Anda di halaman 1dari 5

A.

Latar Belakang

Penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler) merupakan

masalah kesehatan utama dinegara maju maupun berkembang dan menjadi

penyebab kematian nomor satu didunia setiap tahunnya. Institute for Health

Metrics and Evaluation (IHME) tahun 2017, menyatakan bahwa dari 53,3 juta

kematian didunia didapatkan penyebab kematiannya 33,1% akibat penyakit

kardiovaskuler dan di Indonesia sendiri menurut data penyebab kematian tahun

2016 (Kemenkes RI) didapatkan penyebab kematian terbanyak pun penyakit

kardiovaskuler yaitu sebesar 36,9%. IMHE juga menyebutkan bahwa dari total

1,7 juta kematian di Indonesia didapatkan factor risiko utama yang menyebabkan

kematian adalah tekanan darah (hipertensi) yaitu sebesar 23,7%.

Hipertensi merupakan salah satu penyakit kardiovaskuler yang paling

umum dan paling banyak disandang oleh masyarakat, baik masyarakat Indonesia

maupun Dunia. (Kemenkes RI, 2019). Data World Health Organization (WHO)

tahun 2015 menunjukkan sekitar 1,13 Milliar orang didunia menyandang

hipertensi, artinya 1 dari 3 orang didunia terdiagnosis hipertensi. Jumlah

penyandang hipertensi terus meningkat setiap tahunnya, diperkirakan pada tahun

2025 akan ada 1,5 milliar orang yang terkena hipertensi, dan diperkirakan 9,4 juta

orang meninggal akibat hipertensi dan komplikasinya.

Riskesdas (2018) menyatakan estimasi jumlah kasus hipertensi di

Indonesia sebasar 63.309.620 orang, sedangkan angka kematian di Indonesia

akibat hipertensi sebesar 427.218 kematian. Hipertensi paling banyak dialami

pada kelompok umur 55 tahun ke atas (55,2%). Dari data diatas dapat ditarik

kesimpulan bahwa hipertensi merupakan salah satu kontributor beban


penyakit global yang utama sebagai factor resiko penyebab morbiditas

dan mortalitas dari penyakit kardiovaskular serta ginjal.

Menurut dokter dari perhimpunan Hipertensi Indonesia Dr. Tunggul

Situmorang, SpPD-KGH, FINASIM (dalam Kemenkes, 2019) mengatakan

hipertensi sebenarnya merupakan penyakit yang dapat dicegah bila faktor risiko

dikendalikan. Berbagai studi telah dilakukan untuk mengetahui berbagai

faktor risiko dan interaksinya terhadap timbulnya komplikasi pada individu

penderita hipertensi, beberapa faktor risiko tersebut antara lain obesitas,

usia, diabetes melitus dan kadar asam urat. (Clement, dkk. 2014). Weir, et.al

(2013) menambahkan, selain factor risiko tersebut, hiperurisemia juga merupakan

salah satu komorbid hipertensi yang dapat meningkatkan mortalitas dan

morbiditas penyakit kardiovaskuler.

Hiperurisemia telah lama dihubungkan dengan penyakit kardiovaskuler

dan sering dijumpai pada penderita hipertensi. Hiperurisemia terjadi bila kadar

asam urat melebihi daya larutnya dalam plasma yaitu 6,7 mg/dl pada suhu 37°C,

keadaan ini akan menyebabkan perubahan mikrovaskuler pada ginjal yang mirip

dengan gambaran arteriosklerosis pada hipertensi esensial. Lesi vaskuler tersebut

menyebabkan iskemia. Selanjutnya iskemia menyebabkan pelepasan laktat dan

peningkatan produksi asam urat. Laktat sendiri bersifat menghambat sekresi asam

urat dengan memblok organic anion transporter. Peningkatan produksi asam urat

terjadi karena iskemi menyebabkan pemecahan ATP menjadi adenosin dan

xathine. Hal tersebut menciptakan suatu ligkaran setan. Kondisi hiperurisemia

meningkatkan aktivitas enzim xathine oksidase. Padahal enzim tersebut juga

membentuk superoksida sebagai akibat langsung aktivitasnya. Peningkatan


jumlah oksidan menyebabkan stress oksidatif yang semakin menurunkan produksi

NO dan memperparah disfungsi endotel yang terjadi. Lesi pada vaskuler ginjal ini

akan memicu terjadinya hypertension yaitu peningkatan tekanan darah yang lebih

tinggi. (Johnson et al., 2003; Heinig and Johnson, 2006; Feig et al., 2008).

Hiperurisemia ini akan semakin meningkat (lebih parah) jika penderita

tersebut juga mengalami obesitas dan resistensi insulin dalam hal ini salah

satunya adalah DM. Penelitian yang dilakukan oleh Soputra, dkk (2018)

menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara obesitas dan kadar asam

urat darah, nilai PR=3,278 artinya individu dengan obesitas memiliki risiko

3,278 kali lebih besar untuk mengalami hiperurisemia dibandingkan dengan

yang tidak obesitas. Hasil tersebut berhubungan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Essa et al. (2015) yang menunjukkan suatu korelasi linear yang

sangat kuat antara kadar asam urat dan IMT subjek (r=0,798, p<0,01).

Menurut Ruiz-Hurtado et al. (2014) individu dengan obesitas memiliki

hyperinsulinemia dan resistensi insulin yang dapat menyebabkan aktivasi

spesifik dari tubular sodium-hydrogen exchanger yang memfasilitasi

reabsorpsi aktif dari asam urat dan menurunkan pengeluarannya oleh ginjal.

Selain itu, menurut Sindupriya et al. (2015) penyebaran jaringan lemak

membawa pada peningkatan produksi molekul proinflamasi dan

menghasilkan low-grade inflammation, jaringan lemak memproduksi sitokin

proinflamasi, disebut adipositokin dimana sitokin ini secara ireversibel

mengubah endotelial Xanthine dehydrogenaseke wujud aktifnya, Xantin

oksidase. Xantin oksidase pada akhirnya mengubah xantin menjadi asam urat.
Di sisi lain, beberapa studi juga menunjukan adanya hubungan yang

positif antara kadar asam urat dengan DM (Liong et al.,2008; Kodama et al.,

2009; Kramer et al., 2009). Studi ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Maulana, dkk (2015) dimana dari hasil uji analisisnya menggunakan Uji T

tidak berpasangan menunjukkan signifikansi nilai p=0,002 <0,005, hal ini

memberikan kesimpulan bahwa terdapat perbedaan rerata kadar asam urat

pada penderita hipertensi dengan DM dan tanpa DM. Pada penderita hipertensi

dengan DM terjadi resistensi insulin yang akan memberikan efek menurunkan

ekskresi asam urat serum yang disertai dengan kemampuan untuk menahan

natrium. Hiperurisemia (asam urat) juga akan meningkatkan aktivitas system saraf

simpatis yang memberikan dampak terhadinya peningkatan kadar asam urat

serum.

Selain factor risiko diatas, hiperurisemia juga sering dikaitkan dengan

dislipidemia. Penelitian Amalina (2015) menyatakan adanya korelasi trigliserida

dengan asam urat (r=0,702 , p<0,001), korelasi kolestrol total dengan asam urat

(r=0,478, p<0,001), dan korelasi kolestrol LDL dengan asam urat (r=0,478,

p<0,001) artinya terdapat hubungan yang bermakna antara dislipidemia dengan

hiperurisemia hal ini dikarenakan kolestrol yang tinggi akan meningkatkan

penumpukan plak diarteri yang menyisakan lebih sedikit ruang bagi darah untuk

mengalir sehingga menyebabkan tekanan darah meningkat (tinggi). Peningkatan

tekanan darah akan menyebabkan menurunnya aliran darah ke ginjal. Aliran

darah ginjal yang rendah akan menstimulasi reabsorpsi asam urat.

Dari latar belakang diatas dapat disimpulkan bahwa asam urat dapat

menyebabkan banyak masalah kesehatan dan terdapat banyak factor yang dapat
meningkatkan angka mortalitas dan morbiditasnya. Oleh karena itu peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Gambaran Kadar Asam Urat

Pasien Lansia Hipertensi dengan Berbagai Faktor Komorbid”.

Anda mungkin juga menyukai