0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
12 tayangan4 halaman
Teks tersebut membahas tentang honor puisi yang ditawarkan oleh Denny J.A sebesar Rp5 juta untuk penulisan puisi esai minimal 2000 kata yang berisi fakta, cerita, dan opini. Honor ini dinilai spektakuler dibandingkan honor puisi di surat kabar harian yang hanya Rp550.000. Namun, biaya produksi satu buku puisi esai untuk satu provinsi sudah Rp25 juta sehingga dipertanyakan kelayakannya secara bisnis.
Teks tersebut membahas tentang honor puisi yang ditawarkan oleh Denny J.A sebesar Rp5 juta untuk penulisan puisi esai minimal 2000 kata yang berisi fakta, cerita, dan opini. Honor ini dinilai spektakuler dibandingkan honor puisi di surat kabar harian yang hanya Rp550.000. Namun, biaya produksi satu buku puisi esai untuk satu provinsi sudah Rp25 juta sehingga dipertanyakan kelayakannya secara bisnis.
Teks tersebut membahas tentang honor puisi yang ditawarkan oleh Denny J.A sebesar Rp5 juta untuk penulisan puisi esai minimal 2000 kata yang berisi fakta, cerita, dan opini. Honor ini dinilai spektakuler dibandingkan honor puisi di surat kabar harian yang hanya Rp550.000. Namun, biaya produksi satu buku puisi esai untuk satu provinsi sudah Rp25 juta sehingga dipertanyakan kelayakannya secara bisnis.
sebuah puisi dinilai dengan honor Rp 5 juta. Tapi itulah yang dilakukan oleh tokoh survei politik di Indonesia, Denny J.A dengan proyek buku puisi esai yang kini dikemasinya.
Proses pengumpulan 170 penulis dari 34
provinsi di Indonesia itu berlangsung sejak Desember 2017 hingga Maret 2018. Nantinya akan diterbitkan satu buku untuk satu provinsi. Begitulah kabar yang terdengar.
Mengapa Rp 5 juta, menurut Denny, karena ada biaya risetnya. Sebab puisi esai itu minimal 2.000 kata. Ada cerita di dalamnya, bahkan dilengkapi catatan kaki. Ya, semacam puisi yang mengadung fakta cerita dan opini serta ditulis dengan kata- kata berhias.
Honor Rp 5 juta itu terasa spektakuler karena honor puisi di Harian KOMPAS misalnya hanya Rp 550.000.
Kita pun teringat teori Adam Smith dalam buku The Wealth of Nations, bahwa barang memiliki nilai guna dan nilai tukar. Nilai guna makanan lebih tinggi dari nilai guna mobil, tapi nilai tukar mobil lebih tinggi.
Adapun nilai tukar dilihat dari proses dan biaya produksinya. Makanya, nilai tukar mobil lebih tinggi dari makanan.
Tapi apakah buku puisi esai itu kelak akan laris manis, saya ragu. Sebab harga modal satu buku puisi esai setiap provinsi saja sudah Rp 25 juta, karena ada 5 puisi esai. Belum biaya cetak. Kecuali “banting harga” sehingga menjadi tidak ekonomis.
Memang, harga karya seni itu relatif. Lukisan para mastro Indonesia seperti Hendra Gunawan dan S Soedjono berkisar Rp 18 miliar hingga Rp 85,7 miliar pernah terjual di Balai Lelang Sotheby Hong Kong. Honor artis film juga menggiurkan. Tampil dalam sebuah film, honornya berkisar Rp80 juta hingga Rp 350 juta.
Tapi jika lukisan dan profesi artis sudah eksis di dunia bisnis -- bahkan lukisan sudah jadi investasi -- puisi masih jauh panggang dari api. Toh, saya kira Denny tetap patut diapresiasi sebagai “dermawan puisi.” Walau hanya untuk jenis puisi esai.
Semoga bukan karena namanya tercantum sebagai salah seorang dari 33 tokoh sastra yang berpengaruh di Indonesia, seperti dirilis oleh Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin pada 3 Januari 2014 silam. Saat itu, dia diklaim telah menemukan puisi esai sebagai genre baru dalam sastra Indonesia. Meskipun riuh rendah menuai polemik. **