SUKSES materi dan (mungkin) apresiasi buku serial Harry Potter karya JK Rowling,
sejujurnya cukup menerbitkan rasa “takjub” bagi pengarang lain. Apalagi bagi pengarang
Indonesia. Tetapi apa yang akan terjadi seandainya pengarang Harry Potter ini orang Indonesia
dan hanya menulis dalam bahasa Indonesia? Persoalannya pasti akan menjadi lain, bukan?
Parameter sukses dari kasus JK Rowling tentu saja berbeda sekali substansinya dengan
sukses yang dicapai penyair wanita Amerika, Emily Dickinson (1830-1886). Berbeda juga
dengan sukses penjualan buku Saman karya Ayu Utami dan Supernova karya Dewi Lestari.
Mungkin juga masih berbeda bila dibandingkan dengan buku “Ayat-ayat Cinta” dan “Laskar
Pelangi”.
Persoalan menarik dari kasus-kasus di atas yang ingin diangkat adalah persoalan “obyektif”
yang melingkari aneka atmosfer terkait dengan “geger” atau “tidak geger”-nya buku karya
pengarang ketika diluncurkan ke masyarakat pembaca. Nah, kata “geger” ini yang oleh para
akademisi disebut sebagai public relations atawa lebih tegasnya, promosi, pada akhirnya
bermuara pada goal yang dicanangkan oleh para penerbit mana pun di dunia, yaitu soal laku atau
tidak laku buku itu di pasaran. Untung atau rugi. Dalam bahasa paling halus, apa yang dicapai JK
Rowling terhadap semua buku-bukunya, terutama Harry Potter seri terakhir (5), adalah
memperoleh kepuasan lahir dan batin. Respon pembaca melimpah, efek ekonomi terhadap
dirinya, juga cukup menggairahkan. Dan sudah dapat diduga, bila si pengarang saja
mendapatkan efek ekonomi dari karyanya begitu serius, apalagi yang diperoleh penerbit; lebih
tak terkatakan lagi.
Misteri dan histeria Harry Potter itu pernah jadi bahan obrolan teman-teman komunitas
penggemar buku dan ujung kesimpulan dari perdebatan yang cukup seru itu cuma sederhana,
yaitu karena JK Rowling orang Inggris dan menulis dalam bahasa Inggris. Tentu saja kesimpulan
ini tipikal hasil obrolan lingkup yang sangat kecil, siapa pun berhak untuk tidak setuju; faktanya,
Karl May, kendati menulis dalam bahasa Jerman toh dunia juga dapat dia buat geger.
Ya. Relevansi dari tulisan ini sebenarnya sederhana saja. Menulis dalam bahasa Inggris,
apakah harus dimonopoli oleh para “bule” (maaf)? Apakah para penulis/pengarang yang
berkarya dalam bahasa ibunya atau dalam bahasa nasionalnya, kalau karya itu bagus dan punya
spirit universal, tak mungkinkah diterjemahkan dalam bahasa Inggris untuk kemudian
ditawarkan pada penerbit luar? Penerbit Inggris atau Amerika, misalnya? Di mana pun Anda
tinggal, di Gunung Kidul atau di pelosok Tengger atau di lereng Gunung Tambora sekalipun,
kalau Anda mampu menunjukkan karya yang terekspresi dalam bahasa Inggris, tak layakkah
Anda menawarkan karya Anda kepada penerbit yang relevan?
Tentu saja kemungkinan ini bukan utopia, kalau disikapi dengan serius. Apakah pengarang
Indonesia yang ingin karyanya terbit dalam bahasa Inggris atau menurut istilah para artis
ibukota, go international, harus menunggu jemputan dan apresiasi Prof. Teeuw? Harry Aveling?
Atau pakar sastra Indonesia asal asing lainnya, yang kesibukan sehari-hari mereka sudah sangat
luar biasa? Kalau itu terjadi memang lebih bagus. Tetapi, bukankah waktu berjalan sangat cepat?
Di toko buku saya pernah melihat buku kumpulan cerpen versi Kompas dipajang dan mejeng di
berbagai outlet, tetapi saya segera tersenyum dalam hati sekaligus salut, ketika menjumpai judul
buku dengan format dan desain sama dengan versi Kompas, bertuliskan “Kumpulan Cerpen
bukan versi Kompas”. Ini mungkin isyarat kegemasan atau ketidakberdayaan, tetapi itu semua
bisa disulap menjadi energi positif bahkan humoristis. Betapa fair dan elegan bila kompetisi
berlangsung seperti ini.
Seperti kita semua sudah maklum, deregulasi informasi dan akses sudah terbuka demikian
lebarnya, mengapa para pengarang Indonesia tidak melakukan jemput bola? Persoalan kualitatif
mungkin menjadi salah satu ganjalan yang paling menggelisahkan bagi pengarang kita. Kalau
upaya semacam itu datang dari diri sendiri, sepertinya terkesan adanya degradasi mutu dan etika,
sehingga membuat pamornya turun; apalagi kalau karya yang ditawarkan ke penerbit asing
ternyata ditolak. Alamak! Saya tak percaya, pengarang kita sekerdil itu. Soal mutu, soal nilai,
soal diterima, soal ditolak, itu semua tergantung pada angin, he-he-he, pinjam judul puisi
Abdulhadi WM.
Ini iseng-iseng untuk sekadar gambaran, syahdan, tersebutlah seorang penulis kolom
bernama Art Buchwald. Tulisannya ekspresif dan lucu. Banyak pula yang bermuatan sindiran.
Satir. Setiap kolomnya bisa dimuat di puluhan media di seluruh dunia; diterjemahkan ke berbagai
bahasa di dunia. Itu artinya, untuk setiap media di mana tulisannya dimuat, ia mendapatkan
royalti dari sindikasi yang mengontraknya. Bayangkan, satu tulisan bisa berkelana ke berbagai
negeri dan penerbitan, bukankah itu “medan perang” yang sangat menggiurkan? Bagaimana
kalau tiap hari minimal ia menulis satu kolom saja, berapa sebulan, berapa setahun? Kucluk-nya
lagi, setelah tulisan kolomnya mencapai jumlah banyak, masih diurus lagi oleh sindikasi untuk
diterbitkan dalam bentuk buku kumpulan kolom; ini benar-benar
Memang edan, penulis-penulis Amerika Serikat, Inggris atau negeri maju lainnya, yang
memiliki “medan tempur” sangat luas, memperoleh efek ekonomi yang juga edan-edanan dari
karya yang dihasilkannya; selain perlindungan hak cipta, tentu saja. Tak aneh, bila para penulis
itu bisa menggaji sekretaris, staf dan memiliki jaringan korespondensi di berbagai negeri.
Jangankan ketika Amerika sudah sedemikian maju di bidang network dan software, dulu di masa
Ernest Hemmingway masih hidup, penerbit novel dan ceritanya pun berani membayar royalti
dengan perhitungan per-kata sekian dolar, bukan per-halaman atau per-buku. Ini edan-edanan
tipikal Amerika yang lain lagi.
Kembali ke masalah penulisan tadi. Kalau tulisan Anda bisa dimuat di media Indonesia,
mungkin imbal balik yang akan Anda terima tidak begitu edan-edanan, tapi lumayan bisa untuk
beli buku atau nraktir teman. Karena itu, keterampilan mengarang atau menulis selalu disikapi
sebagai hobi atau pengisi waktu senggang. Anda mungkin malu atau belum berani
mendeklarasikan diri sebagai pengarang professional. Yang hidup mati Anda tergantung pada
angin, eh, pada karya yang Anda hasilkan. Mengapa demikian? Karena pemahaman profesi
pengarang atau penulis selalu bermuara pada pengertian penulis koran/majalah atau buku.
Padahal tak kurang dari 50 profesi yang terkait dengan pekerjaan penulis: penulis iklan, pidato,
program TV, ghost writer, dan banyak lagi lainnya.
Memang ada sedikit perbedaan budaya. Para redaktur penerbit luar banyak yang bervisi getol
mencari penulis pemula yang segar dan fresh gagasan, sedangkan penerbitan kita lebih melirik
penulis yang sudah punya nama, punya pasar dan artinya penerbit terbebas dari risiko laten, rugi
finansial, meskipun ini tak selalu benar. Maka jangan heran kalau perlakuan redaktur terhadap
penulis, selalu memasukkan penulis ke dalam kelas-kelas. Ada penulis yang dinilai kelas A, B, C
atau bahkan D; dan itu artinya berkaitan dengan kelayakan honorarium yang bakal diterima
oleh si penulis tadi. Bagi penulis pemula, sebaiknya jangan terlalu risau oleh hukum tak tertulis
yang berlaku di banyak media atau penerbitan semacam ini.
Tapi, kalau Anda hanya puas menjadi penulis dalam bahasa Indonesia, apa boleh buat,
begitulah “medan tempur” yang tersedia buat Anda. Sudah lahannya tidak banyak, pesaingnya,
berjubel nian. Itu artinya, setiap hari, ada belasan, bahkan puluhan tulisan yang ditolak redaksi
penerbitan media maupun buku. Mengapa Anda tidak berpikir untuk menjual gagasan Anda ke
penerbit atau media luar negeri (berbahasa Inggris) untuk memperluas teba dan
Saya harap data ini masih relevan dengan situasi saat ini. Bila Anda tertarik, saya bukan mau
provokasi apalagi promosi, alternatif-alternatif ini mungkin relevan dengan kebutuhan Anda.
Cobalah Anda berkorespondensi dengan mereka, penerbit Amerika Serikat ini, mudah-mudahan
Anda memperoleh informasi yang memadai. Untuk diketahui, data ini saya comot secara acak
dari ratusan alamat penerbit yang termuat di The Writer’s Handbook 1997, 10th Anniversary
Year, Editor: Barry Turne.
Charlesbridge Publishing
85 Main Street, Watertown MA 02172-4411
Tel. 001 617 926 0329 Fax. 001 617 926 5720
Chairman: Brent Farmer dan Managing Editor: Elena Wright.
Penerbit yang berdiri sejak 1980 ini, terutama menerbitakan materi pendidikan untuk anak-anak
usia sampai dengan 12 tahun.
Jangan lupa, cobalah juga Anda berkorespondensi dengan penerbit-penerbit Inggris berikut ini,
mudah-mudahan ada yang cocok. Data ini juga saya comot secara acak dari ratusan alamat
penerbit dari judul buku yang sama.
ABC-Clio Ltd
Old Clarendon Iron Works, 35a Great
Clarendon Street, Oxford OX2 6AT
Tel. 01865 311350 Fax. 01865 311358
Managing Director: Tony Sloggett dan Editorial Director: Dr. Robert G.
Neville.
Terutama menerbitkan buku-buku akademik dan referensi umum mengenai
masalah social sains dan kemanusiaan. Royalti dibayarkan setahun dua
kali.
Supaya Anda makin plong dan tidak berprasangka aneh-aneh, berikut dikutipkan kliping “iklan”
undangan dalam bahasa Inggris yang termuat di sebuah majalah asing (WittyWorld) beberapa tahun lalu,
mudah-mudahan penerbit bersangkutan masih eksis sehingga komunikasi yang Anda tempuh dapat
sampai sesuai yang diharapkan.
Books
New Authors
Publish your work
All subjects considered
Fiction, Non-fiction, Biography
Religious, Poetry, Children's
MINERVA PRESS
2 Old Brompton Road
London, SW7 3 DQ, England
Authors
UK BOOK
PUBLISHER
Invites Authors to send manuscripts for Bookplan publication,
a practical, low cost, on demand system. We are experienced in
all categories, including academic and specialized publications
to the highest standards.
Dianjurkan, pada saat mengirim naskah, sebaiknya dalam bentuk proposal, berisi: sinopsis atau
gagasan dasar, biodata penulis dan rencana jumlah halaman, gambar/foto dan sebagainya,
sebelum mengirim naskah jadi.
Berhubung nama dan alamat penerbit buku, koran atau majalah di Indonesia mudah Anda
dapatkan sendiri, saya yakin Anda tidak berkeberatan mencarinya. Banyak sumber yang bisa
dimintai keterangan. Salah satu hal yang perlu kita catat bersama adalah bahwa profesi menulis
itu tidak sempit lahannya; sangat banyak, termasuk peluang medan tempurnya. Meskipun
demikian, jangan lupa, sukses tidaknya Anda jangan lalu dikait-kaitkan dengan diri saya; yang
jelas, semua itu tergantung pada angin.