Disusun Oleh :
Lany Avriana
620190040033
B. KLASIFIKASI
- Hematoma epidural
- Hematoma subepidural
a) E : Eyes (1-4)
4 : membuka spontan
b) V : Verbal (1-5)
4 : bicara kacau
2 : mengerang, merintih
c) M: motorik (1-6)
- 4 : menghindari nyeri
- 3 : fleksi abnormal
- 2 : ekstensi abnormal
- 1 : tidak ada gerakan
C. ETIOLOGI
1. Menurut Hudak dan Gallo (2010) mendiskripsikan bahwa
penyebab cedera kepala adalah karena adanya trauma yang
dibedakan menjadi 2 faktor yaitu :
a. Trauma primer
Terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung
(akselerasi dan deselerasi)
b. Trauma sekunder
Terjadi akibat dari trauma saraf (melalui akson) yang meluas,
hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi
sistemik.
2. Trauma akibat persalinan
3. Kecelakaan, kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil,
kecelakaan pada saat olahraga.
4. Jatuh
5. Cedera akibat kekerasan.
D. MANIFESTASI KLINIK
- GCS 13-15
- Hematoma
GCS 3-8
Contusio cerebral
E. PATOFISIOLOGI
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa
dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir
seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan
oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan
oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20
mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25
% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa
plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi
cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi
kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia
atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat
metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60
ml/menit/100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output
dan akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan
vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh
darah arteriol akan berkontraksi.
Menurut Long (2009) trauma kepala terjadi karena cidera kepala, kulit
kepala, tulang kepala, jaringan otak. Trauma langsung bila kepala
langsung terluka. Semua itu berakibat terjadinya akselerasi, deselerasi
dan pembentukan rongga. Trauma langsung juga menyebabkan rotasi
tengkorak dan isinya, kekuatan itu bisa seketika/menyusul rusaknya otak
dan kompresi, goresan/tekanan. Cidera akselerasi terjadi bila kepala kena
benturan dari obyek yang bergerak dan menimbulkan gerakan. Akibat dari
akselerasi, kikisan/konstusio pada lobus oksipital dan frontal batang otak
dan cerebellum dapat terjadi. Sedangkan cidera deselerasi terjadi bila
kepala membentur bahan padat yang tidak bergerak dengan deselerasi
yang cepat dari tulang tengkorak.
Pengaruh umum cidera kepala dari tengkorak ringan sampai tingkat
berat ialah edema otak, deficit sensorik dan motorik. Peningkatan TIK
terjadi dalam rongga tengkorak (TIK normal 4-15 mmHg). Kerusakan
selanjutnya timbul masa lesi, pergeseran otot.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena
memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan
atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai
kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area
cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah)
pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial,
semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya
peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat
menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan
hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal”
dan “menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk
menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari
kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom
intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh
perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak
menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan
terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan
otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel
pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena
kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer
serebral, batang otak, atau dua-duanya.
Sedangkan patofisiologi menurut Markum (2009). trauma pada kepala
menyebabkan tengkorak beserta isinya bergetar, kerusakan yang terjadi
tergantung pada besarnya getaran makin besar getaran makin besar
kerusakan yang timbul, getaran dari benturan akan diteruskan menuju
Galia aponeurotika sehingga banyak energi yang diserap oleh
perlindungan otak, hal itu menyebabkan pembuluh darah robek sehingga
akan menyebabkan haematoma epidural, subdural, maupun intracranial,
perdarahan tersebut juga akan mempengaruhi pada sirkulasi darah ke
otak menurun sehingga suplay oksigen berkurang dan terjadi hipoksia
jaringan akan menyebabkan odema cerebral.
Akibat dari haematoma diatas akan menyebabkan distorsi pada otak,
karena isi otak terdorong ke arah yang berlawanan yang berakibat pada
kenaikan T.I.K (Tekanan Intra Kranial) merangsang kelenjar pituitari dan
steroid adrenal sehingga sekresi asam lambung meningkat akibatnya
timbul rasa mual dan muntah dan anaroksia sehingga masukan nutrisi
kurang (Satya, 2010).
F. PATHWAY
Kecelakaan, jatuh
CEDERA KEPALA
Perubahan
outoregulasi
-Perdarahan Gangguan Resti
-Hematoma suplai darah infeksi
Kejang
Peningkatan Iskemia
TIK Resti Penurunan
Hipoksia injuri kesadaran
Peregangan Kompresi
duramen dan batang otak Risiko
Perubahan Bedrest Akumulasi
pembuluh total cairan
darah perfusi
jaringan
serebral
Nyeri Bersihan
jalan napas
tidak
Resti gangguan efektif
integritas kulit
Intoleransi
Aktivitas
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler,
dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya
infark/iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
2. MRI
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
3. Cerebral Angiography
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan
otak sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.
4. EEG (Elektroencepalograf)
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
5. X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6. BAER
Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF, Lumbal Pungsi
Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid dan
untuk mengevaluasi/mencatat peningkatan tekanan cairan
serebrospinal.
9. ABGs
Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial
10. Kadar Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial
11. Screen Toxicologi
Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran.
H. PENATALAKSANAAN
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma
kepala adalah sebagai berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih
dahulu.
Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah,
hanya cairan infus dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 - 3 hari kemudian diberikan
makanan lunak.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Pada anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Terapi obat-obatan.
a. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti
edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringanya trauma.
b. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk
mengurangi vasodilatasi.
c. Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu
manitol 20 % atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
d. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak
(penisillin) atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol.
e. Pada trauma berat. karena hari-hari pertama didapat
penderita mengalami penurunan kesadaran dan cenderung
terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3
hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5 % 8 jam pertama,
ringer dextrosa 8 jam kedua dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga.
Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah makanan diberikan
melalui nasogastric tube (2500 - 3000 TKTP).
6. Pembedahan bila ada indikasi.
I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan
agens cidera fisik (peningkatan TIK).
b. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan
dengan mukus berlebihan (akumulasi cairan)
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan imobilitas.
d. Risiko perubahan perfusi jaringan serebral
berhubungan dengan hiposksia
e. Resti injury berhubungan dengan kejang.
f. Resti infeksi berhubungan dengan kontinuitas yang
rusak
g. Resti gangguan intregritas fisik berhubungan dengan
imobilitas.
NO DIAGNOSA NOC NIC
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, M. 2009. Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Car.
2 nd ed. Philadelpia : F.A. Davis Company.
Hudak & Gallo. 2010. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik, Volume II.
Jakarta: EGC.
Iskandar. 2014. Cedera Kepala. Jakarta Barat: PT. Bhuana Ilmu Populer.
Suriadi & Rita Yuliani. 2011. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi I.
Jakarta: CV Sagung Seto
Suzanne CS & Brenda GB. 2009. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8.
Volume 3. Jakarta: EGC