Anda di halaman 1dari 11

OLEH Dr. Ina Heliany SH., MH.

Apa itu penafsiran hukum ??

 Penafsiran atau interpretasi hukum peraturan


undang-undang ialah mencari dan menetapkan
pengertian asas dalil-dalil yang tercantum dalam
undang – undang sesuai dengan yang dikehendaki
serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang
(Soeroso, 2006:97)
 Tujuan Penafsiran Hukum adalah untuk
menyatukan suasana kebatinan dan lahiriah
sebanyak-banyak orang terhadap materi muatan
pada peraturan perundang undangan.

 Yang dapat menafsirkan hukum dalam


prakteknya adalah aparat penegak hukum formal
(Hakim, Jaksa, Polisi, Pengacara) hukum secara
subtansial (seluruh aparatur negara)
Macam-macam penafsiran hukum
1)Dalam pengertian subyektif dan obyektif.
Dalam pengertian subyektif yaitu ,apabila
ditafsirkan seperti yang di kehendaki oleh pembuat
undang-undang. Dalam pengertian obyektif, apabila
penafsiran lepas dari pada pendapat pembuat undang-
undang dan sesuai dengan adat bahasa sehari-hari.
2)Dalam pengertian sempit dan luas.

 Dalam pengertian sempit (restriktif ),yakni


apabila dalil yang ditafsirkan di beri pengertian yang
sangat di batasi misalnya; Mata uang (pasal 1756
KUH Perdata)pengertian hanya uang logam saja.
Barang di artikan benda yang dapat dilihat dan di
raba saja.
 Dalam pengertian luas (ekstensif ),ialah apabila dalil
yang di tafsirkan di beri pengertian seluas-
luasnya.Misalnya: Pasal 1756 Perdata alinea ke-2
KUH Perdata tentang mata uang juga diartikan uang
kertas. Dalam pasal 362KUHP listrik disamakan
dengan barang.
Macam-Macam metode Penafsiran
1. Penafsiran gramatikal, adalah penafsiran menurut
tata bahasa atau kata-kata di dalam undang-undang
tersebut.
 Contoh : Dalam Pasal 1140 KUHperdata memberikan
hak mendahului (privilege) kepada seorang yang
menyewakan rumah dengan segala barang perabot
rumah yang terdapat dalam rumah sewaan itu. Hal
itu berarti jika penyewa rumah menunggak (yaitu
tidak membayar) uang sewa dan pada sewaktu-waktu
dilakukan penyitaan atas barang-barang perabot
rumah tersebut maka pemilik rumah harus dibayar
terlebih dahulu dari penagih-penagih utang lainnya..
 Dalam kalimat terakhir dari Pasal 1140 ditegaskan:
“Tidak peduli apakah sendiri atau bukan”. Timbul
pertanyaan, apakah Pasal 1140 KUHperdata itu juga
berlaku walaupun orang yang menyewakan rumah
sejak semula, yakni semenjak diadakannya perjanjian
sewa-menyewa, sudah mengetahui bahwa orang itu
bukan milik penyewa sendiri? Dalam kasus itu,
Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad) dalam
putusannya tanggal 7 April 1938 telah
menjawab ya dengan mengambil pedoman arti
perkataan-perkataan sebagaimana dipakai dalam
undang-undang.
2. Penafsiran historis atau sejarah
 adalah meneliti sejarah dari undang-undang yang
bersangkutan, dengan demikian hakim mengetahui
maksud pembuatannya. Penafsiran historis dibedakan
menjadi:
 a. penafsiran menurut sejarah undang-undang (wet
historische interpretatie) dan
 b. penafsiran menurut sejarah hukum (rechts
historische interpretatie).
penafsiran menurut sejarah undang-undang (wet
historische interpretatie)

 yaitu penafsiran undang-undang dengan menyelidiki


perkembangan suatu undang-undang sejak dibuat,
perdebatan-perdebatan yang terjadi di legislatif,
maksud ditetapkannya atau penjelasan dari
pembentuk undang-undang pada waktu
pembentukkannya.
 Contoh UU No. 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana (Karena Tsunami di Aceh)
UU No. 10 tahun 2004 tentang pembentukan
perundang-undangan. UU No. 35 tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak
penafsiran menurut sejarah hukum
(rechts historische interpretatie).
 yaitu suatu penafsiran yang dilakukan dengan cara
menyelidiki dan mempelajari sejarah perkembangan
segala sesuatu yang berhubungan dengan hukum
seluruhnya dan memahami undang-undang dalam
konteks sejarah hukum.
 Contoh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata) yang dikodifiksikan di Indonesia pada tahun
1848, menurut sejarahnya berasal dari
kodifikasi Burgerlijk wetboek di negeri Belanda pada
tahun 1838 yang sejarahnya berasal dari Code
Civil Prancis atau disebut juga Code napoleon.
3. Penafsiran sistematis
 adalah suatu penafsiran yang menghubungkan pasal yang
satu dengan pasal-pasal yang lain dalam suatu perundang-
undangan yang bersangkutan atau pada perundang-
undangan hukum lainnya,atau membaca penjelasan suatu
perundang –undangan,sehingga kita mengerti apa yang di
maksud.
 Contoh Dalam pasal 1330 KUHPerdata menyatakan “Tidak
cakap membuat persetujuan/perjanjian antara lain orang-
orang yang belum dewasa”.
 Timbul pertanyaan : “Apakah yang dimaksud dengan
orang-orang yang belum dewasa”. Untuk hal tersebut
harus dikaitkan pada pasal 330 KUHPerdata yang
mengatur batasan orang yang belum dewasa yaitu belum
berumur 21 tahun.

Anda mungkin juga menyukai