0
0
KPK
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPR mengapresiasi lembaga
antikorupsi di Indonesia. Dalam forum Global Organization of Parliamentarians
Againts Corruption (GOPAC), pria yang akrab disapa Akom ini meminta agar
lembaga anti-korupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar lebih
garang dan efektif memberantas praktek korupsi di Indonesia. Bahkan dia
menyebut korupsi sudah menjadi endemik di tanah air, sehingga harus lenyapkan.
“Saya atas nama DPR juga ingin menyampaikan apresiasi atas keberadaan dan
kerja luar biasa dari KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan Agung dalam memberantas
korupsi di Indonesia. Lembaga-lembaga ini dibangun dengan harapan bahwa
lembaga anti-korupsi ini dapat secara efektif dan garang memerangi korupsi
endemik di Indonesia.” ujar Akom dalam sambutannya, di komplek DPR.
Politikus yang akrab disapa Akom itu menambahkan, korupsi sudah jadi musuh
bersama di Indonesia. Sehingga perlawanan terhadap kejahatan korupsi merupakan
bagian dari kampanye pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)
yang akuntabel. Di bawah komando tiga lembaga hukum tersebut serta didukung
parlemen dan Gopac Indonesia Chapter, pemberantasan korupsi diharapkan bisa
suskes. Dengan harapan Indonesia bisa terbebas dari praktek korupsi tersebut.
Menurut Akom, sapaan akrab Ketua DPR, korupsi sudah jadi musuh bersama di
Indonesia. Dan perlawanan terhadap kejahatan korupsi merupakan bagian dari
kampanye pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) yang
akuntabel. Di bawah komando tiga lembaga hukum tersebut serta didukung
parlemen dan GOPAC Indonesia Chapter, pemberantasan korupsi diharapkan bisa
suskes.
16
Liputan6.com, Jakarta - Tepat hari ini, 9 Desember adalah hari anti korupsi dan
kita ketahui perang melawan korupsi terus menerus dikibarkan di negeri ini. Lalu
bagaimana tren kasus korupsi dari tahun ke tahun di Indonesia?
Data dari penyidikan kasus korupsi dalam empat tahun terakhir pada 2014 ada 56
kasus korupsi yang disidik KPK. Kemudian naik pada 2015 menjadi 57 kasus, dan
pada 2016 naik lagi menjadi 99 kasus.
Pejabat negara yang paling banyak menilep uang rakyat justru adalah kalangan
wakil rakyat, baik DPR maupun DPRD yakni sebanyak 23 orang.
Para kepala daerah dari tingkat gubernur hingga wali kota atau bupati berjumlah 10
orang. Jabatan yang juga rawan korupsi adalah pejabat eselon I, II, dan III yakni 10
orang. Dari kalangan swasta yang terlibat korupsi juga tak sedikit yakni 28 orang.
Modus korupsi yang paling sering dilakukan adalah penyuapan. Pada 2014 ada 20
kasus penyuapan, tahun 2015 naik menjadi 38 kasus, dan 2016 naik lagi menjadi
79 kasus penyuapan, dan tahun ini hingga 30 September sudah mencapai 55 kasus
penyuapan.
Pemberantasan korupsi sejatinya tak hanya soal angka-angka, tetapi juga tentang
bagaimana perjuangan melawan korupsi harus digdaya. Tampaknya ini yang terus
mendapat ujian. Penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan
misalnya, jelas merupakan upaya mengerdilkan pemberantasan korupsi, dan hari
ini memasuki 242 hari, pelaku dan dalang penyiraman Novel Baswedan masih
belum terungkap.
Juga dalam kasus korupsi proyek KTP elektronik tak mudah bagi KPK dalam
menyidik Ketua DPR Setya Novanto yang menjadi tersangka dalam kasus ini.
Bahkan KPK mesti dua kali menetapkan status Novanto sebagai tersangka. Tanpa
perlawanan yang kuat, tikus-tikus koruptor akan menggerogoti harapan akan
kemakmuran di negeri ini. Mencuri hak-hak rakyat untuk sejahtera.
Di masa awal Orde Baru, pemerintah menerbitkan Keppres No.28 Tahun 1967
tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi. Dalam pelaksanaannya, tim
tidak bisa melakukan pemberantasan korupsi secara maksimal, bahkan bisa
dikatakan hampir tidak berfungsi. Peraturan ini malahan memicu berbagai bentuk
protes dan demonstrasi mulai tahun 1969 dan puncaknya di tahun 1970 yang
kemudian ditandai dengan dibentuknya Komisi IV yang bertugas menganalisa
permasalahan dalam birokrasi dan mengeluarkan rekomendasi untuk
mengatasinya.
Masih di tahun yang sama, mantan wakil presiden pertama RI Bung Hatta
memunculkan wacana bahwa korupsi telah membudaya di Indonesia. Padahal,
lanjut Hatta, korupsi telah menjadi perilaku dari sebuah rezim baru yang dipimpin
Soeharto, padahal usia rezim ini masih begitu muda. Hatta seperti merasakan cita-
cita pendiri Republik ini telah dikhianati dalam masa yang masih sangat muda.
Ahli sejarah JJ Rizal mengungkapkan, “Hatta saat itu merasa cita-cita negara telah
dikhianati dan lebih parah lagi karena korupsi itu justru seperti diberi fasilitas.
Padahal menurut dia, tak ada kompromi apapun dengan korupsi.”
Orde baru bisa dibilang paling banyak mengeluarkan peraturan karena masa Orde
Baru yang cukup panjang. Namun sayangnya tidak banyak peraturan yang dibuat
itu berlaku efektif dan membuat korupsi sedikit berkurang dari bumi Indonesia.
Menyambung pidatonya di Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus 1970, pemerintahan
Soeharto mengeluarkan UU No.3 tahun 1971 tentang PemberantasanTindak Pidana
Korupsi. Aturan ini menerapkan pidana penjara maksimum seumur hidup serta
denda maksimum Rp 30 juta bagi semua delik yang dikategorikan korupsi.
Berikut ini beberapa peraturan yang terbit di masa Orde Baru berkaitan dengan
pemberantasan korupsi :
Berganti rezim, berganti pula harapan rakyat Indonesia untuk bisa mengenyahkan
koruptor dari Indonesia. Orde Baru kandas, muncul pemerintahan baru yang lahir
dari gerakan reformasi pada tahun 1998. Di masa pemerintahan Abdurrahman
Wahid Muncul Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Pengelolaan Negara yang
Bersih dan Bebas KKN. Pemerintahan Gus Dur kemudian membentuk badan-
badan negara untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi, antara lain: Tim
Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional,
Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara dan beberapa lainnya.
Pada masa itu, ada beberapa catatan langkah radikal yang dilakukan oleh
pemerintahan Gus Dur. Salah satunya, mengangkat Baharudin Lopa sebagai
Menteri Kehakiman yang kemudian menjadi Jaksa Agung. Kejaksaan Agung RI
sempat melakukan langkah-langkah kongkret penegakan hukum korupsi. Banyak
koruptor kelas kakap yang diperiksa dan dijadikan tersangka pada saat itu.
Di masa kepemimpinan Megawati Soekarno Putri, berbagai kasus korupsi
menguap dan berakhir dengan cerita yang tidak memuaskan masyarakat.
Masyarakat mulai meragukan komitmen pemberantasan korupsi pemerintahan saat
itu karena banyaknya BUMN yang ditenggarai banyak korupsi namun tak bisa
dituntaskan. Korupsi di BULOG salah satunya.
Di era Presiden SBY, visi pemberantasan korupsi tercermin dari langkah awal
yang dilakukannya dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004
dan kemudian dilanjutkan dengan penyiapan Rencana Aksi Nasional
Pemberantasan Korupsi (RAN) yang disusun oleh Bappenas. RAN Pemberantasan
Korupsi itu berlaku pada tahun 2004-2009. Dengan menggunakan paradigma
sistem hukum, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono diuntungkan sistem
hukum yang mapan, keberadaan KPK melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun
2002, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang terpisah dari pengadilan
umum, dukungan internasional (structure), dan instrument hukum yang saling
mendukung antara hukum nasional dan hukum internasional.
Bibliografi:
Korupsi merupakan penyakit amat berat yang menyerang negeri ini, yang kini tak
lagi bersifat kasuistik atau individual, tapi sudah bersifat sistemik dan dilakukan
secara kelompok/mafia (“berjamaah”). Korupsi di alam demokrasi saat ini telah
merasuk ke setiap instansi pemerintah (eksekutif), parlemen/wakil rakyat
(legislatif), peradilan (yudikatif), dan juga swasta. Korupsi didefinisikan sebagai
penggelapan atau penyelewengan uang negara atau perusahaan tempat seseorang
bekerja untuk menumpuk keuntungan pribadi atau orang lain. (Sudarsono, Kamus
Hukum, hlm. 231). Definisi lain menyebutkan korupsi adalah penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh pejabat atau pegawai demi keuntungan pribadi,
keluarga, teman, atau kelompoknya. (Erika Revida, Korupsi di Indonesia : Masalah
dan Solusinya, USU Digital Library, 2003, hlm. 1).
Apa yang menjadi faktor penyebab timbulnya korupsi? Banyak pakar sudah
melakukan analisis mengenai hal ini. Menurut Erika Evida (2003), berdasarkan
analisisnya terhadap pendapat para pakar peneliti korupsi seperti Singh (1974),
Merican (1971), Ainan (1982), sebab-sebab terjadinya korupsi adalah 3 (tiga)
faktor berikut : Pertama, gaji yang rendah, kurang sempurnanya peraturan
perundang-undangan, administrasi yang lamban, dan sebagainya. Kedua, budaya
warisan pemerintahan kolonial.Ketiga, sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya
dengan cara tak halal, tak ada kesadaran bernegara, serta tak ada pengetahuan pada
bidang pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh pejabat pemerintah. (Erika
Evida, Korupsi di Indonesia : Masalah dan Solusinya, USU Digital Library, 2003,
hlm. 3).
Namun demikian, analisis faktor penyebab korupsi itu sebenarnya tidak mendalam,
dan hanya memotret fenomena korupsi dari sisi permukaan atau kulitnya saja.
Faktor penyebab korupsi saat ini sebenarnya berpangkal dari ideologi yang ada,
yaitu demokrasi-kapitalis. Faktor ideologis inilah, beserta beberapa faktor lainnya,
menjadi penyebab dan penyubur korupsi saat ini.
Faktor ideologis tersebut terwujud dalam nilai-nilai yang menjadi anutan dalam
masyarakat kini yang berkiblat kepada Barat, seperti nilai kebebasan dan
hedonisme. Demokrasi-kapitalis telah mengajarkan empat kebebasan yang sangat
destruktif, yaitu kebebasan beragama (hurriyah al aqidah), kebebasan kepemilikan
(hurriyah al tamalluk), kebebasan berpendapat (hurriyah al ra`yi), dan kebebasan
berperilaku (al hurriyah al syakhshiyyah). Empat macam kebebasan inilah yang
tumbuh subur dalam sistem demokrasi-kapitalis yang terbukti telah melahirkan
berbagai kerusakan. Korupsi merupakan salah satu kerusakan akibat paham
kebebasan kepemilikan (hurriyah al tamalluk) tersebut. (Abdul Qadim Zallum, Ad
Dimuqrathiyah Nizham Kufr, 1990).
Perlu diingat korupsi bukan hanya marak di Indonesia, tapi terjadi di masyarakat
manapun yang menerapkan nilai-nilai yang bersumber dari ideologi Barat tersebut.
Ledakan korupsi bukan saja terjadi di tanah air, tapi juga terjadi di Amerika,
Eropa, Cina, India, Afrika, dan Brasil. Negara-negara Barat yang dianggap matang
dalam menerapkan demokrasi-kapitalis justru menjadi biang perilaku bobrok ini.
Para pengusaha dan penguasa saling bekerja sama dalam proses pemilu. Pengusaha
membutuhkan kekuasaan untuk kepentingan bisnis, penguasa membutuhkan dana
untuk memenangkan pemilu.
Faktor ideologis ini juga dapat dilihat dari diterapkannya sistem demokrasi melalui
pilkada yang nyata-nyata mendorong terjadinya korupsi. Maraknya korupsi kepala
daerah tidak bisa dilepaskan dari sistem demokrasi ini. Mengapa korupsi menggila
di alam demokrasi? Jawabannya selain untuk memperkaya diri, korupsi juga
dilakukan untuk mencari modal agar bisa masuk ke jalur politik termasuk
berkompetisi di ajang pemilu dan pilkada. Sebab proses politik demokrasi,
khususnya proses pemilu menjadi caleg daerah apalagi pusat, dan calon kepala
daerah apalagi presiden-wapres, memang membutuhkan dana besar.
Data yang telah dikemukakan di atas, yaitu adanya 173 kepala daerah yang
tersangkut berbagai kasus korupsi, menunjukkan sistem demokrasi-lah yang dapat
ditunjuk sebagai faktor paling utama yang mendorong terjadinya korupsi. Tentu
saja tak boleh diabaikan adanya faktor lainnya. Setidaknya ada tiga faktor lainnya,
yaitu :Pertama, faktor lemahnya karakter individu (misalnya individu yang tak
tahan godaan uang suap). Kedua, faktor lingkungan/masyarakat, seperti adanya
budaya suap atau gratifikasi yang berawal dari inisiatif masyakat. Ketiga, faktor
penegakan hukum yang lemah, misalnya adanya sikap tebang pilih terhadap pelaku
korupsi, serta sanksi bagi koruptor yang tidak menimbulkan efek jera.
Faktor ideologi sistem menjadi akar masalah. Ini berarti, langkah paling utama dan
paling penting yang paling wajib dilakukan adalah menghapuskan pemberlakuan
ideologi demokrasi-kapitalis itu sendiri. Selanjutnya, setelah menghapuskan
ideologi yang merusak itu, diterapkan Syariah Islam sebagai satu-satunya sistem
hukum yang semestinya berlaku di negeri ini.
Dari sinilah, maka secara mayoritas pejabat Negara tidak melakukan kecurangan,
baik korupsi, suap maupun yang lain. Sekalipun demikian tetap ada perangkat
hukum yang telah disiapkan untuk mengatasi kecurangan yang dilakukan oleh
pejabat/pegawai negara.
Dalam pemerintahan Islam terdapat larangan keras menerima harta ghulul, yaitu
harta yang diperoleh para wali (gubernur), para amil (kepala daerah setingkat
walikota/bupati) dan para pegawai Negara dengan cara yang tidak syar’i, baik
diperoleh dari harta milik Negara maupun harta milik masyarakat. Pejabat akan
memperoleh gaji/tunjangan. Selain itu harta-harta yang diperoleh karena
memanfaatkan jabatan dan kekuasaanya seperti suap, korupsi maka termasuk harta
ghulul atau harta yang diperoleh secara curang. (Abdul Qadim Zallum, Al amwal fi
daulah Khilafah hlm. 118).
Harta yang diperoleh dengan cara ghulul tidak bisa dimiliki dan haram hukumnya:
(Barangsiapa yang berkhianat) dari harta ghanimah sedikitpun, (maka pada hari
kiamat ia akan datang) membawa apa yang dikhianatkannya itu pada leher-
pundaknya, (kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia
kerjakan dengan (pembalasan kecurangannya) setimpal, (sedang mereka tidak
dianiaya) tidak dikurangi kebaikannya dan tidak ditambah keburukannya (Tafsir
Ibn Abbas, Tanwir miqbas juz I, hlm. 75)
Termasuk ghulul adalah korupsi, yaitu harta yang diperoleh para wali (gubernur),
para amil (kepala daerah setingkat walikota/bupati) dan para pegawai Negara dari
harta –harta Negara yang di bawah pengaturan (kekuasaan) mereka untuk
membiayai tugas pekerjaan mereka, atau (yang seharusnya digunakan) untuk
membiayai berbagai sarana dan proyek, ataupun untuk membiayai kepentingan
Negara dan kepentingan umum lainnya. (Abdul Qadim zallum, Al amwal fi daulah
Khilafah, hlm. 121).
Firman Allah surat Al Fajr ayat 14 yang artinya: “Sesungguhnya Tuhanmu benar-
benar mengawasi.” Juga dalam surat Alhadid ayat 4:
ِ ََوهُ•••••••••••••••••••• َو َم َع ُكمۡ أَ ۡينَ َم••••••••••••••••••••ا ُكنتُمۡۚ َوٱهَّلل ُ بِ َم••••••••••••••••••••ا ت َۡع َملُ••••••••••••••••••••ونَ ب
ٞ ••••••••••••••••••••ص
ير
“Dia (Allah) bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat
apa yang kamu kerjakan.”
Kedua, gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan. Negara Khilafah memberikan
gaji yang cukup kepada pejabat/pegawainya, gaji mereka cukup untuk memenuhi
kebutuhan primer, sekunder, bahkan tersier. Di samping itu dalam pemerintahan
Islam biaya hidup murah karena politik ekonomi negara menjamin terpenuhinya
kebutuhan seluruh rakyat. Kebutuhan kolektif, akan digratiskan oleh pemerintah
seperti pendidikan, keamanan, kesehatan, jalan dan birokrasi. Sedangkan
kebutuhan pokok yaitu sandang, pangan dan papan bisa diperoleh dengan harga
yang murah. (Abdurrahman al Maliki, Politik Ekonomi Islam, Bangil: Al Izzah,
2001)
18. (Hai orang-orang yang beriman) kepada Muhammad SAW dan Alquran,
(bertakwalah) takutlah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan
(apa yang telah diperbuatnya) pahala/kebaikan (untuk hari esok-akhirat) apa
yang dikerjakan untuk hari kiamat, maka engkau akan menemui pada hari kiamat
apa yang kau kerjakan di dunia. Jika kebaikan akan dibalas dengan kebaikan dan
keburukan akan dibalas dengan keburukan)); (Dan bertakwalah kepada Allah)
takutlah kepada Allah apa yang kau kerjakan, (Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan) baik kebaikan maupun keburukan.( Ibn
Abbas, Tanwir Miqbas Juz II, hlm78)
Berkaitan dengan harta, maka calon pejabat/pegawai negara akan dihitung harta
kekayaannya sebelum menjabat. Selanjutnya saat menjabatpun selalu dihitung dan
dicatat harta kekayaan dan penambahannya. Jika ada penambahan yang
meragukan, maka diverifikasi apa ada penambahan hartanya itu secara syar’i atau
tidak. Jika terbukti dia melakukan kecurangan/korupsi, maka harta akan disita,
dimasukkan kas negara dan pejabat/pegawai tersebut akan diproses hukum.
Khalifah Umar bin Khatthab pernah membuat kebijakan, agar kekayaan para
pejabatnya dihitung, sebelum dan setelah menjabat. Jika bertambah sangat banyak,
tidak sesuai dengan gaji selama masa jabatannya, maka beliau tidak segan-segan
untuk menyitanya.
Kelima, penerapan aturan haramnya korupsi dan sanksi yang keras. Khilafah juga
menetapkan aturan haramnya korupsi/suap/kecurangan. Hukuman yang keras, bisa
dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan,
cambuk hingga hukuman mati.
Inilah cara yang dilakukan oleh Khilafah Islam untuk membuat jera pelaku
korupsi/suap/kecurangan dan mencegah yang lain berbuat. Berdasarkan laporan
bahwa ada kecurangan, Khalifah Umar kemudian membagi kekayaan Abu
Hurairah (Gubenur Bahrain), Amru bin Ash (Gubenur Mesir), Nu’man bin Adi
(Gubenur Mesan), Nafi’ bin Amr al-Khuzai (Gubenur Makkah), dan lain-lain. Pada
zamannya, beliau juga melarang para pejabat berbisnis, agar tidak ada konflik
kepentingan. Khalifah Umar juga pernah menyita kekayaan Abu Sufyan dan
membagi dua, setelah Abu Sufyan berkunjung ke anaknya Muawiyah-saat itu
menjadi gubernur Syam.( Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Khilafah,
hlm.123).