DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................. I
PENDAHULUAN..................................................................................................... 1
RANGKUMAN ................................................................................................... 27
RANGKUMAN ................................................................................................... 27
LATIHAN 27
LATIHAN 27
3.1 UMUM28
RANGKUMAN ................................................................................................... 57
RANGKUMAN ................................................................................................... 57
LATIHAN 57
LATIHAN 57
LATIHAN 77
PENUTUP............................................................................................................ 78
LAMPIRAN ........................................................................................................ 84
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Variasi Tipe Longsoran pada jenis gerakan dan jenis material ................ Error!
Bookmark not defined.
Tabel 2. Hubungan antara Jenis Tanah/Batuan terhadap Gerakan Longsoran ..... Error!
Bookmark not defined.
Tabel 3. Perlapisan Atartifikasi Tanah dan Batuan (McGown dan Cook, 1997) .... Error!
Bookmark not defined.
Tabel 4. Plastisitas Mineral Lempung (Attewel, 1976; Lambe & Whitman, 1969) Error!
Bookmark not defined.
Tabel 5.Tingkat keaktifan tipikal untuk berbagai jenis unsur yang terkandung dalam
mineral lempung............................................................. Error! Bookmark not defined.
Tabel 6. Permeabilitas Relatif Mineral Lempung Utama Error! Bookmark not defined.
Tabel 7. Nilai permeabilitas dan laju konsolidasi............ Error! Bookmark not defined.
Tabel 8. Plastisitas Mineral Lempung (Attewel, 1976; Lambe & Whitman, 1969) Error!
Bookmark not defined.
Gambar 9. Perubahan Plastisity Indeks (PI) vs Liquid Limit (LL) untuk tanah Tropis
........................................................................................ Error! Bookmark not defined.
Tabe 10 . Nilai Daya dukung tanah secara umum berdasarkan nilai N-SPT dan DCP
(dutch Cone Penetrometer atau Sondir) ........................ Error! Bookmark not defined.
DAFTAR GAMBAR
1 PENDAHULUAN
Longsoran yang terjadi pada lereng jalan dapat terjadi pada tempat kedudukannya
karena berada pada daerah potensi longsor yang selanjutnya dikenal dengan
longsoran alam serta karena faktor pekerjaan tanah untuk mewujudkan konstruksi
jalan yang stabil didaerah perbukitan (galian dan/atau timbunan) atau pada lereng
timbunan yang dibangun pada daerah tanah bermasalah yang selanjutnya
digolongkan pada longsoran buatan karena hasil dari “man- made”. Kedua kondisi
tersebut bila berdampak pada menurunnya tingkat stabilitas jaringan jalan
tersebut yang dapat mencakup longsoran alam dan longsoran buatan (man-made)
maka dalam penangnannya perlu dilakukan kegiatan yang dimaksud untuk
mengetahui faktor penyebabnya. Dampak longsoran yang menimpa jalan sebagai
prasarana infrastruktur umum juga dapat terjadi pada pada jaringan infrastruktur
lainnya, seperti pengairan dan daerah kawasan pemukiman. Keberhasilan dalam
mengkaji permasalahan longsoran berdasarkan survai pengamatan kondisi
lapangan dan hasil investigasi terhadap kondis lereng diperlukan sebagai data
parameter geoteknik dalam mennetukan jenis penanganan dengan tepat, cepat
dan ekonomis, terutama untuk menanggulangi kerugian-kerugian dalam
pemanfaatan prasarana tersebut oleh masyarakat. Longsoran yang berdampak
pada terganggunya jaringan infrastruktur jalan maka akan mengganggu kelancaran
distribusi barang dan jasa yang juga akan berdampak menghambat pertumbuhan
ekonomi suatu wilayah karena terisolasi disamping mengurangi tingkat
kenyamanan dan keamanan pengguna jalan.
Investigasi terhadap kaitannya dengan curah hujan yang tinggi dan pengaruh
perubahan cuaca akibat pemanasan global juga perlu disertakan dalam kajian yang
terintegrasi, sehingga.dengan demikian maka terjadinya longsoran dapat diatasi:
Beberapa langkah yang dilakukan dalam mengkaji kondisi lereng dilakukan
pengamatan melalui survai dan investigasi sebagai berikut:
Investigasi terhadap jenis tanah dan batuan serta keberadaannya yang merupakan
bagian yang terintegrasi terhadap kajian beberapa kondisi sebagai berikut:
1. Kondisi geologi batuan dasar yang mengalami perubahan karakteristik
propertisnya akibat mengalami degradasi dalam kurun waktu geologi, meliputi:
Modul 2 yang merupakan bagian dari modul Diklat PENANGANAN LONGSOR PADA
STRUKTUR JALAN ini membahas tentang SURVAI LERENG DAN LONGSORAN SERTA
MANAJEMEN LERENG yang meliputi faktor-faktor teknis yang menyebabkan
terjadinya penurunan tingkat kemantapan lereng pada infrastruktur jalan dan
jembatan. Dengan demikian maka Modul 2 pada proses pelatihan ini membahas
dan mengkaji baik melalui pengekatan teori dan praktek yang mencakup diskusi
dan penerapan melalui simulasi pembahasan terhadap tinjauan beberapa kasus
lapangan sehingga ketercapaian peningkatan kompetensi melalui metode
pembelajaran baik secara kognitif maupun psikomotorik.
Materi pokok pada modul 2 ini yang membahas SURVAI LERENG DAN LONGSORAN
SERTA MANAJEMEN LERENG pada modul PENANGANAN LONGSOR PADA
STRUKTUR JALAN yang terdiri dari disamping terdiri dari materi pokok BAB I
PENDAHULUAN juga mencakup BAB II SURVEY LERENG dan LONGSORAN, BAB III
MANAJEMEN LERENG JALAN, BAB IV PENILAIAN DAN PEMBOBOTAN TERHADAP
RESIKO KERUNTUHAN LERENG dan intisari dari Modul 1 yang dituangkan dalam
BAB V. PENUTUP.
Submateri pokok yang dibahas dalam modul 2 ini membahas tujuan dan prosedur
SURVAI LERENG DAN LONGSORAN SERTA MANAJEMEN LERENG yang hasilnya hasil
diharapkan dapat untuk menmbah pengetahuan peserta dalam mengatasi
permasalahan stabilitas lereng untuk infrastruktur jalan dan jembatan yang
dilaksanakan selama mengikuti diklat antara lain:
1) Setelah mengikuti Kegiatan Pembelajaran 1 peserta mampu memahami
pengertian dan ruang Lingkup serta deskripsi cakupan SURVAI LERENG DAN
LONGSORAN SERTA MANAJEMEN LERENG.
2) Setelah mengikuti Kegiatan Pembelajaran 2 peserta mampu merancang
persiapan SURVEY LONGSORAN dan LERENG dalam hubungannya pada
pembangunan infrastruktur Jalan dan Jembatan.
3) Setelah mengikuti Kegiatan Pembelajaran 3 peserta mampu melaksanakan
SURVEY LERENG DAN LONGSORAN SERTA MANAJEMEN LERENG.
Dalam mempelajari modul ini peserta diharapkan dan melakukan hal-hal sebagai
berikut:
1. Peserta membaca dengan saksama setiap bab dan bandingkan dengan modul lain
yang terkait, pedoman, peraturan yang ada dan ketentuan lain yang terkait,
kemudian sesuaikan dengan pengalaman peserta yang telah dialami di lapangan.
2. Jawablah pertanyaan dan latihan, apabila belum dapat menjawab dengan
sempurna, hendaknya peserta mengulang kembali materi yang belum dikuasai.
3. Buatlah rangkuman, buatlah latihan dan diskusikan dengan sesama peserta untuk
memperdalam materi.
2 KEGIATAN BELAJAR 1
SURVEY LERENG DAN LONGSORAN
Indikator Keberhasilan :
Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta mampu memahami tentang survai longsoran
dan hubungannya dengan investigasi untuk mendapatkan data primer dalam
mewujudkan stabilitas lereng, karakteristik dan mekanisme longsoran pada
pembangunan infrastruktur Jalan dan Jembatan.
Sebelum melakukan survai lereng dan juga terhadap potensi adanya longsoran
atau yang telah mengalami longsor pada suatu lereng diperlukan untuk
mengetahui berapa faktor penyebab yang mempengaruhi menurunnya tingkat
stabilitas lereng, yaitu dengan mempelajari ruang lingkup permasalahan
sehingga dapat membantu dalam menentukan jenis investigasi lereng yang
diperlukan.
Persiapan survai longsoran lereng dilakukan baik pada pada lereng alam
maupun lereng buatan yang dibentuk oleh kegiatan manusia dalam
mengakomodasi ketentuan per-undang- undang-an jalan dalam
pembangunan infrastruktur untuk jaringan jalan dan jembatan.
1) Longsoran pada lereng alam umumnya meliputi daerah yang luas dan
umumnya dapat teridentifikasi dari morfologi dan topografinya
2) Longsoran pada lereng buatan diakibatkan oleh adanya pengurangan beban
pada kaki lereng, penambahan beban pada bagian atas lereng atau lereng yang
dibentuk akibat adanya galian dan timbunan sehingga membentuk lereng baru.
Diklat Penanganan Longor pada Struktur Jalan
7
Modul 2 – Suvai Lereng dan Longsoran Serta Manajemen Lereng
Dalam melakukan survai terhadap longsoran pada suatu ruas jalan dapat
dilakukan dengan mempelajari data-data yang berhubungan dengan
daerah longsoran yaitu melakukan kegiatan:
1) Peta topografi dan morfologi yang telah dipublikasikan oleh direktorat Geologi
dan Pertambangan serta dapat diperoleh dari Bakosurtanal (Badan Koordinasi
Survai dan Pemetaan Nasional).
2) Peta geologi yang mencakup adanya pola sesar yang ditinjau secara regional
mencakup: perlipatan, sesar vertical dan horizontal, distribusi penyebaran
batuan dasar dan tanah yang Nampak dipermukaan (Outcorp).
3) Peta curah hujan dan pola aliran permukaan serta poetensi dibawah
permukaan yang diterbitkan oleh Badan Metrologi dan geofisika.
4) Peta liputan lahan dan jenis penutupnya (tumbuhan, bangunan dan lahan
terbuka) yang diterbitkan oleh Geologi tata Lingkungan, Badan Geologi dan
Pertambangan
5) Peta Gunung Berapi yang diterbitkan oleh Badan Vulkanologi danKegempaan
6) Peta Gempa yang telah diterbitkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat (PUPR) dengan magnitude kegempaan untuk berbagai
umur rencana bangunan baik untuk bangunan gedung, jembatan dan
bangunan infrastrukturlainya.
7) Peta daerah rawan bencana yang juga telah diterbitkan oleh Geologi tata
Diklat Penanganan Longor pada Struktur Jalan
8
Modul 2 – Suvai Lereng dan Longsoran Serta Manajemen Lereng
Lingkungan, Badan Geologi dan Pertambangan
8) Peta ruas jalan baik jalan Nasional, Jalan Propinsi maupun Jalan Kabupaten
serta Jalan Desa yang telah diterbitkan oleh Kementerian PUPR dan Dinas PU
terkait.
9) Dan beberapa peta lainnya seperti peta tata-ruang baik skala nasional,
regional dan local serta beberapa peta yang diperlukan dalam mengidentifikasi
kondisi lereng terhadap potensi longsoran (lereng alam maupun lereng
buatan).
a) penyebaran tanah/batuan
b) morfologi
c) geohidrologi
d) Adanya struktur geologi lainnya seperti joint kekar (joint fractures) yang
terlihat mulai Nampak jelas, patahan dan lipatan yang mencerminkan
adanya perlapisan tanah/batuan yang telah teganggu oleh waktu
e) Variasi sifat fisik dan kimia tanah/batuan (permeabilitas, plastisitas,
mineralogy yang terkandung, unsur kimia dan sebagainya)
a) Curah hujan tinggi dan frequensinya sering dengan durasi lama (dicirikan
banyakbanjir)
(2) Sistem sanitasi yang berupa saluaran air yang bocor dari utilitas
(PDAM).
Lereng buatan dapat dibagi lagi menjadi dua tipe, yaitu lereng
timbunan dan lereng galian. Pergerakan lereng berdasarkan jenisnya
dapat dikategorikan seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2- 8
dan Gambar 2- 9). Sedangkan untuk lereng alam, maka
pergerakan lereng dikelompokkan sebagai longsoran (“landslide”).
Pergerakan lereng dengan tipe keruntuhan lereng pada umumnya
terjadi akibat kurang tepatnya perencanaan maupun pelaksanaan
konstruksi lereng.Pergerakan lereng dengan tipe keruntuhan lereng
umumnya sangat berkaitan dengan kondisi geologinya. Terkadang
keruntuhan lereng disebut juga keruntuhan geologi.
1) Faktor geologi yang dominan di antaranya adalah lereng yang
terdapat pada deposit serpih dan material porous (breksi, batu pasir,
dll.) yang menumpang pada lerengserpih.
2) Selain akibat kondisi geologinya (morfologi, topografi dan lain
Diklat Penanganan Longor pada Struktur Jalan
14
Modul 2 – Suvai Lereng dan Longsoran Serta Manajemen Lereng
sebagainya), keruntuhan lereng dapat juga terjadi akibat bentuk
topografinya (cut & fill) yang merupakan hasil aktifitas keruntuhan
lereng terdahulu atau terintegrasi dengan longsoranalamnya.
Selama medio Tersier akhir, erosi terjadi pada deretan pegunungan tersebut
menghasilkan endapan sedimen yang tebal. Lempeng utama dan kraton atau
lempeng yang stabil, diperlihatkan pada Gambar 2 bersama dengan arah
pergerakannya pada saat ini.
Pada Gambar 2- 12, Sumatra, Jawa, Kalimantan berada pada landas kontinen
Asia dan Papua berada pada landas kontinen Australia sedangkan
perbatasan Nusa Tenggara dan Sulawesi serta Maluku merupakan daratan
yang timbul akibat pertemuan lempeng dtaran dengan lempeng samudra.
Selanjutnya, pada kala Holosen (sekitar 6 ribu tahun yang lalu), muka air laut
berada sedikit di atas elevasi saat ini (6 m). Periode penurunan muka air
laut pada periode ini menciptakan hubungan darat dari dataran utama
Gambar 5. Paparan Sunda selama Jaman Es Terakhir sekitar 12000 Tahun Lalu (Tjia
1980, yang Dilaporkan oleh Mackinnon dkk, 1996).
Perubahan pada muka air laut di Asia Tenggara telah diinterpretasi lebih detil oleh
Diemont dkk seperti diperlihatkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Perubahan Muka Air Laut Rata -rata pada Masa Holosen sebagai
Bagian dari DataranPantai Malaysia Barat (Kedah) dan Indonesia (Provinsi
Kalimantan Barat dan Sumatera : Provinsi Riau dan Jambi)
Endapan ini biasanya terdiri atas lempung lanau abu-abu lunak yang
memiliki kedalaman bervariasi dari 10 sampai dengan 30 m pada arah garis
pantai. Kedalaman dari endapan ini berkurang dengan cepat menjauh dari
pantai. Endapan ini mengandung 3 sampai 5% kandungan organik. Kerang
Rangkuman
Rangkuman
Survai lereng dan longsoran perlu dilakukan untuk mendapatkan informasi dan
mengetahui berapa faktor penyebab yang mempengaruhi menurunnya tingkat stabilitas
lereng, yaitu misalnya dengan mempelajari ruang lingkup permasalahan sehingga dapat
membantu dalam menentukan jenis investigasi lereng yang diperlukan.
Latihan
Latihan
Coba buatlah persiapan kegiatan untuk melakukan survai lereng jalan dan implementasi
tingkat stabilitasnya terhadap longsoran!
3 KEGIATAN BELAJAR 2
MANAJEMEN LERENG JALAN
Indikator Keberhasilan :
Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta mampu memahami tentang survai longsoran
dan hubungannya dengan investigasi untuk mendapatkan data promer dalam
mewujudkan stabilitas lereng, karakteristik dan mekanisme longsoran pada
pembangunan infrastruktur Jalan dan Jembatan
3.1 Umum
Pada prinsipnya kegiatan manajemen lereng ini mencakup inventarisasi stabilitas
lereng dan inspeksi dan pemeliharaan lereng yang sebaiknya dijalankan secara
sinergi sehingga sangat berguna untuk memprioritaskan penanganan lereng yang
diperlukan.
Indonesia sebagai Negara strategis karena disamping terletak antara 2 samudra dan 2
benua juga terletak pada kondisi yang secara keberadaannya perlu kewaspadaan
terhadap potensial bencana atau kejadian gerakan tanah (longsoran) yang suatusaat
dapat mengganggu keberadaan infrastruktur umum seperti jalan dan jembatan.
1) Rangkaian pegunungan aktif pasifik
2) Daerah Tectonik – kegempaan tinggi (Earthquake)
3) Geologi Batuan dasar bervariasi serta dijumpai struktur geologi yang berkembang
4) Batuan dasar Vulkanik, Sedimen, Metamorf dan Intrusif sehingga mencerminkan
kondisi perlapisan dan terjadinya pergeseran lapisan yang tidak beragam karena
dampak dari proses tektonik.
Diklat Penanganan Longor pada Struktur Jalan
28
Modul 2 – Suvai Lereng dan Longsoran Serta Manajemen Lereng
5) Morfologi dan toppgrafi (Terain) and Iklim (Climates) sehingga tingkat pelapukan
tinggi.
3.1.2 Dampak Longsoran
Dampak longsoran baik diakibatkan oleh longsoran yang terjadi pada lereng alam
(Natural) maupun lereng buatan (galian dan timbunan (man-made slopes) berdampak
pada:
1) Kerusakan atau terganggunya stabilitas konstruksi jalan dan jembatan
2) Lalu lintas terhambat (Blocked traffic) sehingga menghambat distribusi barang
dan jasa, menurunkan pertumbuhan ekonomi suatu daerah.
1) Undang Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 2009: tentang Jalan yang
berkeselamatan harus dilakukan melalui suatu audit yang terukur oleh
penyelenggara jalan baik secara teknis dan administrasi yang disebut Laik Fungsi
Jalan (LFJ). Dalam hal ini, Negara wajib memberikan rasa aman dan nyaman bagi
pengguna jalan, harus menjamin keselamatan terhadap terjadinya kecelakaan.
4) Untuk memenuhi standar jalan hijau (green road) yang berwawasan lingkungan.
Khusus dalam mewujudkan jalan hijau maka acuan terhadap komitmen
pemerintah dalam ikut membantu menurunkan penurunan pemanasan global
(Indonesian Government Committed on Decreasing the Global Warming by an
action on the statement of the minimizing Climate Change (CC) should be
awarded by all countries within Climate Change Frames (CCF) programs in 2010).
No. Gejala dan Penyebab Ketidakstabilan Langkah-langkah Empirik Penanganan Ketidakstabilan Lereng
Lereng
A. Hasil Pengamatan Visual
1 Munculnya retakan tanah. 1. Penutupanretakandengansesuatu yangkedapair di atas
untuk mencegah air masuk secara cepat lereng
kedalamtanah.
2. Apabila retakan tanahsemakin cepatberkembang,misal:
lebarnya
Lebarnya telah mencapai5 cm dalam waktu 1 jam,
kosongkansegeralereng
agar tidak ada aktivitas manusia.
3. Alihkan aliran air menjauhi lereng yang retak.
4. Hindari getaran-getaranpadalerengsertapenggalianpada
bagian
kaki lereng.
2 Munculnyarembesan-rembesanair 1. Meningkatkan, memperbaiki danmemeliharadrainasebaik
padalereng.Mataair menyembulke air permukaanmaupunairtanah.
permukuaan. 2. Hindari getaran-getaranpadalerengsertapenggalianpada
bagiankakilereng.
3 Tebingterlihatrapuhdankerikilmulai 1. Memasangjaring/bronjongpadabagiantebing yangrapuh.
berjatuhan. 2. Pembuatantanggulpenahanuntukruntuhanbatuan(rock
fall).
3. Hindari getaran-getaranpadalerengsertapenggalianpada
bagian
Diklat Penanganan Longor pada Struktur Jalan
33
Modul 2 – Suvai Lereng dan Longsoran Serta Manajemen Lereng
kaki lereng.
4 Tianglistrik, pohon,bentengmenjadimiring. 1. Pembuatan bangunan penahan,jangkar (anchor)danpilling.
2. Hindari getaran-getaranpadalerengsertapenggalianpada
bagian
kaki lereng.
B. Hasil Pengukuran dengan Instrumentasi
1 Curahhujanyangtinggiatauhujan dalamwaktu 1. Tingkatkankewaspadaan selamamusimhujan.
lama 2. Dalambeberapakasus relokasipenduduk danpenutupan
jalan sangatdisarankan.
2 Lereng yang curam 1. Mengurangitingkat keterjalanlereng.
2. Penghijauan dengan tanaman yang sistemperakarannya
dalam dan jarak tanam yang tepat (khusus untuk lereng
curam, dengan kemiringanlebih dari 40 derajat atau sekitar
80%sebaiknya tanaman tidak terlalu rapat serta diseling-
selingdengan tanamanyanglebih pendekdanringansertadi
bagiandasarditanamrumput).
3 Kondisi drainase yang tersumbat, terjadi 1. Meningkatkan, memperbaiki dan memelihara drainase baik air
3. Mendirikanbangunandenganfondasi yangkuat.
akumulasi massa air, erosi dalam, pelarutan dan permukaan maupun air tanah. Fungsi drainase adalah untuk
peningkatantekananhidrostatika. menjauhkan air dari lereng, menghidari air meresap ke
atau menguras air ke dalam lereng ke luar lereng. Jadi
dalamlereng
drainase harus dijaga agar jangan sampai tersumbat atau
meresapkanair ke dalamtanah.
2. Tancapkan pipa-pipa/bambu-bambu yang dilubangi kedua
ujungnya melalui muka lereng, untuk menguras air yang
sudahterlanjurterjebakdi dalamlereng.
3. Hindari getaran-getaran pada lereng serta penggalian pada
bagiankakilereng.
4 Lereng yang tersusun oleh batuan lapuk, tanah 1 Tidak menebang atau merusak hutan.
residual, tanah lempung yang tebal, sisipan 2. Melakukanpenanamanpadadaerah-daerahyanggundul.
lapisan batu lempung, tumpukan tanah .
3 Pembuatanteraseringdengansistemdrainase yangtepat
lempung
yang menumpang di atas batuan kompak dan . (drainase
padateras- teras dijagajangansampai menjadi jalan
keras dan kemiriringan lapisan, meresapkan
air ke dalamtanah).
4 Pembuatan bangunan penahan,jangkar (anchor)danpilling.
.
5 Utilitas yang ada didalamtanah harus bersifat
. fleksibel.
6 Hindari getaran-getaranpadalerengsertapenggalianpada
. bagian
kaki lereng.
7 Hindarkanpembangunanpemukimandanfasilitas utama
lainnya.
Dalam pelaksanaan kegiatan inventarisasi kondisi lereng jalan pada dasarnya adalah
suatu kegiatan untuk memperoleh informasi kondisi lereng yang mencakup kondisi
lereng alam yang menjinjau secara regional dan lereng buatan yang meninjau secara
local kondisi lereng baik lereng galian, lereng timbunan maupun kombinasi lereng
gelian dan timbunan. Dalam kegiatan yang meninjau lereng secara local juga
termasuk masalah yang terjadi seberti longsoran yang terjadi dan beberapa
implementasi teknologi penanganan lereng.
Penerapan inventarisasi lereng dalam suatu wilayah maka akan diperoleh beberapa
formulir isian sebagai berikut (Tabel 3- 1):
yang diperlukan untuk isian Kondisi untuk isian Kondisi Untuk isian untuk isian Kondisi
untuk inventarisasi Bentang LERENG LERENG JALAN Kondisi Stabilitas DETAIL
lereng jalan ALAM: PER SEGMEN ruas LERENG jalan LONGSORAN
jalan (coret yg tidak
Per regional wilayah perlu)
bisa terdiri 1 (satu)
atau lebih bentang 1) Permukaan
lereng alam Tanah (at- grade)
2) Galian (at-Cut)
3) Timbunan(a
t- Fill))
Keterangan (contoh) Propinsi: ….. Bentang Alam 1… Segmen 1, lereng 1 At-grade, 1, 2 dst
Bentang alam: 1…. Segmen 1, lereng 1, At-grade: 1, 2, dst Longsoran 1, 2, dst
Bentang alam: 2…. 2 dst At-fill: 1, 2, dst At-fill, 1 2, dst
Bentang alam: dst Segmen 2, lereng 1, At-cut: 1, 2, dst Longsoran 1, 2, dst
2 dst At-cut, 1, 2, dst
Segmen 3, lereng Longsoran 1, 2, dst
1,2 dst
Bentang Alam
2 … Segmen
…………
Inspeksi lereng terdiri dari dua jenis, yaitu inspeksi teknis (technical inspection)
dan inspeksi rekayasa (engineeing inspection). Inspeksi teknis terdiri dari inspeksi
rutin dan inspeksi periodic sedangkan inspeksi rekayasa mempertimbangkan
faktor yang memicu terjadinya ketidakstabilan lereng.
Inspeksi pengarauh faktor internal disebut pula inspeksi teknis karena pada
umumnya berhubungan dengan sifat karakteristik properties material yang dapat
mempengaruhi ketidakmantapan lereng dan dapat dikelompokkan sebagai
inspeksi rutin dan inspeksi berkala yang tentunya tergantung dari permasalahan
dan tipe penanganan yang telah dilakukan.
Inspeksi rutin adalah inspeksi yang dilakukan secara visual terhadap daerah
lereng. Inspeksi ini dilakukan oleh mantri/inspektur jalan. Pelaksanaannya
dilakukan secara rutin dan dapat bersamaan dengan waktu melakukan
pemeliharaan lereng dan pekerjaan lainya, misalnya pembenahan bahu jalan,
pembabatan rumput dan pembersihan saluran samping. Inspeksi ini
dimaksudkan untuk deteksi dini jika ada kelainan atau gejala-gejala yang
Diklat Penanganan Longor pada Struktur Jalan
39
Modul 2 – Suvai Lereng dan Longsoran Serta Manajemen Lereng
dapat mempengaruhi ketidakmantapan lereng jalan (lereng galian atau
timbunan).
Inspeksi tehadap pengaruh faktor eksternal juga dapat disebut sebagai inspeksi
yang berdasar pada hasil yang diperoleh dari penilaian dan pemantauan yang
dilakukan pada inspeksi rutin. Dampak dari tidak konsistensinya inspeksi terhadap
pengaruh faktor eksternal maka akan mempengaruhi tingkat stabilitas lereng
sehingga kemungkinan akan berubah menjadi inspeksi rutin. Demikian pula
sebaliknya, bila inspeksi rutin dilakukan secara konsisten maka dengan melihat
perilaku kondisi kemantapan lereng, dapat di turunkan menjadi inspeksi periodic.
Kriteria inspeksi ini diperlukan untuk memantau dan menilai kondisi lereng
kondisi lereng terkait dengan tingakt stabilitasnya, yaitu berdasarkan dari umur
lereng, jenis tanah/batuan dan tingkat resiko terhadap potensi keruntuhan
lereng.
Kriteria dalam inspeksi lereng terhadap umur lereng dapat dibedakan untuk
lereng baru dan lereng lama yang diuraikan sebagi berikut:
1) Lereng baru; perlu dilakukan lebih sering karena diduga ada tanda-tanda
yang menunjukkan ketidakstabilan lereng terutama akibta perubahan
cuaca antara musim hujan dan musim kemarau.
2) Lereng lama, umumnya tingkat kestabilannya sudah teruji terutama
karena sudah mengalami beberapa siklus perubahan cuaca seperti
musim hujan - musim kemarau. Walaupun begitu, suatu saat mungkin
lereng akan berada pada kondisi kestabilan yang kritis terhadap longsor
seiring dengan perubahan karakteristik properties material penyusun
lereng akibat mengalami degradasi serta meningkatnya muka air tanah
yang berdampak pada naiknya tekanan air pori pada musim hujan
khususnya karena intensitas curah hujan harian yang tinggi.
Dengan demikian maka untuk lereng baru perlu dilakukan inspeksi lebih
sering dari pada lereng tanah walaupun ini tidak dapat digunakan sebagai
acuan baku karena dampak dari perubahan karakteristik properties material
penyusun lereng yang kemungkinan mengalami degradasi. Pedoman
sementara berdasarkan kebiasaan yang dilakukan, maka untuk daerah tropis
diberlakukan sebagai berikut walaupun bukan suatu ketentuan yang harus
digunakan mengingat banyak faktor yang mempengaruhinya. Dengan
Diklat Penanganan Longor pada Struktur Jalan
41
Modul 2 – Suvai Lereng dan Longsoran Serta Manajemen Lereng
demikian, maka acuan ini tidak dianggap sebagai acuan baku atau standar
karenanya masing-masing punya kriteria tersendiri yang dapat diterapkan.
Lereng baru adalah lereng galian atau lereng timbunan yang berumur kurang
dari 3 tahun sejak lereng tersebut dibangun harus dilakukan frekuenasi
inspeksi lebih sering khususnya 3 kali musim hujan dan 2 kali musim
kemarau.
Lereng lama adalah lereng galian atau lereng timbunan yang berumur lebih
dari 3 tahun dan dianggap telah melampaui siklus perubahan cuaca yang
cukup signifikan sehingga inspeksi dilakukan adalah 2 kali musim hujan dan 1
kali musim kemarau.
Kriteria terhadap inspeksi lereng antara tanah dan batuan secara umum
lereng batuan lebih stabil dari pada lereng tanah.walaupun tergantung dari
karakteristik properties dan konsisi lereng tersebut :
Lereng Risiko Tinggi (High-risk Slopes) Lereng Risiko Rendah (Low-risk Slopes)
Musimhujan Musim kemarau Musim hujan Musim kemarau
InspeksiRutin Tiap mingguuntuk Tiap bulan untuk tahun Tiap 2 bulan untuk Tiap 3 bulan untuk
tahunke1,2,dan3; ke 1, 2, dan3; tahun ke 1, 2, dan 3; tahun ke 1, 2, dan 3;
Tiap 2 minggu Tiap 2 bulan untuk Tiap 3 bulan untuk Tiap 6 bulan untuk
untuk tahun ke 4, tahun ke 4, dst. tahun ke 4, dst. tahun ke 4, dst.
dst.
Inspeksi Tiap bulan untuk Tiap 3 bulan untuk tahun Tiap 3 bulan untuk Tiap 6 bulan untuk
Periodik tahunke 1, 2, dan3; ke 1, 2, dan3; tahun ke 1, 2, dan 3; tahun ke 1, 2, dan 3;
Tiap 3 bulan untuk Tiap 6 bulan untuk Tiap 6 bulan untuk Tiap 1 tahun untuk
tahun ke 4, dst. tahun ke 4, dst. tahun ke 4, dst. tahun ke 4, dst.
Hasil yang diinventarisasi yang dibahas ini hanya beberapa (4) walaupun
sesungguhnya dengan inventarisasi menggunakan formulir SSI yang terdiri dari 4
fomulir isian, maka untuk inventarisasi kondisi keruntuhan jalan dapat digunakan
formulir yang terakhir yaitu formulir yang berisi invormasi detail keruntuhan yang
terjadi.
1) Formulir untuk isian Kondisi Bentang Lereng Alam yang Mencakup Definisi
Lokasi Regional (Link Jalan). Tinjauan berdasakan dalam 1 (satu) propinsi ada
berapa bentang lereng alam dan didefinisikan sebagai lokasi dengan nomor link
jalannya.
2) Formulir untuk isian Kondisi Lereng Jalan Per Segmen, Mencakup Kondisi
Lereng Jalan Per Segmen (Ruas) yang ditinjau. Dalam 1 (satu) bentang lereng
alam ada beberapa segmen jalan yang didefinisikan sebagai segmen jalan atau
ruas jalan dengan nomor link yang masih berkaitan dengan butir 1.
Gambar 10. Rangkuman Hasil Investigasi lapangan dan Inventarisasi lereng dalam segmen
4) Formulir untuk isian kondisi detail longsoran, mencakup definisi per lokasi
longsor (per kondisi pada lereng jalan). dalam suatu lereng (baik at-grade, at-fill
maupun at-cut) pada suatu segmen jalan yang ditinjau terdapat beberapa
No Propinsi Penyebab Jalur Ruas segmen Jalan Masalah dan Rekomendasi Penanganan
yang ditinjau Upaya
Penanganan
1 Sulawesi Erosipermuk Trans Karosa- batas Tidak ada PemasanganDPT, turap, tiang
Barat dan material Sulawesi Sulbar pancang, borpile
yangmengalami
pelapukan Pembuatan system drainase,
Sulawesi Erosi permuk Trans Pantoloan- Tidak ada Pembuatan DPT, pembuatan
Tengah pada material Sulawesi Tompe system drainase, penanaman
yang mengalami Sulteng kembali, penggalian dengan
pelapukan kemiringanlebih landai
a) Tabel 4. Contoh hasil survai dari SSI (Slope Syability Inventory) pada Lereng
buatan (galian dan Timbunan) Tanah dan Batuan.
b) Tabel 3. Contoh hasil survai dari SSI (Slope Syability Inventory) pada Lereng
galian tanah yang mengalami keruntuhan skala besar/longsoran
c) Tabel 5. Contoh hasil survai dari SSI (Slope Syability Inventory) pada Lereng
jalan yang mengalami keruntuhan skala dangkal.
Untuk menentukan tingkat resiko terhadap bahaya longsor yang terjadi perlu
dilakukan pembobotan seperti yang dijelaskan pada Modul 2, sehingga dapat
diketahui tingkat kategori terhadap potensi kejadian longsoran.
Sebagai contoh dari hasil pembobotan terhadap tingkat potensi bahaya
longsor yang dampaknya sangat terasa secara langsung oleh pengguna jalan
dan perlu segera ditindaklanjuti dengan menerapkan teknologi penanganan
diperlihatkan pada Tabel .
Diklat Penanganan Longor pada Struktur Jalan
51
Modul 2 – Suvai Lereng dan Longsoran Serta Manajemen Lereng
Tabel 5. Klasifikasi Jenis Longsorandan tingkat riskannya
Tingkat riskan
Tingkat Bahaya pengguna jalan baik dan potensi
Skor Penanganan yang
No tanah maupun batuan terhadap longsor terhadap
Bobot disarankan
keberadaan infrastuktur kelancaran lalu
lintas
permanen sementara
Klasifikasi bahaya 1, lalulintas tidak 5 Sangat Tinggi BNPB/BNBD Temporary
1 dapat lewat semuanya dan road
pemeliharaan
Tabel 6. Contoh hasil survai dari SSI (Slope Syability Inventory) pada Lereng galian tanah yang
mengalami keruntuhan skala besar/longsoran
No Propinsi Penyebab Jalur Ruas segmen Jalan Masalah dan Rekomendasi Penanganan
yang ditinjau Upaya
Penanganan
1 Sulawesi Erosipermuk Trans Karosa- batas Tidak ada PemasanganDPT, turap, tiang
Barat dan material Sulawesi Sulbar pancang, borpile
yangmengalami
pelapukan Pembuatan system drainase,
Sulawesi Erosi permuk Trans Pantoloan- Tidak ada Pembuatan DPT, pembuatan
Tengah pada material Sulawesi Tompe system drainase, penanaman
yang mengalami Sulteng kembali, penggalian dengan
pelapukan kemiringanlebih landai
Sulawesi Erosi permuk Trans Sabang- Tidak ada Pembuatan DPT, turap,
Tengah pada material Sulawesi ogoamas tiang pancang/borpile
yang mengalami Sulteng
pelapukan Pembuatan system drainase,
Ogoamas-
toli toil - Pemasangan perkuatan
Sulteng dengangeotekstildan geogrid,
Tabel 7. Contoh hasil survai dari SSI (Slope Syability Inventory) pada Lereng buatan (galian dan
Timbunan) Tanah dan Batuan
No Propinsi Penyebab Jalur Ruas segmen Jalan Masalah dan Rekomendasi Penanganan
yang ditinjau Upaya
Penanganan
Tabel 8. Contoh hasil survai dari SSI (Slope Syability Inventory) pada Lereng jalan yang mengalami
keruntuhan skala dangkal sd dalam
No Propinsi Penyebab Jalur / Ruas Segmen jalan Masalah dan Upaya Rekomendasi
Jalan yang ditinjau enanganan Penanganan
Pembuatan
system drainase
dengan geotekstill
dan geogrid
3 Pantura Erosi oleh air, Pantura, Jawa Tuban-buku Dinding penahan Pemasangan DPT
abrasi pantai, jatim Pasangan batu mulai Pembuatan
pelapukan material, rusak system drainase
kurangnya
pemadatan
4 Sumatera Erosi oleh air, Jalintim, Batas tanjab- Longsoran lereng Pemasangan tiang
abrasi pantai, Sumatera merkung, riau pancang dan DPT
pelapukan material, Pemasangan
kurangnya bronjong dan Pembuatan system
pemadatan terramesh (belum drainase
mengatasi masalah)
Konstruksi dinding
penahan tanah
dengan beton rusak
5 Kalimantan Erosi oleh air, Trans selatan Batu kajang- Longsoran timbunan Pemasangan
abrasi pantai, kalimantan kuaro (dangkal) bronjong
pelapukan material, Penanaman ,
kurangnya pembuatan system
pemadatan drainase
6 Sulawesi Erosi oleh air, Trans barat Bodi-paleleh, Dinding penahan Pemasangaan DPT
tengah abrasi pantai, sulawesi sulteng beton, tetapi pecah sesuai spesifikasi,
pelapukan material, (dangkal)
kurangnya Pembuatan
pemadatan system drainase
dengan geotekstil
7 Sulawesi Erosi oleh air, Trans barat bOgoamas-toli Tidak ada dan geogride,
Pemasangan DPT
Barat abrasi pantai, Sulawesi atoil, sulteng penanaman
dan atau bronjong
pelapukan material, r(dalam) sesuai spesifikasi,
kurangnya a penanaman,
pemadatan t pembuatan
system drainase
Rangkuman
Rangkuman
Kegiatan manajemen lereng ini mencakup inventarisasi stabilitas lereng dan inspeksi
dan pemeliharaan lereng yang sebaiknya dijalankan secara sinergi sehingga sangat
berguna untuk memprioritaskan penanganan lereng yang diperlukan. Beberapa hal
mengenai permasalahan Longsoran di Indonesia disebabkan oleh kondisi geografis maka
Pendataan Tingkat Stabilitas Lereng, inventarisasi lereng, dan inspeksi dan implementasi
manajemen lereng serta pemeliharaan menjadi sangat perlu
Latihan
Latihan
Coba siapkan kegiatan untuk melakukan manajeman lereng mulai dari persiapan data
yang perlu dikaji, inventarisasi lereng, penyiapan program inspeksi dan pemeliharaan
secara terintegrasi dengan menerapkan pada suatu lereng jalan!
4 KEGIATAN BELAJAR 3
PENILAIAN DAN PEMBOBOTAN TERHADAP
RESIKO KERUNTUHAN LERENG
Indikator Keberhasilan :
Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta mampu memahami tentang penilaian
terhadap resiko keruntuhan lereng yang merupakan bagian dari manajemen lereng
dalam mewujudkan stabilitas lereng, karakteristik dan potensial mekanisme
longsoran pada pembangunan infrastruktur Jalan dan Jembatan.
4.1 Umum
Banyak metode analisa dalam menilai kondisi stabilitas lereng dan pemetaan
kawasan terhadap tingkat rawan longsornya dan salah satunya adalah
digunakan metode pembobotan disamping masih metode lainya seperti empiris,
metode numeric dan metode lainnya. Data-data yang dibutuhkan dalam analisa
untuk melakukan penilaian terhadap stabilitas lereng dan pemetaan tingkat
potensi longsor digunakan beberapa parameter yang diduga menjadi
Gambar 11. Prinsip dalam Penentuan Zonasi Longsor Metode Analisa Empiris dalam Sistem
Informasi Deografis dan penilaian terhadap AHP
Untuk nilai skor dari masing-masing parameter berdasarkan dugaan yang diyakini
sangat berperan dan bisa dilihat pada Tabel 9 sedangkan nilai bobot dari masing-
masing parameter yang dominan tersebut dapat diperoleh dan ditampilkan pada
Tabel 10.
Tabel 9. Sistem skor dari masing-masing parameter
No Parameter Bobot
I Curah Hujan (mm) 3
II Kemiringan Lereng (%) 2
III Permeabilitas Tanah 2
IV Tekstur Tanah 1
V Tutupan Lahan 1
VI Struktur Geologi (%) 1
VII Kedalaman Solum (cm) 1
VIII Jenis tanah/batuan 1
Dalam metode empiris untuk mementukan zonasi tingkat rawan longsor maka
berikut diberikan salah satu contoh tahapan analisa yang banyak dilakukan :
1) Melakukan analisa hidrologi dari data curah hujan mencakup:
a) Uji konsistensi data hujan menggunakan metode kurva massa ganda atau
metode lainya yang dipercaya dapat memberikan hasil maksimal
b) Uji homogenitas pengaruh curah hujan dari data stasiun pengamatan
terdekat, salah satu contoh yang umumnya digunakan menggunakan
metode uji “T”
2) Pembuatan peta batas DAS atau daerah tangkapan air (catchment area)
Lereng Jalan
1) Pelaksanaan Survai terdapat 4 lembar form survai hasilnya
adalah peta kerentanan longsor
a) Ruas Jalan dalam Regional Propinsi (lembar 1)
b) Ruas Jalan dalam regional morfologi per segmen (lembar
2)
c) Ruas jalan dalam no ruasnya dalam lereng buatan
d) Detail lokasi : permasalahan longsor (lembar 4)
2) Data Base Lereng: menginventarisasi dan membuat
pusat data untuk mengetahui kondisi lereng jalan
yang selalu dapat diperbarui
3) Penilaian dengan pembobotan longsoran lanjutan
survaidibandingkan dengan kondisi jalan dan
jembatan sebagai fasilitas infrastruktur umum untuk
mementukan tingkat prioritas penanganan
a) jenis longsoran
b) klasifikasi longsoran
c) dampak dan akibat
d) potensi untuk penanganan
e) saran penanganan
Penilaian kajian ini suatu saat dapat dimodifikasi sesuai dengan tinjauan yang
perlu untuk dikaji lebih lanjut.
a b c
d e f
g i
h
Gambar 14. Tipe Longsoran terhadap keberadaan jalan (baik Tanah maupun Batuan)
Tabel 14. Dampak terhadap kerusakan jalan akibat dari penilaian salah satu parameter yang
mempengaruhi (contoh: Tekstur kerentanan tanah)
Penilaian yang dilakukan pada sutu ruas segmen jalan terutama pada lokasi yang
mengalami longsoran maka dapat dibagi menjadi longsoran 1, 2 dan seterusnya.
Pada tiap longsoran dikaji parameter dominan yang mempengaruhi dan akhirnya
dikelompokkan menjadi klaster-klaster yang menampilkan seluruh parameter
yang ditinjau terhadap kelancaran laulintas, seperti diperlihatkan pada Tabel 15.
Diklat Penanganan Longor pada Struktur Jalan
70
Modul 2 – Suvai Lereng dan Longsoran Serta Manajemen Lereng
Sehingga pada Tabel 15, diperlihatkan bahwa berdasarkan nilai pembobotan terbesar
maka maka penanganan terhadap longsoran yang diakibatkan oleh parameter tersbut
menjadi prioritas ditangani dan ditunjukkan dengan angka 1 demikian seterusnya
dimana angka 5 adalah tidak prioritas, dan pada contoh Tabel 15 diperlihatkan secara
berurutan:
1) Parameter adanya tekstur kerentanan tanah terhadap kendaraan yang melalui
adalah 5 artinya tidak dapat dilalui kendaraan sehingga tindakan adalah 1 artinya
menjadi prioritas utama.
2) Aliran air tanah menjadi prioritas kedua faktor penyebab longsoran dan nilainya 4
sehingga mejadi prioritas 2.
3) Curah hujan menjadi prioritas ke tiga faktor penyebab longsor dan nilainya 3
sehingga menjadi rpioritas 3, dan seterusnya. nilai 2 menjadi prioritas 4 dan nilai
1 menjadi prioritas ke lima atau terakhir.
Tabel 15. Kompilasi Klaster Pembobotan terhdap seluruh variabilitas parameter yang
mempengaruhi longsor terhadap kelancaran berlalulintas atau Kendaraan yang melalui.
Prioritas
No Parameter Bobot Jenis penanganan
ditangani
I Curah Hujan (mm) 3 3 Penataan tata salir
II Kemiringan Lereng (%) 2 4 Pelandaian / proteksi
III Permeabilitas Tanah 2 4 Drainase V – H
IV Tekstur kerentanan Tanah Perlindungan perubahan
5 1
tekstur tanah/batuan
V Kondisi Tutupan Lahan 1 5 Reboisasi
VI Struktur Geologi (%) 1 5 Pengamanan lereng
VII Kedalaman Solum (serapan air 1 5 Tanaman musiman dan
permukaan, cm)
Catatan:
Fail potential (high risk …to …. low risk) 5 4 3 2 1
Priority to be solved (high …..to …. low) 1 2 3 4 5
4.4.2.3 Terhadap keberadaan Jalan dalam 1 segmen yang terdiri dari beberapa
lereng
Bila diperhatikan keberadaan jalan dalam 1 segmen ruas jalan maka dapat
dikategorikan sebagai regional atau segmen jalan. Penilaian sistem ini relative
hanya membedakan apakah akan diberlakukan secara regional atau secara
segmen jalan sehingga masing-masing dapat dijelaskan sebagaimana
diperlihatkan pada penjelasan sebagai berikut dengan pembagian skala dapat
disesuaikan terhadap jumlah banyak segmen dalam skala yang diamati:
1) Tinjauan terhadap segmen jalan maka akan terdiri dari beberapa ruas jalan
yang mencakup lereng dengan kondisi tingkat stabilitasnya.
2) Tinjauan terhadap skala regional / wilayah lokal yaitu yang terdiri dari
beberap segmen jalan yang melaewati daerah lereng dan potensi longsor
(Tabel 17. Tinjauan yang diperlihatkan pada Tabel 17 ini merupakan
rangkuman dari beberapa penilaian yang diperlihatkan pada Tabel 16 yaitu
terhadap keberadaan lereng dan tingkat stabilitasnya dalam satu segmen
jalan di daerah lereng.
Tabel 16. Rangkuman Keberadaan Lereng Jalan pada sutu Segmen Jalan dan Jembatan
Tabel 17. Rangkuman keberadaan segmen jalan terhadap lokasi regional maupun local
Catatan:
1) Inspeksi: terhadap perilaku kinerja stailitas lereng dan fasilitas untuk keperluan
inspeksi dan
2) tahapan untuk pemeliharaan: dalam mempertahankan kemantapan lereng dan
fasilitas untuk inspeksi terhadap pemeliharaan yang dilakukan.
Rangkuman
Dalam memantau dan mengamati fenomena lereng dari potensi mengalami longsor
diperlukan adanya suatu analisa dan pemetaan kawasan yang dapat memberikan
gambaran kondisi terhadap tingkat potensi rawan longsornya serta faktor-faktor
penyebabnya, dampak longsoran berhubungan dengan Persyaratan dan Ketentuan
dalam mewujudkan Infrastruktur Jalan dan Jembatan menjadi sangat penting. Metode
analisa dalam menentukan dan memetaan tingkat resiko terhadap longsoran, metode
rangking penilaian dan pembobotan menjadi sangat penting untuk diterapkan sebagai
bagian dari menentukan prioritas penanganan lereng terhadap longsor.
Latihan
Buatlah persiapan parameter yang diduga akan mempengaruhi tingkat stabilitas lereng
dan bahaslah secara kelompok!
5 PENUTUP
Modul 2 ini membahas secara lengakap tentang Survai Lereng dan Longsoran serta
Manajemen Lereng adalah merupakan bagian dari Modul Diklat Penanganan Longsor
Pada Struktur Jalan yang terdiri dari 5 modul sebagai bagian dari Modul mencakup
latar belakang survai, pelaksanaan survai, manajemen lereng dan pembobotan
tingkat resiko longsor.
DAFTAR PUSTAKA
1. AASHTO (1988), Manual on Subsurface Investigations, American Association of
State Highway and Transportation Officials, Washington, DC, USA.
2. AASHTO (1993) Guide for design of pavement structures
3. AASHTO T 258-81 Standard method of test for determining expansive soils
4. Asmaranto, Runi. 2013; Aplikasi Sistem Informasi Geografi (SIG) Untuk Identifikasi
Lahan Kritis dan Arahan Fungsi Lahan Daerah Aliran Sungai Sampean (Tidak
Diterbitkan). Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang.
5. ASTM D 1452-80 Standard practice for soil investigation and sampling by auger
borings
6. ASTM D 2113-83 (1993) Standard practice for diamond core drilling for site
investigation
7. ASTM D 4452-85 (1995) e1 Standard methods for X-Ray radiography of soilsamples
8. ASTM D 4546-90 Standard test methods for one-dimensional swell or settlement
potential of cohesive soils
9. ASTM Standards (1994), Section 4, Construction : Volumes 04.08 and 04.09, Soils
and Rock, American Society for Testing and Materials, Philadelphia,USA.
10. Badan Penelitian dan Pengembangan Pekerjaan Umum (1999), Daftar
IstilahStandar Bidang ke-PU-an, Tahun Anggaran 1998/1999, Departemen
PekerjaanUmum, Jakarta, Indonesia.
11. BS 1377 (1990), Methods of Test for Soils for Civil Engineering Purposes, Parts 1-
9, British Standards Institution, London, UK.
12. BS 5930 (1981), Code of Practice for Site Investigation, British Standards
Institution, London, UK.
13. BS 8006 (1995), Code of Practice for Strengthened/Reinforced Soils and
OtherFills, British Standards Institution, London, UK.
18. Direktorat Jenderal Bina Marga (1994), Perencanaan Geometrik Jalan antarKota,
Badan Penerbit Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta, Indonesia.
19. Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi [DVMBG], 2005; Manajemen
Bencana Tanah Longsor, Bandung.
20. ISO/IEC (1999), International Standard ISO/IEC 17025: 1999 (E),
GeneralRequirements for the Competence of Testing and Calibration Laboratories,
TheInternational Organization for Standardization and the International
Electrotechnical Commission, Geneva, Switzerland.
21. ISSMFE (1981), International Manual for the Sampling of Soft Cohesive Soils, The
Sub- Committee on Soil Sampling (ed), International Society for Soil Mechanics and
Foundation Engineering, Tokai University Press, Tokyo, Japan.
22. Japanese Standards Association (1960), Method of Test for Consolidation of Soils,
Japanese Industrial Standard JIS A 1217-1960.
23. Japanese Standards Association (1977), Method of Unconfined Compression Testof
Soil, Japanese Industrial Standard JIS A 1216-1958 (revised 1977).
24. Karnawati, D. 2001. Bencana Alam Gerakan Tanah Indonesia Tahun 2000 (Evaluasi
dan Rekomendasi)’ Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
Diklat Penanganan Longor pada Struktur Jalan
80
Modul 2 – Suvai Lereng dan Longsoran Serta Manajemen Lereng
25. Lynn M. Highland, United States Geological Survey, and Peter Bobrowsky (2008),
The Landslide Handbook—A Guide to Understanding Landslides, sirculer
1325,Geological Survey of CanadaU.S. Department of the Interior and U.S.
GeologicalSurvey
26. Media Teknik No. 2 Tahun XVII (1995), Tata Istilah Teknik Indonesia, No. ISSN 0216-
3012.
27. Muhammad Noorwantoro, Runi Asmaranto dan Donny Harisusenon (2014);
ANALISA KAWASAN RAWAN BENCANA TANAH LONGSOR DI DAS UPPER BRANTAS
MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI , Jurusan Teknik Pengairan
Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Malang
28. Muhammad Noorwantoro, Runi Asmaranto, Donny Harisuseno (2013); ANALISA
KAWASAN RAWAN BENCANA TANAH LONGSOR DI DAS UPPER BRANTAS
MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI, Jurusan Teknik Pengairan
Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Jalan MT. Haryono 167, Malang 65145,
Indonesia
29. NAVFAC (1971), Design Manual: Soil Mechanics, Foundations and EarthStructures,
Dept of Navy, USA.
30. Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Longsor
KLASIFIKASI DAN FAKTOR PENYEBAB BENCANA LONGSOR
31. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum, 2007. Pedoman Penataan Ruang Kawasan
Rawan Bencana Longsor, Jakarta.
54. SNI 03-3423, Metode pengujian analisis ukuran butir tanah dengan alathidrometer
55. SNI 03-3638, Metode pengujian kuat tekan bebas tanah kohesif.
56. SNI 03-4153, Metode pengujian penetrasi SPT.
57. SNI 03-4813, Metode pengujian triaksial untuk tanah kohesif dalam keadaan tanpa
konsolidasi dan drain
58. SNI 03-6376, Metode prosedur penggalian parit uji
59. SNI(1999), Metoda Pengujian Lapangan dengan Alat Sondir, SNI 03- 2827 – 1992,
Dewan Standardisasi Nasional.
60. Taufiq, H.P dan Suharyadi, 2008; Landslide Risk Spatial Modelling Using
Geographical Information System - Tutorial Landslide. Laboratorium Sistem
Informasi Geografis. FakultasTeknik Universitas Gajah Mada
TANGGAL SURVEY :
LOKASI SURVEY :
NAMA KEGIATAN :
3. NO. LOKASI
19. TANGGAL
21. CATATAN/KOMENTAR/FOTO/SKETSA
NAMA SURVEYOR :
TANGGAL SURVEY :
LOKASI SURVEY :
NAMA KEGIATAN :
5. KM
NAMA SURVEYOR :
TANGGAL SURVEY :
LOKASI SURVEY :
NAMA KEGIATAN :
LEMBAR 3 : KONDISI LERENG: at-grade/at-cut/at-fill (coret tidak
perlu)
1. PROPINSI 2. NO. SITE
3. NO. LOKASI 4. TIPE LERENG
5. KM Ki/Ka
6. GEO 7. PETA TB (LAND SYSTEM)
8. SUDUT LERENG 9. TINGGI LERENG
10. PENAMPANG LERENG 11. TAMPAK ATAS LERENG
12. TAMPAK DEPAN LERENG 13. PANJANG LERENG
14. POT. MELINTANG JALAN 15. POT. MEMANJANG JALAN
16. JML. PENANGGAAN LERENG 17. LBR. PENANGGAAN. LERENG
18. TING. PENANGGAAN. LERENG 19. SUDUT. SENGK. LERENG
20. MATERIAL LERENG 21. STRUKTUR GEOLOGI
22. JENIS MATERIAL LONGSOR 23. TINGGI LERENG ATAS
24. SITUASI LERENG. ATAS 25. TINGGI LERENG. BAWAH
26. SITUASI LERENG. BAWAH 27. EROSI LERENG. ATAS
28. KONDISI LERENG ATAS 29. EROSI LERENG. BAWAH
30. KONDISI LERENG. BAWAH 31. SISTIM DRAINASE
32. REKAYASA/ ENGINEERING 33. VEGETASI
34. % VEGETASI 35. HIDROLOGI
36. CUACA 37. CURAH HUJAN
NAMA SURVEYOR :
TANGGAL SURVEY :
LOKASI SURVEY :
NAMA KEGIATAN :
LEMBAR 1 : DEFINISI per lokasi longsor (per kondisi pada lereng jalan)
5. KM
32. CATATAN
33. CATATAN/KOMENTAR/FOTO-FOTO/SKETSA
4-5 Arah dari dan ke : Ruas jalan antara kota satu ke kota berikutnya.
(contoh : Purwakarta – Padalarang).
6. No. Ruas Jalan : Nomor ruas jalan tersebut sesuai dengan nomor
ruasJalan Bina Marga.
1. Jalan Nasional
2. Jalan Propinsi
3. Jalan Kabupaten
15. Tata guna lahan : Jenis tanaman disekitar lokasi lereng alam yang
diamati.
Gunakan pilihan sebagai berikut :
1. Tanaman pangan dengan irigasi
2. Tanaman pangan tanpa irigasi
3. Tanaman budidaya tahunan
4. Lahan tidak digarap
5. Hutan
6. Rerumputan
7. Pemukiman
8. Kawasan industri/pabrik
16. Vegetasi: Jenis Vegetasi pada lereng alam. Gunakan pilihan sebagai berikut:
1. Pohon
2. Semak belukar
3. Rumput
4. Tanaman palawija
5. Grumbulan semak.
1. Kering
2. Agak basah
3. Banyak terdapat mata air/ ada terdapat
mata air
4. Jenuh air
5. Sangat jenuh air
6. Aliran air permukaan
LAMPIRAN C: GAMBAR-GAMBAR
PENDUKUNG LAMPIRAN A