KARDIOVASKULER
MAKALAH
oleh:
Anti Anisa Fitri (1420119010)
PRODI S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN IMMANUEL
BANDUNG
2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan atas ALLAH SWT yang telah memberikan Rahmat dan
Hidayah kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “KONSEP
MEDIS DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA SISTEM KARDIOVASKULER” yang
merupakan salah satu tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah 1 .
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih pada pihak yang telah membantu kami
dalam proses penyusunan makalah yang berjudul “KONSEP MEDIS DAN ASUHAN
KEPERAWATAN PADA SISTEM KARDIOVASKULER”, dimulai dari pengumpulan data,
pengolahan, hingga pengkajian, serta tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada :
1. Kepada Bapak Yunus Adhy Prasetyo, S.Kep., Ners., MNS selaku dosen Keperawatan
Medikal Bedah 1.
2. Kedua orang tua kami yang telah memberikan do’a sehingga makalah ini dapat diselesaikan.
3. Teman-teman kelompok 6 yang telah bekerja sama dalam proses pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata
sempurna, oleh karena itu kami mengharap kritik dan saran yang dapat membangun agar bisa
lebih baik di masa yang akan datang.
Hormat kami
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI....................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan.................................................................................................
4.2 Saran...........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
D. Manifestasi Klinis
Menurut (basuki p. Purnomo, 2011) bahwa manifestasi klinis pada penyakit
abses renal adalah sebagai berikut:
1. Nyeri pinggang
2. Demam disertai menggigil
3. Teraba massa si pinggang (pada abses peri atau pararenal)
4. Keluhan miksi jika fokus infeksinya berasal dari: saluran kemih, anoreksia,
malas dan lemah.
Gejala ini sering didiagnosis banding dengan pielonefritis akut. Nyeri dapat
dirasakan pula di daerah
(1) pleura karena pleuritis akibat penyebaran infeksi ke subprenik dan
intrathorakal
(2) Inguinal
(3) Abdominal akibat pada peritoneum posterior. Nyeri pada saat hiperekstensi
pada sendi panggul adalah tanda dari penjalaran infeksi ke otot psoas
E. Pemeriksaan diagnostik
Menurut (basuki p. Purnomo, 2011) pemeriksaan diagnostik pada penyakit
abses renal adalah sebagai berikut:
1.Pemeriksaan urinalalis Menunjukkan adanya oluria dan hematuria
2. Kultur urine Menunjukkan penyebab infeksi
3. Pemeriksaan darah Terdapat leukositosis dan laju endap darah yang
meningkat
4. Pemeriksaan foto polos abddomen Didapatkan ke kaburan pada daerah
pinggang, bayang apsoas menjadi kabur,terdapat bayangan gas pada
jaringan lunak, skoliosis, atau bayangan opak dari suatu batu di saluran
kemih.Adanya proses pada subdia fragmaakan tampak pada foto thoraks
sebagai ateletaksis, efusi pleura, empiema, atau elevasi diafrgama.
F. Penatalaksanaan
Menurut (basuki p. Purnomo, 2011) penatalsanaan pada penyakit abses
renal adalah sebagai berikut :
Jika dijumpai suatu abses harus dilakukan drainase, sedangkan sumber infeksi
diberantas dengan pemberian antibiotika yang adekuat. Drainase abses dapat
dilakukan melalui operasiterbuka ataupun perkutan melalui insisi kecil di
kulit. Selanjutnya dilakukan berbagai pemeriksaan untuk mencari penyebab
terjadinya abses guna menghilangkan sumbernya.
2. 2 Trauma Renal
A. Pengertian
Trauma renal adalah terjadinya cedera pada panggul, punggung, dan abdomen
atas yang dapat imenyebabkan memar, laserasi, atau ruptur aktual pada ginjal. (Brunerr
& Suddarth.2002).
Normalnya ginjal dilindungi oleh susunan tulang iga, muskulatur punggung
posterior, dan vlch lapisan dinding abdomen serta visera anterior. Semuanya dapat
digerakkan dan "difiksasi" hanya pada pedikel renal (batang pembuluh darah renal dan
ureter). Adanya cedera traumatik, menycbabkan ginjal dapat tertusuk olch paling
bawah, sehingga terjadi konstusi dan ruptur. Fraktur iga atau fraktur prosesus
transversus lumbar vertebra atus dapat dihubungkan dengan konlusi renal atau laserasi.
Cedera dapat tumpul (keeelakaan lalulintas, jatuh, cedera atletik, akibat
pukulan) atau penetrasi (luka tembak, huka tikam). Lalai dalam menggunakan sabuk
pengaman sangal berperan dalam menimbulkan trauma renal pada kecelakaan
lalulintas. Trauna renal sering dihubungkan dengn cedera lain; lebih duri 80% pasien
traunu renal mengalami cedera pada organ internal yang lain.
B. Etiologi
Ada 3 penyebab utama dari trauma ginjal, yaitu:
1. Trauma tajam
Trauma tajam seperi tembakan dan tikaman pada abdomen bagian atas atau
pinggang merupakan 10 - 20 % penyebab trauma pada ginjal di Indonesia.
2. Trauma iatrogenik
Trauma iatrogenik pada ginjal dapat disebabkan oleh tindakan operasi atau
radiologi intervensi, dimana di dalamnya termasuk retrograde pyelography,
percutaneous nephrostomy, dan percutaneous lithotripsy. Dengan semakin
meningkatnya popularitas dari teknik teknik di atas, insidens trauma iatrogenik
semakin meningkat, tetapi kemudian menurun setelah diperkenalkan ESWL. Biopsi
ginjal juga dapat menyebabkan trauma ginjal.
3. Trauma tumpul
Trauma tumpul merupakan penyebab utama dari trauma ginjal. Dengan lajunya
pembangunan, penambahan ruas jalan dan jumlah kendaraan, kejadian trauma akibat
kecelakaan lalu lintas juga semakin meningkat.
Trauma tumpul ginjal dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Trauma
langsung biasanya dischahkan oleh kecelakaan lalu lintas, olah raga, kerja atau
perkelahian. Trauma ginjal biasanya menyertai trauma berat yang juga mengenai
organ organ lain. Trauma tidak langsung misalnya jatuh dari ketinggian yang
menyebabkan pergerakan ginjal secara tiba tiba di dalam rongga peritoneum,
Kejadian ini dapat menyebabkan avulsi pedikel ginjal atau robekan tunika intima
arteri renalis yang menimbulkan trombosis.
Ada beberapa faktor yang turut menyebebkan terjadinya trauma ginjal. Ginjal
yang relatif mobile dapat bergerak mengenai costae atau corpus vertebrae, baik
karena trauma langsung ataupun tidak langsung akibat deselerasi. Kedua, trauma
yang demikian dapat menyebabkan peningkatan tekanan subcortical dan intracaliceal
yang cepat sehingga mengakibatkan terjadinya ruptur.
C. Klasifikasi
American Association for Surgery of Trauma membagi trauma ginjal atas 5 gradasi :
Grade 1:
1. Kontusio renis
2. Terdapat perdarahan di ginjal tanpa kerusakan jaringan, kematian jaringan maupun
kerusakan kaliks
3. Hematuria dapat mikroskopik makroskopik
4. Pemeriksaan CT-scan normal.
Grade 2 :
1. Hematom subkapsular atau perirenal yang tidak meluas, tanpa adanya kelainan
parenkim.
Grade 3 :
1. Laserasi ginjal tidak melebihi 1 cm
2. Tidak mengenai pelviokaliks
3. Tidak terjadi ekstravasasi
Grade 4:
1.Laserasi lebih dari 1 cm dan tidak mengenai pelviokaliks atau ekstravasasi urin
2. Laserasi yang mengenai korteks, medulla, dan pelviokaliks
Grade 5:
1. Cedera pembuluh darah utama
2. Avulsi pembuluh darah > gangguan perdarahan ginjal
3. Laserasi luas pada beberapa tempat
Mekanisme dan keparahan cedera. Trauma renal digolongkan berdasarkan mekanisme
cedera (tumpul versus penetrasi), lokasi anatomis, atau keparahan cedera.
Trauma renal minor, mencakup kontusi. hematom, dan beberapa laserasi di
korteks ginjal
Cedera renal Mayor mencakup laserasi mayor disertai ruftur kapsul ginjal
Trauma renal Kritikal, meliputi laserasi multipel yang parah pada ginjal disertai
cedera pada suplai vaskuler.
D. Parofisiologi
Patofisiologi ruptur ginjal berbeda sesuai dengan jenis trauma yang
menyebabkan. Perbedaan patofisiologi dapat disebabkan oleh perbedaan energi yang
mengenai jaringan ginjal.
Patofisiologi trauma ginjal tumpul tidak sepenuhnya dipahami, tetapi unsur
utama yang mungkin menyebabkan trauma adalah kekuatan perlambatan dan
percepatan (deceleration and acceleration). Ginjal ditutupi oleh lemak dan fascia Gerota
di retroperitoneum, serta pedikel ginjal dan ureteropelvic junction (UPJ) adalah elemen
perlekatan utama. Oleh karena itu, kekuatan perlambatan (deceleration) pada elemen-
elemen ini dapat menyebabkan cedera ginjal, seperti pecah atau trombosis. Kekuatan
percepatan (acceleration) dapat menyebabkan tabrakan antara ginjal dengan unsur-
unsur di sekitarnya, seperti tulang rusuk dan tulang belakang, dan menyebabkan cedera
parenkim dan pembuluh darah.
Trauma ginjal biasanya menyertai trauma berat yang juga mengenai organ organ
lain. Trauma tidak langsung misalnya jatuh dari ketinggian yang menyebabkan
pergerakan ginjal secara tiba tiba di dalam rongga peritoneum. Kejadian ini dapat
menyebabkan avulsi pedikel ginjal atau robekan tunika intima arteri renalis yang
menimbulkan trombosis. Ginjal yang terletak pada rongga retroperitoneal bagian atas
hanya terfiksasi oleh pedikel pembuluh darah serta ureter, sementara masa ginjal
melayang bebas dalam bantalan lemak yang berada dalam fascia Gerota. Fascia Gerota
sendiri yang efektif dalam mengatasi sejumlah kecil hematom , tidak sempurna dalam
perkembangannnya. Kantong fascia ini meluas kebawah sepanjang ureter ,meskipun
menyatu pada dinding anterior aorta serta vena cava inferior, namun mudah untuk
sobek oleh adanya perdarahan hebat sehingga perdarahan melewati garis tengah dan
mengisi rongga retroperitoneal.(Guerriero, 1984).
Karena letaknya yang berdekatan antara pankreas dan pole atas ginjal kiri serta
duodenum dengan tepi medial ginjal kanan bisa menyebabkan trauma kombinasi pada
pankreas, duodenum dan ginjal.. Anatomi ginjal yang mengalami kelainan seperti
hidronefrosis atau tumor maligna lebih mudah mengalami ruptur hanya oleh adanya
trauma ringan.(McAninch,2000).
E. Manifestasi klinis
Pada trauma tumpul dapat ditemukan adanya jejas di daerah lumbal. sedangkan pada
trauma tajam tampak luka,
Pada palpasi didapatkan nyeri tekan daerah lumbal, ketegangan otot pinggang
sedangkan massa jarang teraba. Massa yang cepat menyebar luas disertai tanda
kehilangan darah merupakan petunjuk adanya cedera vaskuler.
Nyeri abdomen umumya ditemukan di daerah pinggang atau perut bagian atas,
dengan intenitas nyeri yang bervariasi. Bila disertai cedera hepar atau limpa
ditemukan adanya tanda perdarahan dalam perut.
Fraktur costae terbawah sering menyertai cedera ginjal. Bila hal ini ditemukan
sebaiknya diperhatikan keadaan paru apakah terdapat hematothoraks atau
pneumothoraks?
Hematuria makroskopik merupakan tanda utama cedera saluran kemih. Derajat
hematuria tidak berbanding dengan tingkat kerusakan ginjal. Perlu diperhatikan bila
tidak ada hematutia, kemungkinan cedera berat seperti putusnya pedikel dari ginjal
atau ureter dari pelvis ginjal.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda shock.
F. Komplikasi
Komplikasi dini terjadi dalam bulan pertama setelah injuri, dan dapat terjadi
pendarahan, infeksi, perinefrik abses, sepsis, fistula urinaria, hipertensi, extravasi
urinaria, dan urinoma. Adapun komplikasi yang tertunda, yaitu pendarahan,
hidronefrosis, pembentukan calculi, pyelonephritis kronik, hipertensi, arterivenous
fistula, pseudoaneurisma.
Pendarahan retroperitoneal yang tertunda, biasanya terjadi pada beberapa minggu dari
terjadinya injuri dan dapat mengancam jiwa. Embolisasi angiografik yang selektif
adalah pengobatan pilihan.
Pembentukan abses perinephric biasanya dapat diatasi dengan drainase
perkutan. Manajemen perkutan memberikan resiko yang minimal pada perusakan ginjal
dibandingkan re-operasi, yang dapat menyebabkan nephrectomy ketika jaringan yang
terinfeksi sulit untuk beregenerasi.
Hipertensi dapat terjadi secara akut sebagai akibat dari kompresi eksternal, karena
hematoma perirenal dan membuat jaringan ginjal iskemik.
Renin yang di mediasi hipertensi dapat terjadi jangka panjang sebagai akibat
dari komplikasi. Etiologinya termasuk thrombosis arteri ginjal, thrombosis arteri
segmental, dan fistula arteriovenosa. Arteriografi dapat memberi informasi dalam kasus
kasus pasca trauma hipertensi
G. Penatalaksanaan
Tujuan penalalaksanaan adalah untuk mengendalikan hemoragi, nyeri dan
inleksi, untuk mempertahankan dan melindungi fungsi ginjal, dan untuk
mempertahankan drainase urin.
Hematuria merupakan manifestasi yang paling umum, hematuria mungkin tidak
muncul atau terdeteksi hanya melalui pemeriksaan mikruskopik. Sehingga urin
yang dikumpulkan dan dikirimkan ke laboratorium untuk dianalisis guna
mendeteksi adanya sel darah merah dan untuk mengikuti perjalan pendarahan.
Kadar hematokrit dan hemoglobin dipantau dengan ketat untuk melihat adanya
hemoragi.
Pantau adanya oliguria dan tanda syok hemoragik, karena cedera pedikel atau ginjal
yang hancur dapat menyebahkan eksanguinasi (kehilangan hanyak darah yang
mematikan).
Hematoma yang yang meluas dapat menyehabkan ruptur kapsul ginjal. Untuk
mendeteksi adanya hematoma, area disekitar iga paling bawah, lumbar vertehra
atas dan panggul, dan abdomen dipalpasi teraşa nyeri tekan
Terabanya massa disertai nyeri tekan,bengkak dan ekimosis pada panggul atau
abdominal menunjukkan adanya hemoragi renal.
H. Pemeriksaan Penunjang
Ada beberapa tujuan pemeriksaan diagnostik pada pasien yang dicurigai menderita
trauma ginjal, yaitu :
1. Klasifikasi beratnya trauma sehingga dapat dilakukan penenganan yang tepat dan
menentukan prognosisnya
2. Menyingkirkan keadaan ginjal patologis pre trauma
3. Mengevaluasi keadaan ginjal kontralateral
4. Mengevaluasi keadaan organ intra abdomen lainnya.
a. Plain Photo
Adanya obliterasi psvas skadow menunjukkan hematom retroperitoneaal atau
ekstravasasi urin. Udara usus pindah dari posisinya. Pada tulang tampak fraktur
prosesus transversalis vertebra atau fraktur iga.(Donovan, 1994)
b. Intravenous Urography (IVU)
Pada trauma ginjal, semua trauma tembus atau trauma tumpul dengan
hemodinamik tidak stabil yang menbutuhkan eksplorasi segera harus dilakukan
single shot high dose intravenous urography (IVU) sebelum eksplorasi ginjal, Single
shot IVU ini bersisi 2 ml/KGBB kontras standar 60% ionic atau non ionic yang
disuntikkan intra vena, diikuti satu pengambilan gambar abdomen 10 menit
kemudian. Untuk hasil yang baik sistol dipertahankan diatas 90 mmHg. Untuk
menghemat waktu kontras dapat disuntikkan pada saat resusitasi awal.
Keterbatasan pemeriksaan IVU adalah tak bisa mengetahui luasnya trauma.
Dengan IVU bisa dilihat fungsi kedua ginjal, serta luasnya ekstravasasi urin dan pada
trauma tembus bisa mengetahui arah perjalanan peluru pada ginjal. IVU sangat
akurat dalam mengetahui ada tidaknya trauma ginjal. Namun untuk staging trauma
parenkim, IVU tidak spesifik dan tidak sensitive. Pada pasien dengan hemodinamik
stabil, apabila gambaran IVU abnormal dibutuhkan pemeriksaa lanjutan dengan
Computed Tomography (CT) scan. Bagi pasien hemodinamik tak stabil, dengan
adanya IVU abnormal memerlukan tindakan eksplorasi.
c. CT Scan
Staging trauma ginjal paling akurat dilakukan dengan sarana CT scan. Teknik
noninvasiv ini secara jelas memperlihatkan laserasi parenkim dan ekstravasasi urin,
mengetahui infark parenkim segmental, mengetahui ukuran dan lokasi hematom
retroperitoneal, identifikasi jaringan nonviable serta cedera terhadap organ sekitar
seperti lien, hepar, pankreas dan kolon (Ceehan, 2003). CT scan telah menggantikan
pemakaian IVU dan arteriogram. Pada kondisi akut, IVU menggantikan arteriografi
karena secara akurat dapat memperlihatkan cedera arteri haik arteri utama atau
segmental, Saat ini telah diperkenalkan suatu helical CT scanner yang mampu
melakukan imaging dalam waktu 10 menit pada trauma abdomen (Brandes , 2003).
d. Arteriografi
Bila pada pemeriksaan sebelumnya tidak semuanya dikerjakan, maka
arteriografi bisa memperlihatkan cedera parenkim dan arteri utama. Trombosis arteri
dan avulsi pedikel ginjal terbaik didiagnosis dengan arteriografi terutama pada ginjal
yang nonvisualized dengan IVU. Penycbab utama ginjal nonvisualized pada IVU
adalah avulsi total pedikel, trombosis arteri, kontusio parenkim berat yang
menyebabkan spasme vaskuler. Penyebab lain adalah memang tidak adanya ginjal
baik karena kongenital atau operasi sebelumnya.(Mc Aninch , 2000)
e. Ultra Sonography (USG)
Pemeriksa yang terlatih dan berpengalaman dapat mengidentifikasi adanya
laserasi ginjal maupun hematom. Keterbatasan USG adalah ketidakmampuan untuk
membedakan darah segar dengan ekstravas asi urin, serta ketidakmampuan
mengidentifikasi cedera pedikel dan infark segmental. IHanya dengan Doppler
berwarna maka cedera vaskuler dapat didiagnosis. Adanya fraktur iga , balutan, ileus
intestinal, luka terbuka serta obesitas membatasi visualisasi ginjal.(Brandes, 2003).
I. Diagnosa yang mungkin muncul
Pada pasien trauma ginjal adalah sesuai dengan NANDA, 2012 adalah sebagai berikut:
a. Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan pengeluaran darah masif pada arteri
renal.
b. Nyeri berhubungan dengan trauma jaringan, luka insisi.
c. Ketidakefektifan perfusi ginjal berhubungan dengan trauma, infeksi.
d. Resiko infeksi berhubungan dengan jaringan yang mengalami trauma.
e. Cemas berhubungan dengan perubahan status kesehatan .
3. Glomeruloneftritis
A. Pengertian
Glomerulonefritis merupakan suatu penyakit ginjal yang disebabkan oleh
proses inflamasi pada struktur glomerular sehingga sel darah merah dan protein
keluar ke dalam urin. Glomerulonefritis dapat dibagi berdasarkan penyebabnya
yakni primer, bila tidak ditemukan penyebab lain yang menimbulkan
glomerulonefritis, atau sekunder bila terdapat penyakit lain yang menimbulkan
glomerulonefritis (Ehrlich dan Schroeder, 2009).
Glomerulusnefritis akut adalah merujuk pada kelompok penyakit ginjal,di
mana terjadi reaksi peradangan di glomerulus. Glomerulusnefritis bukanlah
merupakan penyakit infeksi pada ginjal,tetapi gangguan akibat mekanisme tubuh
terhadap system imun (DR.Nursalam,2008).
B. Etiologi
Menurut Ngastiyah (2005) Glomerulonefritis akut didahului oleh infeksi ekstra
renal terutama di traktus respiratorius bagian atas dan kulit oleh kuman streptococcus
beta hemoliticus golongan A tipe 12,4,16,25,dan 29. Hubungan antara
glomerulonefritis akut dan infeksi streptococcus dikemukakan pertama kali oleh
Lohlein pada tahun 1907 dengan alasan bahwa :
1. Timbulnya glomerulonefritis akut setelah infeksi skarlatina
2. Diisolasinya kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A
3. Meningkatnya titer anti- streptolisin pada serum pasien.
Antara infeksi bakteri dan timbulnya glomerulonefritis akut terdapat masa laten
selama kurang 10 hari. Kuman streptococcus beta hemoliticus tipe 12 dan 25 lebih
bersifat nefritogen dari pada yang lain. Mungkin factor iklim atau alergi yang
mempengaruhi terjadinya GNA setelah infeksi dengan kuman streptococcus. GNA juga
disebabkan karena sifilis, keracunan, (timah hitam tridion), penyakit amiloid, trombosis
vena renalis, purpura, anafilaktoid, dan lupus eritematosis.
Glomerulonefritis akut dapat juga disebabkan oleh sifilis, keracunan seperti
keracunan timah hitam tridion, penyakitb amiloid, trombosis vena renalis, purpura
anafilaktoid dan lupus eritematosus.
Ada beberapa penyebab glomerulonefritis akut, tetapi yang palin sering
ditemukan disebabkan karena infeksi dari streptokokus, penyebab lain diantaranya:
1. Bakteri : Streptokokus grup C, meningococcocus, Sterptoccocus
Viridans, Gonococcus, Leptospira, Mycoplasma Pneumoniae,
Staphylococcus albus, Salmonella typhi dll
2. Virus : Hepatitis B, varicella, vaccinia, echovirus, parvovirus,
influenza, parotitis epidemika dl
3. Parasit : Malaria dan toksoplasma
C. Patofisiologi
Hampir pada semua tipe glomerulonefritis terjadi gangguan di lapisan epitel atau
lapisan podosit membran glomerulus Gangguan ini mengakibatkan hilangnya muatan
negatif. (Lihat Karakteristik lesi glomerulus.)
Glomerulonefritis pascastreptokokal akut terjadi karena kompleks antigen-
antibodi terperangkap dan menumpuk di dalam membran kapiler glomerulus sesudah
infeksi oleh Streptococcus beta-hemolyticus group A. Antigen tersebut, yang bisa
endogen atau eksogen, menstimulasi pembentukan antibodi. Kompleks antigen-
antibodi yang beredar di dalam darah akan tersangkut di dalam kapiler glomerulus.
(Lihat Glomerulonefritis.) Cedera glomerulus terjadi letika kom pleks tersebut
memulai pengaktifan komplemen dan pelepasan substansi imunologi yang
menimbulkan lisis sel serta meningkatkan permeabilitas membran. Intensitas
kerusakan glomerulus dan insufisiensi renal berhubungan degan ukuran, jumlah,
lokasi (lokal atau difus), durasi pajanan dan tipe kompleks antigen-antibodi.
Antibodi atau kompleks antigen-antibodi dalam din ding kapiler glomerulus
mengaktifkan mediator biokimiawi inflarmasi-yaitu, komplemen, leukosit, dan fibrin.
Komple men yang sudah diaktifkan akan menarik sel-sel neutrofil serta monosit yang
melepaskan enzim lisosom. Enzim liso som ini merusak dinding sel glomerulus dan
menyebabkan proliferasi matriks ekstrasel yang akan memengaruhi aliran darah
glomerulus. Semua kejadian tersebut meningkatkan permeabiltas membran yang
menyebabkan kehilangan muatan negatif pada membran glomerulus dan
meningkatkan pula filtrasi protein.
Kerusakan membran menyebabkan agregasi trombosit, dan degranulasi
trombosit melepaskan substansi yang meningkatkan permeabilitas glomerulus.
Molekul protein dan sel darah merah kini dapat melintas masuk ke dalam. urino
sehingga terjadi proteinuria dan hematuria. Pengaktivan sistem koagulasi
menimbulkan endapan fibrin dalam ruang Bowman, Akibatnya adalah pembentukan
struktur berbentuk bulan sabit (crescent) dan penurunan aliran darah renal serta laju
filtrasi glomerulus. Perdarahan glomerulus menyebabkan urine menjadi asam.
Keadaan ini akan mengubah hemoglobin menjadi methemoglobin dan
mengakibatkan urine berwarna cokelat tanpa ada bekuan darah.
Pathway Glomerulonefritis
Potensial Infeksi
(Streptokokus A)
Reaksi Antigen
Antibodi
Retensi Na dan
Air
Edema
D. Manifestasi Klinis
Penderita biasanya mengeluh tentang rasa dingin, demam, sakit kepala, sakit
punggung, dan udema (bengkak) pada bagian muka biasanya sekitar mata (kelopak),
mual dan muntah. Sulit buang air kecil dan air seni menjadi keruh. Menurut Nursalam
manifestasi klinis penyakit glomerulonefritis sebagai berikut:
1) Penyakit ringan umumnya ditemukan saat dilakukan urinalisis secara rutin
2) Riwayat infeksi : faringitis oleh streptokokus kelompok A, Virus hepatitis B,
dan Endokarditis
3) Proteinuria, Hematuria, dan Oliguria
2) Okarditis
3) Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit pada fase akut
4) Malnutrisi
5) Hipertensi Encephalopati
Menurut Ngastiyah (2005) :
1) Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagai akibat
atau anuria yang lama jarang terdapat pada anak, namun bila hal ini terjadi
gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang- kejang. Hal
ini disebabkan karena spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema
otak.
miokardium.
c. Patofisiologi
Gagal ginjal kronik disebabkan oleh berbagai kondisi, seperti gangguan metabolic
(DM), infeksi (Pielonefritis), Obstruksi Traktus Urinarius, Gangguan Imunologis,
Hipertensi, Gangguan tubulus primer (nefrotoksin) dan Gangguan kongenital yang
menyebabkan GFR menurun.
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagai nefron (termasuk glomerulus dan
tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron
yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai
reabsorbsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR/daya saring. Metode adaptif ini
memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron-nefron rusak. Beban bahan
yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa di reabsorbsi berakibat
dieresis osmotic disertai poliuri dan haus.
Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak timbul disertai
retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih
jelas dan muncul gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala
khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80%-90%. Pada tingkat ini
fungsi renal yang demikian lebih rendah itu. (Barbara C Long).
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolism protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi
setiap system tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan
semakin berat (Smeltzer dan Bare, 2011)
Pathway gagal ginjal
Tekanan
kapiler naik
Suplai nutrisi dalam
darah tutun
Volume
interstisial naik Edema
Gangguan nutrisi
Preload naik
Oksihemoglobin
turun
Beban jantung
naik
Suplai O2 turun
Resiko
Penurunan
curah jantung Intoleransi
aktivitas
D. Tanda dan Gejala
Menurut perjalanan klinisnya (Corwin, E (2009):
(1) Menurunnya cadangan ginjal pasien asimtomatik, namun GFR dapat menurun
hingga 25% dari normal.
(2) Insufisiensi ginjal, selama keadaan ini pasien mengalami polyuria dan nokturia,
GFR 10% hingga 25% dari normal, kadar kreatinin serum dan BUN sedikit
meningkat diatas normal.
(3) Penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) atau sindrom uremik (lemah, letargi,
anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati perifer,
pruritus, uremic frost, pericarditis, kejang-kejang sampai koma), yang ditandai
dengan GFR kurang dari 5-10 ml/menit, kadar serum kreatinin dan BUN meningkat
tajam, dan terjadi perubahan biokimia dan gejala yang komplek.
E. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan cairan elektrolit dan
mencegah komplikasi, yaitu sebagai berikut (Muttaqin, 2011) :
1) Dialisis
Dialisis dapat dilakukan dengan mencegah komplikasi gagal ginjal yang serius,
seperti hyperkalemia, pericarditis, dan kejang. Dialisis memperbaiki abnormalitas
biokimia, menyebabkan cairan, protein dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas,
menghilangkan kecenderungan perdarahan dan membantu penyembuhan luka.
Dialisis atau dikenal dengan nama cuci darah adalah suatu metode terpi yang
bertujuan untuk menggantikan fungsi/kerja ginjal yaitu membuang zat-zat sisa dan
kelebihan cairan dari tubuh. Terapi ini dilakukan apabila fungsi kerja ginjal sudah
sangat menurun (lebih dari 90%) sehingga tidak lagi mampu untuk menjaga
kelangsungan hidup individu, maka perlu dilakukan terapi. Selama ini dikenal ada 2
jenis dialisis :
(1) Hemodialisis (cuci darah dengan mesin dialiser)
Hemodialisis atau HD adalah jenis dialisis dengan menggunakan mesin
dialiser yang berfungsi sebagai ginjal buatan. Pada proses ini, darah dipompa
keluar dari tubuh, masuk kedalam mesin dialiser. Didalam mesin dialiser,
darah dibersihkan dari zat-zat racun melalui proses difusi dan ultrafiltrasi oleh
dialisat (suatu cairan khusus untuk dialisis), lalu setelah darah selesai di
bersihkan, darah dialirkan kembali kedalam tubuh. Proses ini dilakukan 1-3
kali seminggu di rumah salit dan setiap kalinya membutuhkan waktu sekitar 2-
4 jam.
(2) Dialisis peritoneal (cuci darah melalui perut)
Terapi kedua adalah dialisis peritoneal untuk metode cuci darah dengan
bantuan membrane peritoneum (selaput rongga perut). Jadi, darah tidak perlu
dikeluarkan dari tubuh untuk dibersihkan dan disaring oleh mesin dialisis.
2) Koreksi hiperkalemi
Mengendalikan kalium darah sangat penting karena hiperkalemi dapat
menimbulkan kematian mendadak. Hal pertama yang harus diingat adalah jangan
menimbulkan hiperkalemia. Selain dengan pemeriksaan darah, hiperkalemia juga
dapat didiagnosis dengan EEG dan EKG. Bila terjadi hiperkalemia, maka
pengobatannya adalah dengan mengurangi intake kalium, pemberian Na
Bikarbonat, dan pemberian infus glukosa.
3) Koreksi anemia
Usaha pertama harus ditujukan untuk mengatasi factor defisiensi, kemudian mencari
apakah ada perdarahan yang mungkin dapat diatasi. Pengendalian gagal ginjal pada
keseluruhan akan dapat meninggikan Hb. Tranfusi darah hanya dapat diberikan bila
ada indikasi yang kuat, misalnya ada infusiensi coroner.
4) Koreksi asidosis
Pemberian asam melalui makanan dan obat-obatan harus dihindari. Natrium
Bikarbonat dapat diberikan peroral atau parenteral. Pada permulaan 100 mEq
natrium bikarbonat diberi intravena perlahan-lahan, jika diperlukan dapat diulang.
Hemodialisis dan dialisis peritoneal dapat juga mengatasi asidosis.
5) Pengendalian hipertensi
Pemberian obat beta bloker, alpa metildopa dan vasodilatator dilakukan. Mengurangi
intake garam dalam mengendalikan hipertensi harus hati-hati karena tidak semua
gagal ginjal disertai retensi natrium.
6) Transplantasi ginjal
Dengan pencakokkan ginjal yang sehat ke pasien gagal ginjal kronik, maka seluruh
faal ginjal diganti oleh ginjal yang baru.
F. Komplikasi
Gagal ginjal memengaruhi banyak proses tubuh. Komplikasi dapat meliputi:
1. Demam dan menggigil (sering terjadi) yang menur jukkan infeksi.
2. Asidpsis metabolik akibat penurunan ekskresi ion hidrogen.
3. Anemia akibat eritropoietinemia, filtrasi eritrosis pada glomerulus, atau perdarahan
yang menyertai disfungsi trombosit; hipoksia jaringan yang menstimulasi
peningkatan respirasi dan kerja pernapasan.
4. Sepsis karena penurunan imunitas yang diantarai sel darah putih.
5. Gagal jantung akibat kelebihan muatan cairan dan anemia yang menyebabkan beban
kerja tambahan pada jantung.
6. Keadaan mudah terjadi hiperkoagulası akibat kelainan pada jumlah atau fungsi
protein antikoagulan, faktor koagulasi, trombosit atau mediator endotel yang
mengakibatkan perdarahan atau gangguan pembekuan.
7. perubahan status mental dan sensibilitas perifer akibat efek yang ditimbulkan pada
sel-sel saraf yang sangat sensitif; keadaan ini terjadi sekunder karena retensi toksin,
hipoksia, ketidakseimbangan elektrolit dan asidosis.
G. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
Kemungkinan diagnosa keperawatan dari orang dengan kegagalan ginjal kronis adalah
sebagai berikut (Brunner&Sudart, 2013 dan SDKI, 2016):
1) Hipervolemia
2) Defisit nutrisi
3) Nausea
4) Gangguan integritas kulit/jaringan
5) Gangguan pertukaran gas
6) Intoleransi aktivitas
7) Resiko penurunan curah jantung
8) Perfusi perifer tidak efektif
9) Nyeri akut
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengkajian
1) Identitas Pasien
Nama : Ny.A
Tempat lahir :-
Umur : 40 tahun
jenis kelamin : perempuan
agama : Islam
pendidikan : S1
tanggal MRS : 15-20-2018
2) Identitas Penanggung jawab
Perlu ditanyakan: nama, umur, hubungan dengan keluarga, pekerjaan, alamat.
B. Status Kesehatan Pasien
1) Keluhan Utama
Nyeri
2) Riwayat Kesehatan Sekarang : pasien mengatakan bahwa nyeri pada punggung
sebelah bawah. Nyeri seperti tertekan dan menjalar ke abdomen bagian bawah,
nyeri yang dirasakan seperti tertusuk tusuk dan pasien mengatakan demam,
mengigil, nyeri ketika berkemih, dan nyeri yang semakin makin skala nyeri 6
dari 1-10 (sedang) dan pasien mengatakan bahwa nyeri timbul pada malam hari
dan pada pagi haru saat bangun tidur dan nyeri bertambah saat bergerak atau
beraktivitas, nyeri hilang timbul..
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan sebelum masuk rumah sakit dia sudah masuk rs lain karena
demam disertai menggigil dan mengalami hipertensi
4) Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan bahwa dikeluarga nya tidak memiliki penyakit yang dialami
nya saat ini dan tidak memiliki penyakit tbc, diabetes
C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum : Compos mentis
2) Tanda Vital : (1) TD : 140/100 mmHg
(2) Suhu : 36.7ºC
(3) Nadi : 84 x/menit
(4) Respirasi : 28 x/menit
a. laboratium
No Komponen Hasil Nilai rujukan
1. Haemoglobin 13,1 P :11,7 – 15,5 g/dl
L : 13,2 – 17,3 g/dl
2. Hematokrit 39 P : 35- 47 %
L : 40-53 %
3. Leukosit 95.00 Dws : 4.000 –
11.000 /mm3
Bayi : 7.000-
17.000 /mm3
4. Trombosit 325.000 150.000
-450.000 /mm3
b. Pada urine :
- Leukosit : +
- Eritrosit +
- Urinalisi (urine meningkat)
- Darah + Dalam Urin
E. Analisa Data
No Tanggal Data (S & O) Etiologi Masalah
- Pasien
mengatakan
nyeri menjalar Penekanan saraf
keabdomen disekitarnya
bagian bawah
- Pasien
mengatakan
nyeri seperti Merangsang ujung
ditusuk tusuk nyeri
- Paisen
mengatakan
bahwa timbul
pada malam Nyeri abdomen
hari dan pagi
hari saat bangun
tidur
- Pasien Nyeri
mengatakan
nyeri bertambah
saat bergerak
- Klien
mengatakan
nyeri hilang
timbul
Do :
a. Compos simetris
b. GCS 456
c. TTV:
TD = 140/100mmHg
N = 84 x/menit
RR = 28 x/menit
S = 36.7º C
Skala nyeri 6 (sedang)
2 16-10- DS : - Penyebaran sistemik Hipertemia
2018
inflamasi
DO :
- klien mengalami suhu
tubuh diatas rentang
normal serangan atau
kompensasi thermostat
konvulsi (kejang)
hipotalamus
- klien mengalami
pertambahan RR
(RESPIRASI)
- klien mengalami
meningkatnya suhu
takikardi
tubuh
- kulit pasien panas/
hangat
hipertermia
F. Diagnosa Kepeawatan
No Tanggal Diagnosa
1. 16-10-2018 Nyeri b.d dengan abdomen
2. 16-10-2018 Hipertermia b.d penurunan perspirasi
G. Intervensi
N Tujuan/kriteria hasil Intervensi Rasional
0
1. setelah dilakukan 1. Bina hubungan saling 1. Untuk meningkatkan
perawatan selama 3x24 percaya kepercayaan pasien
jam diharapkan nyeri kepada perawat
berkurang 2. Lakukan pengkajian 2. Untuk mengetahui
kriteria hasil: nyeri secara tingkat nyeri pasien
1) Mampu komprehensif termasuk
mengontrol nyeri lokasi, durasi, frekuensi,
(mengetahui dan kualitas.
penyebab nyeri, 3. Obsevasi reaksi 3. Untuk mengetahui
mampu nonverbal dari tingkat
menggunakan ketidaknyamanan ketidaknyamanan yang
teknik non dirasakan oleh pasien.
farmakologi untuk 4. Kontrol lingkungan 4. Untuk mengetahui
mengurangi nyeri) yang dapat tingkat
2) Pasien tampak mempengaruhi nyeri ketidaknyamanan yang
tidak memegangi seperti suhu ruangan, dirasakan oleh pasien.
daerah yang nyeri pencahayaan, dan
3) Skala nyeri kebisingan.
menjadi 1-3 5. Ajarkan tentang 5. Agar pasien mampu
(ringan) teknik non farmakologi menggunakan teknik
4) Pasien tampak seperti distraksi dan non farmakologi dalam
rileks relaksasi memanagement nyeri
5) Tanda-tanda vital yang dirasakan
dalam rentang
normal (tekanan
darah nadi,
pernafasan)
6) TD: 120/80 mmhg
N: 70x/menit
RR: 19x/menit
2 setelah dilakukan 1. Mengajurkan 1. Istirahat
perawatan selama 3x24 istirahat aktifitas
jam diharapkan dapat 2. Ingatkan pasien menyediakan
untuk tidur
berkurang suhu tubuh waktu untuk
mengunakan
secara bertahap dengan selimut. menyimpan
3. Ingatkan pasien
kriteria hasil : energy dan
untuk berobat
1. Suhu tubuh dalam 4. Menilai tekanan pemulihan
bataas normal darah, RR dan
2. Untuk
dangan kreiteria nadi
mencegah
hasil suhu : 36-37 5. Menganjurkan
tejadinya
‘c untuk melakukan
hipertermia
2. Nadi da RR kompres
3. Biasanya tubuh
didalam rentang
mengatur
normal
pengobatan
setelah beberapa
minggu
4. Menyediakan
informasi dasar
untuk
menentukan
pembatasan
aktifitas dan
lamanya terapi
5. Rutin
melakukan
kompres dingin
dapat
mengurangi
panas tubuh
atau
penggurangan
suhu tubuh
H. Implementasi
NO TANGGAL WAKTU DK IMPLEMENTASI PARAF
1. 16.10.2018 07.00 1 Melakukan pengkajian nyeri
komprehensif yang meliputi lokasi,
karakteristik, frekuensi.
P = Nyeri timbul saat beraktivitas
dan kadang saat istirahat
Q = Nyeri seperti di remas – remas
R = Nyeri timbul di dada sebelah
kiri dan menjalar ke punggung
S = Skala nyeri 6
T = Nyeri hilang timbul
I. Evaluasi
Tanggal Diagnosa Evaluasi (SOAP) Paraf
keperawatan
20-10-2018 Nyeri S : Pasien mengatakan nyeri
pada punggung bagian
bawah
- Pasien mengatakan
nyeri menjalar keabdomen
bagian bawah
- Pasien mengatakan
nyeri seperti ditusuk tusuk
- Paisen mengatakan
bahwa timbul pada malam
hari dan pagi hari saat
bangun tidur
- Pasien mengatakan
nyeri bertambah saat
bergerak
- Klien mengatakan nyeri
hilang timbul
O:
1. Keadaan umum : lemah
2. Kesadaran composmentis, GCS
456 3. TTV : RR = 19 x/menit S =
36.7º C
4. Wajah Tampak rileks
5. Pasien sudah tidak memegangi
daerah dada yang nyeri
A : Masalah Keperawatan Teratasi
P : Intervensi dihentikan, pasien
pulang
20-10-2018 Hipertermia S : pasin mengatakan sudah tidak
mengalami hipertermia dan dapat
beraktivitas seperti semula.
Hasil Renogram menerangkan kedua fungsi ginjal sudah menurun, dengan fungsi ginjal
kiri nilai GFR 13,70 ml/menit dan ginjal kanan 33,49 ml/menit. Total GFR 47,22
ml/menit.
Hasil lab darah : Terlampir
1) Radiologi : Terdapat kardiomegali, pulmo dalam batas normal
2) Abdomen 3 posisi : multiple nefrolithiasi bilateral, dilatasi disertai penebalan fokal,
sebgaian colon region hemiabdomen kiri atas disertai multiple air fluid level pd/
sentinel loops
3) USG Fast abdomen
Tidak tampak cairan bebas pada fosca hepatorenal, splenorenal, perihepatika,
perisplenika, paracolica kanan-kiri maupun penvesica. Neforlithiasis bilateral
4) Renogram :
Skintigrafi
Aktivitas intrarenal kanan meningkat dan menetap sampai akhir pemeriksaan.
Aktivitas intrarenal kiri rendah dan menetap sampai akhir pemeriksaan Aktivitas di
buli mulai tampak pada menit ke 22 dan kemudian meningkat sampai akhir
pemeriksaan
Kurva renogram
Kurva renogram kanan meningkat dan mendatar sampai akhir pemeriksaan.
Kurva renogram kiri lebih rendah dibandingkan kanan, mendatar sampai akhir
pemeriksaan
Nilai GFR
Ginjal kiri : 13,70 ml/mnt
Ginjal kanan : 33,49 ml/menit
Total GFR : 47,2 ml/menit (nilai GFR normal untuk pasien ini 88 ml/menit)
Kesimpulan
Gangguan berat fungsi parenkim dan ekskresi ginjal kiri dengan GFR 13,70
ml/menit.
Fungsi parenkim dan ekskresi ginjal kanan menurun dengan GFR 33,49 ml/menit.
E. Therapy Obat
1) Terapi oral :
a) CPZ 1 x 1 tab
b) Kotrimoksazol 2 x 480 mg
c) Dumin supp extra 1 x supp
2) Intra Vena
a) Fosmycin 2 x 1 gr
b) Ketorolac 3 x 30 mg
c) Farmadol 3 x 1 gr
d) Ranitidn 2 x 50 mg
e) Vitk K 3 x 1mp
f) Transamin 3 x 1 amp
g) Meropenen 3 x 1 gr
3) Cairan parenteral
a) Dextrose 5% 500 ml/ 8 jam
b) RL 500 ml/8 jam
c) Aminofluid 500 ml/ 8 jam
d) Transfusi Albumin 100 cc
Diet : diet tktp 1700 Kkalori/24 jam
F. Diagnosa Keperawatan
NO Diagnosa
1. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan
2. Perfusi jaringan renal tidak efektif berhubungan dengan trauma, infeksi
3. Risiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidak mampuan mencerna makanan
2. Pola Eliminasi
BAB
a. Frekuensi 1x sehari Belum Bab
b.Warna kuning kecoklatan Tidak ada
d. Bau khas Tidak ada
e. Konsistensi Padat Tidak ada
f. Kesulitan Tidak ada 3 hari belum
bab
Tidak ada
BAK
a. Frekuensi 3-4x/hari Out put 24 jam
550 cc
b. warna Kuning Kuning
kecoklatan
c. Bau Khas Khas
d.Konsistensi Cair Cair
e. Kesulitan Tidak ada Tidak ada
3. Pola Istirahat/Tidur
a. Waktu tidur Malam Siang dan
malam
b. Lama tidur 4-5 jam 3 jam
c. Hal yang Tidak ada Tidak ada
mempermudah tidur
d. Kesulitan tidur Sesak nafas, nyeri Sesak nafas,
nyeri
4. Personal Hygiene
a. Mandi 2x sehari 1x/hari
b. Cuci Rambut 2x sehari 1x/hari
c. Gosok Gigi 2x sehari 1x/hari
d. Gunting Kuku 1x seminggu Tidak ada
D. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : Composmentis
GCS : E:4, M:6, V:5
BB/TB : 22 kg/ 135 cm
Tanda-tanda Vital
TD : 100/70 mmHg
N : 94 x/menit
P : 39 x/menit
S : 36,5 ºc
Mata
Inspeksi : Mata simetris kiri dan kanan, tidak ada oedema, konjungtiva non anemis,
skelera non ikterik, tidak ada secret pada mata, tidak ada gangguan
penglihatan.
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
Thorak
Inspeksi : Pergerakan retraksi dada (+) , penggunaan otot bantu pernafasan (+)
Palpasi : Simetris kiri/kanan, taktil premitus sama
Perkusi : Sonor Auskultasi : Ronchi (+), whezing (-)
Jantung
Inspeksi : Ictus kordis tidak tampak, tidak ada lesi
Palpasi : Ictus kordis teraba pada ruang interkostal kiri V, agak kemedial (2 cm) dari
linea midklavikularis kiri. Batas jantung atas : Intercostalis II parasternal
kiri, batas kanan : Intercostalis IV garis parasternal kanan, batas kiri :
Intercostalis IV garis midclavicula kiri.
Perkusi : Redup
Auskultasi : bunyi J.1. lup, dan bunyi J.2. dup, tidak ada bunyi jantung tambahan
Abdomen
Inspeksi : Terdapat pembengkakan, abses tidak ada
Auskultasi : Bising usus 12 x/menit
Palpasi : Terdapat nyeri tekan, lingkar perut : 59 cm, tidak teraba pembesaran hati,
limfa Perkusi : Tympani
Ekstermitas Atas : Edema pada lengan kiri/kanan bawah
Bawah : Edema pada tungkai kaki kiri/kanan bawah
Keterangan : Skala kekuatan otot.
Skala Nilai Keterangan
Normal 5/5 Mampu menggerakkan persendian dalam lingkup gerak
penuh,mampu melawan gaya gravitasi ,mampu
melawan dengan tahan penuh.
Baik 4/5 Mampu menggerakkan persendian dengan gaya
gravitasi ,mampu melawan dengan tahan sedang.
Sedang 3/5 Hanya mampu melawan gaya gravitasi
Buruk 2/5 Tidak mampu melawan gaya gravitasi (gerakkan pasif)
Sedikit 1/5 Kontraksi otot dapat di palpasi tanpa gerakkan
persendian.
Tidak ada 0/5 Tidak ada kontraksi otot
Genetalia
Inspeksi : Jenis kelamin laki-laki, keadaan lengkap, tidak ada kelainan, genetalia bersih,
ridak terpasang kateter.
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
Integumen
Inspeksi : Warna kulit sawo matang, kulit memerah, kulit kering
Palpasi : turgor kulit jelek, CRT 6 detik, akral teraba hangat
E. Pemeriksaan Penunjang
Hasil labor tanggal 21-06-2016
URINE
- Eritrosit : 4/ml/lpb
- Bakteri : +
- Protein : +3
- pH : 6.0
- Darah samar / Hb : +7
- Bj : 1.020
F. Therapy Obat
- Vitamin B complex 1 tab 3x
- Vitamin C 1 tab 3x
- Cefadroxil 1 tab 2x
- Catopril 12,5 mg 2x
- Paracetamol ½ tab 3x
- Furosemide ¾ tab 1x
-Spironolacton 12,5 mg 1x
- Digoxin 0,125 mg 1x
- SF 1 tab 2x
- Anemolat 1 mg 1 tab 2x
- Catopril z 6,25 mg 2
G. Analisa data
Data Obyektif :
- Derajat edema III : kedalaman
5-7 mm dengan waktu 6
detik
- Kulit klien tampak memerah
- Kulit klien tampak kering
- Tampak sembab pada kaki
- klien tampak merasa gatal
pada kulitnya
- Kulit terasa panas
H. Diagnosa keperawatan
NO Tanggal Diagnosa
1. 16-10-2020 Kelebihan volume cairan
2. 16-10-2020 Kerusakan intergritas kulit dan Intoleransi
aktivitas
I. Intervensi
No Tanggal Diagnosa NIc NOC
keperawatan
1 16-10-2020 Kerusakan - Integritas jaringan Manajemen tekanan
intergritas kulit : kulit dan 1.Berikan pakaian
membran yang tidak ketat
mukosa. pada
- Keparahan cairan pasien
berlebih. 2.Hindari kerutan
Kriteria Hasil : padaa tempat tidur
- Dipertahankan 3.Jaga kebersihan
pada no 4 dari no 2, kulit agar tetap
dan ditingkatkan ke bersih dan kering
no 5 4. Balikkan posisi
pasien minimal
setiap 2 jam, sesuai
jadwal khusus
5. Monitor kulit
akan adanya
kemerahan
6. Oleskan lotion
atau minyak / baby
oil pada derah yang
tertekan
7.Monitor mobilisasi
dan aktivitas pasien
8. Monitor status
nutrisi pasien
9. Monitor sumber
tekanan dan gesekan
10. Memandikan
pasien dengan sabun
dan air hangat
J. Implementasi
NO. Hari/ Dx Jam Implementasi
Tanggal
1. Rabu/ 1 08.30 1. Menganjurkan pasien untuk menggunakan
22-06-2016 pakaian yang longgar
K. Evaluasi
No Jam Evaluasi
1. 12.00 S:
- Keluarga mengatakan anak sembab di
daerah kelopak mata, ekstermitas atas dan ekstermitas
bawah
- Keluarga mengatakan perut anaknya membuncit.
- Keluarga mengatakan BAK anak ada
tapi sedikit.
O:
- Klien tampak sembab di daerah kelopak mata, ekstermitas
atas dan ekstermitas bawah
- Perut klien tampak membuncit
- BAK klien tampak sedikit
- BB : 22 kg , LP : 59 cm
- Vital Sign
TD : 100/70 mmHg
N : 94 x/menit
P : 39 x/menit
S : 36,5 ºc
- Intake : 1100cc
- Out put : 550cc
- IWL : 440cc
- Balance cairan : 110cc
- Protein urin +3
- Kolesterol +3
- Protein darah +3
- Derajat edema III : kedalaman 5-7 mm dengan waktu 6
detik.
A : Volume cairan berlebih intake : 1100cc,out put : 550cc
P : Intervensi 1,2,3,4,6,7 dilanjutkan
3.4 ASUHAN KEPERAWATAN GAGAL GINJAL
A. Pengkajian
13. Riwayat Penyakit Pasien saat ini mengatakan merasa mual dan ingin muntah serta
Sekarang tidak selera makan, pasien mengatakan perut semakin membesar
dan bengkak pada kedua kaki, selain itu pasien juga mengeluh
sesak napas dan badan terasa lemas. Pasien terlihat hanya
berbaring ditempat tidurnya
Saat ini pasien terpasang kateter, oksigen nasal kanul 3
liter/menit dan tidak terpasang cairan infus.
Hasil tanda-tanda vital: TD: 180/110 mmHg, N: 90 x/menit, RR:
26 x/menit, S: 36.0 oC.
14. Pasien pernah dirawat di rumah sakit pada tanggal 29 Mei 2019
Riwayat Penyakit
selama 4 hari dengan diagnosa yang sama yaitu CKD, pasien
Dahulu
memiliki
riwayat penggunaan obat asam urat
N Identitas pasien Pasien 1 (TN.L)
o
Nadi : 90 kali/menit
RR : 26 kali/menit
S: 36.0 oC
Keluhan :
Pasien mengeluh sesak napas
1. Pemeriksaan Thorax
Inspeksi :
Bentuk dada simetris, frekuensi nafas 26 kali/menit, irama
nafas teratur, pola napas dispnea pernafasan cuping hidung
tidak ada, penggunaan otot bantu nafas tidak ada, pasien
menggunakan alat bantu nafas oksigen nasal kanul 3
liter/menit
Palpasi :
Vokal premitus teraba diseluruh lapang paru
Ekspansi paru simetris, pengembangan sama di paru
kanan dan kiri
Tidak ada kelainan
Perkusi :
Sonor, batas paru hepar ICS 5 dekstra
Auskultasi :
Suara nafas vesikuler dan tidak ada suara nafas tambahan
2. . Pemeriksaan Tidak ada keluhan nyeri dada Inspeksi
Jantung Tidak terlihat adanya pulsasi iktus kordis, CRT < 2 detik
dan Tidak ada sianosis
Palpasi
Ictus Kordis teraba di ICS 5, dan Akral Hangat
Perkusi
Batas atas : ICS II line sternal dekstra
Batas bawah : ICS V line midclavicula sinistra
Batas kanan : ICS III line sternal dekstra
No. Identitas Pasien Pasien I ( Tn. L )
Batas kiri : ICS III line sternal sinistra
Auskultasi
BJ II Aorta : Dup, reguler dan intensitas kuat
BJ II Pulmonal : Dup, reguler dan intensitas kuat
BJ I Trikuspid : Lup, reguler dan intensitas kuat
BJ I Mitral : Lup, reguler dan intensitas kuat
Tidak ada bunyi jantung tambahan
Tidak ada kelainan
- BB sebelum HD: 62 Kg TB : 165 Cm
BAB 1x/hari konsistensi lunak, diet lunak, jenis diet : Diet rendah
protein rendah garam, nafsu makan menurun , porsi makan habis ¼
porsi .
Abdomen
Inspeksi : bentuk membesar,
benjolan tidak ada diperut tidak
Intake/24 Output/24
Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 1 Hari Hari 3
jam jam 2
Makan
1kalori=0,14 909 cc BAK (Urine) 150 cc
ml/hari
Minum
300 cc BAB (Feses) 200 cc
peroral
Muntah (jika
Cairan infus - -
ada)
Obat IV 8 cc Drain -
Air IWL:
metabolisme 310 cc (15cc/kgBB/24 930 cc
(5ml/kgBB/hr) jam)
Total/24 jam 1527 cc Total 24/jam 1280 cc
c. Pemeriksaan Penunjang
1 Pasien 1 (Tn. 5 Mei 2019 1. Hemoglobin 9,0 g/dl 14,0 – 18,0 g/dl
L)
2. Hematokrit 28.1 % 37,0 – 54,0 %
D. Therapy Obat
Data objektif:
Data Objektif :
F. Diagnosa Keperawatan
G. Intervensi Keperawatan
2.7 Anjurkan
beraktifitas fisik
sesuai toleransi
Kolaborasi
2.8 kolaborasi
pemberian antiaritmia,
jika perlu
H. Implementasi Keperawatan
1 06/05/2019
Memberikan posisi
semifowler Pasien mengatakan masih
merasa sesak
07.50
Jumlah urin yang keluar
memberikan oksigen nasal 150cc/hari
09.00 kanul 3liter/menit
Pasien mengatakan masih
Memberikan injeksi merasa mual
furosemide 20mg
09.05
Memberikan injeksi
09.10 Setelah diberi obat pasien
Ranitidine 50mg
istirahat
11.50
Menganjurkan untuk
istirahat yang cukup Tekanan darah 180/100
12.00
Menganjurkan untuk
membersihkan mulut
2 08/05/2019
08.20
Menanyakan pola dan jam
tidur pasien mengatakan mual
sudah berkurang
09.00
Jumlah output urin
Menanyakan apakah bertambah menjadi 400
pasien masih mual cc/24 jam
09.05
Memberikan injeksi pasien mengatakan mual
10.10 Furosemide 20mg sudah berkurang dan
jarang muncul
Memberikan injeksi
Ranitidine 50mg pasien mengatakan akan
melakukan aktifitas yang
11.50 Menganjurkan untuk
tidak berat
melakukan aktifitas secara
bertahap tekanan darah 170/100
mmHg
12.00
I. Evaluasi
A: Masalah teratasi
P: Lanjutkan intervensi
A : Masalah teratasi
P : Lanjutkan intervensi
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA