia adalah
Tuhan yang datang yang rela kotor tangannya dan yang tangannya terpaku supaya Dia bisa
berada bersama kita dan untuk menyelamatkan kita. Sangatlah menghibur ketika mengetahui
pada saat saya berduka, Yesus juga berduka bersama saya seperti yang dikatakan Rasul
Paulus dalam Kitab Roma Pasal 8, dan Roh Kudus juga berduka di dalam diri saya. Dan ini
adalah salah satu hal yang menandai iman Kristen sangat berbeda dari pandangan dunia
lainnya yang setahu saya.

Apa yang selebihnya yang diajarkan oleh Perjanjian Baru — dan khususnya dalam
peran Roh Kudus — tentang tanggapan kita terhadap pandemi?

Kitab Roma pasal 8, yang baru saja saya sebutkan, adalah salah satu bagian Firman Tuhan
terbesar di seluruh Alkitab. Ketika saya bekerja sebagai seorang uskup, saat saya
mewawancarai orang-orang untuk pekerjaan di paroki, terkadang saya akan bertanya, “Apa
ayat Firman Tuhan di dalam Alkitab yang menjadi ayat Anda saat Anda di pulau terpencil?”
Dan untuk membuatnya lebih sulit, saya akan menambahkan, “Anda sudah mendapatkan
Yohanes 20 dan Roma 8, jadi jangan pergi ke sana. Itu sangat jelas sekali.”

Kitab Roma pasal 8 penuh dengan kemuliaan. Penuh dengan keselamatan. Penuh dengan
pekerjaan Roh. Namun, hal tersebut mudah terbawa suasana, dan bayangkan begitu kita
melewati bagian-bagian yang sulit dari Kitab Roma pasal 7, kita berlayar tinggi sampai
kepada di mana Paulus menegaskan bahwa tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih
Allah (8 :38–39). Tetapi Anda masih harus melalui terowongan gelap di Kitab Roma 8:18-30,
terutama ayat 26 dan 27, yang berbicara tentang Roh yang menjadi perantara bagi kita dalam
kelemahan kita.

Ketika dunia dalam kekacauan, seperti pada umumnya tapi khususnya pada saat-saat seperti
sekarang, akan sangat mudah untuk membayangkan gereja berdiri kembali dan berkata,
“Sayang sekali dunia berada dalam kekacauan seperti itu. Tapi setidaknya kita tahu
jawabannya. ” Tetapi tidak, Paulus berkata "Dan bukan hanya mereka saja, tetapi kita yang
telah menerima karunia sulung Roh, kita juga mengeluh dalam hati kita sambil menantikan
pengangkatan sebagai anak, yaitu pembebasan tubuh kita" (Rm. 8:23).
Anda mungkin berkata, oke, jadi gereja berbagi kekacauan yang ada di dunia ini, tetapi tentu
saja Tuhan tahu apa yang sedang Dia lakukan. Yah, dalam arti tertentu, ya, Tuhan tahu apa
yang sedang Tuhan lakukan. Tetapi di sini kita menemukan misteri Allah Tritunggal, karena
Paulus mengatakan bahwa pada saat itu juga, Roh mengerang di dalam diri kita dengan
keluhan-keluhan yang tidak terucapkan. Lebih jauh lagi, menyinggung ke Mazmur 44, salah
satu mazmur ratapan besar, Paulus berkata "Dan Allah yang menyelidiki hati nurani,
mengetahui maksud Roh itu, yaitu bahwa Ia, sesuai dengan kehendak Allah, berdoa untuk
orang-orang kudus." (Rm. 8:27). Dengan kata lain, Allah Bapa mengetahui pikiran Roh.
Tetapi pikiran Roh adalah pikiran yang tidak memiliki kata-kata untuk mengatakan betapa
mengerikannya hal-hal yang terjadi saat ini.
Ini adalah sebuah bisnis yang sangat aneh. Tetapi saya fikir apa yang dimaksudkan adalah :
untuk menyelamatkan dunia, Allah datang dalam pribadi Putra-Nya untuk menanggung
beban dosa atas diri-Nya sendiri. Dan Tuhan datang dalam pribadi Roh untuk menjadi pribadi
yang berdoa dengan keluhan-keluhan di dalam gereja, tempat di mana dunia yang sedang
sakit. Begitulah cara Tuhan bergerak melalui rasa sakit dari keadaan yang mengerikan dan
malu dalam dunia kepada keselamatan - Ciptaan Baru, yang dijanjikan kepada kita.

Gagasan tentang Roh yang mengerang dan mengeluh membawa saya kembali ke
sesuatu yang Anda sentuh sebelumnya, yaitu ratapan. Melalui buku di mana Anda
berkata kita perlu “merengkuh ratapan.” Apakah ini sesuatu yang telah kita lupakan
di gereja modern? Jika demikian, bagaimana kita menemukannya kembali?
Ya, sesungguhnya saya berpikir sebagian dari kita telah melupakannya. Bagi yang di dalam
tradisi yang memakai Mazmuran sepanjang waktu, ada baiknya kita sering meratap. Ketika
saya berdoa dalam Mazmuran, hari demi hari, saya sering menyanyikan salah satu mazmur
ratapan - dan seringkali inilah yang saya butuhkan, karena hal-hal buruk yang terjadi dalam
hidup saya.

Di waktu yang lainnya saya menemukan mazmur ratapan saat saya secara pribadi merasa
gembira. Maka, sebagai latihan spiritual, saya mencoba memikirkan cara untuk masuk ke
dalam situasi orang-orang yang saya kenal di seluruh dunia: baik teman saya atau orang yang
pernah saya lihat di televisi atau dalam berita yang berada dalam situasi yang mengerikan
saat ini —Orang-orang yang berada di kamp pengungsi yang mengerikan dan jorok, atau apa
pun masalahnya. Dan saya berdoa mazmur ratapan untuk merangkul mereka dalam kasih
Allah.

Kita perlu mengingat bahwa ratapan bukan hanya untuk masa Prapaskah. hal ini juga
dibangun di Advent, saat kita mempersiapkan Natal. Itu adalah musim yang dapat kita
gunakan untuk mengembangkan liturgi ratapan yang membawa rasa sakit dunia ke hadirat
Allah, dengan memakai mazmur ratapan - seperti Mazmur 22, 42, dan 88 - yang
menggambarkan apa yang Yesus doakan di kayu salib: “Ya Tuhan Ya Tuhan, mengapa
Engkau meninggalkan Aku? ” (Mat. 27:46). Terkadang doa-doa itu keluar dari sisi lain ke
dalam cahaya. Dan terkadang, seperti Mazmur 88, mereka tidak melakukannya. Mereka tetap
dalam kegelapan. Dan ada satu perasaan bahwa Allah menyertai kita dalam kegelapan itu.

Menjelang akhir buku, Anda berbicara tentang gereja dan tanggapannya terhadap
berbagai perintah lockdown. Anda berpendapat bahwa kerelaan kita untuk menunda
pertemuan langsung dan melakukan Ibadah online yang secara tidak sengaja
memperkuat gagasan tersebut, gagasan sekuler bahwa iman adalah sebuah kegiatan
pribadi. Bagaimana kita menavigasi tekanan di antara seruan untuk ibadah bersama
dan pentingnya kesehatan masyarakat?

Saya mulai dengan poin yang dibuat Luther agar kita tidak menyebarkan infeksi. Itu tidak
bertanggung jawab. Itu bermain-main dengan kehidupan orang lain. Dan jika kita lebih
mencintai bangunan gereja daripada mencintai tetangga, maka celakalah kita. Faktanya
adalah, sebagian besar gereja di Inggris adalah bangunan tua, yang membuatnya sangat sulit
untuk membersihkannya. Dan saya menanggapinya dengan sangat serius.

Tetapi di sisi lain, saya khawatir bahwa gereja online dapat dengan mudah menggoda kita
untuk berkata, “Oh, kita tidak perlu bertemu langsung, karena ini adalah masalah rohani.”
Jadi, bisakah Anda menyembah Tuhan di kamar Anda, di dalam piyama, seperti di tempat
lain? Ya, dalam arti tertentu Anda bisa. Tetapi agama Kristen adalah seperti olahraga tim.
Sesuatu yang kita lakukan bersama. Buah-buah Roh: kasih, sukacita, damai sejahtera,
kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri (Gal. 5:22-
23). Semua itu adalah hal-hal yang kita lakukan bersama. Anda tidak bisa melatihnya terpisah
satu dari yang lainnya. Dan semakin cepat kita bisa kembali bersama, semakin baik.

Mengenai menerima Ekaristi, ya, kita dapat menerimanya di layar, tetapi ada juga rasa seperti
puasa, kekurangan, pengasingan, karena tubuh Kristus — keluarga besar umat Allah — tidak
hadir secara fisik bersama kita.

Saya sudah lama berpikir bahwa respons terpenting terhadap kejahatan dan
penderitaan bukanlah kata-kata yang lebih berupa tindakan, bahkan tindakan yang
mahal. Yesus mencontohkan hal ini untuk kita. Jadi, mengingat penderitaan yang
disebabkan oleh pandemi: Apa yang harus dilakukan orang Kristen sekarang? Lalu
bagaimana kita harus hidup?

Ada perikop yang menarik dalam Kitab Kisah Para Rasul pasal 11, di mana para murid di
Antiokhia mendengar dari seorang nabi bahwa akan terjadi kelaparan (ayat 28). Mereka tidak
menanggapi: Ya ampun, apa artinya ini? Apakah Tuhan marah kepada kita? Apakah ini
artinya Tuhan akan datang kembali?  Tidak, mereka begitu praktis. Mereka bertanya: Siapa
yang paling berisiko? apa yang bisa kita lakukan untuk membantu? Dan siapa yang harus
kita kirim? Hasilnya adalah bahwa Paulus dan Barnabas dikirim ke Yerusalem dengan
membawa persembahan uang untuk gereja miskin di sana (ayat 29–30).
Hal ini serupa dengan kisah di awal Kitab Yohanes pasal 9, kisah tentang orang yang
dilahirkan buta. Yesus praktis tanpa henti mencegah murid-muridnya untuk menanyakan
kesalahan siapa ini atau apakah dosa yang harus disalahkan (ayat 3). Sebenarnya itu bukan
kesalahan siapa pun. Pertanyaan penting adalah apa yang Tuhan ingin kita lakukan sebagai
tanggapan.

Jadi bagi kita, kita harus mulai dengan tetangga, teman, dan keluarga kita,
menanyakan siapa yang bisa kita bantu dengan membawa beberapa makanan,
peralatan, atau persediaan medis. Mungkin gereja kita bisa terlibat dengan sesuatu
seperti mengelola bank makanan. Singkatnya, kita harus bertanya: Apa yang bisa kita
lakukan?

Dalam bukunya yang luar biasa, Dominion: Bagaimana Revolusi Kristen Menciptakan


Kembali Dunia, sejarawan Tom Holland menunjukkan bahwa banyak hal yang gereja dan
hanya gereja lakukan sekarang telah diambil oleh masyarakat sekuler yang lebih luas.
Dengan demikian banyak dokter dan perawat yang tidak mau menyebut diri mereka Kristen
telah menanggapi perintah penting yaitu untuk merawat orang lain, bahkan dengan
mempertaruhkan hidup mereka sendiri Itu hal yang mulia.
Tetapi di dunia kuno, hanya orang Kristen yang melakukan itu. Jadi, dalam arti tertentu,
sebagian dari cita-cita Kristen itu telah menyebar ke dunia. Dan kita harus berterima kasih
kepada Tuhan untuk itu. Tetapi di gereja, kita telah melakukan hal-hal seperti pengobatan,
merawat orang miskin, dan pendidikan sejak hari pertama. Hal itu tertanam mendalam di
dalam DNA gereja. Jadi orang Kristen harus mengambil kembali tradisi itu dan berpegang
teguh pada tradisi itu — dan tidak hanya ketika ada pandemi yang sedang terjadi.

11 Tips Aman Beribadah di Tempat Ibadah Saat Pandemi


Corona
    

1. Pastikan kita berada dalam kondisi sehat saat akan melaksanakan


ibadah. Jika kita mengalami gejala seperti demam, batuk, pilek, nyeri
tenggorokan, dan sesak napas, sebaiknya tetap lakukan ibadah di rumah.

2. Pastikan bahwa rumah ibadah yang digunakan sudah memiliki Surat


Keterangan Aman COVID-19 dari pihak berwenang.

3. Membawa semua peralatan ibadah sendiri, seperti sajadah (bagi umat


Islam), kitab suci dan lain sebagainya.

4. Selalu menggunakan masker saat perjalanan dan selama berada di


rumah ibadah.

5. Menjaga kebersihan tangan dengan mencuci tangan menggunakan


sabun di air mengalir, atau menggunakan hand sanitizer.

6. Hindari kontak fisik, seperti bersalaman atau berpelukan.

7. Hindari menyentuh area wajah seperti mata, hidung, dan mulut.


8. Tetap memperhatikan jaga jarak minimal 1 meter.

9. Hindari berdiam lama atau berkumpul di area rumah ibadah, selain untuk
kepentingan ibadah wajib.

10. Bagi jemaah anak-anak, usia lanjut, dan jemaah dengan memiliki
penyakit komorbid, dianjurkan untuk beribadah di rumah.

11. Saling mengingatkan jemaah lain untuk disiplin


menggunakan masker dan menjaga jarak minimal 1 meter antar jemaah.

Anda mungkin juga menyukai