Anda di halaman 1dari 7

Judul Besar : Negara Sosial Hukum Islam

Judul Kecil : Hukum Islam di Era Modern

Ijtihad Kolektif
Syarat : Untuk memenuhi perkuliahan studi hukum

Nama :

Qoriatul Falahyakti (C92218167)

Dosen Pengampu :

Prof, Dr

HUKUM EKONOMI SYARI’AH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM SUNAN AMPEL SURABAYA

2018
Ijtihad Kolektif

1. Pengertian Ijtihad

Secara etimologi ijtihad berakar dari kata jahda yang berarti al-
Masyaqqah (yang sulit yang susah). Namun dalam al-Qur’an kata jahda
mengandung arti badzl al-wus’i wa thaqati 9pengerahan segala
kesanggupan dan kekuatan) atau juga berarti al-mubalaghah fi al-yamin
(berlebih-lebihan dalam sumpah).1

Sedangkan secara terminologinya adalah pengerahan segenap


kesanggupan oleh seorang ahli fikih atau mujtahid untuk memperoleh
pengertian tingkat zhar mengenai hukum syara. Dalam definisi ini terdapat
perkataan untuk memperoleh pengertian tingkat zhan mengenai hukum
syara’amali ialah hukum islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan
perbuatan manusia yang lazim disebut dengan hukum taklifi. Dengan
demikian, ijtihad tidak untuk mengeluarkan hukum syara’amali yang
statusnya Iqath’i.2

Definisi mayoritas ulama ushul mengenai pengertian ijtihad di atas


merupakan kristalisasi dari beberapa pengertian ijtihad didefinisikan oleh
para ulama. Bila kita analisa definisi-definifsi yang dikemukakan oleh para
ulama ushul, maka kita temukan beberapa perbedaan dan persamaan.

Perbedaan rata-rata seputar sebagai berikut:

a. Penggunaan bahasa.
b. Subjek ijtihad
c. Sumber yang diijtihadi
d. Metode ijtihad3

Sedangkan persamaan adalah sebagai berikut:

a. Hukum yang berhasil selalu bersifat zhanni, karen hukum itu diciptakan
berdasarkan akal pikiran manusia, sehingga dalam satu masalah dapat
timbul berbagai jaln pikiran dan menghasilkan hukum yang berbada.
b. Objek ijtihad hanya berkisar hukum taklify, yakni hukum yang bekenaan
dengan amal ibadah manusia.
c. Masing-masing ulama menggunakan istilah kesungguhan, sehingga
upaya ijtihad tidak main-main karena itu dibutuhkan upaya dan syarat-
syarat tertentu bagi mujtahid.4
1

2
Wahbah al-Zuhsili, Ushul al-Fiqh al-Islami,(Suria;Dar al-Fikr,1986), jilid II, hlm.1037.
ibrahim Husain, Op.cit., hlm 23.
3
Nadiyah Syarif al-Umari, Op.cit., hlm. 199-200
4
Bambang Subandi,M. Ag., Drs. H Misbahul Munir,M. Ag., Abd. Basith Junaidy, M. Ag.,
Drs. H. Saiful Jazil, M. Ag., Drs. H. Khotib, M.Ag., Studi hukum islam, Surabaya : IAIN
Sunan Ampel, 2012, 178-179
2. Urgensi dan Kedudukan Ijtihad

Setiap muslim pada dasarnya diharuskan untuk berijtihad pada semua


bidang hukum syariah, asalkan dia mempunyai kriteria dan syarat sebagai
seorang mujtahid. Para ulama membagi hukum melakukan ijtihad dengan
tiga bagian, yaitu:

a. Wajib ‘ain, yaitu bago mereka yang dimintai fatwa hukum mengenai
suatu peristiwa yang terjadi, dan ia khawatir peristiwa itu lenyap tanpa
ada kepastian hukumnya, atau dia sendiri mengalami suatu peristiwa dan
ia ingin mengetahui hukumnya.
b. Wajib kifayah, yaitu bagi orang yang dimintai fatwa hukum mengenai
suatu peristiwa yang tidak dikhawatirkan lenyap peristiwa itu, sedang
selain dia masih terdapat mujtahid-mujtahid lainnya.
c. Sunnah, yaitu apabila melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah
yang belum atau tidak terjadi.

Ketiga hukum di aas sebenarnya telah menggambarkan urgensi


ijtihad, karena dengan ijtihad dapat mendinamisir hukum islam dan
mengoreksi kekeliruan dan kekhilafan dari ijtihad yang lalu. Lebih lanjut,
ijtihad merupakan pembaruan hukum islam. Namun demikian, tidak semua
ijtihad merupakan pembaharuan bagi ijthad yang lama, sebab adakalanya
hasil ijtihad yang baru sama dengan ujtihad yang lama, bahkan sekalipun
berbeda hasil ijtihad baru tidak dapat merubah status ijtihad yang lama, hal
itu seiring dengan konsensus umum kaidah fiqhiyah bahwa ijtihad itu tidak
dapat dibatalkan dengan ijtihad pula.5

Urgensi upaya ijtihad dapat dilihat dari fungsi ijtihad sendiri yang
terbagi atas tiga macam, yaitu:

a. Fungsi al-ruju’ atau al-i’adah (kembali, yaitu mengembalikan ajaran-


ajaran islam kepada sumber pokok, yakni al-Qur’an dan Sunnah
Shahibah.
b. Fungsi al-ihya’ (kehidupan), yaitu menghidupkan kembali bagian-bagian
dari nilai dan semangat ajaran islam agar mampu menjawab dan
menghadapi tantangan zaman.
c. Fungsi al-inabah (pembenahan), yakni mambenahi ajaran-ajaran islam
yang telah diijtihadi oleh ulama terdahulu dan dimungkinkan adanya
kesalahan menurut konteks zaman, keadaan, dan tempat yang kini kita
hadapi.

Kiranya ketiga fungsi itu mengingatkan akan “tajdid” yakni mengadakan


pembaruan dari ajaran-ajaran islam sehingga dapat dikatakan bahwa ijtihad
tidak lain hanyalah merupakan pengadaan “tajdid” dalam ajaran islam, di
mana istilah itu kini berkembang dengan istilah reaktualisasi, reinterpretasi,
renovasi, revitalitas, rasionalisasi, revormulasi, dan modernisasi.

5
179-181
Begitu pentingnya melakukan ijtihad sehingga Rasulullah SAW bersabda:

‫اب فَلَهُ أجْ را ِن َوإِ َذا َح َك َم فَاجْ تَهَ َد ثُ َّم أَ ْخطَأ َ فَلَهُ أَجْ ٌر‬
َ ‫ص‬َ َ‫إِ َذا َح َك َم ْال َحا ِك ُم فَاجْ تَهَ َد ثُ َّم أ‬

“apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad, kemudian dia


benar, maka ia mendapatkan dua pahala, tetapi al-Qur’an apabila ia
menetapkan hukum dalam berijtihad itu dan ia salah, maka ia mendapatkan
satu pahala”.6

Menengok sjarah umat islam, ijtihad selalu dilakukan dari fase ke


fase, yakni mulai fase Nabi SAW., fase sahabat, dan fase-fase berikutnya.
Para ulama kebanyakan berpendapat bahwa Nabi SAW Mempunyai
kewenangan dalam melakukan ijtihad, walaupun hasil itihadnya tidak lepas
dari kendali wahyu ilahi, kemudian upaya itu diteruskan oleh para sahabat-
nya. Sikap sahabat dalam melakukan ijtihad adalah sangat ikhfiyat (hati-
hati) dalam menerima informasi, tawadhu’ (bersikap toleran tafsir terhadap
pendapat sahabat lain yang berlawanan). Oleh karena itu mereka selalu
bersikap:7

a. Hanya berijtihad terhadap masalah-masalah yang terjadi.


b. Suka tukar-menukar informasi atau saling bertanay mengenai suatu
masalah.
c. Sering bermusyawarah untuk memecahkan suatu masalah secara bersama
d. Tidak menganggap pendapat sendiri paling benar
e. Segera menarik fatwanya setelah mengetahui ketatapan sunnah yang
bertentangan dengan fatwanya.8

Pada saat penghujung periode IV, timbullah fatwa bahwa pintu ijtihad
sudah tertutup. Fatwa ini sebenarnya mempunyai tujuan positif yakni untuk
mencegah orang-orang yang tidak mengetahui syarat-syarat berijtihad dan
berani memberikan fatwa-fatwa serat melakukan ijtihad, akhirnya terjadi
fatwa yang simpang siur yang sempat membingungkan umat.

6
HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibn Majah, dan Ahmad dari Amr ibnu ‘Ash
7
Bambang Subandi,M. Ag., Drs. H Misbahul Munir,M. Ag., Abd. Basith Junaidy, M. Ag.,
Drs. H. Saiful Jazil, M. Ag., Drs. H. Khotib, M.Ag., Studi hukum islam, Surabaya : IAIN
Sunan Ampel, 2012, 182-183
8
Masjufuk Zuhdi, ijtihad dan problematikanya. Surabaya: Bina Ilmu, 1981, hlm.15
Argumen yang menyatakan bahwa pinti ijtihad telah tertutup, yakni:

a. Hukum-hukum islam, muamalah, dan sebagainya sudah lengkap dan


telah dibukukan secara rinci dan rapi.
b. Mayoritas ahlu sunnah hanay mengikuti mazhab empat.
c. Membuka pintu ijtihad selain hal itu percuma dan membuang-buang
waktu, karena hasil berkisar pada hukum yang terdiri atas kumpulan
pedapat dari satu mazhab atau lebih.
d. Sejak awal abad keempat Hijrah sampai kini, tak seorang ulama pun tak
memberanikan diri sebagai “ mujtahid mutlak mustaqil”, karena sulit
dimiliki oleh mujtahis masa kini9

Fatwa-fatwa pintu tertutup akhirnya memberikan dampak negatif pada


umat islam, karena dengan begitu hukum-hukum islam yang semula
dinamis menjadi statis dan kaku, sehingga islam tertinggal zaman, bahkan
masih ada kasus baru yang hukumnya belum jelas oleh ulama-ulama
terdahulu.

Untuk mengembangkan lembaga ijtihad, maka perlu upaya dan


langkah-langkah khusus, misalnyakita memasyarakatkan pendapat pintu
ijtihad masih terbuka, meninggalkan pengajian di bidang Ilmu Ushul Fiqh,
Fiqh Muqorronan (perbandingan), Suyasah Syariat (politik hukum islam)
dan hikmat tasyri’ serta menggalakkan bahwa orang islam tidakharus terikat
dengan salah satu mazhab dan mengembangkan toleransi dalam bermazhab
dengan cara mencari pendapat yang paling sesuai dengan kemaslahatan.

Adapun kedudukan hukum ijtihad selalu mengikat dan selalu menjadi


haujah bagi mujtahid yang bersangkutan. Hukum ijtihad tidak mengikat dan
tidak menjadi hujah bagi keseluruhan umat islam, karena itu, tidak seorang
pun wajib mengikuti dan bertindak sesuai dengan hukum ijtihad.

Para madzahib sendiri tidak pernah mempromosikan dirinya untuk


diikuti, bahkan mereka menginginkan seseorang selektif dalam memilih
suatu pendapat.

Imam Abu Hanifah berkata “Tinggalkan pendapatku dan ikutilah


kitabullah, sunnah Rasulullah dan pendapat para sahabat”.

Sedang Imam Malik berpesan “setiap orang dapat diterima dan ditoleh
pendapatnya, kecuali perkataan orang yang berada dalam kubur ini (Nabi
SAW). Oleh karena itu, seseorang bisa benar bisa juga salah pendapatnya,
Rasul dan telitilah terlebih dahulu.”

Sedang Imam Syafi’i berpesan “terhadap apa yang aku katakan,


sedang perkataan Nabi SAW menyalahi perkataanku itu, maka riwayat yang
benar adalah yang dari Nabi SAW. Dan jangan lah bertaqlid padaku. Dan
9
Bambang Subandi,M. Ag., Drs. H Misbahul Munir,M. Ag., Abd. Basith Junaidy, M. Ag.,
Drs. H. Saiful Jazil, M. Ag., Drs. H. Khotib, M.Ag., Studi hukum islam, Surabaya : IAIN
Sunan Ampel, 2012, 184-185
setiap masalah benar-benar berasal dari (hadits) baik dikala aku masih hidup
atau aku sudah mati.”

Sedang Imam Ahmad in Hanbal berpesan “janganlah kamu mengikuti


pendapat salah seorang dari keduanya (Imam Awza’i dan Imam Malik)
dalam hal yang berhubungan dengan agama, dan apa yang berasal dari Nabi
SAW., serta sahabatnya hendaklah kamu ambil dan pegang kokoh,
kemudian apa yang kamu ambil dari tabiin telitih terlebih dahulu.”

Pesan-pesan para madzahib tersebut sebenarnya menganjurkan pada


kita untuk melakukan ijtihad sendiri kalalu sudah mampu dan memenuhi
persyaratan, sebab ber-itba’ dan ber-taqlid merupakan usaha terakhir, yakni
berlaku bagi orang awam yang tidak memungkinkan untuk berijtihad.

Demikian juga, pesan iu menunjukkan adanya kemungkinan bahwa


pendapatnya dapat berubah.
DAFTAR PUSTAKA

Wahbah al-Zuhsili, Ushul al-Fiqh al-Islami,(Suria;Dar al-Fikr,1986), jilid II,


hlm.1037. ibrahim Husain, Op.cit.

Nadiyah Syarif al-Umari, Op.cit.

HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibn Majah, dan Ahmad dari Amr ibnu ‘Ash

Masjufuk Zuhdi, ijtihad dan problematikanya. Surabaya: Bina Ilmu, 1981

Bambang Subandi,M. Ag., Drs. H Misbahul Munir,M. Ag., Abd. Basith Junaidy,
M. Ag., Drs. H. Saiful Jazil, M. Ag., Drs. H. Khotib, M.Ag., Studi hukum islam,
Surabaya : IAIN Sunan Ampel, 2012

Anda mungkin juga menyukai