Anda di halaman 1dari 37

Meet The Expert

INFERTILITAS

Oleh:

Dwi Putri Amelia 2040312045


Faldo Anshari Irza 2040312054
Farhan Abdallah 2040312070
Tamara Triningsih 2040312061
Yelvi Mila 2040312062
Zafira Annisa Ramadhani Mahdi 2040312041

Preseptor:

dr. Haviz Yuad, Sp.OG(K)

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infertilitas adalah sebuah permasalahan sistem reproduksi yang digambarkan
dengan kegagalan untuk memperoleh kehamilan setelah 12 bulan atau lebih
melakukan hubungan seksual minimal 2-3 kali seminggu secara teratur tanpa
menggunakan alat kontrasepsi. Menurut WHO infertilitas dibagi atas dua, yaitu
infertilitas primer dan infertilitas sekunder.1
Secara garis besar penyebab infertilitas dapat dibagi menjadi faktor tuba
dan pelvik (3,5%), faktor lelaki (35%), faktor ovulasi (15%), faktor idiopatik
(10%), dan faktor lain (5%).2 Penyebab infertilitas harus dilihat pada kedua belah
pihak yaitu istri dan suami. Salah satu bukti bahwa pasangan infertil harus dilihat
sebagai satu kesatuan adalah adanya faktor imunologi yang memegang peranan
dalam fertilitas suatu pasangan. Faktor imunologi ini erat kaitannya dengan faktor
sperma, cairan/lendir serviks, dan reaksi imunologi istri terhadap sperma suami.
Autoantibodi juga termasuk sebagai faktor imunologi. Infertilitas dapat juga tidak
diketahui penyebabnya yang dikenal dengan istilah infertilitas idiopatik.1,3
Berdasarkan laporan WHO, secara global diperkirakan adanya kasus infertilitas
pada 8-10% pasangan, yaitu sekitar 50 juta hingga 80 juta pasangan. Menurut data
National Survey of Family Growth sekitar 10% - 15% pasangan infertil, banyak
terjadi pada pasangan yang lebih tua. Lebih kurang seperlima pasangan usia subur
di Amerika Serikat adalah pasangan infertil. Lima belas persen diantaranya
tergolong infertil yang tidak jelas penyebabnya (unexplained infertility).
Berdasarkan persentase perempuan umur 15-49 tahun yang mengalami infertilitas
primer di Asia, prevalensi infertilitas idiopatik bervariasi antara 22-28 %, studi
terbaru menunjukkan di antara pasangan yang berkunjung ke klinik fertilitas,
sebesar 21 % perempuan berumur di bawah 35 tahun dan 26% perempuan berumur
di atas 35 tahun.1,4
Masalah infertilitas dapat memberikan dampak besar bagi pasangan suami-istri
yang mengalaminya, selain menyebabkan masalah medis, infertilitas juga dapat
menyebabkan masalah ekonomi maupun psikologis.1

1
1.2 Batasan Masalah
Batasan masalah penulisan makalah Meet the Expert ini adalah membahas
mengenai definisi, klasifikasi, epidemiologi, etiologi, faktor risiko, patofisiologi,
manifestasi klinis, diagnosis, dan tatalaksana infertilitas.

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan makalah Meet the Expert ini adalah untuk meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman mengenai infertilitas.

1.4 Metode Penulisan


Metode penulisan makalah Meet the Expert ini disusun berdasarkan tinjauan
kepustakaan yang merujuk pada berbagai literatur.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Infertilitas
Infertilitas adalah suatu keadaaan pasangan suami istri yang telah menikah
satu tahun atau lebih dan telah melakukan hubungan seksual secara teratur minimal
2-3 kali dalam seminggu tanpa memakai kontrasepsi tapi tidak memperoleh
kehamilan. Dari pengertian infertil ini terdapat tiga faktor yang harus memenuhi
persyaratan yaitu lama berusaha, adanya hubungan seksual secara teratur dan
adekuat, serta tidak memakai kontrasepsi.2,3
2.2 Klasifikasi Infertilitas
Infertilitas dapat dibagi atas primer dan sekunder. Infertilitas primer terjadi
jika seorang wanita yang telah berkeluarga belum pernah mengalami kehamilan
meskipun hubungan seksual dilakukan secara teratur tanpa perlindungan
kontrasepsi untuk selang waktu paling kurang 12 bulan. Sementara itu, infertilitas
dikatakan sekunder jika pasangan suami istri gagal memperoleh kehamilan setelah
satu tahun pascapersalinan atau pasca abortus, tanpa menggunakan kontrasepsi
apapun.4,5 Sebanyak 84% perempuan akan mengalami kehamilan dalam kurun
waktu satu tahun pertama pernikahan bila mereka melakukan hubungan suami istri
secara teratur tanpa menggunakan kontrasepsi. Angka kehamilan kumulatif akan
meningkat menjadi 92% ketika lama pernikahan menjadi dua tahun.4
2.3 Epidemiologi
Diperkirakan 85-90% pasangan yang menikah dalam satu tahun
pernikahannya akan menjadi hamil, dimana 10-15% pasangan tersebut akan
mengalami kesulitan untuk menjadi hamil (pasangan infertil). Prevalensi infertilitas
yang tidak diketahi dengan pasti karena sangat bervariasi dan banyak faktor yang
memengaruhinya.
Berdasarkan laporan WHO, secara global diperkirakan adanya kasus
infertilitas pada 8-10% pasangan, yaitu sekitar 50 juta hingga 80 juta pasangan.
Sedangkan di Indonesia, berdasarkan survey kesehatan rumah tangga tahun 1996,
diperkirakan ada 3,5 juta pasangan (7 juta orang) yang infertil. Di Indonesia, angka
infertilitas telah meningkat mencapai 15-20 persen dari sekitar 50 juta pasangan.
Infertilitas dapat disebabkan oleh pihak istri maupun suami. Kondisi yang

3
menyebabkan infertilitas didapatkan sebanyak 65% dari faktor istri, 20% dari faktor
suami, serta 15% dari kondisi lain-lain dan tidak diketahui. Suatu penelitian
menunjukkan penyebab infertilitas terkait dengan permasalahan dari pihak istri
adalah tuba sebesar 27,4%, tidak diketahui sebesar 24,5%, masalah menstruasi
20%, uterus 9,1%, ovarium 3,6%, dan kelainan seksual 2,7%. Angka kejadian
infertilitas pada wanita terjadi pada berbagai rentang umur, 20-29 tahun (64,5%),
30-39 tahun (20%), 40-49 tahun (11,8%), dan diatas 50 tahun (3,7%). Penelitian
lainnya menemukan sebanyak 54,4% wanita infertil merupakan wanita yang
bekerja penuh waktu, 33,3 % wanita yang bekerja paruh waktu, dan 3,5%
merupakan ibu rumah tangga.1

2.4 Etiologi/Faktor Penyebab


2.4.1 Faktor Pria
Penyebab terjadinya infertilitas pada pria dapat dibagi menjadi beberapa golongan
penyebab, yaitu: 6,7,8
a. Abnormalitas fungsi dan produksi sperma
Hal ini dapat terjadi oleh karena kelainan seperti undescend testis, defek genetik,
kelainan endokrin (DM), infeksi. Pembesaran vena di testis akan mempengaruhi
jumlah dan bentuk sperma. Kelainan ini disebut varikokel. Varikokel merupakan
suatu keadaan dimana adanya dilatasi vena. Aliran darah yang terlalu banyak
akan menyebabkan pembuluh darah disekitar testis membesar sehingga akan
meningkatkan suhu testis dan pada akhirnya akan berpengaruh pada produksi
sperma. Sperma pada laki-laki melalui beberapa saluran dari testis sampai ke
uretra, dan apabila terjadi kerusakan pada saluran-saluran ini maka akan dapat
menghambat pengeluaran sperma dan bisa berakhir pada infertilitas. Pada
Analisis semen ditemukan penurunan jumlah spermatozoa (oligozoospermia),
penurunan motilitas (asthenozoospermia) dan banyak bentuk morfologi yang
abnormal (teratozoospermia). Kelainan ini dapat terjadi bersama-sama dan
dapat dikatakan sebagai sindrom oligoastheno teratozoospermia.
b. Gangguan pengiriman sperma
Kelainan ini dapat disebabkan oleh ejakulasi dini, ejakulasi retrogard, penyakit
genetik seperti fibrosis kistik, kelainan struktural, atau kerusakan pada saluran

4
reproduksi akibat trauma. Sperma pada laki-laki melalui beberapa saluran dari
testis sampai ke uretra, dan apabila terjadi kerusakan pada saluran-saluran ini
maka akan dapat menghambat pengeluaran sperma dan bisa berakhir pada
infertilitas. Kerusakan saluran ini dapat berupa kelainan genetik, namun yang
paling sering adalah akibat adanya infeksi dan vasektomi.
c. Bentuk unexplained infertility pada pria dapat disebabkan oleh beberapa faktor,
seperti stres kronis, gangguan kelenjar endokrin akibat polusi lingkungan, dan
kelainan genetik.
2.4.2 Faktor Wanita
Penyebab terjadinya infertilitas pada wanita dapat dibagi menjadi beberapa
golongan penyebab, yaitu: 6,7,9
1. Non-Organik
a. Usia
Usia, terutama usia istri, sangat menentukan besarnya kesempatan pasangan
suami istri untuk mendapatkan keturunan. Terdapat hubungan yang terbalik antara
bertambahnya usia istri dengan penuruman kemungkinan untuk mengalami
kehamilan. Sembilan puluh empat persen (94%) perempuan subur di usia 35 tahun
atau 77% perempuan subur di usia 38 tahun akan mengalami kehamilan dalam
kurun waktu tiga tahun lama pernikahan. Ketika usia istri mencapai 40 tahun maka
kesempatan untuk hamil hanya sebesar lima persen per bulan dengan kejadian
kegagalan sebesar 34 - 52%.1,3,4
b. Frekuensi Senggama
Angka kejadian kehamilan mencapai puncaknya ketika pasangan suami istri
melakukan hubungan suami istri dengan frekuensi 2 - 3 kali dalam seminggu.
Upaya penyesuaian saat melakukan hubungan suami istri dengan terjadinya
ovulasi, justru akan meningkatkan kejadian stres bagi pasangan suami istri tersebut,
upaya ini sudah tidak direkomendasikan lagi. 1,4
c. Pola Hidup
o Merokok
Dari beberapa penelitian yang ada, dijumpai fakta bahwa merokok
dapat menurunkan fertilitas perempuan. Oleh karena itu sangat dianjurkan
untuk menghentikan kebiasaan merokok jika perempuan memiliki masalah

5
infertilitas. Penurunan fertilitas perempuan juga terjadi pada perempuan
perokok pasif. 1,4
o Berat Badan
Perempuan dengan indeks massa tubuh yang lebih dari 29, yang
termasuk di dalam kelompok obesitas, terbukti mengalami keterlambatan
hamil. Usaha yang paling baik untuk menurunkan berat badan adalah
dengan cara menjalani olahraga teratur serta mengurangi asupan kalori di
dalam makanan. 1,4
2. Organik
a. Masalah Vagina
Vagina merupakan hal yang penting di dalam tata laksana infertilitas.
Terjadinya proses reproduksi manusia sangat terkait dengan kondisi vagina yang
sehat dan berfungsi normal. Masalah pada vagina yang memiliki kaitan erat dengan
peningkatan kejadian infertilitas adalah sebagai berikut. 1,4
• Dispareunia : merupakan masalah kesehatan yang ditandai dengan rasa tidak
nyaman atau rasa nyeri saat melakukan sanggama. Dispareunia dapat dialami
perempuan ataupun lelaki.
Pada perempuan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperi:
ü Faktor infeksi (infeksi kandida vagina, infeksi klamidia trakomatis
vagina, infeksi trikomonas vagina, dan pada saluran berkemih)
ü Faktor organic (vaginismus, nodul endometriosis di vagina,
endometriosis pelvik, atau keganasan vagina)
• Vaginismus: merupakan masalah pada perempuan yang ditandai dengan
adanya rasa nyeri saat penis akan melakukan penetrasi ke dalam vagina. Hal
ini bukan disebabkan oleh kurangnya zat lubrikans atau pelumas vagina, tetapi
terutama disebabkan oleh diameter liang vagina yang terlalu sempit, akibat
kontraksi refleks otot pubokoksigeus yang terlalu sensitif, sehingga terjadi
kesulitan penetrasi vagina oleh penis. Penyempitan liang vagina ini dapat
disebabkan oleh faktor psikogenik atau disebabkan oleh kelainan anatomik.
Faktor anatomi yang terkait dengan vaginismus dapat disebabkan oleh operasi
di vagina sebelumnya seperti episiotomi atau karena luka trauma di vagina
yang sangat hebat sehingga meninggalkan jaringan parut.

6
b. Masalah Uterus
Uterus dapat menjadi penyebab terjadinya infertilitas. Faktor uterus yang
memiliki kaitan erat dengan kejadian infertilitas adalah serviks, kavum uteri, dan
korpus uteri. 12,13
• Faktor serviks
ü Servisitis. Memiliki kaitan yang erat dengan teriadinya infertilitas. Servisitis
kronis dapat menyebabkan kesulitan bagi sperma untuk melakukan
penetrasi ke dalam kavum uteri. Adanya tanda infeksi klamidia trakomatis
di serviks seringkali memiliki kaitan erat dengan peningkatan risiko
kerusakan tuba melalui reaksi imunologi.
ü Trauma pada serviks. Tindakan operatif tertentu pada serviks seperti
konisasi atau upaya abortus profokatus sehingga menyebabkan cacat pada
serviks, dapat menjadi penyebab terjadinya infertilitas.
• Faktor kavum uteri.
Faktor yang terkait dengan kavum uteri meliputi kelainan anatomi kavum uteri
dan faktor yang terkait dengan endometrium.
ü Kelainan anatomi kavum uteri. Adanya septum pada kavum uteri, tentu
akan mengubah struktur anatomi dan struktur vaskularisasi endometrium.
Tidak terdapat kaitan yang erat antara septum uteri ini dengan peningkatan
kejadian infertilitas. Namun, terdapat kaitan yang erat antara septum uteri
dengan peningkatan kejadian kegagalan kehamilan muda berulang.
ü Faktor endometriosis. Endometriosis kronis memiliki kaitan yang erat
dengan rendahnya ekspresi integrin (avb3) endometrium yang sangat
berperan di dalam proses implantasi. Faktor ini yang dapat menerangkan
tingginya kejadian penyakit radang panggul subklinik pada perempuan
dengan infertilitas.
• Faktor miometrium
Mioma uteri merupakan tumor jinak uterus yang berasal dari peningkatan
aktivitas proliferasi sel-sel miometrium. Pengaruh mioma uteri terhadap kejadian
infertilitas hanyalah berkisar antara 30 - 50%. Mioma uteri mempengaruhi fertilitas
kemungkinan terkait dengan sumbatan pada tuba, sumbatan pada kanalis
servikalis, atau mempengaruhi implantasi.

7
c. Masalah Tuba
Tuba Fallopii memiliki peran yang besar di dalam proses fertilisasi, karena tuba
berperan di dalam proses transpor sperma, kapasitas sperma proses fertilisasi, dan
transport embrio. Adanya kerusakan/kelainan tuba tentu akan berpengaruh terhadap
angka fertilitas. Keiainan tuba yang seringkali dijumpai pada penderita infertilitas
adalah sumbatan tuba baik pada pangkal, pada bagian tengah tuba, maupun pada
uiung distal dari tuba. Berdasarkan bentuk dan ukurannya, tuba yang tersumbat
dapat tampil dengan bentuk dan ukuran yang normal, tetapi dapat pula tampil dalam
bentuk hidrosalping.
Penyebab utama kelainan tuba ini antara lain:
• Infeksi
Infeksi bisa disebabkan baik oleh bakteri maupun virus yang biasanya
ditularkan melalui hubungan seksual, infeksi ini akan menyebabkan inflamasi
pada tuba sehingga terjadi scar dan kerusakan pada tuba. Organism yang
menyebabkan infeksi tersebut antara lain chlamydia, gonorrhea, atau infeksi
menular seksual lainnya.
• Riwayat Operasi
Riwayat operasi merupakan salah satu penyebab penting pada terjadinya
kerusakan tuba. Operasi pada abdomen dan pelvis dapat menyebabkanb
terjadinya adhesi yang dapat mempengaruhi tuba sehingga sel telur tidak
dapat melewatinya.
• Kehamilan ektopik
Kehamilan ektopik merupakan kehamilan yang terjadi di saluran tuba,
sehingga dapat terjadi kerusakan tuba.
d. Masalah Ovarium
Ovarium memiliki fungsi sebagai penghasil oosit dan penghasil hormon.
Masalah utama yang terkait dengan fertilitas adalah terkait dengan fungsi ovulasi.
Penyebab terjadinya gangguan ovulasi dapat diklasifikasikan menjadi:
• Gangguan Hormonal
Gangguan ini merupakan penyebab paling sering terjadinya gangguan
ovulasi. Proses dari suatu ovulasi tergantung dari keseimbangan yang
kompleks dari interaksi hormon-hormon.

8
• Disfungsi Hipotalamus-Hipofisis
Hormon FSH dan LH diproduksi kelenjar hipofisis pada siklus menstruasi.
Stress fisik atau emosi yang berlebih, berat badan yang kurang atau erlebih
dapat mempengaruhi ovulasi. Tanda dari kelainan ini adalah periode absen
atau ireguler dari menstruasi tanpa gangguan ovarium
• Scar pada ovarium
Kerusakan fisik pada ovarium dapat berakibat gagalnya ovulasi. Adanya
operasi ekstensif dan invasi yang dilakukan beruang-ulang pada kista
ovarium dapat menyebabkan kapsul ovarium menjadi rusak, sehingga folikel
tidak dapat menjadi matur dan ovulasi tidak terjadi. Selain itu infeksi juga
dapat berakibat seperti ini.
• Menopause prematur
Hal ini jarang terjadi dan belum dapat dijelaskan bagaimana hal ni
mempengaruhi ovulasi. Hal ini diduga karena adanya autoimun yang
menyerang jaringan ovarium atau karena adanya pengaruh genetik. Hal ini
menyebabkan gangguan produksi sel telur dari ovarium serta penurunan
estrogen sebelum mencapai usia 40 tahun.
• Polycistic Ovarium syndrome (PCOS)
Sindrom ovarium poIikistik merupakan masalah gangguan ovulasi utama
yang seringkali dijumpai pada kasus infertilitas. Pada penyakit ini, tubuh
memproduksi hormon androgen yang terlalu banyak, sehingga dapat
mempengaruhi ovulasi. PCOS berhubungan dengan resistensi insulin dan obesitas.
Saat ini untuk menegakkan diagnosis sindrom ovarium polikistik iika dijumpai dari
tiga gejala di bawah ini. 4
ü Terdapat siklus haid oligoovulasi atau anovulasi.
ü Terdapat gambaran ovarium polikistik pada pemeriksaan
ultrasonografi (USG).
ü Terdapat gambaran hiperandrogenisme baik klinis maupun biokimiawi.
Empat puluh sampai tujuh puluh persen kasus sindrom ovarium polikistik
ternyata memiliki kaitan erat dengan kejadian resistensi insulin. Penderita
infertilitas dengan obesitas seringkali menunjukkan gejala sindrom ovarium
polikistik.

9
2.5 Patofisiologi
2.5.1 Infertilitas pada Pria
Fungsi gonad dan seksual dimediasi oleh sumbu hipotalamus-hipofisis-
gonad, sistem loop tertutup dengan kontrol umpan balik dari testis. Hipotalamus,
pusat integrasi primer, merespons berbagai sinyal dari sistem saraf pusat (SSP),
kelenjar pituitari, dan testis untuk mengeluarkan hormon pelepas gonadotropin
(GnRH) dalam pola pulsatil kira-kira setiap 70-90 menit. Waktu paruh GnRH
adalah 2-5 menit.10
Pelepasan GnRH dirangsang oleh melatonin dari kelenjar pineal dan
dihambat oleh testosteron, inhibin, hormon pelepas kortikotropin, opiat, penyakit,
dan stres. GnRH berjalan menyusuri sistem portal ke hipofisis anterior, yang
terletak di batang di sella turcica, untuk merangsang pelepasan gonadotropin,
luteinizing hormone (LH), dan follicle-stimulating hormone (FSH). Lihat gambar
di bawah.10

Gambar 2.1. Infertilitas pria. Sinyal penghambatan dan stimulasi sumbu


hipotalamus-hipofisis-gonad.
Gonadotropin-releasing hormone (GnRH) dari hipotalamus menstimulasi
pelepasan follicle-stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH) dari
hipofisis. FSH merangsang sel Sertoli untuk memfasilitasi produksi sperma,

10
sedangkan LH merangsang pelepasan testosteron dari sel Leydig. Penghambatan
umpan balik berasal dari testosteron dan inhibin.10
Untuk pembuahan, sperma harus mencapai serviks, menembus lendir
serviks, bermigrasi ke rahim ke tuba falopi, menjalani kapasitasi dan reaksi
akrosom untuk mencerna zona pellucida oosit, menempel pada membran bagian
dalam, dan melepaskan kandungan genetiknya di dalamnya. telur. Konsistensi
lendir serviks berubah selama siklus ovulasi, menjadi paling ramah dan mudah
ditembus pada pertengahan siklus. Setelah pembuahan, implantasi dapat dilakukan
di dalam rahim. Masalah dengan salah satu langkah ini dapat menyebabkan
kemandulan.10
2.5.2 Infertilitas pada Wanita
Anovulasi
Gangguan ovulasi membentuk 25% dari penyebab infertilitas wanita yang
diketahui. Oligo-ovulasi atau anovulasi menyebabkan infertilitas karena tidak ada
oosit yang dikeluarkan setiap bulan. Dengan tidak adanya oosit, tidak ada peluang
untuk pembuahan dan kehamilan. Untuk membantu pengobatan dan klasifikasi
lebih lanjut, Organisasi Kesehatan Dunia membagi kelainan ovulasi menjadi empat
kelas:
1. Anovulasi hipogonadotropik hipogonad: yaitu amenore hipotalamus
2. Anovulasi normoestrogenik normogonadotropik: yaitu, sindrom ovarium
polikistik (PCOS)
3. Anovulasi hipoestrogenik hipergonadotropik: yaitu kegagalan ovarium
prematur
4. Anovulasi hiperprolaktinemik: yaitu adenoma hipofisis
Amenore hipotalamus atau amenore hipotalamus fungsional (FHA)
dikaitkan dengan gangguan makan dan olahraga berlebihan, yang mengakibatkan
penurunan sekresi GnRH hipotalamus.Asupan kalori yang berkurang, penurunan
berat badan terkait, atau olahraga berlebihan menyebabkan peningkatan kortisol,
yang menyebabkan penekanan GnRH.11
Penurunan atau tidak adanya pulsasi GnRH menyebabkan penurunan
pelepasan gonadotropin, follicle-stimulating hormone (FSH), dan luteinizing
hormone (LH), dari kelenjar hipofisis anterior. Kedua kekurangan ini menyebabkan

11
pertumbuhan folikel yang tidak normal, anovulasi, dan tingkat estrogen yang
rendah. FSH dan LH akan memiliki variasi mulai dari normal hingga rendah, tetapi
rasio hormon akan menyerupai pada wanita prapubertas, dengan FSH lebih tinggi
dari LH.12
Endometriosis
Endometriosis didefinisikan sebagai jaringan endometrium di luar rongga
rahim. Diagnosis didasarkan pada identifikasi histologis kelenjar endometrium dan
/ atau stroma di luar rahim. Endometriosis paling sering ditemukan di panggul tetapi
dapat menyebar ke seluruh perut dan mempengaruhi 10% sampai 15% wanita usia
reproduksi. Wanita dengan endometriosis, 40% sampai 50% akan mengalami
kemandulan. Endometriosis dikategorikan dalam empat tahap, menurut American
Society of Reproductive Medicine, dengan stadium I minimal dan stadium IV
parah. Endometriosis diketahui menyebabkan kemandulan, tetapi patofisiologi
diperkirakan berubah sesuai dengan stadiumnya. Untuk tahap I dan II, infertilitas
diyakini terkait dengan peradangan dengan peningkatan produksi prostaglandin dan
sitokin, makrofag, dan sel pembunuh alami. Peradangan merusak fungsi ovarium
dan tuba yang mengakibatkan kerusakan pada pembentukan folikel, pembuahan,
dan implantasi. Stadium III dan IV berhubungan dengan adhesi panggul dan / atau
massa yang mengganggu anatomi panggul; ini secara inheren akan mengganggu
motilitas tuba, pelepasan oosit, dan motilitas sperma. Selain itu, endometriosis
lanjut diduga dapat merusak folikulogenesis, yang mengurangi potensi
pembuahan.13
Adhesi Panggul / Tuba
Adhesi panggul dan tuba, bersama dengan kelainan rahim dan tuba
menyebabkan sebagian besar infertilitas wanita. Proses infeksi di dalam perut
adalah penyebab utama perlekatan panggul / tuba; proses infeksi yang paling umum
yang mempengaruhi infertilitas adalah penyakit radang panggul (PID).
Mikroorganisme yang memiliki risiko infertilitas terbesar terkait dengan PID
adalah Chlamydia trachomatis. Satu dari 4 wanita dengan infertilitas faktor tuba
akan memiliki antibodi positif terhadap klamidia, yang berbanding terbalik dengan
tingkat kehamilan. Jumlah episode PID, serta tingkat keparahannya, berperan
dalam kemungkinan infertilitas. Satu studi menunjukkan bahwa tingkat kehamilan

12
setelah PID adalah 89% setelah 1 episode, 77% setelah dua episode, dan 46%
setelah tiga episode. [27] Dalam hal keparahan PID ringan, sedang, dan berat, angka
kelahiran hidup adalah 90%, 82%, dan 57%. 14
Hidrosalping, merupakan kelainan tuba yang disebabkan oleh inflamasi
akut dan kronik yang merusak integritas struktural falopi. Kerusakan ini
menyebabkan obstruksi tuba, yang menghalangi distribusi cairan fisiologis di tuba
falopi dan mengakibatkan penumpukan cairan. Keyakinannya adalah bahwa
hidrosalping mengganggu kesuburan melalui aliran retrograde racun dan
prostaglandin ke dalam endometrium, menciptakan lingkungan yang tidak
bersahabat untuk implantasi dengan merusak penerimaan endometrium. Literatur
telah menunjukkan bahwa pasien yang menjalani fertilisasi in-vitro mengalami
penurunan kehamilan sebesar 50% jika terdapat hidrosalping.14
Penyebab Uterus
Penyebab infertilitas uterus berhubungan dengan lesi yang menempati
ruang atau berkurangnya penerimaan endometrium. Berkenaan dengan leiomioma
uterus (fibroid), satu meta-analisis menunjukkan bahwa hanya fibroid submukosa
atau intracavitary yang mengganggu implantasi dan tingkat kehamilan
dibandingkan dengan kontrol infertil lainnya. [31] Kelainan uterus kongenital
(CUA), meskipun jarang, juga berhubungan dengan infertilitas. Yang paling umum
ditemukan adalah septum uterus, yang juga berhubungan dengan keguguran
berulang. Menariknya, satu penelitian menunjukkan bahwa prevalensi CUA pada
populasi subur dan tidak subur adalah sama. Infertilitas karena CUA diperkirakan
menyebabkan sekitar 8% penyebab infertilitas pada wanita; namun, 25% wanita
dengan keguguran pada trimester pertama atau trimester kedua ditemukan memiliki
CUA. Diskusi rinci tentang klasifikasi dan patofisiologi CUAs berada di luar
cakupan manuskrip ini.15

2.6 Diagnosis Infertilitas


2.6.1 Anamnesis dan Pemeriksaan fisik
Pada awal pertemuan, penting sekali untuk memperoleh data apakah
pasangan suami istri atau salah satunya memiliki kebiasaan merokok atau minum
minuman beralkohol. Perlu juga diketahui apakah salah satu pasangan menjalani

13
terapi khusus seperti antihipertensi, kortikosteroid dan sitostatika.1 Selain itu juga
harus ditanya mengenai lama menikah, usia menikah, pekerjaaan, frekuensi dan
waktu melakukan hubungan seksual, riwayat hubungan kelamin, riwayat penyakit
infeksi alat reproduksi dan riwayat penyakit sistemik.16
Pihak perempuan harus ditanyai mengenai saat dia mengalami pubertas dan
menarke. Riwayat haid harus meliputi lama siklus, durasi dan jumlah perdarahan,
serta dismenorea atau gejala prahaid yang menyertai. Riwayat amenore atau
menometroragia mungkin menunjukkan anovulasi atau kelainan uterus. Pasien
harus ditanyai mengenai dismenore yang mungkin berhubungan dengan
endometriosis dan menorrhagia yang berhubungan dengan fibroid uterus. Riwayat
penyakit radang panggul, perforasi appendiks atau pembedahan abdomen lainnya,
atau pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim dapat menyebabkan penyakit pada
tuba. Riwayat galaktorea mungkin jadi petunjuk hiperprolaktinemia, sedangkan
riwayat hirsutisme yang muncul saat pubertas atau hirsutisme yang cepat
memburuk mungkin mengisyaratkan adanya penyakit ovarium polikistik.22
Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan pada pasien dengan masalah
infertilitas adalah pengukuran tinggi badan, penilaian berat badan, dan pengukuran
lingkar pinggang. Perempuan dengan indeks massa tubuh (IMT) lebih dari 25
kg/m2 termasuk dalam kelompok kriteria berat badan lebih. Hal ini memiliki kaitan
yang erat dengan sindrom metabolik. IMT yang kurang dari 19 kg/m2 sering
dikaitkan dengan penampilan pasien terlalu kurus dan perlu dipikirkan adanya
penyakit kronis seperti TBC, kanker atau masalah kesehatan jiwa.16
Pemeriksaan fisik yang menyeluruh diperlukan untuk membantu
menentukan faktor-faktor penting yang mungkin menyebabkan infertilitas. Akne,
kulit berminyak, dan hirsutisme mungkin disebabkan oleh kelebihan androgen
Pembesaran tiroid, galaktorea, ukuran dan mobility alat reproduktif dan infeksi
menular seksual harus diperiksa dengan cermat.16
2.6.2 Pemeriksaan Infertilitas pada Wanita
a) Pemeriksaan ovulasi
• Frekuensi dan keteraturan menstuasi
• Pemeriksaan kadar progesteron serum

14
Tes yang paling tepat untuk mendeteksi ovulasi adalah konsentrasi
serum progesteron. Ini dilakukan sekitar tujuh hari sebelum tanggal prediksi
periode menstruasi. Konsentrasi progesteron di atas 20-25 nmol / L
menegaskan ovulasi terjadi dalam siklus itu. Jika didapat nilai yang lebiH
rendah beisa diinterpretasikan sebagai anovulasi atau waktu yang tidak
pantas dari tes darah.
• Perempuan dengan siklus haid yang tidak teratur disarankan untuk
melakukan pemeriksaan darah untuk mengukur kadar hormone
gonadotropin (FSH dan LH).
• Pemeriksaan kadar hormon prolaktin dapat dilakukan untuk melihat apakah
ada gangguan ovulasi, galaktorea, atau tumor hipofisis.23
b) Pemeriksaan Chlamydia trachomatis
Sebelum dilakukan pemeriksaan uterus, pemeriksaan untuk Chlamydia
trachomatis sebaiknya dilakukan dengan teknik yang sensitive. Jika tes
Chlamydia trachomatis positif, perempuan dan pasangan seksualnya
sebaiknya dirujuk untuk mendapatkan pengobatan.23
c) Penilaian kelainan uterus dan tuba
Terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menilai adanya
kelainan pada uterus, yaitu:19
1) Histerosalphingografi
Prinsip pemeriksaan ini adalah dengan menyuntikan media kontras yang
akan melimpah ke dalam kavum peritonei jika tuba paten, dan penilaian dilakukan
secara radiografik. Media penyuntikan kontras adalah kateter pediatrik Foley
nomor 8 dengan bantuan klem dimasukkan ke dalam kavum uteri dan
dipertahankan pada tempatnya dengan mengisi balon dengan 2 ml air. Setelah
spekulum vagina dilepaskan, media kontras disuntikkan ke dalam kavum uteri
secukupnya dengan pengawasan fluoroskopi. Untuk mendapatkan gambaran
segmen bawah uterus dan kanalis servikalis, balon dikempeskan sebentar sambil
menyuntikkan media kontras. Hasil pemeriksaan ini dapat memberikan keterangan
tentang seluk beluk kavum uteri, patensi tuba, dan juga peritoneum.19

15
2) Histeroskopi
Pemeriksaan ini dilakukan dengan meneropong kavum uteri yang
sebelumnya telah digelembungkan dengan media dekstran 32%, glukosa 5%,
garam fisiologik, atau gas CO2. Dalam infertilitas, pemeriksaan histeroskopi
dilakukan apabila jika:
o Kelainan pada pemeriksaan HSG
o Riwayat abortus habitualis
o Dugaan adanya mioma atu polip submukosa
o Perdarahan abnormal dari uterus
o Sebelum dilakukan bedah plastik tuba, untuk menempatkan kateter sebagai
splint pada bagian proksimal tuba.19

16
Pemeriksaan ini tidak dianjurkan apabila diduga terdapat infeksi akut
rongga panggul, kehamilan, atau perdarahan banyak dari uterus. Melalui
histereskopi ini dapat dilanjutkan dengan pembedahan ringan, seperti melepaskan
perlekatan, mengangkat polip dan mioma submukosa.19
d) Penilaian lendir serviks pasca senggama
Waktu ovulasi dapat diprediksi menggunakan pemeriksaan lendir serviks
secara gross dan mikroskopik. Ada dua parameter yang digunakan yaitu Tes Fern
dan Tes Spinnbarkeit:
1) Tes Fern
Pelaksanaan Tes Fern dilakukan dengan cara mengoles sampel lender pada
kaca gelas lalu dikeringkan dengan cara melewatkan di atas lampu spiritus.
Kemudian diamati dengan mikroskop perbesaran 10x10 dan ditentukan nilai
ferningnya berdasarkan pedoman penilaian ferning lender serviks menurut WHO.
Tampak gambaran daun pakis (fern-like pattern),
bentuk daun pakis akan lebih jelas apabila diambil sampel lendir pada
waktu yang mendekati ovulasi.24

17
2) Tes Spinnbarkeit
Tes Spinnbarkeit mengevaluasi elastisitas lendir serviks yang meningkat
seiring dengan peningkatan kadar estrogen.Satu tetes sampel lendir yang diambil
pada waktu mendekati ovulasi diletakkan di antara dua kaca gelas (atau di antara
dua jari). Apabila kedua kaca gelas ini dijauhkan, lender serviks membenang, bila
direntang bisa mencapai 8 -12 sentimeter dan tidak terpisah.25

Pemberian obat untuk meningkaktkan induksi ovulasi bagi gangguan


fertilitas seperti chlomiphene, dapat mempengaruhi karakteristik lendir serviks.

18
e) Uji Pasca Senggama
Infertilitas karena faktor serviks disebabkan oleh abnormalitas dalam
produksi lendir serviks atau abnormalitas dalam interaksi antara spermatozoa dan
lendir serviks. Evaluasi infertilitas rutin termasuk uji pasca senggama dilakukan
untuk menilai interaksi antara sperma dan lendir serviks.26
Uji pasca senggama dilakukan 2 atau 3 hari sebelum perkiraan masa subur.
Pasangan diminta untuk melakukan senggama 2 sampai 12 jam sebelum uji
dijalankan. Pasangan (wanita) kemudiannya datang ke dokter, di mana sejumlah
kecil lendir serviks diperoleh. Lendir serviks tadi dioles pada kaca gelas, dilakukan
Tes Spinnbarkheit (elastisitas) dan Tes Fern, dan diperiksa dengan mikroskop untuk
mencari jumlah motilitas sperma per lapangan pandang.26
Spekulum digunakan untuk membuka serviks. Satu jarum suntik sekali
pakai (dispo 1 cc) digunakan untuk mengumpul lendir endoserviks. Lendir tersebut
kemudiannya dioles pada gelas kaca dan diperiksa di mikroskop dengan daya
rendah (x 100) dan lensa daya tinggi (x 400). Lendir dianggap dalam kondisi baik
jika banyak (> 0,3 ml), sangat ductile (> 10 cm) dan
sebagian besar dapat dilihat dengan mata telanjang.11
Hasil uji pasca senggama diklasifikasikan sebagai normal atau abnormal
tergantung pada apakah spermatozoa yang maju kedepan ada atau tidak ada per
lapang pandang (daya tinggi). Jika jumlah lendir tidak adekuat, tes diulang. Hasil
yang awalnya abnormal diabaikan jika setelahnya didapatkan hasil normal.26
2.6.3 Pemeriksaan Infertilitas pada Pria
1) Anamnesis
Hal yang perlu diperhatikan pada pria adalah:
• Riwayat penyakit yang bisa berpengaruh buruk terhadap fertilitas, seperti
diabetes mellitus, kelainan neurologis yang dapat mengakibatkan gangguan
ereksi dan ejakulasi, tuberkulosis, parotitis bersamaan dengan orkitis dapat
menyebabkan kerusakan testis, kecanduan alkohol.
• Riwayat suhu tinggi > 38°C dapat menekan spermatogenesis sampai
masa 6 bulan.
• Riwayat pembedahan seperti hernia, hidrokelektomi, vasektomi, dan
prostatektomi dapat mempengaruhi fertilitas pria, abik akibat kerusakan sistem

19
saraf, kerusakan atau obstruksi saluran reproduksi, maupun gangguan
imunologi (antibodi antisperma).
• Infeksi traktus urinarius dengan gejala disuria, ”urethraldischarge”, pyuria,
hematuria, frekuensi berkemih meningkat.
• Penyakit menular seksual (PMS) seperti sifilis, GO, klamidia perlu ditanyakan.
• Beberapa patologi yang dapat menyebabkan kerusakan testis seperti MUMPS
/ parotitis dengan orkitis pada masa pubertas, cedera testis, torsi testsis,
varikokel, undescencus testiculorum.
• Fungsi seksual dan ejakulasi.
• Faktor lingkungan dan kejadian tertentu diduga mempengaruhi
spermatogenesis normal, misal lingkungan yang sangat panas, polusi logam
berat (cadmium, Hg, polusi pestisida, herbisida).
2) Pemeriksaan fisik
a. Payudara: jika terlihat membesar atau ginekomastia, mungkin ada
peningkatan kadar hormon estrogen pada pria.
b. Penis: perlu diperhatikan letak uretra yang dapat terkait dengan
abnormalitas seperti hipospadia.
c. Skrotum: harus diraba untuk menilai kemungkinan skrotum terisi banyak
cairan, terdapat hernia skrotalis atau terdapat varikokel. Jumlah testis,
volume testis dan turunnya testis ke dalam skrotum juga perlu
diperhatikan.
3) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan dasar yang wajib dikerjakan pada pasangan suami istri dengan
masalah infertilitas adalah pemeriksaan analisis sperma. Sebelum dilakukan
analisis sperma, dilakukan tahap pra analisis yang dapat mempengaruhi hasil
analisis sperma, yaitu sebagai berikut:
• Sediaan diambil setelah abstinensia sedikitnya 48 jam dan tidak lebih dari 7
hari
• Oleh karena variasi yang besar dalam produksi semen dapat terjadi pada
seseorang, sebaiknya dilakukan pemeriksaan dua sediaan. Waktu antara
kedua pemeriksaan tersebut tidak boleh kurang dari 7 hari atau kurang dari
3 bulan

20
• Sebaiknya sediaan dikeluarkan dalam kamar yang tenang dekat
laboratorium. Jika tidak, maka sediaan harus diantar ke laboratorium dalam
waktu satu jam setelah dikeluarkan dan jika motilitas sperma sangat rendah
(< 25% bergerak maju terus), sediaan kedua harus diperiksa secepatnya.
• Sediaan sebaiknya diperoleh dengan cara masturbasi dan ditampung dalam
botol kaca atau plastik bermulut lebar.
• Gunakan kondom dengan bahan plastik khusus (Mylex) atau penyimpan
cairan khusus (HDC corporation, Mountian view, calif). Kondom biasa
sebaiknya tidak digunakan untuk menampung semen karena mengandung
spermatisid.
• Coitus interuptus tidak dapat dipakai untuk mendapatkan siapan karena ada
kemungkinan bagian pertama ejakulat yang mengandung sperma paling
banyak akan hilang. Selain itu juga akan terjadi kontaminasi seluler dan
bakteri pada siapan serta dapat terjadi pula pengaruh kurang baik terhadap
motilitas sperma sebagai akibat PH cairan vagina yang asam.
• Siapan yang tidak lengkap sebaiknya tidak diperiksa, terutama jika bagian
pertama ejakulat hilang.
• Siapan harus dilindungi terhadap suhu yang ekstrim selama pengangkutan
ke laboratorium (suhu antara 20-400 C)
• Botol harus diberi label dengan nama penderita, tanggal pengumpulan,dan
lamanya abstinensia.
Analisis sperma meliputi pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis:
a. Pemeriksaan Makroskopis
1) Warna
Warna normal adalah putih/agak keruh. Kadang-kadang ditemukan juga
warna kekuningan atau merah. Warna kekuningan mungkin disebabkan karena
radang saluran kencing atau abstinensia terlalu lama. Warna merah biasanya oleh
karena tercemar sel eritrosit ( hemospermi).16
2) Volume
Cairan semen yang ditampung diukur dan diukur dengan gelas ukur, dan
dikatakan normospermi bila volumeya normal, yaitu 2-6 ml, dengan harga rata-rata
2-3,5 ml. Aspermi bila tidak keluar sperma pada waktu ejakulasi. Hiperspermi bila

21
volume lebih dari 6 ml. Hipospermi bila volume kurang dari 1 ml, hal ini dapat
disebabkan oleh:
• Tercecer pada waktu memasukkan semen ke dalam botol
• Keadaan patologis, antara lain penyumbatan kedua ductus ejakulatorius dan
kelainan kongenital misalnya agenesis vesikula seminalis. Hiperspermi
biasanya diikuti oleh konsentrasi sperma yang rendah dan hiperseprmi dapat
disebabkan oleh abstinensia yang lama dan produksi kelenjar asesoris yang
berlebihan.16
3) Bau
Spermatozoa mempunyai bau khas yang mungkin disebabkan oleh proses
oksidasi dari spermia yang diproduksi oleh prostat. Semen dapat berbau busuk atau
amis bila terjadi infeksi.16
4) PH
Cara untuk mengetahui keasaman semen digunakan kertas PH atau lakmus,
biasanya sifatnya sedikit alkalis. Semen yang terlalu lama akan berubah PHnya.
Pada infeksi akut kelenjar prostat, Phnya berubah menjadi di atas 8 atau menjadi
7,2 misalnya pada infeksi kronis organ-organ tadi.16
5) Viskositas
Viskositas semen diukur setelah mengalami likuefaksi betul (15-20 menit setelah
ejakulasi). Pengukuran dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:
• Dengan pipet pastur: Semen diisap ke dalam pipet tersebut, pada waktu pipet
diangkat maka akan tertinggal semen berbentuk benang pada ujung pipet.
Panjang benang diukur, normal panjangnya 3-5 cm.
• Menggunakan pipet yang sudah mengalami standarisasi (Elliaon). Pipet dalam
posisi tegak, lalu diukur waktu yang diperlukan setetes semen untuk lepas dari
ujung pipet tadi. Angka normal adalah 1-2 detik.16
6) Likuefaksi
Semen normal pada suhu ruangan akan mengalami likuefaksi dalam waktu
60 menit. Pada beberapa kasus, likuefaksi lengkap tidak terjadi dalam 60 menit. Hal
ini tidak memiliki makna secara klinis. Bila ditemukan akan sangat mengganggu
dalam analisis semen, sehingga perlu dibantu dengan pencampuran enzimatis.16
b. Pemeriksaan mikroskopis

22
Pemeriksaan mikroskopis meliputi:
1) Jumlah spermatozoa per ml
Konsentrasi sperma ialah jumlah spermatozoa per ml sperma. Jumlah
spermatozoa total ialah jumlah seluruh spermatozoa dalam ejakulat.
Berikut ini adalah klasifikasinya:
• Normal: jumlah spermatozoa di atas 60 juta/ml
• Subfertil: 20-60 juta /ml
• Steril: 20 juta atau kurang/ml
• Namun, WHO menganggap jumlah sperma 20 juta/ml atau lebih masih dianggap
normal.1
2) Jumlah spermatozoa motil per ml/persentase spermatozoa motil
Motilitas sperma dipengaruhi oleh adanya perubahan PH, infeksi, morfologi,
pematangan, dan gangguan hormonal. Namun, secara garis besar WHO dan
beberapa ahli berpendapat motilitas dianggap normal bila 50% atau lebih bergerak
maju atau 25% atau lebih bergerak maju dengan cepat dalam waktu 60 menit setelah
ditampung.16
Motilitas sperma juga dapat dilihat dari gerakan maju spermatozoa dengan
ketentuan sebagai berikut:
• Grade 0 (none) bila tidak ada spermatozoa yang bergerak
• Grade 1 (poor) bila terlihat gerakan maju spermatozoa yang lemah
• Grade 2 (good) bila terlihat gerak maju yang cukup baik dari
• spermatozoa, termasuk yang bergerak zig zag dan berputar-putar
• Grade 3 (excellent) bila ada gerakan maju dari spermatozoa yang seperti
roket.1

3) Kecepatan
Semen yang tidak diencerkan diteteskan ke dalam titik hitung, tentukan
waktu yang dibutuhkan satu spermatozoa untuk menempuh jarak 1/20 mm, pada
keadaan normal dibutuhkan 1-1,4 detik, ini disebut normokinetik.16
4) Morfologi

23
Morfologi spermatozoa yang normal ditentukan oleh bentuk kepala, leher,
tanpa adanya sitoplasmik “droplets” dan bentuk ekor. Semen yang normal
mengandung setidaknya 48%-50% spermatozoa normal.16
5) Komponen seluler lain dari semen (leukosit dan eritrosit)
Leukosit sangat sering dijumpai dalam spesimen semen, sebagian besar
adalah neutrofil. Jumlah leukosit yang tinggi ( lebih dari 106/ml) pria, menandakan
leukospermia. Leukospermia bisa disebabkan oleh infeksi pada sistem duktus
ekskretorius pria, terutama di kelenjar asesorius, yang harus diselidiki dengan
anamnesis, pemeriksaan klinis, dan analisis bakteriologis semen dan cairan prostat
setelah tindakan masase prostat dan USG. Pada cairan prostat yang didapat dengan
masase prostat, jumlah leukosit tak sampai melebihi 15 per LP dengan pembesaran
tinggi (LBP). Jumlah sel 15-40/LBP disebut zona perbatasan dan bila jumlahnya
lebih dari 40 maka kemungkinan besar terdapat
inflamasi prostat.16
Jenis sel bulat lain yang kadang ditemukan adalah sel-sel imatur dari segi
spermatogenesis dan sel epitel dari uretra dan vesica urinaria, sedangkan untuk
eritrosit dalam keadaan normal tidak ditemukan pada pemeriksaan semen. Sebagai
patokan nilai normal hasil pengamatan sperma di atas, WHO telah mendapatkan
nilai normal hasil pemeriksaan. Di bawah ini terdaftar kriteria semen normal yang
umum dipakai menurut WHO.16

24
Klasifikasi analisis semen :
Di Indonesia, penggolongan tingkat fertilitas pria menganut kriteria Farris
berdasarkan jumlah spermatozoa motil per ejakulat adalah sebagai berikut:
a. Golongan sangat fertil: lebih dari 185x106 spermatozoa per ejakulat
b. Golongan relatif fertil: 80x106-185x106 spermatozoa motil per ejakulat
c. Golongan subfertil: 1-80x106 spermatozoa motil per ejakulat.16

25
Tabel 2.2 Nomenklatur variable semen

2.7 Metode Penanganan Pasangan Infertil


1. Terapi pada wanita
Induksi ovulasi adalah pemberian berbagai jenis obat untuk mempengaruhi
keadaan hormonal sehingga dapat menyebabkan keadaan hiperstimulasi ovarium
yang terkontrol untuk memacu kesinambungan perkembangan folikel dari
sekumpulan folikel primordial sehingga bisa mencapai ovulasi.23
Macam obat induksi ovulasi adalah:
a. Obat yang dapat meningkatkan FSH endogen. CC (Clomiphen citrate) dan
Aromatase inhibitor.
CC merupakan turunan dari triphenylethylene golongan nonsteroid denganefek
agonis dan antagonis estrogen.CC diberikan secara oral dimulai pada hari ke-3
siklus haid selama 5 hari. Dosis dimulai dengan pemberian awal 50 mg per hari
selama 5 hari dan dapat ditingkatkan 50 mg setiap siklus sampai tercapai ovulasi.
Dosis maksimal 150–200 mg, Monitoring setelah pemberian adalah suhu basal

26
badan dan kadar LH urin. Kadar lonjakan LH biasanya terjadi setelah 5–12 hari
setelah pemberian terapi terakhir. Dengan pemeriksaan USG transvaginal secara
serial dapat diukur jumlah dan besar folikel, sehingga dapat diperkirakan apakah
terjadi ovulasi.23
Aromatase adalah anggota keluarga besar kompleks enzym yangmengandung
hemoprotein cytochrom P450. Ia mempercepat proses akhirpembentukan estrogen
(E), yaitu proses hidroksilasi androstenedion (A) menjadi estron dan testosteron (T)
menjadi estradiol. Salah satu obat dari aromatase inhibitor yang sering digunakan
adalah letrozole. Dosis pemberian adalah 2,5 mg perhari mulai hari ke-3 siklus haid
selama 5 hari.23
b. Hormon GnRH yang menyebabkan perangsangan sentral untuk sekresi FSH
dan LH dari pituitari.
c. Hormon FSH dan LH eksogen yang merangsang ovarium secara langsung
Indikasi lain pemberian obat induksi ovulasi adalah infertilitas yang tak
terjelaskan (unexplained infertility). Hal ini merupakan terapi empirik, dan bila
tidak berhasil dilanjutkan dengan inseminasi atau invitro fertilisation (IVF) 23
2. Terapi pada pria
Terapi infertilitas pada pria dapat didasarkan atas 2 tata cara, yaitu hanya
berdasarkan analisis semen rutin dan berdasarkan etiologi kausatif.23
a. Terapi berdasarkan hasil analisis semen rutin
1) Kelainan volume semen
a) Hipospermia
Volume semen disebut hiposperma jika kurang dari 1,5 ml, yang
disebabkan antara lain karena Stres, Retrograde ejaculation, dan frekuensi
senggama.Untuk stres maka pengobatan diarahkan untuk menghilangkan
stress, retrograde ejaculation dapat diberi terapi obat atau terapi khusus
berupa pencucian sperma dari urine. Untuk endokrinopati dapat diberikan
testosteron, sedangkan bila koitus terlalu sering, dapat dikurangi frekuensinya.
Jika tidak jelas penyebabnya dapat dilakukan AIH.23
b) Hiperspermia
Hiperspermia adalah jika volume semen lebih dari 6 ml. Penyebabnya
dapat berupa abstinensia seksualis yang terlalu laima dan hipersekresi vesika

27
seminalis. Hiperspermia dengan spermiogram normal tidak memerlukan
pengobatan spesifik, cukup dengan menganjurkan peningkatan frekuensi
senggama, tetapi jika disertai dengan spermiogram abnormal dapat dilakukan
terapi dengan split ejaculate atau withdrawal coitus atau dengantreated sperm
invitro. 23
2) Kelainan jumlah spermatozoa
a) Polizoospermia
Pada polizoospermia, jumlah spermatozoa lebih dari 250 juta/ml. Terapi
dapat dengan anjuran meningkatkan frekuensi koitus atau AIH dengan treated
spermatozoa dengan jalan pengenceran, swim up, sperm washing atau filtrasi.1
b) Oligozoospermia
Sampai saat ini masih disepakati bahwa jumlah spermatozoa kurang dari 20
juta/ml disebut oligozoospermia dan jika kurang dari 5 juta/ml disebut
olgozoospermia berat.
Terapi medikamentosa yaitu :
a) Klomifen sitrat dengan dosis 1 x 50 mg selama 90 hari atau 1 x 50 mg 3 x
25 hari dengan interval antara terapi 5 hari.
b) Tamoxifen, dapat diberikan dengan dosis 2 x 1 tablet selama 60 hari.
c) Kombinasi HMG dan hCG; HMG (Pergonal®) diberikan dengan dosis 150
IU 3 x/minggu dan hCG (Profasi®) dengan dosis 2000 IU 2 x/minggu
selama 12-16 minggu.
d) Kombinasi FSH (Metrodin®) dan hCG; dosisFSH 75IU 3 x/minggu dan
dosis hCG 2000 IU 2 x/minggu selama 12-16 minggu. Selain
medikamentosa, terapi dapat dilakukan dengan AIH(IBS) dengan atau tanpa
treated sperm.23
3) Abnormalitas kualitas spermatozoa
Kualitas spermatozoa abnormal jika motilitas baik dan cukup, tetapi morfologi
normal kurang dari 50%. Terapi gangguan kualitas ini dapat berupa
medikamentosa, yaitu :
a) ATP
b) Androgen dosis rendah
c) Phosph6lipid esensial

28
d) Antibiotika
e) Vitamin E + Vit B
f) Pentoksifilin
Atau dilakukan AIH (IBS) dengan atau tanpa sperm treated yang dapat berupa
sperm washing dan sperm swim up. Jika masih belum memberikan hasil yang
diharapkan dapatdilanjutkan dengan terapi hormonal berupa kombinasi FSHdengan
dosis 75 IU 3 x/minggu ditambah hCG 2000 IU 2 x/minggu selama 12-16 minggu.
Pengobatan ini dapat diteruskansampai 4 tahun.23
b. Terapi berdasarkan etiologi kausatif
1) Etiologi infertilitas pria yang tak dapat diobati :
a) Klinefelter syndrome
b) Cryptorchidism bilateral
c) Atrofi testis
d) Sertoli cell only syndrome
e) Agenesis vas deferens.23
2) Etiologi infertilitas pria yang masih dapat diobati :
a) Varikokel
Varikokel merupakan salah satu faktor penyebab infertilitas pria.
Varikokel jarang dikeluhkan dan biasanya ditemukan secara kebetulan tanpa
keluhan yang jelas. Pada evaluasi kasus infertilitas, 82% varikokel kiri, 2%
varikokel kanan dan 16% bilateral. Meskipun belum dapat dipastikan sebagai
penyebab infertilitas pada pria, tetapi bila pada infertilitas pria ditemukan
adanya varikokel biasanya akan ditemukan juga hasil analisis semen yang
abnormal. Terapi vasoligasi vena spermatika interna kiri merupakan salah
satu pengobatan yang dapat memperbaiki kualitas dan kuantitas spermatozoa,
atau dengan cara embolisasi.23
b) Infeksi kelenjar asesoris
Infeksi kelenjar asesoris yang dapat mempengaruhi kualitas semen
adalah infeksi prostat, vesika seminalis dan epididimis. Kelainan dapat
berupa gangguan proses pencairan semen, volume yang terlalu sedikit atau
banyak dan morfologi dan motilitas yang abnormal.Terapi berupa pemberian
antibiotika, dalam hal ini yang dapat diberikan adalah golongan amoksisilin,

29
doksisiklin dan erithromisinyang dapat ditambah dengan roborantia berupa
vitamin E, vitamin C dan vitamin B kompleks.23
c) Immunologi
Infeksi kronis alat urogenital dapat menimbulkan tes immunologipositif
pada pemeriksaan semen; yaitu adanya aglutinasi spontan spermatozoa pada
pemeriksaan analisis semen rutin, MAR test, dan SCMC test. Terapi dapat
berupa pemberian kortikosteroid, yang jika tidak memuaskan dapat dilakukan
AIH/IBS dengan treated spermatozoa; misalnya dengan filtrasi glass wool,
separasi denganpercoll, sephadex atau selofan, atau washing/swim up.1
d) Gangguan hubungan seksual
Gangguan hubungan seksual dapat berupa frekuensi tidak teratur,
impotensia, ejakulasi dini, ejakulasi retardata, ejakulasi retrograd,
Epispadia/hipospadia.23
e) Endokrinopati
Ketidakseimbangan pengaturan hormonal pada sistem reproduksi pria
akan menyebabkan terjadinya gangguan proses spermatogenesis dan/atau
spermaogenesis. Pengobatan hormonal yang tepat dapat mengembalikan
proses spermatogenesis/ spermiogenesis yang normal. Untuk itu, selain
pemeriksaan fisis andrologis diperlukan pemeriksaan kadar hormon (FSH,
LH, prolaktin dan testosteron) dalam darah.23
Jika ditemukan kadar FSH dan LH yang tinggi dengan kadartestosteron darah yang
subnormal, biasanya pengobatan hormonaltidak diperlukan karena keadaan ini
menunjukkan adanya gagal testis primer, misalnya Klinefeltersyndrome; terapi
hormon hanya berupa substitusi androgen untuk masalah potensi seksnya.23
Jika kadar FSH tinggi, tapi kadar LH dan testosteron darahmasih dalam
batas normal, keadaan ini biasanya menunjukkan adanya kekurang-pekaan sel-sel
germinativum (isolated germinalcell failure); jumlah spermatozoa dapat berkisar
dari azoospermia- oligozoospermia.Terapi hormonal tidak ada artinya, hanya dapat
dicoba AIH/IBS atau IVF.Jika kadar FSH, LH dan Testosteron ketiga-tiganya
rendah disertai volume testis yang abnormal dan konsistensi yang agak kurang
padat, keadaan seperti ini disebut sebagai hipogonadisme atau gagal testis sekunder.
Jika tidak ada hiperprolaktinemia, terapi gonadotropin (HCB dan HMG) atau

30
testosteron dapat memberikan harapan baik secara ringkas, terdapat beberapa terapi
untuk infertilitas yang disajikan dalam tabel.24
Tabel 2.3 Pilihan Terapi untuk Infertilitas2
Kelompok diagnostik Pilihan terapi
Gangguan ovulasi Klomifen sitrat (6 siklus)
Gonadotropin (3 siklus)
Metformin-klomifen (3 siklus)
Laparoscopic ovarian diathermy
In vitro fertilization (3 siklus)
Gangguan tuba Tubal surgery
In vitro fertilization (3 siklus)
Endometriosis Laparoscopic ablations for stages I & II
Operasi untuk stadium III & IV
Klomifen sitrat dan IUI (6 siklus)
Gonadotropin dan IUI (3 siklus)
In vitro fertilization (3 siklus)
Faktor Suami IUI (6 siklus)
In vitro fertilizationandICSI (3 siklus)
Unexplained infertility Klomifen sitrat dan IUI (6 siklus)
Gonadotropin dan IUI (3 siklus)
In vitro fertilization (3 siklus)

2.8 Teknologi Khusus dalam Penanganan Infertilitas


1. Inseminasi Buatan
Inseminasi buatan adalah peletakan sperma ke vagina wanita. Sperma tersebut
diletakkan di follicle ovarian (intrafollicular insemination), uterus (intrauterine
insemination-IUI), cervix (intracervical insemination-ICI), atau tube fallopian
(intratubal) wanita dengan menggunakan cara buatan dan bukan dengan kopulasi
alami .Dilihat dari asal sperma yang digunakan, inseminasi buatan dapat dibagi dua,
yaitu:
a. Inseminasi buatan dengan sperma sendiri (sperma suami) atau AIH (artificial
insemination husband)
b. Inseminasi buatan dengan donor sperma (bukan sperma suami) atau AID
(artificial insemination donor).25
Dilihat dari tempat peletakkan sperma, inseminasi buatan yang paling
seringdigunakan adalah:

31
a. ICI (Intracervical Insemination)
Intracervical insemination (ICI) merupakan jenis inseminasi buatan yang
paling sering digunakan terutama pada AID. Prosedur penggunaan ICIrelatif cepat
dan tidak menyakitkan. Sperma yang berasal dari donor langsung dimasukkan ke
dalam serviks sehingga memungkinkan sperma berjalan menuju uterus dan tuba
falopii, dimana akan terjadi pembuahan.25
b. IUI (Intrauterine Insemination)
Intrauterine insemination (IUI) merupakan jenis inseminasi buatan yang paling
sering digunakan pada AIH. Sperma suami langsung dimasukan ke dalam tuba
falopii, sehingga bila sperma tersebut bertemu dengan ovum, kemungkinan akan
terjadi fertilisasinya sangat tinggi. Prosedur IUI sangat efektif digunakan oleh
pasangan infertil yang tidak mengenal jelas penyebab dari masalah infertil tersebut,
misalnya pada pria yang mengalami defisiensi sperma atau pada wanita yang
mempunyai masalah pada produksi mukus serviks 25
2. ART ( Assisted Reproductive Technologies)
ART merupakan teknologi reproduksi yang digunakan untuk mendapatkan
kehamilan di luar cara alamiah yang digunakan dalam infertilitas.24,25
3. FIVET (Fertilisasi in vitro embrio transfer) / IVF (In Vitro Fertilization)
Proses fertilisasi ini dilakukan dengan cara mengambil ovum dari ovarium
dengan cara laparoscopy, kemudian sperma diinseminasikan ke dalam media biak.
Setelah terjadi pembuahan pada masa embrio stadium 2-4 sel, lalu di transfer ke
dalamrahim. Dalam hal ini peranan tuba tidak diperlukan, indikasi FIVETadalah
untuk pasien yang mengalami kerusakan pada salurantelur.24,25
a. GIFT (Gamet intra fallopian transfer)
Proses fertilisasi ini dilakukan dengan cara mengambil ovum dariovarium
dengan cara laparoscopy, kemudian bersama spermayang telah diolah (washed
sperm) dimasukkan kedalam tuba padasaat itu juga. Dalam kondisi ini salah satu tuba
pasien harusdalam keadaan normal. Indikasi GIFT ini adalah untuk pasien yang mengalami
endometriosis dan unexplained infertility.24,25
b. ZIFT (Zygote intra fallopian transfer)
Proses fertilisasi dengan cara mengambil ovum dari ovarium dengan cara
laparoscopy, kemudian sperma diinseminasikan kedalam media biak. Setelah

32
terjadi fertilisasi pada fase zygote, hasilpembuahan ini dimasukkan kedalam tuba
dengan cara laparoscopy. Proses ini hampir sama dengan FIVET, hanya
perbedaannya jika pada FIVET hasil pembuahannya pada masa embrio lalu di
transferkan ke dalam rahim tetapi pada ZIFT hasil pembuahan sebelum di
transferkannya dalam bentuk zygote dan di transferkan ke dalam tuba. Indikasi
ZIFT ini adalah untuk pasien yang mengalami oligozoospermia. 24,25

33
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Infertilitas merupakan masalah yang serius bagi pasangan suami istri.
Infertilitas dapat dibagi menjadi infertilitas primer dan infertilitas sekunder.
Infertilitas memberikan dampak yang serius bagi pasangan suami istri, mulai dari
dampak medis, ekonomi dan psikologis. Infertilitas dapat terjadi baik oleh karena
faktor istri maupun faktor suami dan dapat juga tidak diketahui penyebabnya
(idiopatik).
Dalam menangani kasus infertilitas, pasangan suami istri harus diperlakukan
sebagai satu kesatuan sehingga penyebab infertilitas dapat diketahui. Baik suami
dan istri harus sama-sama bekerja sama dan diperiksa untuk mengetahui apakah ada
kelainan yang menyebabkan infertilitas. Penatalaksanaan infertilitas dapat
dilakukan sesuai dengan temuan penyebab infertilitasnya. Ada beberapa
penatalaksanaan yang dapat menjadi pilihan seperti pengobatan, pembedahan, dan
Assisted Reproductive Technology.

34
DAFTAR PUSTAKA
1. Oktarina A, Abadi A, Bachsin R, Forensik D, Unsri FK. Faktor-faktor yang
Memengaruhi Infertilitas pada Wanita di Klinik Fertilitas Endokrinologi
Reproduksi. Mks [Internet]. 2014;46(4):295–300. Available from:
ejournal.unsri.ac.id/index.php/mks/article/download/2722/pdf
2. Anggraini N, Damayanti VI. Indikator Penyebab Infertilitas Pada Wanita
Usia Subur. 2018;1(1):36–45.
3. Khaidir M. Penilaian tingkat fertilitas dan penatalaksanaannya pada pria. J
Kesehat Masy Andalas. 2006;30–4.
4. Anwar M, Baziad A, Prabowo P. Ilmu Kandungan. edisi keti. Jakarta: PT
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2011.
5. Willem O, Ian C, Silke D,Gamal S,Paul D. Human Reproduction. J of
Infertility and the Provision of infertility medical Services in developing
countries. 2008; 14(6): 605-621
6. Puscheck, Elizabeth E. Infertility.Emedicine.2013. Available from URL:
http://www emedicine/274143-overview.htm. Accessed March 1, 2013.
7. Prawirohardjo, Sarwono. Infertilitas in Ilmu kandungan. Edisi kedua.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. 1997 . 496-531
8. Male Infertility.Mayoclinic.2013. Available from URL: http://www male
infertility/con-20033113.htm. Accessed March 1, 2013.
9. Female Infertility.Mayoclinic.2013. Available from URL: http://www
female infertility/con-20033618_2.htm. Accessed March 1, 2013.
10. Palermo G, Joris H, Devroey P, Van Steirteghem AC. Pregnancies after
intracytoplasmic injection of single spermatozoon into an oocyte. Lancet.
1992 Jul 4. 340(8810):17-8.
11. N, Filicori M, Crowley WF. Hypogonadotropic disorders in men and
women: diagnosis and therapy with pulsatile gonadotropin-releasing
hormone. Endocr Rev. 1986 Feb;7(1):11-23.
12. Perkins RB, Hall JE, Martin KA. Neuroendocrine abnormalities in
hypothalamic amenorrhea: spectrum, stability, and response to
neurotransmitter modulation. J Clin Endocrinol Metab. 1999
Jun;84(6):1905-11.
13. Olive DL, Pritts EA. Treatment of endometriosis. N Engl J Med. 2001 Jul
26;345(4):266-75.
14. Weström L, Joesoef R, Reynolds G, Hagdu A, Thompson SE. Pelvic
inflammatory disease and fertility. A cohort study of 1,844 women with
laparoscopically verified disease and 657 control women with normal
laparoscopic results. Sex Transm Dis. 1992 Jul-Aug;19(4):185-92.
15. Pritts EA. Fibroids and infertility: a systematic review of the
evidence. Obstet Gynecol Surv. 2001 Aug;56(8):483-91.
16. Anwar, Mochamad. R, Ali Baziad. Prabowo, Prajitno. Ilmu Kandungan.
Ed.3.
Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2014.
17. Kamath M, Bhattcharya S. 2012. Best Practice & Research Clinical
Obstetrics and Gynaecology.
18. Balen A, Jacobs H. Infertility in Practice. Leeds and UK: Elsevier Science;
2003.

35
19. Speroff L, Fritz MA. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility.
United Kingdom: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p. 425-431.
20. RCOG. Fertility: assessment and treatment for people with fertility
problems. 2004.
21. Mardiati SM. Perbandingan Kadar Garam Natrium dan Kalium pada Tes
Ferning Lendir Mulut. Jurnal Sains dan Matematika 2007; 15(1); ISSN
0854-0675: p.5-7.
22. U.S Congress Office of Technology Assessment. Infertility: Medical and
Social Choices. Washington D.C: U.S. Government Printing Office;
1998.p.104.
23. Hestiantoro, Andon. Tatalaksana Pemeriksaan Dalam Infertilitas. Jurnal
Cermin Dunia Kedokteran. Semarang.2009(36): 170- 82.

24. NICE. Fertility: assessment and treatment for people with fertility problems.
The Royal Collage of Obstetricians and Gynecologists. Regen’ts Park.
London.2013: 80-139.

25. Speroff, Fritz AM. Clinical Gynecology Endocrinology and Infertility. 7th
Edition. Williams and Wilkins. Baltimore Maryland.2015:33-56.

36

Anda mungkin juga menyukai