Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seperti yang sudah diketahui, demi untuk terlaksananya kepentingan
pemeriksaan tindak pidana, Undang-Undang memberikan kewenangan kepada
penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa
penangkapan, penahanan, penyitaan dan sebagainya. Seorang aparat sebagai
penegak hukum dalam melaksanakan kewajibannya tidak terlepas dari
kemungkinan untuk berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan Undang-Undang
yang berlaku, sehingga perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk
pemeriksaan demi terciptanya ketertiban dan keadilan masyarakat justru
mengakibatkan kerugian bagi tersangka, keluarga tersangka, atau pihak ketiga
yang berkepentingan. Oleh karena itu, untuk menjamin perlindungan hak asasi
manusia dan agar aparatur negara menjalankan tugasnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, maka KUHAP mengatur sebuah lembaga yang
dinamakan praperadilan.

Pra Peradilan merupakan inovasi (lembaga baru) dalam KUHAP


bersamaan dengan inovasi-inovasi yang lain seperti limitasi atas proses
penangkapan atau penahanan, membuat KUHAP disebut juga sebagai karya
agung (master-piece) (Al. Wisnubroto dan G. Widiartna, 2005: 7). Hal di atas
dipertegas oleh Luhut M.P. Pangaribuan (2006: 21), dalam penerapan upaya-
upaya paksa (dwang midelen), sebagaimana dimungkinkan dalam proses
peradilan pidana seperti penangkapan dan penahanan, tidak merendahkan harkat
dan martabat manusia, maka diperkenankanlah lembaga baru untuk melakukan
pengawasan, yaitu lembaga pra peradilan.
Munculnya lembaga praperadilan dalam Undang-Undang No. 8 tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
terinspirasi oleh prinsip-prinsip dalam habeas corpus dari sistem Anglo Saxon
yang memberikan hak sekaligus jaminan fundamental kepada seorang tersangka
untuk melakukan tuntutan atau gugatan terhadap pejabat (polisi atau jaksa) yang
1
menahannya agar membuktikan bahwa penahanan itu benar-benar sah dan tidak
melanggar hak asasi manusia. Hadirnya praperadilan bukan merupakan lembaga
peradilan tersendiri, tetapi hanya merupakan pembagian wewenang dan fungsi
yang baru dilimpahkan KUHAP kepada setiap pengadilan negeri yang telah ada
selama ini.
Berdasarkan pemaparan diatas, praperadilan merupakan suatu hal yang
menarik untuk dibahas. Maka dari itu, penulis akan membahas mengenai seputar
praperadilan secara menyeluruh dan rinci didalam makalah ini sesuai dengan
literatur-literatur yang ada dan juga dalam sudut pandang KUHAP.
Pengembangan dan penyempurnaan sistem hukum merupakan salah satu
aspek penting bagi upaya pengembangan profesionalisme tentara sebagai
kekuatan dan alat pertahanan negara. Dalam konteks tersebut penataan sistem
peradilan militer merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari reformasi militer
dan sector pertahanan. Amandemen UUD 1945 pasal 30 ayat (2), (3) dan (4)
menempatkan fungsi pertahanan dan keamanan pada institusi yang berbeda,
yaitu pertahanan pada institusi TNI dan keamanan pada institusi Kepolisian.
Dengan demikian ketentuan yang mengatur hukum material dan hukum acara
keduanya harus diubah. Ketetapan No. VI/MPR/2000 dan Ketetapan No.
VII/MPR/2000 secara eksplisit telah memisahkan POLRI dari angkatan
bersenjata (TNI), sekaligus menundukkan prajurit TNI dan anggota POLRI
kepada hukum dan prosedur peradilan pidana umum.
Ketentuan mengenai koneksitas yang diatur dalam prosedur peradilan pidana
umum tidak sesuai dengan kehendak perubahan yang tersebut dalam butir (1)
dan (2).
Ketentuan mengenai koneksitas yang telah diatur dalam prosedur
peradilan pidana umum tidak sesuai dengan prinsip konstitusionalisme yang
menempatkan militer di bawah kontrol otoritas politik demokratis.
Adanya tindak pidana yang melibatkan unsur sipil dan militer baik dalam
hal subyek maupun tindak pidana yang menyebabkan terjadinya konflik
yurisdiksi (tumpang tindih kewenangan mengadili) sehingga dapat menimbulkan
ketidakpastian hukum.Konflik yurisdiksi dan ketidakpastian hukum ini juga
berasal dari ketentuan hukum yang menyerahkan otoritas menentukan
kewenangan peradilan itu kepada militer.Kebutuhan untuk mengatasi

2
ketidakpastian hukum akan terus terjadi, karena dalam jangka panjang masih
mungkin ada suatu tindak pidana yang berada dalam dua yurisdiksi peradilan.
Hal ini disebabkan oleh diabaikannya prinsip pembedaan penempatan satuan
militer dan instalasi militer dari civilians dan civilian objects sesuai dengan
hokum humaniter.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan praperadilan?
2. Bagaimana praperadilan praktik?
3. Bagaimana praperadilan ganti rugi?
4. Bagaimana praperadilan rehab?
5. Apa yang dimaksud peradailan koneksitas?
6. Bagaimana penyidikan perkara koneksitas?
7. Bagaimana peradilan perkara koneksitas?

C. Tujuan penulisan
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Acara Pidana
2. Untuk mengetahui tentang praperadilan
3. Untuk mengentahui peradilan koneksitas

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Praperadilan
Praperadilan merupakan hal baru dalam dunia peradilan Indonesia.
Praperadilan merupakan salah satu lembaga baru yang diperkenalkan KUHAP di
tengah-tengah kehidupan penegakan hukum. Ditinjau dari segi struktur dan susunan
peradilan, Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri. Bukan juga
sebagai instansi tingkat peradilan yang mempunyai wewenang memberi putusan
akhir atas suatu kasus peristiwa pidana. Praperadilan hanya suatu lembaga baru
yang ciri dan eksistensinya:1

a. Berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri, dan
sebagai lembaga pengadilan, hanya dijumpai pada tingkat Pengadilan Negeri
sebagai satuan tugas yang tidak terpisah dari Pengadilan Negeri
b. Praperadilan bukan berada di luar atau di samping maupun sejajar dengan
Pengadilan Negeri, tetapi hanya merupakan divisi dari Pengadilan Negeri
c. Administratif yustisial, personil, peralatan, dan finansial bersatu dengan
Pengadilan Negeri, dan berada di bawah pimpinan serta pengawasan dan
pembinaan Ketua Pengadilan Negeri
d. Tata laksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi yustisial
Pengadilan Negeri itu sendiri

Jika diteliti istilah yang dipergunakan oleh KUHAP "praperadilan" maka


maksud dan artinya yang secara harfiah berbeda. Pra artinya sebelum, atau
mendahului, berarti praperadilan sama dengan sebelum pemeriksaan di sidang
pengadilan. Menurut KUHAP Indonesia, praperadilan tidak mempunyai wewenang
yang luas. Dan juga tidak ada ketentuan di mana hakim praperadilan melakukan
pemeriksaan pendahuluan atau memimpinnya.

1
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), 1
4
Tugas praperadilan di Indonesia terbatas. Dalam pasal 78 yang berhubungan
dengan pasal 77 KUHAP dikatakan bahwa yang melaksanakan wewenang
pengadilan negeri memeriksa dan memutus sebagai berikut2

a. Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian


penuntutan
b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan, adalah praperadilan.
Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan
negeri dan dibantu oleh seorang panitera.

Dalam pasal 79, 80, 81 diperinci tugas praperadilan itu yang meliputi tiga hal
pokok, yaitu:3

a. Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau


penahanan yang diajukan oleh tersangka, keluarga, atau kuasanya
b. Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan,
atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum
c. Permintaan ganti kerugian dan/ atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan
atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidik atu penuntutan
diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga

Fungsi praperadilan dalam KUHAP

Lembaga praperadilan lahir bersama Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981


Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Sementara peraturan itu sendiri
lahir sesuai amanah Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman guna menggantikan produk perundang-
undangan zaman kolonial yakni Herziene Indlansch Reglement (HIR) atau Reglemen
Indonesia yang Diperbaharui (RIB) dengan produk Indonesia merdeka. HIR atau RIB
itu dinilai sudah usang dan tidak mencerminkan nilai-nilai yang hidup dan berkembang

2
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,2019), 189

3
Ibid., 190
5
di tengah masyarakat serta tidak melindungi hak asasi manusia, karena tidak membatasi
masa penahanan tersangka/ terdakwa.4

Kedudukan praperadilan

Pasal 78 ayat (1) KUHAP menetapkan praperadilan sebagai pelaksana wewenang


pengadilan untuk memeriksa dan memutuskan tentang sah atau tidak sahnya
penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan serta
tentang ganti rugi dan rehabilitasi. Dalam hal hakim praperadilan memutuskan
penangkapan atau penahanan penyidik adalah tidak sah, maka praperadilan berwenang
untuk :

1. Memerintahkan pembebasan tersangka pasal 82 ayat (3) sub a) dan menentukan


jumlah besarnya ganti rugi dan rehabilitasi
2. Menetapkan rehabilitasi saja apabila tersangka tidak ditahan
3. Menetapkan penyidikan dan penuntutan (yang dihentikan ) dilanjutkan
4. Supaya benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, dikembalikan kepada
tersangka atau kepada orang dari siapa benda itu disita.

Dari ketentuan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan praperadilan


adalah sebagai suatu pengadilan umum dengan dengan wewenang khusus yang terbatas,
yakni mempunyai acara sendiri yaitu sedikit berbeda dengan proses pidana biasa. Dan
putusan praperadilan adalah final, tidak dapat dibanding atau dikasasikan kecuali dalam
hal putusan yang menetapkan penghentian penyidikan dan pengusutan adalah tidak sah.5

Kedudukan hakim praperadilan dalam KUHAP pada hakekatnya adalah sama


dengan kedudukan hakim dalam mengadili perkara pidana biasa,dalam arti keduanya
harus tunduk dan menerapkan ketentuan-ketentuan KUHAP dalam memeriksa dan
memutus perkara dalam sidang praperadilan.
4
Darwin Prinst, Praperadilan dan Perkembangannya di dalam praktek, cet. 1 , (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1993), 2

5
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang di Pengadila,
Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), 2
6
Kejaksaan dalam hukum pidana bertindak sebagai lembaga fungsional yang diberi
wewenang oleh Undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan
pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta
wewenang lain berdasarkan Undang-undang. Peran yang demikian menuntut seorang
jaksa tidak hanya menguasai disiplin hukum pidana, tetapi juga disiplin hukum perdata
dan tata usaha negara. Jaksa tidak hanya dituntut menguasai hukum positif yang bersifat
umum (lex generalis) tetapi juga yang bersifat khusus (lex specialis). Tugas dan
wewenang kejaksaan sudah diatur dalam UU No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP:6

1. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik
pembantu
2. Mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan dalam penyidikan dengan
memperhatikan pasal 110 ayat 3 dan 4, dengan memberi petunjuk dalam rangka
penyempurnaan penyidikan
3. Memberikan perpanjangan ke penahanan
4. Membuat surat dakwaan
5. Melimpahkan perkara ke pengadilan
6. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu
perkara disidangkan yang disertai surat panggilan
7. Melakukan penuntutan
8. Menutup perkara demi kepentingan hukum
9. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut
umum menurut undang-undang
10. Melaksanakan penetapan hakim

Hak-hak tersangka/ terdakwa secara garis besar diatur dalam KUHAP sebagaimana
terdapat dalam pasal 50-68. Hak-hak tersangka/ terdakwa diatur dalam KUHAP
merupakan salah satu keunggulan dibandingkan hukum acara yang lama (HIR). Pada
praktiknya praperadilan yang bertujuan untuk melindungi hak asasi tersangka sering

6
Djuanedi, "Tinjauan Yuridis Kedudukan Jaksa dan Surat Dakwaan Demi Tercapainya Nilai-nilai Keadilan", Jurnal
Pembaharuan Hukum, Vol.1 No. 1, (Januari-April, 2014), 86
7
kali di bypass atau dengan kata lain langsung masuk pada pemeriksaan dengan
penyidangan pokok perkara, sehingga menyebabkan permohonan praperadilan gugur
dengan sendirinya.7

Dalam pelaksanaan persidangan di Pengadilan Negeri, terdakwa mempunyai hak-hak


sebagai berikut:8

1. Hak untuk di dampingi oleh seorang penasehat hukum

2. Hak untuk mengajukan Eksepsi, yaitu perlawanan yang di ajukan oleh tersangka
atau penasehat hukumnya yang isinya menyatakan bahwa pengadilan negeri
tersebut tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut dan atau
terdakwa dimaksud telah pernah diperiksa atau diadili serta diputus oleh Pengadilan
Negeri dalam perkara yang sama.

3. Hak untuk menyangkal isi dakwaan dengan mengajukan alibinya, pada waktu
terjadinya tindak pidana terdakwa berada di tempat lain.

4. Hak untuk meminta kepada Majelis Hakim, untuk menghadirkan saksi-saksi yang
meringankan terdakwa.

5. Hak untuk mengajukan pembelaan.

6. Hak untuk mengajukan duplik yaitu pelawanan teakhir bagi terdakwa sebelum
hakim membacakan putusannya.

7. Hak untuk melakukan upaya hukum Banding tehadap putusan Pengadilan Negeri.

Polisi sebagai aparat penegak hukum yang diberi wewenang oleh peraturan
perundang-undangan seharusnya tidak melakukan perbuatan / tindakan kesewenang-
wenangan. Dalam hal ini aparat penegak hukum adalah Polisi Republik Indonesia

7
Dian Ekawaty dan Yowan Tamu, "Upaya Perlindungan Hak-hak Tersangka/Terdakwa Melalui Mekanisme
Praperadilan di Kota Gorontalo", Mimbar Hukum Volume 21, Nomer 1, (Februari, 2009), 86
8
Sonia Septiana,dkk , "Implementasi Hak Tersangka/Terdakwa Menurut Pasal 52 KUHAP pada Perkara Pidana
dalam Rangka Mencari Kebenaran Materiil", Jurnal Hukum Univ.Lampung, 2019, 7
8
(POLRI) sebagai penyidik, yaitu perilaku dan tindakan aparat penegak hukum (POLRI)
yang dalam melakukan proses pemeriksaan pendahuluan terhadap tersangka sering kali
menggunakan cara kekerasan dan penyiksaan. Padahal polisi sebagai aparat penegak
hukum wajib menghormati dan melindungi hak orang yang melakukan tindak pidana.9

Praperadilan dalam praktik

Didalam praktik sering kali terjadi penyimpangan terhadap teori hukum.


Mekanisme praperadilan merupakan pilihan terbaik untuk mengawasi kewenangan
upaya paksa yang dimiliki oleh penyidik, khususnya terkait dengan kewenangan
penangkapan dan penahanan. Munculnya konsep praperadilan di dalam KUHAP, harus
diakui merupakan perkembangan yang signifikan dalam prosedur hukum pidana di
Indonesia, utamanya untuk melindungi kebebasan sipil dari si tertuduh.10

Didalam KUHAP tidak dijelaskan secara detail dan KUHAP hanya membahas
mengenai upaya hukum banding atas penghentian penyidikan dan penuntutan yang
tidak sah. Sehingga dalam praktik, yang terjadi adalah pihak yang dirugikan
mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung.11

Menurut Seno Adji, kehadiran hakim pemeriksaan pendahuluan ini penting untuk
menangani upaya paksa (dwang-middelen), berupa penahanan, penyitaan,
penggeledahan badan, rumah, dan pemeriksaan surat-surat. Hakim ini, ditegaskannya,
merupakan pusat dari proses penyelidikan pidana dalam sistem hukum Eropa
Kontinental. Keberadaan hakim ini sebelumnya dikenal di Indonesia hanya untuk
hukum acara pidana bagi golongan Eropa, tetapi tidak bagi golongan pribumi. Namun
demikian, menurut Seno Adji mekanisme seperti ini bisa diterapkan dalam hukum acara
pidana yang akan datang.12

9
Bambang Tri Bawono, "Tinjauan Yuridis Hak-hak Tersangka dalam Pemeriksaan", Jurnal Hukum Vol XXVI, No. 2, (
Agustus, 2011), 555
10
Rocky Marbun, Kiat Jitu Menyelesaikan Kasus Hukum, (Jakarta: Transmedia Pustaka, 2011), 84
11
Ibid., 85
12
Lihat Oemar Seno Adji, Pembaharuan-pembaharuan dalam Kodifikasi Hukum Pidana dan Hukum Acaranya,
dalam Oemar Seno Adji, Hukum – Hakim Pidana, (Jakarta: Erlangga, 1984), hal. 87-88. Tulisan tersebut pertama kali
dipublikasikan oleh Seno Adji tahun 1976 dalam ”Singapore Meeting on Innovation in Criminal Justice”, 10
September 1976.
9
1. Dinamika praktik praperadilan
Untuk menyelami dan mendalami penggunaan mekanisme praperadilan serta
kecenderungannya di lapangan, maka perlu adanya penelitian. Berikut contoh kasus,
sedikitnya 80 putusan praperadilan terkait penangkapan dan penahanan.13

a. Jenis tindak pidana pokok yang penahanannya dipraperadilankan

Dari penelaahan 80 putusan tersebut bisa diperoleh temuan, apabila dilihat


dari jenis tindak pidana pokoknya, tindak pidana korupsi mendominasi dalam
penggunaan upaya praperadilan. Tercatat 16 perkara praperadilan yang pidana
pokoknya adalah kasus korupsi. Jumlah terbanyak kedua adalah pidana
penipuan dan/atau penggelapan sebanyak 11 kasus, dan selanjutnya pidana
narkotika sebanyak 10 kasus. Jenis tindak pidana lainnya yang tercatat cukup
lumayan dalam pemanfaatan lembaga praperadilan, ialah tindak pidana
pencurian, pencabulan dan penggelapan, yang komposisinya masing-masing 4
perkara.

b. Penasihat Hukum

Selanjutnya, dengan menelisik proses pengajuan permohonan praperadilan,


keberadaan penasihat hukum rupanya berpengaruh besar pada penggunaan
mekanisme praperadilan. Situasi ini dapat dilihat dalam komposisi pengajuan
permohonan praperadilan antara yang diwakili penasihat hukum dengan yang
tidak.

Dari 80 putusan yang diteliti, 77 permohonan diwakili oleh kuasa hukum,


sementara yang diajukan sendiri oleh tersangka hanya tiga permohonan. Fakta
tersebut memberikan gambaran bahwa keberadaan penasihat hukum menjadi
faktor penentu penggunaan peraperadilan, mengingat minimnya pengetahuan
dan pemahaman tentang lembaga praperadilan. Dari 80 putusan praperadilan,
mayoritas tindak pidana pokoknya adalah pidana korupsi, yang dugaan
pelakunya adalah level kelas menengah ke atas, sehingga memiliki akses yang
baik terhadap pengacara.

13
Supriyadi, dkk. Praperadilan di Indonesia: Teori, Sejarah, dan Praktiknya, ( Jakarta: Institute for Criminal Justice
Reform, 2014), 60
10
c. Alasan pengajuan praperadilan

Bentuk-bentuk upaya paksa dalam KUHAP adalah penangkapan,


penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. Upaya-upaya ini
dapat dipahami sebagai rangkaian tindakan yang sering tidak bisa dipisahkan
antara satu dengan lainnya, khususnya dalam konteks pembuktian di sidang
praperadilan. Misalnya, penahanan yang tentu berkaitan langsung dengan
upaya paksa sebelumnya berupa penangkapan, dan tindakan setelahnya berupa
perpanjangan penahanan.

Dalam praktiknya, tidak sedikit pemohon yang menyandarkan


permohonannya kepada tindakan awal aparat yang dianggap cacat atau
menyimpang, untuk dijadikan justifikasi ilegalnya tindakan aparat selanjutnya
kepada pemohon. Contohnya, pemohon mendalilkan keabsahan penahanannya
dengan pemenuhan syarat penangkapan terhadap dirinya. Pemohon
menganggap, tindakan penahanan terhadap dirinya praktis menjadi cacat
karena diawali dengan cacatnya tindakan penangkapan yang dilakukan aparat.

Padahal, KUHAP telah menentukan, setiap upaya paksa yang masuk dalam
kewenangan praperadilan maupun tidak, masing-masing memiliki unsur-unsur
tersendiri dan mandiri, meskipun terkait satu sama lainnya. Tindakan
penangkapan misalnya, memiliki unsur-unsur tertentu yang harus dijelaskan
pemohon untuk menjadi dasar baginya dalam mengajukan praperadilan,
sebagaimana pula terhadap tindakan penahanan dan perpanjangan penahanan.14

d. Pandangan pemohon, termohon dan hakim terhadap keabsahan penahanan

Ketentuan normatif di dalam KUHAP tidak menjelaskan sifat


keterpenuhan unsur dalam upaya paksa sehingga penyidik memutuskan
pengenaan upaya paksa. Terkait dengan penahanan, KUHAP hanya
menyatakan bahwa tindakan itu merupakan kewenangan aparat penegak hukum
14
Ibid., 62
11
dan menyebutkan beberapa syarat atau unsur sehingga penahanan dapat
dilakukan.

Berdasarkan Pasal 21 KUHAP, unsur penahanan dapat dibagi menjadi


empat, yakni: (i) unsur yuridis; (ii) unsur kekhawatiran yang terdiri dari
kekhawatiran melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan atau
mengulangi tindak pidana; (iii) unsur dugaan keras melakukan tindak pidana;
dan (iv) unsur prosedural-formal.

Namun, KUHAP tidak menjelaskan secara terperinci mengenai apakah


unsur-unsur itu bersifat kumulatif atau alternatif. Dalam praktiknya, hal
tersebut sering menjadi masalah ketika terhadap si A, misalnya, aparat
melakukan penahanan sementara terhadap si B tidak. Padahal, tingkat
keterpenuhan unsur-unsur penahanan antara si A dan si B dianggap sama,
minimal oleh pihak tersangka maupun publik.

Tidak dipaparkannya dasar permohonan secara mendetail oleh pemohon,


sebagaimana dipaparkan di atas, menimbulkan efek terhadap jawaban
termohon dan juga hakim dalam pertimbangannya yang juga tidak detail dan
menyeluruh. Dari proses profiling terbaca bahwa jawaban termohon dan
pertimbangan hakim umumnya lebih mengikuti alur dan struktur permohonan
yang diajukan pemohon, terutama mengenai dasar dan alasan pengajuan
praperadilan. Maka, sesederhana apapun penjelasan dan rasionalisasi pemohon
mengenai dasar pengajuan permohonannya, maka sesederhana itu pula jawaban
termohon dan pertimbangan yang diberikan hakim dalam putusannya.

d. Elaborasi permohonan praperadilan terkait unsur dasar hukum objektif


KUHAP mengatur syarat objektif dilakukannya penahanan adalah
ancaman pidana lima tahun atau lebih. Dari penelaahan terhadap 80 putusan
praperadilan, pemohon mengargumentasikan syarat objektif mengenai
ancaman pidana 5 tahun (40 putusan), sementara 40 putusan lain sisanya tidak
mempertanyakan terkait syarat objektif penahanan dalam permohonannya. Dari

12
40 permohonan yang menyinggung ancaman hukuman, hanya tujuh
permohonan yang mengelaborasinya dengan terperinci.15

f. Elaborasi permohonan praperadilan terkait unsur dasar hukum delik khusus

Gambaran serupa juga mengemukakan dalam tanggapan para pihak


terhadap unsur yuridis mengenai delik khusus ditentukan KUHP atau undang-
undang lainnya, dalam permohonan yang diajukan oleh pemohon, serta
jawaban dari termohon. Dari 80 permohonan praperadilan, hanya 23
permohonan yang memunculkan unsur yuridis tersebut, dan hanya 10
diantaranya yang mengelaborasinya secara mendetail. Sedangkan 57
permohonan sisanya sama sekali tidak menyinggung perihal unsur yuridis
tersebut.

Meskipun penahanan menjadi pokok perkara yang dimohonkan,


pertimbangan hakim bahkan tidak menyinggung penahanan terhadap pemohon.
Dalam paragraf-paragraf akhir pertimbangannya, hakim menyatakan:

“Menimbang, bahwa dengan berdasarkan pertimbangan atas fakta-fakta


tersebut di atas telah terbukti bahwa tindakan penangkapan yang dilakukan
oleh termohon selaku penyidik adalah telah memenuhi syarat yang ditentukan
dalam pasal 17 KUHAP sehingga menurut Majelis tindakan penangkapan
tersebut sah dan berdasarkan bukti yang cukup”.

g. Pertimbangan hakim atas unsur hukum objektif

Terkait dengan unsur yuridis pertama mengenai ancaman hukuman, dari


80 putusan praperadilan, mayoritas hakim, sebanyak 44 putusan, tidak
mempertimbangkannya. Sementara yang dipertimbangkan dalam putusan
hakim hanya 36 perkara. Namun temuan yang cukup menarik terjadi di PN
Jaksel. Dari 34 putusan praperadilan di pengadilan ini, ada 20 putusan yang
menunjukkan hakim mempertimbangkan unsur yuridis mengenai ancaman
hukuman di dalam putusannya. Berbeda dengan PN Medan, dari 32 putusan
praperadilan yang diputuskan, hanya enam putusan yang mempertimbangkan

15
Ibid., 65
13
unsur yuridis mengenai ancaman hukuman, selebihnya 26 putusan tidak
mempertimbangkan.

h. Pertimbangan hakim atas unsur hukum Delik khusus

Mengenai unsur yuridis delik khusus yang ditentukan KUHP atau undang-
undang lainnya, dari 80 putusan, hanya 18 putusan yang mempertimbangkan
unsur ini. Selebihnya, sebanyak 62 putusan, tidak dipertimbangkan. Situasi di
PN Jaksel pun memperlihatkan gambaran yang sebaliknya, dari 34 putusan
hanya 7 yang mempertimbangkan unsur yuridis tersebut.

i. Pandangan terhadap unsur kekhawatiran dan unsur dugaan keras

Syarat penahanan menurut Pasal 21 ayat (1) KUHAP terkait dengan


terpenuhinya unsur kekhawatiran aparat dalam menentukan apakah seorang
tersangka ditahan atau tidak. Unsur kekhawatiran dalam pasal tersebut
memiliki 3 bentuk,yakni kekhawatiran melarikan diri, kekhawatiran
menghilangkan/merusak barang bukti, dan kekhawatiran mengulangi
melakukan tindak pidana.16

j. Pandangan pemohon dan termohon terhadap unsur subjektif melarikan diri

Dari studi yang dilakukan terhadap 80 putusan praperadilan, 56 pemohon


praperadilan tidak menyinggung perihal unsur kekhawatiran melarikan diri.
Hanya 24 permohonan yang menyatakan keberatan terhadap penggunaan unsur
kekhawatiran untuk melarikan diri. Dari 24 permohonan ini, hanya 13
permohonan yang mengelaborasi kehawatiran melarikan diri.

Ada 38 perkara menyinggung penggunaan unsur kekhawatiran akan


melarikan diri. Namun hanya empat perkara yang mengelaborasi penggunaan

16
Ibid., 68
14
unsur kekhawatiran ini. Artinya sebagian besar hanya menyebutkan ketentuan
yuridis normatifnya, tanpa menjelaskan posisi kasusnya atau alasan yang
menguatkan unsur kekhawatiran dalam kasus bersangkutan. Dalam 42 perkara
lain, termohon sama sekali tidak menyinggung unsur kekhawatiran akan
melarikan diri.

k. Pandangan pemohon dan termohon atas unsur menghilangkan dan merusak


barang bukti

Gambaran yang kurang lebih sama terlihat dalam unsur kekhawatiran


kedua, yaitu kekhawatiran akan menghilangkan atau merusak barang bukti.
Dari 80 perkara praperadilan, hanya 25 permohonan yang menyatakan
keberatan terhadap penggunaan unsur kekhawatiran akan menghilangkan atau
merusak barang bukti. Hanya 11 permohonan yang mengelaborasi perihal
unsur kekhawatiran tersebut. Sebanyak 55 perkara tidak menyinggung atau
berkeberatan terhadap penggunaan unsur kekhawatiran akan menghilangkan
atau merusak barang bukti.

l. Sikap hakim terhadap unsur kekhawatiran melarikan diri

Mengenai penggunaan unsur kekhawatiran melarikan diri sebagai dasar


dilakukannya penahanan, hakim menyikapinya secara beragam. Dari 80
putusan praperadilan, 49 putusan diantaranya tidak menyinggung soal ini,
hanya 31 putusan yang mempertimbangkan unsur kekhawatiran ini, dan hanya
tiga yang diuji. Sementara terhadap unsur kekhawatiran dua, yaitu
kemungkinan tersangka merusak atau menghilangkan barang bukti, 51 putusan
dari 80 pekara menyinggung kekhawatiran ini dalam pertimbangannya. Hanya
29 hakim yang mempertimbangkan unsur ini di dalam putusan, itu pun hanya 5
perkara yang dilakukan pengujian, selebihnya sekadar menyinggung secara
normatif.

15
m. Sikap hakim terhadap unsur kekhawatiran mengulangi tindak pidana

Praktik yang kurang lebih sama juga diterapkan terhadap unsur


kekhawatiran tiga, mengenai kemungkinan tersangka mengulangi
perbuatannya. dari 80 putusan hanya 30 putusan yang di dalamnya hakim
mempertimbangkan unsur kekhawatiran bahwa tersangka akan mengulangi
perbuatannya. Dari 30 yang dipertimbangkan tersebut, hanya tiga perkara yang
di dalamnya menguji unsur ini. Mayoritas perkara praperadilan belum
mempertimbangkan unsur kehawatiran bahwa tersangka akan mengulangi
perbuatan pidananya di dalam pertimbangan hukum putusannya.

n. Sikap hakim terhadap unsur dugaan keras

Fakta yang cukup menarik terlihat dari pendapat hakim dalam


mempertimbangkan unsur dugaan keras di dalam putusannya. Dari 80 putusan
praperadilan, 62 putusan diantaranya mempertimbangkan unsur dugaan keras,
42 putusan diantaranya dilakukan pengujian terhadap penggunaan unsur
dugaan keras ini. Hanya 18 putusan yang di dalamnya hakim tidak
mempertimbangkan unsur dugaan keras. Situasi ini sejalan dengan yang
dikemukakan pemohon maupun termohon, bahwa mayoritas dari mereka
menyinggung unsur dugaan keras dan mengelaborasinya dalam permohonan
dan tanggapan.

Yang berhak mengajukan permohonan :17

1. Tersangka, keluarganya, atau kuasanya


Menurut ketentuan pasal 79 KUHAP, yang berhak mengajukan permasalahan
pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, bukan hanya
tersangka saja, tetapi dapat diajukan oleh keluarga atau penasihat hukumnya. Yang
diatur dalam pasal 79 hanya meliputi pengajuan pemeriksaan tentang sah atau
tidaknya penangkapan atau penahanan. Tidak termasuk pengajuan permintaan
tentang sah atau tidaknya penggeledahan, penyitaan, atau pemasukan rumah.

17
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), 8
16
2. Penuntut umum dan pihak ketiga yang berkepentingan
Menurut pasal 80, penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan, dapat
mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian
penyidikan. Mengenai pihak ketiga yang berkepentingan, tidak dijelaskan lebih
lanjut dalam undang-undang, dalam tindakan penghentian penyidikan. Secara umum,
pihak ketiga yang berkepentingan ialah saksi yang menjadi korban dalam peristiwa
pidana yang bersangkutan. Maka, saksi korbanlah yang berhak mengajukan
permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan ke
praperadilan. Karena adanya sistem ini, maka pengawasan atas pengentian
penyidikan bukan hanya berada di tangan penuntut umum saja, tetapi diperluas
jangkauannya kepada saksi.18

3. Penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan


Kalau dalam penghentian penyidikan penuntut umum atau pihak ketiga yang
berkepentingan yang tampil mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau
tidaknya penghentian penyidikan, dalam penghentian penuntutan penyidik atau pihak
ketiga yang berkepentingan yang diberi hak untuk mengajukannya. Saksi dapat
berperan melakukan pengawasan dengan jalan mengajukan permintaan pemeriksaan
kepada praperadilan tentang sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang
dilakukan penuntut umum.19

4. Tersangka, ahli warisnya, atau kuasanya


Menurut pasal 95 ayat 2 KUHAP, dijelaskan bahwa tersangka, ahli warisnya,
atau penasihat hukumnya dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada
praperadilan atas alasan:

- penangkapan atau penahanan yang tidak sah

18
Ibid., 9
19
Ibid., 10
17
- penggeledehan atau penyitaan tanpa alasan yang sah, atau

- karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya
tidak diajukan ke sidang pengadilan.

5. Tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan menuntut ganti rugi


Menurut ketentuan pasal 81, tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan
dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada praperadilan atas alasan sahnya
penghentian penyidikan atau sahnya penghentian penuntutan. Kalau praperadilan
memutuskan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan sah, putusan yang
mengesahkan penghentian itu memberi alasan kepada tersangka atau pihak ketiga
yang berkepentingan untuk mengajukan permintaan ganti rugian kepada
praperadilan. Sebaliknya, kalau praperadilan menyatakan penghentian penyidikan
atau penghentian penuntutan tidak sah, sehingga penyidikan dan penuntutan
dilanjutkan dengan sendirinya.

Praperadilan Ganti Rugi

1. Pengertian Ganti Rugi

Ganti rugi adalah hak seseorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya
berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili
tanpa adanya alasan yang sesuai dengan Undang-Undang atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam
Undang-Undang (pasal 1 butir 22 KUHAP).20

Jadi apabila diperhatikan bunyi Pasal 1 angka 22 KUHAP diatas, maka


beberapa hal yang dapat diketahui tentang ganti kerugian, yaitu:

 Ganti kerugian merupakan hak tersangka atau terdakwah


 hak itu pemenuhan beruapa “imbalan sejumlah uang”
 hak atas imbalan sejumlag uang tersebut diberikan kepada tersangka atau
terdakwa atas dasar;

20
HMA Kuffal,Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum,(Malang:UMM Press,2008),281.
18
a) Karena terhadapnya dilakukan penangkapan, penahanan, penuntutan atau
peradilan tanpa alasan berdasrkan undang-undang atau;

b) Karena tindakan lain tanpa alasan berdasrkan undang-undang atau;

c) Karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan.21

2. Alasan Pengajuan Ganti Rugi.

a) Tindakan Penangkapan yang Tidak Sah

Yang dimaksud dengan tindakan penangkapan yang tidak sah adalah


tindakan penagkapan yang dilakukan dengan cara yang tidak sesuai atau
bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP Bab 1 pasal 1
butir 20 dan Bab V Bagian Kesatu pasal 16 s/d 19.

b) Tindakan Penahanan yang Tidak Sah

Yang dimaksud dengan penahanan yang tidak sah adalah tindakan


penahanan yang dilakukan dengan cara yang tidak sesuai atau bertentangan
dengan ketentuan yang telah diatur dalam KUHAP Bab 1 pasal 1 butir 21 dan
Bab V bagian kedua pasal 20 s/d 30 dan perundang-undangan yang lain,
termasuk penahanan yang jangka waktunya lebih lama daripada sanksi pidana
yang dijatuhkan oleh pengadilan (Pasal 95 ayat (1) KUHAP).

c) Tindakan Lain Tanpa Alasan Berdasarkan Undang-Undang

Dalam pasal 95 ayat (1) KUHAP dijelaskan bahwa yang dimaksud


tindakan lain adalah yaitu pemasukan rumah, penggeladahan dan penyitaan
yang tidak menurut hukum.

d) Penghentian Penyidikan atau Penghentian Penuntutan yang Sah

Ini terjadi jika hakim praperadilan telah menjatuhkan putusan


(penetapan) yang menyatakan bahwa penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan adalah sah, maka ini bisa dijadikan dasar dalam

21
Andi Sofyan,Hukum Acara Pidana:Suatu Pengantar,(Jakarta:Kencana,2014),200.
19
mengajukan permintaan/permohonan/penuntutan ganti kerugian (Pasal 81
KUHAP).

e) Dintuntut dan Diadili Tanpa Alasan Berdasarkan Undang-Undang

Ini terjadi jika ternyata hakim salah memberikan keputusan atau bisa
dikatakan sebagai kekeliruan mengenai hukum yang diterapkan. Contoh
terdakwa dituntut dam diadili dengan dakwaan penipuan, padahal sebenarnya
yang ia lakukan adalah wanprestasi dalam perjanjian hutang piutang, atas
dasar inilah terdakwah bisa mengajukan permohonan ganti rugi.22

3. Pihak-Pihak yang Berwenang dalam Ganti Rugi

a) Pihak yang Berwenang Mengajukan Ganti Rugi

Dalam pengajuan tuntutan ganti kerugian pihak yang berhak mengajukan


sebagaimana menurut Pasal 95 ayat (1) dan (2) KUHAP, yaitu:

 Tersangka, terdakwa, atau terpidana; atau

 Tersangka atau ahli warisnya.23

b) Pihak yang Berwenang Memeriksa Ganti Rugi

1) Praperadilan

Praperadilan adalah salah satu instansi yang berwenang memeriksa


dan memutus tuntutan ganti kerugian. Dalam Pasal 77 huruf b, Pasl 81,
dan Pasal 95 ayat (2) KUHAP dijelaskan tentang jenis ganti kerugian
yang termasuk kewenangan Praperadilan

I. Tuntutan ganti kerugian tentang tidak sahnya penagkapan,


penahanan, serta tindakan lain tanpa berdasarkan yang sah menurut
undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum
yang diterapkan dengan syarat;

 perkaranya hanya sampai tingkat penyidikan, atau


 perkaranya hanya sampai pada tingkat penuntutan seperti yang
disebut Pasal 138 ayat (1) KUHAP, atau
22
HMA Kuffal,282-284.
23
Andi Sofyan,201.
20
 perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan.

II. Tuntutan ganti kerugian yang disebutkan dalam Pasal 77 huruf b;

 atas alasan penghentian penyidikan, atau


 atas alasan penghentian penuntutan.24

2) Pengadilan Negeri

Perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Negeri untuk diperiksa


adalah perkara yang telah dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri untuk
diperiksa dan ditindak lanjutin, baik pemeriksaan itu hanya sampai pada
tingkat Pengadilan Negeri maupun sampai tingkat banding atau kasasi. Hal
ini sesuai dengan Pasal 95 ayat (3) KUHAP. Pengadilan Negeri sesuai dengan
Pasal 95 ayat (5) dalam pemerikasaan tuntutan ganti kerugian mengikuti
acara Praperadilan. Untuk yang berhak memeriksa dan memutus perkara
tuntutan ganti kerugian tersebut, ketua Pengadilan Negeri sejauh mungkin
menunjuk hakim yang sama yang semula telah mengadili perkara yang
bersangkutan.25

4. Tata Cara Mengajukan Tuntutan Ganti Kerugian


a) Tingkat pemeriksaan perkaranya hanya sampai pada tingkat penyidikan atau
penuntutan. Perkara ini tidak diteruskan ke sidang pengadilan mungkin
karena tidak cukup bukti atau hal-hal lainnya, maka permintaan ditujukan
kepada Ketua Pengadilan Negeri, dengan cara sebagai berikut:
1) Upaya pertama yang dilakukan adalah mengajukan proses pra-peradilan
untuk menentukan sah atau tidaknya tindakan penagkapan,penahan,
penggeledahan,penyitaan atau penghentian penyidikan atau penuntutan,
kemudian setelah ada penetapan pra-peradilan, barulah dilakukan
tuntutan ganti kerugian.
2) Upaya yang kedua dilakukan dengan mengajukan proses pra-perladilan
sekaligus dilakukan di samping untuk menentukan sah atau tidaknya
tindakan penangkapan, penahanan, penggeladehan, penyitaan atau

24
Yahya Harahap,Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,(Jakarta:Sinar Grafika,2000),54-
55.
25
Yahya Harahap,55-57.
21
penghentian penyidikan atau penuntutan, kemudian setelah ada
penetapan pra-peradilan, juga dilakukan tuntutan ganti kerugian.
b) Tingkat Pemeriksaan Perkaranya Diajukan ke Pengadilan. Dalam pengajuan
tuntutan ganti kerugian apabila perkaranya sudah diajukan ke pengadilan
adalah sesuatu hal yang tidak menimbulkan permasalahan dalam tata cara
pengajuannya, apalagi jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1)
PP No. 217 tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP dan sekaligus
dikaitkan dengan ketentuan Pasal 95 ayat (3) dan (4) KUHAP.

Untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut;

1) Diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili


perkara yang bersangkutan, jadi bukan pra-peradilan tetapi pengadilan
negeri yang berwenang memeriksa dan memutus ganti kerugian.
2) Pengajuan ini hanya dapat dilakukan setelah adanya putusan pengadilan
“memperoleh kekuatan hukum tetap”.26
3) Pengajuan tuntutan ganti kerugian bisa saja masih tertunda sampai putusan
kasasi atau banding dijatuhkan.Bahkan bisa saja hak terdakwa untuk
menuntut ganti rugi lenyap, jika putusam bebas Pengadilan Negeri
dibatalkan oleh Mahkamah Agung pada tingkat kasasi, dan menjatuhkam
putusan pemidanaan terhadap terdakwah, atas putusan itu maka hak
menuntut ganti kerugian terdakwah hilang atau lenyap, memang masig ada
kesempatan bagi terdakwah untuk menuntu ganti rugi tapi sangat kecil.
Lain hal nya jika putusan pembebasan Pengadilan Negeri didukung tingkat
kasasi, maka terbuka jalan bagi terdakwah untuk mengajukan tuntutan
ganti kerugian terhitung sejak saat putusan memperoleh kekuatan hukum
tetap.27
5. Jangka Waktu Mengajukan Tuntutan Ganti Kerugian

Perihal jangka waktu mengajukan tuntutan ganti kerugian tidak diatur


dalam Pasal 95 dan Pasal 96 KUHAP, maka diperlukan adanya peraturan yang
mengatur tentang jangka waktu mengajukan tuntutan kerugian. Dalam
penentuan jangka waktu tuntutan ganti kerugian sangat penting artinya untuk

26
Andi Sofyan,204-205.
27
Yahya Harahap, 59-60.
22
kepastian hukum. Maka jangka waktu mengajukan tuntutan kerugian diatur
dalam Peraturan Perintah (PP) No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan
KUHAP,di dalamnya telah diatur tentang pelaksanaan tuntutan ganti
kerugian,pada bab IV Pasal 7 sampai dengan Pasal 11.

Berikut isi Pasal 7 PP Mo. 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP;

a) Tuntutan ganti kerugian sebagimana dimaksud dalam Paal 95 KUHAP


hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 3 (tiga) bulaan sejak putusan
pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap.

b) Dalam hal tuntutan ganti kerugian tersebut diajukan terhadap perkara yang
dihentikan pada tingkat penyidikan atau tingkat penuntutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 huruf b KUHAP, maka jangka waktu 3 (tiga)
bulan, dihitung sejak pemberitahuan penetapan pra-peradilan.28

6. Besarnya Jumlah Ganti Kerugian

Sama hal nya dengan jangka waktu mengajukan tuntutan ganti rugi,
besarnya jumlah ganti rugi juga tidak diatur dalam Pasal 95 dan Pasal 96
KUHAP. Untuk itu besarnya jumlah ganti rugi diatur dalam Pasal 9 PP No. 27
tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, sebagai berikut;

a) Ganti kerugian berdasarkan alasan sebagimana dimaksud dalam Pasal 77


huruf b dan Pasal 95 KUHAP adalah berupa imbalan serendah-rendahnya
berjumlah Rp 5.000,-(lima ribu rupiah) dan setinggi-tingginya Rp
1.000.000,-(satu juta rupiah).

b) Apabila penangkapan, penahanan dan tindakan lain sebagaimana dimaksud


Pasal 95 KUHAP mengakibatkan yang bersangkutan sakit atau cacat
sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan atau mati, besarnya ganti
kerugian berjumlah setinggi-tingginya Rp 3.000.00,-(tiga juta rupiah).

Demikian pula dalam hal tata cara pembayaran ganti kerugian telah
diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Mo. 983/KMK.01/1983, tanggal
31 Desember 1983, sebagai Pelaksanaan Pasal 11 Peraturan Pemerintah No.
27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.29
28
Andi Sofyan,202.
29
Ibid.,203.
23
Praperadilan Rehabiltasi

1. Pengertian Rehabilitasi

Definisi Rehabilitasi menurut Pasal 1 butir 23 KUHAP adalah hak seseorang


untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemapuan, kedudukan dan harkat serta
martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau peradilan
karena ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasrkan
undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang- undang ini.

Senada dengan definisi tersebut, Pasal 97 ayat (1) KUHAP berbunyi;


“Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas
atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai
kekuatan hukum tetap”.30

Demikian pula sebagaimana yang diungkapkan oleh J.C.T Simorangkir,


bahwa rehabilitasi adalah “pemulihan, pengembalian kepada keadaan semula”.

Jadi rehabilitasi yang dimaksud baik oleh KUHAP ataupun J.C.T.


Simorangkir, adalah:

 Hak seseorang tersangka tau terdakwa untuk mendapatkan pemulihan;


 Atas hak kemampuan;
 Atas hak kedudukan dan harkat dan martabatnya.
 Serta hak pemulihan tersebut dapat diberikan dalam semua tingkatan
pemeriksaan, mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan, atau pengadilan.

Berdasarkan pengertian rehabilitasi diatas, maka tujuan dari rehabilitasi


adalah sebagai sarana dan upaya untuk memulihkan kembali nama baik,
kedudukan, dan martabat seseorang yang telah sempat menjalani tindakan
penegakan hukum berupa penangkapan, penahanan, penuntutan atau
pemeriksaan di sidang pengadilan.31

2. Alasan atau Dasar Rehabilitasi

30
Andi Hamzah,Hukum Acara Pidana Indonesia”,(Jakarta:Sinar Grafika,2019),206.
31
Andi Sofyan,208.
24
Pengajuan permohonan rehabilitasi menurut Pasal 97 ayat (1) KUHAP
berbunyi; “Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan
diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya
telah mempunyai kekuatan hukum tetap”. Jadi apabila perkaranya masih dalam
proses pemeriksaan dan putusannya belum mempunyai kekuatan hukum tetap,
maka permohonan rehabilitasi belum dapat diajukan ke pengadilan, kecuali
sebaliknya.

Dasar lainnya yang dapat digunakan dalam mengajukan permohonan


rehabiltasi sebagaimana menurut Pasal 97 ayat (3) dan Pasal 95 ayat (1) KUHAP,
yaitu:

a. Akibat penangkapan atau diri seseorang tanpa alasan yang berdasarkan


undang-undang;

b. Akibat tidak sahnya penahanan atas diri seseorang tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang;

c. Akibat tidak sahnya penghentian penyidikan;

d. Akibat tidak sahnya penghentian penuntutan atau perkaranya tidak diajukan


ke pengadilan;

e. Dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang

f. Akibat kekeliruan mengenai orang atau badan hukum yang diterapkan.32

3. Pihak-Pihak yang Berwenang dalam Rehabilitasi

a. Pihak yang Berwenang Mengajukan Rehabilitasi

1) Oleh tersangka atas penagkapan atau penahanan tanpa alasan yang


berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum
yang diterapkan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1)
yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri diputuskan oleh
hakim pra-peradilan yang dimaksud dalam Pasal 77 (Pasal 97 ayat (3)
KUHAP).33

32
Ibid.,209.
33
Ibid.,210.
25
2) Menurut ketentuan Pasal 97 ayat (3) KUHAP dan Pasal 12 PP No. 27
Tahun 1983, maka yang berhak mengajukan permintaan rehabilitasi
adalah tersangka, keluarga tersangka, dan kuasanya.34

b. Pihak yang Berwenang Memeriksa Permohonan Rehabilitasi

Sebagaimana dalam tuntutan ganti kerugian, dalam hal permohonan


rehabilitasi pun terdapat dua instansi yang berkewenangan memeriksa dan
memutus permintaan rehabilitasi, sebagaimana ditentukan Pasal 97 KUHAP,
yaitu;

1) Praperadilan

Apabila perkaranya dihetikan sampai pada tingkat pemeriksaan


penyidikan atau penuntutan, maka Praperadilan lah yang berwenang
untuk mengurusinya.

Menurut Pasal 97 ayat (3) KUHAP, bahwa “Permintaan


rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan
yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau
hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1)
yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh hakim
pra-peradilan yang dimaksud dalam pasal 77.

2) Pengadilan Negeri

Apabila perkaranya sampai pada tingkat pemeriksaan di sidang


pengadilan, maka Pengadilan Negeri-lah yang berwenang dalam
melakukan pemeriksaanya.

Pengadilan menjatuhkan putusan (Pasal 97 ayat (2) KUHAP);

 Putusan pembebasan; dan


 Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum.35
4. Tenggang Waktu Pengajuan Rehabilitasi

Tenggang waktu mengajukan permintaan rehabilitasi ditentukan dalam


Pasal 12 PP No. 27 yang berbunyi “Permintaan rehabilitasi sebagaimana
34
Yahya Harahap,66.
35
Andi Sofyan,210.
26
dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3 ) KUHAP diajukan oleh tersangka,
keluarganya, atau kuasanya kepada pengadilan yang berwenang yang
berwenang selambat-lambatnya 14 hari setelah putusan mengenai sah tidaknya
penangkapan atau penahanan diberitahukan kepada pemohon”.36

Dalam Pasal 12 PP No. 27 hanya disingung untuk permintaan rehabilitasi


yang tercantum dalam Pasal 97 ayat (3) KUHAP, yakni tenggang waktu
mengenai rehabilitasi atas alasan penangkapan atau penahanan yang tidak sah,
yang perkaranya tidak sampai dibawah ke pengadilan. Sedangkan untuk
tenggang waktu atas alasan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 97 ayat (1) KUHAP, tidak
disinggung tenggang waktunya dalam Pasal 12 PP No. 27 Tahun 1983, ini
dikarenakan setiap putusan pengadilan yang berupa pembebasan atau
pelepasan dari segala tuntutan hukum , harus sekaligus memberikan serta
mencantumkan rehabilitasi. Itu alasanya mengapa tidak ada tenggang waktu
untuk itu, karena pemberian rehabilitasi merupakan hak yang wajib diberikan
dan dicantumkan sekaligus secara langsung dalam putusan bebas atau lepas
dari segala tuntutan hukum. Berarti terdakwah akan otomatis mendapatkan
rehabilitasi tanpa ia melakukan permohonan. Rehabilitasi yang dicantumkan
dan diberikan dalam putusan tersebut, baru dianggap sah dan memiliki
kekuatan hukum yang mengikat sejak putusan yang bersangkutan memperoleh
kekuatan hukum tetap.37

5. Redaksi Amar Putusan

Adapun bunyi redaksi amar putusan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam


Pasal 14 PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pe;aksanaan KUHAP, yaitu:

a. Amar putusan dari pengadilan mengenai rehabilitasi berbunyi sebagai berikut


“Memulihkan hak terdakwa dalam kemapuan, kedudukan dan harkat serta
martabatnya”.

b. Amar penetapan dari Pra-peradilan mengenai rehabilitasi berbunyi sebagai


berikut “Memulihkan hak pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat
serta martabatnya”.
36
Yahya Harahap,68.
37
Ibid.,
27
Jadi kedua bunyi amar putusan diatas antara putusan pengadilan dan pra-
pengadilan, pada hakikatnya sama tidak terdapat perbedaan yang prinsipil,
hanya perbedaan keduanya terletak pada satu kata yaitu "terdakwa” pada redaksi
kata pertama dan pada redaksi kata kedua diubah menjadi “pemohon”.38

B. Peradilan Koneksitas

Peradilan koneksitas adalah sistem peradilan terhadap pembuat delik


penyertaan antara orang sipil dan orang militer. Atau dapat juga dikatakan peradilan
antara mereka yang tunduk kepada yurisdiksi peradilan umum dan peradilan militer.
Pengertian koneksitas ini, dirumuskan dalam KUHAP pasal 89 ayat (1), yang
menjelaskan “Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang
termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa
dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali jika menurut
keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri
Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan pengadilan dalam
lingkungan militer.” Isi dari pasal 89 (1) KUHAP ini senada dengan pasal 22
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. 39

Memperhatikan ketentuan pasal 89 ayat (1) tersebut, apabila suatu peristiwa


pidana dilakukan secara “bersama-sama” oleh orang-orang sipil yang tunduk ke
dalam lingkunngan peradilan umum dengan anggota TNI/Polri yang tunduk dalam
lingkungan peradilan militer, dalam tindak pidana yang seperti itu terdapat koneksi
antara orang sipil dan anggota TNI/Polri. Dengan adanya koneksitas antara kedua
kelompok yang berlainan lingkungan peradilannya dalam melakuakan suatu tindak
pidana, pembuat undang-undang berpendapat, lebih efektif untuk sekaligus menarik
dan mengadili mereka dalam suatu lingkungan peradilan saja. Pemeriksaan dan
peradilan yang seperti inilah yang disebut pemeriksaan dan peradilan koneksitas.40

Menurut KUHAP karangan Karjadi dan Soesilo mengenai pasal 89 ayat (1),
yang tertuang dalam buku ini, “jiwa dari ayat (1) pasal 89 KUHAP ini senada dengan
pasal 4 Undang-undang No. 5 Tahun 1950 tentang Susunan dan Kekuasaan
Pengadilan/Kejaksaan Dalam Lingkungan Peradilan Kesetaraan. Seseorang dari
38
Andi Sofyan,211.
39
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), 210.
40
M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), 28.
28
lingkungan peradilan umum berbuat peristiwa pidana bersama-sama dengan orang
yang termasuk lingkungan peradilan militer, maka penyidikannya dilakukan oleh
suatu tim tetap yang terdiri dari penyidik pejabat polisi negara atau pejabat pegawai
negeri sipil dengan polisi militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan oditur
militer atau oditur militer tinggi sesuai dengan wewenang mereka masing-masing
yang dibentuk dengan surat keputusan bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan
dan Menteri Kehakiman. Adapun peradilannya pada umumnya dilakukan oleh
pengadilan dalm lingkungan peradilan umum, kecuali kalau dianggap perlu menurut
keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri
Kehakiman perkara itu diperiksa oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan
militer. Untuk menetapkan apakah pengadilan militer atau pengadilan umum yang
akan mengadilj perkara tersebut, diadakan penelitian bersama lebih dahulu oleh jaksa
tinggi dan oditur militer atau oditur militer tinggi, dan atas hasil penelitian inilah hal
itu ditetapkan.41

Penyidikan Koneksitas

Penyidikan perkara koneksitas diatur pada Pasal 89 ayat (2) dan ayat (3)
sebagai berikut;42

“Penyidik perkara pidana sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
oleh suatu tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagaiman dimaksud dalam pasal 6
dan polisi militer ABRI dan oditur militer atau oditur militer tinggi sesuai dengan
wewenang maasing-masing menurut hukum yang berlaku untuk penyidikan perkara
pidana.

Selanjutnya, ayat (3) sebagai berikut;

Tim sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) dibentuk dengan surat keputusan
bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman.

Jadi, dapatlah disimpulkan bahwa dalam perkara koneksitas ini penyidikan


dilakukan oleh Menteri Pertahanan Keamanan dan Menteri Kehakiman yang terdiri
atas berikut;43

41
M Karjadi dan R Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, (Bogor: Politeia, 1997), 81
42
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 154
43
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), 213
29
a. Penyidik sebagaiman dalam Pasal 6 KUHAP
b. Polisi Militer ABRI
c. Oditur militer atau oditur militer tinggi, oditur militer berwenang memeriksa
atau menyidik anggota Angkatan Bersenjata RI yang pangkatnya Kapten ke
bawah sedang oditur militer tinggi tinggi berwenang menyidik anggota ABRI
yang berpangkat Mayor ke atas. Itupun dengan surat Komandan (DAN) yang
berhak menghukum (Angkum).44

Cara bekerja tim tetap disesuaikan dengan penggarisan dan batas-batas


wewenang yang ada pada masing-masing unsur tim. Beritik tolak dari segi
wewenang masing-masing unsur tim, cara pemeriksaan penyidikan dilakukan sesuai
dengan;45

 Tersangka pelaku sipil diperiksa oleh unsur penyidik Polri.


 Sedang tersangka pelaku anggota TNI/Polri diperiksa oleh penyidik unsur
Polisi Militer dan Oditur Militer.

Tim tetap, sebagaimana disebutkan dalam pasal 89 ayat (3) yang dibentuk dari
surat keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman pasal 1
menentukan sebagai berikut.

“Untuk penyidikan tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang
termasuk lingkungan peradilan umum, dan peradilan militer, yang selanjutnya
disebut perkara pidana koneksitas, dibentuk tim tetap dari: pusat dan daerah.

Tugas tim tetap pusat dan daerah berbeda. Tim tetap pusat bertugas melakukan
penyidikan perkara koneksitas apabila perkara dan tahu tersangkanya mempunyai
bobot nasional dan atau internasional, juga apabila delik yang dilakukan atau akibat
yang ditimbulkan terdapat dalam lebih dari satu daerah hukum Pengadilan Tinggi.
Sedang tim tetap daerah bertugas melakukan penyidikan perkara koneksitas yaitu
apabila delik yang dilakukan atau akibat yang ditimbulkannya terdapat dalam lebih
satu daerah hukum Pengadilan Negeri tetapi dalam satu daerah hukum Pengadilan
Tinggi atau apabila pelaksanaan penyidikannya tidak dapat diselesaikan oleh tim
tetap yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Negeri dan masih dalam daerah
hukum Pengadilan Tinggi yang bersangkutan. Kedudukan Tim Tetap Pusat adalah di
44
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 155
45
M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), 30
30
Ibukota Negara Republik Indonesia, sedang Tim Tetap Daerah berkedudukan dalam
daerah hukum Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi yang bersangkutan.46

Susunan tim tetap penyidikan perkara pidana koneksitas adalah sebagai berikut;47

 Tim Tetap Pusat


 Penyidik dari Markas Besar kepolisian Negara Republik Indonesia;
 Penyidik dari Polisi Militer Angkatan Bersenjata RI pada Pusat Polisi Militer
ABRI, disinkat PUSPOM ABRI (TNI);
 Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi dari Oditurat Jenderal ABRI
disingkat OTJEN ABRI.
 Tim Tetap Daerah
 Dalam daerah Hukum Pengadilan Tinggi:
a. Penyidik pada Markas Komando Daerah Kepolisian RI (sekarang disebut
Markas Kepolisian Daerah/MAPOLDA);
b. Penyidik pada POM ABRI Daerah (POM TNI Daerah);
c. ODMIL atau ODMILTI dari Oditurat Militer Tinggi.
 Dalam Daerah Hukum Pengadilan Negeri:
a. Penyidik pada Markas Wilayah Kepolisian RI, Markas POLRI Kota
Besar, Markas POLRI/Resort/Resort Kota (POLRES/POLRESTA) dan
Markas POLRI SEKTOR/SEKTOR Kota;
b. Penyidik dariPOM ABRI pada Detasemen POM ABRI (TNI);
c. Oditur Militer dari Oditurat Militer.

Peradilan Perkara Koneksitas

Dalam memeriksa perkara pidana dengan acara biasa, terhadap perkara-perkara


yang dilimpahkan berdasarkan berdasarkan Pasal 143 KUHAP, yang menurut Jaksa
Penuntut Umum termasuk kekuasaan atau wewenang Pengadilan Negeri untuk
diperiksa dan diadili maka Ketua Pengadilan Negeri berdasarkan Pasal 147 KUHAP
mempelajari perkara tersebut apakah perkara itu termasuk kekuasaan atau wewenang
pengadilan yang dipimpinnya.

46
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), 214
47
Kuffal, KUHAP dalam Praktik Hukum, (Malang: UMM, 2008), 308
31
Mengenai pemeriksaan perkara koneksitas, Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana mengatur mengenai wewenang mengadili dan susunan hakim
pengadilan.

Wewenang mengadili perkara koneksitas, berdasarkan Pasal 91 KUHAP, yang


berbunyi sebagai berikut.

Ayat (1) : jika menurut pendapat sebagaimana dimaksud dalam pasal 90 ayat (3) titik
berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada
kepentingan umum dan karenanya perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum, maka perwira penyerah perkara segera membuat
surat keputusan penyerahan perkara yang diserahkan melalui oditur militer ataun
oditur militer tinggi kepada penuntut umum untuk dijadikan dasar mengajukan
perkara tersebut kepada pengadilan negeri yang berwenang.

Ayat (2) : Apabila menurut pendapat itu titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh
tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan militer sehingga perkara pidana itu
harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, maka pendapat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) dijadikan dasar bagi Oditur Jendral
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk mengusulkan kepada Menteri
Pertahanan dan Keamanan, agar dengan persetujuan Menteri Kehakiman dikeluarkan
keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan yang menetapkan, bahwa perkara
pidana tersebut diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

Ayat (3) : surat keputusan pada ayat (2) dijadikan dasar bagi perwira penyerah
perkara dan jaksa tinggi untuk menyerahkan perkara tersebut kepada Mahkamah
Militer atau Mahkamah Militer Tinggi.

Lingkungan peradilan militer menentukan kompetensi relatif terhadap


Mahkamah Militer yang akan mengadili perkara koneksitas, selain ketentuan dimuka
juga dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950 tentang susunan dan Kekuasaan
Pengadilan/Kejaksaan dalam Lingkungan Peradilan Ketentaraan. Pasal 10 yang
menentukan bahwa:

32
Ayat (1) : Pengadilan Tentara mengadili dalam tingkat pertama perkara-perkara
kejahatan dalam pelanggaran yang dilakukan oleh Anggota Angkatan Perang
Republik Indonesia Serikat yang berpangkat kapten kebawah:

a. Dan termasuk suatu pasukan yang ada didalam daerah hukumnya;


b. Didalam daerah hukumnya.

Ayat (2) : Apabila lebih dari satu Pengadilan Tentara berkuasamengadili suatu
perkara dengan syarat-syarat yang sama kuatnya, maka Pengadilan yang menerima
perkara itu lebih dahulu dan Kejaksaan Tentara harus mengadili perkara tersebut.48

Pemberian wewenang kepada Mahkamah Militer untuk mengadili didsarkan


pada terjadinya delik yang dilakukan oleh anggota Angkatan Bersenjata didalam
daerah hukumnya dan suatu pasukan yang ada didalam daerah hukum tersebut.

Pada dasarnya pelaksanaan sidang pengadilan perkara koneksitas dilakukan oleh


hakim majelis, karena menyangkut dua kepentingan lingkungan peradilan, yaitu
lingkungan peradilan umum dan peradilan militer. Sehingga untuk majelis hakimnya
pun terdiri dari hakim ketua dari lingkungan peradilan, yaitu lingkungan peradilan
umum dan peradilan militer. Sehingga untuk majelis hakimnya pun terdiri dari hakim
ketua dari lingkungan peradilan yang berwenang dan hakim anggota berimbang
antara kedua lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer.

Jadi, apabila diterapkan bahwa perkara koneksitas itu diadili oleh pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum, maka susunan majelis hakim adalah ketua
majelis hakim dari lingkungan peradilan umum dan hakim anggota masing-masing
dari lingkungan peradilan umum dan dari peradilan militer secara berimbang.
Apabila perkara tersebut diadili dalam lingkungan peradilan militer, maka ketua
majelis hakim dari lingkungan peradilan militer dan hakim anggota dari lingkungan
peradilan militer dan peradilan umum secara berimbang. Akan tetapi, hakim dari
lingkungan peradilan umum diberi pangkat militer tituler sesuai dengan hakim
perwira yang lain.

Pemberian pangkat tituler ini tidak perlu, karena sama sekali tidak berpengaruh.
Kalau alasan untuk menyesuaikan hakim sipil dan hakim militer, tidak logis.
Keduanya sama-sama berstatus hakim. Pelaku koneksitas ini terdiri dari dua
48
Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Ed.2, Cet.13(Jakarta : Sinar Grafika, 2019)hlm. 234
33
golongan yaitu sipil dan militer, dengan diberinya pangkat tituler ini seakan-akan
dititikberatkan pada pihak militer.

Bismar Siregar, S.H. (Mantan Hakim Agung) menyatakan “Tidak perlu hakim
sipil diberi pangkat militer selama dalam persidngan, bila perlu memakai tanda cakra
yang dipergunakan hakim sehari-hari.”49

Susunan majelis hakim seperti tersebut berlaku juga pada pemeriksaan perkara
koneksitas di Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Militer Tinggi dalam tingkat
banding. Adapun untuk hakim perkara koneksitas secara timbal balik antara Menteri
Kehakiman dan Menteri Pertahanan dan Keamanan mengusulkan pengangkatan
hakim anggota, begitu juga hakim perwira.50

49
Bismar Siregar, Kompas, 1 September 1981, hlm 4
50
Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Ed.2, Cet.13(Jakarta : Sinar Grafika, 2019)hlm. 235-236
34
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Praperadilan

Secara harfiah, Pra artinya sebelum, atau mendahului, berarti praperadilan sama
dengan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan. Menurut KUHAP Indonesia,
praperadilan tidak mempunyai wewenang yang luas. Dan juga tidak ada ketentuan
di mana hakim praperadilan melakukan pemeriksaan pendahuluan atau
memimpinnya.

Mengacu pada pembahasan dalam makalah ini dapat disimpulkan bahwa


praperadilan Menurut pasal 1 angka 10 KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana), praperadilan adalah wewenang hakim untuk memeriksa dan
memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang tentang:

1. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
2. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas
permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
3. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya
atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Peradilan koneksitas

Peradilan koneksitas adalah sistem peradilan terhadap pembuat delik penyertaan


antara orang sipil dan orang militer. Atau dapat juga dikatakan peradilan antara
mereka yang tunduk kepada yurisdiksi peradilan umum dan peradilan militer.
Dalam perkara koneksitas ini penyidikan dilakukan oleh Menteri Pertahanan
Keamanan dan Menteri Kehakiman. Mengenai pemeriksaan perkara koneksitas,
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur mengenai wewenang
mengadili dan susunan hakim pengadilan dalam Pasal 91 KUHA

35
DAFTAR PUSTAKA

Harahap, Yahya. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta:


Sinar Grafika.

Hamzah, Andi. 2019. Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.

Prints, Darwin. 1993. Praperadilan dan Perkembangannya di dalam praktek, cet. 1,


Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Djuanedi. 2014. "Tinjauan Yuridis Kedudukan Jaksa dan Surat Dakwaan Demi
Tercapainya Nilai-nilai Keadilan", Jurnal Pembaharuan Hukum, Vol.1 No. 1.

Ekawaty, Dian dan Yowan Tamu. Februari, 2009. "Upaya Perlindungan Hak-hak
Tersangka/Terdakwa Melalui Mekanisme Praperadilan di Kota Gorontalo", Mimbar
Hukum Volume 21, No. 1.

Septiana, Sonia, dkk. 2019. "Implementasi Hak Tersangka/Terdakwa Menurut Pasal 52


KUHAP pada Perkara Pidana dalam Rangka Mencari Kebenaran Materiil", Jurnal
Hukum Univ.Lampung, Lampung.

Tri, Bambang. Agustus, 2011. "Tinjauan Yuridis Hak-hak Tersangka dalam


Pemeriksaan", Jurnal Hukum Vol XXVI, No. 2.

Marbun, Rocky. 2011. Kiat Jitu Menyelesaikan Kasus Hukum, Jakarta: Transmedia
Pustaka.

Supriyadi, dkk. 2014. Praperadilan di Indonesia: Teori, Sejarah, dan Praktiknya,


Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform.

HMA Kuffal. 2008. Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum,Malang:UMM Press.

Sofyan, Andi. 2014. Hukum Acara Pidana:Suatu Pengantar, Jakarta: Kencana.

Karjadi, M dan R Soesilo. 1997. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Bogor:
Politeia.

Marpaung, Laden. 2011. Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Pertama, Jakarta:
Sinar Grafika.

Siregar, Bismar. 1 September 1981. Kompas.


36

Anda mungkin juga menyukai