Anda di halaman 1dari 9

PRINSIP-PRINSIP ILMU AKHLAK

MAKALAH

OLEH:

KELOMPOK 2:

1. Oka Ridayani (170303055)

2. Nurul Huda (180303113)

3. Windi Fataharani (180303134)

MAHASISWA PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERU AR-RANIRY BANDA ACEH

TAHUN 2019/2020

A. Pendahuluan
Akhlak manusia merupakan sifat-sifat yang dibawa oleh manusia sejak lahir yang tertanam
dalam jiwanya dan selalu ada padanya, bersifat konstan, spontan, tidak memerlukan
pemikiran dan pertimbangan serta dorongan dari luar. Sifat yang lahir dalam perbuatan baik
disebut akhlak mulia, sedangkan perbuatan buruk disebut akhlak tercela.

Peran akhlak dalam kehidupan manusia menempati hal yang penting sekali. Sebab jatuh dan
bangunnya, sejahtera dan rusaknya suatu bangsa tergantung bagaimana akhlaknya. Namun, apabila
moral sudah rusak, ketentraman dan kehormatan suatu bangsa akan hilang.

Pada zaman yang serba modern ini, mewujudkan akhlak yang baik sangatlah sulit. Salah satu
sebab timbulnya krisis akhlaqul karimah ini ialah karena masyarakat mulai lengah dan kurang
mengindahkan agamanya serta globalisasi sering di cap sebagai salah satu penyebab kemerosotan
moral umat Islam.

B. Prinsip-Prinsip Ilmu Akhlak

Islam adalah agama yang sangat mementingkan akhlak dari pada masalah-masalah lain. Karena misi
Nabi Muhammad diutus ke muka bumi ini adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Hal itu
dapat kita lihat pada zaman Jahiliyah. Pada masa tersebut, kondisi Akhlak yang sangat tidak karuan.
Mereka melakukan hal-hal yang menyimpang seperti minum khamr, berjudi dan lain-lain. Hal-hal
tersebut mereka lakukan dengan biasa bahkan menjadi adat yang diturunkan untuk generasi setelah
mereka.

Sejalan dengan potensi akal pikiran yang dimilikinya, maka manusia akan menaruh minat untuk
mengetahui hakikat-hakikat segala sesuatu. Adapun dengan keistimewaan perasaan yang ada
padanya, maka manusia menjadi punya perhatian besar ke arah upaya-upaya mewujudkan
perbuatan-perbuatan kebaikan. Oleh karena itu, jika ilmu pengetahuan yang didapatkan melalui akal
berguna dalam meningkatkan taraf kehidupan material manusia, maka menggenggam prinsip-
prinsip akhlak lebih penting lagi karena berkaitan dengan dimensi batin/ruhiah yang dimiliki oleh
manusia. Dengan kata lain, seluruh manusia tidak dituntut untuk menjadi alim atau pakar dalam
berbagai teori ilmu pengetahuan, tetapi masing-masing mereka dituntut untuk memahami makna,
tugas, dan tanggung jawabnya sebagai makhluk Allah, serta mengarahkan segenap aktifitas dan
tingkah laku mereka agar sejalan dengan prinsip-prinsip akhlak yang telah digariskan-Nya.

Dengan kerangka berpikir diatas, dapat ditegaskan bahwa permasalahan akhlak merupakan hal yang
wajib menjadi perhatian setiap manusia. Masing-masing individu harus menjadikan prinsip-prinsip
akhlak mulia sebagai acuan dalam bersikap dan bertingkah laku. Jika seseorang tidak berusaha
menentukan posisinya dalam menyikapi setiap permasalahan yang dihadapi serta hanya
memperlihatkan sikap negatif, maka sesungguhnya dia telah menentang prinsip-prinsip akhlak.
Dalam kerangka inilah Pascal mengatakan, “Sesungguhnya sikap negatif adalah penyebab utama
terjerumusnya manusia ke dalam keburukan. Lebih dari itu, dia adalah kemunafikan dan tindakan
pengecut”.

Dari penjelasan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap orang semestinya memahami
dengan baik prinsip-prinsip akhlak yang akan menjadi landasan serta tolok ukur baginya dalam
beraktivitas, bersikap dan bertingkah laku, juga parameter dalam menilai tingkah laku orang lain.

Prinsip akhlak dalam Islam terletak pada Moral Force. Moral Force akhlak Islam adalah terletak pada
iman sebagai Internal Power yang dimiliki oleh setiap orang mukmin yang berfungsi sebagai motor
penggerak dan motivasi terbentuknya kehendak untuk merefleksikan dalam tata rasa, tata karsa,
dan tata karya yang kongkret. Dalam hubungan ini Abu Hurairah meriwayatkan hadist dari Rasulullah
Saw: “orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya. Dan sebaik-baik
diantara kamu ialah yang paling baik kepada istrinya”.

Baik dan buruknya akhlak manusia sangat tergantung pada tata nilai yang dijadikan pijakannya. Abu
‘Ala al-Maududi membagi sistem moralitas menjadi dua. Pertama, sistem moral yang berdasar
kepada kepercayaan kepada Tuhan dan kehidupan setelah mati. Kedua, sistem moral yang tidak
mempercayai Tuhan dan timbul dari sumber-sumber sekuler.

Sistem moral yang berdasar kepada gagasan keimanan pada Tuhan dan akhirat dapat ditemukan
pada sistem moral Islam. Hal ini karena Islam menghendaki dikembangkannya akhlaqul karimah
yang pola perilakunya dilandasi dan untuk mewujudkan nilai iman, Islam dan ihsan. Iman sebagai al-
quwwatud dakhiliyyah (kekuatan dari dalam) yang membimbing orang terus bermuraqabah
(mendekatkan diri kepada Tuhan) dan muhasabah terhadap perbuatan yang lalu, sedang, dan akan
dikerjakan.

Sedangkan sistem moral yang kedua adalah sistem yang dibuat atau hasil pemikiran manusia
(secular moral philosophies), dengan mendasarkan kepada sumber-sumber sekuler, baik itu murni
dari hukum yang ada dalam kehidupan, intuisi manusia, pengalaman, maupun akhlak manusia.
Sistem moral ini merupakan topik pembicaraan para filosof yang sering menjadi masalah penting
bagi manusia, sebab sering terjadi perbedaan pendapat mengenai ketetapan baik dan buruknya
prilaku, sehingga muncullah berbagai aturan perilaku dengan ketetapan ukuran baik buruk yang
berbeda.

Al-Qur’an menggambarkan bahwa setiap orang yang beriman itu niscaya memiliki akhlak yang mulia
yang diandaikan seperti pohon iman yang indah. Hal ini dapat kita lihat pada Q.S. Ibrahim ayat 24-
27: “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik
seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan
buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya.Dan Allah membuat perumpamaan-
perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang
buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi,
tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun. Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan
ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat dan Allah menyesatkan orang-orang
yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki”.

Dari ayat diatas dapat kita ambil contoh bahwa ciri khas orang yang beriman adalah indah
perangainya dan santun tutur katanya, tegar dan teguh pendirian (tidak terombang ambing),
mengayomi atau melindungi sesama, mengerjakan buah amal yang dapat dinikmati oleh lingkungan,
dan lain-lain.

Moral dalam ajaran Islam berfungsi sebagai sarana untuk mencapai derajat manusia sempurna (al-
insan kamil). Ibnu miskawaih berpendapat bahwa kesempurnaan manusia diawali dari
kesempurnaan individu, karena dari individu-individu yang sempurna akan melahirkan masyarakat
yang beradab yang pada akhirnya akan berimplikasi pada kesempurnaan moral.

Sementara itu Aristoteles sebagaimana dijelaskan oleh Simon, berpendapat bahwa moral berfungsi
sebagai alat untuk mencapai kebahagiaan. Lebih lanjut sebagaimana diuraikan Russel, bahwa
pencapaian kebahagiaan dapat dilakukan dengan melalui dua keutamaan, yaitu keutamaan
intelektual (rasio) dan keutamaan moral. Keutamaan intelektual dihasilkan dari pengajaran,
sedangkan keutamaan moral dihasilkan dari kebiasaan. Senada dengan Aristoteles, al-Ghazali
sebagaimana dikemukakan oleh Qasem, mengemukakan bahwa sesungguhnya fungsi dari moral
adalah sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan jiwa.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa moral tidak dapat dipelajari,
karena moral adalah perbuatan baik dan buruk yang dilakukan manusia tanpa direnungkan atau
dipikirkan terlebih dahulu.

Tolok ukur kelakuan baik dan buruk mestilah merujuk kepada ketentuan Allah. Demikian rumus yang
diberikan oleh kebanyakan ulama. Perlu ditambahkan, bahwa apa yang dinilai baik oleh Allah, pasti
baik dalam esensinya. Demikian pula sebaliknya, tidak mungkin Allah menilai kebohongan sebagai
kelakuan baik, karena kebohongan esensinya buruk.

Dalam perkembangan selanjutnya, istilah moral sering pula didahului oleh kata kesadaran, sehingga
menjadi istilah kesadaran moral. Ahmad Charris Zubair dalam bukunya yang berjudul “Kuliah Etika”
mengatakan bahwa kesadaran moral merupakan faktor penting untuk memungkinkan tindakan
manusia selalu bermoral, berprilaku susila, dan perbuatannya selalu sesuai dengan norma yang
berlaku. Kesadaran moral ini didasarkan atas nilai-nilai yang benar-benar esensial dan fundamental.

Kesadaran moral erat pula hubungannya dengan hati nurani yang dalam bahasa asing disebut
conscience¬, conscientia, gewissen, geweten, dan dalam bahasa Arab disebut dengan qalb, fu’ad.
Dan kesadaran moral itu mencakup tiga hal. Pertama, perasaan wajib atau keharusan untuk
melakukan tindakan yang bermoral. Persaan ini telah ada dalam setiap hati nurani manusia,
siapapun, dimanapun dan kapanpun. Kewajiban tersebut tidak dapat ditawar-tawar, karena sebagai
kewajiban maka andaikata dalam pelaksanaannya tidak dipatuhi berarti suatu pelanggaran moral.
Adanya perasaan wajib ini menunjukkan bahwa suara batin harus selalu ditaati, karena suara batin
justru sebagai kesadaran bahwa seseorang merasa mempunyai beban atau kewajiban mutlak, untuk
melaksanakan sesuatu, tidak ada kekuatan apapun yang berhak mengganggu atau menghalangi
pelaksanaannya. Orang yang memiliki kesadaran moral dalam bentuk perasaan wajib tersebut akan
senantiasa mau berusaha menegakkan kebenaran, kejujuran, keadilan dan kesamaan, walaupun
tidak ada orang lain yang menyuruhnya. Perasaan tersebut demikian kuat, sehingga ia siap
menghadapi siapa saja yang coba-coba menghalanginya.

Kedua, kesadaran moral dapat juga berwujud rasional dan objektif, yaitu suatu perbuatan
yang secara umum dapat diterima oleh masyarakat sebagai hal yang objektif dan dapat diberlakukan
secara universal, artinya dapat disetujui, berlaku pada setiap waktu dan tempat bagi setiap orang
yang berada dalam situasi yang sejenis. Dalam masalah rasionalitas kesadaran moral itu, manusia
meyakini bahwa akan sampai pada pendapat yang sama sebagai suatu masalah moral, dengan
ketentuan manusia tersebut bebas dari paksaan dan tekanan, tidak mencari keuntungan sendiri,
tidak berpihak, bersedia untuk bertindak sesuai dengan kaidah yang berlaku umum, pengetahuan
jernih dan pengetahuan yang berdasarkan informasi yang objektif.

Ketiga, kesadaran moral dapat pula muncul dalam bentuk kebebasan. Atas kesadaran
moralnya seseorang bebas untuk menaatinya. Bebas dalam menentukan perilakunya dan didalam
penentuan itu sekaligus terpampang nilai manusia itu sendiri.

Berdasarkan pada uraian tersebut kita dapat sampai pada suatu kesimpulan, bahwa moral
lebih mengacu kepada suatu nilai atau sistem hidup yang dilaksanakan atau diberlakukan oleh
masyarakat. Nilai atau sistem hidup tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai sesuatu yang akan
memberikan harapan munculnya kebahagiaan dan ketentraman. Nilai-nilai tersebut ada yang
berkaitan dengan perasaan wajib, rasional, berlaku umum dan kebebasan. Jika nilai-nilai tersebut
telah mendarah daging dalam diri seseorang, maka akan membentuk kesadaran moralnya sendiri.
Orang yang demikian akan dengan mudah dapat melakukan suatu perbuatan tanpa harus ada
dorongan atau paksaan dari luar. Orang yang demikian adalah orang yang memiliki kesadaran moral
atau orang yang telah bermoral.

Moral adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang
memiliki nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral, artinya ia tidak bermoral
dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya, sehingga moral adalah hal mutlak yang harus
dimiliki oleh manusia.

Rasulullah dengan tegas telah menyebutkan misi utamanya dalam berdakwah. Misi utama
tersebut tersurat dalam sebuah sabda beliau yang artinya: “Sesungguhnya aku di utus hanya untuk
menyempurnakan moral yang mulia”.
Seakan-akan misi kerasulan dalam sejarah kehidupan manusia dan tugas besar pembawanya untuk
disebarkan kepada seluruh manusia tidak lebih hanya untuk mengukuhkan kembali nilai-nilai luhur
dan memberikan cahaya penerang ke arah kesmpurnaan. Dengan demikian, manusia akan mampu
berjalan terus dengan menggunakan mata hatinya.

Beberapa ibadah yang telah disyariatkan Islam dan telah dianggap sebagai rukun Islam
bukanlah ritual tanpa makna yang hanya menghubungkan manusia dengan alam ghaib yang sama
sekali tidak mereka kenal. Ritual-ritual ibadah tersebut juga bukan aktifitas dan gerakan-gerakan
yang tidak berarti apa-apa. Namun ibadah-ibadah tersebut merupakan ritual fardhu yang diwajibkan
Islam yang telah disesuaikan dengan tingkat kemampuan manusia. Kefardhuan itu merupakan
latihan berkesinambungan untuk membiasakan seorang agar hidup dengan akhlak yang mulia.

Dengan demikian, dia akan mampu terus berpegang teguh pada moral yang terpuji
sekalipun dia berada dalam situasi yang terus berubah.

Al-Qur’an dan sunah Rasulullah menyingkap hakikat permasalahan ini dengan sangat jelas, yakni
ibadah merupakan sebuah latihan yang bisa menghantarkan pelakunya pada perilaku yang mulia.
Misalnya saja shalat fardhu, Allah telah menjelaskan hikmah ibadah fardhu tersebut ketika Dia
memerintahkannya.

Menjauhi perbuatan hina dan upaya untuk membersihkan diri dari perkataan dan perbuatan yang
buruk merupakan hakikat shalat. Telah disebutkan riwayat hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Nabi
saw dari Tuhannya sebagai berikut: Artinya: “Sesungguhnya aku (Allah) hanya akan menerima
ibdaha shalat dari orang yang bertawadhu’ (rendah hati)karena mempertimbangkan keagungan-
ku,tidak selalu mencari-cari kesalahn makhluk-ku, tidak melewatkan malam harinya dalam keadaan
terus bermaksiat terhdap-ku, menghabiskan siang hari untuk berdzikir kepadaku,menyayangi orang-
orang miskin,ibnu sabil,para janda,serta mengasihi orang yang tertimpa musibah”.

Ibadah zakat juga merupakan kefardhuan yang tidak diwajibkan hanya sebagai bentuk
pungutan pajak yang diambil dari kantong seseorang. Namun tujuan utama zakat adalah untuk
menanamkan rasa peduli, kasih saying dan solidaritas sesama manusia yang berasal dari berbagai
kalangan. Tujuan utama pensyariatan zakat telah disebutkan dengan jelas di dalam Al-Qur’an melalui
firman Allah swt. Artinya: “ Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
memberikan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka” Q.S. at-Taubah: 103.

Penyucian jiwa dari berbagai macam kotoran dan usaha sublimasi (mengubah sifat buruk kepada
karakter yang lebih bisa diterima masyarakat) merupakan target utama disyariatkannya ajaran zakat.
Oleh karena itulah Rasulullah memperluas cakupan makna sedekah yang seyogianya dilakukan
individu muslim. Dalam hal ini Rasulullah bersabda, Artinya: ‘Senyuman yang kamu lontarkan pada
wajah saudaramu adalah sedekah. Kamu melakukan upaya amar ma’ruf nahi munkar adalah
sedekah. Kamu memberikan petunjuk kepada seseorang yang tersesat merupakan sedekah. Kamu
menyingkirkan gangguan, duri maupun tulang dari jalanan merupakan sedekah. Kamu menjulurkan
timba untuk (mengambilkan air bagi) saudaramu adalah sedekah. Dan kamu memberikan petunjuk
kepada orang yang indera penglihatannya kurang baik juga merupakan sebuah sedekah”. H.R. al-
Bukhari

Inilah ajaran yang disampaikan baginda Rasulullah untuk sebuah komunitas sahara yang
hidup dalam suasana permusuhan. Ternyata ajaran yang diserukan islam begitu sarat dengan nilai-
nilai luhur. Ajaran inilah yang akhirnya mampu mengarahkan orang-orang Arab jahiliyah kepada
suasana yang jauh lebih baik.

Syariat Islam juga telah memfardhukan ibadah puasa. Puasa hendaklah tidak dianggap sebagai
kondisi dimana seorang dilarang untuk mengonsumsi makanan maupun minuman dalam rentang
waktu tertentu. Namun hendaklah puasa dipandang sebagai upaya membatasi kehendak hawa nafsu
yang senantiasa mengarah pada syahwat terlarang dan hal-hal yang mungkar. Untuk mempertegas
target puasa tersebut, Rasulullah telah bersabda. Artinya: “Barangsiapa tidak meninggalkan
perkataan dan tindakan bohong, maka allah tidak lagi butuh terhadap usahanya meninggalkan
makanan maupun minuman (ketika dia berniat berpuasa)”. H.R. Bukhari

Terkadang ada orang yang beranggapan bahwa pergi ke tanah suci hanya sekedar rangkaian
perjalanan jauh tanpa makna. Perjalanan suci dalam ibadah haji memang hanya wajib bagi orang
yang mampu sehingga hukumnya menjadi fardhu bagi mereka. Tentu saja anggapan seperti ini salah
besar. Karena Allah berfirman:

Artinya: ”(musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi,barangsiapa yang menetapkan
niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji,maka tidak boleh rafats,berbuat fasik dn berbantah-
bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya
Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan
bertakwalah kepada-ku hal orang-orang yang berakal”. Q.S. al-Baqarah: 197

Demikianlah gambaran singkat tentang hakikat beberapa ibadah yang telah disyariatkan dan
sekaligus dianggap sebagai rukun Islam. Dari keterangan tersebut dapat kita ketahui bahwa ajaran
agama Islam memiliki hubungan sangat erat dengan ajaran moral. Berbagai ritual ibadah dalam
islam memang terkesan tidak memiliki hubungan anatara sisi luar dan sisi dalamnya. Padahal jika
dipahami dengan mendalam, target besar berbagai ritual tersebut bertemu pada muara yang sama.
Target besar yang dimaksud adalah sepeti yang disampaikan Rasulullah saw. Artinya:
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan moral yang mulia”.
Secara umum, tujuan dan fungsi moral adalah untuk mewujudkan harkat dan martabat
kepribadian manusia melalui pengamalan nilai-nilai dan norma. Beberapa tujuan dan fungsi moral
lainnya adalah untuk memotivasi manusia agar bersikap dan bertindak dengan penuh kebaikan dan
kebajikan yang didasari atas kesadaran kewajiban yang dilandasi moral, untuk membuat manusia
lebih bahagia secara rohani dan jasmani karena menunaikan fungsi moral sehingga tidak ada rasa
menyesal, konflik batin, dan perasaan berdosa atau kecewa, dan lain-lain.

C. Kesimpulan

Prinsip akhlak dalam Islam terletak pada Moral Force. Moral Force akhlak Islam adalah
terletak pada iman sebagai Internal Power yang dimiliki oleh setiap orang mukmin yang
berfungsi sebagai motor penggerak dan motivasi terbentuknya kehendak untuk
merefleksikan dalam tata rasa, tata karsa, dan tata karya yang kongkret.

Baik dan buruknya akhlak manusia sangat tergantung pada tata nilai yang dijadikan
pijakannya. Abu ‘Ala al-Maududi membagi sistem moralitas menjadi dua. Pertama, sistem moral
yang berdasar kepada kepercayaan kepada Tuhan dan kehidupan setelah mati. Kedua, sistem moral
yang tidak mempercayai Tuhan dan timbul dari sumber-sumber sekuler.

Moral adalah sesuatu yang tidak dapat dipelajari, karena moral adalah perbuatan baik dan
buruk yang dilakukan manusia tanpa direnungkan atau dipikirkan terlebih dahulu.

DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: Rajawali Press, 2013

Marzuki, Prinsip Dasar Akhlak Mulia, Yogyakarta: Debut Wahana Press, 2009

Muhamad Al-Ghazali, Akhlak Seorang Muslim, Jakarta: Mustaqim, 2004

Sa’ad Riyadh, Jiwa dalam Bimbingan Rasulullah, Jakarta: Gema Insani, 2007
www.zonareferensi.com, Zakky, 27 September 2019 pukul 17.23 WIB

Anda mungkin juga menyukai