undang-undang ialah mencari dan menetapkan pengertian asas dalil-dalil yang tercantum dalam undang – undang sesuai dengan yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang (Soeroso, 2006:97) Tujuan Penafsiran Hukum adalah untuk menyatukan suasana kebatinan dan lahiriah sebanyak-banyak orang terhadap materi muatan pada peraturan perundang undangan.
Yang dapat menafsirkan hukum dalam
prakteknya adalah aparat penegak hukum formal (Hakim, Jaksa, Polisi, Pengacara) hukum secara subtansial (seluruh aparatur negara) Macam-macam penafsiran hukum 1)Dalam pengertian subyektif dan obyektif. Dalam pengertian subyektif yaitu ,apabila ditafsirkan seperti yang di kehendaki oleh pembuat undang-undang. Dalam pengertian obyektif, apabila penafsiran lepas dari pada pendapat pembuat undang- undang dan sesuai dengan adat bahasa sehari-hari. 2)Dalam pengertian sempit dan luas.
Dalam pengertian sempit (restriktif ),yakni
apabila dalil yang ditafsirkan di beri pengertian yang sangat di batasi misalnya; Mata uang (pasal 1756 KUH Perdata)pengertian hanya uang logam saja. Barang di artikan benda yang dapat dilihat dan di raba saja. Dalam pengertian luas (ekstensif ),ialah apabila dalil yang di tafsirkan di beri pengertian seluas- luasnya.Misalnya: Pasal 1756 Perdata alinea ke-2 KUH Perdata tentang mata uang juga diartikan uang kertas. Dalam pasal 362KUHP listrik disamakan dengan barang. Macam-Macam metode Penafsiran 1. Penafsiran gramatikal, adalah penafsiran menurut tata bahasa atau kata-kata di dalam undang-undang tersebut. Contoh : Dalam Pasal 1140 KUHperdata memberikan hak mendahului (privilege) kepada seorang yang menyewakan rumah dengan segala barang perabot rumah yang terdapat dalam rumah sewaan itu. Hal itu berarti jika penyewa rumah menunggak (yaitu tidak membayar) uang sewa dan pada sewaktu-waktu dilakukan penyitaan atas barang-barang perabot rumah tersebut maka pemilik rumah harus dibayar terlebih dahulu dari penagih-penagih utang lainnya.. Dalam kalimat terakhir dari Pasal 1140 ditegaskan: “Tidak peduli apakah sendiri atau bukan”. Timbul pertanyaan, apakah Pasal 1140 KUHperdata itu juga berlaku walaupun orang yang menyewakan rumah sejak semula, yakni semenjak diadakannya perjanjian sewa-menyewa, sudah mengetahui bahwa orang itu bukan milik penyewa sendiri? Dalam kasus itu, Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad) dalam putusannya tanggal 7 April 1938 telah menjawab ya dengan mengambil pedoman arti perkataan-perkataan sebagaimana dipakai dalam undang-undang. 2. Penafsiran historis atau sejarah adalah meneliti sejarah dari undang-undang yang bersangkutan, dengan demikian hakim mengetahui maksud pembuatannya. Penafsiran historis dibedakan menjadi: a. penafsiran menurut sejarah undang-undang (wet historische interpretatie) dan b. penafsiran menurut sejarah hukum (rechts historische interpretatie). penafsiran menurut sejarah undang-undang (wet historische interpretatie)
yaitu penafsiran undang-undang dengan menyelidiki
perkembangan suatu undang-undang sejak dibuat, perdebatan-perdebatan yang terjadi di legislatif, maksud ditetapkannya atau penjelasan dari pembentuk undang-undang pada waktu pembentukkannya. Contoh UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Karena Tsunami di Aceh) UU No. 10 tahun 2004 tentang pembentukan perundang-undangan. UU No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak penafsiran menurut sejarah hukum (rechts historische interpretatie). yaitu suatu penafsiran yang dilakukan dengan cara menyelidiki dan mempelajari sejarah perkembangan segala sesuatu yang berhubungan dengan hukum seluruhnya dan memahami undang-undang dalam konteks sejarah hukum. Contoh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang dikodifiksikan di Indonesia pada tahun 1848, menurut sejarahnya berasal dari kodifikasi Burgerlijk wetboek di negeri Belanda pada tahun 1838 yang sejarahnya berasal dari Code Civil Prancis atau disebut juga Code napoleon. 3. Penafsiran sistematis adalah suatu penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan pasal-pasal yang lain dalam suatu perundang- undangan yang bersangkutan atau pada perundang- undangan hukum lainnya,atau membaca penjelasan suatu perundang –undangan,sehingga kita mengerti apa yang di maksud. Contoh Dalam pasal 1330 KUHPerdata menyatakan “Tidak cakap membuat persetujuan/perjanjian antara lain orang- orang yang belum dewasa”. Timbul pertanyaan : “Apakah yang dimaksud dengan orang-orang yang belum dewasa”. Untuk hal tersebut harus dikaitkan pada pasal 330 KUHPerdata yang mengatur batasan orang yang belum dewasa yaitu belum berumur 21 tahun.