Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN RHEUMATOID ARTHRITIS

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gerontik
Pada Pogram Profesi Ners Institut Medika Drg. Suherman

Disusun oleh :
WIDIA ASTUTI
030520436

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

INSTITUT MEDIKA DRG. SUHERMAN

CIKARANG-BEKASI

2020
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lanjut usia adalah kelompok manusia yang berusia 60 tahun ke atas. Pada

lanjut usia akan terjadi proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk

memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya secara

perlahan-lahan sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki

kerusakan yang terjadi menurut Constantinides dalam Suryono (2016).

Menjadi tua ditandai dengan adanya kemunduran biologis yang terlihat

sebagai gejala-gejala kemunduran fisik, pendengaran dan penglihatan berkurang.

Perubahan-perubahan akan terjadi pada tubuh manusia sejalan dengan makin

meningkatnya usia. Perubahan tubuh terjadi sejak awal kehidupan hingga usia lanjut

pada semua organ dan jaringan tubuh. Keadaan demikian itu tampak pula pada semua

system musculoskeletal dan jaringan lain yang dapat mengalami gangguan salah

satunya reumatik ( Fitriani, 2009).

Penyakit reumatik merupakan salah satu penyakit yang sering ditemui dalam

masyarakat, salah satunya pada kelompok lanjut usia ( lansia ) yang ditandai dengan

nyeri yang terjadi secara berulang-ulang pada persendian. Penatalaksanaan rasa nyeri

yang direkomendasikan oleh world Health Organization menganjurkan pengobatan

nyeri pada lansia dilakukan secara konservatif dan bertahap untuk mengurangi

terjadinya efek samping. Prinsip utama pada penatalaksanaan rasa nyeri adalah

menghilangkan serangan rasa nyeri. Manajemen nyeri yang efektif bagi lansia dapat

dilakukan dengan pendekatan secara farmakologis dan non farmakologis (Kasran &

Rina, 2006).
Secara global populasi lanjut usia terus mengalami peningkatan, saat ini

penduduk pada 11 negara anggota WHO (World Health Organization), di kawasan

Asia Tenggara yang berusia di atas 60 tahun ke atas berjumlah 142 juta. Dewasa ini di

negara-negara ASEAN terbesar adalah Singapura 9%, Thailand 7%. Di Indonesia

diprediksi meningkat lebih tinggi dari pada populasi lanjut usia di wilayah Asia dan

global l setelah tahun 2050. Hasil sensus penduduk tahun 2010, menyatakan bahwa

Indonesia saat ini termasuk ke dalam 5 besar negara dengan jumlah penduduk lanjut

usia terbanyak di dunia. Penduduk lanjut usia di Indonesia mengalami peningkatan

yang cukup berarti selama 30 tahun terakhir dengan populasi 5,30 juta jiwa (sekitar

4,48%) pada tahun 1970, dan meningkat menjadi 18,10 juta jiwa pada tahun 2010,

pada tahun 2014 penduduk lanjut usia berjumlah 20,7 juta jiwa (sekitar 8,2%) dan

diprediksikan jumlah lanjut usia meningkat menjadi 27 juta (9,9%) pada tahun 2020.

Indonesia akan menjadi negara dengan percepatan pertumbuhan lanjut usia yang

sangat tinggi dalam kurun waktu 1990-2020, serta peningkatan usia harapan hidup

dari 66,7 tahun menjadi 70,5 tahun. Dengan demikian Indonesia akan memasuki

ageing population ditandai antar lain oleh persentase lanjut usia mencapai 10% pada

tahun 2020 (Kemenkes, 2014). Sejalan dengan hal ini, peningkatan program-program

layanan kesehatan oleh pemerintah ikut berkontribusi terhadap membaiknya tingkat

kesehatan masyarakat, ditandai dengan peningkatan angka harapan hidup penduduk.

Perubahan struktur penduduk ini akan mempengaruhi angka beban ketergantungan

penduduk lanjut usia.

Untuk meningkatkan derajat kesehatan lansia pemerintah membuat beberapa

kebjakan-kebijakan pelayanan kesehatan lansia. Tujuan umum kebijakan pelayanan

kesehatan lansia adalah meningkatkan derajat kesehatan lansia untuk mencapai lansia

sehat, mandiri, aktif, produktif dan berdaya guna bagi keluarga dan masyarakat.
Sementara tujuan khususnya adalah meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan

kesehatan santun lansia, meningkatkan koordinasi dengan lintas program, lintas

sektor, organisasi profesi dan pihak terkait lainnya, meningkatnya ketersediaan data

dan informasi di bidang kesehatan lansia, meningkatnya peran serta dan

pemberdayaan keluarga, masyarakat dan lansia dalam upaya serta peningkatan

kesehatan lansia, meningkatnya peran serta lansia dalam upaya peningkatan kesehatan

keluarga dan masyarakat (KEMENKES, 2016).

Dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, maka dikembangkan program

kesehatan lansia sebagai berikut: bentuk pelayanan kesehatan santun lanjut usia yang

diberikan di Puskesmas yaitu memberikan pelayanan yang baik dan berkualitas,

memberikan prioritas pelayanan kepada lanjut usia dan penyediaan sarana yang aman

dan mudah diakses, memberikan dukungan atau bimbingan pada lanjut usia dan

keluarga secara berkesinambungan, melakukan pelayanan secara proaktif untuk dapat

menjangkau sebanyak mungkin sasaran lansia yang ada di wilayah kerja Puskesmas,

melakukan koordinasi dengan lintas program dengan pendekatan siklus hidup dan

melakukan kerjasama dengan lintas sektor, termasuk organisasi (DKK Surakarta,

2016). Pembinaan Terpadu (Posbindu) adalah suatu wadah pelayanan kesehatan

bersumber daya masyarakat (UKBM) untuk melayani penduduk lansia, yang proses

pembentukan dan pelaksanaannya dilakukan oleh masyarakat bersama lembaga

swadaya masyarakat (LSM), lintas sektor pemerintah dan non-pemerintah, swasta,

organisasi sosial dan lain-lain, dengan menitik beratkan pelayanan kesehatan pada

upaya promotif dan preventif. Di samping pelayanan kesehatan, Posyandu Lanjut

Usia juga memberikan pelayanan sosial, agama, pendidikan, keterampilan, olah raga,

seni budaya, dan pelayanan lain yang dibutuhkan para lansia dengan tujuan untuk

meningkatkan kualitas hidup melalui peningkatan kesehatan dan kesejahteraan. Selain


itu Posyandu Lansia membantu memacu lansia agar dapat beraktifitas dan

mengembangkan potensi diri. Sampai dengan tahun 2015, jumlah kelompok lansia

(Posyandu Lansia) yang memberikan pelayanan promotif dan preventif tersebar di 23

provinsi di Indonesia adalah 7215 posyandu lansia (KEMENKES, 2016).

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mengetahui proses penuaan yang terjadi pada lansia serta mampu memberikan

pelayanan dan asuhan keperawatan pada klien usia lanjut dengan reumathoid

arthritis serta dapat mendeskripsikan penurunan intensitas nyeri setelah dilakukan

intervensi dengan pendekatan proses keperawatan secara profesional.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui konsep proses menua yang terjadi pada lansia

b. Mengetahui konsep reumathoid arthritis yang terjadi pada lansia

c. Melakukan pengkajian reumathoid arthritis kepada Ny. D dengan pemberian

kompres air hangat

d. Menegakkan diagnosa reumathoid arthritis kepada Ny. D

e. Merencanakan intervensi yang diberikan pada Ny. D dengan pemberian

kompres air hangat

f. Memberikan implementasi pada Ny. D dengan pemberian kompres air hangat

g. Melakukan evaluasi terhadap Ny. D dengan pemberian kompres air hangat

h. Mengetahui perubahan nyeri pada Ny. D setelah pemberian kompres air

hangat
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Menua dan Lansia

1. Pengertian Lansia

Usia lanjut (lansia) adalah menurut WHO lanjut usia meliputi usia

pertengahan (middle age) yaitu kelompok usia 45 tahun sampai 59 tahun, lanjut usia

(elderly) yaitu usia 60 sampai 74 tahun, lanjut usia tua (old) yaitu antara 75 tahun

sampai 90 tahun dan usia sangat tua (very old) yaitu diatas 90 tahun (Nugroho,

2008).

2. Teori Proses Menua

Faktor yang memberi kontribusi utama pada proses menua yaitu:

a. Teori Biologi

1) Teori Genetik Clock

Menyatakan bahwa proses menua terjadi akibat adanya program jam genetik

didalam nuklei. Jam ini akan berputar dalam jangka waktu tertentu dan jika

jam ini sudah habis putarannya maka akan menyebabkan berhentinya proses

mitosis. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian Haiflick (1980), dari teori

itu dinyatakan adanya hubungan antara membelah sel dalam kultur dengan

umur spesies mutasi somatik (teori errorrcatastrophe).

2) Teori Error

Menurut teori ini prose menua diakibatkan oleh menumpuknya berbagai

macam kesalahan sepanjang kehidupan manusia akibat kesalahan tersebut

akan berakibat keselahan metabolisme yang dapat mengakibatkan kerusakan


sel dan fungsi sel secara perlahan.Sejalan dengan perkembangan umur sel

tubuh, maka terjadi beberapa perubahan alami pada sel pada DNA dan RNA

yang merupakan substansi pembangunan atau pembentuk sel baru.

Peningkatan usia mempengaruhi perubahan sel dimana sel-sel nukleus

menjadi lebih besar tetapi tidak diikuti dengan peningkatan jumlah substansi

DNA.

3) Teori Autoimun

Proses menua dapat terjadi akibat perubahan protein pasca tranlasi yang

dapat mengakibatkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh

mengenali dirinya sendiri (Self recognition). Jika mutasi somatik

menyebabkan terjadinya kelainan pada permukaan sel, maka hal ini akan

mengakibatkan sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami

perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya

Goldstein(1989) dikutip dari Azis (1994). Hal ini dibuktikan dengan makin

bertambahnya prevalensi auto antibodi pada lansia (Brocklehurst,1987

dikutif dari Darmojo dan Martono, 1999). Dipihak lain sistem imun tubuh

sendiri daya pertahanannya mengalami penurunan pada proses menua, daya

serangnya terhadap antigen menjadi menurun, sehingga sel-sel patologis

meningkat sesuai dengan menigkatnya umur (Suhana,1994 dikutif dari

Nuryati, 1994).

4) Teori “Free Radical”

Penuaan dapat terjadi akibat interaksi dari komponen radikal bebas dalam

tubuh manusia. Radikal bebas dapat berupa : superoksida (O2), Radikal

Hidroksil (OH) dan Peroksida Hidrogen (H2O2). Radikal bebas sangat

merusak karena sangat reaktif , sehingga dapat bereaksi dengan DNA,


protein, dan asam lemak tak jenuh. Menurut Oen (1993) yang dikutif dari

Darmojo dan Martono (1999) menyatakan bahwa makin tua umur makin

banyak terbentuk radikal bebas, sehingga poses pengrusakan terus terjadi ,

kerusakan organel sel makin banyak akhirnya sel mati.

5) Wear Teori Biologi

Kelebihan usaha dan stress menyebaban sel tubuh rusak.

6) Teori kolagen

Peningkatan jumlah kolagen dalam jaringan menyebabkan kecepatan

kerusakan jaringan dan melambatnya perbaikan sel jaringan.

b. Teori Psikososial

1) Activity theory, ketuaan akan menyebabkan penurunan jumlah kegiatan

secara langsung.

2) Teori kontinuitas, adanya suatu kepribadian berlanjut yang menyebabkan

adanya suatu pola prilaku yang meningkatkan stress.

3) Disengagement Theory, putusnya hubungan dengan dunia luar seperti

hubungan dengan masyarakat, hubungan dengan individu lain.

4) Teori Stratifikasi usia, karena orang yang digolongkan dalam usia tua akan

mempercepat proses penuaan.

5) Teori kebutuhan manusia dari Maslow, orang yang bisa mencapai aktualisasi

menurut penelitian 5% dan tidak semua orang bisa mencapai kebutuhan

yang sempurna.

6) Teori Jung, terdapat tingkatan-tingkatan hidup yang mempunyai tugas dalam

perkembangan kehidupan.

7) Course of Human Life Theory, Seseorang dalam hubungan dengan

lingkungan ada tingkat maksimumnya.


8) Development Task Theory, Tiap tingkat kehidupan mempunyai tugas

perkembangan sesuai dengan usianya.

c. Teori Lingkungan

1) Teori Radiasi

Setiap hari manusia terpapar dengan adanya radiasi baik karena sinar UV

maupun dalam bentuk gelombang-gelombang mikro yang telah menumbuk

tubuh tanpa terasa yang dapat mengakibatkan perubahan susunan DNA

dalam sel hidup atau bahkan rusak dan mati.

2) Teori Stres

Stres fisik maupun psikologi dapat mengakibatkan pengeluaran

neurotransmitter tertentu yang dapat mangekibatkan perfusi jaringan

menurun sehingga jaringan mengalami kekurangan O2 dan mengalami

gangguan metabolisme sel sehingga terjadi penurunan jumlah cairan dalam

sel dan penurunan eksisitas membran sel.

3) Teori Polusi

Tercemarnya lingkungan dapat mengakibatkan tubuh mengalami gangguan

pada sistem psikoneuroimunologi yang seterusnya mempercepat terjadinya

proses menua dengan perjalanan yang masih rumit untuk dipelajari.

4) Teori Pemaparan

Terpaparnya sinar matahari yang mempunyai kemampuan mirip dengan

sinar ultra yang lain mampu mempengaruhi susunan DNA sehingga proses

penuaan atau kematian sel bisa terjadi.

3. Batasan Tua Atau Lanjut Usia

a. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) usia lanjut meliputi :

1) Usia pertengahan (usia pertengahan), yaitu kelompok usia 45-59 tahun.


2) Lanjut usia (lanjut usia) = antara 60 dan 74 tahun

3) Lanjut tua usia = antara 75 dan 90 tahun

4) Usia sangat tua (sangat tua) = diatas 90 tahun

b. Menurut Depkes RI batasan lansia terbagi dalam 4 kelompok yaitu:

1) Pertengahan usia lanjut / virilitas yaitu masa persiapan lanjut yang

menampakkan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa antara usia 45-54

tahun

2) Usia lanjut dini / prasemu yaitu kelompok yang mulai memasuki lanjut

antara 55-64 tahun

3) Usia lanjut / semua usia 65 tahun ke atas

4) Usia lanjut dengan risiko tinggi yaitu kelompok yang berusia lebih dari 70

tahun

4. Perubahan-perubahan Fisik

1) Sel

 Lebih sedikit instruksi.

 Lebih besar ukurannya.

 Berkurangnya jumlah cairan tubuh dan berkurangnya cairan intraseluler.

 Menurunnya proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah, dan hati.

 Jumlah sel otak menurun.

 Terganggunya perbaikan sel.

 Otak menjadi atrofis beratnya berkurang 5-10%.

2) Sistem Persarafan

 Berat otak menurun 10-20%. (Setiap orang berkurangnya saraf otaknya

dalam setiap harinya).

 Cepatnya menurun hubungan persarafan.


 Lambat dalam respon dan waktu untuk bereaksi, khususnya dengan stres.

 Mengecilnya saraf panca indra. Berkurangnya penglihatan, pendengaran,

saraf penciumdan perasa mengecil, lebih sensitif terhadap perubahan suhu

dengan rendahnya ketahanan terhadap dingin.

 Kurang sensitif sentuhan.

3) Sistem Pendengaran

 Presbiakusis (gangguan dalam pendengaran). Hilangnya kemampuan

pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi suara atau nada-

nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit mengerti kata-kata, 50%

terjadi pada usia diatas umur 65 tahun.

 Otosklerosis akibat membran atrofi timpani.

 Terjadinya insiden serumen dapat mengeras karena keratin.

 Pendengaran bertambah pada lanjut usia yang mengalami gangguan jiwa /

stres.

4) Sistem Penglihatan

 Timbul sklerosis dan sajian respon terhadap sinar.

 Kornea lebih berbentuk sferis (bola).

 Kekeruhan pada lensa menyebabkan katarak.

 Meningkatnya ambang, pantauan, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih

lambat dan susah melihat dalam cahaya gelap.

 Hilangnya daya akomodasi.

 Menurunnya lapangan pandang, berkurangnya pandangan luasnya.

 Menurunnya daya membedakan wama biru atau hijau.

5) Sistem Kardiovaskuler

 Elastisitas dinding aorta menurun.


 Katup jantung menebal dan menjadi kaku.

 Kemampuan jantung memompa darah menurun, hal ini menyebabakan

menurunnya kontraksi dan volumenya.

 Kehilangan elastisitas pembuluh darah yang paling kuat dari pembuluh

darah perifer untuk oksigenisasi. Perubahan cara dari tidur ke duduk atau

dari duduk ke berdiri bisa menyebabkan tekanan darah menurun,

mengakibatkan pusingnya mendadak.

 Tekanan darah akibat kerusakan darah perifer.

6) Sistem Pengaturan Temperatur Tubuh

 Temperatur tubuh menurun (hipotermia) secara fisiologis akibat

metabolisme yang menurun.

 Keterbatasan refleks yang menggigil dan tidak dapat memproduksi panas

akibat dari aktivitas menurun.

7) Respirasi Sistem

 Otot-otot pernafasan Kehilangan kekuatan dan menjadi kaku.

 Menurunnya aktivitas dari silia.

 Paru-paru kehilangan elastisitasnya, nafas yang lebih berat, kapasitas

pernafasan maksimum menurun, dan bernafas kedalaman menurun.

 Alveoli ukuranya melebar dari biasa dan pengurangan.

 Kemampuan untuk batuk.

 Kemampuan otot pernafasan akan menurun seiring dengan pertambahan

usia.

8) Sistem Gastrointestinal

 Kehilangan gigi akibat penyakit periodontal, kesehatan gigi yang buruk dan

gizi yang buruk.


 Indera pengecap menurun, sensitivitas sensitivitas pengecapm di lidah

terhadap rasa manis, asin, asam, dan pahit.

 Melebar Eosephagus.

 Rasa lapar menurun, asam lambung menurun.

 Peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi.

 Daya absorbsi melemah.

9) Sistem Reproduksi

 Menciutnya ovari dan uterus.

 Atrofi payudara.

 Pada laki-laki testis masih dapat memproduksi spermatozoa meskipun

adanya penurunan secara berangsur-angsur.

 Kehidupan seksual dapat diupayakan sampai masa lanjut usia kondisi

kesehatan baik.

 Selaput lendir vagina menurun.

10) Sistem Perkemihan

 Ginjal merupakan alat untuk mengeluarkan sisa metabolisme tubuh melalui

urin, darah yang masuk ke ginjal disaring di glomerulus (nefron). Nefron

menjadi atrofi dan aliran darah ke ginjal menurun sampai 50%.

 Otot-otot vesika urinaria menjadi lemah, frekuensi buang udara kecil

meningkat dan terkadang menyebabkan retensi urin pada pria.

11) Sistem Endokrin


 Produksi semua hormon menurun.
 Menurunnya aktivitas tiroid, menununnya BMR (Basal Metabolic Rate), dan
menurunnya daya pertukaran zat.
 Menurunnya produksi aldosteron.
 Menurunya sekresi hormon kelanmin misalnya, progesteron, estrogen, dan
testosteron.
12) Sistem Kulit (Sistem Integumen)

 Kulit mengerut atau keriput akibat kehilangan jaringan lemak.

 Permukaan kulit kasar dan bersisik karena proses hilangnya keratinisasi,


serta perubahan ukuran dan bentuk-bentuk sel epidermis.

 Kulit kepala dan rambut menipis berwarna kelabu.

 Rambut dalam hidung dan telinga menebal.

 Berkurangnya elastisitas akibat dari menurunya cairan dan vaskularisasi.

 Pertumbuhan kuku lebih lambat.

 Kuku jari menjadi keras dan rapuh, pudar dan kurang bercahaya.

 Kelenjar keringat berkurang jumlah dan fungsinya.

13) Sistem Muskuloskletal

 Tulang Kehilangan densitas (cairan) dan makin rapuh.

 Kifosis

 Pergerakan pinggang, lutut, dan jari-jari terbatas.

 Persendiaan membesar dan menjadi kaku.

 Tendon mengerut dan mengalami skelerosis.

 Atrofi serabut otot (serabut otot mengecil). Otot-otot serabut mengecil

sehingga seseorang bergerak menjadi lamban, otot-otot dan menjadi tremor.

 Otot-otot polos tidak berpengaruh.

5. Tugas Perkembangan Pada Lanjut Usia

Tugas perkembangan adalah tugas yang muncul pada periode tertentu dalam

kehidupan suatu individu (Havighurst dalam Stanley, 2007). Ada beberapa tahapan

perkembangan yang terjadi pada lansia, yaitu :

- Penyesuaian diri kepada penurunan kesehatan dan kekuatan fisik.


- Penyesuaian diri kepada masa pension dan hilangnya pendapatan.

- Penyesuaian diri kepada kematian pasangan dan orang terdekat lainnya.

- Pembantukan gabungan (pergelompokan) yang sesuai dengannya.

- Pemenuhan kewajibab social dan kewarganegaran.

- Pembentuk kepuasan pengaturan dalam kehidupan.

6. Tipe-Tipe Lansia

Beberapa tipe lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup,

lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya (Nugroho, 200 dalam

Maryam dkk, 2008) tipe tersebut di jabarkan sebagai berikut :

- Tipe lansia bijaksana

Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan zaman,

mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan,

memnuhi undangan, dan menjadi panutan.

- Tipe mandiri

Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam mencari

pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.

- Tipe tidak puas

Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah, tidak

sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengikuti kegiatan agama dan melakukan

pekerjaan apa saja.

- Tipe pasrah

Menerima dan menunggu nasib baik,, mengikuti kegiatan agama, dan melakukan

pekerjaan apa saja.

- Tipe bingung
Kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif, dan acuh tak

acuh.

B. Fisiologi Penuaan

Homeostenosis merupakan fisiologi penuaan, di mana terjadi penyempitan

(berkurangnya) cadangan homeostasis yang terjadi seiring waktu pada setiap sistem

organ. Saat usianya bertambah, maka jumlah cadangan fisiologis untuk menghadapi

berbagai perubahan (tantangan) berkurang. Setiap tantangan terhadap homeostasis

merupakan pergerakkan menjauhi keadaan dasar (baseline), dan semakin besar

tantangan yang terjadi maka semakin besar cadangan fisiologis yang diperlukan untuk

kembali ke homeostasis. Di sisi lain, dengan semakin berkurangnya cadangan fisiologis

maka seorang lansia lebih mudah untuk mencapai suatu ambang (tebing), yang dapat

berupa keadaan sakit atau kematian akibat tantangan tersebut.

Konsep homeostenosis dapat menjelaskan perubahan fisiologis yang terjadi

selama proses menua dan efek yang ditimbulkannya. Walaupun suatu proses suatu

fisiologis, perubahan dan efek penuaan terjadi sangat bervariasi dan variabilitas ini

semakin meningkat seiring peningkatan usia. Variasi ini terjadi antara satu individu

dengan individu lain pada umur yang sama, antara satu sistem organ dengan organ lain,

bahkan dari satu sel terhadap sel lain pada individu yang sama. Dengan semakin

lanjutnya usia seseorang maka kemungkinan terjadi kehilangan atau penurunan

anatomik dan fungsional atas organ-organnya semakin besar.

Kehilangan atau penurunan ini ditunjukkan dengan adanya hukum 1%

(Andres dan Tobin), yang menyatakan bahwa fungsi organ akan menurun sebanyak 1%

setiap tahun setelah berusia 30 tahun. Namun, pada penelitian cros sectional

(Svanborg) didapatkan bahwa perubahan yang terjadi pada organ yang diikuti secara

longitudinal ternyata tidak selalu dramitis dan baru dimulai setelah berusia 70 tahun.
Sebenarnya lebih tepat bila dikatakan bahwa penurunan anatomik dan fungsi organ

tersebut tidak berhubungan dengan umur kronologik akan tetapi dengan umur

biologiknya. Sebagai contoh, Mungkin seseorang dengan usia kronologik baru 55

tahun, tetapi sudah menunjukkan berbagai penurunan anatomik dan fungsional yang

nyata akibat umur biologiknya yang sudah lanjut sebagai akibat tidak biaknya faktor

nutrisi, pemeliharaan kesehatan dan pengurangannya aktivitas. Penurunan anatomik

dan fungsional ini akan menyebabkan mudahnya timbulnya penyakit pada organ

(predileksi), hal ini sangat bergantung pada derajat kecepatan pelaksanaan perburukan

atau deteriorisasi (laju penurunan fungsi) dan tingkat tampilan organ yang dibutuhkan

(tingkat kinerja yang dibutuhkan). Jadi petanda penuaan adalah bukan pada tampilan

organ atau organisme saat istirahat namun pada saat bagaimana organisme atau

organisme tersebut dapat beradaptasi terhadap stres dari luar. Contohnya pada orang

tua mungkin memiliki denyut nadi yang normal pada saat istirahat, tetapi tidak mampu

meningkatkan curah jantung pada waktu melakukan aktivitas. Kadang-kadang berbagai

perubahan akibat proses menua berkeja sama dan saling mempengaruhi sehingga

menghasilkan nilai-nilai normal pada keadaan isitirahat. Pada contoh filtrasi glomerulus

dan aliran darah ginjal yang berjalan sejalan dengan usia, namun kadar kreatinin tetap

tidak meningkat. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya massa otot (lean body mass)

yang menyebabkan produksi kreatinin menurun.

C. Konsep Reumatoid Artritis

1. Definisi

Reumatik adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan terdapatnya

sinovitis erosif simetrik terutama mengenai jaringan persendian, seringkali

melibatkan organ tubuh lainnya. Reumatik lebih banyak terjadi pada wanita (3 : 1

dengan kasus pria) pada usia 25 – 35 tahun. Faktor resiko reumatik terjadi pada
orang-orang yang berusia diatas 60 tahun. Gejala reumatik antara lain nyeri dan

bengkak pada sendi yang berlangsung terus menerus, kaku pada pagi hari

berlangsung selama lebih dari 30 menit, persendian mengalami bengkak dan hangat

jika diraba (Lutfi Chabib, 2016).

2. Penyebab

Menurut Noer, (2012) faktor penyebab terjadinya Arthritis Reumatoid secara

pasti belum diketahui, tetapi ada beberapa faktor yang menyebabkan terrjadinya

penyakit Arthritis Reumatoid, diantaranya :

a. Faktor Genetik

Hal ini membuktikan terdapatnya hubungan antar komples histokompabilitas

utama untuk menderita penyakit Arthritis Reumatoid.

b. Faktor Hormonal

Kecenderungan wanita untuk menderita Arthritis Reumatoid dan sering

dijumpai pada wanita yang sedang hamil. Menimbulkan dugaan terdapatnya

faktor keseimbangan hormonal sebagai salah satu faktor yang berefektifitas pada

penyakit ini, walaupun demikian pemberian estrogen eksternal tidak pernah

menghasilkan perbaikan, sehingga faktor hormonal belum dipastikan sebagai

faktor penyebab penyakit ini.

c. Faktor Infeksi

Infeksi ini telah menyebabkan arthritis reumatoid. dugaan dari faktor infeksi

sebagai penyebab terjadinya arthritis reumatoid, karena penyakit ini terjadi

secara mendadak dan timbul sebagai gambaran inflasi yang menolak. hingga

kini belum berhasil dilakukan isolasi. suatu mikroorganisme dari jaringan

sinovial, tidak memungkinkan bahwa terdapat suatu komponen endotoksin

mikroorganisme yang dapat menyebabkan terjadinya arthritis reumatoid.


Infeksius yang diduga sebagai penyebab arthtritis reumatoid diantaranya bakteri,

dan virus.

Jika ditinjau dari stadium penyakit, terdapat tiga stadium, yaitu stadium

sinovitis, stadium destruksi, dan stadium deformitas.

3. Manifestasi Klinis

RA dapat ditemukan pada semua sendi dan sarung tendo, tetapi paling sering

di tangan. RA juga dapat menyerang sendi siku, kaki, pergelangan kaki dan lutut.

Sinovial sendi, sarung tendo, dan bursa menebal akibat radang yang diikuti oleh erosi

tulang dan destruksi tulang disekitar sendi (Syamsuhidajat, 2010).

- Rasa nyeri dari pembengkakan sendi, panas, dan gangguan fungsi

pada sendi

- Kaku sendi di pagi hari berlangsung lebih dari 30 menit

- Deformitas tangan dan kaki

- Nafsu makan berkurang

- Berat badan menurun

- Fenofena keynoud (vasospasme yang ditimbulakn oleh cuaca dingin

dan stres sehingga jari-jari menjadi pucat atau sianosis)


Gambar 5. Destruksi sendi akibat pannus (Suarjana, 2009)

Ditinjau dari stadium penyakitnya, ada tiga stadium pada RA yaitu (Nasution,

2011):

a. Stadium sinovitis

Artritis yang terjadi pada RA disebabkan oleh sinovitis, yaitu inflamasi pada

membran sinovial yang membungkus sendi. Sendi yang terlibat umumnya

simetris, meski pada awal bisa jadi tidak simetris. Sinovitis ini menyebabkan

erosi permukaan sendi sehingga terjadi deformitas dan kehilangan fungsi

(Nasution, 2011). Sendi pergelangan tangan hampir selalu terlibat, termasuk

sendi interfalang proksimal dan metakarpofalangeal (Suarjana, 2009).

b. Stadium destruksi

Ditandai adanya kontraksi tendon saat terjadi kerusakan pada jaringan sinovial

(Nasution, 2011).

c. Stadium deformitas

Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali,

deformitas dan gangguan fungsi yang terjadi secara menetap (Nasution, 2011).

4. Patofisiologi

Proses autoimun dalam pathogenesis reumatik masih belum tuntas diketahui,

dan teorinya masih berkembang terus. Dikatakan terjadinya berbagai peran yang

saling terkait, antara lain peran genetic, infeksi, autoantibody serta peran imunitas

selular, humoral, peran sitokin, dan berbagai mediator keradangan. Semua peran satu

sama yang lainnya terkait dan menyebabkan keradangan pada sinovium dan

kerusakan sendi atau oragan lainnya. Berbagai sitokin berperan dalam proses

keradangan yaitu TNF , IL- 1, yang terutama dihasilkan oleh monosit atau makrofag

menyebabkan stimulasi dari sel mesenzim seperti sel fibroblast sinovium, osteoklas,
kondrosit serta merangsang pengeluaran enzim penghancuran jaringan ( Putra dkk,

2013).

Proses keradangan karena proses autorium pada reumatik ditunjuan dari

pemerisaan laboratorium dengan adanya RF ( Reumatoid Faktor ) dan anti – CPP

dalam darah. RF adalah antibody terhadap komponen Fc dari IgC. Sel B, sel T dan

sitoin pro inflamasi berperan penting dalam patofisiologi reumatik. Hal ini terjadi

karena hasil diferensiasi dari sel T merangsang pembentukan IL-17, yaitu sitokin

yang merangsang terjadinya sinovitis. Sinovitis adalah peradangan pada membrane

sinoial, jaringan yang melapisi dan melindungi sendi. Kerusakan sendi diawali

dengan reaksi inflamasi dan pembentukan pembuluh darah baru pada membrane

inoval. Kejadian tersebut menyebabkan terbentuknya pannus, yaitu jaringan

granulasi yang terdiri dari sel fibrolus yang berproliferansi, mirovaskular dan

berbagai jenis sel radang. Pannus tersebut dapat mendestrusi tulang, melalui enzim

yang dibentuk oleh sinoviosit dan kondrosit yang menyerang kartilago.

Pada keadaan awal terjadinya kerusakan mikroaskular, edema pada jaringan

dibawah sinovium, poliferansi ringan dan synovial, infiltrasi PMN, dan penyumbatan

pembuluh darah oleh sel-sel radang dan thrombus. Pada reumatik yang secara klinis

sudah jelas, secara makros akan terlihat sinovium sangat edema dan menonjol ke

ruang sendi dengan pembentukan vili. Secara micros terlihat hyperplasia dan

hipertropi sel sinovia dan terlihat kumpulan residual bodies. Terlihat perubahan

pembuluh darah fokal atau segmental berupa distensi vena, penyumbatan kapiler,

daerah thrombosis dan pendarahan periaskuler. Pada reumatik kronis terjadi

kerusakan menyeluruh dari tulang rawan, ligament, tendon dan tulang. Kerusakan ini

akibat dua efek yaitu kehancuran oleh cairan sendi yang mengandung zat penghancur
dan akibat jaringan granulasi serta dipercepat karena adanya pannus ( Putra dkk,

2013).

5. Penatalaksanaan

a. Tindakan Farmakologis

Dengan pemberian analgesik. Disini analgesik dibagi menjadi 3 macam, yaitu :

- Analgesik non opioid dan obat anti inflamasi non steroid

- Analgesik opioid

- Obat tambahan (ajuvan) atau koanalgesik

b. Tindakan Non Farmakologis

1. Diet

Untuk menurunkan berat badan pasien Rematik yang gemuk harus menjadi

program utama pengobatan Rematik. Penurunan berat badan seringkali dapat

mengurangi timbulnya keluhan dan peradangan.

2. Perlindungan sendi Rematik

Mungkin timbul atau diperkuat karena mekanisme tubuh yang kurang baik.

Perlu dihindari aktivitas yang berlebihan pada sendi yang sakit. Pemakaian

tongkat, alat-alat listrik yang dapat memperingan kerja sendi juga perlu

diperhatikan. Beban pada lutut berlebihan karena kaki yang tertekuk

(pronatio).

3. Dukungan psikososial

Dukungan psikososial diperlukan pasien Rematik oleh karena sifatnya yang

menahun dan ketidakmampuannya yang ditimbulkannya. Disatu pihak pasien

ingin menyembunyikan ketidakmampuannya, dipihak lain dia ingin orang lain

turut memikirkan penyakitnya.

4. Fisioterapi dengan pemakaian panas dingin, serta program latihan yang tepat.
5. Kompres air hangat

Menurut Tri Sulistyarini, Dkk. (2017), dikutip dalam Potter & Perry (2005),

efek dari pemberian kompres air hangat adalah :

- Dapat meningkatkan aliran darah keseluruh tubuh yang mengalami cidera,

dan mengurangi kongesti vena di dalam jaringan yang mengalami cidera

- Meningkatkan relaksasi otot dan mengurangi rasa nyeri akibat spasme atau

kekakuan

- Metabolisme jaringan dapat meningkat dan memberi rasa hangat local.

6. Mekanisme Terapi Kompres Hangat terhadap Arthritis Reumatoid

Pemberian kompres air hangat adalah intervensi keperawatan yang sudah lama

di aplikasikan oleh perawat, kompres air hangat dianjurkan untuk menurunkan nyeri

karena dapat meredakan nyeri, meningkatkan relaksasi otot, meningkatkan sirkulasi,

meningkatkan relaksasi psikologis, dan memberi rasa nyaman, bekerja sebagai

counteriritan (Koizier & Erb, 2009). Pada tahap fisiologis kompres hangat

menurunkan nyeri lewat transmisi dimana sensasi hangat pada pemberian kompres

dapat menghambat pengeluaran mediator inflamasi seperti sitokinin pro inflamasi,

kemokin, yang dapat menurunkan sensitivitas nosiseptor yang akan meningkatkan

rasa ambang pada rasa nyeri sehingga terjadilah penurunan nyeri.

Prosedur Kompres Hangat

Menurut Sriyanti (2016), langkah-langkah pemberian terapi kompres hangat adalah

sebagai berikut:

a. Persiapan alat dan bahan

- Botol atau kain yang dapat menyerap air

- Air hangat dengan suhu 40 oC

b. Tahap kerja
- Cuci tangan

- Jelaskan pada klien prosedur yang akan dilakukan

- Ukur suhu air dengan thermometer

- Isi botol dengan air hangat, kemudian dikeringkandan dibungkus / lapisi

botol dengan kain ataau menggunakan WWZ (Warm Water Zak)

- Bila menggunakan WWZ (Warm Water Zak) isin WWZ dengan air hangat

kemudian tempelkan pada aera yang nyeri

- Bila menggunakan kain, masukkan kain pada air hangat, lalu diperas

- Tempatkan botol berisi air hangat atau kain yang sudah diperas pada daerah

yang akan dikompres

- Angkat botol atau kain setelah 15-20 menit, dan lakukan kompres ulang jika

nyeri belum teratasi

- Kaji perubahan yang terjadi selama kompres dilakukan


BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

Tanggal Pengkajian : Rabu, 02-12-2020

I. Karakteristik Demografi

1. Identitas Klien

Nama : Ny. D

Tempat/tanggal lahir : Kuningan, 12-10-1960

Jenis kelamin :P

Status perkawinan : Cerai Mati

Agama : Islam

Suku : Sunda

Pendidikan terakhir : SD

Pekerjaan : Tidak Bekerja

Alamat rumah : Desa Cimahi

Diagnosa medis : Reumathoid Arthritis

2. Keluarga atau orang lain yang penting yang dapat dihubungi

(Penanggung jawab) Nama : Ny. S

Alamat : Desa Cimahi

Nomor telepon : 085211945035

Hubungan dengan klien : Anak

3. Riwayat keluarga

Genogram :
= laki-laki

= perempuan

4. Riwayat pekerjaan dan status ekonomi

Pekerjaan saat ini : Tidak bekerja

Pekerjaan sebelumnya : Pedagang

Sumber pendapatan : Diberi oleh anak

Kecukupan pendapatan : Cukup

5. Aktivitas rekreasi

Hobi : Memasak

Bepergian/wisata :

kadang-kadang

Keanggotaan

organisasi : Tidak Ada

Lain-lain :-

II. Pola Kebiasaan Sehari-hari

1. Persepsi lansia terhadap sehat sakit : Klien mengatakan ketika merasa sakit bahwa

sakitnya itu merupakan ujian/musibah.

2. Nutrisi

Frekuensi makan : 2x sehari

Nafsu makan : Baik


Jenis makanan : Nasi, sayuran, daging, dll.

Kebiasaan sebelum makan : Klien Mengatakan suka meminum

kopi tetapi jarang

Makanan yang tidak disukai : Jengkol dan petai

Alergi makanan : Ikan

Pantangan makanan : Tidak Ada

Keluhan yang berhubungan dengan makan : setelah makan kangkung, kakinya

akan terasa sakit

3. Eliminasi

Buang air kecil (BAK)

Frekuensi dan waktu

: 5-6x sehari

Kebiasaan BAK pada malam hari : Tidak Ada

Keluhan yang berhubungan dengan BAK : Tidak Ada

Buang air besar (BAB)

Frekuensi dan waktu : 1x sehari

Konsistensi : Lembek

Keluhan yang berhubungan dengan BAB : Tidak Ada

Pengalaman memakai laksatif/pencahar : Tidak Ada

4. Personal Hyigene

Mandi Frekuensi : 2x sehari

Waktu : 15 menit

Pemakaian sabun : Ya

Oral Higiene

Frekuensi dan waktu sikat gigi : 2x sehari


Menggunakan pasta gigi : Ya

Cuci rambut

Frekuensi : 2 hari sekali

Penggunaan shampo : Ya

Kuku dan tangan

Frekuensi gunting kuku : 1 minggu sekali

Kebiasaan mencuci tangan pakai sabun : Ya

5. Istirahat dan tidur

Lama tidur malam : 8 jam

Terbangun tidur malam (berapa kali) : Tidak

Tidur siang : Ya

Keluhan yang berhubungan dengan tidur : Tidak Ada

6. Kebiasaan mengisi waktu luang

Olahraga : Jarang

Nonton TV : Ya

Berkebun/memasak : Memasak

Lain-lain :-

7. Kebiasaan yang mempengaruhi kesehatan

(Jenis/frekuensi/jumlah/lama pemakaian) Merokok (Ya/Tidak) :

Tidak

Berapa banyak :-

Minuman keras (Ya/Tidak) : Tidak

Ketergantungan obat (Ya/Tidak) : Ya

Lain-lain :-

8. Kronologis kegiatan sehari-hari


No Jenis kegiatan Lama waktu kegiatan
1 Shalat subuh 15 menit
2 Sarapan 30 menit
3 Bersih-bersih rumah 1 jam
4 Mandi 15 menit
5 Mengasuh cucu 2 jam
6 Nonton tv 1 jam
7 Tidur siang 30 menit
8 Mengasuh cucu didepan rumah 3 jam

III. Status Kesehatan

1. Status kesehatan saat ini

a. Keluhan utama : Klien mengatakan nyeri pada kaki dibagian

lututnya, nyeri hilang timbul, skala nyeri 6, klien tampak menyeringai ketika

kaki terasa sakit

b. Gejala yang dirasakan : Klien mengatakan susah untuk digerakan

c. Faktor pencetus : Klien mengatakan karena faktor usia dan nyeri

dirasa sakit sekali setelah makan kangkung

d. Timbul keluhan secara : (Mendadak)

e. Waktu mulai timbulnya keluhan : Klien mengatakan timbulnya keluhan

sekitar 15 menit

f. Upaya lansia mengatasi/meringankan penyakitnya : Klien mengatakan selalu

minum obat

2. Riwayat kesehatan masa lalu

a. Penyakit yang pernah diderita : Klien mengatakan dulu mengalami cacar air

b. Mulainya kapan : Agustus-september

c. Pengobatan dan tindakan medis : Klien mengatakan ketika mengalami cacar

air dirawat inap di Rumah Sakit

d. Riwayat alergi (obat, makanan, binatang, debu, dll) : Tidak Ada

e. Riwayat kecelakaan : Tidak Ada


f. Riwayat dirawat dirumah sakit : Pernah

g. Riwayat pemakaian obat

Obat yang sekarang diminum : Dexamethasone 0,75mg, piroxicam 10mg,

gratheos 50mg

3. Pemeriksaan fisik

a. Keadaan umum

Tanda-tanda vital : 120/80 mmHg

Nadi : 80x/m

RR : 19x/m

Suhu : 37 oC

Kesadaran : Composmentis

Tinggi badan : 150 cm

Berat badan : 60 kg

b. Kepala

Rambut : Hitam dan putih

Mata : Simetris, Sklera putih, konjungtiva an anemis

Hidung : Simetris, tidak ada kelainan

Mulut/tenggorokan : Mulut bersih, simetris

Telinga : Simetris

Leher : Tidak Ada pembengkakan kelenjar tiroid

c. Dada/Thoraks

Dada : Tidak ada kelainan

Paru-paru : Klien tidak mengalami batuk, sesak nafas, tidak ada

bunyi nafas tambahan

Jantung : Klien tidak mengalami nyeri dada, sesak nafas


d. Abdomen : Tidak terdapat nyeri tekan, bentuk simteris

e. Muskuloskeletal (tingkat mobilisasi, paralisis,kifosis, ROM)

Nyeri pada kaki kiri bagian lutut, susah untuk digerakan, kaki tidak bisa

melipat ketika shalat

f. Neurologis : Klien kadang-kadang merasa kesemutan pada kaki

g. Kulit : Warna kulit sawo matang

h. Ekstremitas atas : Tidak ada kelainan

i. Ekstremitas bawah : Tampak tidak simeteris ekstremitas bawah sinistra

IV. Lingkungan Tempat Tinggal

a. Kebersihan dan kerapian ruangan : Kebersihan ruangan baik

b. Penerangan : Penerangan cukup

c. Sirkulasi udara : Sirkulasi udara baik

d. Keadaan kamar mandi dan WC : Bersih dan layak

e. Pembuangan air kotor : Selokan/got

f. Sumber air minum : Air Sumur

g. Jarak sumber air dengan kamar mandi : Dekat

h. Pembuangan sampah : Ada

i. Sumber pencemaran : Tidak Ada

j. Penataan halaman : Penataan halaman baik

V. Riwayat Psikologis

Apek Psikologis Lansia : Klien mengatakan merasakan cemas

akan sakitnya

Status Kognitif/Afektif/Sosial

a. Short Porteble Mental Status Questionnaire (SPMSQ) : 7 (kerusakan intelektual

sedang)
b. Mini-Mental State Exam (MMSE) : 27 (fungsi kognitif

global masih relatif baik)

VI. Aspek Spiritual/Kultural

Aspek spiritual/kultural lansia : Klien mengatakan sebisa mungkin

shalat jangan sampai tertinggal

VII. Riwayat Psikososial

Aspek psikososial lansia : Klien tampak akrab dengan tetangga

sekitar rumahnya

Pengukuran Indeks KATZ : A

VIII. Pemeriksaan Penunjang

a. Diagnosa medis : Reumathoid Arthritis

b. Laboratorium : - asam urat : 6,4

IX. Riwayat Terapi :

Obat yang saat ini diminum :

- Dexamethasone 0,75mg

- Piroxicam 10mg

- Gratheos 50mg

X. Analisa Data

No/tgl Data Etiologi Masalah


02-12- DS : Proses Inflamasi Nyeri Akut
2020 - Klien mengatakan nyeri
Hiperemi dan Pembengkakan
pada kaki dibagian

lututnya
Nekrosis Ruang Sendi
P : reumathoid arthritis

Q : tampak menyeringai
Nyeri Akut
ketika terasa sakit

R : kaki

S : skala nyeri 6

T : nyeri hilang timbul

DO :
- Asam urat : 6,4
- Tanda-tanda vital :
120/80 mmHg
- Nadi : 80x/m
- RR : 19x/m
- Suhu : 37 oC

DS : Proses Inflamasi Gangguan Mobilitas


Fisik
- Klien mengatakan susah
untuk digerakan Hiperemi dan Pembengkakan

DO :
Nekrosis Ruang Sendi
- Nyeri pada kaki kiri
bagian lutut
- Susah untuk digerakan
Erosi tulang dan kerusakan pada
- Kaki tidak bisa melipat
tulang rawan
ketika shalat

Nyeri

Gangguan mobilitas fisik


DS : Faktor usia Defisit pengetahuan
- Klien mengatakan tidak
Erosi tulang dan kerusakan pada
tahu faktor pencetus
tulang rawan

DO :
- Klien tampak Reumathoid arthtritis

kebingungan dan tidak

mengetahui apa yang Status Kesehatan menurun

menyebabkan dirinya

mengalami hipertensi Defisit pengetahuan (proses


penyakit)

B. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut

2. Gangguan mobilitas fisik

3. Defisit pengetahuan

C. Perencanaan
No Diagnosa Tujuan Tujuan Khusus Rencana Rasional
Umum
1. Nyeri Akut Nyeri akut Tingkat Nyeri (L.08066) Manajemen Nyeri
(D.007) dapat teratasi Setelah dilakukan (1.08238) Observasi
Definisi : setelah intervensi keperwatan Observasi - Membantu
Pengalaman dilakukan selama 1x24 jam maka - Identifikasi lokasi, dalam
sensorik atau tindakan nyeri akut membaik karakteristik,durasi, mengidentifikas
emosional yang keperawatan dengan kriteria hasil : kualitas,intensitas i derajat nyeri
berkaitan selama 3 kali - Keluhan nyeri nyeri - Mengetahui
dengan kunjungan - Identifikasi skala skala nyeri
membaik (5)
kerusakan rumah. nyeri - Untuk
jaringan aktual - Meringis membaik - Monitor mengevaluasi
atau fungsional, (5) keberhasilan terapi terapi
dengan onset - Sikap protektif komplementer yang komplementer
mendadak atau membaik (5) sudah diberikan yang sudah
lambat dan Terapeutik diberikan
berintensitas - Berikan teknik - Untuk
ringan atau nonfarmakologis mengurangi
berat yang untuk mengurangi nyeri akibat
berlangsung rasa nyeri rhematoid
kurang dari 3 (mis.kompres air arthritis
bulan. hangat) Terapeutik
Gejala dan Edukasi - Untuk
tanda mayor : - Jelaskan strategi mengurangi
Subjektif : meredakan nyeri intensitas nyeri
- Mengeluh (mis.kompres air Edukasi
nyeri hangat) - Agar strategi
Objektif : - Anjurkan teknik non yang digunakan
- Tampak farmakologis untuk benar
meringis mengurangi nyeri - Untuk
- Bersikap Kolaborasi mengurangi
protektif - Kolaborasi nyeri
pemberian analgetik, Kolaborasi
jika perlu - Untuk
mengurangi
rasa nyeri
secara
farmakologi
2 Gangguan Gangguan Mobilitas fisik Dukungan mobilisasi Observasi
Mobilitas mobilitas (L.05042) (I.05173) - Untuk
Fisik fisik dapat Setelah dilakukan Observasi mengetahui
(D.0054) teratasi intervensi keperwatan - Identifikasi adanya bagian tubuh
Definisi : setelah selama 1x24 jam maka nyeri atau keluhan yang terasa
Keterbatasan dilakukan nyeri akut membaik fisik lainnya nyeri
dalam tindakan dengan kriteria hasil : - Identifikasi - Untuk
gerakan fisik keperawatan - Pergerakan ekstremitas toleransi fisik mengetahui
dari satu atau selama 3 kali meningkat (5) melakukan adanya
lebih kunjungan - Kaku Sendi Menurun pergerakan hambatan
ekstremitas rumah. (5) - Monitor kondisi pergerakan
secara - Gerakan terbatas umum selama - Untuk
mandiri menurun (5) melakukan mengetahui
Gejala dan mobilisasi status
tanda major Terapeutik kesehatan
Subjektif : - Libatkan keluarga Terapeutik
- Mengeluh untuk membantu - Agar
sulit pasien dalam mengetahui
menggerakan meningkatkan perkembangan
ekstremitas pergerakan status
Gejala dan Edukasi kesehatan
tanda minor - Jelaskan tujuan dan Edukasi
Subjektif : prosedur mobilisasi - Agar informasi
- Nyeri saat - Anjurkan yang akan
bergerak mobilisasi diberikan
Objektif : sederhana yang mudah
- Sendi kaku harus dilakukan dipahami
- Gerakan (mis.pindah dari - Agar sendi
terbatas tempat tidur ke tidak kaku
kursi)
3 Defisit Defisit Tingkat pengetahuan Edukasi proses Observasi
Pengetahuan pengetahuan penyakit (L.12444) - Agar informasi
(L.12111)
(D.0111) dapat teratasi Observasi yang akan
Setelah dilakukan
Definisi : setelah - Identifikasi kesiapan diberikan
Ketiadaan dilakukan intervensi selama 1 x dan kemampuan dipahami
atau tindakan menerima informasi dengan baik
kunjungan klien mampu :
kurangnya keperawatan Terapeutik Terapeutik
- Perilaku sesuai anjuran
informasi selama 3 kali - Sediakan materi dan - Untuk
kognitif yang kunjungan meningkat (5) media penkes memudahkan
berkaitan rumah - Jadwalkan penkes penyampaian
- Kemampuan
dengan topik sesuai kesepakatan informasi
tertentu. menjelaskan - Berikan kesempatan - Agar
Gejala dan untuk bertanya penyampaian
pengetahuan tentang
tanda major Edukasi penkes sesuai
suatu topik meningkat
Subjektif : - Jelaskan penyebab dengan rencana
- Menanyakan (5) dan faktor resiko - Agar klien benar
masalah yang penyakit paham dengan
- Perilaku sesuai dengan
dihadapi - Jelaskan tanda dan informasi yang
pengetahuan meningkat
Objektif : gejala yang diberikan
- Menunjukan (5) ditimbukan oleh
perilaku tidak penyakit
sesuai - Jelaskan
anjuran kemungkinan
Gejala dan terjadinya
tanda minor komplikasi
Subjektif :
Objektif :

DAFTAR PUSTAKA

Alimul,Azis.2008 Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia : Aplikasi Konsep dan Proses


Keperawatan, Jakarta:EGC

Aru.w.dkk. 2006 Buku Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Suratum SKM, 2008 Seri Asuhan
Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: EGC Tamsuri,
Anas. 2007 Konsep dan Penatalaksaan Nyeri, Jakarta : EGC

Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC PPNI. 2019 Persatuan Perawat
Nasional Indonesia, Jakarta
Fera Bawarodi. 2017 Faktor-faktor yang berhubungan dengan kekambuhan penyakit
rematik di wilayah Puskesmas Beo Kabupaten Talaud.
http://www.stikesicsada.ac.id/cgisys/suspendedpage.cgi di akses pada tanggal 2 juni
pukul 10.30 wib.

Hapsari Putri Hanum, 2014 Pengaruh Pemberian Jahe Merah Terhadap Kadar Kolesterol
LDL Wanita Dislipidemia. Diponegoro: Universitas Kedokteran Diponegoro
Havard. 2009 Pengaruh Senam Rematik Untuk Mengurangi Intensitas Nyeri.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Kozier, dkk. 2009. Buku Ajar Keperawatan Klinis, Jakarta: EGC.

Kusyati, Eni. 2006 Keterampilan Dan Prosedur Laboratorimu : Keperawatan


Dasar.Jakarta. : EGC

Maryam, Siti. R.dkk. 2008 Mengenal usia lanjut dan perawatannya . Jakarta : Salemba
Medika.

Misnadiarly, 2007 Rematik (RadangSendi) Jakarta :PustakaOborPopuler Potter,dkk. 2005

Noer, Sarwono. 2012. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 (Edisi Ketiga).

Sulistyarini, T. Sari, H. P. Ika Dewi, dan Kurnia, E. 2017. Kompres Hangat dan Senam
Lansia. Dalam Menurunkan Nyeri Sendi Lansia. Editor Adji Media Nusantara.
Cetakan 2. Nganjuk: Penerbit Adji Media Nusantara.

Sunaryo,M. Kes, dkk. 2016 Asuhan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Andi.


Ferawati.2017efektifitaskomprejahedankompresseraiterhadappenurunanintensitaspe
nurunannyeri arthritis remathoid. http://www.stikesicsada.ac.id/cgi-
sys/suspendedpage.cgi di akses pada tanggal 2 juni pukul 09.30 wib.

World Health Organization, 2016. Data Reumatik, Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai