SISTEM MUSKULOSKELETAL
PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR
oleh :
JURUSAN KEPERAWATAN
SEMESTER VII
TAHUN 2018
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN
SISTEM MUSKULOSKELETAL
PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR
Fraktur
Laserasi kulit
Edema Emboli
Perdarahan
Patofisiologis
Resiko syok
(hipovolemik)
Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau trauma.
Baik itu karena trauma langsung misalnya: tulang kaki terbentur bemper
mobil, atau tidak langsung misalnya: seseorang yang jatuh dengan telapak
tangan menyangga. Juga bisa karena trauma akibat tarikan otot misalnya:
patah tulang patela dan olekranon, karena otot trisep dan bisep mendadak
berkontraksi. (Doenges, 2000)
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat
patah dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga
biasanya mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat
setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan
peningkatan aliran darahketempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-
sisa sel mati dimulai. Di tempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan
berfungsi sebagai jala-jala untuk melekatkan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast
terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan
fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk
membentuk tulang sejati (Carpenito, 2000)
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yg tidak ditangani dapat menurunkan asupan
darah ke ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak
terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan,
oklusi darah total dapat berakibat anoksia jaringanyg mengakibatkan rusaknya
serabut saraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom
kompartemen (Brunner & suddarth, 2002).
4. Gejala Klinis
Manifestasi klinik dari faktur ,menurut (Brunner and Suddarth, 2002)
a. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai almiah yang
di rancang utuk meminimalkan gerakan antar fregmen tulang
b. Setelah terjadi faraktur, bagian-bagian tidak dapat di gunakan dan
cenderung bergerak secara alamiah (gerak luar biasa) bukanya tetap rigid
seperti normalnya. Pergeseran fragmen tulang pada fraktur lengan dan
tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstermitas
yang bisa diketahui membandingkan ekstermitas yang normal dengan
ekstermitas yang tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal
otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
c. Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Fragmen
sering saling melingkupi satu samalain sampai 2,5-5 cm (1-2 inchi)
d. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya (uji krepitus dapat mengaibatkan kerusakan jaringan lunak
yang lebih berat).
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal terjadi sebagai akibat trauma
dari pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru bisa terjadi setelah
beberapa jam atau hari setelah cidera.
Menurut Santoso Herman (2000:153) manifestasi klinik dari fraktur adalah:
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya samapi fragmen tulang
diimobilisasi, hematoma, dan edema.
b. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
c. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang
melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
d. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit.
5. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut (PERMENKES RI, 2014) pemeriksaan diagnosik meliputi:
1. Foto polos
Umumnya dilakukan pemeriksaan dalam proyeksi AP dan lateral, untuk
menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur.
2. Pemeriksaan radiologi lainnya
Sesuai indikasi dapat dilakukan pemeriksaan berikut, antara lain:
radioisotope scanning tulang, tomografi, artrografi, CT-scan, dan MRI,
untuk memperlihatkan fraktur dan mengidentifikasi kerusakan jaringan
lunak
3. Pemeriksaan darah rutin dan golongan darah
Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan
bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple).
Peningkatan sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma.
4. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
5. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah.
Managemen Preoperatif pada Pasien Fraktur
Tindakan keperawatan pre operetif merupakan tindakan yang dilakukan
oleh perawat dalam rangka mempersiapkan pasien untuk dilakukan tindakan
pembedahan dengan tujuan untuk menjamin keselamatan pasien intraoperatif.
Persiapan fisik maupun pemeriksaan penunjang serta pemeriksaan mental
sangat diperlukan karena kesuksesan suatu tindakan pembedahan klien
berawal dari kesuksesan persiapan yang dilakukan selama tahap persiapan.
1. Evaluasi Pra Anestesi
Evaluasi pra-anestesi adalah langkah awal dari rangkaian tindakan
anestesi yang bertujuan untuk mengetahui status fisik pasien prabedah dan
menganalisa jenis operasi sehingga dapat memilih jenis atau teknik anestesi
yang sesuai, juga dapat meramalkan penyulit yang akan terjadi selama
operasi dan atau pasca bedah dan kemudian mempersiapkan obat atau alat
untuk menanggulangi penyulit tersebut.
Tatalaksana evaluasi pra-anestesi meliputi anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan penunjang, konsultasi dan koreksi terhadap kelainan
fungsi organ vital dan penentuan status fisik pasien pra-anestesi. Hal ini
dilakukan untuk menegakkan diagnosis sehingga persiapan pasien dapat
dilakukan sesegera mungkin.
Yang harus diperhatikan pada anamnesis adalah identifikasi pasien,
riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita misalnya gangguan faal
hemostatis, penyakit saraf otot, infeksi di daerah lumbal, syok, anemia, dan
kelainan tulang belakang, riwayat obat-obatan yang sedang atau telah
digunakan, riwayat operasi dan anesthesia yang pernah dialami di waktu
yang lalu, serta kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat
mempengaruhi jalannya anestesi seperti merokok.
Pemeriksaaan fisik rutin meliputi pemeriksaan tinggi, berat,
suhu badan, keadaan umum, kesadaran umum, tanda-tanda anemia, tekanan
darah, nadi dan lain - lain. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan pada
pasien fraktur adalah pemeriksaan darah (Hb, leukosit, golongan darah, faal
hemostasis), foto polos AP/ lateral pada bagian yang dicurigai fraktur, foto
polos toraks, dan EKG. Gangguan elektrolit dan abnormalitas dari faktor
koagulasi harus dikoreksi terlebih dahulu.
2. Persiapan Pra Anestesi
Persiapan pra-anestesi adalah mempersiapkan pasien baik psikis
maupun fisik agar pasien siap dan optimal untuk menjalani prosedur
anestesi dan diagnostik atau pembedahan yang direncanakan sesuai hasil
evaluasipra-anestesi,
persiapan juga mencakup surat persetujuan tindakan medis.Sebagai seorang
ahli anestesi yang menjadi perhatian utama pada pasien dengan peritonitis
adalah memperbaiki keadaan umum pasien sebelum diambilnya tindakan
operasi. Tindakan mencakup airway, breathing dan circulation.
Oksigenisasi,terapi
cairan, vasopresor/inotropik dan transfusi bila diperlukan.
Pemasangan infuse bertujuan untuk mengganti deficit cairan
selama puasa dan mengkoreksi deficit cairan prabedah, sebagai fasilitas
vena terbuka untuk memasukan obat-obatan selama operasi dan sebagai
fasilitas transfuse darah, memberikan cairan pemeliharaan, serta
mengoreksi deficit atau kehilangan cairan selama operasi.Berikut adalah
tujuan dari terapi cairan, yaitu mengganti cairan dan kalori yang dialami
pasien prabedah akibat puasa, fasilitas vena terbuka bahkan untuk koreksi
defisit akibat hipovolemik atau dehidrasi.
6. Penatalaksanaan
Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan
pengembalian fungsi dan kekuatan.
1. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan
diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai
akan terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat
menentukan diskontinuitas integritas rangka.
2. Reduksi fraktur (setting tulang)
Mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis.
Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke
posisinya dengan manipulasi dan traksi manual. Reduksi terbuka
dilakukan dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi alat fiksasi
interna (ORIF) dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan
logam untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai
penyembuhan tulang yang solid terjadi.
3. Retensi (Imobilisasi fraktur)
Setelah fraktur direduksi fragmen tulang harus diimobilisasi atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna (OREF)
meliputi : pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu pin, dan tehnik gips atau
fiksator ekterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna
(ORIF) yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur
yang dilakukan dengan pembedahan.
4. Rehabilitasi (Mempertahankan dan mengembalikan fungsi)
Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak.
Latihan isometric dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi
disuse dan meningkatkan aliran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup
sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga
diri.
d. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah
“pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk
mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang
yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan
lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan
(khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari
karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray
harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan
hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca
pada x-ray :
a) Bayangan jaringan lunak.
b) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi
c) periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.
d) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
e) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik
khususnya seperti:
a) Tomografi : menggambarkan tidak satu struktur saja tapi
struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus
ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak
pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
b) Myelografi : menggambarkan cabang-cabang saraf
spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang
mengalami kerusakan akibat trauma.
c) Arthrografi : menggambarkan jaringan-jaringan ikat
yang rusak karena ruda paksa.
d) Computed Tomografi-Scanning : menggambarkan potongan
secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur
tulang yang rusak.
e. Pemeriksaan Laboratorium
1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-
5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat
pada tahap penyembuhan tulang.
f. Pemeriksaan lain-lain
1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:
didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama
dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi
infeksi.
3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau
sobek karena trauma yang berlebihan.
5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya
infeksi pada tulang.
6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera.
b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas
struktur tulang, program pembatasan gerak.
c. Resiko infeksi.
d. Resiko syok hipovolemik.
e. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan nyeri
ekstermitas.
f. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik.
3. Perencanaan Keperawatan
No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi
Keperawatan Hasil
1. Nyeri akut NOC : NIC:
berhubungan Pain level Pain management
dengan agen Pain control a. Lakukan pengkajian nyeri secara
cidera Comfort level komprehensif termasuk lokasi, karakteristik,
Kriteria Hasil durasi, frekuensi, kualitas dan faktor
a. Mampu mengontrol presipitasi
nyeri (tahu penyebab b. Observasi reaksi nonverbal dari
nyeri, mampu ketidaknyamanan
menggunakan tehnik c. Gunakan tehnik komunikasi terapeutik untuk
nonfarmakologi mengetahui pengalaman nyeri pasien
untuk mengurangi d. Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
nyeri, mencari e. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
bantuan) f. Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan
b. Melaporkan bahwa lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri
nyeri berkurang masa lampau
dengan g. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan
menggunakan menemukan dukungan
managemen nyeri h. Kontrol lingkungan yang dapat
c. Mampu mengenali mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
nyeri (skala, pencahayaan dan kebisingan
intensitas, frekuensi i. Kurangi faktor presipitasi nyeri
dan tanda nyeri) j. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
d. Menyatakan rasa (farmakologi, nonfarmakologi dan
nyaman setelah nyeri interpersonal)
berkurang k. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan
intervensi
l. Ajarkan tentang teknik nonfarmakologi
m. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
n. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
o. Tingkatkan istrihat
p. Kolaborasikan dengan dokter jika ada
keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
q. Monitor penerimaan pasien tentang
manajemen nyeri
Analgesic administration
a. Tentukan lokasi, karakter, kualitas, dan
derajat nyeri sebelum pemberian obat
b. Cek intruksi dokter tentang jenis obat, dosi,
dan frekuensi
c. Cek riwayat alergi
d. Pilih analgesic yang diperlukan atau
kombinasi dari analgesic ketika pemberian
lebih dari satu
e. Tentukan pilihan analgesic tergantung tipe
dan beratnya nyeri
f. Tentukan analgesic pilihan, rute pemberian,
dan dosis optimal
g. Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk
pengobatan nyeri secara teratur
h. Monitor vital sign sebelum dan sesudah
pemberian anlgesik pertama kali
i. Berikan analgesic tepat waktu terutama saat
nyeri hebat
j. Evalusi efektivitas analgesic, tanda dan
gejala
2. Hambatan NOC: NIC
mobilitas fisik Joint movement : active Bed Rest Care
berhubungan Mobility level 1. Jelaskan alasan diperlukannya tirah baring
dengan kekuatan Self care : ADLs 2. Tempatkan matras atau kasur terapeutik
dan tahanan Transfer perfoormance dengan cara yang tepat
sekunder akibat Kriteria hasil: 3. Posisikan sesuai body alignment yang tepat
fraktur a. Klien meningkat 4. Hindari menggunakan kain linen kasur yang
dalam aktivitas fisik teksturnya kasar
b. Mengerti tujuan dari 5. Jaga kain linen kasur tetap bersih, kering dan
peningkatan bebas kerutan
mobilitas 6. Aplikasikan papan untuk kaki di tempat tidur
c. Memverbalisasikan 7. Gunakan alat di tempat tidur yang melindungi
perasaan pasien
dalammeningkatkan 8. Aplikasikan alat untuk mencegah footdrop
kekuatan dan 9. Tinggikan teralis tempat tidur dengan cara
kemampuan yang tepat
berpindah 10. Letakkan alat untuk memposisikan tempat
d. Memperagakan tidur dalam jangkauan yang mudah
penggunaan alat 11. Letakkan lampu panggilan berada dalam
bantu untuk jangkauan pasien
mobilisasi (walker) 12. Letakkan meja disamping tempat tidur dalam
jangkauan pasien
13. Tempelakn trapeze (segitiga) di tempat tidur
dengan cara yang tepat
14. Balikkan pasien sesuai dengan kondisi kulit
15. Balikkan pasien yang tidak dapat mobilisasi
paling tidak setiap 2 jam sesuai dengan
jadwal yang spesifik
16. Monitor kondisi kulit pasien
17. Ajarkan latihan di tempat tidur dengan cara
yang tepat
18. Bantu menjaga kebersihan
19. Aplikasikan aktivitas sehari-hari
20. Berikan stoking antiemboli
21. Monitor komplikasi dari tirah baring
(misalnya kehilangan tonus otot, nyeri
punggung, konstipasi, peningkatan stres,
depresi, kebingungan, perubahan siklus tidur,
infeksi saluran kemih, kesulitan dalam
berkemih, pneumonia)
B. Implementasi
Pelaksanaan atau implementasi merupakan realisasi dari rangkaian dan
penetuan diagnosa keperawatan. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana
tindakan disusun untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan.
C. Evaluasi
Evaluasi yang diharapkan pada pasien fraktur disesuaikan dengan criteria
hasil yang telah ditentukan pada intervensi.
DAFTAR PUSTAKA