Anda di halaman 1dari 2

Islamisai dan Penyebaran Islam di Nusantara

oleh : Abu Maskur

Proses penyebaran islam di Indonesia dilatarbelakangi oleh jalur-jalur pelayaran dan


perdagangan. Ramainya perdagangan dikawasan Nusantara membuat orang-orang Nusantara
melakukan kontak sosial atau berinteraksi dengan dunia luar. Interaksi-interaksi yang
dilakukan lambat laun mulai diterima oleh masyarakat setempat, bahkan hal itu
mempengaruhi budaya masyarakat.

Akibat interaksi dengan dunia luar, terjadi perubahan-perubahan sosial, akulturasi dan
asimilasi budaya serta mempengaruhi kepercayaan mereka (agama). Proses beralihnya ke
percayaan lama (Hindu-Budha) menjadi Islam berlangsung dalam proses yang sangat
panjang. Bukti-bukti adanya islam di kawasan Nusantara tertua pada abad ke 7 M, hal itu
diperkuat dengan berita dari berita Cina pada masa Dinasti Tang yang menyatakan bahwa
masyarakat muslim yang berasal dari arab sudah ada di Sumatera tepatnya di daerah Barus.
Para pedagang arab tersebut tidak hanya berdagang tetapi juga telah mendirikan pemukiman
dan bertempat tinggal di Barus. Namun pada waktu itu penduduk setempat (pribumi) masih
belum memeluk islam. Diterimanya Islam di Nusantara diperkirakan terjadi pada abad ke 13
M yang ditandai dengan berdirinya Kerajaan Samudera Pasai.

Lantas siapakah yang menyebarkan islam di kawasan Nusantara? Beberapa ahli berpendapat
bahwa, islam yang ada di Nusantara di bawa oleh orang-orang Gujarat, Arab, Persia dan
Bengali (Bangladesh). Kebanyakan dari mereka merupakan para pedagang. Meskipun
demikian ada beberapa tokoh yang bukan berasal dari daerah-daerah tersebut yang
menyebarkan islam di Nusantara. Seperti Laksamana Cheng Ho yang berasal dari China dan
juga orang-orang muslim yang berasal dari Champa (Kamboja).

Proses perkembangan Islamisasi berkembang pesat ketika Walisongo mulai berdakwah. Kata
Wali yang berarti wakil dan Songo yang berati sembilan. Kata Songo ada pendapat yang
menyatakan bahwa berasal dari bahasa arab yaitu Tsana yang berarti mulia. Cerita mengenai
Walisongo banyak disertai dengan mitos-mitos maupun hal-hal yang diluar rasionalitas
manusia. Namun, hal itu bukan berarti Walisongo merupakan tokoh fiktif, hanya saja cerita-
cerita tersebut digunakan untuk melegitimasi kemagisan walisongo. Pada periode ini, islam
berkembang cepat dan segera menyebar ke berbagai daerah di Timur pulau Jawa.

Pesatnya perkembangan islam ini dikarenakan metode dakwah yang dilakukan Walisongo
menggunakan pendekatan budaya, pendidikan dan politik. Penggunaan budaya sebagai
metode berdakwah dianggap lebih berhasil karena mampu membuat masyarakat penasaran
dan secara tidak langsung menerima ajaran-ajaran yang disampaikan. Kebudayaan yang
sering dijadikan media dakwah yaitu kesenian, kesenian bagi masyarakat pada saat itu
mampu menjadi daya tarik tersendiri, oleh karenanya Walisongo memanfaat jalan itu untuk
media dakwahnya.
Walisongo kemudian menciptakan atau menggubah alat musik, syair, tembang macapat,
wayang, kaligrafi dan lain sebagainya. Cerita-cerita dalam pewayangan pun diubah oleh
Walisongo sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.

Dalam hal pendidikan, Walisongo mendirikan Pesantren agar para muridnya dapat dibimbing
dan diarahkan sesuai dengan yang dikehendaki. Di pesantren para murid diajarkan berbagai
ilmu seperti syariat, tasawuf, tarekat, hakekat dan ilmu membaca Al-Qur’an. Murid yang
telah lulus biasanya akan ditugaskan untuk berdakwah diberbagai daerah lainnya. Dengan ini
maka terjalin jaringan ke islaman diberbagai daerah di Nusantara.

Anda mungkin juga menyukai