Anda di halaman 1dari 29

Apa beda dokter perusahaan dengan dokter klinik biasa?

Dokter Parmin akan melakukan perbaikan langkah-langkah diagnosis penyakit akibat kerja
dan penanganan pertama di tempat kerja, serta melakukan pelaporan penyakit akibat kerja (PAK) di
perusahaan yaitu kasus Covid-19. Sebagai dokter yang pernah mendapat pelatihan HIPERKES, Ia
diberi tugas selain sebagai dokter klinik perusahaan juga sebagai dokter perusahaan. Ia akan
mengevaluasi hasil data di klinik perusahaan terkait banyaknya karyawan yang mengalami kecelakaan
kerja, gangguan paru-paru, muskuloskeletal dan anemi yang cukup tinggi, termasuk memikirkan gizi
karyawan. Ia harus mengaplikasikan Higiene perusahaan, ergonomi, Kesehatan dan Keselamatan
Kerja (K3) standar WHO serta secara spesifik upaya pencegahan dan pengendalian covid-19 di
perusahaan untuk mengintegrasikan mengatasi masalah tersebut. Ada aturan khusus dalam
memberikan keterangan yaitu ketentuan kriteria Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) akibat kerja
sebagai penyakit akibat kerja. Untuk upaya promotif dan preventif pekerja, seorang dokter harus
memahami adanya Paparan

STEP 6

1. Perbedaan dokter perusahaan dengan dokter klinik?

Secara umum, tugas seorang dokter perusahaan dapat dibagi dalam empat ruang
lingkup: medis, teknis lingkungan kerja, teknis administratif, dan lingkungan sosial.

A. MEDIS
a) Program kesehatan di tempat kerja
Fungsi dasar seorang dokter sebagai seorang praktisi kesehatan adalah
untuk menjalankan program pelayanan kesehatan. Untuk seorang dokter
perusahaan, ruang lingkup kerjanya termasuk pemeriksaan kesehatan,
perawatan dan rehabilitasi, serta pencegahan penyakit umum

b) Jalin hubungan dengan tenaga kerja


Seorang dokter perusahaan juga dituntut untuk menampung keluhan tenaga
kerja saat konsultasi kesehatan dan membantu melakukan koreksi
lingkungan apabila diperlukan bersama tim dari disiplin ilmu lain.

B. TEKNIS LINGKUNGAN KERJA


a) Pengukuran
Seorang dokter perusahaan juga harus memiliki pengetahuan tentang alat
ukur dan standar keadaan lingkungan, termasuk diantaranya keadaan iklim,
bising, pencahayaan dan lain-lain. Pengetahuan ini bermanfaat untuk
mengetahui pengaruh lingkungan terhadap kesehatan pekerja. Namun,
seorang dokter perusahaan juga harus mengetahui batas cakupan disiplin
ilmunya dan melakukan konsultasi pada ahli higiene industri untuk melakukan
pengukuran pada keadaan yang lebih spesifik. Pengukuran dapat dilakukan
secara kualitatif dan kuantitatif.

b) Kebersihan dan Sanitasi.


Seorang dokter perusahaan dituntut untuk mengoptimalkan dan memantau
kebersihan serta sanitasi di perusahaan, termasuk di tempat kerja, kantin,
WC, dan pembuangan sampah. Selain itu, usaha kebersihan lain yang harus
dilakukan termasuk pemberantasan insekta – tikus, kampanye kebersihan
perorangan (personal hygiene), dan pemantauan sistem pengolahan
sisa/sampah industri.
c) Penyesuaian kemampuan fisik dan pekerjaan
Seorang dokter perusahaan harus mampu menilai kemampuan fisik seorang
pekerja dan membuat rekomendasi untuk penyesuaian di tempat kerja
pekerja tersebut. Ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kelelahan dan
mengoptimalkan kinerja.

C. TEKNISADMINISTRATIF
Seorang dokter perusahaan berkewajiban untuk memenuhi tugas administratif,
termasuk diantaranya:
a) Pencatatan dan pelaporan medis ke instansi
b) Administrasi rutin bidang kesehatan
c) Perencanaan usaha pengembangan hiperkes di perusahaan.

D. TUGASSOSIAL
Selain tugas-tugas diatas, seorang dokter perusahaan juga memiliki peranan
sosial sebagai Health Educator atau penyuluh kesehatan.  Materi yang harus
disampaikan termasuk gaya hidup sehat, gizi, dan mutu makanan. Seorang
dokter perusahaan juga harus mampu berfungsi sebagai Health Counsellor
(Komunikator) yang menjembatani hubungan antara pekerja dengan pihak
manajerial perusahaan dalam bidang kesehatan. Seorang dokter perusahaan
juga sering dilibatkan dalam tugas kepanitiaan/tim, seperti P2K3, P3K atau
Regu Pemadam Kebakaran.

Sumber : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NO. PER. 03/MEN/1982 PASAL 2

2. Apa saja macam-macam lingkungan kerja?

Secara garis besar, jenis lingkungan kerja terbagi menjadi dua, yaitu (Sedarmayanti,
2001:21):

a. Lingkungan Kerja Fisik 

Lingkungan kerja fisik adalah semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat disekitar
tempat kerja yang dapat mempengaruhi pegawai baik secara langsung maupun
tidak langsung. Lingkungan kerja fisik dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu:

1. Lingkungan kerja yang langsung berhubungan dengan pegawai seperti pusat


kerja, kursi, meja, dan sebagainya. 
2. Lingkungan perantara atau lingkungan umum dapat juga disebut lingkungan
kerja yang mempengaruhi kondisi manusia misalnya temparatur,
kelembaban, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, getaran mekanik, bau
tidak sedap, warna dan lain-lain.

Untuk dapat memperkecil penguruh lingkungan fisik terhadap karyawan, maka


langkah pertama harus mempelajari manusia, baik mengenal fisik dan tingkah
lakunya, kemudian digunakan sebagai dasar memikirkan lingkungan fisik yang
sesuai.

b. Lingkungan Kerja Non Fisik


Lingkungan kerja non fisik adalah semua keadaan yang terjadi yang berkaitan
dengan hubungan kerja, baik hubungan dengan atasan, maupun hubungan dengan
sesama rekan kerja ataupun hubungan dengan bawahan.

Sedarmaynti. 2001. Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja.


Mandar Maju: Bandung.

3. Apa tujuan dan manfaat dari HIPERKES?

Jawab :
TUJUAN HIPERKES
a. Meningkatkan derajat kesehatan karyawan setinggi-tingginya melalui
pencegahan dan penanggulangan penyakit dan kecelakaan akibat kerja
serta pemeliharaan dan peningkatan kesehatan dan gizi karyawan.

b. Meningkatkan produktivitas karyawan dengan memberantas kelelahan


kerja,meningkatkan kegairahan kerja dan memberikan perlindungan kepada
karyawan dan masyarakat sekitarnya terhadap bahaya-bahaya yang
mungkin ditimbulkan oleh perusahaan.

Sumber : Salamatul Afiyah. 2016. Implementasi Kebijakan Hygiene Perusahaan


dan Kesehatan Kerja (HIPERKES). Jurnal Isu Teknologi STT Mandala Vol. 11
No. 1 Juli 2016 – ISSN 1979-4819

4. Apa saja aspek dalam HIPERKES?

1. Pengenalan

§ Melalui Walk Trough Survey/survei pendahuluan

– Nama bagian
– Jumlah pekerja

– Proses produksi / lay out proses

– Bagan perusahaan

– Pengamatan potensi bahaya

– Jenis mesin & peralatan

– Tanda peringatan

– Tata rumah tangga

– Tanggap darurat

– Teknologi pengendalian yang ada, dsb

§ Manfaat:

– Mengetahui secara kualitatif bahaya lingkungan di tempat kerja

– Menentukan lokasi, jenis & metode pengujian yang perlu dilakukan

2. Penilaian

§ Pengukuran

§ Pengambilan sampel

§ Analisis laboratorium

Manfaat, diketahui:

§ Kondisi lingkungan kerja kuantitatif & rinci

§ Hasil perbandingan pengukuran dg standar

§ Perlu tidak teknologi pengendalian


§ Ada tidak korelasi kasus kecelakaan dan penyakit akibat kerja dg lingkungan
kerja

§ Di samping sbg dokumen data di tempat kerja

3. Pengendalian lingkungan kerja

§ Metode teknik

§ Menurunkan tingkat faktor bahaya lingkungan

§ Melindungi pekerja

Sifat:

§ Preventif

§ Represif: tindakan koreksi setelah terjadi dampak lingkungan akibat kerja

5. Apa saja ruang lingkup dari HIPERKES?

RUANG LINGKUP HIPERKES

a. Kesehatan kuratif
b. Kesehatan preventif
c. Pengamanan bahaya oleh proses produksi
d. Penyesuaian alat dan tenaga kerja

Ruang lingkup kegiatan atau aktivitas hygiene industri, mencakup kegiatan


mengantisipasi, mengenal, mengevaluasi, dan mengendalikan.

2) MENGANTISIPASI
Antisipasi merupakan kegiatan untuk memprediksi potensi bahaya dan risiko
di tempat kerja. Tahap awal dalam melakukan atau penerapan hygiene
industri/perusahaan di tempat kerja. Adapun tujuan dari antisipasi adalah :
 Mengetahui potensi bahaya dan risiko lebih dini sebelum muncul menjadi
bahaya dan risiko yang nyata.
 Mempersiapkan tindakan yang perlu sebelum suatu proses dijalankan
atau suatu area dimasuki.
 Meminimalisasi kemungkinan risiko yang terjadi pada saat suatu proses
dijalankan atau suatu area dimasuki.

3) MENGENAL

Mengenal atau rekognisi merupakan serangkaian kegiatan untuk mengenali


suatu bahaya lebih detil dan lebih komprehensif dengan menggunakan
metode yang sistematis sehingga dihasilkan hasil yang objektif dan bisa
dipertanggung-jawabkan. Dalam rekognisi ini kita melakukan pengenalan dan
pengukuran untuk mendapatkan informasi tentang konsentrasi, dosis, ukuran
(partikel), jenis, kandungan atau struktur, dan sifat. Adapun tujuan dari
pengenalan,yaitu :

 Mengetahui karakteristik suatu bahaya secara detil (sifat, kandungan,


efek, severity, pola pajanan, besaran).

 Mengetahui sumber bahaya dan area yang berisiko.

 Mengetahui pekerja yang berisiko.

4) MENGEVALUASI
Pada tahap penilaian/evaluasi lingkungan, dilakukan pengukuran,
pengambilan sampel dan analisis di laboratorium. Melalui penilaian
lingkungan dapat ditentukan kondisi lingkungan kerja secara kuantitatif dan
terinci, serta membandingkan hasil pengukuran dan standar yang berlaku,
sehingga dapat ditentukan perlu atau tidaknya teknologi pengendalian, ada
atau tidaknya korelasi kasus kecelakaan dan penyakit akibat kerja dengan
lingkungannya, serta sekaligus merupakan dokumen data di tempat kerja.
Tujuan dari pengukuran dalam evaluasi, yaitu :
 Untuk mengetahui tingkat risiko.
 Untuk mengetahui pajanan pada pekerja.
 Untuk memenuhi peraturan (legal aspek).
 Untuk mengevaluasi program pengendalian yang sudah dilaksanakan.
 Untuk memastikan apakah suatu area aman untuk dimasuki pekerja.
 Mengetahui jenis dan besaran hazard secara lebih spesifik.

5) PENGENDALIAN
Pengendalian faktor-faktor lingkungan kerja dimaksudkan untuk menciptakan
atau memelihara lingkungan kerja agar tetap sehat dan aman atau memenuhi
persyaratan kesehatan dan norma keselamatan, sehingga tenaga kerja
terbebas dari ancaman gangguan kesehatan dan keamanan atau tenaga
kerja tidak menderita penyakit akibat kerja dan tidak mendapat kecelakaan
kerja. Ada beberapa bentuk pengendalian atau pengontrolan di tempat kerja
yang dapat dilakukan , yaitu :

 Eliminasi : merupakan upaya menghilangkan bahaya dari sumbernya


serta menghentikan semua kegiatan pekerja di daerah yang berpotensi
bahaya.

 Substitusi : Modifikasi proses untuk mengurangi penyebaran debu atau


asap, dan mengurangi bahaya, Pengendalian bahaya kesehatan kerja
dengan mengubah beberapa peralatan proses untuk mengurangi bahaya,
mengubah kondisi fisik bahan baku yang diterima untuk diproses lebih
lanjut agar dapat menghilangkan potensi bahayanya.

 Isolasi : Menghapus sumber paparan bahaya dari lingkungan pekerja


dengan menempatkannya di tempat lain atau menjauhkan lokasi kerja
yang berbahaya dari pekerja lainnya, dan sentralisasi kontrol kamar.

 Engineering control : Pengendalian bahaya dengan melakukan modifikasi


pada faktor lingkungan kerja selain pekerja.

 Administrasi control: Pengendalian bahaya dengan melakukan modifikasi


pada interaksi pekerja dengan lingkungan kerja.

 APD (Alat Pelindung Diri) : langkah terakhir dari hierarki pengendalian.


Sumber : Salamatul Afiyah. 2016. Implementasi Kebijakan Hygiene Perusahaan
dan Kesehatan Kerja (HIPERKES). Jurnal Isu Teknologi STT Mandala Vol. 11
No. 1 Juli 2016 – ISSN 1979-4819

6. Apa saja program dari HIPERKES?

Adapun Jenis-jenis program/kegiatan yang dilaksanakan dalam penyelenggaraan


pelayanan kesehatan kerja meliputi :
B. UPAYA KESEHATAN PROMOTIF
 Pembinaan kesehatan kerja
 Pendidikan dan pelatihan bidang kesehatan kerja
 Perbaikan gizi kerja
 Program olah raga di tempat kerja
 Penerapan ergonomi kerja
 Pembinaan cara hidup sehat
 Program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dan Narkoba di tempat
kerja
 Penyebarluasan informasi kesehatan kerja melalui penyuluhan dan media KIE
(Komunikasi, Informasi dan Edukasi), dengan topik yang relevan.
C. UPAYA KESEHATAN PREVENTIF
 Melakukan penilaian terhadap faktor risiko kesehatan di tempat kerja (health
hazard risk assesment) yang meliputi :
- Identifikasi faktor bahaya kesehatan kerja melalui : pengamatan, walk
through survey, pencatatan/pengumpulan data dan informasi
- Penilaian/pengukuran potensi bahaya kesehatan kerja
- Penetapan tindakan pengendalian faktor bahaya kesehatan pekerja
 Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja (awal, berkala dan khusus)
 Survailans dan analisis PAK dan penyakit umum lainnya
 Pencegahan keracunan makanan bagi tenaga kerja
 Penempatan tenaga kerja sesuai kondisi/status kesehatannya
 Pengendalian bahaya lingkungan kerja
 Penerapan ergonomi kerja
 Penetapan prosedur kerja aman atau Standard Operating Procedure (SOP)
 Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) yang sesuai
 Pengaturan waktu kerja (rotasi, mutasi, pengurangan jam kerja terpapar faktor
risiko dll);
 Program imunisasi
 Program pengendalian binatang penular (vektor) penyakit.
D. UPAYA KESEHATAN KURATIF
 Pengobatan dan perawatan
 Tindakan P3K dan kasus gawat darurat lainnya
 Respon tanggap darurat
 Tindakan operatif,
 Merujuk pasien dll.

E. UPAYA KESEHATAN REHABILITATIF


 Fisio therapi
 Konsultasi psikologis (rehabilitasi mental)
 Orthose dan prothese (pemberian alat bantu misalnya : alat bantu dengar,
tangan/kaki palsu dll)
 Penempatan kembali dan optimalisasi tenaga kerja yang mengalami cacat akibat
kerja disesuaikan dengan kemampuannya.
 Rehabilitasi kerja.

Sumber : Departemen Tenaga Kerja Dan Transmigrasi R.I dan Direktorat Jenderal


Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan. Petunjuk Teknis Penyelenggaraan
Pelayanan Kesehatan Kerja.

7. Apa saja prinsip dan penerapan ergonomi?

PRINSIP

Ergonomi berfokus kepada desain dari suatu sistem dimana manusia bekerja. Semua sistem
kerja tersebut terdiri atas komponen manusia, komponen mesin, dan lingkungan yang saling
berinteraksi antara satu dengan yang lainnya. Fungsi dasar dari ergonomi adalah memenuhi
kebutuhan manusia akan desain kerja yang memberikan keselamatan dan efisiensi kerja bagi
manusia yang bekerja di dalamnya.
PENERAPAN

Penerapan ergonomi dapat dilakukan melalui dua pendekatan (Anies, 2005),


diantaranya sebagai berikut:

a. PENDEKATAN KURATIF
Pendekatan ini dilakukan pada suatu proses yang sudah atau sedang
berlangsung. Kegiatannya berupa intervensi, modifikasi atau perbaikan dari
proses yang telah berjalan. Sasaran dari kegiatan ini adalah kondisi kerja
dan lingkungan kerja. Dalam pelaksanaannya terkait dengan tenaga kerja
dan proses kerja yang sedang berlangsung.

b. PENDEKATAN KONSEPTUAL
Pendekatan ini dikenal sebagai pendekatan sistem dan akan sangat efektif
dan efisien jika dilakukan pada saat perencanaan. Jika terkait dengan
teknologi, sejak proses pemilihan dan alih teknologi, prinsip-prinsip ergonomi
telah diterapkan. Penerapannya bersama-sama dengan kajian lain, misalnya
kajian teknis, ekonomi, sosial budaya dan lingkungan. Pendekatan holistik
inidikenal dengan pendekatan teknologi tepat guna

Aplikasi ergonomi dapat dilaksanakan dengan prinsip pemecahan masalah. Pertama,


melakukan identifikasi masalah yang sedang dihadapi dengan mengumpulkan sebanyak
mungkin informasi. Kedua, menentukan prioritas masalah dan masalah yang paling
mencolok harus ditangani lebih dahulu. Kemudian dilakukan analisis untuk menentukan
alternatif intervensi.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penerapan ergonomi (Anies, 2005) :

a. Kondisi fisik, mental dan sosial harus diusahakan sebaik mungkin sehingga
didapatkan tenaga kerja yang sehat dan produktif.
b. Kemampuan jasmani dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan
antropometri, lingkup gerak sendi dan kekuatan otot.
c. Lingkungan kerja harus memberikan ruang gerak secukupnya bagi tubuh dan
anggota tubuh sehingga dapat bergerak secara leluasa dan efisien.
d. Pembebanan kerja fisik dimana selama bekerja peredaran darah meningkat
10- 20 kali. Meningkatnya peredaran darah pada otot-otot yang bekerja
memaksa jantung untuk memompa darah lebih banyak.
e. Sikap tubuh dalam bekerja. Sikap tubuh dalam bekerja berhubungan dengan
tempat duduk, meja kerja dan luas pandangan. Untuk merencanakan tempat
kerja dan perlengkapan yang dipergunakan, diperlukan ukuran-ukuran tubuh
yang menjamin sikap tubuh paling alamiah dan memungkinkan dilakukan
gerakan-gerakan yang dibutuhkan.

Bridger RS. 1995. Introduction to Ergonomic. McGraw-Hill

Grandjean E. 1987.Fitting the task to the man. Taylor & France

Pulat, BM. 1992. Fundamental of Industrial Ergonomics. Waveland

8. Apa saja strategi untuk ergonomi K3?

9. Apa saja tujuan dari kesehatan dan keselamatan kerja?

Tujuan dari keselamatan dan kesehatan kerja antara lain :

 Melindungi tenaga kerja atas hak dan keselamatannya dalam


melakukan pekerjaannya untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan
kinerja.

 Menjamin keselamatan orang lain yang berada di tempat kerja.

 Sumber produksi dipelihara dan dipergunakan secara aman dan efisien.

Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja R.I. No. Kep. 463/MEN/1993, tujuan dari
keselamatan dan kesehatan kerja adalah mewujudkan masyarakat dan lingkungan kerja
yang aman, sehat dan sejahtera, sehingga akan tercapai ; suasana lingkungan kerja
yang aman, sehat, dan nyaman dengan keadaan tenaga kerja yang sehat fisik, mental,
sosial, dan bebas kecelakaan.
10. Apa saja faktor-faktor yg mempengaruhi kesehatan dan keselamatan kerja?

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESEHATAN KERJA


Faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan kerja di perusahaan, adalah :
a. Tenaga kerja merupakan sumber daya yang sangat menentukan. Tenaga
kerja yang sehat akan mudah diarahkan menjadi sumber daya yang efisien,
efektif dan produktif. Sedangkan tenaga kerja yang sakit akan menghambat
proses produksi.
b. Pekerjaan atau lingkungan kerja dapat menyebabkan gangguan kesehatan,
penyakit dan kecelakaan kerja. Hal ini baru dapat dicegah bila kesehatan
kerja dapat diintensifkan di dalam lingkungan perusahaan.
c. Kegiatan perusahaan mulai dari proses produksi sampai dengan pemasaran
hasil produksi mungkin sekali dapat menimbulkan efek negatif kepada
tenaga kerja, maka perlu sekali pernanan kesehatan kerja dalam upaya turut
menanggulangi bahaya tersebut.

11. Apa contoh penyebab penyakit akibat kerja dan kecelakaan akibat kerja?

Penyakit akibat kerja adalah setiap penyakit yang disebabkan oleh pajanan
lingkungan kerja. Lingkungan kerja adalah kondisi sekitar pekerja atau karyawan
terbuka maupun tertutup, baik di dalam ruangan maupun di lapangan. Pajanan
sumber bahaya yang berasal dari lingkungan kerja bisa bersumber dari faktor
fisik, kimia, biologis dan ergonomi psikologi.
A. FAKTOR FISIK.
Faktor fisik lingkungan kerja terdiri dari kebisingan, getaran pencahayaan,
radiasi, tekanan udara dan iklim kerja.
a) Kebisingan.
Kebisingan adalah suara yang tidak dikehendaki Pada tingkat intensitas
suara yang tinggi, pemaparan bising yang berulang dan menahun akan
menyebabkan tuli syaraf (sensory neural deafness) yang sulit/ tidak dapat
disembuhkan. Kebisingan tingkat tinggi dapat menyebabkan efek jangka
pendek dan jangka panjang pada pendengaran. Kebisingan dengan
intensitas tinggi dapat menyebabkan : hilangnya pendengaran, sementara
atau permanen, pusing, kantuk, tekanan darah tinggi, tegang dan stress,
yang diikuti oleh sakit maag, kesulitan tidur dan sakit jantung, hilangnya
konsentrasi, alarm atau teriakan peringatan tidak terdengar.

Tingkat kerusakan pada telinga dapat diukur dengan tes pendengaran


yang disebut “audiogram”. Kehilangan pendengaran pada batas suara
percakapan manusia (antara 2000 sampai 4000 Hertz) dapat terjadi
secara temporer atau permanen.

Noise Induced Hearing Loss (NIHL) umumnya terjadi setelah 10 tahun


atau lebih. NIHL biasanya terjadi secara perlahan-lahan sehingga
penderita biasanya tidak menyadari bahwa dirinya telah menderita
ketulian. Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya ketulian
permanenen akibat kebisingan faktor tersebut adalah : tingkat intensitas
suara (sound pressure level), lamanya pemaparan (duration of exposure)
dan spectrum atau komposisi frekuensi, pola pemaparan (temporal atau
intermitten), kerentanan individu ( individual susceptibility).

b) Getaran.
Getaran yang dimaksud pada bab ini adalah getaran yang bersumber dari
penggunaan alat-alat mekanis dan sebagian dari kekuatan mekanis ini
disalurkan kepada tubuh karyawan dalam bentuk getaran mekanis. Efek
mekanis ini menyebabkan sel-sel jariangan dapat rusak atau
metabolismenya terganggu. Efek mekanis yang ditimbulkan dapat
dikategorikan menjadi 2 yaitu:
 Whole body vibration
 Segmented vibration/ hand arm vibration.
Pemaparan yang menahun terhadap getaran seluruh tubuh (Whole Body
Vibration) dapat menyebabkan perubahan-perubahan pada struktur tulang
(osteoarthritis) pada sendi-sendi tulang belakang, gangguan pencernaan
(sekresi dan motilitas), prostatitis, perubahan-perubahan pada kecepatan
konduksi syaraf (nerve conduction velocity), motion sickness dan getaran ini
pada frekuensi 60 -90 Hertz (frekuensi resonansi bola mata) akan menyebabkan
gangguan penglihatan.

Getaran setempat (tool hands vibration/ segmented vibration) sering dialami oleh
para operator chain saw, chipping hammer, dan pneumatic tool. Pemaparan
pada getaran ini pada frekuensi yang rendah (40 Hz) dapat menyebabkan
kerusakan pada tulang-tulang persendian bahu dan siku. Pada frekuensi antara
40 dan 300 Hz, penggunaan alat-alat (vibration hands tool) terutama chain saw
di tempat-tempat kerja yang dingin akan menyebabkan penyempitan pada
pembuluh darah yang dikenal sebagai Dead Head : Vibration White Finger
(VWF) atau Traumatic Vasopatic Disease. Penyakit ini ditandai dengang gejala-
gejala misalnya hilang kontrol otot, menurunnya kepekaan terhadap suhu dan
rasa sakit serta terjadinya borok pada ujung-ujung jari. Pada stadium lanjut
pemaparan terhadap segmental vibration dapat menimbulkan cacat pada tangan
yang permanen (permanen dissability). Efek –efek lain pada getaran ini yang
sering pula ditemukan pada pemaparan yang menahun adalah tenosynovitis,
terbentuknya kista-kista pada tulang pergelangan tangan, menurunnya kekuatan
menggenggam (grips strengh) dan dupuytren’s contractures.

c) Radiasi.
Radiasi adalah energi yang ditransmisikan, dikeluarkan aau diabsorbsi
dalam bentuk partikel berenergi atau gelombang elektromagnetik. Radiasi
yang berada di lingkungan kerja serta dapat mengganggu pelaksanaan
pekerjaan terdiri dari :
 Radiasi elektromagnetik
Radiasi elektromagnetik yaitu gelombang mikro (microwaves), radiasi
laser, radiasi panas, sinar infra merah, sinar ultra violet, (sinar ungu)
dan sinar X (Ro) dan sinar gama
 Radiasi radioaktif.
Radiasi radioaktif, yaitu radiasi atau sinar dari zat radioaktif.
 Radiasi ultraviolet.
Mata merupakan organ tubuh yang paling peka terhadap radiasi
ultraviolet. Pada mata, pemaparan radiasi ultraviolet dapat
menyebabkan peradangan pada kornea (fotokeratitis) dan selaput
mata konjunctivitis. Pada kulit, radiasi ultraviolet dapat menyebabkan
luka bakar (skin burn/ sun burn), solar elatosis, (hipo/hiper)
pigmentasi.
 Radiasi infra merah.
Pengaruh radiasi inframerah terutama adalah pada mata dan kulit.
Radiasi ini dapat menyebabkan denaturasi protein lensa mata
(katarak), setelah pemaparan 10-15 tahun pada intensitas 0.08- 0,4
w/cm². Pada kulit pemaparan radiasi inframerah akan menyebabkan
vasodilatasi dan perubahan pigmentasi kulit (hipo/hiper) pigmentasi.
Luka bakar pada kulit dapat terjadi bila suhu kuli meningkat sampai 45
ºC.
 Radiasi sinar tampak (visible light).
Radiasi elektromagnetik ini relatif kurang berbahaya karena mata kita
dapat mendeteksinya sehingga pada pemaparan cahaya yang sangat
kuat, secara gerak refleks pupil akan menyempit dan kelopak mata
akan menutup. Pada intensitas yang sangat tinggi, visible light ini akan
menyebabkan kebutaan (flash blindness) yang sifatnya irreversible.
 Radiasi gelombang mikro (microwafe).
Pada pemaparan radiasi gelombang mikro, kerusakan-kerusakan
organ-organ tubuh terutama disebabkan oleh efek termis radiasi ini.
Pada mata radiasi ini dapat menyebabkan katarak. Pada sistem
reproduksi, gelombang mikro (pada intensitas pemaparan yang sangat
tinggi) dapat menyebabkan degenerasi sel-sel tubulus seminiferus dan
kemandulan yang sifatnya tidk dapat pulih lagi ( reversible). Pada
pemaparan yang berulang dan menahun (10-20) tahun, gelombang
mikro dapat menyebabkan gangguan – gangguan neurologis,
fisiologis dan perilaku dengan tanda-tanda dangejala-gejala klinis
misalnyasakit kepala, mudah tersinggung/ marah, nafsu makan
berkurang, depresi, hipotensi, sering berkeringat, bradikardi dan kadar
histamin dalam darah meningkat.
 Radiasi ionisasi.
Pengaruh radiasi ionisasi terutama adalah pada sel-sel darah dan
limfosit. Baik sel darah maupun sel limfosit merupakan sel darah yang
paling radiosensitif. Sel-sel tubuh lainnya yangjuga peka terhadap
radiasi ini berturut-turut adalah sel-sel epitel testis (basal cells), usus,
endhothelium, tubulus ginjal, tulang syaraf, otak dan otot. Pada dosis
yangtinggi, pemaparan radiasi ini akan menyebabkan acute radiation
syndrome dengan gejala-gejala klinis yaitu anorexia (nafsu makan
kurang), mual, muntah dan badan lemah. Pada dosis rendah
pemaparan radiasi ini akan menyebabkan katarak lensa mata dan
kemandulan

d) Tekanan udara.
Bahaya tekanan udara ada dua, yaitu tekanan udara tinggi (hiperbarik
exposure) dan tekanan udara rendah (hipobarik exposure).

Tekanan udara tinggi (Hiperbarik Exposure). Tekanan udara yang terlalu


tinggi dapat berbahaya bagi kesehatan tenaga kerja. Tekanan udara yang
tinggi ditemui di bawah laut. Pekerja yang sering terpapar oleh tekanan
udara tinggi ini adalah penyelam mutiara, penggali tambang di bawah
tanah (confined space). Semakin dalam dari permukaan laut maka
tekanan udara semakin tinggi. Akibat tekanan udara yang meningkat
akan menyebabkan terjadinya compresion sickness.

Gejala sesuai dengan peningkatan tekanan udara. Gejala tersebut dibagi


menurut penyebab primer dan sekunder. Primer oleh karena tekanan
atau yang dinamakan barosinusitis. Barosinusitis bisa berupa:
barodontolgia, barotitis (telinga), atelektatis (paru). Sedangkan gejala
sekunder berupa keracunan oksigen keracunan nitrogen dan
decompresion sickness.

Keracunan oksigen (pada tekanan 2 atm), menyebabkan: gangguan


penglihatan, gangguan akustik konvulsi (kejang), konstruksi otot
(terutama otot muka), vertigo, mual, kejang dan eplipetis. Keracunan
Nitrogen (N2 Narkosis). Hal ini dapat terjadi karena peningkatan tekanan
udara maka gas Nitrogen dalam tubuh akan berubah menjadi cair dan
akan trerlarut dalam darah,shingga akan dapat terjadi keracunan
Nitrogen. Oleh karena Nitrogen ini bersifat narkosis (membius), maka
akan timbul gejala-gejala seperti orang terbius (euforia, kemampuan kerja
menurun, terjadi pada ketinggian 4 atm atau 100 kaki di bawah
permukaan laut.

Decompresion Sickness. Decompresion sickness adalah penurunan


tekanan mendadak dari tekanan udara tinggi ke keadaan tekanan udara
rendah. Hal ini dapat terjadi pada penuelam mutiara tradisional, yang tak
memakai peralatan menyelam untuk membantu pernafasan selama
berada di bawah air, sehingga mereka harus cepat-cepat muncul ke
permukaan. Perubahan tekanan mendadak dari tekanan tinggi ke
tekanan rendah menyebabkan terjadinya perubahan wujud dari zat
yangada dalam darah kita, yang semula berada dalam bentuk cair karena
menyelam, kembali ke dalam bentuk gas (gelembung gas). Pembentukan
gelembunggas tergantung pada : jumlah gas terlarut (sesuai dengan
tekanan udara/ kedalaman) serta cepatnya waktu naik (waktu
dekompresi). Akibat dekompresi akan muncul gejala chokes (nyeri sub
strenal, diikuti batukbatuk paroxymal dan shock, bends (nyeri sendi,
tulang, otot, yangterjadi kira-kira 4-6 jam setelah selesai menyelam/
sudah didaratan), lumpuh (paraplegia, monoplegia), kerusakan otak dan
nekrosis tulang,

Tekanan udara rendah (hipobarik exposure). Dengan meningkatnya


ketinggian, maka akan terjadi konversi energi oleh karena paparan udara
dingin (9,8 ºC/km ketinggian), intensitas radiasi sinar UV meningkat di
daratan setinggi laut, sinar UV diserap oleh bumi, tekanan atmosfer yang
menurun akan menyebabkan masalah fisiologis oleh karena 2 hal yang
berhubungan yaitu jumlah molekul O2 / unit volume turun dan tekanan
parsia O2 yang menurun. Sama halnya di daerah dengan tekanan udara
tinggi, pekerjaan yang dilakukan di daerah dengan tekanan udara rendah
juga mempertimbangkan kapasitas kerja. Kapasitas kerja tergantung
pada oksidasi bahan makanan untuk menghasilkan energi otot. Beban
kerja di daerah tinggi membutuhkan oksigen yang sama jika dilakukan
pada tekanan 1 atm. Agar pekerjaan dapat berlangsung dengan baik,
maka molekul oksigen dapat mencapai sel-sel otot secara kontinyu.
Sebagai contoh pada ketinggian 5500 m, tekanan partial oksigen turun
hingga 50 %, sebagai kompensasinya akan menyebabkan respiratori dan
kardiovaskuler meningkat.

Kapasitas kerja di ketinggian tergantung dari: 1) ketinggian (low,


moderate, high) dan 2) lama waktu pajanan. Performace fisik relatif turun
dan aklimatisasi cepat terjadi pada low altitude (1000-2000 m di atas
permukaan air laut). Sedangkan pada moderete altitude (2000-3000 m di
atas permukaan laut), masih jarang penelitian. Pada high altitude (lebih
3000 m di atas permukaan air laut) terutama pada ketinggian 3500 m di
atas permukaan air laut, terjadi reaksi sistem syaraf pada paparan awal
sehingga menimbulkan gejala: altitude sickness dan kinerja menurun.

Lama waktu papar akut dan kronis. Akut, kapasitas kerja menurun
(tergantung dari faktor individu dan waktu naik, pada 3500 m di atas
permukaan laut terjadi hypoxia dan kronis. Pada beberapa minggu
aklimatisasi mulai terjadi, tetapi kinerja dan kapasitas masih kurang.
Indikasi terjadi aklimatisasi jika kapasitas fifik kembali normal. Iklim kerja.
Temperatur ekstrim di tempat kerja sangat mempengaruhi kesehatan
pekerja. Temperatur Disebabkan pemaparan panas yang sangat ekstrim.
Penyakit karena terpapar tekanan panas yaitu berupa heat stroke, heat
cramps, heat hyperpyrexia, heat rash dan heat syncope.
 Heat Stroke.
Heat stroke jarang terjadi dalam industri, namun bila terjadi sangat
hebat, biasanya yang terkena adalah laki-laki, belum teraklimatisasi.
Penyebab kegagalan pengatur suhu tubuh.Tanda dan gejala kulit
kering, panas, suhu meningkat hingga 45,5 ºC, kesadaran turun, bila
pengobatan terlambat penderita meninggal.
 Heat Cramps.
Penyebab heat cramps antara lain tubuh kehilangan cairan garam
akibat keringat yang berlebihan, terjadinya pengenceran cairan
elektrolit. Tanda dan gejala kejang pada otot lengan, tungkai bawah,
abdomen pada saat sehabis kerja
 Heat Hyperpyrexia.
Penyebab :kegagalan (partial failure) pusat pengatur suhu tubuh.
Tanda & gejala suhu tubuh tdk terlalu tinggi seperti pada heat stroke,
kelainan otak tidak begitu berat dan penderita masih dapat
berkeringat.
 Heat Rash.
Penyebab penyumbatan saluran kelenjar keringat oleh keringat dan
kelenjar tersebut meradang/ inflamasi. Gejala timbul vesikula
berwarna kemerahan pada kulit dan biasanya pada daerah punggung,
keher dan dada
 Heat Exhaustion.
Penyebabnya adalah dehidrasi akibat defisiensi air atau garam (NaCl),
menurunnya volume darah, gangguan sirkulasi darah ke organ-organ
tubuh sbg akibat meningkatnya aliran darah ke tubuh. Gejala lelah,
mual, denyut meningkat, dingin, pucat, suhu oral normal atau turun,
suhu rectal naik 37-38 derajat C.
 Heat Syncope.
Penyebabnya penimbunan darah di pembuluhpembuluh darah kulit
bagian bawah. Gejala/ tanda : Pingsan saat penderita berdiri tegap
dan tidak bergerak di bawah sinar matahari Faktor Kimia. Penyakit
akibat kerja oleh karena faktor kimia ini lebih jelasnya akan dibahas
pada sub bab toksikologi.

B. FAKTOR BIOLOGI.
Penyakit akibat kerja faktor biologis disebabkan oleh virus, bakteria, protozoa,
jamur, cacing, kutu, pinjal bahkan mungkin pula hewan atau tumbuhan besar.
Penyakit oleh karena virus yaitu FAMD, Foot And Mouth Disease, penyakit
mulut dan kuku yang banyak menyerang pada peternak. Sporotrichosis
adalah salah satu contoh penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh jamur.
Candida albicans adalah penyakit yang biasanya menyerang pekerja yang
berada pada daerah lembab. Parasit cacing misalnya Ancylostoma banyak
menyerang pekerja pertambangan.
C. FAKTOR FISIOLOGI-ERGONOMI.
Penyakit akibat kerja oleh karena penerpana ergonomis yang tida memadai
dapat dikelompokan menjadi dua yaitu yang terjadi karena akumulasi jangka
panjang dan terjadi secara mendadak. Beberapa diantaranya adalah
tendonitis, carpal tunnel syndrome, tennis elbow,neck and back injuries,
strains /sprains, bursitis, thoracic outlet syndrome dan trigger finger.

D. FAKTOR PSIKOLOGI.
Bahaya yang bersumber dari lingkungan kerja biologis ini berupa berupa
interaksi antara manusia atau karyawan dengan pekerjaan, interaksi antara
karyawan dengan karyawan dan interaksi antara karyawan dengan atasan.
Interaksi antara karyawan dan pekerjaannya, yang sering menjadi sumber
tekanan psikis berupa:
a) Pengaturan jam kerja dan jam istirahat
b) Beban atau volume pekerjaan
c) Pajanan lingkungan kerja
d) Tanggung jawab
e) Budaya organisasi
f) Kerja monoton

Pengaturan jam kerja dan jam istirahat.

Jam kerja perlu diatur sesuai dengan kemampuan manusia bekerja. Rata-rata jam
kerja normal adalah 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. Apabila melebihi jam ini
maka dihitung sebagai kerja lembur. Pekerja yang melaksanakan kerja lembur harus
diberikan kompensasi sesuai dengan haknya. Kerja dengan shift malam juga perlu
diberi perhatian kaitannya dengan kemampuan fisiologisnya. Pekerja shift malam
harus cukup istirahat dan diatur pergantian shift yang baik sehingga meminimalkan
terjadinya kelelahan kerja.

Beban atau volume pekerjaan.

Beban kerja atau volume pekerjaan harus diatur sesuai dengan kapasitas kerja
karyawan. Beban kerja terlalu besar daripada kapasitas kerja (overload) akan
menimbulkan performa kerja yang tidak baik, sedangkan beban kerja yang kurang
menyebabkan rendahnya motivasi kerja.

Pajanan lingkungan kerja.

Lingkungan kerja yang telah diceritakan pada sub lainnya dapat memberikan
pengaruh secara tidak langsung terhadap kondisi psikis karyawan. Kondisi bising,
menyebabkan sulit fokus pada pekerjaan, sehingga pekerjaan yang mudah tidak
diselesaikan sesuai dengan target.

Tanggung jawab.

Setiap karyawan memiliki tanggung jawab pada pekerjaan Seringkali dalam


pelaksanaannya target harus dicapai dengan waktu penyelesaian yang singkat.
Semakin tinggi posisi jabatan karyawan menuntut tanggung jawab yang besar.

Budaya organisasi.

Organisasi yang menerapkan suasana kerja kekerluargaan lebih memberikan


kenyamanan bekerja dibandingkan dengan tempat kerja yang kaku. Kondisi kerja
seperti ini akan memacu karyawan dalam berprestasi dan mengurangi risiko stres
kerja.

Kerja monoton.

Kerja monoton dapat menimbulkan kebosanan, pada akhirnya produktifitas turun.

12. Bagaimana upaya promotif dan preventif bagi pekerja untuk mencegah covid?

PROMOTIF PREVENTIF
Panduan pencegahan penularan Covid-19 secara rinci antara lain :
A. SELAMA PSBB BAGI TEMPAT KERJA
a) Kebijakan Manajemen dalam Pencegahan Penularan Covid-19
 Pihak manajemen agar senantiasa memantau dan memperbaharui
perkembangan informasi tentang COVID19 di wilayahnya. (Secara
berkala dapat diakses di http://infeksiemerging.kemkes.go.id. dan
kebijakan Pemerintah Daerah setempat).
 Pembentukan Tim Penanganan Covid-19 di tempat kerja yang terdiri
dari Pimpinan, bagian kepegawaian, bagian K3 dan petugas
Kesehatan yang diperkuat dengan Surat Keputusan dari Pimpinan
Tempat Kerja.
 Pimpinan atau pemberi kerja memberikan kebijakan dan prosedur
untuk pekerja melaporkan setiap ada kasus dicurigai Covid-19 (gejala
demam atau batuk/pilek/nyeri tenggorokan/sesak nafas) untuk
dilakukan pemantauan oleh petugas kesehatan.
 Tidak memperlakukan kasus positif sebagai suatu stigma.
 Pengaturan bekerja dari rumah (work from home).
Menentukan pekerja esensial yang perlu tetap bekerja/datang ke
tempat kerja dan pekerja yang dapat melakukan pekerjaan dari rumah.

b) Jika ada pekerja esensial yang harus tetap bekerja selama PSBB
berlangsung:
 Di pintu masuk tempat kerja lakukan pengukuran suhu dengan
menggunakan thermogun, dan sebelum masuk kerja terapkan Self
Assessment Risiko Covid-19 untuk memastikan pekerja yang akan
masuk kerja dalam kondisi tidak terjangkit Covid-19.
 Pengaturan waktu kerja tidak terlalu panjang (lembur) yang akan
mengakibatkan pekerja kekurangan waktu untuk beristirahat yang
dapat menyebabkan penurunan sistem kekebalan/imunitas tubuh.
 Untuk pekerja shift :
a. Jika memungkinkan tiadakan shift 3 (waktu kerja yang dimulai pada
malam hingga pagi hari)
b. Bagi pekerja shift 3 atur agar yang bekerja terutama pekerja berusia
kurang dari 50 tahun.
 Mewajibkan pekerja menggunakan masker sejak perjalanan dari/ke
rumah, dan selama di tempat kerja.
 Mengatur asupan nutrisi makanan yang diberikan oleh tempat kerja,
pilih buah-buahan yang banyak mengandung vitamin C seperti jeruk,
jambu, dan sebagainya untuk membantu mempertahankan daya tahan
tubuh. Jika memungkinkan pekerja dapat diberikan suplemen vitamin
C.
 Memfasilitasi tempat kerja yang aman dan sehat
- Higiene dan sanitasi lingkungan kerja
Memastikan seluruh area kerja bersih dan higienis dengan
melakukan pembersihan secara berkala menggunakan pembersih
dan desinfektan yang sesuai (setiap 4 jam sekali). Terutama
pegangan pintu dan tangga, tombol lift, peralatan kantor yang
digunakan bersama, area dan fasilitas umum lainya.
- Menjaga kualitas udara tempat kerja dengan mengoptimalkan
sirkulasi udara dan sinar matahari masuk ruangan kerja,
pembersihan filter AC.
- Sarana cuci tangan
Menyediakan lebih banyak sarana cuci tangan (sabun dan air
mengalir).
Memberikan petunjuk lokasi sarana cuci tangan
Memasang poster edukasi cara mencuci tangan yang benar.
Menyediakan handsanitizer dengan konsentrasi alkohol minimal
70% di tempat-tempat yang diperlukan (seperti pintu masuk,
ruang meeting, pintu lift, dll)

c) Physical Distancing dalam semua aktifitas kerja. Pengaturan jarak antar


pekerja minimal 1 meter pada setiap aktifitas kerja (pengaturan meja
kerja/workstation, pengaturan kursi saat di kantin, dll).
d) Mengkampanyekan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) melalui
Pola Hidup Sehat dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di tempat
kerja sebagai berikut:
 Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) Mendorong pekerja mencuci
tangan saat tiba di tempat kerja, sebelum makan, setelah kontak
dengan pelanggan/pertemuan dengan orang lain, setelah dari kamar
mandi, setelah memegang benda yang kemungkinan terkontaminasi.
 Etika batuk Membudayakan etika batuk (tutup mulut dan hidung
dengan lengan atas bagian dalam) dan jika menggunakan tisu untuk
menutup batuk dan pilek, buang tisu bekas ke tempat sampah yang
tertutup dan cuci tangan dengan sabun dan air mengalir setelahnya.
 Olahraga bersama sebelum kerja dengan tetap menjaga jarak aman,
dan anjuran berjemur matahari saat jam istirahat.
 Makan makanan dengan gizi seimbang
 Hindari penggunaan alat pribadi secara bersama seperti alat sholat,
alat makan, dan lain lain.

B. SOSIALISASI DAN EDUKASI PEKERJA MENGENAI COVID-19


a) Edukasi dilakukan secara intensif kepada seluruh pekerja dan keluarga agar
memberikan pemahaman yang benar terkait masalah pandemi Covid-19,
sehingga pekerja mendapatkan pengetahuan untuk secara mandiri
melakukan tindakan preventif dan promotif guna mencegah penularan
penyakit, serta mengurangi kecemasan berlebihan akibat informasi tidak
benar.
b) Materi edukasi yang dapat diberikan:
 Penyebab COVID-19 dan cara pencegahannya
 Mengenali gejala awal penyakit dan tindakan yang harus dilakukan saat
gejala timbul.
 Praktek PHBS seperti praktek mencuci tangan yang benar, etika batuk
 Alur pelaporan dan pemeriksaan bila didapatkan kecurigaan
 Metode edukasi yang dapat dilakukan: pemasangan banner, pamphlet,
majalah dinding, dll di area strategis yang mudah dilihat setiap pekerja
seperti di pintu masuk, area makan/kantin, area istirahat, tangga serta
media audio & video yang disiarkan secara berulang. SMS/whats up
blast ke semua pekerja secara berkala untuk mengingatkan.
 Materi edukasi dapat diakses pada www.covid19.go.id.
Sumber : KEMENTRIAN KESEHATAN. PENCEGAHAN COVID-19 DI TEMPAT KERJA
ERA NEW NORMAL

UU

UNDANG-UNDANG K3

a. Undang-Undang Uap Tahun 1930 (Stoom Ordonnantie).


b. Undang-Undang No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
c. Undang-Undang Republik Indonesia No 13 Tahun 203 tentang
Ketenagakerjaan.

PERATURAN PEMERINTAH TERKAIT K3

a. Peraturan Uap Tahun 1930 (Stoom Verordening).


b. Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran,
Penyimpanan dan Peredaran Pestisida.
c. peraturan Pemerintah No 19 Tahun 1973 tentang Pengaturan dan Pengawasan
Keselamatan Kerja di Bidang Pertambangan.
d. Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 1979 tentang keselamatan Kerja Pada
Pemurnian dan Pengolahan Minyak dan Gas Bumi.

PERATURAN MENTERI TERKAIT K3

a. Permenakertranskop RI No 1 Tahun 1976 tentang Kewajiban Latihan Hiperkes


Bagi Dokter Perusahaan.
b. Permenakertrans RI No 1 Tahun 1978 tentang Keselamatan dan Kesehatan
Kerja dalam Pengangkutan dan Penebangan Kayu.
c. Permenakertrans RI No 3 Tahun 1978 tentang Penunjukan dan Wewenang
Serta Kewajiban Pegawai Pengawas Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan
Ahli Keselamatan Kerja.
d. Permenakertrans RI No 1 Tahun 19879 tentang Kewajiban Latihan Hygienen
Perusahaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja bagi Tenaga Paramedis
Perusahaan.
e. Permenakertrans RI No 1 Tahun 1980 tentang Keselamatan Kerja pada
Konstruksi Bangunan.
f. Permenakertrans RI No 2 Tahun 1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga
Kerja Dalam Penyelenggaraan Keselamatan Kerja.
g. Permenakertrans RI No 4 Tahun 1980 tentang Syarat-syarat Pemasangan dan
Pemeliharaan Alat Pemadam Api Ringan.
h. Permenakertrans RI No 1 Tahun 1981 tentang Kewajiban Melapor Penyakit
Akibat Kerja.
i. Permenakertrans RI No 1 Tahun 1982 tentang Bejana Tekan.
j. Permenakertrans RI No 2 Tahun 1982 tentang Kualifikasi Juru Las.
k. Permenakertrans RI No 3 Tahun 1982 tentang Pelayanan Kesehatan Tenaga
Kerja.
l. Permenaker RI No 2 Tahun 1983 tentang Instalasi Alarm Kebakaran Otomatis.
m. Permenaker RI No 3 Tahun 1985 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Pemakaian Asbes.
n. Permenaker RI No 4 Tahun 1985 tentang Pesawat Tenaga dan Produksi.
o. Permenaker RI No 5 Tahun 1985 tentang Pesawat Angkat dan Angkut.
p. Permenaker RI No 4 Tahun 1987 tentang Panitia Pembina Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Serta Tata Cara Penunjukan Ahli Keselamatan Kerja.
q. Permenaker RI No 1 Tahun 1988 tentang Kualifikasi dan Syarat-syarat
Operator Pesawat Uap.
r. Permenaker RI No 1 Tahun 1989 tentang Kualifikasi dan Syarat-syarat
Operator Keran Angkat.
s. Permenaker RI No 2 Tahun 1989 tentang Pengawasan Instalasi-instalasi
Penyalur Petir.
t. Permenaker RI No 2 Tahun 1992 tentang Tata Cara Penunjukan, Kewajiban
dan Wewenang Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
u. Permenaker RI No 4 Tahun 1995 tentang Perusahaan Jasa Keselamatan dan
Kesehatan Kerja.
v. Permenaker RI No 5 Tahun 1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja.
w. Permenaker RI No 1 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Pemeliharaan
Kesehatan Bagi Tenaga Kerja dengan Manfaat Lebih Dari Paket Jaminan
Pemeliharaan Dasar Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
x. Permenaker RI No 3 Tahun 1998 tentang Tata Cara Pelaporan dan
Pemeriksaan Kecelakaan.
y. Permenaker RI No 4 Tahun 1998 tentang Pengangkatan, Pemberhentian dan
tata Kerja Dokter Penasehat.
z. Permenaker RI No 3 Tahun 1999 tentang Syarat-syarat Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Lift untuk Pengangkutan Orang dan Barang.

KEPUTUSAN MENTERI TERKAIT K3

a. Kepmenaker RI No 155 Tahun 1984 tentang Penyempurnaan keputusan


Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep 125/MEN/82 Tentang
Pembentukan, Susunan dan Tata Kerja Dewan Keselamatan dan Kesehatan
Kerja Nasional, Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Wilayah dan Panitia
Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
b. Keputusan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Pekerjaan Umum RI No
174 Tahun 1986 No 104/KPTS/1986 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja
pada Tempat Kegiatan Konstruksi.
c. Kepmenaker RI No 1135 Tahun 1987 tentang Bendera keselamatan dan
Kesehatan Kerja.
d. Kepmenaker RI No 333 Tahun 1989 tentang Diagnosis dan Pelaporan Penyakit
Akibat Kerja.
e. Kepmenaker RI No 245 Tahun 1990 tentang Hari Keselamatan dan Kesehatan
Kerja Nasional.
f. Kepmenaker RI No 51 Tahun 1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di
Tempat Kerja.
g. Kepmenaker RI No 186 Tahun 1999 tentang Unit Penanggulangan Kebakaran
di Tempat Kerja.
h. Kepmenaker RI No 197 Thun 1999 tentang Pengendalian Bahan Kimia
Berbahaya.
i. Kepmenakertrans RI No 75 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Standar
Nasional Indonesia (SNI) No SNI-04-0225-2000 Mengenai Persyaratan Umum
Instalasi Listrik 2000 (PUIL 2000) di Tempat Kerja.
j. Kepmenakertrans RI No 235 Tahun 2003 tentang Jenis-jenis Pekerjaan yang
Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak.
k. Kepmenakertrnas RI No 68 Tahun 2004 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja.

INSTRUKSI MENTERI TERKAIT K3

a. Instruksi Menteri Tenaga Kerja No 11 Tahun 1997 tentang Pengawasan


Khusus K3 Penanggulangan Kebakaran.
SURAT EDARAN DAN KEPUTUSAN DIRJEN PEMBINAAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL DAN PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN TERKAIT K3

a. Surat keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan


Pengawasan Ketenagakerjaan Departemen Tenaga Kerja RI No 84 Tahun 1998
tentang Cara Pengisian Formulir Laporan dan Analisis Statistik Kecelakaan.
b. Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan
Ketenagakerjaan No 407 Tahun 1999 tentang Persyaratan, Penunjukan, Hak
dan Kewajiban Teknisi Lift.
c. Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan
Ketenagakerjaan No 311 Tahun 2002 tentang Sertifikasi Kompetensi
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Teknisi Listrik

Anda mungkin juga menyukai