KARSINOMA NASOFARING
Disusun Oleh :
Renata Setyariantika
1102012235
Konsulen Pembimbing
Serang
I. Definisi
(Sumber : http://kankernasofaring.org/wp-content/uploads/2012/05/kanker-
nasofaring.jpg)
II. Epidemiologi
Pada daerah Asia Timur dan Tenggara didapatkan angka kejadian yang
tinggi. Angka kejadian tertinggi di dunia terdapat di propinsi Cina Tenggara
yakni sebesar 40 – 50 kasus Karsinoma Nasofaring diantara 100.000 penduduk.
Karsinoma Nasofaring sangat jarang ditemukan di daerah Eropa dan Amerika
Utara dengan angka kejadian sekitar <1/100.000 penduduk. Di Indonesia,
Karsinoma nasofaring merupakan salah satu jenis keganasan yang sering
ditemukan, berada pada urutan ke - 4 kanker terbanyak di Indonesia setelah
kanker leher rahim, kanker payudara dan kanker paru (Komite Nasional
Penanggulangan Kanker, 2015).
1
Selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia.
Ditemukan pula cukup banyak kasus di Yunani, Afrika bagian Utara seperti
Aljazair dan Tunisia, pada orang Eskimo di Alaska dan Greenland yang diduga
penyebabnya adalah karena mereka memakan makanan yang diawetkan dalam
musim dingin dengan menggunakan bahan pengawet nitrosamine. Di Indonesia
frekuensi pasien ini hamper merata di setiap daerah. Di RSCM Jakarta saja
ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RSHS Bandung rata-rata 60 kasus,
Ujung Pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus, 15 kasus setahun di Denpasar,
dan 11 kasus di Padang dan Bukittinggi (Soepardi dkk, 2014).
III. Etiologi
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oelh bahan kimia, asap
sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu tertentu,
dan kebiasan makan makanan terlalu panas. Terdapat hubungan antara kadar
nikel dalam air minum dan makanan dengan mortalitas Karsinoma nasofaring,
sedangkan adanya hubungan dengan keganasan lain tidak jelas. Kebiasaan
penduduk Eskimo memakan makanan yang diawetkan (daging dan ikan)
terutama pada musim dingin menyebabkan tingginya kejadian karsinoma ini.
IV. Klasifikasi
2
Tis : Karsinoma in situ
Stadium 0 : Tis N0 M0
Stadium I : T1 N0 M0
3
Stadium IIA : T2a N0 M0
Stadium IIB : T1 N1 M0
T2a N1 M0
T2b N0 M0
T2b N1 M0
Stadium III : T1 N2 M0
T2a N2 M0
T2b N2 M0
T3 N0 M0
T3 N1 M0
T3 N2 M0
Stadium IVA : T4 N0 M0
T4 N1 M0
T4 N2 M0
V. Histopatologi
Telah disetujui oleh WHO bahwa hanya ada tiga bentuk karsinoma
(epidermoid) pada nasofaring yaitu karsinoma sel skuamosa (berkeratinisasi),
karsinoma tidak berkeratinisasi, dan karsinoma tidak berdeferensiasi. Semua
yang kita kenal selama ini dengan limfo-epitelioma, sel transisional, sel
spindle, sel clear, anaplastik, dan lain-lain dimasukkan dalam kelompok tidak
berdeferensiasi (Soepardi dkk, 2014).
4
Tiga varian histologik adalah karsinoma sel skuamosa keratinisasi,
karsinoma sel skuamosa nonkeratinisasi, dan karsinoma tidak berdiferensiasi;
yang terakhir iani adalah yang tersering dan paling erat kaitannya dengan EBV.
Neoplasma tidak berdiferensiasi ini ditandai denga sel epitel besar dengan
batas tak jelas (pertumbuhan “sinsitium”) dan nukleolus eosinofilik yang
mencolok. Perlu diingatkan bahwa pada mononucleosis infeksiosa, EBV secara
langsung menginfeksi limfosit B, yang kemudian diikuti oleh proliferasi
mencolok limfosit T reaktif dan menyebabkan limfositosis reaktif, yang
ditemukan di darah perifer, dan pembesaran kelenjar getah bening. Pada
Karsinoma nasofaring juga terjadi influks mencolok limfosit matur. Oleh
karena itu, neoplasma ini disebut “limfoepitelioma”, suatu kesalahan nama
karena limfosit bukan merupakan bagian proses neoplastik, dan tumornya juga
tidak jinak. Adanya sel neoplastik besar pada latar belakang limfositosis reaktif
dapat menimbulkan gambaran yang mirip dengan limfoma non-Hodgkin, dan
mungkin diperlukan perwanaan imunohistokimia untuk membuktikan sifat
epitel sel ganas tersebut. Karsinoma nasofaring menginvasi secara lokal,
menyebar ke kelenjar getah bening leher, dan kemudian bermetastasis, dan
dilaporkan angka kesintasan 5 tahun bahkan untuk kasus lanjut (Robbins et al,
2013).
Anamnesis
Terdiri dari gejala hidung, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta
gejala metastasis/leher. Gejala tersebut mencakup hidung tersumbat, epistaksis
ringan, tinitus, telinga terasa penuh, otalgia, diplopia dan neuralgia trigeminal
(saraf III, IV, V, VI), dan muncul benjolan pada leher.
Pemeriksaan Fisik
5
Pemeriksaan nasofaring:
• Rinoskopi posterior
• Nasofaringoskopi fiber/rigid
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Radiologik
Diagnosis Banding
• Limfoma
• Proses non keganasan (TB kelenjar)
• Metastasis (tumor sekunder)
6
anestesi umum. Biopsi Nasofaring Dengan Anestesi Lokal: Biopsi dilakukan
dengan menggunakan tang biopsi yang dimasukkan melalui hidung atau mulut
dengan tuntunan rinoskopi posterior atau tuntunan nasofaringoskopi rigid/fiber.
1. Dari biopsi dengan anestesi lokal tidak didapatkan hasil yang positif
sedangkan gejala dan tanda yang ditemukan menunjukkan ciri
Karsinoma nasofaring.
2. Unknown Primary Cancer
Prosedur ini dapat langsung dikerjakan pada :
• Penderita anak
• Penderita dengan keadaan umum kurang baik
• Keadaan trismus sehingga nasofaring tidak dapat diperiksa.
• Penderita yang tidak kooperatif
• Penderita yang laringnya terlampau sensitive
VIII. Tatalaksana
Radioterapi
7
Radiasi eksterna yang mencakup tumor bed (nasofaring) beserta kelenjar
getah bening leher, dengan dosis 66 Gy pada T1-2 atau 70 Gy pada T3-4;
disertai penyinaran kelenjar supraklavikula dengan dosis 50 Gy.
Radiasi intrakaviter sebagai radiasi booster pada tumor primer diberikan
dengan dosis (4x3 Gy), sehari 2x
Bila diperlukan booster pada kelenjar getah bening diberikan penyinaran
dengan elektron.
Kemoterapi
Obat-obatan Simptomatik
Keluhan yang biasa timbul saat sedang diradiasi terutama adalah akibat
reaksi akut pada mukosa mulut, berupa nyeri untuk mengunyah dan menelan.
Keluhan ini dapat dikurangi dengan obat kumur yang mengandung antiseptik
dan adstringent, (diberikan 3-4 kali sehari). Bila ada tanda- tanda moniliasis,
dapat diberikan antimikotik. Pemberian obat-obat yang mengandung anestesi
lokal dapat mengurangi keluhan nyeri menelan. Sedangkan untuk keluhan
umum, misalnya nausea, anoreksia dan sebagainya dapat diberikan terapi
simptomatik. Radioterapi juga diberikan pada kasus metastasis untuk tulang,
paru, hati, dan otak.
Stadium I : Radioterapi
8
Berbagai macam kombinasi dikembangkan, yang terbaik sampai saaat ini
adalah kombinasi dengan Cis-platinum sebagai inti. Telah dilakukan penelitian
pemberian kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan Cis platinum,
meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi memberikan harapan
kesembuhan lebih baik.
Perawatan paliatif
Follow-Up
IX. Pencegahan
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah
dengan resiko tinggi
Migrasi penduduk dari daerah resiko tinggi ke daerah lain
Penyuluhan akan kebiasaan hidup yang salah dan tidak sehat
Mengubah cara memasak makanan untuk mencegah akibat yang timbul
dari bahan-bahan berbahaya
Meningkatkan keadaan sosial-ekonomi
Melakuka tes serologic IgA-anti VCA dan Iga anti EA
Mencegh faktor penyebab (Soepardi dkk, 2014)
9
(Komite Nasional Penanggulangan Kanker, 2015).
10
(Komite Nasional Penanggulangan Kanker, 2015).
11
Daftar Pustaka
Robbins, S. L., Kumar, V., Cotran, R. S. 2013. Buku Ajar Patologi Robbins, Ed.7,
Vol.2. Jakarta: EGC.
Soepardi, E. A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, R. D. 2014. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Ed. 7. Jakarta: FKUI.
Gambar : http://kankernasofaring.org/wp-content/uploads/2012/05/kanker-
nasofaring.jpg
12