Anda di halaman 1dari 15

MANAJEMEN PERPAJAKAN

TAX PLANNING PPH PASAL 21/26

Kelompok 2
1. Septi Rustianingsih (E2B019017)
2. Choirul Muslimin (E2B019029)
3. Jihan Qothrunnada (E2B019043)
4. Helyya Septiana (E2B019046)

S1 AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MUHAMAMMADIYAH SEMARANG
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa ,atas rahmat dan hidayahnya sehingga kami
dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “ TAX PLANNING PPh Pasal 21/26”.
Makalah ini kami susun guna memenuhi tugas Manajemen Perpajakan. Tidak lupa pula kami
sampaikan ucapan terimakasi kepada Ibu Ayu Noviani Hanum, SE.,M.Si.,Akt selaku dosen
pembimbing materi dalam pembuatan karya tulis ini, serta semua pihak yang telah mendukung
dalam penyusunan karya tulis ini yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu.
Terlepas dari semua itu , kami menyadari seutuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari
kata sempurna baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, kami
terbuka untuk menerima segala masukan dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca
sehingga kami bisa melakukan perbaikan makalah ilmiah menjadi makalah yang baik dan benar.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada pembaca yang sudah berkenan
membaca makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi kami dan
pembaca. Aamin

Semarang , 8 Oktober 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................................iii
BAB I...............................................................................................................................................4
PENDAHULUAN..........................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................................4
1.3 Tujuan..............................................................................................................................4
BAB II.............................................................................................................................................4
PEMBAHASAN.............................................................................................................................4
2.1 Pengertian pph pasal 21.................................................................................................4
2.2 Pemotong PPh Pasal 21..................................................................................................5
2.3 Subjek Pemotongan Pph Pasal 21/26............................................................................5
2.4 Objek Pph Pasal 21.........................................................................................................6
2.5 Non Objek Pph Pasal 21.................................................................................................6
2.6 Kebijakan/Metode Pemotongan Pph Pasal 21.............................................................7
2.7 Tata Cara Penghitungan Pph Pasal 21.........................................................................8
2.8 Rekonsilasi Objek Pph Pasal 21....................................................................................9
2.9 Taxability Dan Deductibility Objek Pph Pasal 21.......................................................9
2.10 Terapan Tax Planning Terkait dengan PPh Pasal 21.................................................9
2.11 Alur Perencanaan Pajak Pph Pasal 21.......................................................................11
2.12 Strategi perencanaan pajak untuk mengefisienkan beban pajak............................11
BAB III.........................................................................................................................................13
PENUTUP....................................................................................................................................13
3.1 Kesimpulan....................................................................................................................13
3.2 Saran..............................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................14

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Pajak penghasilan sehubungan dengan pekerjaan jasa dan kegiatan yang dilakukan wajib
pajak orang pribadi subjek pajak dalam negri,yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21 adalah pajak
atas penghasilan berupa gaji,upah,honorarium,tunjangan,dan pembayaran lain dengan nama dan
dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan,jasa,dan kegiatan yang
dilakukan oleh orang pribadi subjek pajak dalam negri,sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
Undang-Undang Pajak Penghasilan.Bila penerima penghasilan tersebut adalah WPOP sebagai
Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN),maka akan dikenai PPh Pasal 21,sedangkan bila penerima
penghasilan adalah orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) selain
Bentuk Usaha Tetap (BUT),akan dikenai PPh pasal 26. Dengan berlakunya UU No. 36 Tahun
2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh Tahun 2008) yang mulai berlaku tahun 2009,ketentuan
pelaksanaan PPh Pasal 21 diubah dan disesuaikan dengan UU yang baru.
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana review pph pasal 21 ?


2. Bagaimana kebijakan/metode pemotongan pph pasal 21?
3. Bagaimana penerapan tax planning terkait dengan pph pasal 21 ?
4. Dari ketiga metode yang dapat digunakan untuk melakukan pemungutan pph 21 manakah
metode yang baik?
1.3 Tujuan

1. Menjelaskan review pph pasal 21


2. Menjelaskan kebijakan/metode pemotongan pph pasal 21?
3. Menjelaskan terapan tax planning terkait dengan pph pasal 21
4. Menjelaskan metode yang paling baik dari ketiga metode yang dapat digunakan untuk
melakukan pemungutan pph 21

4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian pph pasal 21

PPh pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji,upah,honorarium,tunjangan dan


pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau
jabatan,jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi. Subjek pajak dalam negeri,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
2.2 Pemotong PPh Pasal 21

Yang termasuk pemotong pajak pph pasal 21 adalah:

(1) pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang
(2) Bendahara atau pemegang kas pemerintah
(3) Dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain
(4) Orang pribadi yang melakukan kegitan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar:
a) Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan/atau
kegiatan yangdilakukan oleh orang pribadi dengan status subjek pajak dalam negeri,
termasuk juga tenaga ahli yangmelakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan
atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya;
b) Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan
jasa yangdilakukan oleh orang pribadi dengan status subjek pajak luar negeri;
c) Honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan magang
(5) Penyelenggara kegiatan

2.3 Subjek Pemotongan Pph Pasal 21/26

Subjek atau yang dipotong pph pasal 21/26 , atau disebut subjek pemotongan adalah orang
pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubunan dengan pekerjaan , jabatan ,
jasa atau kegiatan. Yang termasuk subjek pemotongan pph pasal 21/26 adalah orang pribadi yang
merupakan :

(1) Pegawai

5
(2) Penerima dana pensiun
(3) Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pemberian
jasa
(4) Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap
pada perusahaan yang sama
(5) Mantan pegawai
(6) Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
keikutsertaannya dalam suatu kegiatan.

2.4 Objek Pph Pasal 21

Penghasilan yang dipotong pph pasal 21 dan atau pph pasal 26, adalah:

1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat
teratur maupun tidak teratur;
2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun
atau penghasilan sejenisnya;
3. Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan
pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan
hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lein sejenis;
4. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upahmingguan,
upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan;
5. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalansejenis
dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan pekerjaan, jasa, dan
kegiatan yang dilakukan;
6. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uangrapat,
honorarium, hadiah, atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apa pun, danimbalan
sejenis dengan nama apa pun;
7. Penerimaan dalam bentuk natura dan atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk
apa pun yang diberikan oleh:
a. Bukan wajib pajak;
b. Wajib pajak yang dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final (deemed tax); atau

6
c. Wajib pajak yang dikenakan pajak penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus
(deemed profit).

2.5 Non Objek Pph Pasal 21

Yang tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong ppph pasal 21 adalah:

1. Pembayaran menfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, kecelakaan,
jiwa,dwiguna, dan asuransi beasiswa.
2. Penerimaan dalam bentuk natura atau kenikmatan (benefit in kind ) kecuali natura
ataukenikmatan yang diberikan oleh bukan wajib pajak, atau diberikan oleh wp yang
dikenakanpph final atau dikenakan pph berdasarkan norma perhitungan khusus (deemed profit )
3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
olehmenteri keuangan, dan iuran jaminan hari tua kepada badan penyelenggara jamsostek
yangdibayar oleh pemberi kerja.
4. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakatyang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah; atau sumbangan keagamaan yang sifatnyawajib bagi
pemeluk agama yang diakui di indonesia yang diterima pelh orang pribadi yang berhak dari
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
5. Beasiswa, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf i uu pph 2008.sesuai dengan pmk
no.246/pmk.03/2008, penghasilan berupa beasiswa yang diterima ataudiperoleh wni dari wp
pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan di dalam negeri pada tingkat pendidikan
dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi, dikecualikan dari objek pph, sepanjang
penerima beasiswa tidak mempunyai hubunganistimewa dengan pemilik, komisaris, direktur,
atau pengurus dari wajib pajak pemberi beasiswa
6. Kenikmatan berupa pajak yang ditangguang oleh pemberi kerja.
“pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja” adalah pajak terutang atas penghasilan keryawan
tetap yang menjadi beban atau dibayarkan oleh pemberi pemberi kerja, sehinggatermasuk
kenikmatan. Pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja berbeda dengan pemberian tunjangan
pajak.

7
2.6 Kebijakan/Metode Pemotongan Pph Pasal 21

Dilihat dari siapa yang menenggung beban, maka kebijakan atau metode pemotongan pph
pasal21 dapat dipilih oleh wajib pajak, adalah:

1. Pph pasal 21 ditanggung oleh karyawan (potong gaji)

metode ini lazimnya disebut metode gross. Dalam hal ini jumlah pph pasal 21 yang
terutang akanditanggung oleh karyawan itu sendiri, sehingga benar-benar mengurangi
penghasilan. Istilah yang seringdigunakan adalah bahwa pph pasal 21 dipotong oleh perusahaan.

2. Pph pasal 21 ditanggung perusahaan (ditanggung)

Metode ini lazimnya disebut metode net. Dalam hal ini, jumlah pph pasal 21 yang terutang
akanditanggung oleh perusahaan yang bersangkutan. Dengan demikian, gaji yang diterima oleh
karyawan tersebut tidak dikurangi dengan pph pasal 21 karena perusahaan lah yang menanggung
biaya/beban pphpasal 21. Perhitungan pph pasal 21 tersebut dilakukan dengan cara gross up. Pph
pasal 21 yang ditanggung perusahaan tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
perusahaan, karena tidak termasuksebagai faktor penambahan pendapatan dalam SPT pph pasal
21.

3. Pph pasal 21 diberikan dalam bentuk tunjangan (ditunjangi)

Metode ini lazim disebut metode gross up. Jika pph pasal 21 diberikan dalam bentuk
tunjangan, maka jumlah tunjangan tersebut akan menambah beban penghasilan keryawan dan
dikenai pph pasal 21. Dalam hal ini perhitungan pph dilakukan dengan cara gross up di mana
besarnya tunjangan pajak sama dengan jumlah pph pasal 21 terutang untuk masing-masing
karyawan.

Sepintas lalu kebijakan pph pasal 21 jenis ini terlihat memberatkan perusahaan, karena
penghasilankaryawan akan bertambah besar sebagai akibat dari penambahan tunjangan pajak.
Namun beban perusahaan tersebut akan tereleminasi, karena pph pasal 21-nya dapat dibiayakan.
8
Di samping memberi tunjangan pph pasal 21 yang besarnya sama dengan pph terutang untuk
masing-masing karyawan (metode gross up), perusahaan juga bisa memberikan tunjangan pph
pasal 21 yang besarnya berbeda dengan pph terutang.

Dalam hal besarnya pph pasal 21 yang terutang lebih besar daripada tunjangan pph pasal 21,
makakekurangannya bisa ditanggung karyawan (dipotong) atau ditanggung perusahaan. Jika
kekurangannyaditanggung oleh perusahaan, maka perlakuan perpajakannya menjadi non
deductible expenses.

2.7 Tata Cara Penghitungan Pph Pasal 21

(1) Dasar pengenaan pajak (dpp)


a. Penghasilan kena pajak berlaku bagi
1. Pegawai tetap

Penghasilan kena pajak = peng bruto – biaya jabatan – ptkp

2. Penerima pensiun

Penghasilan kena pajak = peng bruto – biaya pensiun – ptkp

3. Pegawai tidak tetap

Peng kena pajak = peng bruto – ptkp

4. Bukan pegawai

Peng kena pajak = peng bruto – ptkp yang dihitung bulanan

b. Jumlah penghasilan yang melebihi bagian penghasilan yang tidak dikenai pemotongan ph
pasal 21, berlau bagi pegawai tidak tetap yang menerima upah harian , mingguan satuan atau
uoah borongan sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam satu bulan belum melebihi
ptkp
c. Jumlah penghasilan bruto yang berlaku bagi penerima penghasilan lainnya
(2) Pengurangan yang diperbolehkan

9
a. Biaya jabatan
b. Biaya pensiun
c. Iuran yang terkait dengan gaji
d. Penghasilan tidak kena pajak

2.8 Rekonsilasi Objek Pph Pasal 21

Untuk meyakinkan bahwa atas seluruh objek PPh Pasal 21 telah dipotong pajaknya, perlu
dilakukan rekonsilasi antara data laporan keuangan,baik yangberasal dari akun neraca maupun
akun biaya. Jika penghitungan PPh Pasal 21 dilakukan oleh sebagian SDM,maka rekonsilasi juga
harus dilakukan untuk data SDM (seperti payroll) dengan data yang ada di bagian
akuntansi/keuangan (seperti data ledger/buku besar).rekonsilasi ini sangat berguna dalam rangka
pelaksanaan pengendalian dan pembuktian bahwa seluruh objek PPh Pasal 21 telah dipotong PPh
nya.hal semacam ini alan memudahkan wajib pajak ketika diperiksa oleh petugas pajak nantinya.

2.9 Taxability Dan Deductibility Objek Pph Pasal 21

Prinsip Taxability Deductibility adalah prinsip yang menjelaskan tentang pos pos yang
dapat/tidak dapat dikenai pajak penghasilan (objek pajak dan bukan pajak penghasilan) dan pos
pos yang dapat/tidak dapat dibiayakan (pengulang penghasilan bruto), maka pada pihak
karyawan merupakan penghasilan yang dikenakan pajak .sebaliknya jika pada pihak karyawan
pemberian imbalan/penghasilan tersebut bukan merupakan penghasilan,maka pada pihak
pemberi kerja tidak dapat dibiayakan (bukan pengurang penghasilan bruto).

2.10 Terapan Tax Planning Terkait dengan PPh Pasal 21

1. Klausal pajak dalam perjanjian/kontrak kerja

Dalam beberapa kasus timbul konflik dalam bisnis, dimana kewajiban pemotongan PPh Pasal 21
atau Pasal26 yang dilakukan dari penghasilan orang pribadi penerima penghasialn, sewaktu
dilaksanakan pemotongannya pihak, yang dipotong pajak tidak menerima sehingga terjadinya
dispate. Tambahan beban bagi pemilik proyek atau pemberi kerja tersebut adalah jumlah yang

10
signifikan yang akan mengerus keuntungan perusahaan.sebelum kontrak kerja ditandatangani
harus pastikan:

 Pembuatan kalusal pajak dalam peerjanjian atau kontrak kerja, yangmensyaratkan pejak terutang
harus dihitung berdasarkan nilai kontrak (di luarharga pokok barang), yakni dikenakan dari nlai
bruto kontrak, dan untuk PPhPasal 21 atau Pasal 26, pemberi kerja wajib memotong dari
pembayarannya.
 Kalusal pajak eksplisit menyatakan siapa yang harus menaggung PPh Pasal21/Pasal 26, sehingga
pajak yang terutang dan pemotongannya didasarkan padaklausal tersebut.
2. Pajak ditanggung pemberi kerja atau tunjangan pajak secara Gross-up ?

Seringkali di dalam kontrak kerja ditemukan klausal yang menyatakan bahwa nilai kontrak sudah
“net ”, tidaktermasuk pajak, atau “pajak ditanggung perusahaan/pemberi kerja.” Istilah tersebut
sebaiknya digunakan secara hati-hati, karena akan berdampak pada pemotongan pajak dan
pmebebanan biaya di PPh Badan.

 Tidak termasuk pajak, artinya pajak akan menjadi beban pemberi kerja, atau ditanggung oleh
perusahaan atau pemberi kerja. Hal ini akan mengkakibatkan PPh yang ditanggung
perusahaanatau pemberi kerja tidak dapat dibayarkan di SPT PPh Badan (non-deductible
expense)
 Agar PPh yang ditanggung oleh pemberi kerja dapat dibiayakan,maka penghitungan PPh
harusmenggunakan metode gross up.PPh hasil penghitungan gross up tersebut dimasukkan ke
dalamnilai kontrak (termasuk invoice dan faktur pajak)atau menambah penghasilan dari pihak
yang memperoleh penghasilan.Dengan kata lain diberikan “tunjangan pajak sebesar PPh yang
terutang “
3. Pemberian uang saku secara lump-sum atau reimbursement

Pembayaran secara lump akan melibatkan PPh Pasal 21 dihitung dari seluruh nilai yang
dibayarkan,meskipun didalamnya mungkin terdapat biaya lainnya,missal transportasi dan
akomodasi.Pengertian lump-sum,perusahaan memberikan sekaligus dalam jumlah tertentu yang
meliputi uang saku,transport,akomodasi,atau unsur biaya lainnya,tanpa disertai dengan
pertanggungjawaban dan bukti atas penggunaanya,sedangkan dalam prosedur reimbursement

11
pembayaran disertai dengan kewajiban untuk mempertanggungjawaban penggunaan dana
dengan meminta bukti pengeluaran.

4. Pemberian tunjangan makan atau menyiapkan makan bersama?

Sejak berlakunya UU PPh Pasal 2000,makanan dan minuman bagi karyawan sudah boleh
dibiayakan di PPh badan (deductible expense)

5. Pemberian tunjangan kesehatan atau fasilitas pengobatan?

Bila perusahaan memilih memberikan tunjangan kesehatan maka perlakuan pajaknya bersifat
taxable-deductible artinya tunjangan kesehatan merupakan objek Objek PPh Pasal 21 bagi
karyawan dan merupakan biaya bagi perusahaan. Bila perusahaan menyediakan fasilitas
pengobatan maka perlakuan pajaknya bersifat non taxable-non deductible artinya hal itu bukan
penghasilan bagi karyawandan bukan biaya bagi perusahaan.

6. Meminimalkan tariff pajak (PPh Pasal 21)

2.11 Alur Perencanaan Pajak Pph Pasal 21

Setiap pengusaha berusaha memaksimalkan kesejahteraan pemilik perusahaan dengan


memaksimalkan nilai perusahaan memperoleh laba sesuai keinginan.untuk mengejar laba
maksimal perusahaan melakukan berbagai upaya.salah satu upaya tersebut adalah menghemat
beban pajak meliputi perencanaan pajak.
2.12 Strategi perencanaan pajak untuk mengefisienkan beban pajak

Menyusun perencanaan pajak sesuai dengan kondisi perusahaan dimulai dengan strategi
mengefisienkan beban pajak ( penghematan pajak). Selain itu apa yang dilakukan perusahaan
harus bersifat legal ( tax avoidance) supaya terhindar dari sanksi pajak dikemudian hari. Agar
perencanaan pajak sesuai dengan yang diharakan, perusaan perlu melakukan analisis terhadap
metode metode dan kebijakan kebojakan yang akan digunakan . serta membuat strategi agar
efisien beban pajak dapat tercapai.

Dalam perhitungan pph pasal 21 terdapat tiga metode yang bias diaplikasikan yakni :

12
1. Net method

Merupakan metode pmotongan pajak dimana perusahaan menanggung ppj pasal 21 karyawan

2. Gross method

Merupakan metode pemotongan pajak dimana karyawan menanggung sendiri jumlah pajak
penghasilannya

3. Gross up method

Merupakan metode pemotongan pajak dimana perusahaan memberikan tunjangan pajak pph
pasal 21 yang diformulasikan jumlahnya sama besar dengan jumlah pajak pph pasal 21 yang
akan dipotong dari karyawan

13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Menyusun perencanaan pajak sesuai dengan kondisi perusahan dimulai dengan strategi
mengefisiensikan beban pajak ( penghematan pajak ).Selain itu apa yang dilakukan perusahaan
harus bersifat legal (tax avoidance ) supaya terhindar dari sanksi pajak dikemudian hari..Jadi
metode yang baik bagi perusahaan untuk memugut PPh 21menurut saya adalah Metode Gross
Up karena dapat upaya penghematan pajak dalam mengefisiensikan beban pajak
terutang,penghasilan kena pajak yang lebih rendah,dan PPh badan yang lebih efisien.Penggunaan
metode gross up adalah untuk memuaskan dan meningkatkan motivasi
karyawan.Denganmenggunakan metode ini karyawan akan merasa puas karena PPh pasal 21
ditanggung seluruhnya oleh perusahaan.Dengan demikian karyawan merasa lebih
diperhatikan.Meningkatnya motivasi dan kepuasan karyawanakan meningkatkan produktivitas
mereka.Semua metode ini diperbolehkan di Undang-Undang dan peraturan perpajakan.Jadi
tinggal pilih mau menggunakan metode mana yang paling efisien bagi perusahaan
danmenguntungkan karyawan
3.2 Saran

Agar perencanaan pajak sesuai dengan yang diharapkan ,perusahaan perlu melakukan
analisis terhadap metode-metode dan kebijakan-kebijakan yang akan digunakan,serta membuat
strategi agar efisiensi beban pajak dapat tercapai.

14
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Chairil. 2016. Manajemen Perpajakan. Cetakan Keempat Edisi Revisi. Jakarta :

PT. Gramedia Pustaka Utama

15

Anda mungkin juga menyukai