Anda di halaman 1dari 89

EFEKTIVITAS PROSES PELAKSANAAN MANAJEMEN PENDIDIKAN KARAKTER

TINGKAT SEKOLAH MENENGAH ATAS DI KOTA BANDUNG


(STUDI KASUS DI SMA TARUNA BAKTI BANDUNG, SMA TERPADU KRIDA NUSANTARA
BANDUNG DAN SMA NEGERI 3 BANDUNG)

PROPOSAL PENELITIAN

Sebagai Ujian Akhir Semester (UAS) Semester Ganjil mata kuliah Metodologi dan Statistik
Penelitian Manajemen Pendidikan Lanjut, diampu oleh Prof. Dr. H. Rochman Natawidjaja

Oleh
Denny Kodrat
NPM: 4103810413007

PROGRAM DOKTOR ILMU PENDIDIKAN/MANAJEMEN PENDIDIKAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA

2013

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 1


I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pendidikan, sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan, Prof. Dr. Moh. Nuh, merupakan obat untuk memerangi kemiskinan dan

keterbelakangan peradaban. Pernyataan ini menegaskan bahwa betapa pendidikan

masih diyakini memegang peranan penting dalam pembangunan manusia, karena

kemajuan peradaban sejatinya merupakan kemajuan manusia. Semakin tinggi sebuah

peradaban, maka hal itu mengindikasikan semakin majunya manusia. Begitupula dengan

kemiskinan. Usia kemiskinan sama tuanya dengan usia peradaban manusia. Tentunya,

usia pendidikan pun setua pula usia peradaban manusia. Oleh karenanya, pendidikan

selalu menjadi jalan keluar tanpa alternatif (no alternative way) untuk sebuah upaya

membangun peradaban dan memerangi kemiskinan.

Kewajiban negara yang utama di bidang pendidikan dapat dilihat dalam

pembukaan konstitusi negara Republik Indonesia, yaitu mencerdaskan kehidupan

bangsa. Lebih lanjut, dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 dijelaskan fungsi dan

tujuan pendidikan nasional, yaitu:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk


watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Salah satu kebijakan pemerintah dalam mengembangkan kemampuan dan

membentuk watak serta peradaban adalah dengan menggulirkan pendidikan karakter.

Hal ini didasarkan bahwa pendidikan merupakan pembentukan karakter (character


building).
Bahkan, pendidikan karakter bisa menjadi salah satu sarana pengkulturan dan

pemanusiaan, disebabkan peran pendidikan karakter bukan saja bersifat integratif,

dalam arti mengukuhkan moral intelektual peserta didik, melainkan juga bersifat kuratif,

baik secara personal maupun sosial, yakni bisa menjadi salah satu sarana penyembuh

penyakit sosial (Koesoema, 2010:116).

Realitas dunia pendidikan saat ini masih didominasi oleh cerita-cerita buram

penuh kekerasan. Misalnya tawuran antarpelajar. Komisi Nasional Perlindungan Anak

mencatat telah terjadi 147 kasus tawuran dengan korban jiwa sebanyak 82 anak

sepanjang 2012 (Megapolitan.com). Tawuran pelajar ini bahkan hampir merata disetiap

jenjang, baik jenjang pendidikan dasar, menengah hingga perguruan tinggi. Tidak hanya

kasus kekerasan tawuran saja yang cukup mengkhawatirkan, kasus amoral lain

seperti seks bebas, aborsi, penyalahgunaan obat-obat terlarang hingga kasus

kekerasan seksual cukup mendominasi dunia pendidikan. Belum lagi masalah-masalah

penyimpangan moral yang terjadi di mikro pendidikan, misalnya mencontek dan bullying,

menjadi masalah yang cukup serius untuk disikapi bersama para pemangku

kepentingan (stakeholders).

Berkaca dari fenomena persoalan pendidikan di atas, konsep pendidikan karakter

menjadi menarik untuk diteliti terlebih bila ditelaah bagaimana penerapan dan

pengelolaan pendidikan karakter ini oleh sekolah sebagai lembaga pendidikan formal.

Sementara itu, kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) 2013 menekankan pada

pendidikan karakter dengan tujuan meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan

yang mengarah pada pembentukan budi pekerti dan akhlak mulia peserta didik

secara utuh, terpadu dan seimbang sesuai dengan standard kompetensi lulusan

pada setiap satuan pendidikan (Mulyasa, 2013). Peneliti memilih satuan pendidikan
SMA Taruna Bakti Bandung sebagai subjek penelitian dengan pertimbangan bahwa

sekolah ini dikenal menjadikan pendidikan


karakter sebagai misi sekolahnya, selain menjadi sekolah pembauran multi etnis. Selain

itu, dengan kiprahnya yang lebih dari 60 tahun, sekolah ini tidak hanya memiliki jejak

rekam yang baik secara akademis, popular secara nama, dan menjadi salah satu dari

sedikit sekolah swasta yang menempati 5 (lima) besar sekolah unggulan di kota

Bandung, namun juga memiliki kekhasan dalam misi pendidikannya, yaitu menjadikan

pendidikan karakter dan pembauran sebagai bagian dari softskill yang tidak

terpisahkan.

SMA Taruna Bakti, terakreditasi A sejak tahun 2007 terletak di Jalan L.L.R.E

Martadinata 52 Kota Bandung, persis berada di tengah-tengah pusat perbelanjaan

factory outlets dan pusat pemerintahan provinsi Jawa Barat (Gedung Sate) dan

Kejaksaan Provinsi Jawa Barat. Sekolah ini berdiri di bawah naungan Yayasan Taruna

Bakti yang didirikan oleh masyarakat dengan ketua umumnya Drs. K. Kamajaya, M.Sc.

Yayasan Taruna Bakti sendiri saat ini mengelola satuan pendidikan Play group, Taman

Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas dan

Akademi Sekretari Taruna Bakti. Untuk kegiatan SMA, proses manajemen dan

pembelajarannya berada di gedung utama Jl.

L.L.R.E. Martadinata no. 52 lantai 3 dan 4. Berdasarkan observasi awal yang

dilakukan, disiplin dan keramahtamahan sangat ditekankan. Senyum, Tegur dan Sapa

menjadi salah satu etika yang ditekankan baik kepada siswa juga guru. Siswa harus

berada di sekolah sebelum jam 06.30. Sesudah jam tersebut, Siswa-siswa yang

terlambat mendapatkan sanksi tidak diperkenankan masuk kelas sebelum menyelesaikan

tugas terlambat yang dibuat oleh guru jam pertama dan dipantau serta

diadministrasikan oleh guru piket. Ucapan-ucapan seperti “Assalamu’alaikum,

selamat pagi,” dan diikuti mencium tangan dari siswa ke guru menjadi keseharian
para siswa dan guru di sekolah.

Hasil observasi awal di atas dikuatkan oleh penuturan Kepala Sekolah melalui

wawancara informal yang dilakukan peneliti. Kepala Sekolah menegaskan bahwa

SMA
Taruna Bakti adalah sekolah yang sangat menekankan pendidikan karakter, bahkan jauh

sebelum pemerintah menyuarakan urgensi pendidikan karakter. Salah satu nilai yang

ditekankan selama 2013 adalah respect (menghormati/menghargai). Setiap komponen;

siswa, guru maupun pegawai berupaya untuk menghayati dan mewujudkan nilai respect

ini.

Akan tetapi, Kepala Sekolah mengakui di tengah-tengah upaya

mengimplementasikan pendidikan karakter di sekolah ini, terdapat beberapa

persoalan mendasar, yaitu pertama, tidak semua siswa berasal dari lingkungan

keluarga yang harmonis. Banyak di antara diasuh secara single parent. Sehingga,

kompensasi yang cenderung ke arah negatif seperti absensi, keterlambatan,

pelanggaran, sering dilakukan oleh para siswa sekadar untuk mencari perhatian.

Lingkungan keluarga yang kondusif dapat menjaga kesinambungan pendidikan

karakter yang ditekankan di sekolah. Sebaliknya, lingkungan keluarga yang

bermasalah, dapat menyebabkan terputusnya sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai

yang diterima siswa di sekolah. Kedua, SMA Taruna Bakti adalah sekolah non-

asrama. Kebersamaan dengan siswa di sekolah tidak berlangsung 1x24 jam seperti

yang terjadi di sekolah berasrama (boarding school).

Sekolah kedua adalah SMA Terpadu Krida Nusantara menempati tanah seluas 25

Ha yang terletak di wilayah Bandung Timur, tepatnya di desa Cipadung, Cibiru. SMA ini

memiliki akreditasi A dan mengedepankan pendidikan karakter yang terlihat dari

ungkapan visinya, yaitu “Menjadi sekolah berasrama terkemuka dalam pengembangan

potensi peserta didik di bidang akademik, keagamaan dan keterampilan dengan disiplin

tinggi serta mampu bersaing secara nasional dan internasional”. Selain itu, SMA Krida

Nusantara ini memiliki slogan “Mendidik anak untuk disiplin, bebas rokok, narkotika
dan tawuran.” Selain itu, dengan konsep sekolah asrama (boarding school), proses

pendidikan bisa relatif terpantau selama 24


jam dengan dibimbing oleh kepala sekolah, kepala asrama para guru kelas, wali kelas,

guru asrama hingga tenaga kependidikan.

Sekolah ketiga adalah SMA Negeri 3 Bandung, terletak di jalan Belitung 8

Bandung, memiliki slogan “Knowledge is power, but character is more” bervisi

“Menjadi sekolah berbasis riset terdepan dalam pembentukan karakter unggul dalam

imtak dan iptek”. Sekolah ini dalam kurun waktu selama dua dekade menjadi sekolah

dengan nilai passing grade teratas se-kota Bandung dan memiliki perolehan A dalam

status akreditasinya. Sebagaimana sekolah-sekolah formal lainnya, SMA Negeri 3

Bandung ini memiliki 64 tenaga pendidik dengan status PNS dan 8 guru honorer,

ditunjang dengan 32 tenaga kependidikan serta dilengkapi dengan berbagai fasilitas

sekolah yang memadai.

Bertitik tolak dari latar belakang masalah di atas, peneliti tertarik untuk

mendalami efektivitas proses pelaksanaan manajemen pendidikan karakter pada

tingkat Sekolah Menengah Atas dengan mengambil 3 (tiga) kasus di SMA Taruna Bakti,

SMA Krida nusantara dan SMA Negeri 3 Bandung

B. Fokus Penelitian dan Rumusan Masalah

Manajemen berfokus pada perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing),

Pelaksanaan (Actuating) dan Pengawasan (Controlling). Oleh karenanya, penelitian ini

difokuskan kepada efektivitas disetiap tahapan dari mulai tahapan perencanaan

hingga pengawasan. Untuk itu dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana perencanaan pendidikan karakter pada tingkat SMA.

2. Bagaimana pengorganisasian pendidikan karakter pada tingkat SMA.


3. Bagaimana pelaksanaan pendidikan karakter pada tingkat SMA.
4. Bagaimana pengawasan pendidikan karakter pada tingkat SMA.

5. Bagaimanakah efektivitas proses manajemen pendidikan karakter pada tingkat SMA

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh deskripsi yang rinci dan jelas
tentang:

1. Perencanaan pendidikan karakter pada tingkat SMA.

2. Pengorganisasian pendidikan karakter pada tingkat SMA.

3. Pelaksanaan pendidikan karakter pada tingkat SMA.

4. Pengawasan pendidikan karakter pada tingkat SMA.

5. Efektivitas proses penerapan manajemen pendidikan karakter pada tingkat


SMA.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik teoretik dan praktis.

1. Manfaat Teoretik

Secara teoretik penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengembangkan

keilmuan dalam bidang manajemen pendidikan dan secara khusus manajemen

pendidikan karakter. Hasil penelitian ini juga dapat menjadi bahan acuan bagi

penelitian-penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pimpinan yayasan,

pimpinan sekolah, guru, dan seluruh warga sekolah, bahkan para pemerhati

pendidikan tentang pedoman pelaksanaan pendidikan karakter.

E. Batasan Penelitian

Penelitian ini difokuskan kepada efektivitas proses pelaksanaan manajemen

berkarakter di tingkat SMA. Efektivitas sendiri dapat diukur melalui 4 (empat)

pendekatan yaitu pendekatan sasaran (goal approach), pendekatan sistem (system

approach), pendekatan proses (process approach) dan pendekatan gabungan dari

tiga gabungan pendekatan tersebut (Lubis dan Huseini, 1987). Pengukuran efektif

juga didasarkan pada pendapat Windham (1988) bahwa efektivitas pendidikan,

dalam hal ini, manajemen pendidikan berkarakter dapat dilihat dari proses input-

proses-output dan outcomenya. Penelitian ini membatasi efektivitas hanya pada

pendekatan proses dan sasaran serta faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas

proses pelaksanaan manajemen pendidikan kepribadian.

II. ACUAN TEORITIS

A. Konsep Dasar Manajemen dan Manajemen Pendidikan

1. Pengertian Manajemen dan Manajemen Pendidikan

Kata manajemen sering dihubungkan dengan istilah bahasa Italia maneggiare yang
berarti ‘mengendalikan’. Kata ini mendapat pengaruh dari bahasa Perancis manège yang
berarti ‘kepemilikan kuda’ (yang berasal dari Bahasa Inggris yang berarti seni

mengendalikan kuda). Bahasa Perancis lalu mengadopsi kata ini dari bahasa Inggris

menjadi ménagement, yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur.

Berdasarkan etimologinya, istilah manajemen sebenarnya berasal dari bahasa Latin

manus yang berati ‘tangan’ dan agere yang berarti ‘melakukan’.

Dalam perkembangannya, istilah manajemen mendapatkan pengertian yang lebih

spesifik dan variatif dari para ahli. Harold Koontz dan Hein Weirich (dalam Kambey,

2006:2), mendefinisikan manajemen sebagai “proses mendisain dan memelihara

lingkungan di mana orang-orang bekerja bersama dalam kelompok-kelompok untuk

mencapai tujuan-tujuan tertentu secara efisien”. Sementara itu, Sanches (dalam Kambey,

2006:2), mendefinisikan manajemen sebagai “proses mengembangkan manusia”.

Manajemen bukan sekedar proses melakukan sesuatu, melainkan sebagai seni.

Mary Parker Follet (dalam Sule dan Saefullah, 2010:5) menegaskan bahwa “manajemen

is the art of getting things done through people.” Artinya, manajemen adalah seni

menyelesaikan sesuatu melalui orang lain. Manajemen sebagai proses ataupun seni

senantiasa terarah pada suatu tujuan yang hendak dicapai dan melalui tahapan-

tahapan yang pasti, yakni perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan

pengendalian. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Nickels dkk. (dalam Sule dan

Saefullah, 2010:6). Mereka menyebutkan pengertian manajemen sebagai “the

process used to accomplish organizational goals through planning, organizing,

directing, and controlling people and other organizational goals”. Definisi

sesungguhnya dari kata manajemen ternyata banyak, tergantung pada persepsi

masing-masing ahli. Namun, terdapat salah satu definisi klasik tentang manajemen yang
dirumuskan oleh George Terry (dalam Indrajit dan Djokopranoto, 2011:315), yakni
“management is a distinct process consisting of planning, organizing, actuating, and

controlling, performed to determine and accomplish stated objetctives by the use of

human beings and other resources”. Manajemen adalah suatu proses perencanaan,

pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengontrolan melalui orang atau sumber daya lain

untuk mewujudkan tujuan. Proses yang dikemukakan Terry inilah yang secara

populer dikenal dengan singkatan POAC (planning, organizing, actuating,

controlling).

Berdasarkan pengertian yang diberikan oleh para ahli di atas, maka

manajemen dalam arti luas adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan

proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian sumber daya

organisasi untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Sementara itu dalam arti

sempit, yakni dalam konteks lingkungan pendidikan, “manajemen adalah perencanaan

program sekolah, pelaksanaan program sekolah, kepemimpinan kepala sekolah,

pengawas/evaluasi, dan sistem informasi sekolah” (Usman, 2011:5). Lebih lanjut

Usman (2011:12) mengemukakan definisi manajemen pendidikan sebagai berikut:

Manajemen pendidikan adalah seni dan ilmu mengelola sumber daya


pendidikan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa,
dan negara.

Dari definisi di atas, Usman menjabarkan tujuan dan manfaat manajemen

pendidikan (2011:13), antara lain:

1. Terwujudnya suasana belajar dan proses pembelajaran yang aktif, kreatif,

efektif, menyenangkan dan bermakna.


2. Terciptanya peserta didik yang aktif mengembangkan potensi dirinya.
3. Terpenuhinya salah satu dari 5 kompetensi tenaga kependidikan, yaitu

kompetensi manajerial.

4. Tercapainya tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.

5. Terbekalinya tenaga kependidikan dengan teori tentang proses dan tugas

administrasi pendidikan.

6. Teratasinya masalah mutu pendidikan.

7. Terciptanya perencanaan pendidikan yang merata, bermutu, relevan, dan

akuntabel.

8. Meningkatnya citra positif pendidikan.

Secara ringkas, Mulyati dan Komariah (dalam Tim Dosen Administrasi Pendidikan UPI,

2011:88) menegaskan bahwa pentingnya manejemen agar pelaksanaan suatu

usaha terencana secara sistematis dan dapat dievaluasi secara benar, akurat dan

lengkap sehingga mencapai tujuan secara produktif, berkualitas, efektif dan efisien.

2. Fungsi-Fungsi Manajemen

Fungsi manajemen sebenarnya telah tertuang dalam definisi manajemen yang

dikemukan oleh para ahli, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan

pengendalian/pengawasan. Fungsi-fungsi tersebut merupakan elemen dasar yang akan

selalu ada dan melekat di dalam proses manajemen yang akan dijadikan acuan oleh

manajer/pemimpin dalam melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan.


Secara garis besar Gerloff (dalam Kusdi, 2009:9) menunjukkan melalui sebuah tabel

dinamika proses manajemen sebagai berikut:

Fungsi Tindakan Resultan/Efek


Planning Menentukan berbagai tujuan, Dasar bagi desain dan
strategi, dan arah yang ingin kebijakan organisasi
dicapai.
Organizing  Menentukan aktivitas-  Struktur kerja formal
aktivitas pokok. dengan mengidentifikasi
 Mengelompokkan aktivitas- jabatan, hubungan
aktivitas menjadi pelaporan dan
jabatan- jabatan. koordinasi, departemen-
 Mengelompokkan jabatan departemen, serta
dan menentukan tanggung prosedur yang
jawab dibutuhkan.
 Mengisi jabatan dengan  Menciptakan situasi yang
orang- orang yang sesuai. memungkinkan
munculnya struktur
kerja
informal.
Directing  Memprakarsai dan Aliran komunikasi dari atas
memfokuskan tindakan ke bawah yang
para bawahan menuju mengaktifkan rencana
tujuan. formal dan mendukung
prioritas-
prioritasnya.
Controlling Memonitor kinerja dan Standard-standar kerja, media
mengarahkan upaya menuju pelaporan, dan metode-
tujuan yang sudah direncanakan metode standard yang
merupakan bagian dari
struktur

2.1. Perencanaan

Banghart dan Trull (dalam Sagala, 2010:56) mengemukakan: “Educational

planning is first of all a rational process”. Artinya perencanaan pendidikan adalah langkah

paling awal dari semua proses rasional. Dengan kata lain sebelum melaksanakan

kegiatan lain, langkah pertama yang mestinya dibuat adalah perencanaan.


Perencanaan pada dasarnya merupakan suatu proses memikirkan dan

menetapkan secara matang arah, tujuan dan tindakan sekaligus mengkaji berbagai

sumber daya dan


metode yang tepat. Pengertian serupa dikemukakan oleh Gibson (dalam Sagala,

2010:56), “perencanaan mencakup kegiatan menentukan sasaran dan alat sesuai untuk

mencapai tujuan yang telah ditentukan”. Perencanaan yang dibuat secara matang

akan berfungsi sebagai kompas untuk mencapai tujuan organisasi. Untuk itu Sergiovanni

(dalam Sagala, 2010:57) menegaskan: “plans are guides, approximation, goal post, and

compass setting not irrevocable commitments or dicision commandments”.

Lebih lanjut Mulyati dan Komariah (dalam Tim Dosen, 2011:93-95)

mengemukakan fungsi perencanaan sebagai berikut:

- Menjelaskan dan merinci tujuan yang ingin dicapai.

- Memberikan pegangan dan menetapkan kegiatan-kegiatan yang harus

dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.

- Organisasi memperoleh standar sumber daya terbaik dan mendayagunakan sesuai

tugas pokok fungsi yang telah ditetapkan.

- Menjadi rujukan anggota organisasi dalam melaksanakan aktivitas yang

konsisten prosedur dan tujuan.

- Memberikan batas kewenangan dan tanggung jawab bagi seluruh pelaksana.

- Memonitor dan mengukur berbagai keberhasilan secara intensif sehingga bisa

menemukan dan memperbaiki penyimpangan secara dini.

- Memungkinkan untuk terpeliharanya persesuaian antara kegiatan internal

dengan situasi eksternal.

- Menghindari pemborosan.
Berdasarkan jangkauan waktunya, perencanaan dapat dibagi menjadi

perencanaan jangka pendek, misalnya satu minggu, satu bulan, satu semester dan

satu tahun, perencanaan jangkah menengah yaitu perencanaan yang dibuat untuk

jangka waktu tiga sampai tujuh tahun, dan perencanaan jangka panjang dibuat untuk

jangka waktu delapan sampai dua puluh lima tahun. Sementara itu proses

perencanaan dilaksanakan secara kolaboratif, yakni melibatkan warga sekolah. Alasan

pentingnya melibatkan mereka dalam perencanaan dikemukakan oleh Hoyle dan

Moedjiarto (dalam Sagala, 2010:57). Masyarakat sekolah akan bertanggungjawab atas

perencanaan yang ditetapkan dan akan menimbulkan sense of belonging (rasa memiliki),

sehingga mendorong warga sekolah untuk bersama-sama berusaha agar rencana

tersebut berhasil.

2.2. Pengorganisasian

Mengorganisasikan adalah proses mengatur, mengalokasikan dan

mendistribusikan pekerjaan, wewenang, dan sumber daya di antara anggota organisasi

untuk mencapai tujuan organisasi. Stoner (dalam Tim Dosen, 2011:94) menyatakan

bahwa mengorganisasikan adalah “proses mempekerjakan dua orang atau lebih untuk

bekerja sama dalam cara terstruktur guna mencapai sasaran spesifik atau beberapa

sasaran”. Pada intinya mengorganisasikan berarti:

- menentukan sumber daya kegiatan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan

organisasi.

- merancang dan mengembangkan kelompok kerja yang berisi orang yang

mampu membawa organisasi pada tujuan.


- menugaskan seseorang atau kelompok orang dalam suatu tanggung jawab

tugas dan fungsi tertentu.

- mendelegasikan wewenang kepada individu yang berhubungan dengan

keleluwasaan melaksanakan tugas.

Pengorganisasian yang tepat akan membuat posisi orang jelas dalam struktur dan

pekerjaannya melalui pemilihan, pengalokasian dan pendistribusian kerja yang

profesional. Untuk itu seorang manajer memerlukan kemampuan memahami sifat

pekerjaan dan kualifikasi orang yang harus mengisi jabatan.

2.3. Pelaksanaan

Pelaksanaan, pengimplementasian, atau penggerakkan (actuating) merupakan

proses implementasi program agar bisa dijalankan oleh seluruh pihak dalam organisasi

serta proses memotivasi agar semua pihak dapat bertanggung-jawab dengan penuh

kesadaran dan produktivitas yang tinggi (Sule dan Saefulla, 2010:8). Proses

memotivasi berarti mendorong semua pihak agar mau bekerja sama, ikhlas dan

bergairah untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan rencana-rencana yang telah

ditentukan atau diorganisir sebelumnya. Hal ini ditegaskan oleh Terry (dalam Kambey,

2006:70), “Actuating is setting all members of the group to want to achieve and to

strike to achieve the objective willingly and keeping with the managerial planning and

organizing the efforts”.

Dalam konteks manajemen sekolah, fungsi tersebut dijalankan oleh kepala

sekolah, yakni melalui tindakan merangsang guru dan personal sekolah lainnya

melaksanakan tugas- tugas dengan antusias dan kemauan yang baik untuk mencapai

tujuan dengan penuh

semangat (Sagala, 2010:60). Menurut Sagala (2010:62-63), kepala sekolah dalam


15
Denny Kodrat | Proposal Penelitian
menjalankan fungsinya perlu memperhatikan beberapa faktor seperti keefektifan

organisasi kerja yang terdiri dari sejumlah unit kerja (kelas, guru kelas, bimbingan

penyuluhan, usaha kesehatan sekolah), kepekaan terhadap sejumlah kebutuhan

pelayanan persoan sekolah, pelatihan guru, koordinasi yang meliputi pembagian kerja

dan spesialisasi atas dasar tanggung jawab profesionalnya masing-masing, semangat

kerja sama, tersedianya fasilitas dan kontak hubungan yang lancer bagi semua pihak dan

memulai tahapan suatu kegiatan dengan benar dan mempertahankan kualitas

pekerjaan sebagai proses yang kontinu.

Koordinasi dapat diwujudkan melalui 1) konfrensi atau pertemuan lengkap

yang mewakili unit kerja di sekolah, 2) pertemuan berkala untuk pejabat-pejabat

tertentu, 3) pembentukan panitia gabungan jika diperlukan, 4) pembentukan badan

koordinasi staf untuk mengkoordinir kegiatan, 5) mewawancarai personal sekolah untuk

mengetahui hal yang penting berkaitan dengan tugas dan tanggungjawabnya, 6)

memorandum atau instruksi berantai, dan , 7) ada dan tersedianya buku pedoman

organisasi dan tatakerja.

2.4. Pengawasan

Sagala merangkum beberapa pengertian pengawasan dari beberapa pakar

berikut (dalam Sagala, 2010:65). Pertama, Oteng Sutisna menghubungkan fungsi

pengawasan dengan tindakan administrasi. Baginya pengawasan dilihat sebagai proses

administrasi melihat apakah apa yang terjadi itu sesuai dengan apa yang seharusnya

terjadi, jika tidak maka penyesuaian yang perlu dibuatnya. Kedua, Hadari Nawawi

menegaskan bahwa pengawasan dalam administrasi berarti kegiatan menukur tingkat

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 16


efektivitas kerja personal dan tingkat efesiensi penggunaan metode dan alat tertentu

dalam usaha mencapai tujuan. Ketiga, Johnson mengemukakan pengawasan sebagai

fungsi sistem yang melakukan

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 17


penyesuaian terhadap rencana, mengusahakan agar penyimpangan-penyimpangan

tujuan sistem hanya dalam batas-batas yang dapat ditoleransi.

Dalam kaitannya dengan manajemen sekolah, Sagala menegaskan bahwa

pengawasan adalah salah satu kegiatan mengetahui realisasi perilaku personal sekolah

dan apakah tingkat pencapaian tujuan pendidikan sesuai yang dikehendaki, kemudian

dari hasil pengawasan apakah dilakukan perbaikan. Pengawasan meliputi pemeriksaan

apakah semua berjalan sesuai rencana yang dibuat, instruksi-instruksi yang dikeluarkan,

dan prinsip-prinsip yang ditetapkan, antara lain seperti yang dikemukakan oleh Massie

(dalam Sagala, 2010:65):

- Tertuju kepada strategis sebagai kunci sasaran yang menentukan keberhasilan.

- Menjadi umpan balik sebagai bahan revisi dalam mencapai tujuan.

- Fleksibel dan responsif terhadap perubahan-perubahan kondisi dan lingkungan.

- Cocok dengan organisasi pendidikan.

- Merupakan kontrol diri sendiri.

- Bersifat langsung yaitu pelaksanaan kontrol di tempat pekerja.

- Memperhatikan hakikat manusia dalam mengontrol para personal


pendidikan.

Sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut, Oteng Sutisna (Sagala, 2010:65) menegaskan

bahwa tindakan pengawasan terdiri dari tiga langkah universal, yaitu (1) mengukur

perbuatan atau kinerja; (2) membandingkan perbuatan dengan standar yang ditetapkan

dan menetapkan perbedaan-perbedaan jika ada; dan (3) memperbaiki penyimpangan

dengan tindakan pembetulan.

Lebih lanjut Stoner (dalam Sagala, 2010:66) membagi pengawasan dalam empat
langkah berikut:
- Pertama, menetapkan standar dan metode untuk mengukur prestasi yang

mencakup di dalamnya penetapan standar dan ukuran untuk segala

macam keperluan, mulai dari target pencapaian kurikulum sampai pada

target pencapaian mutu lulusan.

- Kedua, mengukur prestasi kerja yang dilakukan secara

berkesinambungan, repetitif dan frekeunsinya tergantung pada jenis

aktivitas yang sedang diukur.

- Ketiga, membandingkan hasil yang telah diukur dengan sasaran dan standar

yang telah ditetapkan sebelumnya.

- Keempat, mengambil tindakan korektif, jika hasil-hasil yang dicapai tidak

memenuhi standar dan analisis menunjukkan perlunya diambil tindakan.

B. Konsep Dasar Pendidikan Karakter

1. Pengertian Pendidikan

Kata bahasa Inggris education yang diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia menjadi pendidikan, secara etimologis berasal dari kata kerja bahasa Latin

educare. Koesoema (2010:53) mengemukakan bahwa bisa jadi secara etimologis, kata

pendidikan berasal dari dua kata kerja yang berbeda, yaitu dari kata educare dan

educere. Secara distingtif, Koesoema mendeskripsikan makna kedua istilah tersebut

sebagai berikut.

Kata educare memiliki konotasi ‘melatih’, ‘menjinakkan’, atau ‘menyuburkan’.

Dalam konteks ini pendidikan dipahami sebagai “sebuah proses yang membantu

menumbuhkan, mengembangkan, mendewasakan, membuat yang tidak tertata atau liar


menjadi semakin tertata, semacam proses penciptaan kultur dan tata keteraturan dalam

diri maupun dalam


diri orang lain”. Pengertian pendidikan seperti ini senada dengan pendapat kaum

behavioris seperti Watson dan Skinner yang menekankan pendidikan sebagai proses

perubahan tingkah laku (Mudyahardjo, 2001:7). Pendidikan juga berarti “proses

pengembangan berbagai macam potensi yang ada dalam diri manusia, seperti

kemampuan akademis, relasional, bakat, talenta, kemampuan fisik atau daya-daya

seni”.

Sementara itu, kata educere merupakan gabungan dari preposisi ex (keluar dari)

dan kata kerja ducere (memimpin). Secara harafiah educere berarti “suatu kegiatan

untuk menarik keluar atau membawa keluar”. Dalam arti ini, pendidikan dimengerti

sebagai “sebuah proses pembimbingan keluar yang terarah pada satu tujuan

tertentu”. Proses pembimbingan keluar ini bisa berarti secara internal, yakni keluar

dari keterbatasan fisik kodrati yang dimiliki sehingga tetap bertahan hidup, dan

secara eksternal lebih mengacu pada kecerdasan sosial individu, antara lain tampak

dari kemampuan bekerja sama dengan orang lain untuk mencapai tujuan bersama.

Di pihak lain, menurut John Dewey (dalam Muslich, 2011:67) pendidikan

adalah “proses pembentukan kecapakan fundamental secara intelektual dan emosional

ke arah alam dan sesama manusia. Sementara itu dalam konteks Indonesia, pengertian

pendidikan secara sistematis tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor

20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi

demikian:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana


belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Jadi, pengertian pendidikan mencakup keseluruhan aspek kehidupan

manusia. Bahkan, pendidikan adalah hidup itu sendiri, sebab pendidikan berlangsung

seumur hidup
(life-long education), mencakup segala lingkungan dan situasi hidup yang mempengaruhi

pertumbuhan individu (Mudyahardjo, 2001:3).

2. Pengertian Karakter

Secara etimologis istilah “karakter” berasal dari bahasa Yunani karasso, berarti

‘cetak biru’, ‘format dasar’, atau ‘sidik’ seperti dalam sidik jari. Interpretasi atas istilah

ini bermacam-macam. Mounier (dalam Koesoema, 2010:90-91) mengajukan dua

cara interpretasi, yaitu pertama, karakter sebagai “sekumpulan kondisi yang telah

diberikan begitu saja, atau telah ada begitu saja, yang lebih kurang dipaksakan

dalam diri kita” (karakter bawaan atau given character). Kedua, karakter sebagai “tingkat

kekuatan melalui mana seorang individu mampu menguasai kondisi tersebut. Karakter

adalah sebuah proses yang kehendaki” (willed). Senada dengan pengertian karakter

di atas, Ohoitmur (dalam Rataq dan Korompis, 2011:11), menegaskan bahwa “karakter

personal terdiri dari dua unsur yakni karakter bawaan dan karakter binaan. Karakter

bawaan merupakan karakter yang secara hereditas menjadi ciri khas kepribadiannya.

Sedangkan karakter binaan merupakan karakter yang berkembang melalui pembinaan

dan pendidikan secara sistematis.

Menurut Pusat Bahasa Depdiknas (dalam Kemendiknas, 2010:12) karakter

diartikan sebagai “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas,

sifat, tabiat, temperamen, watak.” Berkarakter berarti “berkepribadian, berperilaku,

bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah

seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan, dirinya,

sesame dan lingkungannya dengan cara mengoptimalkan potensi dirinya dan disertai
dengan kesadaran, emosi dan motivasinya.
Musfiroh (dalam Kemendiknas, 2010:12) berpendapat bahwa “karakter mengacu

kepada serangkaian sikap, perilaku, motivasi dan keterampilan”. Karakter berhubungan

dengan karakteristik psikologis individual. Hal ini ditegaskan oleh Berkowitz

(2002:69) sebagai berikut: “Character as an individual’s set of psychological

characteristics that affect that person’s ability and inclination to function morally. Simply

put, character is comprised of those characteristics that lead person to do the right

thing or not to do the right thing. ” Karakter adalah kumpulan dari karakteristik psikologis

individual yang mempengaruhi bakat seseorang dan kecenderungan untuk bertindak

sesuai dengan moralitas. Dengan kata lain karakter itu terdiri dari karakteristik-

karakteristik yang menuntun seseorang untuk melakukan sesuatu yang baik atau

melakukan sesuatu yang tidak baik.

3. Pendidikan Karakter

3.1. Pengertian Pendidikan Karakter

Elkind dan Sweet (dalam Kemendiknas, 2010:13) menyebutkan pendidikan

karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help

people understand, care about, and act upon core ethical values”. Pendidikan karakter

adalah suatu usaha sengaja untuk membantu orang memahami, peduli dan bertindak

menurut nilai-nilai etika. Sementara itu menurut Ramli (dalam Kemendiknas, 2010:13),

pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral

dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi

manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik.

Pendidikan moral dan pendidikan karakter tidaklah sama. Perbedaannya terletak


pada ruang lingkup dan lingkungan yang membantu individu dalam mengambil keputusan.
Dalam pendidikan moral, ruang lingkupnya adalah kondisi batin seseorang. Sedangkan

dalam pendidikan karakter ruang lingkupnya selain terdapat dalam diri individu, juga

memiliki konsekuensi kelembagaan, yang keputusannya tampil dalam kinerja dan

kebijakan lembaga pendidikan (Koesoema, 2010:198).

Koesoema (2010:42) menyebutkan bahwa pendidikan karakter sebenarnya

dicetuskan pertama kali oleh ahli pendidikan Jerman F.W. Foerster (1869-1966). Lahirnya

pendidikan karakter bisa dikatakan sebagai sebuah usaha untuk menghidupkan kembali

pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang arus positivisme yang dipelopori

oleh filsuf dan sosiolog Perancis Auguste Comte (1798-1857). Tujuan pendidikan

menurut Foerster adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan

esensial antara si subjek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Karakter

menjadi semacam identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu

berubah. Dari kematangan karakter inilah kualitas seorang pribadi diukur. Lebih lanjut

Foerster menyebutkan kekuatan karakter seseorang tampak dalam empat ciri

fundamental yang mesti dimiliki. Kematangan keempat ciri fundamental karakter inilah

yang memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas.

Pertama, keteraturan interior melalui mana setiap tindakan diukur

berdasarkan hierarki nilai. Karakter tidak terbentuk selalui merupakan sebuah kesediaan

dan keterbukaan untuk mengubah dan dari ketidakteraturan menuju keteraturan nilai.

Kedua, koherensi yang memberikan keberanian melalui mana seseorang

dapat mengakarkan diri teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi

baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu

sama lain. Kredilibitas seseorang akan runtuk apabila tidak ada koherensi.
Ketiga, otonomi atau kemampuan seseorang untuk menginternalisasikan aturan

dari luar sehingga menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Hal ini tampak dari penilaian keputusan

pribadi tanpa terpengaruh atau desakan dari pihak lain.

Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang

untuk mengingini apa yang dipandang baik, sedangkan kesetiaan merupakan dasar bagi

penghormatan atas komitmen yang dipilih.

Lebih lanjut, Koesoema sendiri (2010:193-190) melihat pendidikan karakter

sebagai keseluruhan dinamika relasional antarpribadi dengan berbagai macam dimensi,

baik dari dalam maupun dari luar dirinya, agar pribadi itu semakin dapat menghayati

kebebasannya sehingga ia dapat semakin bertanggungjawab atas pertumbuhan dirinya

sendiri sebagai peribadi dan perkembangan orang lain dalam hidup mereka. Pendidikan

karakter memiliki dua dimensi sekaligus, yakni dimensi individual dan dimensi sosio-

struktural. Dimensi individual berkaitan erat dengan pendidikan nilai dan pendidikan

moral seseorang. Sedangkan dimensi sosio-kultural lebih melihat bagaimana

menciptakan sebuah sistem sosial yang kondusif bagi pertumbuhan individu.

Tidak hanya di Indonesia, pendidikan karakter juga menjadi perhatian di

belahan dunia lain, seperti di Amerika. Character Education Partnership (CEP) (dalam

Koesoema, 2012:57), sebuah program nasional pendidikan karakter di Amerika Serikat,

mendefinisikan pendidikan karakter demikian.

Sebuah gerakan nasional untuk mengembangkan sekolah-sekolah agar dapat


menumbuhkan dan memelihara nilai-nilai etis, tanggung jawab dan kemauan
untuk merawat satu sama lain dalam diri anak-anak muda, melalui
keteladanan dan pengajaran tentang karakter yang baik, dengan cara
memberikan penekanan pada nilai-nilai universal yang diterima oleh semua.
Gerakan ini merupakan usaha-usaha dari sekolah, distrik, dan Negara bagian
yang sifatnya intensional dan proaktif untuk menanamkan dalam diri para siswa
nilai-nilai oral inti, seperti perhatian dan
perawatan (caring), kejujuran, keadilan (fairness), tanggung jawab dan rasa
hormat terhadap diri dan orang lain.

Sementara itu Asosiasi Supervisi dan Pengembangan Kurikulum di Amerika

Serikat (dalam Koesoema, 2012:57-58), mendefinisikan pendidikan karakter sebagai

berikut.

Sebuah proses pengajaran kepada anak-anak tentang nilai-nilai kemanusiaan


dasar, termasuk di dalamnya kejujuran, keramahtamahan, kemurahan hati,
keberanian, kebebasan, persamaan, dan rasa hormat. Tujuannya adalah untuk
menumbuhkan diri siswa sebagai warga Negara yang dapat bertanggungjawab
secara moral dan memiliki disiplin diri.

Pendidikan karakter baik di Indonesia, maupun di Amerika memuat nilai-nilai yang

kurang lebih sama. Dalam konteks Indonesia, Kemendiknas secara detail (2011)

menyebutkan delapan belas nilai dalam pendidikan karakter, yaitu religius, jujur, toleransi,

disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan,

cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, gemar membaca,

peduli lingkungan, dan peduli sosial, serta tanggung jawab. Koesoema (2010:208-2011)

mengambil garis besarnya saja dengan menyebutkan delapan nilai, yakni keutamaan,

keindahan, kerja, cinta tanah air, demokrasi, kesatuan, menghidupi nilai moral, dan

kemanusiaan.

3.2. Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Karakter

Koesoema (2010:218-220) mengemukakan bahwa pendidikan karakter di

sekolah memerlukan prinsip-prinsip dasar yang mudah dimengerti dan dipahami oleh

siswa dan setiap individu yang bekerja dalam lingkup pendidikan itu sendiri. Beberapa

prinsip dasar itu antara lain sebagai berikut.


a. Karaktermu ditentukan oleh apa yang kamu lakukan, bukan apa yang kamu

katakan atau kamu yakini.


b. Setiap keputusan yang kamu ambil menentukan akan menjadi orang macam

apa dirimu.

c. Karakter yang baik mengandaikan bahwa hal yang baik itu dilakukan

dengan cara-cara yang baik, bahkan seandainya pun kamu harus

membayarnya secara mahal, sebab mengandung risiko.

d. Jangan pernah mengambil perilaku buruk yang dilakukan oleh orang lain

sebagai patokan bagi dirimu. Kamu dapat memilih patokan yang lebih baik

dari mereka.

e. Apa yang kamu lakukan itu memiliki makna dan transformatif. Seorang

individu bisa mengubah dunia.

f. Bayaran bagi mereka yang memiliki karakter baik adalah bahwa kamu

menjadi pribadi yang lebih baik, dan ini akan membuat dunia menjadi

tempat yang lebih baik untuk dihuni.

3.3. Metode Integral bagi Pendidikan Karakter

Koesoema (2010:212-217) menyebutkan secara praktis dan sederhana lima unsur

yang bisa dipertimbangkan dalam upaya mengarahkan sekolah pada penghayatan

pendidikan karakter yang realistis, konsisten, dan integral. Koesoema menegaskan

bahwa kelima unsur itu bisa menjadi menjadi pedoman dan patokan dalam

menghayati dan mencoba menghidupi pendidikan karkater di dalam setiap lembaga

pendidikan. Lima hal tersebut bisa dikatakan sebagai lingkaran dinamis dialektis yang

senantiasa berputar semakin maju. Kelima unsur itu adalah mengajarkan, keteladanan,

menentukan prioritas, praksis prioritas, dan refleksi.


a. Mengajarkan

Pendidikan karakter mengandaikan pengetahuan teoretis tentang konsep-konsep

nilai tertentu. Artinya, untuk dapat melakukan yang baik, adil, dan bernilai, maka

peserta didik pertama-tama perlu mengetahui dengan jelas apa itu kebaikan,

keadilan dan nilai. Perilaku berkarakter mendasarkan diri pada tindakan sadar subjek

dalam melaksanakan nilai. Untuk inilah, salah satu unsur penting dalam pendidikan

karakter adalah mengajarkan nilai-nilai sehingga anak didik memiliki gagasan

konseptual tentang nilai-nilai pemandu perilaku yang bisa dikembangkan dalam

mengembangkan karakter pribadinya.

Proses diseminasi nilai tidak hanya berlangsung di dalam kelas, melainkan

bisa memanfaatkan berbagai macam unsur lain, misalnya proses perencanaan

kurikulum. Dalam merencanakan kurikulum perlu dilihat apakah telah terdapat nilai-

nilai etis yang menyerambah dalam kurikulum sehingga sekolah memiliki nilai-nilai

yang ditawarkan (proposed values). Cara lain adalah dengan mengundang pembicara

tamu dalam sebuah seminar, diskusi, publikasi, dll, untuk secara khusus membahas nilai-

nilai utama yang dipilih sekolah dalam kerangka pendidikan karakter bagi para

peserta didik.

b. Keteladanan

“Verba movent exempla trahunt”, ungkapan bahasa Latin ini berarti kata-kata

memang dapat menggerakkan orang, namun teladan itulah yang menarik hati. Untuk

itu pendidikan karakter merupakan tuntutan terutama bagi para pendidik sendiri.

Sebab, pengetahuan yang baik tentang nilai akan menjadi kredibel ketika gagasan

teoretis normatif itu ditemui oleh peserta didik dalam praksis kehidupan di sekolah.
Keteladanan menjadi salah satu hal klasik bagi berhasilnya pendidikan karakter.

guru sesungguhnya menjadi jiwa bagi pendidikan karakter itu sendiri. Konsistensi

dalam
mengajarkan pendidikan karakter tidak sekadar melalui apa yang dikatakan melalui

pembelajaran di dalam kelas, melainkan nilai itu juga tampil dalam diri guru di

kehidupannya di luar kelas. Indikasi adanya keteladanan dalam pendidikan karakter

adalah apakah terdapat model peran dalam diri insan pendidik. Demikian juga, apakah

secara kelembagaan terdapat contoh-contoh kebijakan serta perilaku yang bisa diteladani

oleh siswa sehingga apa yang mereka pahami tentang nilai-nilai itu memang dekat

dengan hidup mereka, dan mereka dapat menemukan afirmasi dalam perilaku

individu atau lembaga sebagai manifestasi nilai.

c. Menentukan prioritas

Pendidikan karakter menghimpun banyak kumpulan nilai yang dianggap penting

bagi realisasi atas visi lembaga pendidikan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan

mesti menentukan standar atas karakter yang akan ditawarkan kepada peserta didik.

Untuk ini, setiap pihak yang terlibat perlu memahami secara jernih apakah prioritas

nilai yang ingin ditekankan dalam pendidikan karakter di lingkungan sekolahnya.

Selain prioritas nilai, diperlukan juga penentuan sekumpulan perilaku standar yang

diketahui dan dipahami oleh peserta didik, orang tua dan masyarakat.

d. Praksis prioritas

Unsur lain yang sangat penting bagi pendidikan karakter adalah verifikasi di

lapangan tentang karakter yang dituntutkan itu. verifikasi yang dimaksudkan antara lain

bagaimana sikap sekolah terhadap pelanggaran atas kebijakan sekolah, bagaimana

sanksi itu diterapkan secara transparan sehingga menjadi praksis kelembagaan. realisasi

visi dalam kebijakan sekolah merupakan salah satu cara untuk

mempertanggungjawabkan pendidikan karakter di hadapan publik.


e. Refleksi

Setelah tindakan dan praksis pendidikan itu terjadi, perlulah diadakan

semacam evaluasi, pendalaman atau refleksi, untuk melihat sejauh mana lembaga

pendidikan telah berhasil atau gagal dalam melaksanakan pendidikan karakter.

Keberhasilan dan kegagalan itu lantas menjadi sarana untuk meningkatkan kemajuan

yang dasarnya adalah pengalaman itu sendiri. Oleh karena itu perlu dilihat, apakah para

siswa setelah memperoleh kesempatan untuk belajar dari pengalaman dapat

menyampaikan refleksi pribadinya tentang nilai-nilai tersebut dan membagikannya

dengan teman lain? Apakah ada diskusi untuk semakin memahami nilai pendidikan

karakter yang hasil-hasilnya bisa diterbitkan dalam jurnal, koran sekolah, dll?

Di samping kelima unsur di atas, Koesoema pada bukunya yang lain

mendeskripsikan secara detail pelbagai metode integral untuk mewujudkan

pendidikan karakter yang utuh dan menyeluruh bagi setiap kegiatan yang ada di dalam

lingkungan sekolah. Metode integral berarti terkait upaya pengembangan kualitas

individu, desain program yang sesuai dengan tanggung jawab individu, dan upaya

membangun lingkungan yang ramah atau kondusif bagi pertumbuhan individu sesuai

dengan tahap perkembangan kepribadiannya. Berikut pelbagai metode integral yang

disarikan dari pemikiran Koesoema (2012:70-82).

a. Menyebar ke seluruh kehidupan sekolah

Metode pendidikan karakter seperti ini didesain secara khusus agar seluruh

dinamika kehidupan sekolah senantiasa berjiwa pembentukan karakter. Pendidikan

karakter utuh dan menyeluruh memasuki seluruh fase kehidupan sekolah, mulai dari

siswa-siswa masuk melalui gerbang sekolah, kantin, aula, ruang kelas, perpustakaan
sampai mereka kembali melalui gerbang yang sama untuk pulang ke rumah.
b. Prioritas nilai dan keutamaan (core values)

Lembaga pendidikan mesti menentukan prioritas nilai atau keutamaan apa yang

akan diraih. Prioritas nilai dan keutamaan ini menjadi dasar penting bagi

pertumbuhan individu agar mereka tumbuh menjadi pribadi yang baik. Nilai-nilai yang

diprioritaskan itu dijunjung tinggi, disepakati bersama, dihormati, dan diteladankan oleh

para pendidik dan orang-orang lain dalam perkataan dan perbuatan. Dengan

demikian, diharapkan para siswa dapat menangkap bahwa nilai-nilai tersebut sungguh

merupakan nilai-nilai bersama yang ingin diperjuangkan oleh seluruh komunitas sekolah.

Dalam setiap pembicaraan, diskusi atau berhadapan dengan berbagai masalah di

sekolah, setiap anggota komunitas senantiasa menyadari bahwa segala peristiwa

dalam lembaga pendidikan mesti diletakkan dalam kerangka pengembangan prioritas

nilai, yang menggerakkan dinamika kehidupan sekolah.

c. Mengembangkan tiga dimensi pengolahan hidup

Metode pendidikan karakter utuh dan menyeluruh mengembangkan seluruh

dimensi pengolahan diri manusia secara integral, yakni meliputi olah pikir, olah hati,

dan olahraga. Olah pikir berarti mengajarkan individu untuk dapat memahami nilai-

nilai dan keutamaan secara benar. Individu mengetahui mengapa ia melakukan sebuah

tindakan dan mengapa tindakan yang dilakukan itu dapat dibenarkan secara moral

(moral reasoning). Olah hati berarti upaya menanamkan pemahaman yang benar dalam

diri individu sampai pemahaman tersebut sungguh menjadi bagian berharga dalam

dirinya. Dengan kata lain, individu menghidupi dan mencintai nilai-nilai yang telah

diajarkan kepadanya. Olah hati mengarahkan individu agar mampu membangun

komitmen menjadi pribadi berintegritas secara mendalam (moral loving). Selanjutnya,


olah raga merupakan pembadanan dari praksis nilai, yaitu merawat tubuh diri dan

orang lain. Penghargaan atas tubuh menjadi


tanda dihargainya harkat dan martabat manusia. Olah raga mengindikasikan bahwa

tindakan bermoral itu hanya dapat diverifikasi dalam praksis dan tindakan, di mana

fungsi organis tubuh berperan penting. pemahaman dan penghargaan atas tubuh secara

benar membuat individu mampu juga menghargai keberadaan fisik orang lain apapun

keadaan mereka.

d. Pengembangan organisasi dan manajemen

Pendidikan karakter utuh dan menyeluruh juga menyebar sampai pada

pembentukan organisasi dan manajemen sekolah yang berjiwa pembentukan

karakter, baik itu berupa kebijakan-kebijakan maupun keputusan-keputusan yang

diambil. Definisi tugas yang jelas dari masing-masing individu, proses pengaturan

relasi antar individu dalam kerangka organisasi perlu diperjelas, sehingga masing-

masing individu dalam lembaga pendidikan tersebut memiliki pemahaman akan cakupan

tanggung jawab mereka secara spesifik dan khas. Sekolah yang memiliki manajemen

yang baik mampu merealisasikan visi dan misi lembaga ke dalam praksis,

membentuk tradisi pendidikan yang kokoh, serta memiliki kepemimpinan yang

berkelanjutan.

e. Pengembangan kultur sekolah yang menumbuhkan (caring community)

Pendidikan karakter akan semakin efektif, relevan dan berkesinambungan jika

terarah pada pengembangan kultur sekolah yang menghargai individu dalam

mengembangkan karakter pribadinya. Pengembangan kultur sekolah yang baik pada

gilirannya akan berpengaruh pada pengembangan kultur sekolah di lingkungan

pendidikan lain. Dalam hal ini, lembaga pendidikan sebagai sebuah pelaku bagi

pengembangan pendidikan tidak dapat berdiri sendiri, atau hidup bagi dirinya sendiri.
Kehadirannya yang bermutu dan bai semestinya juga dapat menjadi contoh dan model

sekolah-sekolah lain di
sekitarnya. Dengan demikian, kultur pendidikan karakter di satu sekolah yang baik

dapat memengaruhi lingkungan pendidikan lain di sekitarnya.

f. Eksplisit, direncanakan, terpadu

Pendidikan karakter mesti berciri eksplisit, direncanakan (planned), dan

terpadu (integrated). Pendidikan karakter mesti bersifat eksplisit. Artinya, isi,

pendekatan, dan bentuk praksisnya di dalam atau di luar kelas, disampaikan secara

transparan kepada seluruh pemangku kepentingan sekolah, yakni siswa, guru, orang

tua, ataupun masyarakat.

Pendidikan karakter dilakukan secara sengaja dan direncanakan. Ada niat,

kehendak dan kemauan untuk secara sengaja mengembangkan pendidikan karakter di

sekolah. Guru, tim pendidikan karakter, penanggung jawab setiap kelas, serta

anggota komunitas lain terlibat dalam desain dan perencanaan strategis pendidikan

karakter. Melalui perencanaan secara sadar, keberhasilan pendidikan karakter dapat

dievaluasi dan dinilai untuk pengembangan selanjutnya.

Pendidikan karakter dipraktikkan secara terpadu, dan melibatkan sebanyak

mungkin pihak yang berkepentingan dengan pengembangan pendidikan karakter di

sekolah. Pendidikan karakter menjadi kepentingan bersama yang akan berdampak

luas dalam masyarakat. Untuk itu, kerja sama intensif dan saling mendukung antara

lembaga pendidikan dengan masyarakat sangatlah penting. keterpaduan ini juga

mempersyaratkan adanya simultanitas program, yakni berjalannya berbagai macam

program secara serentak dan bersama-sama. Simultanitas program mengandaikan

adanya pembenahan praksis di lapangan bukan memulai dari awal atau menunggu

program pendidikan matang. Caranya adalah dengan mulai membuat skala prioritas hal-
hal mendesak mana yang mesti dilakukan segera.
g. Pertumbuhan motivasi individu

Sifat utuh dan menyeluruh pendidikan karakter merangkum persoalan tentang

motivasi moral. Artinya, sifat itu mencakup bagaimana menumbuhkan dalam diri

individu sebuah semangat pembaruan diri terus-menerus dalam kebersamaan untuk

menghidupi dan menghayati nilai-nilai moral inti yang diperjuangkan. Dengan

mengembangkan motivasi dalam diri individu, program tidak sekedar dipaksakan dari

atas. Sebaliknya, ada rasa memiliki, rasa satu panggilan untuk menghayati dan

melaksanakan setiap program pengembangan sebagai bagian dari tugas panggilan

hidupnya di dunia.

Dengan motivasi moral, tampaklah bahwa setiap anggota komunitas menghargai

dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral inti dalam hidup mereka. Untuk mendukung

tumbuhnya motivasi internal yang muncul dari dalam, setiap tindakan bermoral baik mesti

memperoleh penghargaan secara natural, pujian yang wajar. Upah perilaku bermoral

yang baik adalah pujian tulus dari komunitas, kesadaran, dan kebanggaan diri bahwa

individu tersebut menjadi contoh bagi integritas moral seorang pribadi. Rasa hormat dan

pujian ini dilakukan secara wajar dan normal dalam setiap sisi kehidupan sekolah.

h. Pengembangan professional

Pendidikan karakter utuh dan menyeluruh menyertakan pengembangan

professional para pelakunya sebagai bagian penting. Tujuannya adalah pengayaan serta

peningkatan kemampuan agar guru dapat menjadi pendidik karakter yang efektif,

seperti lokakarya tentang cara mengajar yang baik dan efektif, teknik berkomunikasi

dengan orang lain, manajemen kelas, dan lain sebagainya, yang dirasakan relevan

bagi kinerja dan pengembangan tugas guru. Di sini dibutuhkan pengetahuan dan
keterampilan agar individu yang terlibat dalam dunia pendidikan bertumbuh secara

sehat dan professional.


i. Kerja sama dengan banyak pihak

Metode pengembangan pendidikan karakter juga melibatkan berbagai macam

pihak dalam komunitas pendidikan. keterlibatan semua pihak diperlukan karena

pendidikan karakter menyangkut kepentingan seluruh anggota komunitas, terutama guru,

staf pendidik, dan karyawan tenaga kependidikan. Keyakinan bersama (shared believed)

mesti muncul pada hal-hal yang esensial: nilai-nilai dan keutamaan, prinsip-prinsip

pendidkan karakter, dan nilai-nilai yang diprioritaskan dan ingin dikembangkan oleh

lembaga pendidikan.

Selain itu, pendidikan karakter di lembaga pendidikan juga berusaha

menjembatani dan menghubungkan pendidikan karakter dalam konteks tantanan

perubahan masyarakat yang lebih luas. Integrasi dan kerja sama antara sekolah dengan

masyarakat, terutama orang tua, merupakan sebuah keharusan. Lembaga pendidikan

melibatkan komunitas yang lebih besar agar terlibat dalam pengembangan dan promosi

pendidikan karakter di lingkungan sekolah. Komunitas yang lebih luas itu antara lain

kelompok bisnis, kelompok organisasi kepemudaan, organisasi pemerintah dan non-

pemerintah.

j. Terintegrasi dalam kurikulum

Metode pendidikan karakter yang terintegrasi dalam kurikulum ini

mempergunakan berbagai macam materi pembelajaran yang ada dalam kurikulum

demi pembentukan karakter siswa. Pembelajaran di dalam kelas mesti menghargai

keunikan setiap peserta didik dan membantu mengembangkan karakter mereka.

Proses pembelajaran di kelas terarah pada pembentukan karakter siswa

melalui pendalaman materi, baik tematis maupun non-tematis. Guru memiliki


tanggung jawab dalam merancang dan mengembangkan pendidikan karakter dalam

konteks kelas, yaitu melalui pengajaran, manajemen kelas dan pembuatan kesepakatan

kelas yang mendukung


tercapainya pengembangan belajar di dalam kelas. Melalui metode pembelajaran

yang melibatkan siswa secara aktif, menghargai perbedaan dalam belajar, dan perhatian

pada pertumbuhan individu, diharapkan karakter siswa dapat berkembang.

k. Memberikan ruang bagi tindakan

Setiap anggota komunitas diberikan ruang untuk bertindak dan mempraktikkan

nilai- nilai yang diperjuangkan. Dalam hal ini, lembaga pendidikan memberikan harapan

yang jelas tentang apa yang dapat mereka lakukan. Tujuannya agar para siswa terlibat

dalam tindakan- tindakan yang terkait dengan pengembangan kehidupan moral mereka,

baik di lingkungan sekolah maupun di masyarakat. Caranya adalah dengan memberikan

penekanan pada unsur pengembangan tanggung jawab pribadi, sprotivitas dalam

olah raga, kesediaan untuk membantu orang lain, dan pelayanan pada sekolah

ataupun komunitas. Metode ini akan semakin efektif ketika lembaga pendidikan mampu

memberikan pada siswa berbagai macam kesempatan dan kemungkinan untuk

melaksanakan nilai-nilai itu dalam setiap kebijakan dan program yang dibuat oleh

sekolah, yang membuat mereka terlibat aktif dalam kehidupan sekolah.

l. Kepemimpinan pendidikan berkarakter

Peranan kepala sekolah sebagai pemimpin sangatlah penting dalam

pengembangan dan keberlangsungan program pendidikan karakter. Namun,

kepemimpinan kepala sekolah tidaklah berdiri sendiri. Ada berbagai macam jenis

kepemimpinan yang bisa terlibat bagi pengembangan pendidikan karakter. Untuk itu

berbagi tanggung jawab mesti ditumbuhkan. Semakin banyak pihak yang terlibat dalam

pengembangan pendidikan karakter, akan semakin lestari pengembangan program

tersebut. Pembentukan Tim Pendidikan Karakter


sekolah yang melibatkan berbagai macam pemangku kepentingan sekolah merupakan hal

yang tidak dapat diabaikan.

m. Sistem evaluasi berkesinambungan

Agar pendidikan karakter dapat berlangsung lestari dan menjadi semakin baik,

maka diperlukan sistem evaluasi pendidikan karakter yang berkesinambungan. Sistem

evaluasi ini mesti memotret sekolah sebagai lembaga pendidikan, mengevaluasi program

yang didesain dan dibuat, serta memiliki sistem evaluasi individual secara

berkelanjutan utnuk melihat sejauh mana setiap individu sungguh telah bertumbuh

dan berkembang dalam pembentukan diri menjadi pribadi berkarakter.

Sekolah menentukan indikator-indikator keberhasilan dan menilah

keseluruhan program untuk melihat keberhasilan program pendidikan karakter sesuai

dengan visi-misi yang ingin dicapai. Oleh karena itu, harus ada sistem evaluasi kualitatif

dan kuantitatif utnuk menilai sejauh mana program pendidikan karakter itu berhasil

diterapkan.

Sekolah juga menilai dan mengevaluasi sejauh mana program pendidikan

karakter mampu mengembangkan dan menumbuhkan prestasi akademik siswa serta

membantu mereka untuk semakin termotivasi dalam membentuk diri sebagai pelajar

yang bertanggung jawab.

3.4. Desain Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter yang efektif dan utuh menyertakan tiga basis desain

dalam pemrogramannya. Tiga basis yang dimaksud adalah basis kelas, basis kultur

sekolah dan basis komunitas. Berikut intisari desain pendidikan karakter menurut

Koesoema (2012:105- 153).


3.4.1. Pendidikan karakter berbasis kelas

Kelas yang dimaksud bukan saja bangunan fisik, melainkan lebih pada corak

relasional yang terjadi antara guru dan murid dalam proses pendidikan. Untuk itu

pendidikan karakter berbasis kelas membahas lebih tentang bagaimana lembaga

pendidikan dapat memaksimalkan corak relasional yang terjadi dalam kelas agar masing-

masing individu dapat bertumbuh secara sehat, dewasa, dan bertanggung jawab.

Desain kurikulum pendidikan karakter berbasis kelas terjadi melalui dua ranah

yang berjalan seiring, yaitu intstruksional dan non-instruksional. Ranah instruksional

terkait secara langsung dengan tindakan pembelajaran dan pengajaran di dalam

kelas, yakni proses pembelajaran bersama terhadap materi kurikulum yang diajarkan.

Sedangkan ranah non- instruksional mengacu pada unsur-unsur di luar dinamika belajar

mengajar di dalam kelas, seperti motivasi, keterlibatan, manajemen kelas, pembuatan

norma, aturan dan prosedur, komitmen bersama, dan lingkungan fisik.

a. Ranah Instruksional

Desain pendidikan karakter berbasis kelas yang sifatnya instruksional dapat terjadi

melalui dua cara, yaitu bersifat pengajaran tematis dan non-tematis. Pertama, pendidikan

karakter berbasis kelas instruksional tematis adalah diberikannya materi

pembelajaran tertentu tentang pendidikan karakter melalui proses belajar mengajar.

Pendidik memilih satu tema tertentu untuk dibahas bersama. Sekolah mengalokasikan

waktu khusus untuk pengembangan pembentukan karkater, baik melalui pengajaran

tradisional, dialogis, diskusi kelompok, maupun pada pembuatan proyek bersama. Sifat

pendidikan karakter berbasis kelas instruksional tematis ini adalah parsial selektif.

Artinya, program pendidikan karakter


yang dilaksanakan sungguh membidik satu tema khusus atau memilih tema tertentu

tentang nilai yang dipilih dan akan dibahas dalam pendidikan karakter.

Kedua, pendidikan karakter berbasis kelas instruksional non-tematis. Ini

adalah sebuah model pendekatan pembelajaran bagi pembentukan karakter dengan

mempergunakan momen-momen pembelajaran yang sifatnya terintegrasi dalam

kurikulum, proses pembelajaran dan terkait secara inheren dalam materi pembelajaran.

Dalam proses pengajarannya tidak ditentukan ada tema khusus yang mau dibahas,

tetapi terintegrasi dengan materi yang telah ada. Selain itu, tidak ada alokasi waktu

khusus untuk melatih dan mengajarkan pembentukan karkater karena dengan model ini

pembentukan karakter yang dilakukan terintegrasi melalui kurikulum yang ada dalam

setiap mata pelajaran. Guru mempergunakan proses belajar mengajar sesuai dengan

mata pelajaran yang diampunya untuk menanamkan nilai-nilai tertentu. Sebagai contoh

konkretnya, guru diminta membuat silabus, yang di dalamnya dimasukkan kolom

‘karakter’. Sehingga, di dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), beberapa nilai

yang bisa dibentuk, diajarkan dalam proses pembelajaran mesti disebut secara eksplisit.

b. Ranah Non-Instruksional

Ranah non-instruksional bagi pendidikan karakter berbasis kelas tertuju pada

penciptaan lingkungan belajar yang nyaman dan kondusif bagi pembentukkan atau

pengembangan karakter siswa. Penciptaan lingkungan yang dimaksud meliputi

manajemen kelas, pendampingan perwalian, dan membangun konsensus kelas.

Pertama, manajemen kelas berarti menciptakan dan menjaga sebuah lingkungan

pembelajaran yang mendukung pengajaran dan meningkatkan prestasi siswa. Guru dan

siswa berhadapan dan berdialog secara langsung sebagai pribadi. Secara bersama-
sama
mereka membentuk komunitas belajar. Perjumpaan dalam kelas terjadi secara terencana

dan teratur melalui penjadwalan mata pelajaran yang diorganisir dan diarahkan agar

tujuan pembelajara dapat tercapai, yaitu penguasaan materi, keterampilan teknis,

pengayaan pribadi tentang objek pembelajaran tertentu.

Kedua, pendampingan perwalian. Kegiatan pembinaan wali kelas sesungguhnya

menjadi tempat penting bagi penanaman nilai dan pembentukan karakter siswa. Siswa di

ajak berkumpul bersama melalui berbagai macam cara. Di dalamnya warga kelas

mengevaluasi dinamika kelas mereka, mengembangkan dinamika kelompok, mencoba

mencari cara-cara penyelesaian konflik secara damai. Nilai-nilai yang ditanamkan dalam

program perwalian kelas antara lain, saling menghormati, tanggung jawab bersama,

saling membantu dalam proses belajar, pembelajaran demokrasi dengan mengajak

siswa menentukan tujuan kelas secara bersama beserta cara-cara praktis untuk

mencapai tujuan, keterbukaan dan persahabatan. Tujuan utama pendampingan kelas

adalah membangun kesepakatan bersama kelas demi kemajuan dan keberhasilan

mereka sebagai komunitas kelas yang belajar.

Ketiga, membangun konsensus kelas. Dasar dari pengembangan ini adalah hubungan

timbale balik satu sama lain berdasarkan kepercayaan (trust), rasa hormat (respect), dan

saling menumbuhkan dan merawat (caring). Kelas yang baik memiliki aturan bersama

yang dipahami oleh setiap anggota komunitas kelas sehingga proses belajar mengajar

menjadi lancar. Dalam mengembangkan konsensus kelas, keterlibatan setiap anggota kelas

sangatlah diperlukan. Kesepakatan kelas mesti dipahami, disetujui dan disepakati

oleh anggota komunitas kelas.


Pada pendidikan karakter berbasis kelas tersebut, dapat disimpulkan

beberapa karakteristik yang menjadi cara bertindak dalam pengembangan

pendidikan karakter berbasis kelas, antara lain:

- Guru sebagai fasilitator pembelajaran.

- Guru sebagai motivator pembelajaran.

- Guru sebagai desainer program.

- Guru sebagai pembimbing dan sumber keteladanan.

- Isi kurikulum menjadi sumber bagi pembentukan karakter.

- Metode pengajaran dialog bukan monolog.

- Mempergunakan metode pembelajaran melalui kerja sama (collaborative

learning).

- Partisipasi komunitas kelas dalam pembelajaran.

- Penciptaan kelas sebagai komunitas moral.

- Penegakkan disiplin moral.

- Penciptaan lingkungan kelas yang demokratis.

- Membangun sebuah ‘rasa tanggung jawab bagi pembentukan diri’.

- Pengelolaan konflik moral melalui pengajaran.

- Solusi konflik secara adil dan tanpa kekerasan.

3.4.2. Pendidikan karakter berbasis kultur sekolah


Dalam konteks pendidikan, kultur sekolah merupakan sebuah pola perilaku dan

cara bertindak yang telah terbentuk secara otomatis menjadi bagian yang hidup dalam

sebuah komunitas pendidikan. Dasar pola perilaku dan cara bertidaknya adalah

norma sosial, peraturan sekolah, dan kebijakan pendidikan di tingkat lokal. Oleh karena

itu kultur sekolah dapat dikatakan seperti kurikulum tersembunyi (hidden curriculum)

yang lebih efektif memengaruhi pola perilaku dan cara berpikir seluruh anggota

komunitas sekolah. Kultur sekolah berjiwa pendidikan karakter terbentuk ketika dalam

merancang sebuah program, setiap individu dapat bekerja sama satu sama lain

melaksanakan visi dan misi sekolah melalui berbagai macam kegiatan.

Pada pendidikan karakter berbasis kultur sekolah terdapat integrasi antara

idealisme lembaga pendidikan, yakni visi dan misi, dengan berbagai macam struktur

yang mendefinisikan kinerja individu melalui cakupan tanggung jawabnya. Dalam

mengembangkan pendidikan karakter berbasis kultur sekolah, berbagai macam momen

dalam dunia pendidikan dapat menjadi titik temu. Momen pendidikan ini dapat

bersifat struktural, polisional, dan eventual. Momen pendidikan yang struktural

adalah peristiwa yang berkaitan erat dengan proses regulasi dan administrasi sekolah.

Momen struktural ini di antaranya adalah proses pembentukan kesepakatan kerja,

peraturan yayasan, peraturan sekolah, job description setiap jabatan dan kedudukan.

Momen pendidikan yang bersifat polisional adalah kebijakan pendidikan on the

spot yang dilaksanakan secara rutin dan sifatnya tradisional. Kebijakan yang bersifat rutin

adalah berbagai keputusan dan tindakan yang diambil dalam kerangka

pengembangan mutu sekolah. Misalnya, kebijakan tentang penerimaan siswa baru,

ujian sekolah, pengaturan jadwal pelajaran, kegiatan ekstrakurikuler, perwalian dan

pengembagan professional guru.


Sedangkan, yang bersifat tradisional adalah kebijakan rutin dalam rangka

pengembangan pendidikan yang senantiasa berulang setiap tahun, seperti rapat-

rapat kerja, pertemuan orang tua murid, penerimaan rapor, dll.

Momen pendidikan yang bersifat eventual adalah peristiwa-peristiwa

pendidikan yang terjadi secara khas dan muncul karena terjadinya peristiwa tertentu

yang merupakan tanggapan nyata sekolah atas peristiwa di luar lembaga pendidikan,

dan memengaruhi kinerja lembaga pendidikan. Momen pendidikan eventual ini tidak

dapat diprediksi, namun membutuhkan keputusan dan tanggapan langsung dari pihak

sekolah untuk menyikapinya.

Sasaran pertama pendidikan karakter berbasis kultur sekolah mengarah pada

pertumbuhan lembaga pendidikan sebagai komunitas moral. Prinsip-prinsip moral dasar

semestinya menjadi dasar bertindak dan pengambilan keputusan. Prinsip-prinsip

yang dimaksud adalah berbuat baik, jangan merusak, setiap individu berharga di dalam

dirinya, dan prinsip moral dasar tersebut mesti senantiasa diingat oleh para pendidik dan

pengambil keputusan.

Di samping itu, menumbuhkan kultur demokratis dalam lingkungan sekolah

merupakan salah satu strategi pengembangan pendidikan karkater berbasis kultur

sekolah. Mengembangkan kultur demokratis di sekolah tidak berarti menghapus otoritas

yang dimiliki guru. Intinya adalah bagaimana setiap individu, terutama guru, menghayati

tanggung jawab moral yang diembannya secara akuntabel dan transparan dalam

kebersamaan dengan komunitas. Kehidupan bersama adalah tanggung jawab bersama

dan melibatkan seluruh anggota untuk membangunnya. Dialog, komunikasi, kesediaan

untuk saling mendengarkan dan menghargai perbedaan adalah ciri medasar sebuah
komunitas demokratis. Beberapa momen yang dapat menjadi praksis strategis

pengembangan kultur demokratis di sekolah,


misalnya: proses pemilihan ketua kelas, ketua OSIS, dan kepengurusan lain atau evaluasi

atas kehidupan bersama.

Adapun momen-momen dalam dunia pendidikan yang dapat dijadikan sebagai

pengembangan kultur sekolah antara lain:

- Momen pengembangan diri sepertu kelompok diskusi, jurnalistik, karya ilmiah,

seni teater, menggambar, dll.

- Momen perayaan dan kekeluargaan, dies natalis sekolah, atau syukuran

kelulusan.

- Apresiasi dan pengakuan akan prestasi orang lain.

- Masa orientasi sekolah (MOS).

- Pemilihan para pengurus OSIS, Dewan Kelas, Presidium.

- Kebijakan pendidikan.

- Kolegialitas antarguru.

- Pengembangan professional guru.

- Merawat tradisi sekolah.

- Asosiasi guru-orang tua.

3.4.3. Pendidikan karakter berbasis komunitas

Lembaga pendidikan tidak berdiri sendiri, melainkan memiliki ikatan yang erat

dengan komunitas-komunitas lain, baik yang terlibat secara langsung atau tidak langsug.

Komunitas-komunitas itu antara lain:


- Komunitas sekolah: siswa, guru, karyawan, staf sekolah, pengurus yayasan, dll.

- Komunitas keluarga: orang tua, wali siswa, komite sekolah.

- Komunitas masyarakat: LSM, pengusaha, berbagai perkumpulan sosial, dll.

- Komunitas politik: pejabat birokrasi negara bidang pendidikan, mulai dari

pejabat di tingkat dinas pendidikan sampai kementrian pendidikan

nasional.

Pendidikan karakter berbasis komunitas berusaha merancang berbagai macam

corak kerja sama dan keterlibatan antara lembaga pendidikan dengan komunitas-

komunitas dalam masyarakat. Tujuannya adalah agar kehadiran lembaga pendidikan

semakin bermakna dan bermutu, mampu menjawab aspirasi setiap anggota komunitas

tentang harapan mereka, fungsi, dan peran lembaga pendidikan dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara.

4. Efektivitas

Pengertian dasar efektivitas umumnya menunjukkan pada taraf tercapainya hasil.

Meski demikian, efektivitas senantiasa dipadankan dengan efesien, padahal

terdapat perbedaan diantara keduanya. Efektivitas menekankan pada hasil yang

dicapai, sedangkan efisiensi lebih melihat bagaimana cara mencapai hasil yang

dicapai dengan membandingkan antara input dan outputnya. Istilah efektif (effective)

dan efisien (efficient) merupakan dua istilah yang saling berkaitan dan patut dihayati

dalam upaya untuk mencapai tujuan suatu organisasi. Tentang arti efektif dan

efesien terdapat beberapa pendapat. Bernard dalam Prawirosentono (1999:27)

menegaskan sebagai “When a specific desired and is attained we shall say that the

action is effective….When the unsought concequences are unimportant or trivial,


the action is efficient.” Sementara itu, Drucker dalam Kisdarto (2002:139)

menyebutkan bahwa “Effectiveness is to do the right things, while efficiency is to

do the things right”. Handoko (1989:169) menyatakan bahwa


efektivitas merupakan salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan suatu kegiatan

atau program.

Harjana (2000:24) berpendapat bahwa kriteria yang digunakan untuk

mengukur efektivitas adalah:

1. Siapa penerima atau pemakai (receiver atau user) yang menggambarkan

apakah semua orang yang dituju (sasaran) menerima pesan yang

disampaikan;

2. Isi pesan (content), yang menggambarkan apakah semua isi pesan yang

disampaikan sesuai dengan tujuan penyampaian pesan;

3. Ketetapan waktu (timing), yang menggambarkan apakah pesan yang

disampaikan tersedia dan diterima oleh khalayak sasaran tepat pada

waktunya;

4. Media komunikasi (meda) yang menggambarkan apakah jenis saluran

yang digunakan untuk menyampaikan pesan tepat dan sesuai dengan

karakteristik dan kondisi khalayak sasaran;

5. Format, yang menggambarkan apakah pesan yang disampaikan disajikan

atau dikemas dalam bentuk yang tepat dan sesuai dengan khalayak sasaran;

6. Sumber pesan (source) yang menggambarkan apakah sumber yang menyampaikan

pesan berasal dari pihak yang berkompeten.

Selanjutnya, Harjana (2000:24) menggambarkan pengertian efektivitas secara umum

yaitu mencakup:

1. Mengerjakan hal-hal yang benar;


2. Mencapai tingkat di atas pesaing;

3. Membawa hasil;
4. Menangani tantangan masa depan;

5. Meningkatkan laba atau keuntungan;

6. Mengoptimalkan penggunaan sumber daya.

Menurut Lubis dan Huseini (1987:55) efektivitas organisasi dapat dinyatakan

sebagai tingkat keberhasilan organisasi dalam usaha untuk mencapai tujuan atau

sasarannya. Efektivitas merupakan konsep yang sangat penting karena mampu

memberikan gambaran mengenai keberhasilan organisasi dalam mencapai sasarannya.

Pengukuran efektivitas dapat didekati dengan beberapa pendekatan, yaitu:

1. Pendekatan sasaran (goal approach), dalam pengukuran efektivitas memusatkan

perhatian pada aspek output, yaitu dengan mengukur keberhasilan organisasi

dalam mencapai tingkatan output yang direncanakan. Pendekatan sasaran

dalam pengukuran efektivitas dimulai dengan identifikasi sasaran organisasi dan

mengukur tingkat keberhasilan organisasi dalam mencapai sasaran tersebut.

Dengan demikian, pendekatan ini mencoba mengukur sejauhmana organisasi

berhasil merealisasikan sasaran yang hendak dicapainya. Sasaran yang

penting diperhatikan dalam pengukuran efektivitas dengan pendekatan ini adalah

sasaran yang sebenarnya (operative goal) bukan berdasarkan sasaran resmi

(official goal).

2. Pendekatan sistem (System resource approach), mengukur efektivitas melalui

keberhasilan organisasi dalam mendapatkan berbagai macam sumber yang

dibutuhkannya. Organisasi harus dapat memperoleh berbagai macam sumber

yang dibutuhkannya dan juga memelihara keandalan sistem organisasi agar bisa

menjadi efektif. Pendekatan ini didasarkan pada teori mengenai


keterbukaan sistem
organisasi. Secara lebih luas, pendekatan sumber mempergunakan beberapa dimensi

berikut untuk mengukur efektivitas organisasi:

a. Kemampuan organisasi untuk memanfaatkan lingkungan untuk memperoleh

berbagai jenis sumber yang bersifat langka dan nilainya tinggi.

b. Kemampuan para pengambil keputusan dalam organisasi untuk

menginterpretasikan sifat-sifat lingkungan secara tepat.

c. Kemampuan organisasi untuk menghasilkan output tertentu dengan

menggunakan sumber-sumber yang berhasil diperoleh.

d. Kemampuan organisasi dalam memelihara kegiatan operasionalnya sehari-hari.

3. Pendekatan proses (process approach) melihat kegiatan internal organisasi

dan mengukur efektivitas melalui berbagai indikator internal seperti efisiensi

atau iklim organisasi. Pendekatan proses menganggap efektivitas sebagai

efisiensi dan kondisi (kesehatan) dari organisasi internal. Pendekatan ini tidak

memperhatikan lingkungan organisasi dan memusatkan perhatian terhadap

kegiatan yang dilakukan terhadap sumber-sumber yang dimiliki oleh organisasi,

yang menggambarkan tingkat efisiensi serta kesehatan organisasi.

4. Pendekatan gabungan merupakan gabungan dari tiga macam pendekatan di


atas.

Pendekatan-pendekatan di atas dapat digabungkan secara bersamaan terutama

jika informasi yang diperlukan seluruhnya tersedia.

C. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian tentang model pendidikan karakter sudah pernah dilakukan dengan

judul “Manajemen Pendidikan Karakter Siswa Berasrama: Studi Kasus Pada SMA
Lokon St.
Nikolaus Tomohon” oleh Riny Cintya Kumendong, Program Pascasarjana UNIMA, Tahun

2012. Penelitian ini menyoroti tentang bagaimana perencanaan, pelaksanaan, dan

evaluasi pendidikan karakter siswa berasrama.

Dari penelitian tersebut disimpulkan, pertama, perencanaan pendidikan karakter di

SMA Lokon St. Nikolaus Tomohon dibuat oleh masing-masing unit dan sub-unit yang ada

di lembaga pendidikan Lokon dan kemudian dirumuskan bersama dalam rapat

koordinasi antarunit, yakni sekolah, asrama, dan yayasan.

Kedua, pelaksanaan pendidikan karakter di SMA Lokon St. Nikolaus Tomohon

dilaksanakan dengan cara mengimplementasikan program pendidikan karakter yang

telah dirumuskan sebelumnya ke dalam kegiatan konkret sesuai dengan waktu yang

ditentukan. Pendidikan karakter merupakan bagian dari kurikulum yang diatur dan

dilaksanakan oleh sekolah dan asrama. Di sekolah pendidikan karakter diintegrasikan

dalam tiap-tiap mata pelajaran. Sedangkan di asrama pendidikan karakter dilaksanakan

dalam bentuk pembinaan dan pendampingan personal maupun kelompok.

Ketiga, evaluasi pendidikan karakter di SMA Lokon St. Nikolaus Tomohon,

dilakukan dengan menggunakan catatan data-data yang secara valid dibuat berdasarkan

kenyataan. Sekolah tidak membuat format penilaian tersendiri untuk pendidikan karakter

karena sudah terintegrasi dalam mata pelajaran. Sementara asrama menggunakan raport

sendiri dalam penilaian pendidikan karakter. Nilai pendidikan karakter siswa diambil dari

catatan-catatan yang dibuat oleh pamong, pembina asrama saat proses

pendampingan berlangsung. Penilaian pendidikan karakter didasarkan pada indikator-

indikator yang dijabarkan dari tiga nilai utama, yakni Veritas, Virtus, Fides (Kebenaran,

Kebajikan, Iman). Nilai pendidikan karakter dibuat dalam bentuk penilaian kualitatif,
bukan kuantitatif.
Relevansinya dengan penelitian yang akan peneliti laksanakan adalah terletak

pada konsep dasar manajemen dan fungsi-fungsi manajemen, serta konsep pendidikan

karakter yang akan digunakan, diterapkan dan dikembangkan pada lingkungan

pendidikan formal seperti sekolah yang merupakan inti dari objek penelitian ini.

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode dan Alasan Penggunaan Metode

Penelitian ini akan menggunakan metode campuran (mixed method) dengan

menggabungkan kualitatif dan kuantitatif secara sekuen (Cresswell, 2003), dengan tujuan

untuk saling melengkapi gambaran hasil studi mengenai fenomena yang diteliti dan untuk

memperkuat analisis penelitian (Gay, et all, 2006; Cresswell, 2005; Sugiyono, 2011:399).

B. Lokus dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada SMA Taruna Bakti Bandung, SMA

Kridanusantara dan SMA Negeri 3 Bandung. Waktu penelitian direncanakan akan

dilaksanakan selama 5 (lima) bulan terhitung sejak penyusunan proposal penelitian

hingga perbaikan Desertasi (September 2013– Januari 2014).

C. Sumber Data/Populasi dan Sampel

Sumber data dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu sumber

data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah pernyataan dan

tindakan dari orang-orang yang diamati atau yang diwawancarai yang dicatat melalui
catatan tertulis atau
melalui perekaman dan pengambilan foto. Selebihnya adalah sumber data sekunder

seperti tulisan/dokumen, foto dan statistik (Moleong: 2007:157). Data primer

diperoleh dari informan yaitu kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru, dan

perwakilan siswa. Data sekunder bersumber dari dokumen-dokumen resmi yang ada

berupa catatan, gambar, foto serta bahan lain yang dapat mendukung penelitian ini.

Selain itu, karena desain penelitian ini menggunakan desain penelitian campuran,

maka selain menggunakan wawacara, data akan didapat dengan menggunakan survey

dengan kuisioner kepada populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh warga sekolah di

tiga sekolah tersebut meliputi pimpinan sekolah, pengawas, guru, tenaga kependidikan,

siswa serta stakeholder terkait dengan instrumen yang sebelumnya sudah divalidasi

terlebih dahulu. Penarikan sampel berdasarkan teknik purposive sampling dimana

sampel akan dipilih berdasarkan kriteria tertentu.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan dilakukan adalah trianggulasi atau gabungan

dari tiga teknik sekaligus, yaitu observasi partisipatif, wawancara mendalam dan

studi dokumentasi. Calon peneliti akan menggunakan teknik pengumpulan data yang

berbeda- beda untuk mendapatkan data dari sumber yang sama. Observasi partisipatif,

wawancara mendalam dan dokumentasi akan digunakan untuk semua sumber data

secara serempak (Sugiyono, 2011:330). Selain itu, teknik survey dengan penyebaran

sejumlah pertanyaan dalam kuisioner dilakukan kepada seluruh civitas akademika

sekolah tersebut yang meliputi pimpinan sekolah, guru, tenaga kependidikan, siswa.

E. Teknik Analisis Data


Dalam penelitian ini data akan dianalisis secara interaktif dan berlangsung secara

terus-menerus sampai datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data mengikuti flow

model yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (Sugiyono, 2011:337), yaitu data

reduction, data display dan conclusion drawing/verification. Langkah-langkah analisis

data ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Periode pengumpulan data

Reduksi data

Antisipasi Selama Setelah

Display data
Analisis
Selama Setelah

Kesimpulan/verifikasi

Selama Setelah

Komponen dalam analisis data (flow model)


Sumber: Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2011:
337)

Berdasarkan gambar tersebut peneliti melakukan pengumpulan data melalui

kegiatan anticipatory sebelum melakukan reduksi data. Selanjutnya model interaktif

dalam analisis data seperti gambar di bawah ini:


Data
collection

Data Display

Data reduction

Conclusion:
drawing/verifyin g

Komponen dalan analisis data (interactive model)


Sumber: Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2011:
338)

F. Rencana Pengujian Keabsahan Data

Dalam pemeriksaan dan pengecekan keabsahan data peneliti akan menggunakan

teknik pemeriksaan seperti yang dikemukakan oleh Sugiyono (2011:367-378) yakni:

1) Credibility (Derajat Kepercayaan) yaitu perpanjangan pengamatan, peningkatan

ketekunan dalam penelitian, tringulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus

negatif, menggunakan bahan referensi, dan member check.2) Transferability

(keteralihan) yaitu mendeskripsikan secara rinci, jelas, dan sistematis temuan-temuan

yang diperolah di lapangan ke dalam format yang telah disiapkan. 3) Dependability

(kebergantungan) adalah melakukan audit keseluruhan aktivitas peneliti dalam

melakukan penelitian.4) Confirmability (kepastian) adalah menguji hasil penelitian,

dikaitkan dengan proses yang dilakukan.


G. Uji Validitas dan Realibilitas Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini, seluruh instrumen penelitian kuantitatif dilakukan uji validitas

dan realitibitas. Uji tersebut dimaksudkan untuk memastikan bahwa instrumen

penelitian ini shah dan handal.

1. Uji Validitas

Uji validitas digunakan untuk menunjukan sejaumana instrumen penelitian ini

mengukur apa yang diukur. Pengukuran uji validitas dilakukan dengan menggunakan

Pearson Product Moment dengan rumus:

n  xy    x    y 
rxy 
 
nx 2   x  2 ny 2   y  2 

Note:

r = r-hitung

Xi = Nilai variabel

Yi = Nilai total variable setiap

responden N = total responden

(Arikunto, 2006: 170)

Uji Reliabilitas

Untuk uji reliabilitas digunakan penghitungan alpha cronbach dengan rumus:


r11 =

Note:

r11 = instrument reliability

k = total questions

= total each variant

= total variants

Untuk mengakurasikan perhitugan uji validitas dan reliabilitas, maka program statistic

SPSS 17 for Windows akan digunakan.

IV. JADWAL PENELITIAN

Penelitian ini direncanakan akan berlangsung selama 5 (lima) bulan, yakni dari

bulan September 2013 sampai dengan Januari 2014, terhitung sejak penulisan Rencana

Usulan Penelitian (RUP) dengan jadwal sebagai berikut:

No Kegiatan Sep Okt Nop Des Jan


1 Studi pustaka dan observasi lokasi
2 Penulisan RUP
3 Konsultasi RUP
4 Seminar RUP
5 Pengumpulan data, analisis data
No Kegiatan Sep Okt Nop Des Jan
dan konsultasi
6 Penulisan laporan, dan konsultasi
7 Ujian Desertasi
8 Perbaikan Desertasi

DAFTAR PUSTAKA

Creswell, Jhon.W. (2003). Research Design. Qualitative, Quantitative and Mixed


Methods Approaches. London. Sage Publication.

Creswell, Jhon.W. (2005). Educational Research: Planning, Conducting and Evaluating


Quantiative and Qualitative Research. Boston: Pearson

Gay, L.R. Mills, Geoffrey. Airasian, Peter. (2006). Educational Research: Competencies
for Analysis and Application. Ohio: Pearson.

Harjana, Andre. (2000). Audit Komunikasi: Teori dan Praktek. Jakarta: Grasindo.

Kambey, Daniel C. (2006). Landasan Teori Administrasi/Manajemen. Manado: Tri Ganesha


Nusantara.

Kisdarto, Atmosoeprato. (2002). Menuju SDM Berdaya – Dengan Kepemimpinan Efektif


dan Manajemen Efisien. Jakarta: elex Media Komputindo.

Koesoema, Doni A. (2010). Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak Di Zaman Global.
Jakarta: Grasindo.

(2012). Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh. Yogyakarta: Kanisius.

Kusdi. (2009). Teori Organisasi dan Administrasi. Jakarta: Salemba Humanika.

Lubis, S.B. Hari, dan Huseini, Mertani. (1987). Teori Organisasi: Suatu Pendekatan Makro.
Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial, Universitas Indonesia

Prawirosentono, Suyadi. (1999). Kebijakan Kinerja Pegawai. Jogyakarta: BPFE


Megapolitan, Tawuran Antarpelajar, [Online] (http://www.megapolitan.com, diakses 21
Desember 2012).

Moleong, Lexy J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: PT


Remaja Rosdakarya.

Mudyahardjo, Redja. (2001). Pengantar Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Mulyasa, Enco. (2013). Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.

Muslich, Masnur. (2011). Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan


Krisis Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara.

Ratag, Mezak A. & Korompis, Ronald, (2009). Kurikulum Berbasis Kehidupan: Pandangan
tentang Pendidikan Menurut Ronald Korompis. Tomohon: Yayasan Pendidikan Lokon.

Sagala, Syaiful, (2010). Manajemen Strategik Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan.


Bandung: Alfabeta.

Sugiyono, (2011). Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan


R&D. Bandung: Alfabeta.

Sule, Ernie Tisnawati dan Saefullah, Kurniawan, (2010). Pengantar Manajemen. Jakarta:
Kencana.

Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, (2011). Manajemen


Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Usman, Husaini. (2011). Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara.

Wikipedia Indonesia, Manajemen, [Online]


(http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia.manajemen, diakses 5 April 2013).

Windham, Douglas. M. (1988). Improving the Efeciency and Educational System:


Indicator of Educational Efectiveness and Efeciency. New York: State University
of New York at Albany

Tesis:
Kumendong, Riny Cintya, 2012. Manajemen Pendidikan Karakter Siswa Berasrama.
Studi Kasus Pada SMA Lokon St. Nikolaus Tomohon. Manado: Program Studi
Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Manado.

Anda mungkin juga menyukai