Anda di halaman 1dari 5

Tugas psikologi sosial i (individu)

Prasangka berdasarkan gender

Dosen pengampu

Dra hj. Waode suarni m.lis. M.a

Disusun oleh

Edy fatur rahman

A1r119065

Psikologi

Fakultas keguruan dan ilmu pendidikan

Universitas halu oleo

Kendari

2020
1. Sifat dasar prasangka berdasarkan gender

Dalam memahami konsep gender harus dibedakan kata gender


dengan seks (jenis kelamin). Gender adalah sesuatu sifat yang melekat pada
kaum pria dan wanita yang dikonstruksikan secara sosial dan kultural melalui
proses yang pamnjang jadi gender merupakan kontstruksi sosiokultural yang
pada dasarnya merupakan interprestasi kultur atas perbedaan jenis kelamin
(fakih, 2012:8) misalnya bahwa wanita dikenal lembu,cantik, setia, dan keibuan
sedangkan pria dianggap kuat,gagah, sering mengedepankan akal , agresif ,
tidak setia, jantan, dan perkasa. Dari pembagian itulah kemudian muncul
perbedaan gender

Myers dan twenge (2017) menjelaskan bahwa prasangka dapat


dikategorikan menjadi tiga jenis, yaitu prasangka ras, prasangka gender dan
prasangka terhadap hubungan gay- lesbian. Prasangka gender, menjelaskan
tentang kepercayaan orang-orang tentang bagaimana seharusnya laki-laki dan
perempuan berperilaku. Prasangka yang berhubungan dengan gender
dipengaruhi oleh sexisme dan rasisme. Sexisme adalah sikap prasangka individu
dan perilaku diskriminasi yang diberikan kepada seseorang berdasarkan jenis
kelamin atau praktek- praktek yang dilakukan oleh lembaga atau suatu institusi
berdasarkan jenis kelamin seseorang. Prasangka gender juga disebabkan oleh
stereotipe seseorang terhadap perempuan. Menurut baron & byrne (dalam
kuncoro 2009) seksisme adalah prasangka yang didasarkan pada gender.
Seksisme seringkali ditujukan pada wanita, sehingga yang dimaksud disini
adalah adanya penilaian negatif pada seseorang yang disebabkan seseorang
tersebut adalah wanita.

prasangka gender didefinisikan sebagai sikap negatif ataupun


positif yang berasal dari stereotipe tentang pria dan perem-puan yang
membuat orang dengan gender tertentu berada pada kedudukan tidak
setara dan berdampak pada perilaku diskriminatif kepadanya. Glick dan
fiske (dalam nelson, 2002) memberikan pemahaman baru tentang
prasangka gender ini dengan teori prasangka ambivalen (ambivalent
sexism).menurut glick dan fiske, prasangka gender kini tampil dalam
dua bentuk yaitu penolakan gender dan penerimaan gender. Penolakan
gender adalah sikap dan perilaku negatif yang secara langsung
mengungkapkan bahwa perempuan lebih rendah daripada pria. Penerimaan
gender adalah sikap dan perilaku positif yang menjunjung tinggi
perempuan yang ber-perilaku sesuai stereotipe tradisional. Penolakan
gender dan penerimaan gender berkorelasi sebab keduanya berasal dari
keyakinan yang serupa tentang perempuan. Keduanya
mengasumsikan perempuan sebagai jenis kelamin yang lebih lemah dan
mereka seharusnya mengerjakan peran domestik dalam masyarakat.
Nelson (2002) menyatakan bahwa prasangka dan stereotipe terhadap
perempuan berasal dari banyak sumber. Salah satunya melalui
pembelajaran sosial(nelson, 2002; mischel, 1966; bandura dan walters,
1963). Teori pembelajaran sosial menjelaskan bahwa sejak usia yang sangat
muda, anak diajarkan tentang bagaimana menjadi seorang pria dan
perempuan dalam masyarakat.

rice (1999) turut menjelaskan bahwa sejak awal, anak pria


dan perempuan memang mengalami sosialisasi yang berbeda. Sebagai
contoh, pria diharapkan untuk lebih aktif, kasar, dan agresif. Mereka pun
dipuji saat bertindak sesuai ekspektasi tersebut. Sebaliknya, perempuan
dihukum atau ditegur bila terlalu agresifdan diberikan pujian saat menjadi
sopan dan submisif. Konsekuensinya, pria dan perempuan tumbuh dengan
memanifestasikan perilaku yang berbeda. Sosialisasi tentang karakteristik
psikologis dan perilaku yang dianggap tepat berdasarkan gender inilah
yang kemudian berhu-bungan dengan stereotipe dan prasangka gender
pada anak menurut teori pembelajaran sosial.

2. Dampak dari prasangka berdasarkan gender

Dampak prasangka berdasarkan gender dapat merugikan masyarakat


secara dan umum dan organisasi khususnya. Hal ini terjadi karena prasangka
dapat menghambat perkembangan potensi individu secara maksimal.contohnya
seperti sekisme, seksisme didefinisikan sebagai pandangan permusuhan dari
hubungan gender dimana perempuan dianggap berupaya untuk megendalikan
laki-laki dan merebut kekuasaan laki-laki. Namun di sisi yang lain, perempuan
juga dipandang sebagai gender yang lemah yang membutuhkan laki-laki dan
hanya cocok untuk melakukan peran gender konvensional seperti ibu rumah
tangga (rollero, glick & tartaglia, 2014) prasangka dan diskriminasi ini terjadi
apabila streotipe terhadap gender yang dimiliki masyarakat dilanggar atau diluar
ekspekstasi mereka ,misalnya seorang wanita berpenampilan seperti seorang
pria yang membuat wanita tersebut diprasangka dan disikriminasi oleh karena
itu hal ini akan berdampak pada orang tersebut. Dampak prasangka berdasarkan
diatas adalah dengan adanya prasangka akan mempengaruhi sikap dan tingkah
laku seseorang dalam berbagai situasi. Prasangka dapat menjadikan seseorang
atau kelompok tertentu tidak mau bergabung atau bersosialisasi dengan
kelompok lain. Apabila kondisi tersebut terdapat dalam organisasi akan
mengganggu kerjasama yang baik sehingga upaya pencapaian tujuan organisasi
kurang dapat terealisir dengan baik.

3. Cara Mengatasi Prasangka Berdasarkan Gender

Ada dua cara agar dapat mengatasi prasangka, yaitu:

1. Usaha Preventif : Berupa suatu usaha yang mencegah agar orang atau
kelompok tidak terkena prasangka, seperti misalnya yaitu menciptakan
suasana yang tentram, damai, dan jauh dari rasa terkena prasangka;
menanamkan sejak kecil perasaan menerima orang lain meskipun ada
perbedaan; perbedaan bukan berarti pertentangan atau permusuhan;
memperpendek jarak sosial agar tidak timbul prasangka.

2. Usaha Kuratif : Berupa usaha menyembuhkan orang yang sudah terkena


prasangka, berupa usaha menyadarkan. Usaha-usaha ini dapat dilakukan oleh
media massa (tv, koran, radio, dan lainnya) serta dapat dilakukan oleh
pendidik, orang tua, tokoh-tokoh masyarakat, dan sebagainya.

Alasan-alasan yang mendasari hukum dapat mengurangi prasangka adalah:

1. Hukum membuat diskriminasi menjadi perbuatan ilegal, sehingga akan


mengurangi tindakan yang memojokkan pada kehidupan anggota-anggota
minoritas.
2. Hukum membantu untuk menetapkan atau memantapkan norma-norma
dalam masyarakat, yaitu hukum berperan dalam mendefinisikan jenis-jenis
perilaku yang dapat diterima atau tidak dapat diterima dalam masyarakat.
3. Hukum mendorong konformitas terhadap perilaku yang non diskriminatif,
yang mungkin pada akhirnya akan menghasilkan internalisasi sikap tidak
berprasangka melalui proses persepsi diri atau pengurangan disonansi
DAFTAR PUSTAKA

Lesmana, T. (2020). Hubungan Harga Diri dan Prasangka Gender Dengan


Kecenderungan Perilaku Cyberbullying Pelajar Jakarta. Jurnal Psikologi
TALENTA, 5(1), 45-55.

Latifianazalati. (2015). Stereotip, Prasangka, dan Diskriminasi. Tersedia:


http://latifianazalati.blogs.uny.ac.id/2015/10/19/stereotip-prasangka-dan-
diskriminasi/ [31 Desember 2020].

Siregar, D. A. I., & Rochani, S. (2011). Sosialisasi Gender Oleh Orangtua Dan
Prasangka Gender Pada Remaja. Jurnal Psikologi, 3(2).

Wikipedia.(2020).prasangka :
https://id.wikipedia.org/wiki/Prasangka#Cara_Mengurangi_Prasangka
_Sosial (1 desember 2021 )

Anda mungkin juga menyukai