Anda di halaman 1dari 27

A.

Anatomi dan Fisiologi Jantung


Jantung terletak di dada diantara belakang tulang dada paru-paru dan
diafragma atas biasa disebut mediastinum. Dikelilingi oleh perikardium yaitu
perikardium fibrosa dan perikardium serosa. Ukuran jantung yakni sebesar
kepalan tangan dan memiliki berat sekitar 250-300 gram. Dinding jantung terdiri
dari tiga lapisan (Gambar):

Gambar Lapisan dinding jantung (Curran and Sheppard, 2011)


a) Epikardium
Epikardium adalah lapisan luar dari dinding jantung dan dibentuk oleh
lapisan visceral pericardium. Visceral pericardium ini disebut sebagai lapisan
epicardium (Shah et al., 2009). Pericardium terdiri dari dua lapisan, lapisan luar
disebut pericardium fibrous dan lapisan dalam disebut epitel (VanPutte et al.,
2016) Diantara dinding pericardium, ada rongga pericardial (Gambar 2.1). Ruang
sempit ini biasanya berisi 10-15 ml cairan pericardial yang berfungsi
memudahkan pergerakan jantung saat proses pemompaan darah (Curran and
Sheppard, 2011).
b) Miokardium
Lapisan tengah dinding jantung disebut miokardium. Lapisan ini paling
tebal dan terdiri atas sel-sel otot jantung yang melapisi dinding jantung.
Miokardium
berkontraksi untuk memompa darah dari jantung ke aorta. Ketebalan miokard
bervariasi dari satu ruang jantung ke ruang yang lainnya (Curran and Sheppard,
2011).
c) Endokardium
Endokardium merupakan lapisan terdalam dari jantung, tersusun dari
jaringan endotalim dan jaringan ikat subendotelial. Lapisan ini melapisi jantung,
katup, dan menyambung lapisan endotelial yang melapisi pembuluh darah yang
memasuki dan meninggalkan jantung (Curran and Sheppard, 2011).

Gambar Kompartemen dan Katup Jantung (Curran and Sheppard, 2011)


Jantung memiliki empat ruang yang berbeda dengan ketebalan dinding otot
yang berbeda yaitu atrium kiri (LA), atrium kanan (RA), ventrikel kiri (LV) dan
ventrikel kanan (RV) (Gambar 2.2). Atrium menerima darah dari sistem vena dan
paru-paru, kemudian berkontraksi dan mengeluarkan darah ke dalam ventrikel.
Kemudian ventrikel memompa darah ke seluruh tubuh atau paru-paru. Jantung
memliki empat katup, yaitu katup trikuspid, katup mitral, katup pulmonary dan
katup aorta. Darah mengalir ke atrium kanan melalui vena kava superior dan
inferior. Masing-masing atria kiri dan kanan terhubung ke ventrikel melalui katup
mitral dan katup trikuspid (Gambar 2.2) (Shah et al., 2009).
Darah terdeoksigenasi dari vena cava superior, vena cava inferior dan sinus
koroner (miokardium) mencapai RA. RA yang penuh dengan darah
terdeoksigenasi, meningkatkan tekanan di dalam ruang atrium. Ketika tekanan
atrium melebihi tekanan di RV, katup tricuspid akan terbuka dan memungkinkan
darah masuk ke RV. Ketika kapasitas di ruang RV sudah mencukupi akan
memaksa katup tricuspid menutup dan membuka katup pulmonal, sehingga
mengeluarkan darah ke arteri pulmonalis dan paru-paru (Gambar 2.2) (Shah et al.,
2009).
Darah beroksigen dari paru-paru mencapai LA melalui vena paru, ketika
melebihi dari kapasitas LA katup mitral terbuka, memungkinkan darah untuk
memasuki LV. Ketika darah mengisi LV, LV mulai berkontraksi dan terjadi
peningkatan tekanan ruang LV sehingga memaksa katup mitral menutup dan
membuka katup aorta, sehingga mengeluarkan darah ke aorta, untuk
didistribusikan ke seluruh tubuh (Gambar 2.2) (Shah et al., 2009).
B. Definisi Infark Miokard Akut

Gambar 2. 3 Infark Miokard Akut (Anonim, 2016)


Infark Miokard Akut (IMA) adalah penyakit jantung yang terjadi karena
kematian jaringan otot jantung atau nekrosis yang diawali dengan iskemik. Infark
miokard merupakan salah satu manifestasi akut dari penyakit jantung koroner
yang berhubungan dengan arteriosklerosis. Infark miokard yang merupakan hasil
dari penyakit jantung koroner, yang mana obstruksi aliran darah karena plak arteri
koroner atau mekanisme yang menghalanginya (misalnya spasm of plaquefree
arteries). Plak selalu konsekuensi dari aterosklerosis. Dimana plak yang ditandai
dengan terjadinya peradangan pada pembuluh darah dilokasi plak berada.
Ditempat tersebut kemungkinan terjadi erosi, fissuring atau bahkan pecahnya plak
(Mendis et al., 2010).
IMA adalah kondisi dimana tidak mencukupinya pemasokan darah dan
oksigen ke miokardium karena adanya trombus yang menyumbat arteri koroner
yang mengakibatkan nekrosis miokard (Fauci 2010). IMA terjadi ketika iskemia
miokard terjadinya nekrosis. IMA paling sering disebabkan oleh rupture
aterosklerosis dalam arteri koroner, sehingga menyebabkan pembentukan trombus
arteri berhenti memasokkan darah ke jantung (Gambar 2.3) (Aaronson et al.,
2013).
C. Epidemiologi Infark Miokard Akut
Cardiovascular Disease adalah penyebab kematian no. 1 di dunia, lebih
banyak orang yang meninggal setiap tahunnya karena penyakit kardiovaskular
daripada penyakit lainnya. Diperkirakan 17,5 juta orang meninggal karena
penyakit kardiovaskular pada tahun 2012, mewakili 31% dari seluruh kematian di
dunia. Dari kematian ini, diperkirakan 7,4 juta adalah karena penyakit jantung
koroner dan 6,7 juta adalah akibat stroke. Penyakit jantung koroner merupakan
penyakit kardiovaskular yang berkaitan dengan pembuluh darah yang mengangkut
suplai oksigen ke jantung (WHO, 2016). IMA merupakan salah satu dari lima
manifestasi akut penyakit jantung koroner, yaitu angina pektoris stabil, angina
pektoris tidak stabil, infark miokard, gagal jantung dan henti jantung (Mendis et
al., 2010).
Menurut data American Heart Association ada 81.100.000 kasus penyakit
jantung diseluruh duna, diantaranya sebanyak 17.600.000 kasus penyakit jantung
koroner adalah manifestasi IMA. Laporan American Heart Association tahun
2010 kasus IMA terjadi 8.500.000. Terhitung sebanyak 7.200.000 (12,2%)
kematian terjadi akibat penyakit ini di seluruh dunia. IMA merupakan penyebab
kematian nomor dua pada negara berpenghasilan rendah, dengan angka mortalitas
2.470.000 (9,4%) (Budiman dkk, 2015).
Di Indonesia pada tahun 2002, penyakit IMA merupakan penyebab
kematian pertama, dengan angka mortalitas 220.000 (14%). Direktorat Jendral
Pelayanan Medik Indonesia meneliti pada tahun 2007, jumlah pasien penyakit
jantung yang menjalani rawat inap dan rawat jalan di Rumah Sakit di Indonesia
ada 239.548 jiwa. Kasus terbanyak adalah penyakit jantung iskemik (110.183
kasus). Case Fatality Rate (CFR) tertinggi terjadi pada IMA (13,49%) dan
kemudian diikuti oleh gagal jantung (13,42%) dan penyakit jantung lainnya
(13,37%) (Budiman dkk, 2015). Berdasarkan Riskesdas tahun 2014 menunjukkan
bahwa prevalensi penyakit jantung koroner berdasarkan pernah diagnosis dokter
di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 0,5 persen, sedangkan berdasarkan
diagnosis dokter atau gejala sebesar 0,13 persen (info datin, 2014).
D. Etiologi Infark Miokard Akut
IMA terjadi ketika aliran darah ke jantung menurun menyebabkan iskemia
miokard (kerusakan atau cedera pada otot jantung). Dalam banyak kasus, IMA
disebabkan oleh oklusi dari satu atau lebih pembuluh darah koroner oleh
thrombus, dan disertai dengan nyeri dada yang parah. Dalam beberapa kasus,
selain thrombus aliran darah berkurang disebabkan oleh masalah pembuluh darah.
Penyebab yang paling mendasari dari IMA adalah penyakit arteri koroner
aterosklerosis, yang menyebabkan obstruksi progresif dari arteri di jantung.
Adapun faktor resiko yang mempengaruhi perkembangan penyakit koroner adalah
riwayat keluarga, diet, kurang olahraga, peningkatan LDL, penurunan HDL,
merokok, hipertensi dan diabetes melitus (Mattingly and Lohr, 1990; Fauci et al.,
2010).
E. Patofisiologi Infark Miokard Akut

Gambar Patofisiologi IMA (Aaronson et al., 2013)


Pada gambar 2.4, plak koroner yang rawan pecah biasanya kecil dan non-
obstruktif, dengan inti yang kaya akan lipid yang besar ditutupi oleh fibrosa cap
tipis. Plak ini biasanya berisi makrofag yang berlimpah dan limfosit T yang
diduga melepaskan metalloprotease dan sitokin yang melemahkan fibrosa cap,
yang menyebabkan plak mudah robek atau mengikis karena tegangan yang
disebabkan oleh aliran darah. Pecahnya plak membuat kolagen subendothelial
terpapar sehingga mengaktivasi platelet dan menyebabkan agregasi. Defisit
(kekurangan) yang dihasilkan dari faktor antitrombotik seperti trombomodulin
dan prostasiklin
meningkatkan pembentukan thrombus. Nekrosis mulai berkembang di
subendokardium sekitar 15-30 menit setelah oklusi koroner. Wilayah nekrotik
meluas ke luar epicardium selama 3-6 jam setelahnya, hingga meluas ke seluruh
dinding ventrikel. Antara 4-12 jam setelah kematian sel dimulai, pada miokardium
yang mengalami infark mulai mengalami koagulasi nekrosis. Setelah sekitar 18
jam, neutrophil (limfosit fagosit) memasuki infark. Setelah 3-4 hari, jaringan
granulasi muncul di zona infark, yang terdiri dari makrofag, fibroblast, yang
menyusun jaringan luka dan kapiler baru. ketika jaringan granulasi bermigrasi ke
dalam menuju pusat infark selama beberapa minggu, jaringan nekrotik akan
dimakan dan dicerna oleh makrofag. Setelah 2-3 bulan, infark menyembuh,
meninggalkan wilayah non kontak dari dinding ventrikel yang menipis, mengeras
dan berwarna abu-abu pucat (Aaronson et al., 2013).
 Aktivasi Sympathetic Nervous System (SNS)

Gambar Aktivasi dari SNS (Rozanski et al., 1999)


Pada gambar 2.5, Rasa sakit dan kecemasan terkait dengan infark miokard
akut mengaktifkan SNS, yang menyebabkan vasokontriksi sistemik dan stimulasi
jantung. Sedangkan aktivasi SNS membantu menjaga tekanan arteri, yang mana
juga menyebabkan peningkatan yang besar dalam permintaan oksigen miokard
yang dapat menyebabkan hipoksia miokard yang lebih besar, memperluas wilayah
infark, memicu aritmia dan selanjutnya bisa merusak fungsi jantung (Rozanski et
al., 1999).
Aktivasi dari SNS setelah iskemia miokard merupakan mekanisme
kompensasi. Mekanisme kompensasi (penyempitan pembuluh darah, peningkatan
curah jantung, dan retensi natrium dan air di ginjal) bertujuan untuk
mempertahankan curah jantung, terjadi ketika jaringan luka yang terbentuk pada
daerah nekrotik menghambat kontraksi. Pelebaran ventrikel juga dapat terjadi
dalam proses yang disebut remodeling. Fungsinya, infark miokard dapat
menyebabkan penurunan kontraktilitas dan gerakan dinding yang abnormal,
mengurangi volume stroke, mengurangi fraksi ejeksi, dan peningkatan tekanan
akhir diastol ventrikel kiri (Arnold et al., 2001).
PATHWAY
F. Faktor Resiko Infark Miokard Akut
Terdapat sejumlah faktor atau kondisi yang dapat meningkatkan
kemungkinan seseorang akan mengalami penyakit kardiovaskular. Faktor resiko
biasanya sebagai penyebab atau promotor dari penyakit kardiovaskular. Faktor
resiko ada yang bersifat tetap dan ada yang dapat dimodifikasi atau diperbaiki.
Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi atau bersifat tetap meliputi usia, jenis
kelamin, ras dan riwayat keluarga. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi seperti
merokok, dislipidemia, hipertensi, diabetes mellitus, obesitas dan inaktivitasi fisik,
yang mana dapat diperbaiki atau dihilangkan dengan perubahan gaya hidup
dan/atau dengan terapi farmakologi. Pendekatan ini telah terbukti dapat
menurunkan kejadian dan keparahan dari penyakit kardiovaskular, dan secara
khusus disetujui karena penyakit kardiovaskular yang nya bersifat irreversible dan
mematikan (Aaronson et al., 2013).
Tabel II. 1 Faktor Resiko IMA
Faktor Resiko Infark Miokard Akut

Tidak Dapat Dimodifikasi Dapat Dimodifikasi

Usia Hipertensi

Jenis Kelamin Dislipidemia

Riwayat keluarga Obesitas


Ras Diabetes Mellitus

Merokok

Inaktivasi Fisik

(Aaronson et al., 2013)

G. Manifestasi Klinik
Meskipun beberapa orang tidak menunjukkan gejala-gejala yang jelas dari
infark miokard (serangan jantung), adapaun manifestasi klinis yang signifikan
biasanya terjadi:
 Timbul rasa sakit yang bisanya mendadak
 Mual dan muntah
 Rasa lemah
 Nyeri perut, gangguan pencernaan, kulit lembab dan dingin atau pusing
(gejala yang biasa dialami wanita)
 Kulit menjadi dingin, lembab dan pucat karena vasokontriksi simpatis
 Output urine menurun terkait dengan penurunan aliran darah ginjal dan
peningkatan aldosterone dan ADH.
 Takikardia
 Rasa cemas (stress)
Manifestasi klinik klasik dari IMA sama seperti angina tetapi mungkin
sedikit lebih parah yaitu seperti adanya tekanan yang berat pada dada atau
perasaan seperti diremas, perasaan terbakar, atau kesulitan bernapas. Rasa tidak
nyaman tersebut dapat menjalar ke bahu kiri, leher, atau lengan. Biasanya hal
tersebut terjadi secara tiba-tiba, berlangsung lebih dari 30 menit dan sering juga
terjadi sesak napas, lemah, mual, serta muntah (Bonow et al., 2012).
Infark miokard paling sering terjadi pada pagi hari. Mekanisme yang dapat
menjelaskan variasi sirkadian ini mencakup peningkatan nada simpatik di pada
hari yang menyebabkan tekanan darah, denyut jantung, tonus pembuluh darah
koroner, dan kontraktilitas miokard; peningkatan viskositas darah di pagi hari,
koagulabilitas, dan aggregability platelet; dan peningkatan kadar serum kortisol
pagi hari dan katekolamin plasma yang mengarah ke aktivitas simpatik yang
berlebihan, sehingga mengakibatkan peningkatan kebutuhan miokard (Zafari,
2017; Wijnbergen et al., 2012).
H. Klasifikasi Infark Miokard Akut
Infark miokard akut dibagi menjadi NSTEMI (Non-ST Elevation
Myocardial Infarction) dan STEMI (ST Elevation Myocardial Infarction). Pada
NSTEMI disebabkan oleh penurunan pasokan oksigen dan/atau oleh peningkatan
oksigen miokard. Sedangkan pada STEMI biasanya terjadi ketika aliran darah
koroner menurun tiba-tiba setelah oklusi trombotik dari arteri koroner akibat dari
arterosklerosis (Fauci et al., 2010).

Gambar STEMI dan NSTEMI (Bonow et al., 2012)

Selain itu, infark miokard diklasifikasi kedalam berbagai jenis, berdasarkan


pada perbedaan patogologis, klinis dan prognostik. Terdapat 5 tipe infark miokard
(Thygesen et al., 2012):
1) MI tipe 1 : infark miokard spontan
2) MI tipe 2 : infark miokard sekunder ketidakseimbangan iskemik
3) MI tipe 3 : infark miokard yang mengakibatkan kematian ketika nilai-
nilai biomarker tidak tersedia
4) MI tipe 4a : infark miokard berkaitan dengan intervensi Percutaneus
Coronary Intervention (PCI)
5) MI tipe 4b : infark miokard berkaitan dengan thrombosis stent, yang
didokumentasikan oleh angiography atau otopsi.
6) MI tipe 5 : infark miokard yang berkaitan dengan Coronary Artery
Bypass Graft (CABG)
I. Komplikasi Infark Miokard
a) Gangguan Irama dan Konduksi

Ini terjadi pada 95% pasien dengan infark miokard akut. Sinus takikardia
sering dijumpai dan merupakan petunjuk beratnya penyakit. Sinus bradikardia
sering ditemui pada saat infark akut, kadang-kadang merupakan bagian dari
sindroma vasovagal, terutama berhubungan dengan infark miokard inferior dan
bisa juga diprovokasi oleh morfin atau digitalis. Gangguan ini biasanya ringan
tetapi dapat menyebabkan hipotensi atau menimbulkan irama ektopik. Bila blok
jantung merupakan komplikasi dari infark anterior, kematian biasanya tinggi.
Blok ini
disebabkan kerusakan kedua cabang berkas dan biasanya bersamaan dengan
kerusakan miokard yang luas. Penderita biasanya mengalami gagal jantung dan
prognosisnya buruk walaupun blok jantungnya ditangani dengan baik (Rilantono
et al., 2004).
b) Gagal Jantung Kiri
Gagal jantung kiri jarang ditemui pada serangan infark miokard akut, tetapi
bila terjadi pada 2/3 penderita biasanya timbul dalam waktu 48 jam. Pada
penderita gagal jantung, selain takikardia bisa terdengar bunyi jantung ke tiga,
krepitasi paru yang luas dan terlihat kongesti vena paru atau edema paru pada foto
rontgen toraks. Tekanan pada pembuluh baji paru biasanya lebih dari 20 mmHg
(Rilantono et al., 2004).
c) Gagal Ventrikel Kanan
Gagal ventrikel kanan ditandai oleh peningkatan tekanan vena jugularis dan
sering ditemui pada hari-hari pertama sesudah infark akut. Infark ventrikel kanan,
yang hamper selalu bersamaan dengan infark dinding inferior dapat menyebabkan
tekanan vena yang tinggi dan sindroma renjatan, walaupun fungsi ventrikel kiri
masih baik. Gambaran klasik gagal jantung kanan yang berupa edema perifer dan
pembesaran hepar jarang dijumpai dan memerlukan beberapa hari untuk
timbulnya gejala, walaupun itu pada penderita dengan kerusakan miokard yang
luas (Rilantono et al., 2004).
J. Penatalaksanaan Terapi
Terapi awal untuk IMA yakni diarahkan restorasi perfusi sesegera mungkin
untuk menyelamatkan miokardium sebanyak yang mungkin dapat
membahayakan. Hal ini dapat dilakukan melalui cara-cara medis atau mekanis,
seperti Percutaneus Coronary Intervention (PCI) atau Coronary Artery Bypass
Graft (CABG).
Meskipun pengobatan awal dari berbagai jenis sindrom koroner akut (SKA)
mungkin tampak mirip, sangat penting untuk membedakan antara apakah pasien
memiliki ST-elevasi MI (STEMI) atau Non-STEMI (NSTEMI), karena terapi
definitif berbeda antara kedua jenis MI. Pertimbangan tertentu dan perbedaan
membedakan urgensi terapi dan tingkat bukti mengenai pilihan farmakologis yang
berbeda (Zafari, 2017).

1. Terapi Non Farmakologi


Untuk pasien dengan STEMI dalam waktu 12 jam onset gejala, pilihan
pengobatan reperfusi adalah awal reperfusi dengan penanganan pasien yang
mengalami primary PCI arteri dalam waktu 90 menit kontak medis pertama.
Untuk pasien dengan NSTEMI, direkomendasikan angiografi koroner dengan PCI
atau operasi CABG revaskularisasi sebagai pengobatan awal untuk pasien berisiko
tinggi, namun juga dapat dipertimbangkan untuk pasien yang tidak berisiko tinggi
(Dipiro et al., 2015).

a. Penggunaan Oksigen
Oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%.
Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi diberikan oksigen selama 6 jam
pertama (Sudoyo et al., 2014).
Suplemen oksigen dengan masker atau nasal cannula diindikasikan untuk
pasien yang terengah-engah, hipoksia (saturasi oksigen <90%), atau yang dengan
gagal jantung. Penggunaan oksigen pada pasien dengan IMA yang tidak termasuk
dalam salah satu dari tiga kategori yang disebutkan diatas masih belum jelas,
dengan beberapa penelitian yang menunjukkan bahaya pada pasien tersebut
(Cabello et al., 2013).
b. Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik mungkin tidak berguna pada pasien yang datang lebih
dari 12 jam setelah onset gejala, meskipun pedoman praktek saat
merekomendasikan pertimbangan fibrinolisis pada pasien dengan gejala area
besar miokardium berisiko (berdasarkan EKG atau pencitraan kardiovaskular)
atau ketidaksatbilan hemodinamik jika PCI tidak tersedia (Zafari, 2017).
Tujuan utama fibrinolysis adalah restorasi cepat patensi arteri koroner.
Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik antara lain: tissue plasminogen
activator (tPA), streptokinase, tenekteplase (TNK) dan reteplase (rPA). Semua
obat ini bekerja dengan cara memicu konversi plasminogen menjadi plasmin yang
selanjutnya melisiskan thrombus fibrin. Terdapat 2 kelompok yaitu: golongan
spesifik fibrin seperti tPA dan non spesifik fibrin seperti streptokinase (Sudoyo et
al., 2014).
Tabel Obat Fibrinolitik dalam Pengobatan STEMI
Streptokinase Alteplase

(rt-PA)

Dosis 1,5 juta unit dalam 100 mL Bolud 15 mg intravena 0,75 mg/kg
dextrose 5% atau larutan selama 60 menit.
salin 0,9% dalam waktu
Dosis total tidak lebih dari 100 mg
30-
60 menit
(PERKI, 2015)

c. Antiplatelet
a) Aspirin
Aspirin untuk semua pasien tanpa kontraindikasi dalam waktu 24 jam
sebelum atau setelah kedatang ke rumah sakit. Aspirin merupakan tatalaksana
dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada spectrum sindrom
koroner akut inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi
kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis 160-325
mg di ruang emergensi. Selanjutnya untuk dosis pemeliharaan seumur hidup,
aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg setelah STEMI. Karena
peningkatan resiko perdarahan pada pasien yang meneruma aspirin ditambah
inhibitor P2Y12, aspirin dosis rendah (81 mg sehari) lebih disukai diikuti PCI
(Dipiro et al., 2015; Sudoyo et al., 2014).
b) Inhibitor Platelet P2Y12
Clopidogrel, prasugrel, dan ticargrelor memblokir subtype dari reseptor
ADP (reseptor P2Y12) pada trombosit, mencegah pengikatan ADP ke resptor dan
ekspresi berikutnya dari trombosit reseptor GP IIb/IIIa, mengurangi agregasi
platelet. Inhibitor reseptor P2Y12 selain aspirin direkomendasikan untuk semua
pasien dengan STEMI. Untuk pasien yang menjalani PCI primer, diberikan
clopidogrel, prasurgel, atau ticagrelor, selain aspirin, untuk mencegah subakut
stent thrombosis dan kardiovaskular jangka panjang. Durasi yang dianjurkan
inhibitor P2Y12 untuk menjalani PCI pasien (baik STEMI atau NSTEMI)
setidaknya 12 bulan untuk pasien yang menerima baik logama kosong atau stent
drug-eluting (Dipiro et al., 2015).
 Ticagrelor : dosis awal yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang
direncanakan untuk perfusi menggunakan fibrinolitik (PERKI, 2015).
 Clopidogrel : dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk
terapi reperfusi menggunakan fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang
dianjurkan adalah clopidogrel) (PERKI, 2015).
c) Glycoprotein IIb/IIIa Receptor Inhibitor

GP IIb/IIIa inhibitor reseptor memblokir jalur akhir dari agregasi platelet,


yaitu closs-linking trombosit oleh jembatan fibrinogen antara GP IIb dan IIIa
reseptor di permukaan platelet. GP IIb/IIIa inhibitor tidak diberikan pada pasien
STEMI yang tidak mendapatkan terapi PCI (Dipiro et al., 2015).
 Abciximab: 0,25 mg/kg IV bolus diberikan 10 sampai 60 menit sebelum
dimulainya PCI, diikuti 0,125 mcg/kg/menit (maksimum 10 mcg/menit)
selama 12 jam.
 Eptifibatide: 180 mcg/kg IV bolus, diulang dalam 10 menit, dilanjutkan
dengan infus 2 mcg/kg/menit untuk 18 sampai 24 jam setelah PCI.
 Tirofiban: 25 mcg/kg IV bolus, kemudian 0,15 mcg/kg/menit sampai 18
sampai 24 jam setelah PCI.
d. Antikoagulan
Antikoagulan merupakan terapi tambahan penting untuk terapi reperfusi
terlepas dari strategi yang dipilih (PCI primer atau terapi fibrinolitik).
Antikoagulan yang berbeda tersedia; utilitas masing-masing agen tergantung pada
konteks klinis dengan mempertimbangkan metode reperfusi. Untuk pasien yang
menjalani PCI, hentikan antikoagulan segera setelah prosedur. Pada pasien yang
menerima antikoagulan ditambah fibrinolitik, lanjutkan UFH selama minimal 48
jam dan enoxaparin dan fondaparinux selama rawat inap, hingga 8 hari. Pada
pasien yang tidak menjalani terapi reperfusi, terapi antikoagulan dapat diberikan
hingga 48 jam untuk UFH atau selama rawat inap untuk enoxaparin atau
fondaparinux (Dipiro et al., 2015).
Tabel Jenis dan Dosis antikoagulan untuk IMA

Antikoagulan Dosis

Fondaparinuks 2,5 mg subkutan

Enoksaparin 1mg/kg, dua kali sehari

Heparin tidak Bolus i.v 60 Unit/kg, dosis maksimal 4000 U.


terfraksi
(UFH) Infus i.vi. 12 Unit/kg selama 24-48 jam dengan
dosis maksimal 1000 U/jam target aPTT 1½-2x
control
(PERKI, 2015)
K. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN STEMI
a. Pengkajian
1) Keluhan utama
Keluhan utama biasanya nyeri dada, perasaan sulit  bernafas, dan pingsan.
2) Riwayat Penyakit Sekarang
3) Pengkajian RPS yang mendukung keluhan utama dilakukan dengan
mengajukan serangkaian pertanyaan mengenai nyeri dada pada klien
secara PQRST yang meliputi:
a) Provoking incident : nyeri setelah beraktivitas dan tidak berkurang
dengan istirahat dan setelah diberikan nitrogliserin.
b) Quality of pain : seperti apa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Sifat nyeri dapat seperti tertekan, di peras, atau
diremas.
c) Region : radiation, relief: lokasi nyeri di daerah substernal atau
nyeri di atas perikardium. Penyebaran nyeri dapat meluas hingga
area dada. Dapat terjadi nyeri dan ketidakmampuan menggerakkan
bahu dan tangan.
d) Severity (Scale) of pain : klien ditanya dengan menggunakan
rentang 0-4 atau 0-10 (visual analogue scale-VAS) dan klien akan
menilai seberapa berat nyeri yang dirasakan. Biasanya pada saat
angina terjadi, skala nyeri berkisar antara 3-4 (skala 0-4) atau 7-9
(skala 0-10).
e) Time : sifat mula timbunya (onset). Biasanya gejala nyeri timbul
mendadak. Lama timbulnya (durasi) nyeri dada umumnya
dikeluhkan lebih dari 15 menit. Nyeri oleh Infark Miokardium
dapat timbul pada waktu istirahat, nyeri biasanya dirasakan lebih
berat dan berlangsung lebih lama. Gejala-gejala yang menyertai
infark miokardium meliputi dispnea, berkeringat, ansietas, dan
pingsan.
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian riwayat penyakit dahulu  akan sangat mendukung
kelengkapan data kondisi daaat ini. Data ini ddiperoleh dengan
mengkaji apakah sebelumnya klien pernah menderita nyeri dada,
hipertensi, DM, hiperlipidemia. Cara mengkaji sebaiknya sekuens dan
terinci. Tanyakan mengenai obat-obatan yang biasa diminum oleh klien
pada masa yang lalu yang masih relevan dengan obat-obatan antiangina
seperti nitrat dan penghambat beta serta obat-obatan antihipertensi.
Catat adanya efek samping yang terjadi di masa lalu, alergi obat,
dan reaksi alergi yang timbul. Seringkali klien menafsirkan suatu alergi
sebagai efek samping obat.
5) Riwayat Keluarga
Perawat senantiasa harus menanyakan tentang penyakit yang
pernah di alami oleh keluarga, anggota keluarga yang meninggal, dan
penyebab kematian. Penyakit jantung iskemik pada orang tua yang
timbunya pada usia muda merupakan faktor resiko utama terjadinya
penyakit jantung iskemik pada keturunannya.
6) Riwayat pekerjaan dan pola hidup
Perawat menanyakan situasi tempat bekerja dan lingkungannya.
Demikian pula dengan kebiasaan sosial dengan menanyakan kebiasaan
dan pola hidup misalnya minum alkohol atau obat tertentu. Kebiasaan
merokok dikaji dengan menanyakan kebiasaan merokok sudah berapa
lama, berapa batang perhari, dan jenis rokok.
Disamping pertanyaan-pertanyaan diatas, data biografi juga
merupakan data yang perlu diketahui seperti nama, umur, jenis kelamin,
tempat tinggal, suku, dan agama yang dianut oleh klien.
Dalam mengajukan pertanyaan kepada klien, hendaknya
perhatikan kondisi klien. Bila klien dalam keadaan kritis, maka
pertanyaan yang diajukan bukan pertanyaan terbuka tetapi pertanyaan
tertutup, yaitu pertanyaan yang jawabannya adalah “ya” dan “tidak”.
Atau pertanyaan yang dapat dijawab dengan gerakan tubuh seperti
mengangguk atau menggelengkan kepala sehingga tidak memerlukan
energi yang besar.
7) Pengkajian Psikososial
Perubahan integritas ego terjadi bila klien menyangkal, takut
mati, perasaan ajal sudah dekat, marah pada penyakit, atau perawatan
yang tak perlu, kuatir tentang keluarga, pekerjaan, dan keuangan. Gejala
perubahan integritas ego yang dapat di kaji adalah klien menolak,
menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah, marah, perilaku
menyerang, dan fokus pada diri sendiri.
Perubahan interaksi sosial yang dialami klien terjadi karena
stress yang dialami klien dari berbagai aspek seperti keluarga,
pekerjaan, kesulitan biaya ekonomi, atau kesulitan koping dengan
stressor  yang ada.
8) Pemeriksaan FISIK
a) Keadaan umum
Pada pemeriksaan keadaan umum, kesadaran klien IMA biasanya baik
atau Compos mentis (cm) dan akan berubah sesuai tingkat
gangguan yang melibatkan perfusi sistem saraf pusat
b) B1 (breathing)
Klien terlihat sesak, frekuensi nafas melebihi normal dan mengeluh
sesak nafas seperti tercekik. Dispnea cardiak biasanya ditemukan.
Sesak nafas terjadi akibat tenaga dan disebabkan oleh kenaikan
tekanan akhir diastolik ventrikal kiri yang meningkatkan tekanan
vena pulmonalis. Hal ini terjadi karena terdapat kegagalan
peningkatan curah darah ventrikal kiri pada saat melakukan
kegiatan fisik. Dispnea kardiak pada infark miokardium yang
kronis dapat timbul pada saat istirahat.
c) B2 (blood)
i. Inspeksi
Inspeksi adanya jaringan parut pada dada klien. Keluhan lokasi
nyeri biasanya di daerah substernal atau nyeri diatas
perikardium. Penyebaran nyeri dapat meluas di dada. Dapat
terjadi nyeri dan ketidakmampuan menggerakkan bahu dan
tangan.
ii. Palpasi
Denyut nadi perifer melemah. Thrill pada Iinfark Miokard Akut
tanpa komplikasi biasanya tidak ditemukan
iii. Auskultasi
Tekanan darah biasanya menurun akibat penurunan volume
sekuncup yang disebabkan Infark Miokard Akut. Bunyi
jantung tambahan akibat kelainan katup biasanya ditemukan
pada Infark Miokard Akut tanpa komplikasi
iv. Perkusi
Batas jantung tidak mengalami pergeseran
d) B3 (brain)
Kesadaran umum klien biasanya Compos Mentis. Tidak ditemuan
sianosis perifer. Pengkajian objek klien, yaitu wajah meringis,
perubahan postur tubuh, menangis, merintih, meregang, dan
menggeliat yang merupakan respons dari adanya nyeri dada akibat
infark pada miokardium.
e) B4 (bladder)
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan
klien. Oleh karena itu, perawat perlu memonitor adanya oliguria
pada klien dengan Infark Miokard Akut karena merupakan tanda
awal syok kardiogenik.
f) B5 (bowel)
Klien biasanya mengalami mual muntah. Pada palpasi abdomen
ditemukan nyeri tekan pada keempat kuadran, penurunan
peristaltik usus yang merupakan tanda utama Infark Miokard Akut
g) B6 (Bone)
Aktivitas klien biasanya mengalami perubahan. Klien sering merasa
kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur, pola hidup menetap, dan
jadwal olahraga teratur. Tanda klinis yang lain ditemukan adalah
takikardia, dispnea pada saat istirahat maupun beraktivitas.
Kaji hygienis personal klien dengan menanyakan apakah klien
mengalami kesulitan melakukan tugas perawatan diri.

b. Diagnosa Keperawatan Infark Miokard Akut dengan STEMI


Wijaya & Putri (2013) di dalam buku KMB1. Diagnosis pada pasien
dengan penyakit ST Elevasi Miokard Infark Akut adalah
1) Risiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan factor-
faktor listrik, penurunan karakteristik miokard
2) Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan , iskemik, kerusakan
otot jantung, penyempitan / penyumbatan pembuluh darah arteri
koronaria
3) Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan aliran darah
ke alveoli atau kegagalan utama paru, perubahan membran
alveolarkapiler ( atelektasis , kolaps jalan nafas! alveolar edema
paru/efusi, sekresi berlebihan / perdarahan aktif)
4) Nyeri berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap
sumbatan arteri
5) Risiko kelebihan volume cairan ekstravaskuler berhubungan dengan
penurunan perfusi ginjal, peningkatan natrium l retensi air , peningkatan
tekanan hidrostatik, penurunan protein plasma.
6) Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai oksigen miocard dan kebutuhan, adanya iskemik/ nekrotik
jaringan miocard ditandai dengan gangguan frekuensi jantung, tekanan
darah dalam aktifitas,
7) Cemas berhubungan dengan ancaman aktual terhadap integritas biologis
8) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang
fungsi jantung / implikasi penyakit jantung dan status kesehatan yang
akan datang , kebutuhan perubahan pola hidup ditandai dengan
pernyataan masalah, kesalahan konsep, pertanyaan, terjadinya
kompliksi yang dapat dicegah
c. Intervensi Keperawatan Infark Miokard Akut dengan STEMI
Tujuan utama intervensi menurut Wijaya dan Putri di dalam buku KMB 1 (2013) adalah sebagai berikut :

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


1 Nyeri berhubungan dengan iskemia Tujuan : 1. Observasi karakteristik, lokasi, waktu, dan
jaringan sekunder terhadap sumbatan Setelah dilakukan intervensi keperawatan perjalanan rasa nyeri dada tersebut.
arteri ditandai dengan : selama 3x24 jam diharapkan nyeri berkurang. 2. Anjurkan pada klien menghentikan aktifitas
a. nyeri dada dengan / tanpa selama ada serangan dan istirahat.
penyebaran wajah meringis Kriteria Hasil: 3. Bantu klien melakukan tehnik relaksasi, mis
b. gelisah a. Nyeri dada berkurang misalnya dari skala 3 nafas dalam, perilaku distraksi, visualisasi, atau
c. delirium ke 2, atau dari 2 ke 1 bimbingan imajinasi.
d. perubahan nadi, tekanan darah. b. tidak gelisah 4. Pertahankan Oksigenasi dengan bikanul
c. nadi 60-100 x/menit contohnya ( 2-4 L/menit )
d. TD 120/ 80 mmHg 5. Monitor tanda-tanda vital ( Nadi & tekanan
darah ) tiap dua jam.
6. Kolaborasi dengan tim kesehatan dalam
pemberian analgetik.
2 Risiko penurunan curah jantung Tujuan : 1. Pertahankan tirah baring selama fase akut
berhubungan dengan perubahan Setelah dilakukan intervensi keperawatan 2. Kaji dan laporkan adanya tanda tanda
factor-faktor listrik, penurunan selama 3x 24 jam diharapkan curah jantung penurunan COP, TD
karakteristik miokard membaik / stabil setelah dilakukan tindakan 3. Monitor haluaran urin
keperawatan selama di RS 4. Kaji dan pantau TTV tiap jam
b.  5. Kaji dan pantau EKG tiap hari
Kriteria Hasil : 6. Berikan oksigen sesuai kebutuhan
-    a. Tidak ada edema 7. Auskultasi pernafasan dan jantung tiap jam
-   b. Tidak ada disritmia sesuai indikasi
-   c. Haluaran urin normal 8. Pertahankan cairan parenteral dan obat-obatan
-   d. TTV dalam batas normal sesuai advis
9. Berikan makanan sesuai diitnya
3 Gangguan perfusi jaringan Tujuan: 1. Monitor Frekuensi dan irama jantung
berhubungan dengan, iskemik, Setelah dilakukan intervensi keperawatan 2. Observasi perubahan status mental
kerusakan Otot jantung,penyempitan / selama 3x 24 jam diharapkan gangguan perfusi 3. Observasi warna dan suhu kulit / membran
penyumbatan pembuluh darah arteri jaringan berkurang / tidak meluas. mukosa
koronaria ditandai dengan : . 4. Ukur haluaran urin dan catat berat jenisnya
a. Daerah perifer dingin Kriteria Hasil: 5. Kolaborasi : Berikan cairan IV l sesuai
b. EKG elevasi segmen ST & Q a. Daerah perifer hangat indikasi
patologis pada lead tertentu b. tak sianosis gambaran EKG tak 6. Pantau Pemeriksaan diagnostik / dan
c. RR lebih dari 24 x/ menit menunjukan perluasan infark laboratorium mis EKG, elektrolit , GDA / Pa
d. Kapiler refill Lebih dari 3 detik c. RR 16-24 x/menit O2, (Pa C02 dan saturasi 02). Dan Pemberian
e. Nyeri dada d. tak terdapat clubbing finger kapiler refill oksigen
f. Gambaran foto torak terdapat 3-5 detik
pembesaran jantung & kongestif e. nadi 60-100x / menit
paru (tidak selalu) f. TD 120/80 mmHg
g. HR lebih dari 100 x/menit, TD >
120/80, AGD dengan : pa 02 < 80
mmHg, pa Co2> 45 mmHg dan
Saturasi < 80 mmHg
h. Nadi lebih dari 100 x/ menit
i. Terjadi peningkatan enzim
jantung yaitu CK, AST,
LDL/HDL
4 Risiko kelebihan volume cairan Tujuan : 1. Ukur masukan / haluaran, catat penurunan ,
ekstravaskuler berhubungan dengan Setelah dilakukan intervensi keperawatan pengeluaran, sifat konsentrasi, hitung
penurunan perfusi ginjal, peningkatan selama 3x 24 jam diharapkan keseimbangan keseimbangan cairan
natrium / retensi air , peningkatan volume cairan dapat dipertahankan. 2. Observasi adanya oedema dependen
tekanan hidrostatik, penurunan protein 3. Timbang BB tiap hari
plasma. Kriteria Hasil : 4. Pertahankan masukan total caiaran 2000 ml/24
a. tekanan darah dalam batas normal jam dalam toleransi kardiovaskuler
b. tak ada distensi vena perifer vena dan 5. Kolaborasi : pemberian diet rendah natrium,
edema dependen berikan diuretik.
c. paru bersih
d. berat badan ideal ( BB idealTB -100 : 10 %)

5 Kerusakan pertukaran gas 1. Catat frekuensi & kedalaman pernafasan,


berhubungan dengan gangguan aliran Tujuan : penggunaan otot Bantu pernafasan
darah ke alveoli atau kegagalan utama Setelah dilakukan intervensi keperawatan 2. Auskultasi paru untuk mengetahui penurunan /
paru, perubahan membran selama 3x 24 jam diharapkan Oksigenasi tidak adanya bunyi nafas dan adanya bunyi
alveolarkapiler ( atelektasis . kolaps dengan GDA dalam rentang normal (pa 02 < 80 tambahan misal krakles, ronki dll.
jalan nafas/ alveolar edema paru/ mmHg, pa Co2> 45 mmHg dan Saturasi < 80 3. Lakukan tindakan untuk memperbaiki /
efusi, sekresi berlebihan / perdarahan mmHg ). mempertahankan jalan nafas misalnya , batuk,
aktif ) ditandai dengan : penghisapan lendir dll.
a. Dispnea berat Kriteria hasil : 4. Tinggikan kepala / tempat tidur sesuai
b. Gelisah a. Tidak sesak nafas kebutuhan / toleransi pasien
c. Sianosis b. tidak gelisah 5. Kaji toleransi aktintas misalnya keluhan
d. perubahan GDA c. GDA dalam batas Normal ( pa 02 < 80 kelemahan/ kelelahan selama kerja atau tanda
e. hipoksemia mmHg, pa Co2> 45 mmHg dan Saturasi < vital berubah.
80 mm
6 Intoleransi aktifitas berhubungan tujuan: 1. catat frekuensi jantung, irama, dan perubahan
dengan ketidakseimbangan antara Setelah dilakukan intervensi keperawatan TD selama dan sesudah aktivitas ) Tingkatkan
suplai oksigen miocard dan selama 3x 24 jam diharapkan terjadi istirahat ( di tempat tidur)
kebutuhan, adanya iskemik/ nekrotik peningkatan toleransi pada klien. 2. Batasi aktintas pada dasar nyeri dan berikan
jaringan miocard ditandai dengan aktifitas sensori yang tidak berat
gangguan frekuensi jantung, tekanan Kriteria Hasil : 3. Jelaskan pola peningkatan bertahap dari tingkat
darah dalam aktifitas, terjadinya a. klien berpartisipasi dalam aktifitas sesuai aktifitas, contoh bengun dari kursi bila tidak ada
disritmia, kelemahan umum kemampuan klien > frekuensi jantung 60- nyeri, ambulasi dan istirahat selam 1 jam setelah
100 x/menit mkan
b. TD 12O-80mmHg 4. Kaji ulang tanda gangguan yang menunjukan
tidak toleran terhadap aktifitas atau memerlukan
pelaporan pada dokter.
7 Cemas berhubungan dengan ancaman Tujuan : 1. Kaji tanda dan respon verbal serta non verbal
aktual terhadap integritas biologis Setelah dilakukan intervensi keperawatan terhadap ansietas
selama 3x 24 jam diharapkan cemas hilang, 2. Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman
berkurang. 3. Ajarkan tehnik relaksasi
4. Minimalkan rangsang yang membuat stress
Kriteria Hasil : 5. Diskusikan dan orientasikan klien dengan
a. Klien tampak rileks lingkungan dan peralatan
b. Klien dapat beristirahat ) TTV dalam batas 6. Berikan sentuhan pada klien dan ajak klien
normal berbincang-bincang dengan suasana tenang
7. Berikan support mental
8. Kolaborasi pemberian sedatif sesuai indikasi
8 Kurang pengetahuan berhubungan Tujuan : 1. Berikan informasi dalam bentuk belajar yang
dengan kurang informasi tentang Setelah dilakukan intervensi keperawatan berfariasi, contoh buku, program audio/ visual,
fungsi jantung/ implikasi penyakit selama 3x 24 jam diharapkan pengetahuanklien Tanya jawab dll.
jantung dan status kesehatan yang tentang kondisi penyakitnya menguat. 2. Beri penjelasan factor risiko, diet ( Rendah
akan datang, kebutuhan perubahan Kriteria Hasil : lemak dan rendah garam ) dan aktifitas yang
pola hidup ditandai dengan pernyataan a. Menyatakan pemahaman tentang penyakit berlebihan.
masalah, kesalahan konsep, jantung , rencana pengobatan, tujuan 3. Peringatan untuk menghindari paktivitas
pertanyaan, terjadinya kompliksi yang pengobatan dan efek samping / reaksi manuver valsava
dapat dicegah merugikan 4. Latih pasien sehubungan dengan aktifitas yang
b. Menyebutkan gangguan yang memerlukan bertahap contoh : jalan, kerja, rekreasi aktifitas
perhatian cepat. seksual.
DAFTAR PUSTAKA

Udjianti Wajan Juni.(2011). Keperawatan Kardiovaskular. Jakarta: salemba medika.

Alwi, I. (2014). Buku AjarIlmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jilid 2. Jakarta: Interna


Publishing.

Robbins et al.(2012). Hubungan Antara Angka Leukosit Dengan AngkaKematian


Penderita Infark Miokard Akut Di Rsud Dr. Moewardi Pada      Tahun
2012   (Internet).       Termuat           
Dalam:<http://eprints.ums.ac.id/27738/3/4._BAB_I.pdf> (Diakses pada hari sabtu, 20
Mei 2018 pukul 09.00 WIB)

Okvitasari et al. (2016). Analysis Of Factors Related To The OccurrenceOf Coronary


Heart Disease At Heart Polyclinic Ulin Hospital.2(2) Maret, pp.13.    available        
from:  <http://journal.stikes-mb.ac.id/index.php/caring/article/viewFile/37/29> 
(Acessed 20 Mei 2018)

Ditjen Yanmed, 2013; Veronique, 2007; Riskesdas, 2013; Mozaffarian et al.


(2015).Suppression Of Tumorigenicity-2 (St2), Troponin-I Dan Kombinasi St2 Dan
Troponin-I Sebagai Stratifikasi Risiko Payah Jantung. Kajian Pada Pasien Infark
Miokard Akut(Internet). Termuat           dalam:           
<http://eprints.uns.ac.id/21509/1/S971108005_pendahuluan.pdf> (Diakses 20 Mei 2018
jam 12.15 WIB)

Okvitasari, Y (2016). Analisis Faktor Terkait dengan terjadinya Penyakit Jantung


Koroner Pada Rumah Sakit Jantung Poliklinik Ulin. Disertasi, Universitas
Muhammadiyah Banjarmasin.
Dari Rekapitulasi 10 Besar Penyakit Ruang Intensive Coronary Care Unit RSUD Ulin
Banjarmasin Tahun 2016.

http://www.inaheart.org/upload/file/Women_Guideline-Fix(5).pdf(Diakses pada hari


senin, 20 Mei 2018 jam 09.00 WIB)

http://www.kemkes.go.id/article/view/201410080002/lingkungan-sehat-jantung-sehat.html
(Diakses pada 20 Mei 2018 jam 11.00 WIB)
http://www.newsfarras.com/2014/11/Kerja-Fungsi-Anatomi-Fisiologi-Jantung.html
(Diakses pada 20 Mei 2018 jam 23.00 WIB )

Putri & Wijaya. (2013). Keperawatan Medikal Bedah 1. Yogyakarta: Nuha Medika

Syaifuddin. (2012). Anatomi Fisiologi Kurikulum Berbasis Kompetensi Untuk


Keperawatan dan Kebidanan. Edisi 4. Jakarta: Buku Kedokteran EGC

Nazmah A. (2012). Panduan Belajar Membaca EKG. Jakarta: CV. Trans Info Media

Muttaqin A. (2009). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskular


dan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika

Nurarif AH & Hardi, K. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa


Medis & Nanda.Jilid 1. Jakarta: EGC

Nurarif AH & Hardi, K. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa


Medis & Nanda.Jilid 2. Jakarta: EGC

Muttaqin, A & nurachmach. Eds. (2012) Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Sistem Kardiovaskular. Jakarta: Salemba Medika

Thibodeau, P (2013). Anatomy & Pysiology. Edisi 8. United States Of America

Mosby (2011). medical surgical nursing. Edisi 1.United States Of America

Priharjo. Robert. 2012. Pengkajian Fisik Keperawatan, edisi 2. Jakarta : EGC

Smeltzer C, dan Brenda G, Bare. 2009. Keperawatan Bedah, edisi 8. Jakarta : EGC

Niman, S. 2013. Pengkajian Kesehatan Untuk Perawat. Jakarta: Trans Info Media

Carpenito, Linda Juall, 2008. Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinis, edisi 6.


Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai