Anda di halaman 1dari 12

BIDADARI PENYELAMAT ???

Beredar bintang digarisnya.

Bulan bercahaya pada lintasnya.

Serta waktu bergulir karena memang sudah takdirnya.

Meratapi Sepetak kisah penuh haru, dalam ronta opini yang mulai menggebu.

Karena ada rindu yang tersekat oleh temu.

Aku,kamu. Adalah dua hal yang terbengkalai oleh jarak.

Sempat ku titip rindu dalam kelamnya malam.

Berharap esok kau ambil disudut senja.

Menaruh mimpi dalam elok tatap mu, memaksakan hati yang tak ingin
direngkuh aksara.

Aku memang bukan menjadi tempat peraduan mu, tapi dirimu selalu menjadi
sketsa rumah yang tak terjangkau.

Menilik dari kaca cakrawala, aku ingin tuntaskan rambatan nestapa.

kau adalah kesabaran dari sebuah penantian.

Kau adalah jawaban dari setiap sujud panjang.

Kau adalah ruang rindu dari sudut hatiku.

Dan kau adalah aksara dalam setiap syairku.

Sedangkan aku hanyalah harapan dari ketidakpastian.


’’Rindu yang melumat’’
kau mengirimku, pada selaut rindu.

aku berlayar, menuju mu.

Terguyur oleh hujan.

Terporak-poranda oleh hantaman ombak.

Denyut waktu tak kunjung membeku.

Aku tenggelam, dalam kerinduan.

Menabur cerita pada ombak, tentang ketidakpastian.

Terbelenggu dalam rentetan kenestapaan.

Merelakan asa yang harus direngkuh oleh sang sunyi.

Perlahan jiwa mulai terapung.

Tak sanggup bertahan dalam relung keresahan.

Sinarmu tetap membias dalam damainya lautan.

Mulai memudar kala sang fajar hadir dari kesemuan.

Kau pun kembali hilang seiring dengan meningginya sang mentari.

Kembali ke peraduan, lalu dirimu menitip kerinduan.


‘’kepalsuan’’
Rekah jingga ditepian sang fajar.

Masih temaram, tapi sinar mentari perlahan menyiram.

Burung-burung mulai mengepakkan sayapnya.

Berterbangan, mengarungi luasnya belantara langit.

Birunya lautan melukiskan keseimbangan.

Menilik diantara dua persepsi yang berlawanan.

Kau yang pergi ? atau aku yang harus menanti ?


‘’Seperti mereka bilang’’
Aku ingin mencintai mu seperti cara mereka bilang.

Mencintai sang hujan tapi tak ingin dibasahi.

Seperti cara bulan mencintai sang langit , setelah ribuan bintang


meninggalkannya.

Seperti bunga matahari, yang selalu mengikuti kemana arah mentari.

Tapi sayang, kau selalu menggantungkan hati dalam ketidakpastian.

Dirimu seolah kata-kata yang diucapkan kayu kepada api yang membuatnya
menjadi abu.

Seperti kata-kata rindu yang diucapkan oleh hujan kepada awan yang telah
membuatnya tiada.
‘’candu’’
Inilah alasan mengapa aku suka mendaki.

Bukan puncak sebagai tujuan.

Dan bukan karena zona nyaman ku yang mulai membosan.

Melainkan kemauan dan keinginan, yang membuatku yakin akan tujuan.

Semesta memberikan alasan, beribu langkah kaki ini berpijak.

Tatkala biru bercampur putih yang menjadikannya langit dikala siang.

Sampai kuning bercampur hitam yang menjadikannya senja tatkala petang.

Hal itu yang membuatku candu sekaligus rindu.

Untuk lagi dan kembali.


‘’rindu’’
Sore ini, kumpulan awan hitam menghiasi belantara langit.

Menutupi paras eloknya sang surya yang akan pulang.

Duduk termenung, memikirkan perasaan yang canggung.

Sedang menunggu, tapi tak ditunggu.

Mencoba bertahan, tapi tak di tahan.

Seperti orang yang merindukan pelangi setelah turunnya hujan.

Seperti menunggu senja di relung keprihatinan.

Bulan sebelum datangnya pagi memang hanya sebentar.

Pelangi sesudah hujan memang hanya sekejap.

Senja sebelum tenggelamnya sang surya memang tak lama.

Tapi, mereka istimewa, selalu dirindukan.

Begitupula dengan ‘’MU’’.


‘’Lima Huruf’’
Untuk kesekian kalinya.

Tulisan berjudul rindu dirangkai dengan syahdu.

Mungkin dia tahu, tentang kehadiran jarak dan waktu.

Sama-sama mengukir angka diantara dua manusia.

Merambat cepat tanpa adanya jeda.

Entah siapa yang dituju dan dimana ia berpijak.

Dua insan yang belum dipertemukan oleh-Nya.

Atau mungkin temu sudah terjadi,

Namun sama-sama tak menyadari.

Tetap saja, rindu membuncah.

Berontak, tak mau mengalah.

Padahal ia hanyalah rentetan lima huruf sederhana

Yang kaku terucap lisan, namun hati fasih melafalkan.


‘’Berakhir Asing’’
Dahulu kau memang menjadi pusat semesta.

Menjelma bak antariksa diantara kedua bola mata.

Layaknya penghuni langit, kau pun turut berevolusi.

Berpindah perlahan-lahan, lalu beranjak pergi.

Samar terlihat wajah mu yang penuh rias tanpa dihias.

Menyisakan sejarah luka yang membekas.

Seluruh rindu yang ingin meneduh, kini tak beralamat.

Menyerap makna ‘’patah’’ yang perlahan terasa menyayat.

Pena pun tak kuasa untuk mengeluarkan tinta, sebab hati yang dulunya
ceria, harus rela dibalut derita.

Mungkin aku terlalu lama bercengkrama dengan diam.

Hingga tak ada tempat untuk seluruh rindu ini bersemayam.

Menikmati seduhan kopi ysng terasa janggal, ternyata disana ada hati yang
masih tertinggal.

Menarik nafas panjang, sembari menunggu kedua mata terpejam.

Meletakkan segala ilusi yang tak ingin memilih pergi.


‘’ Dimensi ’’
Egkaulah detak pertama yang membangkitkan ku dalam muara kegelapan.

Engkaulah tetes hujan yang menuntaskan dahaga yang tak berkesudahan.

Engkaulah bidadari penyelamat ku yang membentang di cakrawala aksara.

Dirimu hadir dari relung kehampaan.

Tatap mu mendekap resah dalam kesemuan.

Kau tercipta tiada pasti.

Namun aku terus disini.

Terbelenggu rindu, tak ingin memilih pergi.

Jarak yang membuatku menjadi tanya dan kau jawabnya.

Engkaulah cahaya pelita ku dalam belantara muara terkelam.

Sejauh apapun dimensi yang kan kau tempuh.

Seberapa pun detik yang dapat kau rengkuh.

Aku akan tetap hadir dibalik punggungmu.

Cintaku akan tetap menjelma, diluar sadarmu.

Hanya pelukmu tempatku berpulang.

Menyambung asa yang terkoyak kepedihan.

Engkaulah keyakinan yang hadir dalam selaut kebohongan.

Menampik segala angkara, menuntaskan segala derita.

Badan mu Bermandikan peluh, tapi tak akan pernah luruh.

Kau mampu mengusir gelap, tanpa harus membuatku lenyap.

Engkaulah yang mampu menghentikan kencang nya jantera waktu.

Meringkus gelisah yang telah lama mengendap.


Berdistraksi dengan daun-daun yang menua, dibalik awan senja.

Andai kau tahu, arti bulan mu.

Sinarmu akan tetap kudekap, disaat yang lain telah terlelap.

Dirimu adalah suara diantara segala keheningan.

Senyap mu adalah bunyi mu.

Langkah mu adalah geming mu.

Andai kau lihat ketidakpastian di punggungmu.

Mungkin akan kau sayat jarak dan waktu yang menjadi muara derita.

Karna aku,kamu adalah kita dalam ikatan sebuah kata ‘’cinta’’.


“Kaleng khong Guan”
Menyapa mu dengan ramahpun, masih salah.

Apalagi aku harus menyambutmu dengan amarah ?

Dengan bergaya saja, kau Menilik ku dengan maya.

Apalagi aku datang dengan sederhana ?

Layar ponsel ku kau penuhi dengan penolakan

Padahal telah kupaksakan jariku berperasaan.

Bunyiku selalu kau anggap kaleng khong guan yang berisi rengginang.

Yang begitu dibuka, tak berselera untuk dimakan.

Sudahlah, aku pergi.

Karena kamu hanya seperti oreo supreme yang tak mampu kubeli.

Anda mungkin juga menyukai