Anda di halaman 1dari 19

Akom Apresiasi KPK di Forum Antikorupsi Internasional

Selasa 30 Aug 2016 14:15 WIB

REP: ALI MANSUR/ RED: DWI MURDANINGSIH

 0

 0
  

KPK
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPR mengapresiasi lembaga
antikorupsi di Indonesia. Dalam forum Global Organization of Parliamentarians
Againts Corruption (GOPAC), pria yang akrab disapa Akom ini meminta agar
lembaga anti-korupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)  agar lebih
garang dan efektif memberantas praktek korupsi di Indonesia. Bahkan dia
menyebut korupsi sudah menjadi endemik di tanah air, sehingga harus lenyapkan.

Akom mengakui Gopac Indonesia Chapter mempunyai nilai-nilai dan semangat


yang sama kuatnya dengan para penggiat antikorups. Memang hingga saat ini
Gopac Indonesia Chapter tidak memiliki kekuata hukum melawan praktek korupsi.
Namun hak itu tida menguarangi nilai mereka untuk dapat mengakhiri korupsi
endemik di Indonesia.

“Saya atas nama DPR juga ingin menyampaikan apresiasi atas keberadaan dan
kerja luar biasa dari KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan Agung dalam memberantas
korupsi di Indonesia. Lembaga-lembaga ini dibangun dengan harapan bahwa
lembaga anti-korupsi ini dapat secara efektif dan garang memerangi korupsi
endemik di Indonesia.” ujar Akom dalam sambutannya, di komplek DPR.

Politikus yang akrab disapa Akom itu menambahkan, korupsi sudah jadi musuh
bersama di Indonesia. Sehingga perlawanan terhadap kejahatan korupsi merupakan
bagian dari kampanye pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)
yang akuntabel. Di bawah komando tiga lembaga hukum tersebut serta didukung
parlemen dan Gopac Indonesia Chapter, pemberantasan korupsi diharapkan bisa
suskes. Dengan harapan Indonesia bisa terbebas dari praktek korupsi tersebut.

Menurut Akom, sapaan akrab Ketua DPR, korupsi sudah jadi musuh bersama di
Indonesia. Dan perlawanan terhadap kejahatan korupsi merupakan bagian dari
kampanye pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) yang
akuntabel. Di bawah komando tiga lembaga hukum tersebut serta didukung
parlemen dan GOPAC Indonesia Chapter, pemberantasan korupsi diharapkan bisa
suskes.

Salah satu elemen penting dalam mewujudkan penyelengaraan negara yang


terbuka adalah hak publik untuk memperoleh Informasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Hak atas informasi menjadi sangat penting karena makin
terbuka penyelenggaraan negara untuk diawasi publik, penyelenggaraan negara
tersebut makin dapat dipertanggungjawabkan. Hak setiap orang untuk memperoleh
informasi juga relevan untuk meningkatkan kualitas pelibatan masyarakat dalam
proses pengambilan keputusan publik. Partisipasi atau pelibatan masyarakat tidak
banyak berarti tanpa jaminan keterbukaan informasi publik.
Keberadaan Undang-undang tentang Keterbukaan Informasi Publik sangat penting
sebagai landasan hukum yang berkaitan dengan (1) hak setiap orang untuk
memperoleh informasi; (2) kewajiban Badan Publik menyediakan dan melayani
permintaan Informasi secara cepat, tepat waktu, biaya ringan/proporsional, dan
cara sederhana; (3) pengecualian bersifat ketat dan terbatas; (4) kewajiban Badan
Publik untuk membenahi sistem dokumentasi dan pelayanan Informasi.  Setiap
Badan Publik mempunyai kewajiban untuk membuka akses atas informasi publik
yang berkaitan dengan Badan Publik tersebut untuk masyarakat luas.
Lingkup Badan Publik dalam Undang- undang ini meliputi lembaga eksekutif,
yudikatif, legislatif, serta penyelenggara negara lainnya yang mendapatkan dana
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)/Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) dan mencakup pula organisasi nonpemerintah, baik yang
berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, seperti lembaga swadaya
masyarakat, perkumpulan, serta organisasi lainnya yang mengelola atau
menggunakan dana yang sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/APBD,
sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.
Melalui mekanisme dan pelaksanaan prinsip keterbukaan, akan tercipta
kepemerintahan yang baik dan peran serta masyarakat yang transparan dan
akuntabilitas yang tinggi sebagai salah satu prasyarat untuk mewujudkan
demokrasi yang hakiki. Dengan membuka akses publik terhadap Informasi
diharapkan Badan Publik termotivasi untuk bertanggung jawab dan berorientasi
pada pelayanan rakyat yang sebaik-baiknya. Dengan demikian, hal itu dapat
mempercepat perwujudan pemerintahan yang terbuka yang merupakan upaya
strategis mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dan terciptanya
kepemerintahan yang baik (good governance).
Pada Mei 2010, KPK  secara resmi memiliki Pelayanan Informasi Publik yang
pengelolaannya diserahkan kepada Biro Humas. Pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi melalui Surat Keputusan Nomor KEP-224/01/05/2010 menujuk kepala
biro humas sebagai Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID).
Sebagai wujud pengembangan layanan informasi publik, pada tahun 2013 KPK
membentuk bagian baru di bawah Biro Humas yaitu Bagian Pelayanan Informasi
dan Komunikasi Publik (PIKP). Bagian ini mengumpulkan seluruh informasi dari
direktorat dan biro di KPK untuk diolah dan kemudian disebarluaskan kepada
publik. Keragaman dan kekhasan informasi yang dimiliki oleh KPKmembuiat
setiap  informasi harus dikemas ulang agar lebih mudah dipahami dan bisa diolah
menjadi pengetahuan antikorupsi baru.
Informasi yang telah diolah dan dikemas oleh Humas KPK ini kemudian
disebarluaskan melalui beberapa media komunikasi yang dikelola oleh KPK. Salah
satu langkah inovatif yang diambil KPK adalah membuat Portal Antikorupsi –Anti
Corruption Clearing House (ACCH), sebuah portal pengetahuan antikorupsi yang
ditujukan untuk memperkaya literasi dan informasi antikorupsi. Portal antikorupsi
yang bisa diakses di acch.kpk.go.id ini berisi Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara (LHKPN), berbagai modul dan buku antikorupsi, best
practices, dan berbagai pengetahuan antikorupsi lainnya.

Kasus Korupsi di Indonesia dalam 3 Tahun Terakhir

Winda Ayu Larasati

09 Des 2017, 14:13 WIB




16

Liputan6.com, Jakarta - Tepat hari ini, 9 Desember adalah hari anti korupsi dan
kita ketahui perang melawan korupsi terus menerus dikibarkan di negeri ini. Lalu
bagaimana tren kasus korupsi dari tahun ke tahun di Indonesia?

Seperti ditayangkan Liputan6 Siang SCTV, Sabtu (9/12/2017), dari kasus-kasus


yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), praktik korupsi dari tahun
ke tahun menunjukkan tren peningkatan.

Data dari penyidikan kasus korupsi dalam empat tahun terakhir pada 2014 ada 56
kasus korupsi yang disidik KPK. Kemudian naik pada 2015 menjadi 57 kasus, dan
pada 2016 naik lagi menjadi 99 kasus.

Berdasarkan data, hingga 30 September ada 78 penyidikan kasus korupsi. Artinya


hingga akhir Desember nanti masih ada kemungkinan bertambah.

Pejabat negara yang paling banyak menilep uang rakyat justru adalah kalangan
wakil rakyat, baik DPR maupun DPRD yakni sebanyak 23 orang.

Para kepala daerah dari tingkat gubernur hingga wali kota atau bupati berjumlah 10
orang. Jabatan yang juga rawan korupsi adalah pejabat eselon I, II, dan III yakni 10
orang. Dari kalangan swasta yang terlibat korupsi juga tak sedikit yakni 28 orang.

Modus korupsi yang paling sering dilakukan adalah penyuapan. Pada 2014 ada 20
kasus penyuapan, tahun 2015 naik menjadi 38 kasus, dan 2016 naik lagi menjadi
79 kasus penyuapan, dan tahun ini hingga 30 September sudah mencapai 55 kasus
penyuapan.

Pemberantasan korupsi sejatinya tak hanya soal angka-angka, tetapi juga tentang
bagaimana perjuangan melawan korupsi harus digdaya. Tampaknya ini yang terus
mendapat ujian. Penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan
misalnya, jelas merupakan upaya mengerdilkan pemberantasan korupsi, dan hari
ini memasuki 242 hari, pelaku dan dalang penyiraman Novel Baswedan masih
belum terungkap.

Juga dalam kasus korupsi proyek KTP elektronik tak mudah bagi KPK dalam
menyidik Ketua DPR Setya Novanto yang menjadi tersangka dalam kasus ini.
Bahkan KPK mesti dua kali menetapkan status Novanto sebagai tersangka. Tanpa
perlawanan yang kuat, tikus-tikus koruptor akan menggerogoti harapan akan
kemakmuran di negeri ini. Mencuri hak-hak rakyat untuk sejahtera.

Mari lawan korupsi demi masa depan Indonesia yang benderang!

Komitmen pemberantasan korupsi merupakan tonggak penting dalam


pemerintahan sebuah negara. Di Indonesia, hampir setiap pemilihan kepala negara
tak luput dari kesungguhan meneropong apa komitmen yang diberikan oleh calon
kepala negara untuk memberantas korupsi. ini terjadi karena korupsi terus terjadi
menggerus hak rakyat atas kekayaan negara. Kekayaan negara yang berlimpah,
nyaris tak tersisa untuk kesejahteraan masyarakat.

Semuanya tergerus oleh perilaku licik birokrat berkongkalingkong dengan para


koruptor. Komitmen pemberantasan korupsi ini juga menjadi daya tarik pemilih
untuk mencari calon kepala negara yang memiliki komitmen nyata dan
memberikan secercah harapan bahwa setiap orang yang berbuat curang pada
negara layak diusut sampai penghabisan.

Komitmen kepemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentu masih


terngiang dalam pendengaran kita, bahkan mungkin lengkap dengan cengkok gaya
bahasa dalam pidatonya yang disampaikan bahwa dirinya akan berada di garda
terdepan dalam pemberantasan negeri ini. Rupanya komitmen yang disampaikan
oleh SBY ini bukan barang baru. Pendahulunya, Soeharto pernah menyatakan
komitmen yang sama. Saat itu tahun 1970 bersamaa dengan Peringatan Hari
Kemerdekaan RI, Soeharto-Presiden saat itu-mencoba meyakinkan rakyat bahwa
komitemn memberantas korupsi dalam pemerintahannya sangat besar dan ia juga
menegaskan bahwa dia sendiri yang akan memimpin pemberantasan korupsi.
“Seharusnya tidak ada keraguan, saya sendiri yang akan memimpin.”

Tak semudah diucapkan, komitmen pemberantasan korupsi memang berat untuk


dilakukan. Berbagai upaya pemberantasan korupsi dicanangkan di setiap periode
pemerintahan negara ini. Beberapa referensi menyatakan bahwa pemberantasan
korupsi secara yuridis baru dimulai pada tahun 1957, dengan keluarnya Peraturan
Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957. Peraturan yang dikenal dengan
Peraturan tentang Pemberantasan Korupsi ini dibuat oleh penguasa militer waktu
itu, yaitu Penguasa Militer Angkatan Darat dan Angkatan Laut.

Di masa awal Orde Baru, pemerintah menerbitkan Keppres No.28 Tahun 1967
tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi. Dalam pelaksanaannya, tim
tidak bisa melakukan pemberantasan korupsi secara maksimal, bahkan bisa
dikatakan hampir tidak berfungsi. Peraturan ini malahan memicu berbagai bentuk
protes dan demonstrasi mulai tahun 1969 dan puncaknya di tahun 1970 yang
kemudian ditandai dengan dibentuknya Komisi IV yang bertugas menganalisa
permasalahan dalam birokrasi dan mengeluarkan rekomendasi untuk
mengatasinya.

Masih di tahun yang sama, mantan wakil presiden pertama RI Bung Hatta
memunculkan wacana bahwa korupsi telah membudaya di Indonesia. Padahal,
lanjut Hatta, korupsi telah menjadi perilaku dari sebuah rezim baru yang dipimpin
Soeharto, padahal usia rezim ini masih begitu muda. Hatta seperti merasakan cita-
cita pendiri Republik ini telah dikhianati dalam masa yang masih sangat muda.
Ahli sejarah JJ Rizal mengungkapkan, “Hatta saat itu merasa cita-cita negara telah
dikhianati dan lebih parah lagi karena korupsi itu justru seperti diberi fasilitas.
Padahal menurut dia, tak ada kompromi apapun dengan korupsi.”

Banjir Peraturan Pemberantasan Korupsi

Orde baru bisa dibilang paling banyak mengeluarkan peraturan karena masa Orde
Baru yang cukup panjang. Namun sayangnya tidak banyak peraturan yang dibuat
itu berlaku efektif dan membuat korupsi sedikit berkurang dari bumi Indonesia.
Menyambung pidatonya di Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus 1970, pemerintahan
Soeharto mengeluarkan UU No.3 tahun 1971 tentang PemberantasanTindak Pidana
Korupsi. Aturan ini menerapkan pidana penjara maksimum seumur hidup serta
denda maksimum Rp 30 juta bagi semua delik yang dikategorikan korupsi.

Melengkapi undang-undang tersebut, dokumen negara Garis-garis Besar Besar


Haluan Negara (GBHN) yang berisi salah satunya adalah kemauan rakyat untuk
memberantas korupsi. Namun pelaksanaan GBHN ini bocor karena pengelolaan
negara diwarnai banyak kecurangan dan kebocoran anggaran negara di semua
sektor tanpa ada kontrol sama sekali.

Organ-organ negara seperti parlemen yang memiliki fungsi pengawasan dibuat


lemah. Anggaran DPR ditentukan oleh pemerintah sehingga fungsi pengawasan
tak ada lagi. Lembaga yudikatif pun dibuat serupa oleh rezim Orde Baru, sehingga
taka da kekuatan yang tersisa untuk bisa mengadili kasus-kasus korupsi secara
independen. Kekuatan masyarakat sipil dimandulkan, penguasa Orde Baru secara
perlahan membatasi ruang gerak masyarakat dan melakukan intervensi demi
mempertahankan kekuasaannya.

Berikut ini beberapa peraturan yang terbit di masa Orde Baru berkaitan dengan
pemberantasan korupsi :

 GBHN Tahun 1973 tentang Pembinaan Aparatur yang Berwibawa dan


Bersih dalam Pengelolaan Negara;
 GBHN Tahun 1978 tentang Kebijakan dan Langkah-Langkah dalam rangka
Penertiban Aparatur Negara dari Masalah Korupsi, Penyalahgunaan
Wewenang, Kebocoran dan Pemborosan Kekayaan dan Kuangan Negara,
Pungutan-Pungutan Liar serta Berbagai Bentuk Penyelewengan Lainnya
yang Menghambat Pelaksanaan Pembangunan;
 Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi;
 Keppres No. 52 Tahun 1971 tentang Pelaporan Pajak Para Pejabat dan PNS;
 Inpres Nomor 9 Tahun 1977 tentang Operasi Penertiban;
 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.

Reformasi : Perjuangan pemberantasan korupsi masih berlangsung

Berganti rezim, berganti pula harapan rakyat Indonesia untuk bisa mengenyahkan
koruptor dari Indonesia. Orde Baru kandas, muncul pemerintahan baru yang lahir
dari gerakan reformasi pada tahun 1998. Di masa pemerintahan Abdurrahman
Wahid Muncul Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Pengelolaan Negara yang
Bersih dan Bebas KKN. Pemerintahan Gus Dur kemudian membentuk badan-
badan negara untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi, antara lain: Tim
Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional,
Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara dan beberapa lainnya.

Pada masa itu, ada beberapa catatan langkah radikal yang dilakukan oleh
pemerintahan Gus Dur. Salah satunya, mengangkat Baharudin Lopa sebagai
Menteri Kehakiman yang kemudian menjadi Jaksa Agung. Kejaksaan Agung RI
sempat melakukan langkah-langkah kongkret penegakan hukum korupsi. Banyak
koruptor kelas kakap yang diperiksa dan dijadikan tersangka pada saat itu.
Di masa kepemimpinan Megawati Soekarno Putri, berbagai kasus korupsi
menguap dan berakhir dengan cerita yang tidak memuaskan masyarakat.
Masyarakat mulai meragukan komitmen pemberantasan korupsi pemerintahan saat
itu karena banyaknya BUMN yang ditenggarai banyak korupsi namun tak bisa
dituntaskan. Korupsi di BULOG salah satunya.

Di tengah kepercayaan masyarakat yang sangat rendah terhadap lembaga negara


yang seharusnya mengurusi korupsi, pemerintahan Megawati kemudia membentuk
Komisi Pemberantasan TIndak Pidana Korupsi (KPTPK). Pembentukan lembaga
ini merupakan terobosan hukum atas mandeknya upaya pemberantasan korupsi di
negara ini. Ini yang kemudian menjadi cikal bakal Komisi Pemberantasan Korupsi.

KPK Lahir, Pemberantasan Korupsi Tak Pernah Terhenti

Perjalanan panjang memberantas korupsi seperti mendapatkan angin segar ketika


muncul sebuah lembaga negara yang memiliki tugas dan kewenangan yang jelas
untuk memberantas korupsi. Meskipun sebelumnya, ini dibilang terlambag dari
agenda yang diamanatkan oleh ketentuan Pasal 43 UU Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, pembahasan RUU
KPK dapat dikatakan merupakan bentuk keseriusan pemerintahan Megawati
Soekarnoputri dalam pemberantasan korupsi. Keterlambatan pembahasan RUU
tersebut dilatarbelakangi oleh banyak sebab. Pertama, perubahan konstitusi uang
berimpilkasi pada perubahan peta ketatanegaraan. Kedua, kecenderungan
legislative heavy pada DPR. Ketiga, kecenderungan tirani DPR. Keterlambatan
pembahasan RUU KPK salah satunya juga disebabkan oleh persolan internal yang
melanda system politik di Indonesia pada era reformasi.

Di era Presiden SBY, visi pemberantasan korupsi tercermin dari langkah awal
yang dilakukannya dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004
dan kemudian dilanjutkan dengan penyiapan Rencana Aksi Nasional
Pemberantasan Korupsi (RAN) yang disusun oleh Bappenas. RAN Pemberantasan
Korupsi itu berlaku pada tahun 2004-2009. Dengan menggunakan paradigma
sistem hukum, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono diuntungkan sistem
hukum yang mapan, keberadaan KPK melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun
2002, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang terpisah dari pengadilan
umum, dukungan internasional (structure), dan instrument hukum yang saling
mendukung antara hukum nasional dan hukum internasional.

Pemerintahan boleh berganti rezim, berganti pemimpin, namun rakyat Indonesia


menginginkan pemimpin yang benar-benar berkomitmen besar dalam
pemberantasan korupsi. Harapan dan keinginan kuat untuk mewujudkan Indonesia
yang bebas dari korupsi telah disandarkan di pundak pemimpin baru negara ini
yang akan memulai perjalanan panjangnya pada bulan Oktober mendatang.
Kemauan politik kuat yang ditunjukkan untuk mendukung lembaga pemberantas
korupsi di negeri ini yang nantinya akan dicatat sebagai sejarah baik atas
panjangnya upaya pemberantasan korupsi yang selama ini sudah dilakukan.
Semoga!

Bibliografi:

 Wijayanto ; Zachrie, Ridwan [ed.]. 2009. Korupsi Mengorupsi Indonesia.


Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
 Muslim, Mahmuddin ; Mahbub, Agus Sahlan ; Erwin, Ahmad Yulden [ed.].
2004. Jalan Panjang Menuju KPTK. Jakarta: Gerak Indonesia dan Yayasan
Tifa.
 Chalid, Hamid ; Johan, Abdi Kurnia. 2010. Politik Hukum Pemberantasan
Korupsi Tiga Zaman : Orde Lama, Orde Baru dan Era Reformasi. Jakarta:
Masyarakat Transparansi Indonesia.
 Wawancara dan berbagai sumber lain

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Adnan Pandupraja


mengatakan, korupsi terjadi karena ada peluang. Dan, peluang itu terjadi karena
adanya sistem yang belum tertata dengan baik. Hal itu dikatakan Adnan dalam
jumpa pers soal perkembangan program Support to Indonesia’s Islands of Integrity
Program (SIPS), di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Rabu (7/11/2012). Untuk
menata sistem itu, menurut Adnan, KPK bekerja sama dengan Canadian
International Development Agency (CIDA) membentuk program SIPS. Adnan
menjelaskan, program tersebut bertujuan untuk membangun sistem serta
paradigma antikorupsi di provinsi-provinsi di Indonesia. Kali ini, provinsi yang
berkesempatan memaparkan perkembangan pelaksanaan program SIPS di
lingkungannya adalah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. “Yang menarik, setiap
daerah punya keunikan. Kalau Sulut dan Sulsel bisa jadi contoh, maka bisa
digunakan untuk pembelajaran provinisi lain. Kami membangun sistem,
mentraining staf, menjawab keluhan masalah teknis, bekerja sama dengan CIDA,”
kata Adnan.. Program SIPS tersebut sudah berjalan sekitar dua tahun di Sulsel dan
Sulut. Rencananya, program akan dilaksanakan selama lima tahun. Adnan
mengatakan, fokus dari program tersebut adalah pengadaan barang dan jasa serta
pelayanan satu atap di masing-masing provinsi. Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin
Limpo menyampaikan, program SIPS tersebut memperlihatkan hasil yang positif
dan membanggakan. Program SIPS, menurutnya, mampu membangun sistem yang
lebih baik sekaligus mengubah perilaku aparat pemerintahan. “Kalau kita lihat
proyek ini, kita pastikan ada perubahan-perubahan pendekatan, jadi pemerintah
yang baik dan melayani dan tidak ribet, jadi one stop services berjalan di Sulsel.
Bahkan kami bangun gedung di dekat mal untuk memfasilitasi –perizinan
perizinan93 SKPD disatukan dalam satu pendekatan,” katanya. Dengan demikian,
lanjut Yasin, sistem ini sangat penting untuk struktur pelayanan di Sulsel. Dia juga
mencontohkan bagaimana memperbaiki sistem pengadaan barang dan jasa melalui
lelang elektronik di provinsinya. “Dengan maksud tidak terjadi kebocoran-
kebocoran, jadi ada efisiensi dan pengiritan dan sisa tender lebih besar. Ini yang
nyata digerakkan KPK bersama kami, dan kami akan sempurnakan ke depannya,”
ujar Yasin. Hal senada disampaikan Wakil Gubernur Sulut Djauhari Kansil.
Menurutnya, selama dua tahun program SIPS berjalan, terlihat perubahan mental
aparat. Sekarang, katanya, aparat di Sulut mulai melayani masyarakat sebaik-
baiknya sesuai dengan tugas dan fungsi mereka. “Dalam pelayanan publik tidak
ruwet tapi dilaksanakan secara tepat dan cepat, khususya di Sulut, ada empat
kabupaten kota, termasuk provinsi yang melaksanakannya,” katanya. Selain itu,
lanjut Djauhari, provinsinya menerapkan e-government dalam pengadaan barang
dan jasa, pelelangan elektronik, serta membangun sistem perizinan yang terpadu.

Korupsi merupakan penyakit amat berat yang menyerang negeri ini, yang kini tak
lagi bersifat kasuistik atau individual, tapi sudah bersifat sistemik dan dilakukan
secara kelompok/mafia (“berjamaah”). Korupsi di alam demokrasi saat ini telah
merasuk ke setiap instansi pemerintah (eksekutif), parlemen/wakil rakyat
(legislatif), peradilan (yudikatif), dan juga swasta. Korupsi didefinisikan sebagai
penggelapan atau penyelewengan uang negara atau perusahaan tempat seseorang
bekerja untuk menumpuk keuntungan pribadi atau orang lain. (Sudarsono, Kamus
Hukum, hlm. 231). Definisi lain menyebutkan korupsi adalah penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh pejabat atau pegawai demi keuntungan pribadi,
keluarga, teman, atau kelompoknya. (Erika Revida, Korupsi di Indonesia : Masalah
dan Solusinya, USU Digital Library, 2003, hlm. 1).

Apa yang menjadi faktor penyebab timbulnya korupsi? Banyak pakar sudah
melakukan analisis mengenai hal ini. Menurut Erika Evida (2003), berdasarkan
analisisnya terhadap pendapat para pakar peneliti korupsi seperti Singh (1974),
Merican (1971), Ainan (1982), sebab-sebab terjadinya korupsi adalah 3 (tiga)
faktor berikut : Pertama, gaji yang rendah, kurang sempurnanya peraturan
perundang-undangan, administrasi yang lamban, dan sebagainya. Kedua, budaya
warisan pemerintahan kolonial.Ketiga, sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya
dengan cara tak halal, tak ada kesadaran bernegara, serta tak ada pengetahuan pada
bidang pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh pejabat pemerintah. (Erika
Evida, Korupsi di Indonesia : Masalah dan Solusinya, USU Digital Library, 2003,
hlm. 3).

Namun demikian, analisis faktor penyebab korupsi itu sebenarnya tidak mendalam,
dan hanya memotret fenomena korupsi dari sisi permukaan atau kulitnya saja.
Faktor penyebab korupsi saat ini sebenarnya berpangkal dari ideologi yang ada,
yaitu demokrasi-kapitalis. Faktor ideologis inilah, beserta beberapa faktor lainnya,
menjadi penyebab dan penyubur korupsi saat ini.

Faktor ideologis tersebut terwujud dalam nilai-nilai yang menjadi anutan dalam
masyarakat kini yang berkiblat kepada Barat, seperti nilai kebebasan dan
hedonisme. Demokrasi-kapitalis telah mengajarkan empat kebebasan yang sangat
destruktif, yaitu kebebasan beragama (hurriyah al aqidah), kebebasan kepemilikan
(hurriyah al tamalluk), kebebasan berpendapat (hurriyah al ra`yi), dan kebebasan
berperilaku (al hurriyah al syakhshiyyah). Empat macam kebebasan inilah yang
tumbuh subur dalam sistem demokrasi-kapitalis yang terbukti telah melahirkan
berbagai kerusakan. Korupsi merupakan salah satu kerusakan akibat paham
kebebasan kepemilikan (hurriyah al tamalluk) tersebut. (Abdul Qadim Zallum, Ad
Dimuqrathiyah Nizham Kufr, 1990).
Perlu diingat korupsi bukan hanya marak di Indonesia, tapi terjadi di masyarakat
manapun yang menerapkan nilai-nilai yang bersumber dari ideologi Barat tersebut.
Ledakan korupsi bukan saja terjadi di tanah air, tapi juga terjadi di Amerika,
Eropa, Cina, India, Afrika, dan Brasil. Negara-negara Barat yang dianggap matang
dalam menerapkan demokrasi-kapitalis justru menjadi biang perilaku bobrok ini.
Para pengusaha dan penguasa saling bekerja sama dalam proses pemilu. Pengusaha
membutuhkan kekuasaan untuk kepentingan bisnis, penguasa membutuhkan dana
untuk memenangkan pemilu.

Faktor ideologis ini juga dapat dilihat dari diterapkannya sistem demokrasi melalui
pilkada yang nyata-nyata mendorong terjadinya korupsi. Maraknya korupsi kepala
daerah tidak bisa dilepaskan dari sistem demokrasi ini. Mengapa korupsi menggila
di alam demokrasi? Jawabannya selain untuk memperkaya diri, korupsi juga
dilakukan untuk mencari modal agar bisa masuk ke jalur politik termasuk
berkompetisi di ajang pemilu dan pilkada. Sebab proses politik demokrasi,
khususnya proses pemilu menjadi caleg daerah apalagi pusat, dan calon kepala
daerah apalagi presiden-wapres, memang membutuhkan dana besar.

Data yang telah dikemukakan di atas, yaitu adanya 173 kepala daerah yang
tersangkut berbagai kasus korupsi, menunjukkan sistem demokrasi-lah yang dapat
ditunjuk sebagai faktor paling utama yang mendorong terjadinya korupsi. Tentu
saja tak boleh diabaikan adanya faktor lainnya. Setidaknya ada tiga faktor lainnya,
yaitu :Pertama, faktor lemahnya karakter individu (misalnya individu yang tak
tahan godaan uang suap). Kedua, faktor lingkungan/masyarakat, seperti adanya
budaya suap atau gratifikasi yang berawal dari inisiatif masyakat. Ketiga, faktor
penegakan hukum yang lemah, misalnya adanya sikap tebang pilih terhadap pelaku
korupsi, serta sanksi bagi koruptor yang tidak menimbulkan efek jera.

Faktor penyebab korupsi setidaknya ada 4 (empat), yaitu : Pertama, faktor


ideologis, yaitu tumbuhnya nilai-nilai kebebasan dan hedonisme di masyarakat,
dan juga diterapkannya sistem demokrasi yang mendorong korupsi, Kedua, faktor
kelemahan karakter individu. Ketiga, faktor lingkungan/masyarakat, seperti budaya
suap. Keempat, faktor penegakan hukum yang lemah. Dari keempat faktor ini,
hambatan utama pemberantasan korupsi justru terletak pada sistem yang ada saat
ini. Mungkin ada yang keberatan terhadap kesimpulan ini, tapi paling tidak, ada
banyak fakta menunjukkan kurang seriusnya sistem yang ada dalam memberantas
korupsi.

Faktor ideologi sistem menjadi akar masalah. Ini berarti, langkah paling utama dan
paling penting yang paling wajib dilakukan adalah menghapuskan pemberlakuan
ideologi demokrasi-kapitalis itu sendiri. Selanjutnya, setelah menghapuskan
ideologi yang merusak itu, diterapkan Syariah Islam sebagai satu-satunya sistem
hukum yang semestinya berlaku di negeri ini.

Islam merupakan agama paripurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan,


termasuk urusan pemerintahan. Dalam pandangan Islam kekuasaan ada di tangan
rakyat dan kedaulatan ada pada Allah (Alquran dan Hadis). Artinya kepala Negara
(Khalifah) yang diangkat berdasarkan rida dan pilihan rakyat adalah mereka yang
mendapat kepercayaan dari rakyat untuk menjalankan roda pemerintahan sesuai
dengan Alquran dan Hadis.

Begitu pula pejabat-pejabat yang diangkat juga untuk melaksanakan pemerintahan


berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. Dalam Khilafah Islamiyyah
pengangkatan kepala daerah dan pemilihan anggota Majelis Ummah/Majelis
Wilayah berkualitas, amanah dan tidak berbiaya tinggi. Karenanya pemilihan dan
pengangkatannya bisa mendapatkan kandidat yang betul-betul berkualitas, amanah
dan mempunyai kapasitas serta siap melaksanakan Alquran dan Sunnah.

Dari sinilah, maka secara mayoritas pejabat Negara tidak melakukan kecurangan,
baik korupsi, suap maupun yang lain. Sekalipun demikian tetap ada perangkat
hukum yang telah disiapkan untuk mengatasi kecurangan yang dilakukan oleh
pejabat/pegawai negara.

Dalam pemerintahan Islam terdapat larangan keras menerima harta ghulul, yaitu
harta yang diperoleh para wali (gubernur), para amil (kepala daerah setingkat
walikota/bupati) dan para pegawai Negara dengan cara yang tidak syar’i, baik
diperoleh dari harta milik Negara maupun harta milik masyarakat. Pejabat akan
memperoleh gaji/tunjangan. Selain itu harta-harta yang diperoleh karena
memanfaatkan jabatan dan kekuasaanya seperti suap, korupsi maka termasuk harta
ghulul atau harta yang diperoleh secara curang. (Abdul Qadim Zallum, Al amwal fi
daulah Khilafah hlm. 118).

Harta yang diperoleh dengan cara ghulul tidak bisa dimiliki dan haram hukumnya:

ِ ْ‫َو َمن يَ ْغلُلْ } من الغنائم شيئا ً { يَأ‬


ٍ ‫ت بِ َما َغ َّل يَوْ َم القيامة } حامالً له على عنقه { ثُ َّم توفى } توفر { ُكلُّ نَ ْف‬
‫س َّما‬
‫ُظلَ ُم••ونَ } ال ينقص من حس••ناتهم وال ي••زاد على س••يئاتهم‬ ْ ‫ت } بم••ا عملت من الغل••ول وغ••يره { َوهُ ْم الَ ي‬ ْ َ‫َك َس •ب‬
161.

(Barangsiapa yang berkhianat) dari harta ghanimah sedikitpun, (maka pada hari
kiamat ia akan datang) membawa apa yang dikhianatkannya itu pada leher-
pundaknya, (kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia
kerjakan dengan (pembalasan kecurangannya) setimpal, (sedang mereka tidak
dianiaya) tidak dikurangi kebaikannya dan tidak ditambah keburukannya (Tafsir
Ibn Abbas, Tanwir miqbas juz I, hlm. 75)

Termasuk ghulul adalah korupsi, yaitu harta yang diperoleh para wali (gubernur),
para amil (kepala daerah setingkat walikota/bupati) dan para pegawai Negara dari
harta –harta Negara yang di bawah pengaturan (kekuasaan) mereka untuk
membiayai tugas pekerjaan mereka, atau (yang seharusnya digunakan) untuk
membiayai berbagai sarana dan proyek, ataupun untuk membiayai kepentingan
Negara dan kepentingan umum lainnya. (Abdul Qadim zallum, Al amwal fi daulah
Khilafah, hlm. 121).

Langkah-langkah Khilafah Mencegah dan Menghilangkan Korupsi

Pemerintahan Islam (Khilafah Islam) adalah pemerintahan yang dijalankan dalam


rangka beribadah kepada Allah SWT. Menurut Syekh Taqiyuddin An Nabhani:
‫ وحم••ل ال••دعوة اإلس••المية‬،‫الخالفة هي رئاسة عامة للمسلمين جميعا ً في الدنيا إلقامة أحكام الش••رع اإلس••المي‬
‫إلى الع•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••الم‬
Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum Muslimin secara keseluruhan di
dunia untuk menegakkan hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke
seluruh dunia. Dengan demikian pemerintahan Khilafah dalam menjalankan roda
pemerintahan Islam berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. (Taqiyuddin
an Nabhani, al Syakhshiyah al Islamiyah Juz II, Beirut, Libanon: Dar al Ummah,
2003. hlm 13).

Adapun aturan yang diterapkan dalam Khilafah Islamiyyah, untuk mencegah


korupsi/ kecurangan/ suap adalah sebagai berikut:

Pertama, Badan Pengawasan/ Pemeriksa Keuangan. Syekh Abdul Qadim Zallum


dalam kitab Al Amwal fi Daulah Khilafah menyebutkan, untuk mengetahui apakah
pejabat dalam instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak, maka
ada pengawasan yang ketat dari Badan Pengawasan/ Pemeriksa Keuangan.
Ditambah lagi keimanan yang kokoh akan menjadikan seorang pejabat dalam
melaksanakan tugasnya selalu merasa diawasi oleh Allah.

Firman Allah surat Al Fajr ayat 14 yang artinya: “Sesungguhnya Tuhanmu benar-
benar mengawasi.” Juga dalam surat Alhadid ayat 4:
ِ َ‫َوهُ•••••••••••••••••••• َو َم َع ُكمۡ أَ ۡينَ َم••••••••••••••••••••ا ُكنتُمۡۚ َوٱهَّلل ُ بِ َم••••••••••••••••••••ا ت َۡع َملُ••••••••••••••••••••ونَ ب‬
ٞ ••••••••••••••••••••‫ص‬
‫ير‬
“Dia (Allah) bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat
apa yang kamu kerjakan.”

Khalifah Umar bin Khatthab mengangkat pengawas, yaitu Muhammad bin


Maslamah, yang bertugas mengawasi kekayaan para pejabat.

Kedua, gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan. Negara Khilafah memberikan
gaji yang cukup kepada pejabat/pegawainya, gaji mereka cukup untuk memenuhi
kebutuhan primer, sekunder, bahkan tersier. Di samping itu dalam pemerintahan
Islam biaya hidup murah karena politik ekonomi negara menjamin terpenuhinya
kebutuhan seluruh rakyat. Kebutuhan kolektif, akan digratiskan oleh pemerintah
seperti pendidikan, keamanan, kesehatan, jalan dan birokrasi. Sedangkan
kebutuhan pokok yaitu sandang, pangan dan papan bisa diperoleh dengan harga
yang murah. (Abdurrahman al Maliki, Politik Ekonomi Islam, Bangil: Al Izzah,
2001)

Ketiga, ketakwaan individu. Dalam pengangkatan pejabat/ pegawai Negara,


Khilafah menetapkan syarat takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas.
Karenanya mereka memiliki self control yang kuat. Sebagai seorang Muslim akan
menganggap bahwa jabatan adalah amanah yang harus ditunaikan dengan benar,
karena akan dimintai pertanggung jawaban di dunia dan akhirat. Dengan demikian
seorang Muslim akan menjadikan amanah/jabatannya itu sebagai bekal masuk
surga. Firman Allah surat Alhasyr ayat 18:
ْ ُ‫بمحمد عليه الصالة والسالم والقرآن { اتقوا هللا } اخشوا هللا { َو ْلتَنظُ ْ•ر نَ ْفسٌ } كل نفس } ياأيها الذين آ َمن‬
{ ‫وا‬
ً‫ت لِ َغ ٍد } ماعملت ليوم القيامة فإنما تجد ي••وم القيام••ة م••ا عملت في ال••دنيا إن ك••ان خ••يرا‬ ْ ‫برة أو فاجرة { َّما قَ َّد َم‬
‫فخير• وإن كان شراً فشر• { واتقوا هللا } اخشوا هللا فيما تعملون { إِ َّن هللا خَ بِي ٌر بِ َما تَ ْع َملُونَ } من الخير والشر‬

18. (Hai orang-orang yang beriman) kepada Muhammad SAW dan Alquran,
(bertakwalah) takutlah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan
(apa yang telah diperbuatnya) pahala/kebaikan (untuk hari esok-akhirat) apa
yang dikerjakan untuk hari kiamat, maka engkau akan menemui pada hari kiamat
apa yang kau kerjakan di dunia. Jika kebaikan akan dibalas dengan kebaikan dan
keburukan akan dibalas dengan keburukan)); (Dan bertakwalah kepada Allah)
takutlah kepada Allah apa yang kau kerjakan, (Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan) baik kebaikan maupun keburukan.( Ibn
Abbas, Tanwir Miqbas Juz II, hlm78)

Ketakwaan individu juga mencegah seorang Muslim berbuat kecurangan, karena


dia tidak ingin memakan dan memberi kepada keluarganya harta haram yang akan
mengantarkannya masuk neraka. Firman Allah SWT surat Attahrim ayat 6 yang
artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka.”

Keempat, amanah. Dalam pemerintahan Islam setiap pejabat/pegawai wajib


memenuhi syarat amanah. Yaitu wajib melaksanakan seluruh tugas-tugas yang
menjadi tanggung jawabnya. Firman Allah surat Almukminun ayat 8:
٨ َ‫َوٱلَّ ِذينَ هُمۡ أِل َ ٰ َم ٰنَتِ ِهمۡ َوع َۡه•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••• ِد ِهمۡ ٰ َر ُع••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••ون‬
Dan sungguh beruntung orang-orang yang memelihara amanat-amanat
(melaksanakan kewajiban-kewajibannya dan janjinya (menepati janjinya baik
kepada Allah maupun kepada manusia).(Ibn Abbas Tanwir Miqbas, Tafsir surat
Almukminun ayat 8)

Berkaitan dengan harta, maka calon pejabat/pegawai negara akan dihitung harta
kekayaannya sebelum menjabat. Selanjutnya saat menjabatpun selalu dihitung dan
dicatat harta kekayaan dan penambahannya. Jika ada penambahan yang
meragukan, maka diverifikasi apa ada penambahan hartanya itu secara syar’i atau
tidak. Jika terbukti dia melakukan kecurangan/korupsi, maka harta akan disita,
dimasukkan kas negara dan pejabat/pegawai tersebut akan diproses hukum.

Khalifah Umar bin Khatthab pernah membuat kebijakan, agar kekayaan para
pejabatnya dihitung, sebelum dan setelah menjabat. Jika bertambah sangat banyak,
tidak sesuai dengan gaji selama masa jabatannya, maka beliau tidak segan-segan
untuk menyitanya.

Rasulullah pernah menyita harta yang dikorupsi pegawainya. “Nabi pernah


mempekejakan Ibn Atabiyyah, sebagai pengumpul zakat. Setelah selesai
melaksanakan tugasnya Ibn Atabiyyah datang kepada Rasulullah seraya berkata:
“Ini kuserahkan kepadamu, sedangkan harta ini adalah yang diberikan orang
kepadaku…lalu Rasulullah bersabda: Seorang pegawai yang kami pekerjakan,
kemudian dia datang dan berkata: “Ini kuserahkan kepadamu, sedangkan harta
ini adalah yang diberikan orang kepadaku. Apakah tidak lebih baik dia duduk
(saja) di rumah bapak/ibunya, kemudian dapat mengetahui apakah dia diberi
hadiah atau tidak. Demi Dzat yang nyawaku ada di tanganNya, salah seorang dari
kalian tidak akan mendapatkan sedikitpun dari hadiah itu, kecuali pada hari
kiamat dia akan datang dengan membawa unta di lehernya…(HR. Bukhari-
Muslim, Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Khilafah, hlm. 119).

Kelima, penerapan aturan haramnya korupsi dan sanksi yang keras. Khilafah juga
menetapkan aturan haramnya korupsi/suap/kecurangan. Hukuman yang keras, bisa
dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan,
cambuk hingga hukuman mati.

Inilah cara yang dilakukan oleh Khilafah Islam untuk membuat jera pelaku
korupsi/suap/kecurangan dan mencegah yang lain berbuat. Berdasarkan laporan
bahwa ada kecurangan, Khalifah Umar kemudian membagi kekayaan Abu
Hurairah (Gubenur Bahrain), Amru bin Ash (Gubenur Mesir), Nu’man bin Adi
(Gubenur Mesan), Nafi’ bin Amr al-Khuzai (Gubenur Makkah), dan lain-lain. Pada
zamannya, beliau juga melarang para pejabat berbisnis, agar tidak ada konflik
kepentingan. Khalifah Umar juga pernah menyita kekayaan Abu Sufyan dan
membagi dua, setelah Abu Sufyan berkunjung ke anaknya Muawiyah-saat itu
menjadi gubernur Syam.( Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Khilafah,
hlm.123).

Anda mungkin juga menyukai