Anda di halaman 1dari 10

Analisis Yuridis Pemasungan Orang Yang Dianggap Gila Dari Pihak

Keluarga

(Studi Kasus Pemasugan Massal Di Kota Semarang)

SKRIPSI

Oleh :
Fhaldyo Mawira Aruna
(201710110311433)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG


FAKULTAS HUKUM
2020
Latar Belakang

Orang yang dianggap gila atau yang biasa disebut ODGJ (Orang Dengan
Gangguan Jiwa) adalah istiah resmi bagi penyandang gangguan jiwa berdasarkan
Undang Undang kesehatan jiwa nomor 18 tahun 2014 di Indonesia. ODGJ adalah
kodisi dimana proses fisiologik atau mentalnya kurang berfungsi dengan baik
sehingga dapat mengganggu fungsi sehari-hari. Gangguan ini sering disebut dengan
gangguan psikiatri atau gangguan mental. Gangguan jiwa yang dialami oleh
seseorang bisa memiliki gejala yang bermacam-macam seperti perilaku menghindari
lingkungan, tidak mau berhubungan atau berbicara dengan orang lain, tidak mau
makan bahkan sampai mengamuk tanpa sebab yang jelas, ada yang memiliki gejala
diam saja hingga yang berbicara dengan tidak jelas, dan adapula yang dapat diajak
bicara namun tidak perhatian sama sekali terhadap lingkungannya.

Gangguan jiwa bukanlah hal yang mudah untuk ditentukan penyebabnya. Ada
banyak faktor yang saling berkaitan yang dapat menimbulkan gangguan jiwa pada
seseorang. Faktor kejiwaan, pola pikir, adanya gangguan pada otak, gangguan bicara,
pola asuh yang salah, tidak diterima dimasyarakat, serta adanya masalah dan
kegagalan dalam kehidupan yang memungkinkan menjadi faktor penyebab seseorang
mengalami gangguan jiwa.

Soal gangguan jiwa, Indonesia menjadi salah satu Negara yang terburuk dari
segi pencegahan maupun penangannya. Survei Global Healh Data Exchange tahun
2017 menunjukkan ada 27,3 juta orang di Indonesia mengalami masalah kejiwaan.
Hal ini berarti satu dari sepuluh orang di Indonesia mengidap gangguan kesehatan
jiwa. Indonesia sendiri menjadi Negara dengan jumlah pengidap gangguan jiwa
tertinggi di Asia Tenggara. Gangguan kejiwaan yang paling tinggi yakni gangguan
kecemasan dengan jumlah pengidapnya lebih dari 8,4 juta jiwa, selain itu ada sekitar
6,6 juta penduduk yang mengalami depresi dan 2,1 juta penduduk mengalami
gangguan perilaku. Data Riset Kesehatan Dasar Kementrian Kesehatan tahun 2013
menyebut bahwa prevalensi gangguan jiwa berat seperti skozofrenia mencapai 1,2 per
seribu orang penduduk yang artinya ada 1-2 orang menderita skizofrenia setiap 1000
penduduk.

Terdapat macam-macam gangguan iwa yang dimiliki oleh penderita di dunia,


menurut Rusdi (dalam Lubis, Krisnani, & Fedryansyah) adapun macam-macam
gangguan jiwa yaitu, gangguan organik dan simtomatik, skizofrenia, gangguan
skizotipal, gangguan suasana perasaan, gangguan neurotik, gangguan somatofrom,
sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik,
ganggguan kepribadian dan perilaku, gangguan perkembangan psikologis, dan
gangguan emosional.

Penderita gangguan jiwa berat dapat pulih dan kembali kemasyarakat, dapat
bekerja dan hidup normal sebagaimana masyarakat pada umumnya. Namun, proses
pemulihan tersebut tidak selalu berjalan mulus dan lancar seperti yang diharapkan.
Proses pemulihan yang baik memerlukan dukungan dari berbagai pihak terutama
keluarga atau orang terdekat, tenaga kesehatan, teman-teman dan masyarakat sekitar.
Pada saat ini sebagian besar penderita gangguan jiwa tidak mendapat dukungan yang
memadai. Para pederitanya hanya kontrol ke dokter ahli jiwa dan pemulihannya
hanya ditangani keluarganya.

Menurut survei Kementrian Sosial pada tahun 2008 ada sekitar 650 ribu
penderita gangguan jiwa berat di Indonesia. Sedikitnya 30 ribu penderita dipasung
dengan alasan agar penderita tidak membahayakan orang lain. Definisi pasung dalam
penelitian ini memiliki artian yakni beragam bentuk pengekangan fisik dan
pembatasan dari seseorang yang menderita gangguan jiwa oleh keluarganya dalam
berbagai macam benuk seperti pasung dikayu, dirantai, dikandang, dikunci dalam
kamar dan juga bentuk pengekangan atau pembatasan fisik lainnya. Memasung
merupakan tindakan melanggar hukum. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor
23 tahu \n 1966 tentang Kesehatan Jiwa. Surat Menteri Dalam negeri 11 November
1977 juga memerintahkan semua kepala daerah agar melarang warganya memasung
penderita gangguan jiwa.
Pemerintah Indonesia sendiri telah mengupayakan pembebasan pasung dalam
rilis program “Indonesia Bebas Pasung 2014” yang telah dijalankan sejak tahun 2010.
Namun kenyatannya di lapangan, program Indonesia Bebas Pasung 2014 yang
dilakukan pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan sejak 2010 terbukti
belum membuahkan hasil dan masih harus diperpanjang. Adanya target penyelesaian
Indonesia Bebas Pasung yang diperpanjang ini merupakan implikasi bahwa banyak
pemerintah daerah yang belum menyanggupi mengingat begitu kompleks
permasalahan yang ditemui di lapangan. Pemerintah provinsi Jawa Tengah sendiri
mengalokasikan dana khusus untuk pengentasan pemasungan dan tertuang dalam
Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pencegahan
dan Penanggulangan Penyakit di Provinsi Jawa Tengah dengan detail poin ke-10
mengenai “Bebas Pasung” (Peraturan Gubernur Jawa Tengah, 2014). Secara
komprehensif, peraturan ini membahas upaya monitoring rehabilitasi sosial, yaitu
memulihkan fungsi kehidupan sosial di masyarakat bagi penyakit yang rentan dengan
stigma dan diskriminasi di masyarakat, serta rehabilitasi mental atau psikologis yakni
memulihkan kondisi kejiwaan dan harga diri penderita pasca pengobatan atau masih
dalam proses pengobatan namun sudah dapat kembali di tengah keluarga dan
masyarakat (Peraturan Gubernur Jawa Tengah, 2014).

Hasil studi Wijayanti dan Rahmandani (dalam (Wijayanti & Masykur, 2016)
menunjukkan bahwa persebaran pasien eks pasung dari Provinsi Jawa Tengah
sepanjang tahun 2011-2015 yang kemudian dirawat di RSJ dr. Soerojo Magelang
berjumlah 260 kasus dan terbanyak berasal dari Kabupaten Kebumen yaitu 71 kasus,
menyusul Purbalingga sebanyak 35 kasus, Cilacap dan Magelang masing-masing 33
kasus. Dari 260 kasus tersebut, ada 161 berjenis kelamin laki-laki dan 99 perempuan.
Lebih dari 57,69% pasien eks pasien tidak bekerja sebelumnya dan sebanyak 46,1%
tidak mengenyam pendidikan. Data yang paling menggambarkan diagnosis pasien
adalah 96% skizofrenia (dengan tipe beragam) dan sisanya mengidap psikotik akut
dan gangguan mental.
Kebijakan hukum pidana dapat di artikan dengan cara bertindak atau
kebijakan dari Negara untuk menggunakan hukum pidana dalam mencapai tujuan
terntentu, terutama dalam menanggulangi kejahatan. Pemasungan sendiri termasuk
tindak pidana karena merupakan tindakan perampasan kemerdekaan. Pasal 333
KUHP tentang perampasan kemerdekaan dan Undang-Udang No. 18 Tahun 2014
Tentang kesehatan jiwa. Pemasungan terhadap ODGJ merupakan tindakan yang
berntentangan dengan hak asasi manusia. Tindakan Pemasungan merupakan gejala
yang umun di temukan di Negara berkembang seperti Indonesia. Ketiadaan atura
hukum, rendahnya tingkat pendidikan, keterbatasanya pemahaman terhadap gejala
gangguan jiwa serta keterbtasan ekonomi merupakan faktor yang mendeterminasi
munculnya kejadian pasung. Pemasungan sendiri merupakan hal yang tidak
manusiawi dan melanggar beberapa Undang-Undang bahkan secara hati nurani pun
tidak dapat dibenarkan, bahwasannya ada beberapa faktor umum yang membuat
seseorang mengalami gangguan jiwa diantaranya :

1. Faktor ekonomi, yang biasanya terjadi karena adanya kesulitan dalam


perekonomian keluarga maupun diri sendiri
2. Faktor budaya, dengan adanya aturan-aturan dalam masyarakat yang tidak
sesuai dengan pola pikirnya
3. Faktor keturunan, hal ini berawal dari adanya faktor genetic dari keluarganya
yang akan menjadi pemicu terbentuknya gangguan jiwa
4. Faktor keluarga, yakni adanya gangguan jiwa berat seperti penyandang
skizofrenia semakin mendapatkan perhatian berbagai pihak, terutama
menyangkut permasalahan pemenuhan atas kesehatan diamanatkan Konstitusi
Indonesia bahwa setiap orang hidup sejahtera lahir dan batin serta
memperoleh layanan kesehatan

Orang-orang yang dipasung akan mengalami keterbatasan ruang untuk bergerak


dan akan kesulitan untuk mendapat akses informasi, akses pendidikan atau akses
kesehatan. Dibeberapa masyarakat pedesaan pemasungan ini dilakukan terhadap
orang yang memiliki gangguan kejiwaan atau mental sehingga pemasungan ini
merupakan salah satu cara untuk mengendalikan orang yang mengalami gangguan
jiwa. Pengamat hukum pidana Mudzakir mengatakan bahwa “sebagian besar perilaku
tindakan pemasungan adalah keluarganya sendiri atau paling tidak kerabat terdekat
dari korban”.1

Pemenuhan hak atas kesehatan bagi penyandang skizofrenia memiliki kaitan erat
dengan kewajiban hak asasi manusia. Dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia adalah hak yang melengkat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupan AnugerahNya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah
dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.2

Pasal 9 Undang-Undang 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan


bahwa (1) setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan
meningkatkan taraf kehidupannya ; (2) setiap orang berhak hidup tentram, aman,
damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin ; (3) sertiap orang berhak atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat. Pemasungan terhadap ODGJ merupakan tindakan yang
melanggar HAM.

Gangguan jiwa merupakan sebuah penyakit yang menyebakan perubahan pada


fungsi jiwa yang terjadi pada siapa saja. Selain dari pengaturan hak asasi manusia ada
beberapa pengaturan Undang-Undang yang mengatur tentang pemasungan orang
yang mengalami gangguan jiwa diantaranya :

1. Pasal 28G ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) “Setiap orang
berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat
martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.”
2. Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak
1
Mudzakkir, Diskusi Refleksi 2015 dan Outlook Kebijakan dan Manajemen Kesehatan 2016,
http.//kebijakankesehatanindonesia.net/pengukuhan/2649/UU/kesa/pelakupemasungan/jangandipi
dana.html,diakses.pada.tanggal.15 maret 2020
2
Darji Darmodihardjo, Santiaji Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 2009), hlm 77-79
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”
3. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
(“UU HAM”) (1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup
dan meningkatkan taraf kehidupannya (2) Setiap orang berhak hidup
tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin (3) Setiap orang
berhak ataslingkungan hidup yang baik dan sehat Dari bunyi pasal-pasal di
atas jelas kiranya diketahui bahwa hak untuk hidup bebas merupakan hak
asasi manusia. Selain itu, bagi penderita cacat mental, diatur hak-haknya
dalam Pasal 42 UU HAM yang berbunyi: “Setiap warga negara yang berusia
lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan,
pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin
kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan
rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
4. Undang-undang No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan, pada bab IX diatur
khusus tentang kesehatan jiwa, diantaranya :
a) Pasal 147 ayat (1) menyebutkan bahwa : “Upaya penyembuhan penderita
gangguan jiwa merupakan tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah
dan masyarakat”.
b) Pasal 148 ayat (1) menyebutkan bahwa : “Penderita gangguan jiwa
mempunyai hak yang sama sebagai warga negara”.
c) Pasal 149 ayat (1) menyebutkan bahwa : “Penderita gangguan jiwa yang
dapat mengganggu ketertiban wajib mendapat pengobatan dan perawatan
difasilitas pelayanan kesehatan”.
d) Pasal 149 ayat 2 menyebutkan bahwa : “Pemerintah, pemerintah daerah
dan masyarakat wajib melakukan pengobatan dan perawatan difasilitas
pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa yang terlantar,
menggelandang, mengancam keselamatan dirinya atau orang lain, dan/atau
mengganggu ketertiban umum”.
5. Undang-Undang No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa Pasal 86
dinyatakan bahwa: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan
pemasungan, penelantaran, kekerasan dan/atau menyuruh orang lain untuk
melakukan pemasungan, penelantaran,dan/atau kekerasan terhadap ODMK
dan ODGJ atau tindakan lainnya yang melanggar hak asasi ODMK dan
ODGJ, dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”

Melihat dari peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan diatas, maka


pola pikir yang tercipta yakni penderita gangguan jiwa dikategorikan sebagai
penyandang disabilitas moral. Orang yang mengalami gangguan jiwa/disabilitas
mental tetap memiliki hak yang sama seperti manusia normal lainnya sepanjang
undang-undang tidak membatasinya. Pemasungan tidak diatur secara khusus dalam
KUHP, namun tindakan pemasungan dapat dikategorikan sebagai tindakan
perampasam kemerdekaan. Pasal 333 KUHP tentang perampasan kemerdekaan, yang
berbunyi :

1. “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan


seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam
dengan pidana penjara paling lama delapan tahun”.

2. “Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat maa yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.

3. “Jika mengakibatkan mati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun”.

4. “Pidana yang ditentukan dalam Pasal ini diterapkan juga bagi orang yang dengan
sengaja dan melawan hukum memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan”.

Berdasarkan Pasal diatas, perampasan kemerdekaan merupakan suatu tindakan


yang dapat dikenai pidana dan sanksi. Tindakan pemasungan terhadap penderita
gangguan jiwa dapat dikategorikan sebagai tindakan perampasan kemerdekaan, maka
seseorang yang melakukan pemasungan berarti sudah melakukan tindak
pidana/kejahatan

Pada intinya, dampak tindakan pemasungan yaitu si korban akan mengalami


keterbatasan ruang gerak seperti manusia normal pada umumnya dan secara otomatis
hak-hak yang telah disebutkan diatas dan hak lainnya tidak akan ia peroleh akibat dari
tindakan pemasungan yang dilakukan.

Rumusan Masalah

1. Apa faktor-faktor yang melatarbelakangi pemasungan yang dilakukan oleh


keluarga terhadap ODGJ?
2. Bagaimana tinjauan hukum positif tentang pemasungan kepada ODGJ?
3. Bagaimana tunjauan pemasungan ODGJ berdasarkan kajian Hak Asasi Manusia?
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penderita Gangguan Jiwa


B. Tindakan Pemasungan Terhadap Penderita Gangguan Jiwa
C. Dampak Tindakan Pemasungan
D. Tinjauan Hukum Korban Pemasungan Terhadap Gangguan Jiwa Mengenai Hak
Asasi Manusia
E.Kebijakan Hukum Pidana Pelaku Pemasungan Terhadap Penderita Gangguan Jiwa
F. Perlindungan Hukum Terhadap Penderita Gangguan Jiwa Yang Dilakukan
Pemasungan

Anda mungkin juga menyukai