PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seperti yang sudah diketahui, demi untuk terlaksananya kepentingan
pemeriksaan tindak pidana, Undang-Undang memberikan kewenangan kepada
penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa
penangkapan, penahanan, penyitaan dan sebagainya. Seorang aparat sebagai
penegak hukum dalam melaksanakan kewajibannya tidak terlepas dari
kemungkinan untuk berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan Undang-Undang
yang berlaku, sehingga perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk
pemeriksaan demi terciptanya ketertiban dan keadilan masyarakat justru
mengakibatkan kerugian bagi tersangka, keluarga tersangka, atau pihak ketiga
yang berkepentingan. Oleh karena itu, untuk menjamin perlindungan hak asasi
manusia dan agar aparatur negara menjalankan tugasnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, maka KUHAP mengatur sebuah lembaga yang
dinamakan praperadilan.
2
ketidakpastian hukum akan terus terjadi, karena dalam jangka panjang masih
mungkin ada suatu tindak pidana yang berada dalam dua yurisdiksi peradilan.
Hal ini disebabkan oleh diabaikannya prinsip pembedaan penempatan satuan
militer dan instalasi militer dari civilians dan civilian objects sesuai dengan
hokum humaniter.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan praperadilan?
2. Bagaimana praperadilan praktik?
3. Bagaimana praperadilan ganti rugi?
4. Bagaimana praperadilan rehab?
5. Apa yang dimaksud peradailan koneksitas?
6. Bagaimana penyidikan perkara koneksitas?
7. Bagaimana peradilan perkara koneksitas?
C. Tujuan penulisan
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Acara Pidana
2. Untuk mengetahui tentang praperadilan
3. Untuk mengentahui peradilan koneksitas
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Praperadilan
Praperadilan merupakan hal baru dalam dunia peradilan Indonesia.
Praperadilan merupakan salah satu lembaga baru yang diperkenalkan KUHAP di
tengah-tengah kehidupan penegakan hukum. Ditinjau dari segi struktur dan susunan
peradilan, Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri. Bukan juga
sebagai instansi tingkat peradilan yang mempunyai wewenang memberi putusan
akhir atas suatu kasus peristiwa pidana. Praperadilan hanya suatu lembaga baru
yang ciri dan eksistensinya:1
a. Berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri, dan
sebagai lembaga pengadilan, hanya dijumpai pada tingkat Pengadilan Negeri
sebagai satuan tugas yang tidak terpisah dari Pengadilan Negeri
b. Praperadilan bukan berada di luar atau di samping maupun sejajar dengan
Pengadilan Negeri, tetapi hanya merupakan divisi dari Pengadilan Negeri
c. Administratif yustisial, personil, peralatan, dan finansial bersatu dengan
Pengadilan Negeri, dan berada di bawah pimpinan serta pengawasan dan
pembinaan Ketua Pengadilan Negeri
d. Tata laksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi yustisial
Pengadilan Negeri itu sendiri
1
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), 1
4
Tugas praperadilan di Indonesia terbatas. Dalam pasal 78 yang berhubungan
dengan pasal 77 KUHAP dikatakan bahwa yang melaksanakan wewenang
pengadilan negeri memeriksa dan memutus sebagai berikut2
Dalam pasal 79, 80, 81 diperinci tugas praperadilan itu yang meliputi tiga hal
pokok, yaitu:3
2
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,2019), 189
3
Ibid., 190
5
di tengah masyarakat serta tidak melindungi hak asasi manusia, karena tidak membatasi
masa penahanan tersangka/ terdakwa.4
Kedudukan praperadilan
5
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang di Pengadila,
Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), 2
6
Kejaksaan dalam hukum pidana bertindak sebagai lembaga fungsional yang diberi
wewenang oleh Undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan
pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta
wewenang lain berdasarkan Undang-undang. Peran yang demikian menuntut seorang
jaksa tidak hanya menguasai disiplin hukum pidana, tetapi juga disiplin hukum perdata
dan tata usaha negara. Jaksa tidak hanya dituntut menguasai hukum positif yang bersifat
umum (lex generalis) tetapi juga yang bersifat khusus (lex specialis). Tugas dan
wewenang kejaksaan sudah diatur dalam UU No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP:6
1. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik
pembantu
2. Mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan dalam penyidikan dengan
memperhatikan pasal 110 ayat 3 dan 4, dengan memberi petunjuk dalam rangka
penyempurnaan penyidikan
3. Memberikan perpanjangan ke penahanan
4. Membuat surat dakwaan
5. Melimpahkan perkara ke pengadilan
6. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu
perkara disidangkan yang disertai surat panggilan
7. Melakukan penuntutan
8. Menutup perkara demi kepentingan hukum
9. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut
umum menurut undang-undang
10. Melaksanakan penetapan hakim
Hak-hak tersangka/ terdakwa secara garis besar diatur dalam KUHAP sebagaimana
terdapat dalam pasal 50-68. Hak-hak tersangka/ terdakwa diatur dalam KUHAP
merupakan salah satu keunggulan dibandingkan hukum acara yang lama (HIR). Pada
praktiknya praperadilan yang bertujuan untuk melindungi hak asasi tersangka sering
6
Djuanedi, "Tinjauan Yuridis Kedudukan Jaksa dan Surat Dakwaan Demi Tercapainya Nilai-nilai Keadilan", Jurnal
Pembaharuan Hukum, Vol.1 No. 1, (Januari-April, 2014), 86
7
kali di bypass atau dengan kata lain langsung masuk pada pemeriksaan dengan
penyidangan pokok perkara, sehingga menyebabkan permohonan praperadilan gugur
dengan sendirinya.7
2. Hak untuk mengajukan Eksepsi, yaitu perlawanan yang di ajukan oleh tersangka
atau penasehat hukumnya yang isinya menyatakan bahwa pengadilan negeri
tersebut tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut dan atau
terdakwa dimaksud telah pernah diperiksa atau diadili serta diputus oleh Pengadilan
Negeri dalam perkara yang sama.
3. Hak untuk menyangkal isi dakwaan dengan mengajukan alibinya, pada waktu
terjadinya tindak pidana terdakwa berada di tempat lain.
4. Hak untuk meminta kepada Majelis Hakim, untuk menghadirkan saksi-saksi yang
meringankan terdakwa.
6. Hak untuk mengajukan duplik yaitu pelawanan teakhir bagi terdakwa sebelum
hakim membacakan putusannya.
7. Hak untuk melakukan upaya hukum Banding tehadap putusan Pengadilan Negeri.
Polisi sebagai aparat penegak hukum yang diberi wewenang oleh peraturan
perundang-undangan seharusnya tidak melakukan perbuatan / tindakan kesewenang-
wenangan. Dalam hal ini aparat penegak hukum adalah Polisi Republik Indonesia
7
Dian Ekawaty dan Yowan Tamu, "Upaya Perlindungan Hak-hak Tersangka/Terdakwa Melalui Mekanisme
Praperadilan di Kota Gorontalo", Mimbar Hukum Volume 21, Nomer 1, (Februari, 2009), 86
8
Sonia Septiana,dkk , "Implementasi Hak Tersangka/Terdakwa Menurut Pasal 52 KUHAP pada Perkara Pidana
dalam Rangka Mencari Kebenaran Materiil", Jurnal Hukum Univ.Lampung, 2019, 7
8
(POLRI) sebagai penyidik, yaitu perilaku dan tindakan aparat penegak hukum (POLRI)
yang dalam melakukan proses pemeriksaan pendahuluan terhadap tersangka sering kali
menggunakan cara kekerasan dan penyiksaan. Padahal polisi sebagai aparat penegak
hukum wajib menghormati dan melindungi hak orang yang melakukan tindak pidana.9
Didalam KUHAP tidak dijelaskan secara detail dan KUHAP hanya membahas
mengenai upaya hukum banding atas penghentian penyidikan dan penuntutan yang
tidak sah. Sehingga dalam praktik, yang terjadi adalah pihak yang dirugikan
mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung.11
Menurut Seno Adji, kehadiran hakim pemeriksaan pendahuluan ini penting untuk
menangani upaya paksa (dwang-middelen), berupa penahanan, penyitaan,
penggeledahan badan, rumah, dan pemeriksaan surat-surat. Hakim ini, ditegaskannya,
merupakan pusat dari proses penyelidikan pidana dalam sistem hukum Eropa
Kontinental. Keberadaan hakim ini sebelumnya dikenal di Indonesia hanya untuk
hukum acara pidana bagi golongan Eropa, tetapi tidak bagi golongan pribumi. Namun
demikian, menurut Seno Adji mekanisme seperti ini bisa diterapkan dalam hukum acara
pidana yang akan datang.12
9
Bambang Tri Bawono, "Tinjauan Yuridis Hak-hak Tersangka dalam Pemeriksaan", Jurnal Hukum Vol XXVI, No. 2, (
Agustus, 2011), 555
10
Rocky Marbun, Kiat Jitu Menyelesaikan Kasus Hukum, (Jakarta: Transmedia Pustaka, 2011), 84
11
Ibid., 85
12
Lihat Oemar Seno Adji, Pembaharuan-pembaharuan dalam Kodifikasi Hukum Pidana dan Hukum Acaranya,
dalam Oemar Seno Adji, Hukum – Hakim Pidana, (Jakarta: Erlangga, 1984), hal. 87-88. Tulisan tersebut pertama kali
dipublikasikan oleh Seno Adji tahun 1976 dalam ”Singapore Meeting on Innovation in Criminal Justice”, 10
September 1976.
9
1. Dinamika praktik praperadilan
Untuk menyelami dan mendalami penggunaan mekanisme praperadilan serta
kecenderungannya di lapangan, maka perlu adanya penelitian. Berikut contoh kasus,
sedikitnya 80 putusan praperadilan terkait penangkapan dan penahanan.13
b. Penasihat Hukum
13
Supriyadi, dkk. Praperadilan di Indonesia: Teori, Sejarah, dan Praktiknya, ( Jakarta: Institute for Criminal Justice
Reform, 2014), 60
10
c. Alasan pengajuan praperadilan
Padahal, KUHAP telah menentukan, setiap upaya paksa yang masuk dalam
kewenangan praperadilan maupun tidak, masing-masing memiliki unsur-unsur
tersendiri dan mandiri, meskipun terkait satu sama lainnya. Tindakan
penangkapan misalnya, memiliki unsur-unsur tertentu yang harus dijelaskan
pemohon untuk menjadi dasar baginya dalam mengajukan praperadilan,
sebagaimana pula terhadap tindakan penahanan dan perpanjangan penahanan.14
12
40 permohonan yang menyinggung ancaman hukuman, hanya tujuh
permohonan yang mengelaborasinya dengan terperinci.15
15
Ibid., 65
13
unsur yuridis mengenai ancaman hukuman, selebihnya 26 putusan tidak
mempertimbangkan.
Mengenai unsur yuridis delik khusus yang ditentukan KUHP atau undang-
undang lainnya, dari 80 putusan, hanya 18 putusan yang mempertimbangkan
unsur ini. Selebihnya, sebanyak 62 putusan, tidak dipertimbangkan. Situasi di
PN Jaksel pun memperlihatkan gambaran yang sebaliknya, dari 34 putusan
hanya 7 yang mempertimbangkan unsur yuridis tersebut.
16
Ibid., 68
14
unsur kekhawatiran ini. Artinya sebagian besar hanya menyebutkan ketentuan
yuridis normatifnya, tanpa menjelaskan posisi kasusnya atau alasan yang
menguatkan unsur kekhawatiran dalam kasus bersangkutan. Dalam 42 perkara
lain, termohon sama sekali tidak menyinggung unsur kekhawatiran akan
melarikan diri.
15
m. Sikap hakim terhadap unsur kekhawatiran mengulangi tindak pidana
17
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), 8
16
2. Penuntut umum dan pihak ketiga yang berkepentingan
Menurut pasal 80, penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan, dapat
mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian
penyidikan. Mengenai pihak ketiga yang berkepentingan, tidak dijelaskan lebih
lanjut dalam undang-undang, dalam tindakan penghentian penyidikan. Secara umum,
pihak ketiga yang berkepentingan ialah saksi yang menjadi korban dalam peristiwa
pidana yang bersangkutan. Maka, saksi korbanlah yang berhak mengajukan
permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan ke
praperadilan. Karena adanya sistem ini, maka pengawasan atas pengentian
penyidikan bukan hanya berada di tangan penuntut umum saja, tetapi diperluas
jangkauannya kepada saksi.18
18
Ibid., 9
19
Ibid., 10
17
- penggeledehan atau penyitaan tanpa alasan yang sah, atau
- karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya
tidak diajukan ke sidang pengadilan.
Ganti rugi adalah hak seseorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya
berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili
tanpa adanya alasan yang sesuai dengan Undang-Undang atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam
Undang-Undang (pasal 1 butir 22 KUHAP).20
20
HMA Kuffal,Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum,(Malang:UMM Press,2008),281.
18
a) Karena terhadapnya dilakukan penangkapan, penahanan, penuntutan atau
peradilan tanpa alasan berdasrkan undang-undang atau;
21
Andi Sofyan,Hukum Acara Pidana:Suatu Pengantar,(Jakarta:Kencana,2014),200.
19
mengajukan permintaan/permohonan/penuntutan ganti kerugian (Pasal 81
KUHAP).
Ini terjadi jika ternyata hakim salah memberikan keputusan atau bisa
dikatakan sebagai kekeliruan mengenai hukum yang diterapkan. Contoh
terdakwa dituntut dam diadili dengan dakwaan penipuan, padahal sebenarnya
yang ia lakukan adalah wanprestasi dalam perjanjian hutang piutang, atas
dasar inilah terdakwah bisa mengajukan permohonan ganti rugi.22
1) Praperadilan
2) Pengadilan Negeri
24
Yahya Harahap,Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,(Jakarta:Sinar Grafika,2000),54-
55.
25
Yahya Harahap,55-57.
21
penghentian penyidikan atau penuntutan, kemudian setelah ada
penetapan pra-peradilan, juga dilakukan tuntutan ganti kerugian.
b) Tingkat Pemeriksaan Perkaranya Diajukan ke Pengadilan. Dalam pengajuan
tuntutan ganti kerugian apabila perkaranya sudah diajukan ke pengadilan
adalah sesuatu hal yang tidak menimbulkan permasalahan dalam tata cara
pengajuannya, apalagi jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1)
PP No. 217 tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP dan sekaligus
dikaitkan dengan ketentuan Pasal 95 ayat (3) dan (4) KUHAP.
26
Andi Sofyan,204-205.
27
Yahya Harahap, 59-60.
22
kepastian hukum. Maka jangka waktu mengajukan tuntutan kerugian diatur
dalam Peraturan Perintah (PP) No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan
KUHAP,di dalamnya telah diatur tentang pelaksanaan tuntutan ganti
kerugian,pada bab IV Pasal 7 sampai dengan Pasal 11.
b) Dalam hal tuntutan ganti kerugian tersebut diajukan terhadap perkara yang
dihentikan pada tingkat penyidikan atau tingkat penuntutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 huruf b KUHAP, maka jangka waktu 3 (tiga)
bulan, dihitung sejak pemberitahuan penetapan pra-peradilan.28
Sama hal nya dengan jangka waktu mengajukan tuntutan ganti rugi,
besarnya jumlah ganti rugi juga tidak diatur dalam Pasal 95 dan Pasal 96
KUHAP. Untuk itu besarnya jumlah ganti rugi diatur dalam Pasal 9 PP No. 27
tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, sebagai berikut;
Demikian pula dalam hal tata cara pembayaran ganti kerugian telah
diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Mo. 983/KMK.01/1983, tanggal
31 Desember 1983, sebagai Pelaksanaan Pasal 11 Peraturan Pemerintah No.
27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.29
28
Andi Sofyan,202.
29
Ibid.,203.
23
Praperadilan Rehabiltasi
1. Pengertian Rehabilitasi
30
Andi Hamzah,Hukum Acara Pidana Indonesia”,(Jakarta:Sinar Grafika,2019),206.
31
Andi Sofyan,208.
24
Pengajuan permohonan rehabilitasi menurut Pasal 97 ayat (1) KUHAP
berbunyi; “Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan
diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya
telah mempunyai kekuatan hukum tetap”. Jadi apabila perkaranya masih dalam
proses pemeriksaan dan putusannya belum mempunyai kekuatan hukum tetap,
maka permohonan rehabilitasi belum dapat diajukan ke pengadilan, kecuali
sebaliknya.
b. Akibat tidak sahnya penahanan atas diri seseorang tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang;
32
Ibid.,209.
33
Ibid.,210.
25
2) Menurut ketentuan Pasal 97 ayat (3) KUHAP dan Pasal 12 PP No. 27
Tahun 1983, maka yang berhak mengajukan permintaan rehabilitasi
adalah tersangka, keluarga tersangka, dan kuasanya.34
1) Praperadilan
2) Pengadilan Negeri
B. Peradilan Koneksitas
Menurut KUHAP karangan Karjadi dan Soesilo mengenai pasal 89 ayat (1),
yang tertuang dalam buku ini, “jiwa dari ayat (1) pasal 89 KUHAP ini senada dengan
pasal 4 Undang-undang No. 5 Tahun 1950 tentang Susunan dan Kekuasaan
Pengadilan/Kejaksaan Dalam Lingkungan Peradilan Kesetaraan. Seseorang dari
38
Andi Sofyan,211.
39
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), 210.
40
M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), 28.
28
lingkungan peradilan umum berbuat peristiwa pidana bersama-sama dengan orang
yang termasuk lingkungan peradilan militer, maka penyidikannya dilakukan oleh
suatu tim tetap yang terdiri dari penyidik pejabat polisi negara atau pejabat pegawai
negeri sipil dengan polisi militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan oditur
militer atau oditur militer tinggi sesuai dengan wewenang mereka masing-masing
yang dibentuk dengan surat keputusan bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan
dan Menteri Kehakiman. Adapun peradilannya pada umumnya dilakukan oleh
pengadilan dalm lingkungan peradilan umum, kecuali kalau dianggap perlu menurut
keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri
Kehakiman perkara itu diperiksa oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan
militer. Untuk menetapkan apakah pengadilan militer atau pengadilan umum yang
akan mengadilj perkara tersebut, diadakan penelitian bersama lebih dahulu oleh jaksa
tinggi dan oditur militer atau oditur militer tinggi, dan atas hasil penelitian inilah hal
itu ditetapkan.41
Penyidikan Koneksitas
Penyidikan perkara koneksitas diatur pada Pasal 89 ayat (2) dan ayat (3)
sebagai berikut;42
“Penyidik perkara pidana sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
oleh suatu tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagaiman dimaksud dalam pasal 6
dan polisi militer ABRI dan oditur militer atau oditur militer tinggi sesuai dengan
wewenang maasing-masing menurut hukum yang berlaku untuk penyidikan perkara
pidana.
Tim sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) dibentuk dengan surat keputusan
bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman.
41
M Karjadi dan R Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, (Bogor: Politeia, 1997), 81
42
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 154
43
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), 213
29
a. Penyidik sebagaiman dalam Pasal 6 KUHAP
b. Polisi Militer ABRI
c. Oditur militer atau oditur militer tinggi, oditur militer berwenang memeriksa
atau menyidik anggota Angkatan Bersenjata RI yang pangkatnya Kapten ke
bawah sedang oditur militer tinggi tinggi berwenang menyidik anggota ABRI
yang berpangkat Mayor ke atas. Itupun dengan surat Komandan (DAN) yang
berhak menghukum (Angkum).44
Tim tetap, sebagaimana disebutkan dalam pasal 89 ayat (3) yang dibentuk dari
surat keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman pasal 1
menentukan sebagai berikut.
“Untuk penyidikan tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang
termasuk lingkungan peradilan umum, dan peradilan militer, yang selanjutnya
disebut perkara pidana koneksitas, dibentuk tim tetap dari: pusat dan daerah.
Tugas tim tetap pusat dan daerah berbeda. Tim tetap pusat bertugas melakukan
penyidikan perkara koneksitas apabila perkara dan tahu tersangkanya mempunyai
bobot nasional dan atau internasional, juga apabila delik yang dilakukan atau akibat
yang ditimbulkan terdapat dalam lebih dari satu daerah hukum Pengadilan Tinggi.
Sedang tim tetap daerah bertugas melakukan penyidikan perkara koneksitas yaitu
apabila delik yang dilakukan atau akibat yang ditimbulkannya terdapat dalam lebih
satu daerah hukum Pengadilan Negeri tetapi dalam satu daerah hukum Pengadilan
Tinggi atau apabila pelaksanaan penyidikannya tidak dapat diselesaikan oleh tim
tetap yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Negeri dan masih dalam daerah
hukum Pengadilan Tinggi yang bersangkutan. Kedudukan Tim Tetap Pusat adalah di
44
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 155
45
M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), 30
30
Ibukota Negara Republik Indonesia, sedang Tim Tetap Daerah berkedudukan dalam
daerah hukum Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi yang bersangkutan.46
Susunan tim tetap penyidikan perkara pidana koneksitas adalah sebagai berikut;47
46
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), 214
47
Kuffal, KUHAP dalam Praktik Hukum, (Malang: UMM, 2008), 308
31
Mengenai pemeriksaan perkara koneksitas, Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana mengatur mengenai wewenang mengadili dan susunan hakim
pengadilan.
Ayat (1) : jika menurut pendapat sebagaimana dimaksud dalam pasal 90 ayat (3) titik
berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada
kepentingan umum dan karenanya perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum, maka perwira penyerah perkara segera membuat
surat keputusan penyerahan perkara yang diserahkan melalui oditur militer ataun
oditur militer tinggi kepada penuntut umum untuk dijadikan dasar mengajukan
perkara tersebut kepada pengadilan negeri yang berwenang.
Ayat (2) : Apabila menurut pendapat itu titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh
tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan militer sehingga perkara pidana itu
harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, maka pendapat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) dijadikan dasar bagi Oditur Jendral
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk mengusulkan kepada Menteri
Pertahanan dan Keamanan, agar dengan persetujuan Menteri Kehakiman dikeluarkan
keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan yang menetapkan, bahwa perkara
pidana tersebut diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Ayat (3) : surat keputusan pada ayat (2) dijadikan dasar bagi perwira penyerah
perkara dan jaksa tinggi untuk menyerahkan perkara tersebut kepada Mahkamah
Militer atau Mahkamah Militer Tinggi.
32
Ayat (1) : Pengadilan Tentara mengadili dalam tingkat pertama perkara-perkara
kejahatan dalam pelanggaran yang dilakukan oleh Anggota Angkatan Perang
Republik Indonesia Serikat yang berpangkat kapten kebawah:
Ayat (2) : Apabila lebih dari satu Pengadilan Tentara berkuasamengadili suatu
perkara dengan syarat-syarat yang sama kuatnya, maka Pengadilan yang menerima
perkara itu lebih dahulu dan Kejaksaan Tentara harus mengadili perkara tersebut.48
Jadi, apabila diterapkan bahwa perkara koneksitas itu diadili oleh pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum, maka susunan majelis hakim adalah ketua
majelis hakim dari lingkungan peradilan umum dan hakim anggota masing-masing
dari lingkungan peradilan umum dan dari peradilan militer secara berimbang.
Apabila perkara tersebut diadili dalam lingkungan peradilan militer, maka ketua
majelis hakim dari lingkungan peradilan militer dan hakim anggota dari lingkungan
peradilan militer dan peradilan umum secara berimbang. Akan tetapi, hakim dari
lingkungan peradilan umum diberi pangkat militer tituler sesuai dengan hakim
perwira yang lain.
Pemberian pangkat tituler ini tidak perlu, karena sama sekali tidak berpengaruh.
Kalau alasan untuk menyesuaikan hakim sipil dan hakim militer, tidak logis.
Keduanya sama-sama berstatus hakim. Pelaku koneksitas ini terdiri dari dua
48
Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Ed.2, Cet.13(Jakarta : Sinar Grafika, 2019)hlm. 234
33
golongan yaitu sipil dan militer, dengan diberinya pangkat tituler ini seakan-akan
dititikberatkan pada pihak militer.
Bismar Siregar, S.H. (Mantan Hakim Agung) menyatakan “Tidak perlu hakim
sipil diberi pangkat militer selama dalam persidngan, bila perlu memakai tanda cakra
yang dipergunakan hakim sehari-hari.”49
Susunan majelis hakim seperti tersebut berlaku juga pada pemeriksaan perkara
koneksitas di Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Militer Tinggi dalam tingkat
banding. Adapun untuk hakim perkara koneksitas secara timbal balik antara Menteri
Kehakiman dan Menteri Pertahanan dan Keamanan mengusulkan pengangkatan
hakim anggota, begitu juga hakim perwira.50
49
Bismar Siregar, Kompas, 1 September 1981, hlm 4
50
Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Ed.2, Cet.13(Jakarta : Sinar Grafika, 2019)hlm. 235-236
34
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Praperadilan
Secara harfiah, Pra artinya sebelum, atau mendahului, berarti praperadilan sama
dengan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan. Menurut KUHAP Indonesia,
praperadilan tidak mempunyai wewenang yang luas. Dan juga tidak ada ketentuan
di mana hakim praperadilan melakukan pemeriksaan pendahuluan atau
memimpinnya.
1. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
2. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas
permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
3. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya
atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Peradilan koneksitas
35
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, Andi. 2019. Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.
Djuanedi. 2014. "Tinjauan Yuridis Kedudukan Jaksa dan Surat Dakwaan Demi
Tercapainya Nilai-nilai Keadilan", Jurnal Pembaharuan Hukum, Vol.1 No. 1.
Ekawaty, Dian dan Yowan Tamu. Februari, 2009. "Upaya Perlindungan Hak-hak
Tersangka/Terdakwa Melalui Mekanisme Praperadilan di Kota Gorontalo", Mimbar
Hukum Volume 21, No. 1.
Marbun, Rocky. 2011. Kiat Jitu Menyelesaikan Kasus Hukum, Jakarta: Transmedia
Pustaka.
Karjadi, M dan R Soesilo. 1997. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Bogor:
Politeia.
Marpaung, Laden. 2011. Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Pertama, Jakarta:
Sinar Grafika.