Anda di halaman 1dari 7

”KAMPUNG NAGA” MASYARAKAT ADAT

YANG MENJAGA PELESTARIAN LINGKUNGAN


oleh : redaksi butaru *

Pendahuluan

Kampung Naga, sebuah desa yang berada di Kampung Nagaratengah, Desa Neglasari,
Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Berlokasi + 40 km atau 1
jam perjalanan (darat) dari Kota Tasikmalaya ke arah Barat menuju Kabupaten Garut.
Kampung Naga merupakan kampung budaya yang menjadi salah satu potensi wisata
Kabupaten Tasikmalaya selain potensi wisata lainnya. Visi Kabupaten Tasikmalaya yang
menjadikan dasar religi yang islami untuk meningkatkan kemajuan dan kesejahteraan serta
berkompetetif dalam bidang agribisnis menjadikan kabupaten ini berkembang pesat dalam
segala hal khususnya di wilayah daerah Provinsi Jawa Barat.

Kawasan budaya Kampung Naga (wisata khas


budaya Kampung Adat Naga) ditetapkan sebagai
kawasan pariwisata berdasarkan Peraturan
Daerah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tasikmalaya
menjadikan kawasan ini sebagai salah satu
andalan kepariwisataan daerah Kabupaten
Tasikmalaya. Pemerintah Kabupaten
kawasan parkir dan toko suvenir
Tasikmalaya memiliki beberapa batasan
pengembangan di kawasan Kampung Naga khususnya menyangkut batasan pengembangan
prasarana dan sarana serta infrastruktur penunjang kepariwisataan di Kampung Naga.
Batasan yang telah disepakati oleh Pemkab dan masyarakat Kampung Naga, yang diwakili
oleh Ketua Adat (Kuncen) Kampung Naga yaitu Bapak Ade Suherlin telah mendudukkan
peran masyarakat sebagai salah satu dasar peningkatan peran kearifan lokal yang dimiliki
masyarakat adat Kampung Naga terhadap program-program pembangunan daerah
Kabupaten Tasikmalaya, khususnya dari sektor kepariwisataan dan pelestarian lingkungan
hidup.

*
dari berbagai sumber

1
Saat ini tercatat 109 Kepala Keluarga yang menghuni Kampung Naga,
dengan jumlah antara laki-laki dan perempuan hanya selisih + 5 orang.
Luas total perkampungan Kampung Naga + 1,5 hektar. Hari Rabu dan
Sabtu adalah hari tabu, dimana seluruh masyarakat Kampung Naga
dilarang melakukan upacara adat dan ziarah serta tabu/pamali untuk
menceritakan atau menginformasikan adat istiadat masyarakat Kampung
Naga. Mayoritas penduduk bekerja sebagai petani, selain itu disela-sela waktu di luar musim
tanam/musim panen mereka bekerja membuat kerajinan tangan khususnya yang terbuat dari
kayu dan bambu.

Sistem pemerintahan yang ada di Kampung Naga adalah sistem formal dan sistem nonformal.
Sistem formal sama dengan yang terdapat luar Kampung Naga yaitu kelurahan, rukun
tetangga (RT) dan rukun warga (RW), sedangkan untuk sistem nonformal, masyarakat
Kampung Naga diketuai dan dipimpin oleh ”Kuncen” sebagai penanggung jawab dan
pemimpin Ketua Adat.

Kampung Adat dan Peran Masyarakat

Menurut Kamus Bahasa Indonesia pengertian kampung adalah desa, dusun atau kelompok
rumah-rumah yang merupakan bagian kota dan biasanya rumah-rumahnya kurang bagus.
Kamus Tata Ruang mendefinisikan kampung adalah kelompok rumah yang menempati
wilayah tertentu dan merupakan bagian dari kecamatan, sedangkan kampung etnis adalah
merupakan kawasan permukiman kota yang lama dengan kekhasan tradisi, biasanya terdiri
atas kelompok tertentu yang didasarkan pada persamaan adat, agama, atau kebudayaan.
Kampung Naga merupakan salah satu ”kampung” yang bercirikan pada persamaan adat dan
agama yang menempati wilayah di Kabupaten Tasikmalaya.

Peran serta masyarakat adalah berbagai kegiatan masyarakat yang timbul atas kehendak dan
keinginan sendiri di tengah masyarakat untuk berminat dan bergerak dalam penyelenggaraan
penataan ruang. Pengertian ini adalah pengertian peran serta masyarakat menurut PP No.69
Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, Serta Bentuk dan Tata Cara Peran
Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang. Sedangkan adat istiadat adalah kumpulan tata
kelakuan yang paling tinggi kedudukannya karena bersifat kekal dan terintegrasi sangat kuat
terhadap masyarakat yang memilikinya (http://id.wikipedia.org/wiki/Norma_sosial).

2
Peran masyarakat lokal di kawasan Kampung Naga diangkat menjadi salah satu syarat
pembangunan oleh pemerintah kabupaten melalui Dinas Pariwisata terkait, seperti
dilakukannya sosialisasi setiap rencana pembangunan di Kampung Naga (atau sekitar
kawasan Kampung Naga) yang akan dilakukan oleh Dinas Pariwisata atau dinas-dinas
lainnya. Selain itu, adanya musyawarah bersama antara pemkab dan masyarakat Kampung
Naga semakin meningkatkan peran masyarakat adat setempat dalam perencanaan
pembangunan. Contoh terjadinya peran kearifan lokal terlihat pada kesepakatan bersama
pembangunan jalan setapak yang terbuat dari batu dan semen anak tangga sepanjang + 500
meter dari luar Kampung Naga menuju pintu depan perkampungan Kampung Naga. Awalnya
jalan setapak tersebut masih berupa tanah dan bebatuan serta masih licin untuk dilewati dan
masyarakat Kampung Naga tidak menyetujui pembangunannya karena ditakutkan akan
merusak lingkungan dan dapat mengubah adat istiadat atau kebiasaan masyarakatnya.

Keterlibatan peran masyarakat lokal lainnya yang terjadi


antara pemda dan masyarakat Kampung Naga adalah
pada penyediaan fasillitas penunjang pariwisata, seperti
retribusi parkir (kawasan parkir disediakan cukup luas
untuk dapat menampung beberapa bus dan mobil).
Tidak ada biaya resmi untuk kunjungan wisatawan ke
toko suvenir di jalan setapak
Kampung Naga namun terdapat biaya sukarela bagi
wisatawan atau pengunjung untuk memberikan dana sumbangan. Kerja sama yang terjadi
dengan wisatawan dan pemda (melalui Dinas Pariwisata) adalah dengan memfasilitasikan
waktu dan tempat termasuk akomodasi dengan Kuncen Kampung Naga untuk kunjungan studi
(penelitian budaya) ataupun kunjungan wisata. Dari sisi pemanfataan ruang kawasan sekitar
Kampung Naga, Pemda hanya mengelola seputar kawasan penunjang (parkir dan kios
cinderamata) dan menetapkan kawasan sekitarnya sebagai kawasan hutan dan kawasan
pertanian. Kawasan perkampungan Kampung Naga tidak dapat diganggu gugat karena
Kampung Naga adalah sebagai perkampungan adat yang seluruh masyarakatnya tetap
memegang teguh adat istiadat leluhur walaupun berada di tengah-tengah kehidupan
masyarakat modern. Karena itulah Pemda menyebutnya sebagai Kawasan Khas Kampung
Naga.

Menurut Kuncen Kampung Naga, falsafah hidup seluruh masyarakat Kampung Naga adalah
menjaga tata wilayah, tata wayah, dan tata lampah. Tata Wilayah berupa ruang yang tertinggi
yaitu gunung hingga ruang lautan. Mereka berpendapat banyaknya bencana berasal dari sikap

3
dan perilaku manusia yang tidak menjaga ”ruang”. Tata Wayah, adalah suatu waktu atau
zaman/era, artinya masyarakat tidak boleh melupakan ajaran atau pesan leluhur. Tata
Lampah, adalah kepercayaan moralitas masyarakat yang berpedoman pada ajaran agama
dan kitabnya (Al-quran).

Kawasan hutan oleh Kuncen Kampung Naga di ibaratkan


seperti world bank, karena seluruh manfaat hutan
digunakan untuk kelangsungan hidup tetapi yang dapat
dimanfaatkan hanya sebagian kecil dari kawasan hutan
atau yang dimanfaatkan hanya sebagian kecil saja seperti
kayu atau ranting yang digunakan untuk bahan bakar
masak, kayu/bambu untuk membuat beberapa peralatan
rumah dan suvenir. Air diibaratkan sebagai kesatria dengan
tempat istirahatnya adalah hutan. Bila masyarakat menjaga
hutan maka mereka telah dapat menjaga air untuk
pemandu budaya dengan
kelangsungan hidup. Hukum yang berlaku pada masyarakat pakaian khas Kampung Naga
Kampung Naga adalah ”pamali” (dari bahasa sunda), yang
berarti pantangan untuk dilakukan atau dikerjakan.

Karakteristik Ruang dan Konstruksi Bangunan Kampung Naga

Sebelum melakukan kunjungan ke perkampungan Kampung


Naga, kita perlu melakukan pendataan tertulis di sekitar lokasi
parkir, selanjutnya untuk menuju lokasi akan dipandu oleh
seorang atau beberapa orang pemandu budaya (mereka
menyebutnya demikian) yang berasal dari orang asli
masyarakat Kampung Naga, termasuk menggunakan pakaian
khas adat mereka. Jalan setapak

Mencapai Perkampungan Kampung Naga diawali dari kawasan parkir seputar Kampung Naga
lalu menuju jalan setapak yang cukup curam (menurun) berupa anak-anak tangga (+ 300 anak
tangga atau + 500 meter). Pada seratus anak tangga pertama, kita akan melihat beberapa
bangunan permanen dan non permanen rumah masyarakat luar Kampung Naga dan
beberapa kios yang menjual suvenir Kampung Naga atau khas Tasikmalaya dan
pemandangan deretan pohon bambu, pohon eboni, dan pohon albasia. Seratus anak tangga

4
berikutnya akan menikmati pemandangan alam berupa
sawah-sawah dengan aliran-aliran airnya, sedangkan
pada seratus anak tangga terakhir, kita dapat melihat
beberapa atap rumah adat ciri khas masyarakat
Kampung Naga yang seluruhnya berwarna hitam
(berasal dari ijuk), aliran dan suara Sungai Ciwulan
yang deras, petak-petak sawah, dan bukit Gunung
pemandangan menuju kampung Cikuray (lokasi Kampung Naga berada di lembah
Cikuray) yang rindang oleh tumbuhan dan pepohonan.

Menurut pemandu budaya Kampung Naga (Bapak Ucu), jumlah rumah atau bangunan yang
ada di Kampung Naga saat ini berjumlah 112 buah bangunan termasuk 1 (satu) mesjid dan 1
(satu) balai pertemuan. Menurut adat istiadat mereka terdapat ajaran hukum tidak tertulis yang
mesti diterapkan oleh masyarakat, seperti cara membangun rumah, ciri bentuk rumah, tata
letak dan arah rumah selain adat istiadat/kebiasaan lainnya seperti pakaian dan upacara-
upacara adat. Ajaran hukum tidak tertulis ini membuat keunikan tersendiri yang tampak
sebagai ciri khas permukiman Kampung Naga yaitu seluruh bangunan menghadap utara dan
selatan. Arah selatan menghadap Sungai Ciwulan dan arah utara menghadap ke arah hutan
(bukit Cikuray), sedangkan seluruh muka bangunan (pintu rumah) adalah menghadap arah
selatan. Jumlah bangunan masih dimungkinkan bertambah asalkan masih dalam batas-batas
wilayah kampung. Penambahan bisa dilakukan ke arah batas timur berupa Sungai Ciwulan,
sedangkan untuk batas utara (bukit/hutan), selatan (parit/saluran air), dan barat (parit/saluran
air) sudah tidak bisa bertambah karena sudah pada batas maksimal.

Seluruh bangunan, baik rumah, ruang


pertemuan, dan mesjid terbuat dari bilik bambu
kepang dan sasak. Bilik sasak diutamakan
digunakan di ruang dapur. Manfaatnya adalah
agar saat memasak dapat mengalirkan udara
(ventilasi), selain itu juga berguna dalam
keadaan darurat seperti kebakaran karena bilik
sasak dapat terlihat dari luar (terlihat ada lobang
atau pori-pori). Atap bangunan terbuat dari 2
(dua) lapis, yaitu lapis pertama berasal dari daun
alang-alang dan lapis kedua (terluar) terbuat dari

5
ijuk/pohon aren. Lapisan ini dapat bermanfaat dalam penyerapan hawa panas ataupun dingin,
selain menyerap asap kompor saat memasak.

Seluruh bangunan rumah memiliki ciri yaitu berupa ”tanda angin”. Tanda ini digantung di pintu
depan. Menurut Bapak Ucu ini tanda ini berguna untuk menolak bala atau menolak sesuatu
yang buruk/musibah bagi penghuni rumah. Tanda angin yang dipajang di depan rumah
berasal dari tumbuh-tumbuhan yang didapatkan dengan beberapa syarat ritual dan dari
beberapa tempat. Warna bangunan sebagian rumah adalah berwarna putih yang terbuat dari
bahan batu kapur. Seluruh rumah tidak ada yang menggunakan bahan kimia agar dapat
mempertahankan sifat alami bangunan rumah.

Lokasi sekitar Kampung Naga yang lembab (karena berada di sisi sungai dan lembah)
menyebabkan kelembaban yang cukup tinggi sehingga bangunan yang mereka bangun dibuat
dengan model panggung yang tingginya sekitar + 50 cm dari tanah. Bentuk rumah ini juga
berguna dalam menahan getaran gempa karena lebih fleksibel dan pondasi yang kuat untuk
menahan getaran karena berasal dari batu kali.

Kampung Naga sebagai kampung ”sustainable”

Kehidupan alamiah masyarakat Kampung Naga


sangat tradisional dan sangat mempercayai cara-
cara kehidupan para leluhur, sehingga mereka
memegah teguh adat istiadat. Hal ini sudah
berlangsung lama karena dijaga oleh seluruh
masyarakatnya secara turun temurun. Kehidupan
yang mayoritas mengandalkan pertanian dan
peternakan, menjadikan bahan makanan yang
selalu mereka nikmati adalah padi, ikan, dan
ayam. Namun mereka sangat menikmati hasil
dari usaha mereka karena mereka telah menjaga
kelangsungan alamiah lingkungannya sehingga jalan sekitar bangunan rumah
diberikan kesuburan yang tinggi serta aliran air
yang tidak pernah berhenti.

Kawasan hutan yang tumbuh secara alamiah dimanfaatkan secara terbatas oleh masyarakat
Kampung Naga. Namun terdapat kawasan hutan yang sangat dilarang untuk dilewati ataupun

6
dimanfaatkan yaitu hutan larangan dan hutan keramat. Hutan larangan berada di sisi arah
timur Kampung Naga atau seberang Sungai Ciwulan, sedangkan hutan keramat berada sisi
barat Kampung Naga di Bukit Cikuray. Di hutan keramat terdapat makam leluhur yang dapat
dikunjungi hanya pada waktu ziarah saja. Seluruh masyarakat tidak dapat melakukan sesuatu
yang berhubungan dengan merusak hutan walaupun hanya sedikit saja, seperti memotong
atau mengambil ranting, bila merusak atau mengambilnya masyakarat Kampung Naga
percaya akan terjadi musibah pada dirinya.

Perilaku sosial lain yang menunjukan solidaritas


dan kesetaraan pada masyarakat Kampung
Naga adalah tidak adanya aliran listrik di
perkampungan tersebut. Menurut mereka hal ini
untuk menghilangkan kecemburuan sosial
ekonomi, selain untuk menjaga kelestarian
lingkungan agar kehidupan modern tidak
mengubah kebiasaan kebudayaan mereka
secara turun temurun. Tanpa kehadiran listrik di
permukiman, mereka tetap dapat melakukan
seluruh aktivitas. Mengapa? Karena dukungan bahan dan bentuk bangunan rumah serta tata
letak yang memanfaatkan arah sinar matahari membuat mereka masih tetap dapat beraktifitas
(dalam dan luar rumah). Namun hal ini tidak berarti bahwa masyarakat dilarang untuk
menambah pengetahuan dan hiburan, karena sebagian pemilik rumah sudah memiliki televisi
dan radio, walau menggunakan aki yang harus mereka charge setiap bulan.

Anda mungkin juga menyukai