Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

TENTANG:

GANGGUAN PRESEPSI SENSORI (PERABAAN)

Oleh :

Kelompok IV

 CHELSI INDAH KHAIRUNNISA


 TASYA ANGELINA PUTRI
 WILDA ZATULISANA
 SANTRIVA HAUZA
 MONIKA OKSA BERINA

Dosen Pembimbing :
NS. SEPTA NELLI, M.Kep

PROGRAM STUDI S-1 ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NAN TONGGA
LUBUK ALUNG
2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT. Karena dengan
rahmat dan hidayah serta karunianya, sehingga masih diberi kesempatan untuk
bekerja menyelesaikan makalah saya yang berjudul “Gangguan persepsi sensori
perabaan” makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Keperawatan
medical bedah.
Tidak lupa saya ucapkan banyak terima kasih kepada dosen pengajar saya,
yakni kepada ibu Ns, mona yolanda S.Kep saya menyadari bahwa dalam
penulisan makalah ini masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan
maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki. Untuk itu kritik dan
saran dari semua pihak saya harapkan.

Lubuk alung, 05 Desember 2021

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR..............................................................................................

DAFTAR ISI.............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang....................................................................................................

1.2. Rumusan Masalah ..............................................................................................

1.3. Tujuan ................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Definisi ...............................................................................................................

2.2. Etiologi................................................................................................................

2.3. Patofisiologi........................................................................................................

2.4. Manifestasi Klinis...............................................................................................

2.5 Penatalaksanaan. ................................................................................................

2.7. Pemeriksaan penunjang.......................................................................................

2.8. Pencegahan .........................................................................................................

2.9 Konsep Asuhan Keperawatan..............................................................................

BAB III PENUTUP


3.1. Kesimpulan.........................................................................................................

3.2. Saran ...................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit alergi memiliki pola perjalanan penyakit tersendiri yang
menggambarkan dermatitis atopik pada periode bayi akan berlanjut menjadi rhinitis
alergika, alergi makanan dan atau asma. Perjalanan penyakit alergi dipengaruhi oleh
faktor genetik, dan faktor lingkungan mulai dari masa intrauterine sampai dewasa
(Wahn, 2004). Manifestasi penyakit alergi dapat dicegah dengan melakukan deteksi
dan intervensi dini, salah satunya adalah dengan identifikasi kelompok risiko tinggi
atopi melalui riwayat atopi keluarga (Harsono, 2005).

Penyakit alergi seperti dermatitis atopik, rhinitis alergika, asma dan urtikaria
adalah keadaan atopi yang cenderung terjadi pada kelompok keluarga dengan
kemampuan produksi IgE yang berlebihan terhadap rangsangan lingkungan (Harsono,
2005). Dermatitis atopik merupakan penyakit peradangan kulit yang bersifat kronis,
dengan onset puncak terjadi pada usia kurang dari 12 bulan dan sebagian besar kasus
dermatitis atopik terjadi pada beberapa tahun pertama dalam kehidupan (Moore dkk.,
2004; Illi dkk., 2004). Dermatitis atopic merupakan manifestasi paling dini dari
penyakit alergi. Sebesar 50% penderita dermatitis atopik akan menjadi asma dan 75%
menjadi rhinitis alergika (Spergel dan Schneider, 1999; Won Oh dkk., 2007).

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Dermatitis?

2. Apa saja akibat dari penyakit Dermatitis?

3. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan Dermatitis?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Dermatitis

2. Untuk mengetahui apa saja akibat dari penyakit Dermatitis

3. Untuk mengetahui bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan Dermatitis


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Dermatitis kontak adalah respon peradangan kulit akut atau kronik terhadap
paparan bahan iritan eksternal yang mengenai kulit. Dikenal dua macam jenis
dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan yang timbul melalui mekanisme non
imunologik dan dermatitis kontak alergik yang diakibatkan mekanisme imunologik
dan dermatitis kontak alergik yang diakibatkan mekanisme imunologik yang spesifik.

Dermatitis kontak iritan adalah efek sitotosik lokal langsung dari bahan iritan
pada sel-sel epidermis, dengan respon peradangan pada dermis. Daerah yang paling
sering terkena adalah tangan dan pada individu atopi menderita lebih berat. Secara
definisi bahan iritan kulit adalah bahan yang menyebabkan kerusakan secara
langsung pada kulit tanpa diketahui oleh sensitisasi. Mekanisme dari dermatis kontak
iritan hanya sedikit diketahui, tapi sudah jelas terjadi kerusakan pada membran lipid
keratisonit.

2.2 Etiologi
1) Dermatitis Kontak Iritan
Penyebab munculnya dermatitis kontak iritan ialah bahan yang bersifat
iritan, misalnya bahan pelarut, detergen, minyak pelumas, asam, alkali, dan
serbuk kayu. Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran
molekul, daya larut, konsentrasi, kohikulum, serta suhu bahan iritan tersebut,
juga dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor yang dimaksud yaitu : lama kontak,
kekerapan (terus-menerus atau berselang) adanya oklusi menyebabkan kulit
lebih permeabel, demikian juga gesekan dan trauma fisis. Suhu dan
kelembaban lingkungan juga ikut berperan. Iritan adalah substansi yang akan
menginduksi dermatitis pada setiap orang jika terpapar pada kulit dalam
konsentrasi yang cukup. Masing-masing individu memiliki predisposisi yang
berbeda terhadap berbagai iritan, tetapi jumlah yang rendah dari iritan
menurunkan dan secara bertahap mencegah kecenderungan untuk
menginduksi dermatitis. Fungsi pertahanan dari kulit akan rusak baik dengan
peningkatan hidrasi dari stratum korneum (suhu dan kelembaban tinggi,
bilasan air yang sering dan lama) dan penurunan hidrasi (suhu dan
kelembaban rendah). Efek dari iritan merupakan concentration-dependent,
sehingga hanya mengenai tempat primer kontak (Safeguards, 2000). Pada
orang dewasa, DKI sering terjadi akibat paparan terhadap bahan yang bersifat
iritan, misalnya bahan pelarut, detergen, minyak pelumas, asam, alkali, dan
serbuk kayu. Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran
molekul, daya larut, konsentrasi, vehikulum, serta suhu bahan iritan tersebut,
juga dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor yang dimaksud yaitu lama kontak,
kekerapan (terus-menerus atau berselang), adanya oklusi menyebabkan kulit
lebih permeabel, demikian pula gesekan dan trauma fisis. Suhu dan
kelembaban lingkungan juga berperan (Fregert, 1998). Faktor lingkungan juga
berpengaruh pada dermatitis kontak iritan, misalnya perbedaan ketebalan kulit
di berbagai tempat menyebabkan perbedaan permeabilitas; usia (anak
dibawah umur 8 tahun lebih muda teriritasi); ras (kulit hitam lebih tahan
daripada kulit putih), jenis kelamin (insidensi dermatitis kontak alergi lebih
tinggi pada wanita), penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami (ambang
rangsang terhadap bahan iritan turun), misalnya dermatitis atopik (Beltrani et
al., 2006). Sistem imun tubuh juga berpengaruh pada terjadinya dermatitis ini.
Pada orang-orang yang immunocompromised, baik yang diakibatkan oleh
penyakit yang sedang diderita, penggunaan obat-obatan, maupun karena
kemoterapi, akan lebih mudah untuk mengalami dermatitis kontak (Hogan,
2009).
Faktor individu juga berpengaruh pada dermatitis kontak iritan, misalnya
perbedaan ketebalan kulit di berbagai tempat menyebabkan perbedaan
permeabilitas; usia (anak di bawah umur 8 tahun lebih mudah teriritasi); ras
(kulit hitam lebih tahan dari pada kulit putih); jenis kelamin (insidens
dermatitis kontak iritan lebih tinggi pada wanita); penyakit kulit yang pernah
atau sedang dialami (ambang rangsang terhadap bahan iritan turun), misalnya
dermatitis atopic
2) Dermatitis Kontak Alergi
Dermatitis kontak alergi disebabkan karena kulit terpapar oleh bahan-bahan
tertentu, misalnya alergen, yang diperlukan untuk timbulnya suatu reaksi
alergi. Hapten merupakan alergen yang tidak lengkap (antigen), contohnya
formaldehid, ion nikel dll. Hampir seluruh hapten memiliki berat mo lekul
rendah, kurang dari 500- 1000 Da. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh
potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan dan luasnya penetrasi di kulit.
Dupuis dan Benezra membagi jenis -jenis hapten berdasarkan fungsinya
yaitu:
1.Asam, misalnya asam maleat.

2.Aldehida, misalnya formaldehida.

3.Amin, misalnya etilendiamin, para-etilendiamin.

4.Diazo, misalnya bismark-coklat, kongo- merah.

5.Ester, misalnya Benzokain

6.Eter, misalnya benzil eter

7.Epoksida, misalnya epoksi resin

8.Halogenasi, misalnya DNCB, pikril klorida.

9.Quinon, misalnya primin, hidroquinon.

10.Logam, misalnya Ni2+, Co2+,Cr2+, Hg2+.

11.Komponen tak larut, misalnya terpentin.

2.3 Patofisiologi

Pada dermatitis kontak iritan kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang
disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi maupun fisik. Bahan iritan
merusak lapisan tanduk, dalam beberapa menit atau beberapa jam bahan-bahan iritan
tersebut akan berdifusi melalui membran untuk merusak lisosom, mitokondria dan
komponen-komponen inti sel. Dengan rusaknya membran lipid keratinosit maka
fosfolipase akan diaktifkan dan membebaskan asam arakidonik akan membebaskan
prostaglandin dan leukotrin yang akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah dan
transudasi dari faktor sirkulasi dari komplemen dan system kinin. Juga akan menarik
neutrofil dan limfosit serta mengaktifkan sel mast yang akan membebaskan histamin,
prostaglandin dan leukotrin. (Platelet Activating Factor) PAF akan mengaktivasi
platelets yang akan menyebabkan perubahan vaskuler. Diacil gliserida akan
merangsang ekspresi gen dan sintesis protein. Pada dermatitis kontak iritan terjadi
kerusakan keratisonit dan keluarnya mediator- mediator. Sehingga perbedaan
mekanismenya dengan dermatis kontak alergik sangat tipis yaitu dermatitis kontak
iritan tidak melalui fase sensitisasi.
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan
melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi
keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk dan mengubah daya ikat air kulit.
Kebanyak bahan iritan (toksin) merusak membran lemak keratinosit tetapi sebagian
dapat menembus membran sel dan merusak lisosom, mitokondria atau komplemen
inti (Streit, 2001). Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan
asam arakidonat (AA), diasilgliserida (DAG), faktor aktivasi platelet, dan inositida
(IP3). AA dirubah menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrien (LT). PG dan LT
menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas vaskuler sehingga
mempermudah transudasi komplemen dan kinin. PG dan LT juga bertindak sebagai
kemotraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta mengaktifasi sel mast
melepaskan histamin, LT dan PG lain, dan PAF, sehingga memperkuat perubahan
vaskuler (Beltrani et al., 2006; Djuanda, 2003). DAG dan second messenger lain
menstimulasi ekspresi gen dan sintesis protein, misalnya interleukin-1 (IL-1) dan
granulocyte macrophage-colony stimulating factor (GM-CSF). IL-1 mengaktifkan sel
T-helper mengeluarkan IL-2 dan mengekspresi reseptor IL-2 yang menimbulkan
stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut. Keratinosit juga mengakibatkan
molekul permukaan HL-ADR dan adesi intrasel (ICAM-I). Pada Kontak dengan
iritan, keratinosit juga melepaskan TN-α, suatu sitokin proinflamasi yang dapat
mengaktifasi sel T, makrofag dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul adesi sel
dan pelepasan sitokin (Beltrani et al., 2006). Rentetan kejadian tersebut menimbulkan
gejala peradangan klasik di tempat terjadinya kontak di kulit tergantung pada bahan
iritannya. Ada dua jenis bahan iritan, yaitu: iritan kuat dan iritan lemah. Iritan kuat
akan menimbulkan kelainan kulit pada pajanan pertama pada hampir semua orang
dan menimbulkan gejala berupa eritema, edema, panas, dan nyeri. Sedangkan iritan
lemah hanya pada mereka yang paling rawan atau mengalami kontak berulang-ulang,
dimulai dengan kerusakan stratum korneum oleh karena delipidasi yang
menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi sawar, sehingga mempermudah
kerusakan sel dibawahnya oleh iritan. Faktor kontribusi, misalnya kelembaban udara,
tekanan, gesekan, dan oklusi, mempunyai andil pada terjadinya kerusakan tersebut
(Djuanda, 2003).

Ada dua jenis bahan iritan yaitu : iritan kuat dan iritan lemah. Iritan kuat akan
menimbulkan kelainan kulit pada pajanan pertama pada hampir semua orang, sedang
iritan lemah hanya pada mereka yang paling rawan atau mengalami kontak berulang-
ulang. Faktor kontribusi, misalnya kelembaban udara, tekanan, gesekan dan oklusi,
mempunyai andil pada terjadinya kerusakan tersebut.
3) Dermatitis Kontak Alergi

Pada dermatitis kontak alergi, ada dua fase terjadinya respon imun tipe IV yang
menyebabkan timbulnya lesi dermatitis ini yaitu :

a. Fase Sensitisasi

Fase sensitisasi disebut juga fase induksi atau fase aferen. Pada fase ini terjadi
sensitisasi terhadap individu yang semula belum peka, oleh bahan kontaktan yang
disebut alergen kontak atau pemeka. Terjadi bila hapten menempel pada kulit selama
18-24 jam kemudian hapten diproses dengan jalan pinositosis atau endositosis oleh
sel LE (Langerhans Epidermal), untuk mengadakan ikatan kovalen dengan protein
karier yang berada di epidermis, menjadi komplek hapten protein.

Protein ini terletak pada membran sel Langerhans dan berhubungan dengan
produk gen HLA-DR (Human Leukocyte Antigen-DR). Pada sel penyaji antigen
(antigen presenting cell).

Kemudian sel LE menuju duktus Limfatikus dan ke parakorteks Limfonodus


regional dan terjadilah proses penyajian antigen kepada molekul CD4+ (Cluster of
Diferantiation 4+) dan molekul CD3. CD4+berfungsi sebagai pengenal komplek
HLADR dari sel Langerhans, sedangkan molekul CD3 yang berkaitan dengan protein
heterodimerik Ti (CD3-Ti), merupakan pengenal antigen yang lebih spesifik,
misalnya untuk ion nikel saja atau ion kromium saja. Kedua reseptor antigen tersebut
terdapat pada permukaan sel T. Pada saat ini telah terjadi pengenalan antigen (antigen
recognition).

Selanjutnya sel Langerhans dirangsang untuk mengeluarkan IL-1 (interleukin-1)


yang akan merangsang sel T untuk mengeluarkan IL-2. Kemudian IL-2 akan
mengakibatkan proliferasi sel T sehingga terbentuk primed me mory T cells, yang
akan bersirkulasi ke seluruh tubuh meninggalkan limfonodi dan akan memasuki fase
elisitasi bila kontak berikut dengan alergen yang sama. Proses ini pada manusia
berlangsung selama 14-21 hari, dan belum terdapat ruam pada kulit. Pada saat ini
individu tersebut telah tersensitisasi yang berarti mempunyai resiko untuk mengalami
dermatitis kontak alergik.

b. Fase elisitasi

Fase elisitasi atau fase eferen terjadi apabila timbul pajanan kedua dari antigen
yang sama dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam kompartemen
dermis. Sel Langerhans akan mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk
mensekresi Il-2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang INF (interferon) gamma. IL-1
dan INF gamma akan merangsang keratinosit memproduksi ICAM-1 (intercellular
adhesion molecule-1) yang langsung beraksi dengan limfosit T dan lekosit, serta
sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan mengaktifkan sel mast dan makrofag untuk
melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas yang meningkat.
Akibatnya timbul berbagai macam kelainan kulit seperti eritema, edema dan vesikula
yang akan tampak sebagai dermatitis.

Proses peredaan atau penyusutan peradangan terjadi melalui beberapa mekanisme


yaitu proses skuamasi, degradasi antigen oleh enzim dan sel, kerusakan sel
Langerhans dan sel keratinosit serta pelepasan Prostaglandin E-1dan 2 (PGE-1,2)
oleh sel makrofag akibat stimulasi INF gamma. PGE-1,2 berfungsi menekan produksi
IL-2R sel T serta mencegah kontak sel T dengan keratisonit. Selain itu sel mast dan
basofil juga ikut berperan dengan memperlambat puncak degranulasi setelah 48 jam
paparan antigen, diduga histamin berefek merangsang molekul CD8 (+) yang bersifat
sitotoksik.

1. Toleransi Imunologis

Struktur kimia, dosis dan cara penyajian dari suatu antigen sangat menentukan
potensi sensitivitasnya. Pada aplikasi pertama dari antigen akan menggerakkan dua
mekanisme yang berlawanan yaitu sensitisasi (pembentukan T helper cell) dan
toleransi imunitas spesifik (pembentukan T supresor cell). Kedua keadaan
imunologik ini selanjutnya dapat dimodifikasi oleh faktor-faktor eksternal seperti
pemberian glukokortikoid topikal atau sistemik, radiasi sinar ultra violet dan riwayat
dermatitis atopik. Apabila dosis tinggi dari antigen disapukan secara epikutan maka
dapat timbul toleransi.Kemungkinan oleh karena sejumlah besar antigen menghindari
sel Langerhans epidermal.

Toleransi imunologis dapat dirangsang oleh penggunaan bahan kimia yang sejenis
seperti propilgallat (antioksidan dalam makanan) dan 2-4-dinitro-1-klorobenzen
terhadap dinitroklorobenzen (DNCB), akan dapat menurunkan sensitivitas DNCB,
bahkan dapat menjadi tidak responsive. Hal ini disebut proses hardening
(pengerasan). Namun proses hardening tidak timbul pada setiap orang dan dapat
hilang bila terjadi pemutusan hubungan dengan bahan kontak alergen. Hiposensitisasi
dapat dicapai dengan pemberian awal bahan allergen berstruktur sejenis dalam dosis
rendah yang kemudian ditingkatkan secara bertahap. Hal ini dapat diterapkan pada
sulfonamid dan poison ivy. Akibatnya ambang rangsang untuk reaksi positif terhadap
uji tempel akan meningkat. Namun keadaan desensitisasi penuh tidak dapat dicapai.
Hiposensitisasi merupakan keseimbangan antara sel efektor dan supresor. Keadaan
toleransi ini dapat dirusak oleh siklofosfamid yang secara selektif menghambat sel
supresor. Bila ini gagal secara teoritik dapat dilakukan induksi secara intra vena
sehingga timbul tolerans terhadap alergen yang diberikan. Menurut Adam hal ini
akan merangsang makrofag di limpa untuk membentuk sel T supresor dan
menimbulkan toleransi imunitas spesifik. Secara teoritik dapat timbul keadaan
quenching yaitu terjadinya potensiasi dari respon alergi dan iritan sehingga kombinasi
dari bahan-bahan kimia dapat menimbulkan efek pemedaman yaitu berkurangnya
ekspresi atau induksi sensitivitas.

2. Gambaran Histopatologis

Pemeriksaan ini tidak memberi gambaran khas untuk diagnostik karena gambaran
histopatologiknya dapat juga terlihat pada dermatitis oleh sebab lain. Pada dermatitis
akut perubahan pada dermatitis berupa edema interseluler (spongiosis), terbentuknya
vesikel atau bula, dan pada dermis terdapat dilatasi vaskuler disertai edema dan
infiltrasi perivaskuler sel-sel mononuclear. Dermatitis sub akut menyerupai bentuk
akut dengan terdapatnya akantosis dan kadangkadang parakeratosis. Pada dermatitis
kronik akan terlihat akantosis, hiperkeratosis, parakeratosis, spongiosis ringan, tidak
tampak adanya vesikel dan pada dermis dijumpai infiltrasi perivaskuler, pertambahan
kapiler dan fibrosis. Gambaran tersebut merupakan dermatitis secara umum dan
sangat sukar untuk membedakan gambaran histopatologik antara dermatitis kontak
alergik dan dermatitis kontak iritan.

Pemeriksaan ultrastruktur menunjukkan 2-3 jam setelah paparan antigen, seperti


dinitroklorbenzen (DNCB) topikal dan injeksi ferritin intrakutan, tampak sejumlah
besar sel langerhans di epidermis. Saat itu antigen terlihat di membran sel dan di
organella sel Langerhans. Limfosit mendekatinya dan sel Langerhans menunjukkan
aktivitas metabolik. Berikutnya sel langerhans yang membawa antigen akan tampak
didermis dan setelah 4-6 jam tampak rusak dan jumlahnya di epidermis berkurang.
Pada saat yang sama migrasinya ke kelenjar getah bening setempat meningkat.
Namun demikian penelitian terakhir mengenai gambaran histologi, imunositokimia
dan mikroskop elektron dari tahap seluler awal pada pasien yang diinduksi alergen
dan bahan iritan belum berhasil menunjukkan perbedaan dalam pola peradangannya.
2.4 Manifestasi Klinik
Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan bergantung pada
keparahan dermatitis. Dermatitis kontak umumnya mempunyai gambaran klinis
dermatitis, yaitu terdapat efloresensi kulit yang bersifat polimorf dan berbatas
tegas. Dermatitis kontak iritan umunya mempunyai ruam kulit yang lebih
bersifat monomorf dan berbatas lebih tegas dibandingkan dermatitis kontak
alergik.

1). Fase akut.

Kelainan kulit umumnya muncul 24-48 jam pada tempat terjadinya kontak
dengan bahan penyebab. Derajat kelainan kulit yang timbul bervariasi ada yang
ringan ada pula yang berat. Pada yang ringan mungkin hanya berupa eritema dan
edema, sedang pada yang berat selain eritema dan edema yang lebih hebat disertai
pula vesikel atau bula yang bila pecah akan terjadi erosi dan eksudasi. Lesi cenderung
menyebar dan batasnya kurang jelas. Keluhan subyektif berupa gatal.

2). Fase Sub Akut

Jika tidak diberi pengobatan dan kontak dengan alergen sudah tidak ada maka
proses akut akan menjadi subakut atau kronis. Pada fase ini akan terlihat eritema,
edema ringan, vesikula, krusta dan pembentukan papul-papul.

3). Fase Kronis

Dermatitis jenis ini dapat primer atau merupakan kelanjutan dari fase akut
yang hilang timbul karena kontak yang berulang-ulang. Lesi cenderung simetris,
batasnya kabur, kelainan kulit berupa likenifikasi, papula, skuama, terlihat pula bekas
garukan berupa erosi atau ekskoriasi, krusta serta eritema ringan. Walaupun bahan
yang dicurigai telah dapat dihindari, bentuk kronis ini sulit sembuh spontan oleh
karena umumnya terjadi kontak dengan bahan lain yang tidak dikenal.

4) Dermatitis Kontak Alergi

Sebagaimana disebutkan pada halaman sebelumnya bahwa ada dua jenis bahan iritan,
maka dermatitis kontak iritan juga ada dua macam yaitu dermatitis kontak iritan akut
dan dermatitis kontak iritan kronis. Dermatititis kontak iritan akut. Penyebabnya
iritan kuat, biasanya karena kecelakaan. Kulit terasa pedih atau panas, eritema,
vesikel, atau bula. Luas kelainan umumnya sebatas daerah yang terkena, berbatas
tegas.

Pada umumnya kelainan kulit muncul dengan segera, tetapi ada sejumlah bahan
kimia yang menimbulkan reaksi akut lambat misalnya podofilin, antralin, asam
fluorohidrogenat, sehingga dermatitis kontak iritan akut lambat. Kelainan kulit baru
terlihat setelah 12-24 jam atau lebih. Contohnya ialah dermatitis yang disebabkan
oleh bulu serangga yang terbang pada malam hari (dermatitis venenata); penderita
baru merasa pedih setelah esok harinya, pada awalnya terlihat eritema dan sorenya
sudah menjadi vesikel atau bahkan nekrosis. Selain berdasarkan fase respon
peradangannya, gambaran klinis dermatitis kontak alergi juga dapat dilihat menurut
predileksi regionalnya. Hal ini akan memudahkan untuk mencari bahan penyebabnya.

5) Dermatitis kontak iritan

Dermatitis kontak iritan kronis atau dermatitis iritan kumulatif, disebabkan oleh
kontak dengan iritan lembah yang berulang-ulang (oleh faktor fisik, misalnya
gesekan, trauma mikro, kelembaban rendah, panas atau dingin; juga bahan contohnya
detergen, sabun, pelarut, tanah, bahkan juga air). Dermatitis kontak iritan kronis
mungkin terjadi oleh karena kerjasama berbagai faktor. Bisa jadi suatu bahan secara
sendiri tidak cukup kuat menyebabkan dermatitis iritan, tetapi bila bergabung dengan
faktor lain baru mampu. Kelainan baru nyata setelah berhari-hari, berminggu atau
bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian. Sehingga waktu dan rentetan kontak
merupakan faktor paling penting. Dermatitis iritan kumulatif ini merupakan
dermatitis kontak iritan yang paling sering ditemukan.

Iritan adalah substansi yang akan menginduksi dermatitis pada setiap orang jika
terpapar pada kulit dalam konsentrasi yang cukup, pada waktu yang sufisien dengan
frekuensi yang sufisien. Masing-masing individu memiliki predisposisi yang berbeda
terhadap berbagai iritan, tetapi jumlah yang rendah dari iritan menurunkan dan secara
bertahap mencegah kecenderungan untuk menginduksi dermatitis. Fungsi pertahanan
dari kulit akan rusak baik dengan peningkatan hidrasi dari stratum korneum (suhu dan
kelembaban tinggi, bilasan air yang sering dan lama) dan penurunan hidrasi (suhu dan
kelembaban rendah). Efek dari iritan merupakan concentration dependent, sehingga
hanya mengenai tempat primer kontak (Safeguards, 2000). Pada orang dewasa, DKI
sering terjadi akibat paparan terhadap bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan
pelarut, detergen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu. Kelainan kulit
yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut, konsentrasi,
vehikulum, serta suhu bahan iritan tersebut, juga dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor
yang dimaksud yaitu lama kontak, kekerapan (terus-menerus atau berselang), adanya
oklusi menyebabkan kulit lebih permeabel, demikian pula gesekan dan trauma fisis.
Suhu dan kelembaban lingkungan juga berperan (Fregert, 1998). Faktor lingkungan
juga berpengaruh pada dermatitis kontak iritan, misalnya perbedaan ketebalan kulit di
berbagai tempat menyebabkan perbedaan permeabilitas; usia (anak dibawah umur 8
tahun lebih muda teriritasi); ras (kulit hitam lebih tahan daripada kulit putih), jenis
kelamin (insidensi dermatitis kontak alergi lebih tinggi pada wanita), penyakit kulit
yang pernah atau sedang dialami (ambang rangsang terhadap bahan iritan turun),
misalnya dermatitis atopik (Beltrani et al., 2006). Sistem imun tubuh juga
berpengaruh pada terjadinya dermatitis ini. Pada orang-orang yang
immunocompromised, baik yang diakibatkan oleh penyakit yang sedang diderita,
penggunaan obat-obatan, maupun karena kemoterapi, akan lebih mudah untuk
mengalami dermatitis kontak (Hogan, 2009). Gejala klasik berupa kulit kering,
eritema, skuama, lambat laun kulit tebal (hiperkeratosis) dan likenifikasi, batas
kelainan tidak tegas. Bila kontak terus berlangsung akhirnya kulit dapat retak seperti
luka iris (fisur), misalnya pada kulit tumit tukang cuci yang mengalami kontak terus
menerus dengan deterjen. Ada kalanya kelainan hanya berupa kulit kering atau
skuama tanpa eritema, sehingga diabaikan oleh penderita. Setelah kelainan dirasakan
mengganggu, baru mendapat perhatian. Banyak pekerjaan yang beresiko tinggi yang
memungkinkan terjadinya dermatitis kontak iritan kumulatif, misalnya : mencuci,
memasak, membersihkan lantai, kerja bangunan, kerja di bengkel dan berkebun.

Dermatitis dapat menyerang berbagai anggota tubuh, antara lain :

1. Tangan

Kejadian dermatitis kontak baik iritan maupun alergik paling sering di tangan,
misalnya pada ibu rumah tangga. Demikian pula dermatitis kontak akibat kerja paling
banyak ditemukan di tangan. Sebagian besar memang disebabkan oleh bahan iritan.
Bahan penyebabnya misalnya deterjen, antiseptik, getah sayuran/tanaman, semen dan
pestisida.

2. Lengan

Alergen umumnya sama dengan pada tangan, misalnya oleh jam tangan (nikel),
sarung tangan karet, debu semen dan tanaman. Di aksila umumnya oleh bahan
pengharum.

3. Wajah
Dermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan bahan kosmetik, obat topikal,
alergen yang ada di udara, nikel (tangkai kaca mata). Bila di bibir atau sekitarnya
mungkun disebabkan oleh lipstik, pasta gigi dan getah buah-buahan. Dermatitis di
kelopak mata dapat disebabkan oleh cat kuku, cat rambut, perona mata dan obat mata.

4. Telinga

Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab lainnya seperti obat topikal,
tangkai kaca mata, cat rambut dan alat bantu pendengaran.

5. Leher dan Kepala

Pada leher penyebabnya adalah kalung dari nikel, cat kuku (yang berasal dari
ujung jari), parfum, alergen di udara dan zat warna pakaian. Kulit kepala relative
tahan terhadap alergen kontak, namun dapat juga terkena oleh cat rambut, semprotan
rambut, sampo atau larutan pengeriting rambut.

6. Badan

Dapat disebabkan oleh pakaian, zat warna, kancing logam, karet (elastis, busa ),
plastik dan deterjen.

7. Genitalia

Penyebabnya dapat antiseptik, obat topikal, nilon, kondom, pembalut wanita dan
alergen yang berada di tangan.

8. Paha dan tungkai bawah

Disebabkan oleh pakaian, dompet, kunci (nikel) di saku, kaos kaki nilon, obat
topikal (anestesi lokal, neomisin, etilendiamin), semen, sandal dan sepatu.

2.5 Pemeriksaan Penunjang

Alergi kontak dapat dibuktikan dengan tes in vivo dan tes in vitro. Tes in vivo
dapat dilakukan dengan uji tempel. Berdasarkan tehnik pelaksanaannya dibagi tiga
jenis tes tempel yaitu :

1. Tes Tempel Terbuka


Pada uji terbuka bahan yang dicurigai ditempelkan pada daerah belakang telinga
karena daerah tersebut sukar dihapus selama 24 jam. Setelah itu dibaca dan dievaluasi
hasilnya. Indikasi uji tempel terbuka adalah alergen yang menguap.

2. Tes Tempel Tertutup

Untuk uji tertutup diperlukan Unit Uji Tempel yang berbentuk semacam plester
yang pada bagian tengahnya terdapat lokasi dimana bahan tersebut diletakkan. Bahan
yang dicurigai ditempelkan dipunggung atau lengan atas penderita selama 48 jam
setelah itu hasilnya dievaluasi.

3. Tes tempel dengan Sinar

Uji tempel sinar dilakukan untuk bahan-bahan yang bersifat sebagai fotosensitisir
yaitu bahan-bahan yang bersifat sebagai fotosensitisir yaitu bahan yang dengan sinar
ultra violet baru akan bersifat sebagai alergen. Tehnik sama dengan uji tempel
tertutup, hanya dilakukan secara duplo. Dua baris dimana satu baris bersifat sebagai
kontrol. Setelah 24 jam ditempelkan pada kulit salah satu baris dibuka dan disinari
dengan sinar ultraviolet dan 24 jam berikutnya dievaluasi hasilnya. Untuk
menghindari efek daripada sinar, maka punggung atau bahan test tersebut dilindungi
dengan secarik kain hitam atau plester hitam agar sinar tidak bisa menembus bahan
tersebut.

Untuk dapat melaksanakan uji tempel ini sebaiknya penderita sudah dalam
keadaan tenang penyakitnya, karena bila masih dalam keadaan akut kemungkinan
salah satu bahan uji tempel merupakan penyebab dermatitis sehingga akan menjadi
lebih berat. Tidak perlu sembuh tapi dalam keadaan tenang. Disamping itu berbagai
macam obat dapat mempengaruhi uji tempel sebaiknya juga dihindari paling tidak 24
jam sebelum melakukan uji tempel misalnya obat antihistamin dan kortikosteroid.

Dalam melaksanakan uji tempel diperlukan bahan standar yang umumnya telah
disediakan oleh International Contact dermatitis risert group, unit uji tempel dan
penderita maka dengan mudah dilihat perubahan pada kulit penderita. Untuk
mengambil kesimpulan dari hasil yang didapat dari penderita diperlukan keterampilan
khusus karena bila gegabah mungkin akan merugikan penderita sendiri. Kadang-
kadang hasil ini merupakan vonis penderita dimana misalnya hasilnya positif maka
penderita diminta untuk menghindari bahan itu. Penderita harus hidup dengan
menghindari ini itu, tidak boleh ini dan itu sehingga berdampak negatif dan penderita
dapat jatuh ke dalam neurosis misalnya. Karenanya dalam mengevaluasi hasil uji
tempel dilakukan oleh seorang yang sudah mendapat latihan dan berpengalaman di
bidang itu.

Tes in vitro menggunakan transformasi limfosit atau inhibisi migrasi makrofag


untuk pengukuran dermatitis kontak alergik pada manusia dan hewan. Namun hal
tersebut belum standar dan secara klinis belum bernilai diagnosis.

2.6 Penatalaksanaan

Pada prinsipnya penatalaksanaan dermatitis kontak iritan dan kontak alergik yang
baik adalah mengidentifikasi penyebab dan menyarankan pasien untuk
menghindarinya, terapi individual yang sesuai dengan tahap penyakitnya dan
perlindungan pada kulit.

1. Pencegahan

Merupakan hal yang sangat penting pada penatalaksanaan dermatitis kontak iritan
dan kontak alergik. Di lingkungan rumah, beberapa hal dapat dilaksanakan misalnya
penggunaan sarung tangan karet di ganti dengan sarung tangan plastik, menggunakan
mesin cuci, sikat bergagang panjang, penggunaan deterjen.

2. Pengobatan

Pengobatan yang diberikan dapat berupa pengobatan topikal dan sistemik.

3. Pengobatan topikal

Obat-obat topikal yang diberikan sesuai dengan prinsip-prinsip umum pengobatan


dermatitis yaitu bila basah diberi terapi basah (kompres terbuka), bila kering berikan
terapi kering. Makin akut penyakit, makin rendah prosentase bahan aktif. Bila akut
berikan kompres, bila subakut diberi losio, pasta, krim atau linimentum (pasta
pendingin ), bila kronik berikan salep. Bila basah berikan kompres, bila kering
superfisial diberi bedak, bedak kocok, krim atau pasta, bila kering di dalam, diberi
salep. Medikamentosa topikal saja dapat diberikan pada kasus-kasus ringan. Jenis-
jenisnya adalah :

a). Kortikosteroid

Kortikosteroid mempunyai peranan penting dalam sistem imun. Pemberian


topikal akan menghambat reaksi aferen dan eferen dari dermatitis kontak alergik.
Steroid menghambat aktivasi dan proliferasi spesifik antigen. Ini mungkin disebabkan
karena efek langsung pada sel penyaji antigen dan sel T. Pemberian steroid topikal
pada kulit menyebabkan hilangnya molekul CD1 dan HLA-DR sel Langerhans,
sehingga sel Langerhans kehilangan fungsi penyaji antigennya. Juga menghalangi
pelepasan IL-2 oleh sel T, dengan demikian profilerasi sel T dihambat. Efek
imunomodulator ini meniadakan respon imun yang terjadi dalam proses dermatitis
kontak dengan demikian efek terapetik. Jenis yang dapat diberikan adalah
hidrokortison 2,5 %, halcinonid dan triamsinolon asetonid. Cara pemakaian topikal
dengan menggosok secara lembut. Untuk meningkatan penetrasi obat dan
mempercepat penyembuhan, dapat dilakukan secara tertutup dengan film plastik
selama 6-10 jam setiap hari. Perlu diperhatikan timbulnya efek samping berupa
potensiasi, atrofi kulit dan erupsi akneiformis.

b). Radiasi ultraviolet

Sinar ultraviolet juga mempunyai efek terapetik dalam dermatitis kontak


melalui sistem imun. Paparan ultraviolet di kulit mengakibatkan hilangnya fungsi sel
Langerhans dan menginduksi timbulnya sel panyaji antigen yang berasal dari
sumsum tulang yang dapat mengaktivasi sel T supresor. Paparan ultraviolet di kulit
mengakibatkan hilangnya molekul permukaan sel langehans (CDI dan HLA-DR),
sehingga menghilangkan fungsi penyaji antigennya. Kombinasi 8-methoxy-psoralen
dan UVA (PUVA) dapat menekan reaksi peradangan dan imunitis. Secara imunologis
dan histologis PUVA akan mengurangi ketebalan epidermis, menurunkan jumlah sel
Langerhans di epidermis, sel mast di dermis dan infiltrasi mononuklear. Fase induksi
dan elisitasi dapat diblok oleh UVB. Melalui mekanisme yang diperantarai TNF
maka jumlah HLA- DR + dari sel Langerhans akan sangat berkurang jumlahnya dan
sel Langerhans menjadi tolerogenik. UVB juga merangsang ekspresi ICAM-1 pada
keratinosit dan sel Langerhans.

c). Siklosporin A

Pemberian siklosporin A topikal menghambat elisitasi dari hipersensitivitas


kontak pada marmut percobaan, tapi pada manusia hanya memberikan efek minimal,
mungkin disebabkan oleh kurangnya absorbsi atau inaktivasi dari obat di epidermis
atau dermis.

4). Antibiotika dan antimikotika

Superinfeksi dapat ditimbulkan oleh S. aureus, S. beta dan alfa hemolitikus, E.


koli, Proteus dan Kandida spp. Pada keadaan superinfeksi tersebut dapat diberikan
antibiotika (misalnya gentamisin) dan antimikotika (misalnya clotrimazole) dalam
bentuk topikal.

5). Imunosupresif topical

Obat-obatan baru yang bersifat imunosupresif adalah FK 506 (Tacrolimus)


dan SDZ ASM 981. Tacrolimus bekerja dengan menghambat proliferasi sel T melalui
penurunan sekresi sitokin seperti IL-2 dan IL-4 tanpa merubah responnya terhadap
sitokin eksogen lain. Hal ini akan mengurangi peradangan kulit dengan tidak
menimbulkan atrofi kulit dan efek samping sistemik. SDZ ASM 981 merupakan
derivat askomisin makrolatum yang berefek anti inflamasi yang tinggi. Pada
konsentrasi 0,1% potensinya sebanding dengan kortikosteroid klobetasol-17-
propionat 0,05% dan pada konsentrasi 1% sebanding dengan betametason 17-valerat
0,1%, namun tidak menimbulkan atrofi kulit. Konsentrasi yang diajurkan adalah 1%.
Efek anti peradangan tidak mengganggu respon imun sistemik dan penggunaan
secara topikal sama efektifnya dengan pemakaian secara oral.

6). Pengobatan sistemik

Pengobatan sistemik ditujukan untuk mengontrol rasa gatal dan atau edema,
juga pada kasus-kasus sedang dan berat pada keadaan akut atau kronik. Jenis-jenisnya
adalah :

a). Antihistamin

Maksud pemberian antihistamin adalah untuk memperoleh efek sedatifnya.


Ada yang berpendapat pada stadium permulaan tidak terdapat pelepasan histamin.
Tapi ada juga yang berpendapat dengan adanya reaksi antigen-antobodi terdapat
pembebasan histamin, serotonin, SRS-A, bradikinin dan asetilkolin.

b). Kortikosteroid

Diberikan pada kasus yang sedang atau berat, secara peroral, intramuskular
atau intravena. Pilihan terbaik adalah prednison dan prednisolon. Steroid lain lebih
mahal dan memiliki kekurangan karena berdaya kerja lama. Bila diberikan dalam
waktu singkat maka efek sampingnya akan minimal. Perlu perhatian khusus pada
penderita ulkus peptikum, diabetes dan hipertensi. Efek sampingnya terutama
pertambahan berat badan, gangguan gastrointestinal dan perubahan dari insomnia
hingga depresi. Kortikosteroid bekerja dengan menghambat proliferasi limfosit,
mengurangi molekul CD1 dan HLA- DR pada sel Langerhans, menghambat
pelepasan IL-2 dari limfosit T dan menghambat sekresi IL-1, TNF-a dan MCAF.

c). Siklosporin

Mekanisme kerja siklosporin adalah menghambat fungsi sel T penolong dan


menghambat produksi sitokin terutama IL-2, INF-r, IL-1 dan IL-8. Mengurangi
aktivitas sel T, monosit, makrofag dan keratinosit serta menghambat ekspresi ICAM-
1.

d). Pentoksifilin

Bekerja dengan menghambat pembentukan TNF-a, IL-2R dan ekspresi


ICAM-1 pada keratinosit dan sel Langerhans. Merupakan derivat teobromin yang
memiliki efek menghambat peradangan.

e). FK 506 (Takrolimus)

Bekerja dengan menghambat respon imunitas humoral dan selular.


Menghambat sekresi IL-2R, INF-r, TNF-a, GM-CSF . Mengurangi sintesis leukotrin
pada sel mast serta pelepasan histamin dan serotonin. Dapat juga diberikan secara
topikal.

f). Ca++ antagonis

Menghambat fungsi sel penyaji dari sel Langerhans. Jenisnya seperti nifedipin
dan amilorid.

g). Derivat vitamin D3

Menghambat proliferasi sel T dan produksi sitokin IL-1, IL-2, IL-6 dan INF-r
yang merupakan mediator-mediator poten dari peradangan. Contohnya adalah
kalsitriol.

h). SDZ ASM 981

Merupakan derivay askomisin dengan aktifitas anti inflamasi yang tinggi. Dapat
juga diberikan secara topical, pemberian secara oral lebih baik daripada siklosporin.
2.7 Prognosis

Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis adalah penyebab dermatitis kontak,


kapan terapi mulai dilakukan, apakah pasien sudah menghindari faktor pencetusnya,
terjadinya kontak ulang dan adanya faktor individual seperti atopi. Dengan adanya uji
tempel maka prognosis dermatitis kontak alergik lebih baik daripada dermatitis
kontak iritan dan DKI yang akut lebih baik daripada DKI kronis yang bersifat
kumulatif dan susah disembuhkan. Dermatitis kontak alergik terhadap bahan-bahan
kimia industri yang penggunaannya pada tempat-tempat tertentu dan tidak terdapat
dalam lingkungan di luar ja m kerja atau pada barang-barang milik pribadi,
mempunyai prognosis yang buruk, karena bahan-bahan tersebut terdapat sangat
banyak dipakai dalam kehidupan kita sehari-hari.

2.8 Pencegahan

Pencegahan dermatitis kontak berarti menghindari berkontak dengan bahan yang


telah disebutkan di atas. Strategi pencegahan meliputi:

Bersihkan kulit yang terkena bahan iritan dengan air dan sabun. Bila dilakukan
secepatnya, dapat menghilangkan banyak iritan dan alergen dari kulit.

Gunakan sarung tangan saat mengerjakan pekerjaan rumah tangga untuk


menghindari kontak dengan bahan pembersih.

Bila sedang bekerja, gunakan pakaian pelindung atau sarung tangan untuk
menghindari kontak dengan bahan alergen atau iritan.
2.9 WOC
Bahan iritan Kimiawi dan
Fisik

Kerusakan sel Dikonsumsi atau Ag


kontak langsung

Sel penyampai Ag
Kelainan kulit Iritan kontak
dengan AG
Sel T
Lapisan tanduk Oleh sel plasma dan basofil
rusak membentuk Ab IgE
HMC
Memicu proses
Denatursi keratin
degranulasi Pelepasan
limfokim
Pelepasan mediator
Menyingkirkan
kimia berlebihan
lemak lap. tanduk Lepas makrofag

Reaksi peradangan
Mengubah daya Kerusakan
ikat air kulit jaringan
Gatal dan rubor

Kelembapan kulit
Merusak lapisan
Reaksi menggaruk menurun
epidermis
berlebih
Kulit mengering
MK : Gangguan
Integritas Jaringan MK : Gangguan
rasa nyaman Perubahan
warna kulit
Lapisan epidermis
Pelepasan toksik MK : Resiko
terbuka invasi BAB III MK : Gangguan
bakteri Infeksi
bakteri Citra Diri
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian

Untuk menetapkan bahan alergen penyebab dermatitis kontak alergik diperlukan


anamnesis yang teliti, riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisik dan uji
tempel.

Anamnesis ditujukan selain untuk menegakkan diagnosis juga untuk mencari


kausanya. Karena hal ini penting dalam menentukan terapi dan tindak lanjutnya, yaitu
mencegah kekambuhan. Diperlukan kesabaran, ketelitian, pengertian dan kerjasama
yang baik dengan pasien. Pada anamnesis perlu juga ditanyakan riwayat atopi,
perjalanan penyakit, pekerjaan, hobi, riwayat kontaktan dan pengobatan yang pernah
diberikan oleh dokter maupun dilakukan sendiri, obyek personal meliputi pertanyaan
tentang pakaian baru, sepatu lama, kosmetika, kaca mata, dan jam tangan serta
kondisi lain yaitu riwayat medis umum dan mungkin faktor psikologik.

Pemeriksaan fisik didapatkan adanya eritema, edema dan papula disusul dengan
pembentukan vesikel yang jika pecah akan membentuk dermatitis yang membasah.
Lesi pada umumnya timbul pada tempat kontak, tidak berbatas tegas dan dapat
meluas ke daerah sekitarnya. Karena beberapa bagian tubuh sangat mudah
tersensitisasi dibandingkan bagian tubuh yang lain maka predileksi regional diagnosis
regional akan sangat membantu penegakan diagnosis.

Kriteria diagnosis dermatitis kontak alergik adalah :

1.Adanya riwayat kontak dengan suatu bahan satu kali tetapi lama, beberapa kali atau
satu kali tetapi sebelumnya pernah atau sering kontak dengan bahan serupa.

2.Terdapat tanda-tanda dermatitis terutama pada tempat kontak.

3.Terdapat tanda-tanda dermatitis disekitar tempat kontak dan lain tempat yang
serupa dengan tempat kontak tetapi lebih ringan serta timbulnya lebih lambat, yang
tumbuhnya setelah pada tempat kontak.

4.Rasa gatal

5.Uji tempel dengan bahan yang dicurigai hasilnya positif.

Berbagai jenis kelainan kulit yang harus dipertimbangkan dalam diagnosis


banding adalah :

1) Dermatitis atopik : erupsi kulit yang bersifat kronik residif, pada tempat-
tempat tertentu seperti lipat siku, lipat lutut dise rtai riwayat atopi pada
penderita atau keluarganya. Penderita dermatitis atopik mengalami efek pada
sisitem imunitas seluler, dimana sel TH2 akan memsekresi IL-4 yang akan
merangsang sel Buntuk memproduksi IgE, dan IL-5 yang merangsang
pembentukan eosinofil. Sebaliknya jumlah sel T dalam sirkulasi menurun dan
kepekaan terhadap alergen kontak menurun.
2) Dermatitis numularis : merupakan dermatitis yang bersifat kronik residif
dengan lesi berukuran sebesar uang logam dan umumnya berlokasi pada sisi
ekstensor ekstremitas.
3) Dermatitis dishidrotik : erupsi bersifat kronik residif, sering dijumpai pada
telapak tangan dan telapak kaki, dengan efloresensi berupa vesikel yang
terletak di dalam.
4) Dermatomikosis : infeksi kulit yang disebabkan oleh jamur dengan efloresensi
kulit bersifat polimorf, berbatas tegas dengan tepi yang lebih aktif.
5) Dermatitis seboroik : bila dijumpai pada muka dan aksila akan sulit
dibedakan. Pada muka terdapat di sekitar alae nasi, alis mata dan di belakang
6) telinga.
7) Liken simplek kronikus : bersifat kronis dan redisif, sering mengalami iritasi
atau sensitisasi. Harus dibedakan dengan dermatitis kontak alergik bentuk
kronik.

3.2 Diagnosis Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang umumnya muncul pada klien penderita kelainan kulit
seperti dermatitis kontak adalah sebagai berikut :

1. Nyeri berhubungan dengan adanya lesi kulit.


2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi dermatitis, respon
menggaruk.
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan pruritus.
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penampakan kulit yang tidak baik.
5. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan perlindungan kulit.

3.3 Intervensi Keperawatan dan Rasional


No. Diagnosa Tujuan dan Intervensi Rasional
keperawatan kriteria hasil
1. Nyeri b.d adanya Tujuan : 1.     kaji jenis dan tingkat1.    Dapat mengetahui
lesi kulit Setelah dilakukan nyeri pasien. tentukan kriteria nyeri pasien
tidakan apakah nyerinya
keperawatan kronis atau akut.
selama 1x24 jam, Selain itu, kaji factor
diharapkan nyeri yang dapat
berkurang atau mengurangi atau
teradaptasi memperberat; lokasi,
durasi, intensitas dan
Kriteria hasil : karakteristik nyeri; dan
1.    Pasien tanda-tanda dan gejala
melaporkan nyeri psikologis. Pengkajian
berkurang berkelanjutan
2.    Nyeri dapat membantu
diadaptasi meyakinkan bahwa
3.    Dapat penanganan dapat
mengidentifikasi memenuhi kebutuhan
2.    Untuk memfasilitasi
aktifitas yang pasien dalam pengkajian yang
meningkatkan atau mengurangi nyeri.
akurat tentang
menurunkan nyeri Dokumentasikan
tingkat nyeri pasien
4.    Pasien tidak respons pasien
gelisah dan skala terhadap pertanyaan
nyeri 0-1 atau anda dengan
teradaptasi bahasanya sendiri 3.    Untuk menentukan
untuk menghindari keefektifan obat
interprestasi subjektif
2.     Minta pasien untuk
menggunakan sebuah
skala 1 sampai 10
untuk menjelaskan
tingkat nyerinya
(dengan nilai 10
menandakan tingkat 4.    Tindakan ini
nyeri paling berat) meningkatkan
3.     Berikan obat yang kesehatan,
dianjurkan untuk kesejahteraan, dan
mengurangi nyeri, peningkatan tingkat
bergantung pada energy, yang penting
gambaran nyeri pasien.untuk pengurangan
pantau adanya reaksi nyeri
yang tidak diinginkan 5.    Untuk menurunkan
terhadap obat. Sekitar ketegangan atau
30 sampai 40 menit spasme otot dan
setelah pemberian untuk
obat, minta pasien mendistribusikan
untuk menilai kembali kembali tekanan
nyerinya dengan skala pada bagian tubuh
1 sampai 10 6.    Tehnik
4.     Atur periode istirahat nonfarmakologis
tanpa terganggu pengurangan nyeri
akan efektif bila
nyeri pasien berada
pada tingkat yang
5.     Bantu pasien untuk
dapat ditoleransi
mendapat posisi yang
nyaman, dan gunakan
bantal untuk
membebat atau
menyokong daerah
yang sakit bila perlu
6.     Pada saat tingkat nyeri
pasien tidak terlalu
kentara,
implementasikan
tehnik mengendalikan
nyeri alternatif

2. Kerusakan Tujuan : 1.    Inspeksi kulit pasien1.     Untuk menentukan


integritas kulit b.d Setelah dilakukan setiap pergantian tugas keefektifan regimen
inflamasi tindakan jaga, jelaskan dan perawatan kulit
dermatitis, respon keperawatan dokumentasikan
menggaruk selama 3x24 jam kondisi kulit dan 2.      
diharapkan laporkan perubahan
kerusakan 2.    Lakukan tindakan a.    Untuk meningkatkan
integritas kulit pendukung, sesuai kenyamanan dan
dapat membaik indikasi kesejahteraan
Kriteria hasil : a.    Bantu pasien dalam b.    Pengurangan nyeri
1.     Pasien melakukan tindakan diperlukan untuk
menunjukkan hygiene dan mempertahankan
tidak adanya kenyamanan kesehatan
kerusakan kulit b.    Berikan obat nyeri c.    Untuk meningkatkan
2.     Pasien sesuai program dan rasa sejahtera pasien
menunjukkan pantau keefektifannyad.   Untuk mencegah
turgor kulit yang kerusakan kulit
normal c.    Pertahankan
lingkungan yang e.    Untuk mencegah
nyaman kemungkinan infeksi
d.   Gunakan kasur busa,
penyangga, atau
peralatan lain
3.     Tindakan tersebut
e.    Peringatkan agar tidak
mengurangi tekanan,
menyentuh luka atau
meningkatkan
balutan
sirkulasi dan
3.    Atur posisi pasien
mencegah kerusakan
supaya nyaman dan
kulit
meminimalkan
tekanan pada
penonjolan tulang.
Ubah posisi pasien 4.     Tindakan ini
minimal setiap 2 jam. membantu
Pantau frekuensi mengurangi ansietas
pengubahan posisi dan meningkatkan
pasien dan kondisi ketrampilan koping
kulitnya 5.     Untuk mendorong
4.    Berikan kesempatan kepatuhan
pasien untuk
mengungkapkan
perasaan tentang
masalah kulitnya
5.    Berikan pengarahan
pada pasien dan
anggota keluarga atau
pasangan dalam
program  perawatan
kulit
3. Gangguan pola Tujuan : 1.    Berikan kesempatan1.     Mendengar aktif
tidur b.d pruritus Dalam waktu 1x24pasien untuk dapat membantu
jam pasien mendiskusikan menentukan
mencapai pola keluhan yang mungkin penyebab kesulitan
tidur/istirahat yang menghalangi tidur tidur
memuaskan 2.    Rencanakan asuhan
Kriteria hasil : keperawatan rutin 2.     Tindakan ini
1.    Pasien yang memungkinkan memungkinkan
mengungkapkan pasien tidur tanpa asuhan keperawatan
perasaan cukup terganggu yang konsisten dan
beristirahat memberikan waktu
2.    Pasien tidak 3.    Berikan bantuan tidur untuk tidur tanpa
menunjukkan kepada pasien, seperti terganggu
tanda-tanda fisik bantal, mandi sebelum 3.      Hygiene pribadi
deprivasi tidur tidur, makanan atau secara rutin dapat
3.    Menghindari minuman dan bahan mempermudah tidur
konsumsi kafein bacaan. bagi sejumlah pasien
4.    Mengenali 4.    Ciptakan lingkungan
tindakan untuk 4.     Tindakan ini dapat
tenang yang kondusif
meningkatkan untuk tidur mendorong istirahat
tidur 5.    Berikan pengobatan dan tidur
yang diprogramkan 5.     Agens hipnotik
untuk meningkatkan memicu tidur, obat
pola tidur normal penenang
pasien. pantau dan menurunkan ansietas
catat reaksi yang tidak
diharapkan
6.    Minta pasien untuk 6.     Tindakan ini
setiap pagi membantu
menjelaskan kualitas mendeteksi adanya
tidur malam gejala perilaku yang
sebelumnya berhubungan dengan
tidur
7.    Berikan pendidikan7.     Upaya relaksasi
kesehatan kepada yang bertujuan
pasien tentang teknik biasanya dapat
relaksasi seperti membantu
imajinasi terbimbing, meningkatkan tidur
relaksasi otot progresif
dan meditasi
4. Gangguan citra Tujuan : 1.    Terima persepsi diri1.    Untuk memvalidasi
tubuh b.d Dalam waktu 1x24pasien dan berikan perasaannya
penampakan kulit jam pasien jaminan bahwa ia
yang tidak baik menerima 2.    Untuk mendapat
dapat mengatasi krisis
perubahan citra ini nilai dasar pada
tubuh 2.    Ketika membantu pengukuran
Kriteria hasil : pasien yang sedang kemajuan
1.     Pasien melakukan perawatan psikologisnya
berpartisipasi diri, kaji pola koping
dalam berbagai dan tingkat harga
aspek perawatan dirinya 3.    Untuk meningkatkan
dan dalam 3.    Dorong pasien rasa kemandirian dan
pemgambilan melakukan perawatan control
keputusan tentang diri 4.    Agar pasien dapat
perawatan 4.    Berikan kesempatan mengungkapkan
2.     Pasien kepada pasien untuk keluhannya dan
menyatakan menyatakan perasaan memperbaiki
perasaan positif tentang citra tubuhnya kesalahpahaman
terhadap dirinya dan hospitalisasi 5.    Untuk mendukung
sendiri 5.    Bimbing dan kuatkan adaptasi dan
3.     Pasien focus pasien pada kemajuan yang
berpartisipasi aspek-aspek positif berkelanjutan
dalam program dari penampilannya
rehabilitasi dan dan upayanya dlam
konseling menyesuaikan diri
dengan perubahan
citra tubuhnya
5. Resiko infeksi b.d Tujuan : 1.    Minimalkan resiko 1.     
kerusakan Setelah melakukan infeksi pasien dengan :
perlindungan tindakan a.    Mencuci tangan a.    Mencuci tangan
kulit keperawatan sebelum dan setelah adalah satu-satunya
selama 1x24 jam, memberikan cara terbaik untuk
infeksi dapat perawatan mencegah penularan
dihindari pathogen
Kriteria hasil : b.      Mengunakan sarungb.    Sarung tangan dapat
1.    Tanda-tanda vital tangan untuk melindungi tangan
dalam batas mempertahankan pada saat memegang
normal asepsis pada saat luka yang dibalut
2.    Tidak adanya memberikan atau melakukan
tanda-tanda perawatan langsung berbagai tindakan
infeksi 2.     Pantau suhu minimal2.    Suhu yang terus
setiap 4 jam dan catat meningkat setelah
pada kertas grafik. pembedahan dapat
Laporkan evaluasi merupakan tanda
segera awitan komplikasi
pulmonal, infeksi
luka atau dehisens,
3.    Bantu pasien mencuci infeksi saluran kemih
tangan sebelum dan atau tromboflebitis
sesudah makan dan 3.    Mencuci tangan
setelah dari kamar mencegah
mandi penyebaran pathogen
4.    Beri pendidikan terhadap objek dan
kepada pasien makanan lain
mengenai : 4.    Tindakan tersebut
a.    Teknik mencuci memungkinkan
tangan yang baik pasien untuk
b.    Factor-faktor yang berpartisipasi dalam
meningkatkan resiko perawatan dan
infeksi membantu pasien
c.    Tanda-tanda dan memodifikasi gaya
gejala infeksi hidup untuk
mempertahankan
tingkat kesehatan
yang optimum
3.4 Evaluasi

Evaluasi yang akan dilakukan yaitu mencakup tentang :

1.Memiliki pemahaman terhadap perawatan kulit.


2.Mengikuti terapi dan dapat menjelaskan alasan terapi.
3.Melaksanakan mandi, pembersihan dan balutan basah sesuai program.
4.Menggunakan obat topikal dengan tepat.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Penyakit alergi memiliki pola perjalanan penyakit tersendiri yang


menggambarkan dermatitis atopik pada periode bayi akan berlanjut menjadi rhinitis
alergika, alergi makanan dan atau asma. Perjalanan penyakit alergi dipengaruhi oleh
faktor genetik, dan faktor lingkungan mulai dari masa intrauterine sampai dewasa
(Wahn, 2004).

Manifestasi penyakit alergi dapat dicegah dengan melakukan deteksi dan


intervensi dini, salah satunya adalah dengan identifikasi kelompok risiko tinggi atopi
melalui riwayat atopi keluarga (Harsono, 2005). Penyakit alergi seperti dermatitis
atopik, rhinitis alergika, asma dan urtikaria adalah keadaan atopi yang cenderung
terjadi pada kelompok keluarga dengan kemampuan produksi IgE yang berlebihan
terhadap rangsangan lingkungan (Harsono, 2005).

4.2 Saran

Dengan dibuatnya makalah ini, diharapkan nantinya akan memberikan manfaat


bagi para pembaca terutama pemahaman yang berhubungan dengan bagaimana
melakukan sebuah proses asuhan keperawatan terutama pada pasien dengan
Dermatitis.

Namun penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu saran maupun kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan
demi kesempurnaan penulisan makalah ini, dengan demikian penulisan makalah ini
bisa bermanfaat bagi penulis atau pihak lain yang membutuhkannya.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito,J,L. (1999). Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi2


(terjemahan). PT EGC. Jakarta.

Corwin, Elizabeth J. Buku saku patofisiologi/Handbook of Pathophysiology.


Alih Bahasa: Brahm U. Pendit. Cetakan 1. Jakarta: EGC. 1997.

Djuanda S, Sularsito. (1999). SA. Dermatitis In: Djuanda A, ed Ilmu penyakit kulit
dan kelamin. Edisi III. Jakarta: FK UI: 126-31.

Engram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. volume 2,


(terjemahan). Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Nettina, Sandra M. Pedoman praktek keperawatan/Lippincott’s Pocket Manual of


Nursing Practice. Alih Bahasa: Setiawan, sari Kurnianingsih, Monica, Ester. Cetakan
1.Jakarta: EGC. 2000.

Polaski, Arlene L. Luckmann’s core principles and practice of medical-surgical. Ed.1.


Pennsylvania: W.B Saunders Company. 1996.

Smeltzer, Suzanne C. Buku ajar medikal bedah Brunner Suddarth/Brunner Suddarth’s


Texbook of Medical-surgical. Alih Bahasa:Agung Waluyo…..(et.al.). ed 8 Vol 3
Jakarta: EGC 2002.

Anda mungkin juga menyukai