Anda di halaman 1dari 13

REFERAT

KARSINOMA NASOFARING

Disusun Oleh :

Renata Setyariantika

1102012235

Konsulen Pembimbing

dr. Evi Handayani, Sp. THT-KL

Kepaniteraan Klinik Bagian Departemen THT

Periode Mei – Juni 2016

Rumah Sakit dr. Dradjat Prawiranegara

Serang
I. Definisi

Karsinoma nasofaring merupakan keganasan yang muncul pada daerah


nasofaring (area di atas tenggorok dan di belakang hidung). Karsinoma ini
terbanyak merupakan keganasan tipe sel skuamosa. Karsinoma Nasofaring
terutama ditemukan pada pria usia produktif (perbandingan pasien pria dan
wanita adalah 2,18:1) dan 60% pasien berusia antara 25 hingga 60 tahun.
(Komite Nasional Penanggulangan Kanker, 2015).

(Sumber : http://kankernasofaring.org/wp-content/uploads/2012/05/kanker-
nasofaring.jpg)

II. Epidemiologi

Pada daerah Asia Timur dan Tenggara didapatkan angka kejadian yang
tinggi. Angka kejadian tertinggi di dunia terdapat di propinsi Cina Tenggara
yakni sebesar 40 – 50 kasus Karsinoma Nasofaring diantara 100.000 penduduk.
Karsinoma Nasofaring sangat jarang ditemukan di daerah Eropa dan Amerika
Utara dengan angka kejadian sekitar <1/100.000 penduduk. Di Indonesia,
Karsinoma nasofaring merupakan salah satu jenis keganasan yang sering
ditemukan, berada pada urutan ke - 4 kanker terbanyak di Indonesia setelah
kanker leher rahim, kanker payudara dan kanker paru (Komite Nasional
Penanggulangan Kanker, 2015).

Ras mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya Karsinoma


Nasofaring, sehingga kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina bagian

1
Selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia.
Ditemukan pula cukup banyak kasus di Yunani, Afrika bagian Utara seperti
Aljazair dan Tunisia, pada orang Eskimo di Alaska dan Greenland yang diduga
penyebabnya adalah karena mereka memakan makanan yang diawetkan dalam
musim dingin dengan menggunakan bahan pengawet nitrosamine. Di Indonesia
frekuensi pasien ini hamper merata di setiap daerah. Di RSCM Jakarta saja
ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RSHS Bandung rata-rata 60 kasus,
Ujung Pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus, 15 kasus setahun di Denpasar,
dan 11 kasus di Padang dan Bukittinggi (Soepardi dkk, 2014).

III. Etiologi

Sudah hamper dipastikan bahwa penyebab Karsinoma nasofaring adalah


Virus Epstein-Barr, karena spade semua pasien nasofaring didapatkan titer
anti-virus EB yang cukup tinggi dibandingkan orang sehat, pasien tumor ganas
leher dan kepala lainnya, tumor organ tubuh lainnya, bahkan pada kelainan
nasofaring yang lain sekalipun. Tumor ini lebih sering ditemukan pada laki-laki
dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada
hubungannya denga faktor genetic, kebiasaam hidup, pekerkjaan, dan lain-lain.

Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oelh bahan kimia, asap
sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu tertentu,
dan kebiasan makan makanan terlalu panas. Terdapat hubungan antara kadar
nikel dalam air minum dan makanan dengan mortalitas Karsinoma nasofaring,
sedangkan adanya hubungan dengan keganasan lain tidak jelas. Kebiasaan
penduduk Eskimo memakan makanan yang diawetkan (daging dan ikan)
terutama pada musim dingin menyebabkan tingginya kejadian karsinoma ini.

Tentang faktor genetik telah banyak ditemukan kasus herediter atau


familier dari pasien kersinoma nasofaring dengan keganasan pada organ tubuh
lain. Secara umum didapatkan 10% dari pasien Karsinoma nasofaring
menderita keganasan di organ lain (Soepardi dkk, 2014).

IV. Klasifikasi

Klasifikasi TNM menurut AJCC/UICC (2002)

Tumor Primer (T)

Tx : Tumor primer tidak dapat dinilai

T0 : Tidak terdapat tumor primer

2
Tis : Karsinoma in situ

T1 : Tumor terbatas pada nasofaring

T2 : Tumor meluas ke jaringan lunak nasofaring dan/atau nasal fossa

T2a : Tanpa perluasan ke parafaringeal

T2b : Dengan perpanjangan parafaringeal

T3 : Tumor masuk ke struktur tulang dan atau sinus paranasal/orofaring

T4 : Tumor dengan perluasan intrakranial dan atau keterlibatan saraf kranial,


infratemporal fossa, hipofaring atau orbita

KGB regional (N)

NX : KGB regional tidak dapat dinilai

N0 : Tidak terdapat metastasis ke KGB regional

N1 : Metastasis bilateral di KGB, 6cm atau kurang di atas fosa suprakavikula

N2 : Metastasis bilateral di KGB, 6 cm atau kurang dalam dimensi terbesar di


atas fosa suprakalvikula

N3 : Metastasis di KGB, ukuran > 6 cm

N3a : Ukuran > 6 cm

N3b : Perluasan ke fosa supraklavikula

Metastasis Jauh (M)

MX : Metastasis jauh tidak dapat dinilai

M0 : Tidak terdapat metastasis jauh

M1 : Terdapat metastasis jauh

Pengelompokkan Stadium (Stage Grouping)

Stadium 0 : Tis N0 M0

Stadium I : T1 N0 M0

3
Stadium IIA : T2a N0 M0

Stadium IIB : T1 N1 M0

T2a N1 M0

T2b N0 M0

T2b N1 M0

Stadium III : T1 N2 M0

T2a N2 M0

T2b N2 M0

T3 N0 M0

T3 N1 M0

T3 N2 M0

Stadium IVA : T4 N0 M0

T4 N1 M0

T4 N2 M0

Stadium IVB Semua T N3 M0

Stadium IVC Semua T & N M0

V. Histopatologi

Telah disetujui oleh WHO bahwa hanya ada tiga bentuk karsinoma
(epidermoid) pada nasofaring yaitu karsinoma sel skuamosa (berkeratinisasi),
karsinoma tidak berkeratinisasi, dan karsinoma tidak berdeferensiasi. Semua
yang kita kenal selama ini dengan limfo-epitelioma, sel transisional, sel
spindle, sel clear, anaplastik, dan lain-lain dimasukkan dalam kelompok tidak
berdeferensiasi (Soepardi dkk, 2014).

Penyebab tersering Karsinoma nasofaring ini adalah EBV. Epstein-Barr


Virus menginfeksi pejamu dengan mula-mula bereplikasi di epitel nasofaring,
kemudian menginfeksi limfosit B di tonsil. Pada sebagian orang, hal ini
menhyebabkan transformasi sel epitel. Tumor terkain EBV lainnya, genom
EBV deitemukan pada hampir semua karasinoma nasofaring, termasuk
karsinoma yang terjadi di luar daerah endemik di Asia.

4
Tiga varian histologik adalah karsinoma sel skuamosa keratinisasi,
karsinoma sel skuamosa nonkeratinisasi, dan karsinoma tidak berdiferensiasi;
yang terakhir iani adalah yang tersering dan paling erat kaitannya dengan EBV.
Neoplasma tidak berdiferensiasi ini ditandai denga sel epitel besar dengan
batas tak jelas (pertumbuhan “sinsitium”) dan nukleolus eosinofilik yang
mencolok. Perlu diingatkan bahwa pada mononucleosis infeksiosa, EBV secara
langsung menginfeksi limfosit B, yang kemudian diikuti oleh proliferasi
mencolok limfosit T reaktif dan menyebabkan limfositosis reaktif, yang
ditemukan di darah perifer, dan pembesaran kelenjar getah bening. Pada
Karsinoma nasofaring juga terjadi influks mencolok limfosit matur. Oleh
karena itu, neoplasma ini disebut “limfoepitelioma”, suatu kesalahan nama
karena limfosit bukan merupakan bagian proses neoplastik, dan tumornya juga
tidak jinak. Adanya sel neoplastik besar pada latar belakang limfositosis reaktif
dapat menimbulkan gambaran yang mirip dengan limfoma non-Hodgkin, dan
mungkin diperlukan perwanaan imunohistokimia untuk membuktikan sifat
epitel sel ganas tersebut. Karsinoma nasofaring menginvasi secara lokal,
menyebar ke kelenjar getah bening leher, dan kemudian bermetastasis, dan
dilaporkan angka kesintasan 5 tahun bahkan untuk kasus lanjut (Robbins et al,
2013).

VI. Manifestasi Klinis

Gejala Gejala Mata dan Metastasis/Gejala


Gejala Telinga
Nasofaring saraf di leher
• Epistaksis • Tinnitus • Diplopia • Benjolan di
ringan • Otalgia • Neuralgia leher
• Sumbatan di • Gangguan trigeminal
hidung pendengaran • Sindrom Jackson
(Soepardi dkk, 2014)

VII. Diagnosis dan Diagnosis Banding

Anamnesis

Terdiri dari gejala hidung, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta
gejala metastasis/leher. Gejala tersebut mencakup hidung tersumbat, epistaksis
ringan, tinitus, telinga terasa penuh, otalgia, diplopia dan neuralgia trigeminal
(saraf III, IV, V, VI), dan muncul benjolan pada leher.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan status generalis dan status lokalis.

5
Pemeriksaan nasofaring:

• Rinoskopi posterior
• Nasofaringoskopi fiber/rigid

Pemeriksaan Laboratorium

• Hematologik : darah perifer lengkap, LED, hitung jenis.


• Alkali fosfatase
• SGPT – SGOT
• Serologi IgA VCA, IgA EA; sebagai tumor marker (penanda
• tumor) pada tempat yang dicurigai Karsinoma Nasofaring tidak
berperan dalam
• menegakkan diagnosis tetapi dilakukan sebagai data dasar
• untuk evaluasi pengobatan.

Pemeriksaan Radiologik

• Pemeriksaan foto toraks PA


• Pemeriksaan CT-Scan atau Magnetic Resonance Imaging
• nasofaring potongan koronal, aksial, dan sagital, tanpa dan
• dengan kontras
• Pemeriksaan Bone Scan
• Pemeriksaan scintigraphy MIBI pada kasus follow up yang
• meragukan pada kasus-kasus residif atau residu tumor.
• Pemeriksaan ultrasonografi (USG) abdomen

Pemeriksaan Patologi Anatomi

Karsinoma nasofaring dibuktikan melalui pemeriksaan patologi anatomi


dengan spesimen berasal dari biopsi nasofaring. Hasil biopsi menunjukkan
jenis keganasan dan derajat diferensiasi.

Diagnosis Banding

• Limfoma
• Proses non keganasan (TB kelenjar)
• Metastasis (tumor sekunder)

Pemeriksaan radiologik berupa CT scan/MRI nasofaring berguna untuk


melihat tumor primer dan penyebaran ke jaringan sekitar dan penyebaran
KGB. Untuk metastasis jauh dilakukan pemeriksaan foto toraks, bone scan,
dan USG abdomen. Pemeriksaan scintigrafi MIBI merupakan pemeriksaan
radiologik yang sangat baik digunakan untuk follow up terapi pada kasus-
kasus dengan dugaan residu dan residif. Pengambilan spesimen biopsi dari
nasofaring dapat dikerjakan dengan bantuan anestesi lokal ataupun dengan

6
anestesi umum. Biopsi Nasofaring Dengan Anestesi Lokal: Biopsi dilakukan
dengan menggunakan tang biopsi yang dimasukkan melalui hidung atau mulut
dengan tuntunan rinoskopi posterior atau tuntunan nasofaringoskopi rigid/fiber.

Eksplorasi Nasofaring dengan Anestesi Umum:

Prosedur ini dilakukan jika:

1. Dari biopsi dengan anestesi lokal tidak didapatkan hasil yang positif
sedangkan gejala dan tanda yang ditemukan menunjukkan ciri
Karsinoma nasofaring.
2. Unknown Primary Cancer
Prosedur ini dapat langsung dikerjakan pada :
• Penderita anak
• Penderita dengan keadaan umum kurang baik
• Keadaan trismus sehingga nasofaring tidak dapat diperiksa.
• Penderita yang tidak kooperatif
• Penderita yang laringnya terlampau sensitive

Biopsi Kelenjar Leher

Pembesaran kelenjar leher yang diduga keras sebagai metastasis tumor


ganas nasofaring yaitu, internal jugular chain superior, posterior cervical
triangle node, dan supraclavicular. Yang mungkin dilakukan adalah biopsi
aspirasi jarum halus (FNAB) (Komite Nasional Penanggulangan Kanker,
2015).

VIII. Tatalaksana

Menurut KPKN (2015) terapi Karsinoma nasofaring dapat mencakup


radiasi, kemoterapi, kombinasi keduanya, dan didukung dengan terapi
simptomatik sesuai dengan gejala.

Radioterapi

Radioterapi sebagai pengobatan terpilih yang berdiri sendiri pada


Karsinoma nasofaring telah diakui sejak lama dan banyak dilakukan di
berbagai sentra dunia. Radiasi diberikan kepada seluruh stadium (I, II, III, IV
lokal) tanpa metastasis jauh (M1) degan sasaran radiasi tumor primer dan KGB
leher dan supraklavikula.

Radiasi dapat diberikan dalam bentuk:

7
 Radiasi eksterna yang mencakup tumor bed (nasofaring) beserta kelenjar
getah bening leher, dengan dosis 66 Gy pada T1-2 atau 70 Gy pada T3-4;
disertai penyinaran kelenjar supraklavikula dengan dosis 50 Gy.
 Radiasi intrakaviter sebagai radiasi booster pada tumor primer diberikan
dengan dosis (4x3 Gy), sehari 2x
 Bila diperlukan booster pada kelenjar getah bening diberikan penyinaran
dengan elektron.

Radiasi bertujuan paliatif diberikan pada stadium IV dengan metastasis


tulang atau otak.

Kemoterapi

Kombinasi radiokemoterapi sebagai radiosensitizer terutama diberikan


pada pasien dengan T3-T4 dan N2-N3. Kemoterapi sebagai radiosensitizer
diberikan preparat platinum based 30-40 mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap
minggu sekali 2,5 sampai 3 jam sebelum dilakukan radiasi.

Obat-obatan Simptomatik

Keluhan yang biasa timbul saat sedang diradiasi terutama adalah akibat
reaksi akut pada mukosa mulut, berupa nyeri untuk mengunyah dan menelan.
Keluhan ini dapat dikurangi dengan obat kumur yang mengandung antiseptik
dan adstringent, (diberikan 3-4 kali sehari). Bila ada tanda- tanda moniliasis,
dapat diberikan antimikotik. Pemberian obat-obat yang mengandung anestesi
lokal dapat mengurangi keluhan nyeri menelan. Sedangkan untuk keluhan
umum, misalnya nausea, anoreksia dan sebagainya dapat diberikan terapi
simptomatik. Radioterapi juga diberikan pada kasus metastasis untuk tulang,
paru, hati, dan otak.

Sedangkan menurut Soepardi dkk (2014), pembagian penatalaksanaan


berdasarkan stadium :

Stadium I : Radioterapi

Stadium II & III : Kemoradiasi

Stadium IV dengan N < 6 cm : Kemoradiasi

Stadium IV dengan N > 6 cm : Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan


kemoradiasi

Pengobatan tambahan dapat berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin,


faktor transfer, interferon, kemoterai, seroterapi, vaksin, dan anti virus. Semua
pengobatan tembahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan kemoterapi
masih tetap terbaik sebagai terapi ajuvan (tambahan).

8
Berbagai macam kombinasi dikembangkan, yang terbaik sampai saaat ini
adalah kombinasi dengan Cis-platinum sebagai inti. Telah dilakukan penelitian
pemberian kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan Cis platinum,
meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi memberikan harapan
kesembuhan lebih baik.

Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral


setiap hati sebelum diberikan radiasu yang bersifat “radiosensitizer”
memperlihatkan hasil yang member harapan akan kesembuhan total pasien
Karsinoma nasofaring.

Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan


yang tidak hilang dengan penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah
penyinaran selesai. Tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang
dibuktikan dengan pemberiksaan radiologic dan serologi, serta tidak ditemukan
adanya metastasis jauh. Tetapi tindakan ini menimbulkan komplikasi yang
berat akibat operasi.

Perawatan paliatif

Perhatian pertama harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi.


Mulut rasa kering disebabkan oleh kerusakan kelenjar liur mayor maupun
minor sewaktu penyinaran. Pasien disarankan untuk makan banyak kuah, selalu
membawa minum, mengunyah bahan asam untuk merangsang sekresi liur.
Gangguan lain adalah mukositis rongga mulut karena jamur, rasa kaku di leher,
sakit kepala, kehilangan nafsu makan, dan kadang muntah atau rasa mual.

Follow-Up

Karsinoma nasofaring mempunyai resiko rekurensi dan follow-up jangka


panjang dibutuhkan. Pasien perlu di follow-up setidaknya 10 tahun setelah
terapi.

IX. Pencegahan
 Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah
dengan resiko tinggi
 Migrasi penduduk dari daerah resiko tinggi ke daerah lain
 Penyuluhan akan kebiasaan hidup yang salah dan tidak sehat
 Mengubah cara memasak makanan untuk mencegah akibat yang timbul
dari bahan-bahan berbahaya
 Meningkatkan keadaan sosial-ekonomi
 Melakuka tes serologic IgA-anti VCA dan Iga anti EA
 Mencegh faktor penyebab (Soepardi dkk, 2014)

9
(Komite Nasional Penanggulangan Kanker, 2015).

10
(Komite Nasional Penanggulangan Kanker, 2015).

11
Daftar Pustaka

Komite Nasional Penanggulangan Kanker (KPKN). 2015. Panduan Nasional


Penanganan Kanker: Kanker Nasofaring. Jakarta: KEMENKES RI. Sumber:
http://kanker.kemkes.go.id/guidelines/PNPKKARSINOMA NASOFARING.pdf

Robbins, S. L., Kumar, V., Cotran, R. S. 2013. Buku Ajar Patologi Robbins, Ed.7,
Vol.2. Jakarta: EGC.

Soepardi, E. A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, R. D. 2014. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Ed. 7. Jakarta: FKUI.

Gambar : http://kankernasofaring.org/wp-content/uploads/2012/05/kanker-
nasofaring.jpg

12

Anda mungkin juga menyukai