Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

SISTEM MUSKULOSKELETAL
PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR

oleh :

NAMA : NI WAYAN LINSA MIRAWATI GALUH


NIM : P07120215015
KELAS : 4A
PRODI : D-IV KEPERAWATAN

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR

JURUSAN KEPERAWATAN

SEMESTER VII

TAHUN 2018
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN
SISTEM MUSKULOSKELETAL
PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Pengertian
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh.
Kebanyakan fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang
berlebihan pada tulang, baik berupa trauma langsung dan trauma tidak
langsung (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer,
2007). Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik (Price dan Wilson, 2006).
Fraktur cruris merupakan suatu istilah untuk patah tulang tibia dan
fibulayang biasanya terjadi pada bagian proksimal (kondilus), diafisis, atau
persendian pergelangan kaki (Muttaqin, 2008)
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa.Fraktur
dapat dibagi menjadi :
1. Fraktur komplit adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan
biasanya megalami pergeseran (bergeser dari posisi normal).
2. Fraktur tidak komplit (inkomplit) adalah patah yang hanya terjadi pada
sebagian dari garis tengah tulang.
3. Fraktur tertutup (closed) adalah hilangnya atau terputusnya kontinuitas
jaringan tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar atau bila jaringan kulit yang berada diatasnya/ sekitar
patah tulang masih utuh.
4. Fraktur terbuka (open/compound) adalah hilangnya atau terputusnya
jaringan tulang dimana fragmen-fragmen tulang pernah atau sedang
berhubungan dengan dunia luar.Fraktur terbuka dapat dibagi atas tiga
derajat, yaitu :
a) Derajat I
(1) Luka < 1 cm
(2) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk
(3) Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau koinutif ringan
(4) Kontaminasi minimal
b) Derajat II
(1) Laserasi > 1 cm
(2) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulse
(3) Fraktur kominutif sedang
(4) Kontaminasi sedang
c) Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit,
otot, dan neurovascular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur
derajat III terbagi atas :
(1) IIIA :Fragmen tulang masih dibungkus jaringan lunak
(2) IIIB :Fragmen tulang tak dibungkus jaringan lunak terdapat
pelepasan lapisan periosteum, fraktur kontinuitif
(3) IIIC : Trauma pada arteri yang membutuhkan perbaikan agar
bagian distal dapat diperthankan, terjadi kerusakan jaringan lunak
hebat.
2. Penyebab/ Faktor Predisposisi
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang
berlebihan pada tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak
langsung dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang
di sebabkan oleh kendaraan bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma terutama
pada anak-anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan.
Menurut (Doenges, 2000) adapun penyebab fraktur antara lain:
1)      Trauma Langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda
paksa misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang
mengakibatkan fraktur
2)      Trauma Tak Langsung
Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh
dari tempat kejadian kekerasan.
3)      Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal(kongenital,peradangan,
neuplastik dan metabolik)
Menurut Carpenito (2000) adapun penyebab fraktur antara lain:
1)      Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka
dengan garis patah melintang atau miring.
2)      Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh
dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang
paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3)      Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat
berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari
ketiganya, dan penarikan.
Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (2006) ada 3 yaitu:
1.      Cidera atau benturan
2.      Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi
lemah oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis.
3.      Fraktur beban
Fraktur beban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang baru
saja menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima dalam
angkatan bersenjata atau orang- orang yang baru mulai latihan lari.
3. Pohon Masalah

Trauma langsung Trauma tdk langsung Kondisi patologis

Fraktur

Diskontinuitas tulang Pergeseran fragmen tlg Nyeri Akut

Perubahan jaringan sekitar Kerusakan fragmen tlg

Pergeseran fragmen tulang Spasme otot Tekanan sumsum tulang


lbh tinggi dari kapiler
Deformitas Peningkatan tek kapiler
Melepaskan katekolamin

Ggn fungsi ekstermitas Pelepasan histamin Metabolisme asam lemak

Hambatan mobilitas fisik Protein plasma hilang Bergabung dg trombosit

Laserasi kulit
Edema Emboli

Resiko Infeksi Penekanan pembuluh darah Menyumbat pembuluh


darah

Mengenai jaringan kutis dan


Kerusakan integritas Ketidakefektifan perfusi
sub kutis
kulit jaringan perifer

Perdarahan

Kehilangan volume cairan

Patofisiologis
Resiko syok
(hipovolemik)
Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau trauma.
Baik itu karena trauma langsung misalnya: tulang kaki terbentur bemper
mobil, atau tidak langsung misalnya: seseorang yang jatuh dengan telapak
tangan menyangga. Juga bisa karena trauma akibat tarikan otot misalnya:
patah tulang patela dan olekranon, karena otot trisep dan bisep mendadak
berkontraksi. (Doenges, 2000)
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat
patah dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga
biasanya mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat
setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan
peningkatan aliran darahketempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-
sisa sel mati dimulai. Di tempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan
berfungsi sebagai jala-jala untuk melekatkan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast
terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan
fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk
membentuk tulang sejati (Carpenito, 2000)
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yg tidak ditangani dapat menurunkan asupan
darah ke ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak
terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan,
oklusi darah total dapat berakibat anoksia jaringanyg mengakibatkan rusaknya
serabut saraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom
kompartemen (Brunner & suddarth, 2002).
  
4. Gejala Klinis
Manifestasi klinik dari faktur ,menurut (Brunner and Suddarth, 2002)
a.      Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai almiah yang
di rancang utuk meminimalkan gerakan antar fregmen tulang
b.      Setelah terjadi faraktur, bagian-bagian tidak dapat di gunakan dan
cenderung bergerak secara alamiah (gerak luar biasa) bukanya tetap rigid
seperti normalnya. Pergeseran fragmen tulang pada fraktur lengan dan
tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstermitas
yang bisa diketahui membandingkan ekstermitas yang normal dengan
ekstermitas yang tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal
otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
c.     Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Fragmen
sering saling melingkupi satu samalain sampai 2,5-5 cm (1-2 inchi)
d.     Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya (uji krepitus dapat mengaibatkan kerusakan jaringan lunak
yang lebih berat).
e.     Pembengkakan dan perubahan warna lokal terjadi sebagai akibat trauma
dari pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru bisa terjadi setelah
beberapa jam atau hari setelah cidera.
Menurut Santoso Herman (2000:153) manifestasi klinik dari fraktur adalah:
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya samapi fragmen tulang
diimobilisasi, hematoma, dan edema.
b. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
c. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang
melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
d. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit.
5. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut (PERMENKES RI, 2014) pemeriksaan diagnosik meliputi:
1.      Foto polos
Umumnya dilakukan pemeriksaan dalam proyeksi AP dan lateral, untuk
menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur.
2.      Pemeriksaan radiologi lainnya
Sesuai indikasi dapat dilakukan pemeriksaan berikut, antara lain:
radioisotope scanning tulang, tomografi, artrografi, CT-scan, dan MRI,
untuk memperlihatkan fraktur dan mengidentifikasi kerusakan jaringan
lunak
3.      Pemeriksaan darah rutin dan golongan darah
Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan
bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple).
Peningkatan sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma.
4. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
5. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah.
Managemen Preoperatif pada Pasien Fraktur
Tindakan keperawatan pre operetif merupakan tindakan yang dilakukan
oleh perawat dalam rangka mempersiapkan pasien untuk dilakukan tindakan
pembedahan dengan tujuan untuk menjamin keselamatan pasien intraoperatif.
Persiapan fisik maupun pemeriksaan penunjang serta pemeriksaan mental
sangat diperlukan karena kesuksesan suatu tindakan pembedahan klien
berawal dari kesuksesan persiapan yang dilakukan selama tahap persiapan.
1. Evaluasi Pra Anestesi
Evaluasi pra-anestesi adalah langkah awal dari rangkaian tindakan
anestesi yang bertujuan untuk mengetahui status fisik pasien prabedah dan
menganalisa jenis operasi sehingga dapat memilih jenis atau teknik anestesi
yang sesuai, juga dapat meramalkan penyulit yang akan terjadi selama
operasi dan atau pasca bedah dan kemudian mempersiapkan obat atau alat
untuk menanggulangi penyulit tersebut.
Tatalaksana evaluasi pra-anestesi meliputi anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan penunjang, konsultasi dan  koreksi terhadap kelainan
fungsi organ vital dan penentuan status fisik pasien pra-anestesi. Hal ini
dilakukan untuk menegakkan diagnosis sehingga persiapan pasien dapat
dilakukan sesegera mungkin.
Yang harus diperhatikan pada anamnesis adalah identifikasi pasien,
riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita misalnya gangguan faal
hemostatis, penyakit saraf otot, infeksi di daerah lumbal, syok, anemia, dan
kelainan tulang belakang, riwayat obat-obatan yang sedang atau telah
digunakan, riwayat operasi dan anesthesia yang pernah dialami di waktu
yang lalu, serta kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat
mempengaruhi jalannya anestesi seperti merokok.
Pemeriksaaan fisik rutin meliputi pemeriksaan tinggi, berat,
suhu badan, keadaan umum, kesadaran umum, tanda-tanda anemia, tekanan
darah, nadi dan lain - lain. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan pada
pasien fraktur adalah pemeriksaan darah (Hb, leukosit, golongan darah, faal
hemostasis), foto polos AP/ lateral pada bagian yang dicurigai fraktur, foto
polos toraks, dan EKG. Gangguan elektrolit dan abnormalitas dari faktor
koagulasi harus dikoreksi terlebih dahulu.
 
2. Persiapan Pra Anestesi
Persiapan pra-anestesi adalah mempersiapkan pasien baik psikis
maupun fisik agar pasien siap dan optimal untuk menjalani prosedur
anestesi dan diagnostik atau pembedahan yang direncanakan sesuai hasil
evaluasipra-anestesi,
persiapan juga mencakup surat persetujuan tindakan medis.Sebagai seorang
ahli anestesi yang menjadi perhatian utama pada pasien dengan peritonitis
adalah memperbaiki keadaan umum pasien sebelum diambilnya tindakan
operasi. Tindakan mencakup airway, breathing dan circulation.
Oksigenisasi,terapi
cairan, vasopresor/inotropik dan transfusi bila diperlukan.
Pemasangan infuse bertujuan untuk mengganti deficit cairan
selama puasa dan mengkoreksi deficit cairan prabedah, sebagai fasilitas
vena terbuka untuk memasukan obat-obatan selama operasi dan sebagai
fasilitas transfuse darah, memberikan cairan pemeliharaan, serta
mengoreksi deficit atau kehilangan cairan selama operasi.Berikut adalah
tujuan dari terapi cairan, yaitu mengganti cairan dan kalori yang dialami
pasien prabedah akibat puasa, fasilitas vena terbuka bahkan untuk koreksi
defisit akibat hipovolemik atau dehidrasi.
6. Penatalaksanaan
Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan
pengembalian fungsi dan kekuatan.
1. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan
diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai
akan terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat
menentukan diskontinuitas integritas rangka.
2. Reduksi fraktur (setting tulang)
Mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis.
Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke
posisinya dengan manipulasi dan traksi manual. Reduksi terbuka
dilakukan dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi alat fiksasi
interna (ORIF) dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan
logam untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai
penyembuhan tulang yang solid terjadi.
3. Retensi (Imobilisasi fraktur)
Setelah fraktur direduksi fragmen tulang harus diimobilisasi atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna (OREF)
meliputi : pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu pin, dan tehnik gips atau
fiksator ekterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna
(ORIF) yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur
yang dilakukan dengan pembedahan.
4. Rehabilitasi (Mempertahankan dan mengembalikan fungsi)
Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak.
Latihan isometric dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi
disuse dan meningkatkan aliran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup
sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga
diri.

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian Keperawatan

Pengkajian merupakan dasar utama atau langkah awal dari proses


keperawatan secara keseluruhan (Gaffar, 1999 : 57).
1. Identitas Klien
Identitas klien mencakup : nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama,
pekerjaan, suku bangsa, status perkawinan, alamat, diagnosa medis, no
RM/CM, tanggal masuk, dan alasan masuk.
2. Pengkajian Primer
a. Airway
Adanya sumbatan atau obstruksi jalan nafas oleh adanya penumpukan
secret akibat kelemahan reflek batuk
b. Breathing
Kelemahan menelan/batuk/melindungi jalan nafas, timbul pernapasan
yang sulit dan/atau tidak teratur, suara nafas terdengar ronchi.
c. Circulation
Tekanan darah dapat normal atau meningkat. Hipotensi terjadi pada
tahap lanjut, takikardi dan bunyi jantung normal pada tahap dini,
disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, akral dingin, dan sianosis
pada tahap lanjut.
3. PengkajianSekunder
a. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa
nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya
serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang
rasa nyeri klien digunakan pendekatan PQRST jika pasien
merasakan nyeri yang sangat kuat, yaitu :
P : Paliatif (yang memberatkan / meringankan penyakit)
Q : Qualitas (seberapa besar keluhan tersebut)
R : Regio (daerah/lokasi yang dirasakan)
S : Skala ( tingkat kegawatan dari pada keluhan tersebut)
T :Timing (keluhan yang dirasakan bagaimana contoh
mendadak, selang-seling)
2) Riwayat kesehatan sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit
tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi
dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka
kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).

3) Riwayat kesehatan dahulu


Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit
paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit
untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di
kaki sangat beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik
dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang.

4) Riwayat kesehatan keluarga


Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan,
dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
b. SAMPLE
1) Sign and Symptom
2) Allergy
3) Medication
4) Past Medical History
5) Last Meal
6) Event leading
c. Pemeriksaan fisik
Menurut Price (1995 : 589) pemeriksaan fisik dilakukan dengan
teknik inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
1) Keadaan umum
Melihat dan menilai keadaan umum pasien yaitu baik atau buruknya
yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti :
a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat
dan pada kasus fraktur biasanya akut.
c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
2) Pemeriksaan fisik (Head to Toe)
a) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala
b) Wajah
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi
maupun bentuk. Tidak ada lesi, simetris, tidak oedema.
c) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena
tidak terjadi perdarahan)
d) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi
atau nyeri tekan.
e) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
f) Mulut dan Faring
g) Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa
mulut tidak pucat.
h) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
i) Dada/thoraks
Jantung
- Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung.
- Palpasi : Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
- Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal, tidak ada mur-mur.
Paru-paru
- Inspeksi : Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan
dengan paru.
- Palpasi : Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
- Perkusi : Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara
tambahan lainnya.
j) Abdomen
- Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
- Palpasi : Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar
tidak teraba.
- Perkusi : Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
- Auskultasi : Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
k) Kulit
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.
l) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran limfe, tidak ada kesulitan
BAB.
m) Genitalia
Tidak ada perubahan yang menonjol seperti produksi urin,
warnaurin, apakah ada hematovia/tidak, adakah disuria, kebersihan
genital
n) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal
terutama mengenai status neurovaskuler (untuk status
neurovaskuler 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan).
Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah :
a) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
- Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan
seperti bekas operasi).
- Cape au lait spot (birth mark).
- Fistulae.
- Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
- Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang
tidak biasa (abnormal).
- Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
- Posisi jalan (waktu masuk ke kamar periksa)
b) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada
dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan
informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien. Yang perlu
dicatat adalah:
(1) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban
kulit. Capillary refill time, Normal 3– 5 “
(2) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian.
(3) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal). Otot : tonus pada waktu
relaksasi atau kontraksi, benjolan yang terdapat di
permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka
sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya,
konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau
permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
(4) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan
dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah
terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup
gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum
dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran
derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi
netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini
menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau
tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan
pasif (Reksoprodjo, Soelarto, 1995).

d. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah
“pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk
mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang
yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan
lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan
(khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari
karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray
harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan
hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca
pada x-ray :
a) Bayangan jaringan lunak.
b) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi
c) periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.
d) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
e) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik
khususnya seperti:
a) Tomografi : menggambarkan tidak satu struktur saja tapi
struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus
ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak
pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
b) Myelografi : menggambarkan cabang-cabang saraf
spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang
mengalami kerusakan akibat trauma.
c) Arthrografi : menggambarkan jaringan-jaringan ikat
yang rusak karena ruda paksa.
d) Computed Tomografi-Scanning : menggambarkan potongan
secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur
tulang yang rusak.

e. Pemeriksaan Laboratorium
1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-
5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat
pada tahap penyembuhan tulang.

f. Pemeriksaan lain-lain
1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:
didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama
dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi
infeksi.
3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau
sobek karena trauma yang berlebihan.
5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya
infeksi pada tulang.
6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera.
b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas
struktur tulang, program pembatasan gerak.
c. Resiko infeksi.
d. Resiko syok hipovolemik.
e. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan nyeri
ekstermitas.
f. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik.
3. Perencanaan Keperawatan
No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi
Keperawatan Hasil
1. Nyeri akut NOC : NIC:
berhubungan Pain level Pain management
dengan agen Pain control a. Lakukan pengkajian nyeri secara
cidera Comfort level komprehensif termasuk lokasi, karakteristik,
Kriteria Hasil durasi, frekuensi, kualitas dan faktor
a. Mampu mengontrol presipitasi
nyeri (tahu penyebab b. Observasi reaksi nonverbal dari
nyeri, mampu ketidaknyamanan
menggunakan tehnik c. Gunakan tehnik komunikasi terapeutik untuk
nonfarmakologi mengetahui pengalaman nyeri pasien
untuk mengurangi d. Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
nyeri, mencari e. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
bantuan) f. Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan
b. Melaporkan bahwa lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri
nyeri berkurang masa lampau
dengan g. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan
menggunakan menemukan dukungan
managemen nyeri h. Kontrol lingkungan yang dapat
c. Mampu mengenali mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
nyeri (skala, pencahayaan dan kebisingan
intensitas, frekuensi i. Kurangi faktor presipitasi nyeri
dan tanda nyeri) j. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
d. Menyatakan rasa (farmakologi, nonfarmakologi dan
nyaman setelah nyeri interpersonal)
berkurang k. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan
intervensi
l. Ajarkan tentang teknik nonfarmakologi
m. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
n. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
o. Tingkatkan istrihat
p. Kolaborasikan dengan dokter jika ada
keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
q. Monitor penerimaan pasien tentang
manajemen nyeri
Analgesic administration
a. Tentukan lokasi, karakter, kualitas, dan
derajat nyeri sebelum pemberian obat
b. Cek intruksi dokter tentang jenis obat, dosi,
dan frekuensi
c. Cek riwayat alergi
d. Pilih analgesic yang diperlukan atau
kombinasi dari analgesic ketika pemberian
lebih dari satu
e. Tentukan pilihan analgesic tergantung tipe
dan beratnya nyeri
f. Tentukan analgesic pilihan, rute pemberian,
dan dosis optimal
g. Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk
pengobatan nyeri secara teratur
h. Monitor vital sign sebelum dan sesudah
pemberian anlgesik pertama kali
i. Berikan analgesic tepat waktu terutama saat
nyeri hebat
j. Evalusi efektivitas analgesic, tanda dan
gejala
2. Hambatan NOC: NIC
mobilitas fisik Joint movement : active Bed Rest Care
berhubungan Mobility level 1. Jelaskan alasan diperlukannya tirah baring
dengan kekuatan Self care : ADLs 2. Tempatkan matras atau kasur terapeutik
dan tahanan Transfer perfoormance dengan cara yang tepat
sekunder akibat Kriteria hasil: 3. Posisikan sesuai body alignment yang tepat
fraktur a. Klien meningkat 4. Hindari menggunakan kain linen kasur yang
dalam aktivitas fisik teksturnya kasar
b. Mengerti tujuan dari 5. Jaga kain linen kasur tetap bersih, kering dan
peningkatan bebas kerutan
mobilitas 6. Aplikasikan papan untuk kaki di tempat tidur
c. Memverbalisasikan 7. Gunakan alat di tempat tidur yang melindungi
perasaan pasien
dalammeningkatkan 8. Aplikasikan alat untuk mencegah footdrop
kekuatan dan 9. Tinggikan teralis tempat tidur dengan cara
kemampuan yang tepat
berpindah 10. Letakkan alat untuk memposisikan tempat
d. Memperagakan tidur dalam jangkauan yang mudah
penggunaan alat 11. Letakkan lampu panggilan berada dalam
bantu untuk jangkauan pasien
mobilisasi (walker) 12. Letakkan meja disamping tempat tidur dalam
jangkauan pasien
13. Tempelakn trapeze (segitiga) di tempat tidur
dengan cara yang tepat
14. Balikkan pasien sesuai dengan kondisi kulit
15. Balikkan pasien yang tidak dapat mobilisasi
paling tidak setiap 2 jam sesuai dengan
jadwal yang spesifik
16. Monitor kondisi kulit pasien
17. Ajarkan latihan di tempat tidur dengan cara
yang tepat
18. Bantu menjaga kebersihan
19. Aplikasikan aktivitas sehari-hari
20. Berikan stoking antiemboli
21. Monitor komplikasi dari tirah baring
(misalnya kehilangan tonus otot, nyeri
punggung, konstipasi, peningkatan stres,
depresi, kebingungan, perubahan siklus tidur,
infeksi saluran kemih, kesulitan dalam
berkemih, pneumonia)

Exercise therapy : ambulation


a. Monitoring vital sign sebelum/sesudah
latihan respon pasien saat latihan
b. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang
rencana ambulansi sesuai dengan kebutuhan
c. Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat
berjalan dan cegah terhadap cidera
d. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain
tentang teknik ambulansi
e. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
f. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan
ADLs secara mandiri sesuai kemampuan
g. Damping dan bantu pasien saat mobilisasi
dan bantu penuhi kebutuhan ADLs pasien
h. Berikan alat bantu jika pasien memerlukan
Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan
berikan bantuan jika diperlukan
3. Resiko infeksi NOC NIC
Immune status Infection Control
Knowledge : infection a. Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien
control lain
Risk control b. Pertahankan teknik isolasi
Kriteria hasil c. Batasi pengunjung bila perlu
a. Klien bebas dari d. Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci
tanda dan gejala tangan saat berkunjung meninggalkan pasien
infeksi e. Gunakan sabun antimikroba untuk cuci
b. Mendeskripsikan tangan
proses penularann f. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah
penyakit, factor yang tindakan keperawatan
mempengaruhi g. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat
penularan serta penlindung
penatalaksanaannya h. Pertahankan lingkunan aseptic selama
c. Menunjukkan pemasangan alat
kemampuan untuk i. Ganti letak IV perifer dan line central dan
mencegah timbulnya dressing sesuai dengan petunjuk umum
infeksi j. Gunakan kateter intermiten untuk
d. Jumlah leukosit menurunkan infeksi kandung kencing
dalam batas normal k. Tingkatkan intake nutrisi
e. Menunjukkan l. Berikan terapi antibiotic bila perlu
perilaku hidup sehat
Infection protection
a. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan
local
b. Monitor hitung granulosit, WBC
c. Monitor kerentanan terhadap infeksi
d. Batasi pengunjung
e. Pertahankan teknik aspesis pada pasien yang
beresiko
f. Pertahankan teknik isolasi k/p
g. Berikan perawatan kulit pada area epidema
h. Inspeksi kulit dan membrane mukosa
i. Terhadap kemerahan, panas, dan drainase
j. Inspeksi kondisi luka/insisi bedah
k. Dorong masukkan nutrisi yang cukup
l. Dorong masukan cairan
m. Dorong istirahat
n. Instruksikan pasien untuk minum antibiotic
sesuai resep
o. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala
infeksi
p. Ajarkan cara menghindari infeksi
q. Laporkan kecurigaan infeksi
r. Laporkan kultur positif
4. Resiko syok NOC NIC
hipovolemik Syok prevention Syok prevention
Syok management a. Monitor status sirkulasi BP, warna kulit,
Kriteria hasil suhu kulit, denyut jantung, HR, dan ritme,
a. Nadi dalam batas nadi perifer, dan kapiler refill
yang diharapkan b. Monitor tanda inadekuat oksigenasi jaringan
b. Irama jantung dalam c. Monitor suhu dan pernafasan
batas yang d. Monitor input dan output
diharapkan e. Pantau nilai labor:
c. Frekunsi napas dalam HB, HT, AGD, dan elektrolit
batas yang f. Monitor hemodinamik invasi yang sesuai
diharapkan g. Monitor tanda dan gejala asites
d. Irama pernapasan h. Monitor tanda awal syok
dalam batas yang i. Tempatkan pasien pada posisi supine, kaki
diharapkan elevasi untuk peningkatan preload dengan
e. Natrium serum dbn tepat
f. Kalium serum dbn j. Lihat dan pelihara kepatenan jalan napas
g. Klorida serum dbn k. Berikan cairan IV dan atau oral yang tepat
h. Kalsium serum dbn l. Berikan vasodilator yang tepat
i. Magnesium serum m. Ajarkan keluarga dan pasien tentang tanda
dbn dan gejala datangnya syok
j. PH darah serum dbn n. Ajarkan keluarga dan pasien tentang langkah
Hidrasi untuk mengatasi gejala syok
Indicator Syok management
a. Mata cekung tidak a. Monitor fungsi neurologis
ditemukan b. Monitor fungsi renal (e.g BUN dan Cr Lavel)
b. Demam tidak c. Monitor tekanan nadi
ditemukan d. Monitor status cairan, input, output
c. TD dbn e. Catat gas darah arteri dan oksigen di jaringan
d. Hematokrit dbn f. Monitor EKG
g. Memanfaatkan pemantauan jalur arteri untuk
meningkatkan akurasi pembacaan tekanan
darah
h. Menggambarkan gas darah arteri dan
memonitor jaringan oksigenasi
i. Memantau tren dalam parameter
hemodinamik (misalnya CPV, MAP, tekanan
kapiler pulmonal/arteri)
j. Memantau factor penentu pengiriman
jaringan oksigen (misalnya PaO2 kadar
haemoglobin SaO2, CO) jika ada
k. Memantau tingkat karbondioksida sublingual
dan/atau tonometry
5. Ketidakefektifan NOC NIC
perfusi jaringan Circulation status Peripheral sensation management
perifer Tissue perfusion : a. Monitor adanya daerah tertentu yang hanya
berhubungan cerebral peka terhadap panas/dingin/tajam/tumpul
dengan nyeri Kriteria hasil b. Monitor adanya paretese
ekstermitas Mendemonstrasikan c. Instruksikan keluarga untuk mengobservasi
status sirkulasi yang kulit jika ada lesi atau laserasi
ditandai dengan: d. Gunakan sarung tangan untuk proteksi
a. Tekanan systole dan e. Batasi gerakan pada kepala, leher, dan
diastole dalam punggung
rentang yang f. Monitor kemampuan BAB
diharapkan g. Kolaborasi pemberian analgetik
b. Tidak ada ortostatik h. Monitor adanya tromboplebitis
hipertensi i. Diskusikan mengenai penyebab perubahan
c. Tidak ada tanda- sensasi
tanda peningkatan
tekanan intracranial
(tidak lebih dari 15
mmHg)
Mendemonstrasikan
kemampuan kognitif
yang ditandai dengan:
a. Berkomuniakasi
dengan jelas adn
sesuai dengan
kemampuan
b. Menunjukkan
perhatian,
konsentrasi dan
orientasi
c. Memproses informasi
d. Membuat keputusan
dengan benar
Menunjukkan fungsi
sensori motori cranial
yang utuh : tingkat
kesadaran membaik,
tidak ada gerakan-
gerakan involunter

6. Kerusakan NOC NIC


integritas kulit Tissue integrity : skin Pressure management
berhubungan and mucous membranes a. Anjurkan pasien untuk menggunakan
dengan imobilisasi Hemodyalisis akses pakaian yang longgar.
fisik Kriteria hasil b. Hindari kerutan pada tempat tidur
a. Integritas kulit yang c. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan
baik bisa kering.
dipertahankan d. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap
(sensai, elastisitas, dua jam sekali
temperature, hidrasi, e. Monitor kulit akan adanya kemerahan.
pigmentasi) f. Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada
b. Tidak ada luka/lesi daerah yang tertekan
pada kulit g. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
c. Perfusi jaringan baik h. Monitor status nutrisi pasien
d. Menunjukkan i. Memandikan pasien dengan sabun dan air
pemahaman dalam hangat
proses perbaikan Insision site care
kulit dan mencegah a. Membersihkan, memantau dan meningkatkan
terjadinya cedera proses penyembuhan pada luka yang ditutup
berulang dengan jahitan, klip atau straples
e. Mampu melindungi b. Monitor proses kesembuhan area insisi
kulit dan c. Monitor tanda dan gejala infeksi pada area
mempertahankan insisi
kelembaban kulit d. Bersihkan area sekitar jahitan atau straples,
perawatan alami menggunakan lidi kapas steril
e. Gunakan preparat antiseptic sesuai program
f. Ganti balutan pada interval waktu yang
sesuai atau biarkan luka tetap terbuka (tidak
dibalut) sesuai program
Dialysis acces maintenance

B. Implementasi
Pelaksanaan atau implementasi merupakan realisasi dari rangkaian dan
penetuan diagnosa keperawatan. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana
tindakan disusun untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan.
C. Evaluasi
Evaluasi yang diharapkan pada pasien fraktur disesuaikan dengan criteria
hasil yang telah ditentukan pada intervensi.
DAFTAR PUSTAKA

Anlie. 2013. Manajemen Perioperatif Pada Pasien Fraktur Multiple. (Online).


Available : https://www.scribd.com/doc/119623462/Manajemen-
Perioperatif-pada-Pasien-Fraktur-Multipel (diakses pada tanggal 7
November 2017 pukul 09.00 WITA)
Apley, A.G.,L. Solomon. 1995. Buku Ajar Ortopedi Fraktur Sistem Apley Edisi
7. Jakarta: Widya Medika.
Baughman, Diane C.2000. Keperawatan Medikal Bedah : Buku Saku untuk
Brunner dan Suddarth.Jakarta : EGC.
Brunner dan Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta
Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6,
EGC, Jakarta
Corwin, Elizabeth J. 2010. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.
Doenges at al (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3. Jakarta; EGC
Engram, Barbara.1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah, Volume 3.
Jakarta : EGC.
Heather, Herdman. 2012. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-
2014. Jakarta: EGC.
Kusuma, Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis NANDA NIC-NOC. Yogyakarta : MediAction.
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-
2006. Jakarta: Prima Medika
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, edisi 7. Jakarta:
EGC.

Anda mungkin juga menyukai