Anda di halaman 1dari 241

i

MERCHANDISING
DI INDUSTRI GARMEN

WIDIHASTUTI

i
MERCHANDISING DI INDUSTRI GARMEN
Oleh: Widihastuti
ISBN: 978 602 6338 67 9-
Edisi Pertama
Diterbitkan dan dicetak oleh:
UNY Press
Jl. Gejayan, Gg. Alamanda, Komplek Fakultas Teknik UNY
Kampus UNY Karangmalang Yogyakarta 55281
Telp: 0274 – 589346
Mail: unypress.yogyakarta@gmail.com
© 2017 Widihastuti
Anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI)
Anggota Asosiasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia (APPTI)

Penyunting Bahasa : Dian Novitarini


Desain Sampul: Noor Aziz Prabanistian
Tata Letak: Rizky Ariadi.
Isi di luar tanggung jawab percetakan

Widihastuti
Merchandising di Industri Garmen
-Ed.1, Cet.1.- Yogyakarta: UNY Press 2017
xiii + 233 hlm; 16 x 23 cm
ISBN: 978 602 6338 67 9
1. Merchandising di Industri Garmen
1.judul

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta


Pasal 2:
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi
pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimanav dimaksudkan dalam Pasal 2
ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan (2) dipidanakan dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1
(satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling
lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu
ciptaan atau barang hasil Pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1)
dipidanakan dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah


melimpahkan segala rahmat, taufik, pertolongan, dan hidayah-Nya,
sehingga penulis berhasil menyelesaikan buku Merchandising di Industri
Garmen ini sesuai yang direncanakan.
Buku ini didanai oleh Universitas Negeri Yogyakarta melalui program
penulisan buku bagi dosen UNY. Oleh Karena itu, pada kesempatan yang
sangat baik ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya
kepada seluruh pimpinan UNY dan pihak-pihak terkait lainnya yang secara
langsung maupun tidak langsung telah turut membantu dalam tersusunnya
buku ini.
Hadirnya buku ini dimaksudkan untuk melengkapi keberadaan
sumber-sumber belajar lainnya yang membahas materi serupa. Oleh karena
itu, buku ini ditujukan untuk semua pelajar, mahasiswa, dan masyarakat luas
yang berkecimpung dan tertarik untuk memperdalam mengenai pekerjaan
merchandising di industri garmen.
Ada beberapa keunggulan yang ditawarkan dalam buku ini. Pertama,
buku teks tentang Merchandising di Industri Garmen selama ini jarang dan
sulit kita temukan, sehingga buku ini dihadirkan untuk memenuhi
kebutuhan tersebut terutama untuk menunjang pembelajaran
Merchandising. Kedua, aspek teoritis dan praktis dalam buku ini disajikan
secara berimbang, rinci, detail, dan sistematis, mengacu pada sumber asli
dan berbagai pengalaman dari beberapa merchandiser yang bekerja di
industri garmen.
Ketiga, buku ini membahas secara lengkap mulai dari konsep dasar
merchandising di industri garmen dan segala hal yang berkaitan dengan
merchandising, meliputi pengertian merchandising, maksud dan tujuan
merchandising, lingkup kerja seorang merchandiser, persyaratan umum
yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang merchandiser, produk garmen,
bahan baku kain (main material), bahan penunjang garmen, bahan pelengkap
garmen, penghitungan kebutuhan bahan baku (fabric consumption), bagaimana
menghitung kalkulasi harga jual (costing) garmen, metode pembayaran (term
of payment), membuat order sheet, menyusun file penting terkait dokumen data

iii
untuk produksi (filling), sampai menyusun perencanaan dan pengaturan
tahapan-tahapan proses produksi (Time action calendar-TAC). Harapannya
adalah agar para pembaca dapat memahami secara utuh tentang
merchandising sebagai salah satu jenis pekerjaan di industri garmen.
Penulis yakin bahwa buku ini masih memiliki kekurangan dan
kelemahan, oleh karena itu penulis akan berusaha untuk menyempurnakan
buku ini. Penulis berharap agar pembaca dan pemakai buku ini berkenan
memberikan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan buku
ini di masa mendatang. Semoga buku yang sederhana ini dapat memberikan
manfaat bagi para pembaca. Amin.

Yogyakarta, Agustus 2017

iv
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................... iii

DAFTAR ISI......................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
A. Industri Garmen ................................................................................. 1
B. Merchandising dalam Industri Garmen .......................................... 9

BAB II MERCHANDISER GARMEN ........................................................ 27


A. Pengertian Merchandiser Garmen ..................................................... 27
B. Lingkup Kerja Merchandiser Garmen........................................... 28
C. Persyaratan Umum Merchandiser Garmen .................................. 33
D. Menjadi Merchandiser Garmen yang Profesional ....................... 34

BAB III PENGETAHUAN PRODUK GARMEN ................................... 41


A. Klasifikasi Produk (Merchandize) Garmen...................................... 41
B. Karakteristik Produk Garmen ........................................................ 43
C. Standar Kualitas Produk Garmen .................................................. 46
D. Pemeriksaan Kualitas Sampel Produk Garmen ........................... 77
E. Klasifikasi Zona Cacat Produk Garmen ....................................... 79
E. Proses Pemeriksaan Akhir Kualitas Produk Garmen ................. 81
F. Teknik Pemeriksaan Akhir Produk Garmen ................................ 87

BAB IV PENGETAHUAN BAHAN BAKU TEKSTIL (MAIN


MATERIAL) ...................................................................................................... 97
A. Klasifikasi Bahan Baku Tekstil/Kain (Main Material) ................ 97
B. Karakteristik Bahan Baku Tekstil/Kain (Main Materia .............104
C. Standar Kualitas Bahan Baku Tekstil/Kain (Main Material) .....105
D. Pemilihan Bahan Baku Tekstil/Kain (Main Material) untuk
Garmen .............................................................................................110
v
BAB V PENGETAHUAN BAHAN BANTU (ADDITIONAL
MATERIAL) ....................................................................................................115
A. Klasifikasi Bahan Bantu (Additional Material) ..............................115
B. Macam-macam Bahan Bantu (Additional Material) .....................116
C. Standar Kualitas Bahan Bantu (Additional Material) ...................128
D. Pemilihan Bahan Bantu (Additional Material) ..............................131

BAB VI PENGETAHUAN BAHAN APLIKASI DAN LABEL .........133


A. Bahan Aplikasi untuk Garmen .....................................................133
B. Label untuk Produk Garmen ........................................................135

BAB VII PENGHITUNGAN KEBUTUHAN BAHAN (FABRIC


CONSUMPTION)............................................................................................159
A. Pengertian Fabric Consumption...................................................159
B. Fungsi Fabric Consumption .........................................................159
C. Perhitungan Fabric Consumption ................................................161

BAB VIII PEMBIAYAAN (COSTING) .....................................................171


A. Pengertian Costing ............................................................................171
B. Komponen Costing ..........................................................................174
C. Perhitungan Costing .......................................................................174

BAB IX METODE PEMBAYARAN (TERM OF PAYMENT) ...........195

BAB X ORDER SHEETS .............................................................................199


A. Style sheets .......................................................................................199
B. Sewing Detail ...................................................................................209
C. Bill of Material (BOM) ...................................................................210
D. Final Report .....................................................................................213

BAB XI FILLING ...........................................................................................215

BAB XII TIME ACTION CALENDAR (TAC) .......................................225

vi
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................231

vii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Industri Garmen
Pada subbab tentang industri garmen ini akan dijelaskan mengenai apa
yang sebenarnya dimaksud dengan industri garmen, sejarah pertumbuhan
dan perkembangan industri garmen, peranannya dalam perekonomian suatu
negara, posisinya dalam pasar global, dan contoh-contoh perkembangan
industri garmen di beberapa negara termasuk Indonesia. Selain itu, pada
bahasan ini juga disertai dengan contoh foto-foto industri garmen agar lebih
menarik dan komunikatif.

1. Industri Garmen
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan industri garmen? Industri
garmen merupakan salah satu industri yang bergerak dalam bidang produksi
pakaian jadi dan perlengkapan pakaian dalam jumlah yang sangat besar
(diproduksi secara masal) berdasarkan pesanan (order dari buyer) maupun
order sendiri sesuai standar kualitas yang telah ditentukan. Pakaian jadi yang
dimaksud adalah segala macam pakaian dari bahan tekstil untuk laki-laki,
wanita, anak-anak dan bayi. Bahan bakunya adalah kain tenun atau kain
rajutan dan produknya antara lain berupa kemeja (shirts), blus (blouses), rok
(skirts), kaus (t-shirts, polo shirt, sport swear), pakaian dalam (underwear) dan lain-
lain.
Mengingat hal tersebut maka industri garmen memerlukan
pengelolaan proses produksi yang efektif dan efisien agar produk yang
dihasilkan sesuai spesifikasi order/pesanan, target, dan waktu yang telah
ditentukan. Pengerjaan setiap komponen produksi di dalam industri garmen
dilakukan secara terpisah, sehingga memerlukan pengelolaan yang sangat
cermat agar dapat menghasilkan produk sesuai standar kualitas yang telah
ditentukan. Oleh karena itu, industri garmen perlu didukung oleh sumber
daya manusia, sarana prasarana, sistem, prosedur, dan manajemen yang
memadai.

1
a. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Industri Garmen
Pertumbuhan dan perkembangan industri garmen ternyata
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu antara lain perkembangan peradaban
manusia dan teknologi, kehidupan sosial dan tingkat ekonomi masyarakat,
tingkat kebutuhan masyarakat, serta kebijakan ekonomi dan politik baik
pemerintah maupun dunia sebagai bagian dari kehidupan berbangsa dan
bernegara. Semua faktor tersebut saling berkaitan dan saling mempengaruhi
satu sama lain baik secara langsung maupun tidak secara langsung.

1) Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Industri Garmen di


Eropa dan Amerika
Sejarah telah membuktikan bahwa perkembangan industri garmen di
dunia terutama Eropa dan Amerika sebenarnya sudah diawali sejak mulai
terjadinya revolusi industri pada tahun 1750-an, yaitu dengan ditemukannya
mesin-mesin yang bertenaga listrik/ uap yang mulai menggantikan tangan-
tangan manusia dalam melakukan perbagai pekerjaan. Selanjutnya pada
tahun 1800-an, revolusi industri mulai berkembang dan menyebar ke
seluruh daratan Eropa dan Amerika. Pada saat itu, terjadilah momentum
yang sangat penting di Amerika dimana para pekerja berpendidikan dan
terampil mulai memproduksi produk-produk dalam jumlah yang banyak
(massal). Perkembangan ini mulai ditandai dengan munculnya pabrik-pabrik
besar yang tentunya juga membutuhkan sarana-prasarana angkutan dan
mulai dibangunnya infrastruktur jalur distribusi. Oleh karena itu, pada tahun
1850 (revolusi industri ke-2) mulailah dibuat jalur kereta api sebagai salah
satu infrastruktur untuk angkutan.

2
Gambar 1. Mesin Industri Pembuatan Kain
(Sumber :
http://nathanaelsuryadi.blogspot.co.id/2012/03/perkembangan-industri-
garmen-dari-masa.html)

Selanjutnya pada tahun 1900-an, revolusi industri mulai menyebar ke


Rusia, China dan Asia tenggara. Hal ini ditandai oleh adanya pertumbuhan
pabrik-pabrik besar di kawasan ini seperti yang terjadi di Eropa dan
Amerika. Perkembangan mesin-mesin pembuat kain baik yang
menggunakan sistem rajut maupun dengan sistem tenun pun mengawali
adanya perkembangan industri garmen ini. Proses pembuatan pakaian yang
pada jaman dahulu dikerjakan dengan tangan, mulai dikerjakan dengan
menggunakan mesin-mesin, dan pada saat itu di Eropa muncul mesin-mesin
jahit pertama seperti Singer (Inggris) dan Pfaf (Jerman). Itulah yang
menandai terjadinya perkembangan industri garmen di Eropa dan Amerika.
Perkembangan teknologi ternyata berdampak pada perkembangan
ekonomi di kawasan Eropa dan Amerika. Hal ini menyebabkan tenaga
manusia menjadi mahal, dan hanya industri-industri yang mampu
membayar dengan upah yang tinggi saja yang masih bisa bertahan.
Akibatnya adalah industri-industri yang menggunakan tenaga manusia mulai
mengalami mutasi/ perpindahan secara alami, dari daerah yang memiliki
3
perekonomian yang baik ke perekonomian yang kurang baik. Industri
garmen pun mulai berpindah ke negara-negara timur dan bahkan sampai ke
benua Asia, yang saat itu masih mengalami kesulitan secara ekonomi.
Perpindahan industri garmen didahului dengan berpindahnya pabrik-pabrik
kain dari Eropa ke Asia sekitar tahun 1900-an.

Gambar 2. Mesin Jahit Merk Singer

Selain berdampak pada perkembangan ekonomi, ternyata dampak


lebih lanjut dari perkembangan teknologi adalah perkembangan organisasi
dan kegiatan bisnis di tahun 1990an. Pada saat itu mulai banyak berdiri
pabrik-pabrik industri yang bergerak di berbagai macam bidang, baik bidang
jasa maupun barang. Persaingan pun menjadi lebih ketat dengan
berkembangnya teknologi-teknologi canggih, dimana negara-negara di
seluruh dunia (global) ini sudah tidak memiliki batas ruang dan
waktu. Kecenderungan cara berbisnis pun berubah dimana produsen
semakin di tuntut untuk lebih kreatif dan inovatif dalam pembuatan karya-
karya yang akan diperjualbelikan. Dengan demikian, persaingan pun terjadi
secara positif dan membuka peluang bagi pengusaha-pengusaha kecil untuk
lebih berkembang.
Sejarah telah mencatat bahwa pada awal tahun 1950 terjadi demo
besar-besaran di Eropa dimana buruh-buruh pabrik garmen di Eropa dan
Amerika ke jalan-jalan, mereka mengusung spanduk-spanduk yang intinya
memprotes kebijakan pemerintah. Mereka meminta kepada pemerintah
untuk melakukan pembatasan impor produk-produk garmen dari kawasan
Asia. Hal ini terjadi karena pada saat itu para pebisnis lebih memilih

4
mengimpor pakaian-pakaian dari negara Asia, karena harga yang ditawarkan
bisa jauh lebih murah. Mengapa harganya bisa lebih murah? Sebab, upah
buruh di Asia saat itu masih rendah. Oleh karena maraknya demonstrasi
yang dilakukan para buruh ini, maka pemerintahpun mengambil kebijakan
dengan membatasi impor dengan memberlakukan sistem "Quota".

2) Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Industri Garmen di


Asia
Perkembangan garmen di Asia dimulai pada awal tahun 1950-an
dengan banyaknya industri garmen di Jepang. Sebenarnya industri mesin
jahit di Jepang mulai banyak berkembang sejak tahun 1920-an, saat itu mulai
muncul mesin-mesin jahit seperti: "Juki", "Brother", "Pegasus", dll. China
juga berkembang dalam industri garmen, tetapi tidak bisa berdagang dengan
Eropa, karena berbagai isu HAM.

Gambar 3. Mesin Jahit Industri Merk Juki

Pada tahun 1960-an Hongkong mulai mengembangkan industri


garmen. Hongkong saat itu menjadi pusat terbesar perdagangan garmen
dunia. Tahun 1970-an, industri garmen mulai bergeser ke Taiwan, China,
dan Korea Selatan. China terus mengembangkan dan semakin kuat sampai
saat ini, karena luasnya daerah dan banyaknya pekerja di China. Tetapi hal
inipun mulai bergeser saat China pun memulai mengutamakan industri-
industri yang menggunakan teknologi.

5
Gambar 4. Perkembangan Teknologi di Industri Garmen
(Sumber: https://www.google.co.id/Gambar+mesin-
mesin+industri+garmen)

Selanjutnya, kebangkitan industri garmen besar di Asia tenggara (mulai


unjuk gigi) sebenarnya ketika tahun 1975-an, karena China tidak bisa
melakukan hubungan bilateral dengan Eropa dan Amerika dan dengan
adanya sistem QUOTA (China tidak banyak memiliki quota). Di kawasan
Asia Tenggara yang berkembang adalah: Indonesia, Thailand, Vietnam,
Laos, Kamboja, Myanmar, kemudian bergeser ke negara Asia lainnya seperti
Srilanka, Bangladesh, dan Philipina. Kemudian, beberapa spesialisasi
muncul di India, dengan menguatnya industri tenun kotak dan denim di
India.
Jika kita lihat dewasa ini, perkembangan industri garmen ternyata
menduduki peringkat tertinggi. Hal ini disebabkan oleh karena kebutuhan
manusia akan sandang dan kebutuhan manusia untuk selalu ingin
berpenampilan up to date telah membuat manusia tidak berhenti dan merasa
puas akan apa mereka miliki. Kondisi semacam ini telah membuat para
pengusaha garmen semakin menunjukkan kebolehannya dalam

6
menciptakan kreasi dan pernak-pernik menarik, dengan kualitas baik dan
harga yang terjangkau.

Gambar 5. Perkembangan Industri Garmen di Kawasan Asia


(Sumber:
http://nathanaelsuryadi.blogspot.co.id/2012/03/perkembangan-industri-
garmen-dari-masa.html)

Seiring dengan perkembangan dan waktu, industri garmen di


Indonesia mengalami perkembangan yang naik turun. Perkembangan
industri garmen di Indonesia ini tidak terlepas dari kebijakan politik
pemerintah dan dunia. Namun sampai saat ini, industri garmen di Indonesia
masih cukup kuat bertahan di tengah ketatnya persaingan industri garmen
baik di tingkat ASEAN, Asia, maupun dunia, terlebih industri garmen
menjadi salah satu andalan komoditi ekspor Indonesia yang mampu
menopang pertumbuhan perekonomian Indonesia. Apalagi dengan adanya
MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) 2015, maka industri garmen
merupakan salah satu industri yang memiliki peran dan kontribusi yang
sangat besar dalam perkembangan industri kreatif Indonesia.

7
Gambar 6. Situasi Kerja di Industri Garmen

Industri fesyen (garmen) menjadi salah satu penyumbang nilai tertinggi


eksport dalam industri kreatif Indonesia (Puguh Setyo Nugroho & Malik
Cahyadin, 2014: 2) yang dapat dilihat pada Tabel 1.

8
Industri garmen tersebut merupakan penyumbang devisa terbesar bagi
negara setelah minyak dan gas bumi (migas). Di pasar internasional sendiri,
produk garmen Indonesia telah memiliki posisi yang cukup bagus,
dengan pangsa antara 3 % sampai 4% dari total nilai ekpsor dunia.

B. Merchandising dalam Industri Garmen


Pada subbab ini akan dibahas mengenai pengertian merchandising,
posisi atau kedudukan pekerjaan merchandising dalam sebuah industri
garmen serta peran dan konstribusinya pada keberhasilan sebuah industri
garmen. Oleh karena itu, perlu dijelaskan terlebih dahulu tentang pengertian
merchandising dan struktur organisasi secara umum dalam sebuah industri
garmen. Pemahaman tentang struktur organisasi dalam sebuah industri
garmen ini sangat penting karena dapat membantu memahami bagaimana
peranan merchandising tersebut dalam sebuah industri garmen.

1. Pengertian Merchandising
Merchandising adalah pekerjaan penanganan order produksi baik
pesanan dari buyer ataupun order sendiri mulai dari konfirmasi order,
pembuatan sampel, pengajuan approval bahan-bahan produksi, pengadaan
bahan produksi, rencana produksi sampai penyelesaian produksi hingga
produk siap kirim berikut dokumentasi pengiriman dan pembayaran.
Merchandising merupakan suatu bagian pekerjaan dalam industri
garmen atau departemen yang menghubungkan antara bagian marketing
(pemasaran) dengan bagian atau departemen produksi. Dengan demikian,
merchandising menjadi suatu metode pelaksanaan yang digunakan untuk
promosi dan masuk dalam kategori aktivitas komersial. Pekerjaan
merchandising secara langsung bertugas untuk mengembangkan suatu
produk mulai dari awal sampai akhir. Dengan demikian, dikenal adanya
merchandising pemasaran (marketing merchandising) dan merchandising
produksi (production merchandising). Oleh karena itu, antara departemen
pemasaran dan merchandising selalu bekerja bersama-sama menjadi sebuah
tim kerja yang terdiri atas marketers (pelaku pemasaran) dan merchandisers
(pelaku pekerjaan merchandising) yang bertujuan untuk memperoleh
keuntungan dan keberhasilan.
9
Terkait hal di atas, maka sebenarnya bagaimana posisi dan kedudukan
merchandising serta perannya dalam sebuah industri garmen? Berikut secara
secara garis besar akan dibahas mengenai struktur organisasi di dalam
industri garmen.

2. Struktur Organisasi dalam Industri Garmen

Gambar 7. Bagan Struktur Organisasi di Industri Garmen


(Sumber: The Factory by Till Freyer & Celia, S., IGTC-Bogor, 2006)

Industri garmen memiliki bagian-bagian atau bidang pekerjaan penting


yang terpisah tetapi saling terkait satu sama lain dan terbagi dalam beberapa
departemen yang dipimpin oleh seorang kepala departemen atau disebut
sebagai manajer. Berbagai bidang atau bagian dalam industri garmen
tersebut saling mendukung dan saling melengkapi untuk kelancaran proses

10
manajerial maupun produksi. Terkait dengan bagian atau bidang pekerjaan
tersebut, beberapa industri garmen di Indonesia masing-masing mempunyai
istilah dan nama tersendiri sesuai dengan fungsi, ukuran, dan kapasitasnya.
Menurut Till Freyer & Celia (2006), secara garis besar di dalam sebuah
struktur organisasi industri garmen terdiri atas:
a. Director (Direktur), yaitu orang yang memimpin atau mengepalai
sebuah pabrik atau perusahaan garmen. Biasanya orang yang
menduduki posisi direktur adalah pemilik perusahaan atau
rekanan/partner kerja yang dipercaya untuk menduduki sebagai
general manager dalam perusahaan garmen tersebut. Secara herarki,
orang yang menduduki posisi ini berada pada level paling atas dalam
struktur organisasi di industri garmen. Direktur ini bertanggung jawab
terhadap kesuksesan perusahaan, secara rutin mengadakan pertemuan
dan diskusi dengan staf manajemen untuk memecahkan masalah dan
mengambil keputusan, menentukan konsep dan kebijakan terkait
dengan target pasar, produk, tingkat harga, dan investasi. Direktur
tidak bisa bekerja sendiri tapi harus selalu bekerja sama dengan semua
staf dan manajemen.

b. IT-Department (Departemen Teknologi Informasi), yaitu bagian


yang bertanggungj awab pada departemen teknologi informasi di
perusahaan garmen tersebut. Bagian ini penting dan harus ada karena
semua informasi, komunikasi dan segala aktivitas dalam perusahaan
garmen ini berbasis komputer, misal salah satunya adalah
berkomunikasi melalui email, dan lain-lain. Oleh karena itu, orang yang
bekerja pada departemen IT ini harus memiliki keahlian dalam bidang
komputer dan teknologi informasi, misal menguasai program
komputer, dan lain-lain.

11
Gambar 8. Departemen IT

c. Finance (Departemen Keuangan), yaitu bagian yang bertanggung


jawab pada bidang keuangan di perusahaan garmen, seperti mengurus
pembayaran dengan berbagai metodenya misalnya dengan L/C (Letter
of Credit), cost (biaya), dan lain-lain yang terkait dengan keuangan. Oleh
karena itu bagian keuangan ini harus memiliki pengetahuan tentang
berbagai mata uang di seluruh dunia dan berbagai metode pembayaran.

Gambar 9. Departemen Keuangan (Finance)

Bagian keuangan ini berhubungan dengan arus uang dan pembiayaan


dan bertugas untuk melakukan kontrol terhadap arus uang (cash flow)
12
perusahaan agar tetap terjaga positif dan memberikan keuntungan bagi
perusahaan. Bagian ini harus mampu melakukan penilaian atas
prioritas pembiayaan dan menentukan biaya yang seharusnya dan layak
dikeluarkan oleh perusahaan pada tiap pos-pos keuangan sehingga
dapat menghindari pengeluaran yang tidak perlu serta menghemat
belanja perusahaan. Bagian ini harus mampu mengatur waktu
pembayaran atas tagihan-tagihan yang masuk maupun pembiayaan
operasional harian, bulanan dan jangka waktu lainnya dengan
menyeimbangkan neraca pengeluaran dengan pemasukan.

d. Shipping (Departemen Pengapalan), yaitu bagian yang


bertanggung jawab pada urusan pengiriman barang-barang (produk)
garmen ke pemesan. Oleh karena itu, departemen ini harus bekerja
sama dengan departemen keuangan dan produksi agar dapat
menyiapkan semua dokumen yang diperlukan saat pengiriman produk
dengan baik dan dapat mengirimkan produk sesuai waktu dan
spesifikasi baik secara kualitas maupun kuantitas yang ditentukan oleh
pemesan (buyer).

Gambar 10. Departemen Pengapalan (Shipping)

13
e. Human Resources (Departemen Sumber Daya Manusia/ SDM),
yaitu bagian yang mengurusi sumber daya manusia di dalam
perusahaan garmen. Bagian ini bertanggung jawab pada hubungan
antar personal di dalam perusahaan, kinerja karyawan, analisis
pekerjaan, kesejahteraan karyawan, peraturan-peraturan yang
ditetapkan, sistem penggajian/upah kerja, dan lain-lain sehingga
tercipta produktivitas kerja yang tinggi sesuai kapasitas sumber daya
manusia yang ada di perusahaan garmen tersebut.

Gambar 11. Departemen SDM

f. Marketing Manager (Manager Pemasaran), yaitu seseorang yang


bertanggung jawab pada pengelolaan pemasaran di perusahaan
garmen. Bagian ini bertugas mencari dan menentukan strategi-strategi
pemasaran yang akan diterapkan dalam memasarkan produk garmen.
Oleh karena itu, untuk orang yang bekerja pada bagian ini harus
memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam hal menganalisis pasar,
fashion trend yang sedang berkembang, rentang harga, dan target
produksi. Dengan demikian, maka manajer pemasaran ini harus selalu
bekerja sama dengan departemen merchandising dan produksi agar
dapat menentukan strategi pemasaran secara tepat sesuai sasaran
produk.

14
Gambar 12. Bagian Departemen Pemasaran (Marketing)

Bagian ini harus dibedakan antara pengertian Pemasaran (Marketing)


dengan Sales (Penjual). Bagian marketing bertugas melakukan penetrasi
pasar termasuk membuka pasar baru dan sesuai arahan dan tujuan
perusahaan. Marketing juga bertanggung jawab atas promosi,
menghitung dan merekomendasikan target penjualan, membuat
rencana dan strategi penjualan, menjual produk, meningkatkan nilai
penjualan, meningkatkan keuntungan bagi perusahaan, menampung
dan meneruskan saran atau pendapat dari konsumen mengenai produk
yang dijual kepada bagian terkait lain di perusahaan yang
berkepentingan atasnya, guna meningkatkan kepuasan pelanggan.
Sedangkan tugas Sales lebih kepada upaya melakukan penjualan
sebanyak-banyaknya dan memberikan keuntungan bagi perusahaan.

g. Chief Merchandiser (Kepala Merchandiser), yaitu kepala


merchandiser yang bertanggung jawab pada bidang pekerjaan
merchandising, mulai dari penerimaan order sampai pada produk
order tersebut dikirimkan ke buyer/pemesan. Jadi seorang kepala
merchandiser harus selalu ikut mengawal jalannya proses produksi
15
mulai dari awal produk itu dipesan oleh buyer sampai produk itu
dikirimkan ke buyer agar produk yang dikirim sesuai dengan spesifikasi
yang diminta oleh buyer. Kepala merchandiser ini harus selalu bekerja
sama dengan bagian keuangan, pemasaran, dan produksi agar
mencapai hasil yang diharapkan sesuai standard kualitas dan spesifikasi
yang ditentukan oleh buyer. Oleh karena seorang merchandiser
merupakan ujung tombak dalam sebuah industri garmen, maka dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya seorang kepala
merchandiser dibantu oleh asisten merchandiser baik di bagian sampel
maupun di bagian produksi.

Gambar 13. Bagian Departemen Merchandising

Dengan kata lain, pekerjaan dalam merchandising adalah bertugas untuk


menyediakan produk-produk sesuai dengan pesanan atau permintaan
pasar, baik konsumen langsung maupun dari bagian marketing sesuai
dengan analisa perkiraan permintaan pasar dan kemungkinan serapan
produk. Seringkali pada lingkup industri garmen merchandising dituntut
juga untuk mampu melakukan perhitungan harga pokok produksi
(HPP) sebuah produk. Perhitungan harus dilakukan dengan benar dan
16
efisien. Kesalahan perhitungan dapat mengakibatkan kerugian bagi
perusahaan. Merchandising juga dituntut untuk dapat membuat
perencanaan, pengembangan dan mencari sumber bahan baku dan
bahan bantu serta melakukan persentasi pemilihan produk dengan
memperhitungkan trend model, kepuasan konsumen, daya serap pasar,
harga dan waktu produksi.
Tugas merchandising lebih kepada manajemen dan administrasi seperti
mempersiapkan data yang diperlukan untuk pelaksanaan proses
produksi, pembuatan order-order pesanan bahan baku dan bahan
bantu produksi hingga persiapan pembuatan dokumen-dokumen
pengiriman, pengapalan dan penagihan pembayaran atas produk yang
telah diselesaikan atau dikirimkan.

h. Assistant Merchandiser dan Sampling (Asisten Merchandiser


dan Sampel), yaitu bagian yang membantu pekerjaan kepala
merchandiser dan mempersiapkan sampel sesuai spesifikasi order yang
telah ditentukan. Bagian ini bertugas dan bertangung jawab dalam
menyiapkan sampel produk agar sesuai dengan standar kualitas dan
spesifikasi yang diminta oleh buyer (pemesan). Oleh karena itu, bagian
ini harus menjalin kerjasama yang baik dengan bagian produksi agar
dapat menghasilkan sampel secara tepat dan benar sesuai ketentuan
yang diminta oleh buyer.

i. Production Management (Manajemen Produksi), yaitu bagian


yang bertanggung jawab pada pengelolaan produksi garmen. Setelah
sampel disetujui oleh buyer, maka proses produksi garmen dapat
segera dilakukan. Oleh karena itu, bagian ini harus mampu
mempersiapkan dan merencanakan bagaimana proses produksi itu
dilakukan, berapa jumlah mesin dan operator/pekerja yang digunakan,
17
target produksi, sampai bagaimana layout mesin dan produksi akan
diterapkan agar dapat mencapai produktifitas yang tinggi sesuai
spesifikasi yang diminta buyer. Dengan demikian, maka bagian ini
harus bekerja sama dengan bagian sampel dan order produksi. Oleh
karena itu, pada bagian manajemen produksi ini mencakup juga bagian
Production Planning (perencanaan produksi) yang bertugas membuat
perencanaan dan mengatur urutan pengerjaan order-order produksi.
Seringkali Production Planning juga dituntut untuk membuat standar
urutan/peta proses (asembling) berikut perhitungan waktu serta target
produksi. Perhitungan harus dilakukan dengan benar dan efisien sesuai
dengan kemampuan dan kapasitas yang ada. Kesalahan perhitungan
dapat mengakibatkan terjadinya bottle neck pada proses asembling
sehingga tidak tercapainya target output yang berakibat pada tidak
terpenuhinya tengat waktu penyelesaian order. Pada bagian ini biasa
dikenal adanya istilah IE (Industrial Engineering) dan TE (Technical
Engineering). Orang-orang yang ditempatkan pada bagian ini harus
benar-benar memahami proses produksi secara paripurna dan benar
sesuai dengan kondisi yang berlaku di lini produksi.

j. Production Orders (Order Produksi), yaitu bagian yang


bertanggung jawab pada order produksi sesuai dengan spesifikasi dan
standar order/pemesan yang telah ditentukan. Bagian ini bekerja sama
dengan manajemen produksi dan sampel agar produk yang dihasilkan
sesuai order yang diminta. Dengan demikian, orang yang bekerja pada
bagian ini harus memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang
produk yang diminta buyer dan bagaimana proses produksinya.

18
k. Quality Assurance (QA) atau Bagian Penjaminan Kualitas, yaitu
bagian yang bertanggung jawab pada penjaminan kualitas/mutu
produksi dan produk sesuai dengan standar spesifikasi order yang telah
ditentukan. Oleh karena itu, bagian ini harus memahami spesifikasi
standar kualitas yang diminta oleh buyer agar dapat menjamin kualitas
produk yang akan dihasilkan. Oleh karena itu, tugas bagian Penjamin
Mutu adalah menjaga dan menciptakan kualitas produk agar sesuai
dengan standar yang ditetapkan, baik standar perusahaan, permintaan
pembeli, standar yang berlaku nasional dan/atau internasional dengan
melakukan upaya antisipasi atas kemungkinan terjadinya
penyimpangan mutu produk sebelum proses produksi berlangsung,
melakukan pengendalian mutu pada proses persiapan, ketika proses
produksi berlangsung hingga proses penyelesaian produksi sampai
produk siap kirim.

l. Maintenance/Repair Department (Departemen Pemeliharaan


dan Perbaikan), yaitu bagian yang bertanggung jawab pada
pemeliharaan dan perbaikan semua peralatan produksi pada
perusahaan garmen yang dibantu oleh bagian Technical &
Machine/Equipment. Bagian ini merupakan bagian yang sangat penting
karena kelancaran proses produksi akan sangat bergantung padanya.
Jika ada salah satu mesin produksi yang rusak akan dapat mengganggu
kelancaran proses produksi lainnya. Oleh karena itu, orang yang
bekerja pada bagian ini harus betul-betul mengetahui dan memahami
tentang mesin-mesin produksi industri garmen dan cara
pemeliharaannya sehingga dimungkinkan bagian ini melakukan
pemeliharaan/maintenance berkala agar terhindar dari kerusakan yang
berakibat fatal terhadap jalannya produksi. Dengan kata lain, bagian ini
secara tidak langsung berkaitan dengan produktivitas kerja.
19
m. Production Department (Departemen Produksi), yaitu bagian
yang bertanggung jawab pada proses produksi mulai dari pattern/marker
(pembuatan pola/marker), cutting (memotong), sewing/knitting
(menjahit), finishing (penyelesaian), pressing (pengepresan), packing
(pengepakan), dan deliveries (pengiriman). Departemen ini akan selalu
bekerja sama dengan bagian merchandising dan sampel agar produk
yang dihasilkan sesuai dengan spesifikasi yang diminta buyer.

Gambar 14. Bagian Departemen Produksi

20
Bagian Produksi ini bertanggung jawab atas pembuatan dan
penyelesaian produk sesuai dengan pesanan dari bagian marketing
dan/atau merchandising dengan tetap mengutamakan efisiensi dan
efektivitas kerja dengan terus berupaya untuk mengurangi pengeluaran
biaya yang tidak perlu. Oleh karena itu, bagian produksi harus mampu
melakukan perencanaan, pengaturan dan pelaksanaan proses produksi
dengan baik dan benar dengan memanfaatkan sumber daya yang
tersedia dalam upaya menyelesaikan produksi sesuai permintaan dan
tepat waktu. Selain itu, bagian ini juga bertanggung jawab atas hasil
produknya agar sesuai dengan spesifikasi yang disyaratkan, mutu dan
standar-standar lain yang telah ditetapkan.

n. Quality Control (QC) atau Bagian Pengendalian Kualitas, yaitu


bagian yang bertanggung jawab pada pemeriksaan dan pengendalian
kualitas produk garmen. Oleh karena itu, orang yang bekerja pada
bagian ini harus menguasai tentang standar kualitas dan bagaimana
cara mengujinya. Dengan demikian, maka bagian ini dapat
menentukan kapan dan dimana proses pemeriksaan akan dilakukan,
apakah di awal produksi, dalam proses produksi, ataupun di akhir
produksi, atau bahkan dilakukan pengendalian kualitas yang ketat agar
dapat mencapai mutu/kualitas yang ditentukan. Proses pengendalian
mutu dilakukan dengan melakukan pengujian-pengujian bahan skala
laboratorium, pemeriksaan secara visual dan pengukuran-pengukuran
pada hal-hal tertentu sesuai keperluan tahapan produksi terhadap
bahan baku, bahan bantu, proses asembling hingga proses akhir pada
urutan proses produksi garmen hingga produk siap kirim. Bahkan
seringkali bagian ini dianggap bertanggung jawab atas keluhan mutu
produk untuk produk-produk yang dikembalikan oleh konsumennya.
Pelaksanaan kendali mutu yang benar dan konsisten akan membantu
21
kelancaran proses produksi serta mengurangi keluhan konsumen atas
mutu produk. Makin berkurangnya jumlah produk cacat dalam proses
produksi dan berkurangnya keluhan konsumen atau pembeli atas
produk jadi merupakan tolok ukur keberhasilan proses kendali mutu
secara umum.

o. Bagian Pembelian (Purchasing), yaitu bagian yang berhubungan


dengan proses pembelian kebutuhan industri fesyen bersangkutan.
Bahan yang dibeli bisa saja merupakan bahan baku dan bahan bantu
produksi dan prosesnya ataupun barang-barang lain yang bukan
merupakan bahan untuk produksi namun menunjang operasional
industri secara umum. Purchasing harus memastikan bahwa barang yang
dibeli sesuai dengan spesifikasi yang diminta, berkualitas baik dengan
harga yang pantas.

p. Bagian Operasional / Pendukung (Operational / Supporting),


yaitu bagian yang bertugas memberikan dukungan pada bagian-bagian
lain di perusahaan baik dari segi ketenagakerjaan, penyediaan fasilitas-
fasilitas yang diperlukan hingga pengaturan arus barang. Bagian ini
biasanya bertanggung jawab atas penyediaan dan peningkatan kualitas
sumber daya manusia, keamanan, kondisi dan ketersediaan fasilitas–
fasilitas pendukung, transportasi, logistik, pengaturan ruang pamer,
pergudangan hingga pengaturan kinerja operasional industri secara
keseluruhan.

Berdasarkan uraian dan bagan di atas, maka dapat diketahui bahwa


industri fesyen/garmen pada sejatinya adalah penggabungan dari beberapa
sistem/ tugas yang dikelompokkan sebagai bagian-bagian pekerjaan, yaitu
antara lain:

22
(1) Pemasaran (Marketing)
(2) Merchandising (Merchandising)
(3) Perencanaan Produksi (Production Planning)
(4) Produksi (Production)
(5) Penjamin / Kendali Mutu (Quality Assurance)
(6) Keuangan (Finance / Accounting)
(7) Pembelian (Purchasing)
(8) Operasional (Operational)

Tiap-tiap bagian tersebut di atas mempunyai tugas dan tanggung


jawabnya masing-masing namun dengan saling ketergantungan dan
keterikatan yang sangat erat antar bagiannya. Keserasian dan keselarasan
kerja antar bagian bukan hal mudah untuk dilakukan karena melibatkan
banyak orang dengan kemampuan, integritas dan dasar keilmuan yang
berbeda-beda. Hal ini menjadi tugas para pemimpin tiap bagian untuk dapat
menyelaraskan perbedaan ini agar dapat terbentuk kondisi dan lingkungan
kerja yang kondusif dengan interaktif yang saling menghargai tugas dan
kewenangannya masing-masing. Kelemahan pada satu bagian saja dapat
mengakibatkan gangguan kinerja industri garmen secara keseluruhan. Oleh
karena itu, karakteristik dari semua bagian pekerjaan di industri garmen
adalah satu kesatuan (unity).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bagian-
bagian Pemasaran, Merchandising, Perencanaan Produksi, Produksi,
Penjamin / Kendali Mutu, Keuangan, Pembelian dan Operasional adalah
pembagian-pembagian skala besar sebuah industri garmen/fesyen/apparel.
Semua bagian-bagian yang diisi oleh orang-orang dari disiplin ilmu yang
berbeda-beda tersebut harus dapat bekerja dalam satu sistim manajemen
yang baik, melaksanakan kewajiban dan tugasnya masing-masing sesuai
dengan ketentuan dan tuntutan tanggung jawabnya secara efisien dan
efektif. Kelemahan satu bagian atau bahkan satu unit kerja saja akan dapat
mengakibatkan terhambatnya kinerja industri secara keseluruhan.
Inefisiensi satu bagian atau bahkan satu unit kerja saja akan dapat
23
mengakibatkan terganggunya upaya efisiensi industri fesyen secara
keseluruhan. Selain itu beberapa faktor internal maupun eksternal yang
mempengaruhi unit produksi harus diantisipasi untuk mengefisienkan
kinerja sebuah industri garmen dan dalam sebuah industri apapun
produknya, upaya-upaya peningkatan kinerja harus terus menerus dilakukan
dalam upaya meningkatkan daya saing atau paling tidak memantapkan posisi
industri tersebut pada persaingan yang akan terus berlangsung.
Selanjutnya sebagai gambaran bagaimana proses yang ada di industri
garmen, maka akan dibahas mengenai proses produksi di industri garmen,
mulai dari penerimaan order dari buyer sampai pengiriman produk ke buyer
/ pemesan. Adapun tahapan prosesnya adalah sebagai berikut:
1. Penerimaan order dari buyer akan dilakukan oleh merchandiser.
2. Selanjutnya seorang merchandiser akan meminta bantuan dari bagian
sampel untuk membuat sampel produk sesuai dengan spesifikasi order
yang diminta buyer.
3. Setelah sampel siap, maka merchandiser akan menunjukkan sampel
tersebut kepada buyer untuk mengetahui apakah buyer menyepakati
(menyetujui) atau tidak sampel tersebut.
4. Setelah terjadi kesepakatan terhadap sampel yang dibuat, maka
selanjutnya merchandiser akan menghitung biaya (cost) yang
dibutuhkan.
5. Selanjutnya merchandiser akan membuat rencana material yang
dibutuhkan dan melakukan pembelian (purchasing) jika rencana material
dan pembelian tersebut disetujui.
6. Setelah itu, merchandiser akan melakukan pemesanan semua material
baik kain, asesories, maupun bahan pelengkap lainnya yang dibutuhkan
sesuai dengan standar kualitas yang diminta buyer. Oleh karena itu,
harus dilakukan pengendalian kualitas material produk.
7. Selanjutnya masuk pada tahap proses produksi, mulai dari perencanaan
produksi, pemotongan, penjahitan, dan finishing. Setiap tahap ini

24
harus dilakukan kontrol kualitas agar dapat mencapai produk yang
bagus sesuai spesifikasi order yang diminta.
8. Setelah semua produk selesai dan memenuhi spesifikasi baik secara
kualitas maupun kuantitas, maka segera dilakukan pengiriman produk
ke buyer.

Secara garis besar, alur proses bisnis secara keseluruhan dalam industri
garmen dapat dilihat pada bagan berikut ini:

Gambar 15. Alur Proses Bisnis di Industri Garmen Secara Keseluruhan


Sumber: M. Riza Radyanto.

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat diketahui dimana posisi


pekerjaan merchandising dalam industri garmen dan seberapa besar
peranannya dalam menentukan keberhasilan dan kesuksesan sebuah
industri garmen. Selain itu dapat dijelaskan pula bahwa pekerjaan
merchandising yang dilakukan oleh seorang merchandiser atau follow up
merupakan bagian yang sangat penting dan sebagai ujung tombak di industri
garmen. Oleh karena itu, mengingat hal tersebut maka pada bab selanjutnya
akan dibahas lebih detail mengenai merchandiser garmen yang mencakup
25
pengertian, lingkup kerja, persyaratan umum, dan bagaimana menjadi
merchandiser garmen yang profesional.

26
BAB II
MERCHANDISER GARMEN

A. Pengertian Merchandiser Garmen


Merchandiser berasal dari kata merchandise (bahasa Inggris) yang berarti
‘barang dagangan’. Jadi, merchandiser garmen diartikan sebagai orang-orang
yang mengurus barang dagangan jenis garmen (pakaian jadi maupun
perlengkapannya), baik berdasarkan pesanan (order dari buyer) ataupun
yang tidak berdasarkan pesanan dari buyer (order sendiri). Pekerjaan
merchandiser garmen tersebut disebut merchandising garmen, dan pekerjaan
ini merupakan salah satu bidang pekerjaan penting di industri garmen. Oleh
karena itu, seorang merchandiser garmen harus bisa menjamin dan
memastikan bahwa produk yang akan dihasilkan sesuai dan memenuhi
spesifikai order yang diminta (Right Product), memenuhi standar kualitas yang
diminta (Right Quality), memenuhi standar jumlah yang diminta (Right
Quantities), dan sesuai jadwal yang diminta (Schedule Time).

Gambar 16. Situasi Kerja Merhandiser

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa


merchandiser garmen adalah seseorang yang melakukan merchandising di
sebuah perusahaan garmen. Jadi, semua pekerjaan yang terkait dengan
merchandising garmen ini dilakukan dan menjadi tanggung jawab dari
seorang merchandiser garmen atau disebut juga sebagai Follow Up.

27
Menurut Nathanael Suryadi (2012), seorang merchandiser garmen
memiliki fungsi yang sangat penting di bisnis garmen, karena melalui
mereka rantai suplly dan rantai proses bisnis ini bisa berjalan dengan baik.
Oleh karena itu, peran dari para merchandiser ini sangat penting dalam
mendukung keberhasilan dan kesuksesan perusahaan garmen. Mereka
adalah ujung tombak perusahaan yang menghubungkan antara buyer atau
customer (pemesan) dengan perusahaan terkait dengan order perusahaan.
Apabila kinerja seorang merchandiser garmen baik dan mampu memenuhi
spesifikasi dari buyer, maka akan berdampak pada keberlanjutan usaha
tersebut. Sebaliknya apabila kinerja seorang merchandiser kurang baik,
maka akan berdampak kurang bagus juga pada keberlanjutan usaha garmen
tersebut.

B. Lingkup Kerja Merchandiser Garmen

Gambar 17. Merchandiser Garmen


(Sumber: The Factory by Till Freyer & Celia, S., IGTC-Bogor, 2006)

Sebelum membahas lebih jauh ruang lingkup pekerjaan merchandiser


garmen akan disajikan terlebih dahulu struktur dan fungsi merchandising
garmen yaitu sebagai berikut:

28
Ditinjau dari tipe atau jenisnya, pekerjaan merchandising yang
dilakukan oleh merchandiser garmen, secara garis besar dibagi menjadi dua
29
yaitu marketing merchandising (merchandising pemasaran) dan product
merchandising (merchandising produk).

1. Marketing Merchandising (Merchandising Pemasaran)


Fungsi pokok merchandising pemasaran dilakukan oleh seorang
merchandiser pemasaran, yaitu:
a. Mengembangkan produk sesuai permintaan (order) dan riset pasar.
b. Menghitung biaya produksi dan menentukan harga jual.
c. Selanjutnya menghubungi buyer untuk menyampaikan produk yang
telah dikembangkan tersebut beserta biaya dan harga jualnya.

2. Product Merchandising (Merchandising Produk)


Tugas merchandising produk ini merupakan tanggung jawab dari
seorang merchandiser produk garmen dan dilakukan dalam satu unit, yaitu
mulai dari penerimaan order sampai order tersebut dikirimkan ke buyer.
Ruang lingkup pekerjaan seorang merchandiser produk garmen ini memang
sangat luas, dimulai dari proses penerimaan order sampai pengiriman order,
atau mulai dari proses desain (pemilihan model baju, jenis bahan yang
digunakan, warna, pemilihan asesoris, range size, dll), pembuatan prototype
design (sampel proses: pola, jahit), menghitung harga jual dan harga
produksi, mengatur proses penempatan produksi, mengurus pembelian
bahan baku dan aksesoris yang dipakai, mengawasi proses produksi,
mengurus pengiriman barang, sampai mengatur tata ruang toko saat
penjualan (showroom). Secara detail dapat dijelaskan bahwa ruang lingkup
pekerjaan dan tanggung jawab merchandiser produk garmen ini dapat
dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu:

1. Tahap Design Produk


a. Design
1) Pembuatan Siluete
2) Board Collection
3) Trims & artwork

30
b. Pemilihan bahan
1) Pemilihan Jenis Kain
2) Pemilihan Jenis Material Kain
3) Pemilihan warna

c. Pembuatan Sample
1) Pembuatan pola
2) Pemotongan Bahan
3) Penjahitan sample

d. Final Approval Design

2. Tahap Pra Produksi


a. Colour Chart Preparation
b. Trims Chart Preparation
c. Material Calculation -> Consumption
d. Artwork design process (print/ bordir)
e. Form Sample
f. Persiapan Material sample
1) Pembuatan contoh motif kain
2) Pembuatan contoh warna kain
3) Pembuatan contoh Asesoris (Trims)
* Label
* Kancing
* Sleting, dll
* Label
4) Proses jahit sample -> Fitting
5) Proses approval sample
6) Proses contract order
7) Proses Pemesan material (Kain dan Aksesoris)
8) Worksheet production
9) Proses jahit sample -> Fitting

31
3. Tahap Produksi
a. Pemeriksaan kain
b. Pembuatan Pre production sample
c. Pemotongan kain
d. Proses Artwork (Print/ Bordir)
e. Proses Jahit
f. Proses Cuci (bila Perlu)
g. Proses Finishing
1) Pemeriksaan Kualitas
2) Pemasangan Kancing
3) Proses Gosok
4) Proses Lipat pemberian Tag
5) Packing
4. Tahap Pasca Produksi
5. Tahap Penjualan di Toko (Retail)

Terkait hal di atas, maka Ikatan Ahli Tekstil seluruh Indonesia


menyatakan bahwa ruang lingkup pekerjaan seorang merchandiser garmen
secara umum antara lain sebagai berikut:
a. Melakukan konfirmasi penempatan order kepada pemesan (sales
confirmation)
b. Membuat perhitungan harga (cost calculations)
c. Menjabarkan detail order untuk pembuatan sampel produksi
d. Mempersiapkan approval bahan-bahan produksi
e. Melakukan pemesanan bahan-bahan untuk produksi
f. Membuat rencana produksi dan waktu penyelesaian produksi (time
schedule)
g. Membuat Surat Perintah Kerja (SPK), Order Sheet berikut file lengkap
bagi unit produksi dan quality assurance.

32
h. Mengikuti proses produksi dan melakukan tindakan yang menjadi
kewenangannya agar pesanan yang diproduksi sesuai dengan
permintaan
i. Membuat dokumen-dokumen yang diperlukan bagi proses pengiriman
/ pengapalan (shipping instructions) dan penagihan pembayaran
j. Membuat rekapitulasi penyelesaian order berikut perhitungan rugi-laba

C. Persyaratan Umum Merchandiser Garmen


Semua orang dapat menjadi seorang merchandiser garmen, asal
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Mampu berkomunikasi baik secara langsung maupun tidak langsung
dan mampu bernegoisasi dengan baik. Oleh karena itu, untuk
mendukung hal ini maka seorang merchandiser garmen selain
menguasai bahasa nasional juga setidaknya menguasai satu bahasa
internasional yaitu bahasa Inggris. Hal ini terutama apabila industri
garmen tempat bekerja merupakan industri garmen yang mengekspor
produknya ke luar negeri.
2. Sabar, teliti, cermat, dan cekatan. Hal ini sangat penting terlebih sistem
kerja yang menuntut ketelitian, kecermatan, kecekatan, dan kecepatan
agar dapat memenuhi standar kualitas serta kuantitas sesuai spesifikasi
order dari buyer.
3. Fleksibel dalam waktu kerja mengingat adanya perbedaan waktu antar
negara. Oleh karena itu, seorang merchandiser garmen harus bisa
menyesuaikan diri dengan pekerjaan dan waktu di berbagai negara.
4. Dapat bertindak tegas namun lugas. Seorang merchandiser garmen
harus dapat menentukan sikap dengan tegas namun tetap lugas agar
dapat memenuhi standar yang ditentukan tanpa harus mengorbankan
salah satu atau berbagai pihak.

33
5. Mengenal supplier-supplier bahan baku dan bahan bantu produksi. Hal
ini penting terutama terkait dengan kelancaran pada saat pengadaan
bahan-bahan material yang dibutuhkan agar dapat dilakukan secara
cepat dan tepat.
6. Memahami bahan baku dan asesoris produksi. Hal ini sangat penting
terutama untuk mendukung tugasnya pada saat memahami desain
produk dan menentukan bahan baku dan asesoris yang sesuai,
melakukan penghitungan consumption fabric dan trims.
7. Mengenal proses produksi garmen secara umum. Hal ini sangat
penting terutama dalam mendukung penentuan proses produksi yang
akan dilakukan agar tercapai efektivitas dan efisiensi yang tinggi.
8. Mengetahui jenis dokumentasi ekspor-impor berikut kuota, metode
pengiriman dan metode pembayaran. Hal ini sangat penting terutama
terkait dengan kelancaran proses pengiriman dan pembayaran agar
tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
9. Berupaya selalu menambah wawasan khususnya mengenai
perkembangan industri garmen baik lokal, nasional, maupun
internasional. Hal ini tentunya untuk memperkirakan produk apa yang
akan diproduksi dan bagaimana penerimaan pasar terhadap produk
garmen yang akan diproduksi.

D. Menjadi Merchandiser Garmen yang Profesional


Menjadi merchandiser garmen yang profesional merupakan bagian
dari karir seorang merchandiser garmen. Apabila seorang merchandiser
garmen selalu berupaya melakukan perkerjaannya dengan sebaik-baiknya
dan selalu berupaya meningkatkan kemampuan diri secara profesional,
maka dia akan bisa menjadi seorang merchandiser garmen yang profesional.
Oleh karena itu, untuk menjadi seorang merchandiser yang profesional
maka orang tersebut harus selalu berupaya melakukan pekerjaannya secara
profesional.
34
Sebelum membahas lebih jauh bagaimana menjadi seorang
merchandiser garmen yang profesional, berikut akan dijelaskan hal-hal yang
mungkin terjadi pada saat menangani pekerjaan merchandising di industri
garmen yaitu antara lain:

1. Jenis pekerjaan merchandising garmen menuntut banyak hal yang


berhubungan dengan detail pekerjaan dan juga bagian-bagian lain di
dalam dan di luar perusahaan yang semuanya harus di follow up dengan
cepat. Tugas merchandiser garmen dalam hal ini yaitu harus bisa
memastikan bahwa suatu order yang diberikan oleh buyer sudah
dikerjakan dengan benar dan dikirim tepat waktu.
2. Semua detail pekerjaan harus dikerjakan dengan benar, seperti
misalnya: desain baju, cara jahit, dan hasil jahitan harus sesuai dengan
technical page yang diberikan buyer. Ini namanya workmanship. Oleh
karena itu, untuk memastikan ini maka merchandiser garmen harus
bisa mengomunikasikan tech pack dari buyer ke bagian sampel dan
mendiskusikan item-item yang belum jelas dan kesulitan-kesulitan
dalam mengerjakannya. Bila ada suggestion, maka tugas seorang
merchandiser garmen adalah menjelaskannya kembali ke buyer dan
meminta approval. Pekerjaan dalam tahap ini bisa mudah apabila style-
nya simple, tapi bisa juga menjadi sulit manakala style-nya rumit.
Masalah yang muncul di tahap ini bisa beragam; mulai dari design yang
rumit, hasil dari sample room yang tidak sesuai dengan tech pack walaupun
sudah dijelaskan secara rinci, spec tidak bisa cocok dengan desain, dll.
3. Selain itu merchandiser garmen juga bertugas untuk memastikan
bahwa fabric (kain) dan trims (perlengkapan dalam suatu garmen seperti
benang, kancing, label, zipper, dll) sudah memiliki kualitas yang sesuai
dengan standard buyer. Oleh karena itu untuk memastikan ini, maka
prosesnya adalah: merchandiser garmen atau purchase mencari supplier

35
yang sesuai, meminta sampel dengan spesifikasi seperti pada tech pack
dan mengirimkannya ke buyer untuk disetujui (approve). Paling tidak ada
2 jenis yang menjadi standar yaitu kualitas barang dan warna, dimana
keduanya harus sudah disetujui sebelum merchandiser garmen
memberikan lampu hijau ke Purchase dept untuk order barang tersebut.
Selain itu, mencocokkan warna (biasa disebut lab dip) juga menjadi hal
yang penting di dunia garment. Setelah kualitas fabric dan trims disetujui
(terjadi approval), maka tugas merchandiser garmen untuk
menginstruksikan ke bagian purchase untuk order. Banyaknya fabric
yang dibutuhkan sejak awal sudah dihitung saat proses costing, begitu
juga semua trims-nya. Proses costing adalah menghitung ongkos
pembuatan garmen. Hal ini dilakukan awal sekali sebelum PO (purchase
order) garmen dikeluarkan oleh buyer. Costing ini sangat penting, oleh
karena itu apabila terjadi kesalahan pada saat penghitungan costing dan
consumption (pemakaian) fabric atau trims yang mengakibatkan bahannya
kurang, maka akan berdampak fatal.
4. Pada tahap memesan fabric/ trims dan follow up kedatangannya maka
merchandiser garmen harus berhubungan dengan beberapa pihak
setidaknya: purchasing, supplier, forwarder, dan exim department dan
accounting. Di beberapa perusahaan ada yang melepaskan tanggung
jawab order material ini ke purchasing, yang penting material sudah
ada di gudang (warehouse). Ada juga yang tetap melibatkan
merchandiser garmen untuk follow up ke supplier, menanyakan kapan
barang siap di kirim, kapan datangnya, dengan cara apa akan
dikirimnya, berapa jumlah yang dikirim, dan lain-lain.
5. Proses approval dan order material berjalan paralel dengan proses
approval sample garment. Setelah sampel garmen disetujui (ada beberapa
tahap sampel, jarang-jarang yang satu tahap atau sekali kirim langsung
disetujui (terjadi approval) dan semua material datang, maka garmen
36
sudah siap diproduksi. Bagian Produksi atau PPIC (Product Planning
and Inventory Control) mengatur schedule kapan suatu order masuk ke
bagian sewing berdasarkan tanggal pengiriman (Shipment Date). Pada
tahap ini berbagai permasalahan bisa saja terjadi atau muncul.
Misalnya, masalah kualitas jahitan, cara jahit, ukuran, kotor, dan banyak
lagi derivat masalah hadir walaupun sebisanya sudah dipersiapkan
dengan baik.

Terkait hal di atas dan mengingat pekerjaan merchandising yaitu


bertanggung jawab mulai dari penerimaan order dari buyer sampai
pengiriman produk pesanan ke buyer, maka agar dapat menjadi seorang
merchandiser garmen yang profesional, seorang merchandiser garmen
harus selalu:

1. Melakukan koordinasi dan kerjasama dengan departemen lain dalam


perusahaan garmen tersebut secara profesional, seperti menjalin
kerjasama dan koordinasi dengan bagian keuangan (finance), pemasaran
(marketing), sampel (sampling), pembelian (purchasing), produksi
(production), dan pengendalian kualitas (quality control).
2. Menjalin kerjasama dengan tim desain secara efektif untuk
mempresentasikan produk yang sedang dikerjakan, mengembangkan
warna dan spesifikasinya.
3. Melakukan riset pasar untuk menentukan cara yang paling efektif
untuk menjual dan mempromosikan produk garmen.
4. Meningkatkan kemampuan diri baik dalam berkomunikasi dan
bernegoisasi dengan buyer atau costumers maupun dengan
departemen lain agar dapat mencapai kesuksesan baik secara langsung
maupun tidak secara langsung misal melalui e-mail. Berikut ini adalah
salah satu contoh e-mail pertama yang dibuat oleh seorang

37
merchandiser garmen di PT Beximco Textile & Apparel Ltd
Bangladesh:

Berikut adalah jawaban buyer untuk e-mail pertama yang ditulis


merchandiser garmen:

5. Meningkatkan kemampuan merencanakan dan menganalisis serta


kemampuan visual yang kuat agar mampu membuat perencanaan dan
analisis secara baik.

38
6. Berusaha secara terus menerus dan pantang menyerah agar bisa
menjadi seorang pemikir yang kritis, kreatif, dan inovatif agar mampu
memecahkan masalah dengan baik.
7. Berusaha bekerja dengan sebaik-baiknya didukung dengan sikap dan
perilaku profesional:

39
BAB III
PENGETAHUAN PRODUK GARMEN

A. Klasifikasi Produk (Merchandize) Garmen


Seorang merchandiser garmen harus mengetahui dan memahami
berbagai macam produk garmen. Saat ini banyak sekali dapat kita temui
berbagai macam produk garmen yang ada di pasaran, mulai yang dijual di
toko-toko kecil sampai departemen store dan supermarket seperti di mal-
mal, dan lain sebagainya. Jika kita klasifikasikan, berbagai macam produk
garmen tersebut dapat kita kategorikan sebagai berikut:

No. Kategori Macam Produk Garmen


1. Berdasarkan usia Busana bayi, busana anak, busana
pemakai remaja dan busana dewasa
2. Berdasarkan jenis Busana pria dan busana wanita
kelamin pemakai
3. Berdasarkan Busana pesta, busana casual, busana
kesempatan pantai, busana renang, busana kerja,
pemakaian busana tidur, busana olahraga,
busana pengantin, busana wisuda dan
lain sebagainya
4. Berdasarkan posisi Busana atasan, busana bawahan,
pemakaian di badan busana dalam, dan busana luar.
5. Berdasarkan lokasi Busana luar angkasa, busana dalam
pemakaian air (penyelam), busana kutub, dan
busana gunung.
6. Berdasarkan profesi Pakaian tentara/polisi, pakaian pilot,
pekerjaan (pakaian pakaian sulap, pakaian pembalap,
seragam) pakaian dokter, pakaian
pramugari/pramugara, pakaian

41
pegawai bank, pakaian guru/dosen,
pakaian seragam sekolah, dan
sebagainya
7. Berdasarkan Pakaian musim dingin, pakaian
musim/waktu musim panas, pakaian musim semi,
pakaian musim gugur
8. Berdsarkan asal Pakaian dari bahan tenunan, pakaian
bahan dari bahan rajutan, pakaian dari kulit
binatang, pakaian dari bahan non
woven, pakaian dari bahan kombinasi
dan lain sebagainya
9. Berdasarkan Busana muslim, busana kesusteran,
kepercayaan atau busana pendeta, busana biksu, dan
agama pemakai lain sebagainya sebagai identitas
agama
10. Busana suku/negara Busana China, busana Jepang, busana
Korea, busana India, busana
Thailand, busana Jawa, busana
Melayu, busana Batak, dan busana
daerah dan negara lainnya
11. Berdasarkan warna Busana batik, busana lurik, busana
dan motif polos, busana motif
12. Berdasarkan model Busana kemeja, gaun, jaket, celana
produk garmen panjang, celana pendek, legging, kaos,
jas, blazer, vest, sweater, rok, kebaya,
lingeri, dan sebagainya.

42
13. Berdasarkan Pakaian formal (formal wear), pakaian
aktivitas manusia santai (casual wear), dan pakaian aktif
(active wear)

B. Karakteristik Produk Garmen


Berdasarkan pengklasifikasian produk garmen yang telah dijelaskan
sebelumnya, maka berikut akan dipaparkan tentang karakteristik berbagai
macam produk garmen berdasarkan aktivitas manusia, yaitu sebagai berikut:

No. Macam Produk Garmen Karakteristik


1. Pakaian Formal (Formal  Digunakan untuk
Wear): acara formal resmi,
seperti ke pesta, ke
kantor, menghadiri
acara kenegaraan,
dan acara resmi
lainnya.
 Pada umumnya
terbuat dari bahan
tenunan, bisa berasal
dari wool, sutera,
serat sintetis,
ataupun katun.
 Model pakaiannya
seperti: kemeja, jas,
blazer, rok/gaun,
dan celana panjang.
 Untuk pria biasanya
menggunakan dasi
43
yang pada umumnya
dipadu padan dengan
sepatu pantofel atau
highheel.
 Untuk wanita dapat
dilengkapi dengan
banyak hiasan dan
pernak-pernik
 Pakaian formal ini
umumnya mewah,
rapi, dan elegan.
2. Pakaian santai (casual wear):  Dikenakan sehari
hari di rumah atau di
luar aktivitas acara
resmi/formal.
 Umumnya dipakai
ketika tidak bekerja
di kantor atau acara-
acara tidak resmi.
 Modelnya trendy dan
sporty seperti padu
padan celana katun,
capri, celana kolor,
celana pendek dan
jeans dengan t-shirt,
kaos, jumper, polo,
dan lainnya dengan
mengenakan sandal

44
atau sepatu olahraga
maupun sepatu kets.
 Dipakai di berbagai
kesempatan seperti
berkumpul dengan
teman-teman, acara
keluarga, olahraga
ringan, nonton dan
aktivitas harian
lainnya.
 Umumnya terbuat
dari bahan serat
selulosa dan
campurannya dengan
kontruksi tenun
ataupun rajut.
3. Pakaian aktif (active wear):  Digunakan untuk
aktivitas manusia
dengan banyak gerak
seperti kegiatan
olahraga dan bekerja
dengan aktivitas
gerak tubuh yang
sangat dinamis.
 Bahan yang
digunakan umumnya
mulur dan elastis.

45
 Jenis bahan
tergantung dimana
aktivitas dilakukan:
di darat, air ataupun
udara.
 Untuk kegiatan darat
umumnya terbuat
dari bahan rajutan
dan serat selulosa
dan campurannya.
 Untuk kegiatan di
udara dan air
umumnya terbuat
dari bahan non woven
dengan kombinasi
bahan campuran atau
murni serat sintetis.
 Sering juga
digunakan sebagai
pakaian kasual biasa
khususnya untuk
pakaian aktivitas di
darat.

C. Standar Kualitas Produk Garmen


Produksi garmen diawali dengan penentuan spesifikasi produk sebagai
acuan standar mutu produksi. Spesifikasi ini dapat ditentukan sendiri oleh
produsen berdasarkan permintaan buyer atau hasil negosisasi antar buyer
dan pihak yang memproduksi garmen. Pada produksi garmen secara masal
46
untuk produk yang memiliki branding mendunia, standar produksi
ditentukan dengan standar produk dan standar pengujian pada kualitas
bahan, proses dan produk jadi. Beberapa contoh ketentuan spesifikasi
standar produk garmen ini dapat dilihat pada contoh purchase order (PO)
produk garmen berikut ini:

Gambar 19. Contoh Purchase Order (PO) Produksi Garmen

47
Standar kualitas produk garmen tersebut di atas dapat dilihat dari aspek
yang ditentukan yaitu mulai dari komposisi serat, kekuatan jahitan, jumlah
stitching, ketahanan luntur warna, kekuatan kancing dan risluting dan lainnya
dengan mencantumkan metode pemeriksaan dengan standar pengujian
yang harus digunakan. Oleh karena itu, di dalam purchasing order (PO) produk
garmen setidaknya memuat:

1. Spesifikasi bahan untuk produk garmen baik bahan utama, pelengkap


maupun pelapis: warna, gramasi, dimensi dan standar kualitas yang
ditetapkan
2. Style/model busananya (garmen)
3. Standar ukuran dan toleransinya
4. Standar jahitan
5. Sampel bahan, asesoris dan lainya
6. Ketentuan lain misalnya ketentuan jenis mesin-mesin poduksi yang
harus digunakan, acuan standar pengujian kualitas dan lain sebagianya.

Setiap aspek standar kualitas/ mutu produk garmen yang tertuang


dalam PO (purchase order) tersebut harus dapat dipenuhi. Oleh karena itu
untuk memenuhi standar kualitas/mutu produk garmen ini, maka perlu
dilakukan pengelolaan mutu dan melakukan pengujian-pengujian terhadap
mutu/kualitas bahan-bahan tekstil dan produk garmen tersebut. Dengan
demikian, maka dalam hal ini seorang merchandiser garmen harus bekerja
sama dengan bagian pengendalian kualitas (QC).
Prinsip dalam pengendalian dan pengawasan kualitas/mutu adalah
mengerjakan dengan benar sejak pertama kali melakukan, mengerjakan
proses sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan mencegah,
menemukan dan memperbaiki terjadinya cacat produksi. Untuk menjamin
kualitas yang baik maka sejak pemilihan bahan baku/material harus
dipastikan memenuhi standar kualitas yang telah ditentukan.
Secara umum, produksi garmen masal memiliki alur produksi, dimana
pada setiap tahapan proses yang dilalui memiliki karakteristik masing-
48
masing sesuai dengan tahapan produksinya. Desainer-desainer top dunia
seperti Calvin Klein, Donna Karan dan lainnya selain memproduksi High
Fashion yang digunakan oleh selebriti dunia juga mengeluarkan brand pakaian
yang diproduksi secara masal dan beredar di seluruh dunia. Untuk mampu
mengembangkan bisnis fashion seorang desainer juga harus mampu
mengembangkan branding terhadap dirinya maupun produknya,
memperluas pergaulan sosialnya, memperbanyak jejaring kerjasamanya dan
selalu produktif serta kreatif dalam mengenalkan produk pakaian jadinya.
Salah satu cara mengembangkan branding adalah menerapkan dan menjaga
kualitas pelayanan maupun produk yaitu dengan tetap menjaga standar
kualitas produk garmen yang telah ditentukan.
Secara umum, proses produksi pakaian jadi (garmen) memiliki alur
produksi sebagai berikut:

1. Menentukan desain produksi, yaitu dengan membuat desain/model


produk garmen sesuai dengan pesanan dan tujuan pemakaian.
2. Menyiapkan bahan baku dan bahan pembantu, yaitu sebelum
melaksanakan proses produksi pakaian sangat penting untuk
memastikan bahwa semua bahan tersedia dalam jumlah yang cukup dan
memenuhi standar kualitas yang telah ditentukan.
3. Menyiapkan peralatan kerja yang berkualitas seperti mesin potong,
mesin jahit, mesin fusing, dan mesin/peralatan produksi lainnya. Semua
peralatan ini harus dalam kondisi baik dan sudah disiapkan
penyetelannya seperti tegangan dan jumlah stich-nya agar sesuai dengan
kebutuhan jenis pakaian yang akan diproduksi.
4. Memilih dan /atau memodifikasi pola atau blok, yaitu jika pola tidak
diberikan oleh buyer maka perlu dilakukan pembuatan pola dan
sampel/contoh produk yaitu dengan melakukan proses pembuatan
garmen sesuai dengan pola style/desain tertentu dan ukuran/work sheet.
Umumnya pembuatan top sample ini sebanyak minimal 4 pieces per size,
kemudian sampel tersebut dikirim untuk dicek oleh merchandiser dan
49
buyer. Sampel yang telah disetujui/approved langsung diproduksi secara
masal, tetapi kalau tidak disetujui harus membuat sampel lagi sampai
disetujui/approved.
5. Menyiapkan dan memotong kain, yaitu dilakukan melalui proses
penggelaran kain yang bisa bertumpuk-tumpuk hingga ketebalan di atas
10 cm dan panjang kain sesuai dengan kebutuhan jumlah produksi dan
variasi ukuran pakaian. Pada proses ini dalam sekali potong dapat
menghasilkan komponen pakaian berbagai ukuran pakaian S, M, L, XL.

Beberapa istilah dalam proses ini adalah:


a. Spreading, yaitu proses penggelaran kain lembar demi lembar
menjadi tumpukan kain, sesuai dengan jumlah yang sudah
ditentukan.
b. Marker, yaitu proses menyusun pola sesuai dengan kebutuhannya
c. Cutting, yaitu proses pemotongan kain sesuai pola.
d. Bundling, yaitu proses pemberian tanda pada komponen-komponen
pola marker yang sudah dipotong.
Contoh bundling:
 Style = Seragam
 Size/ukuran =L
 Tahap =I
 Bendel =2
 No seri = 345 – 479
 Jumlah = 135
 Komponen = Kantong
 Warna = Blue (Biru)

50
e. Numbering, yaitu proses pemberian nomor pada bagian komponen-
komponen pola sesuai dengan urutannya saat penggelaran kain
lembar demi lembar menjadi tumpukan banyak, misal 125 lembar
setiap tumpukan. Berarti pola kemeja body depan kiri sebanyak 125
lembar, maka harus diberi nomor dari lembar 1 s.d. 125. Ini
dilakukan pada setiap komponen. Numbering berfungsi untuk
menghindari terjadinya warna yang berbeda/belang pada satu set
potong garmen. Contoh komponen hasil potong kemeja lengan
pendek terdiri atas body depan kanan dan kiri, body belakang, lengan
kiri dan kanan, kantong dan daun kerah dan kaki kerah.
6. Menjahit elemen-elemen pola, yaitu sebelum dijahit, maka beberapa
elemen pola harus dikerjakan fusing dulu. Misalnya untuk menempelkan
interlining pada kerah. Proses penjahitan di industri garmen dilakukan
dengan mesin high speed dan mesin mesin otomatis lainnya. Proses
penjahitan dilakukan dengan sistem ban berjalan sesuai alur kerja
produksi yang telah ditentukan. Penggabungan setiap komponen pola
dilakukan oleh satu operator dan berlanjut ke komponen berikutnya
oleh operator yang lainnya sehingga untuk menghasilkan satu model
pakaian bisa dikerjakan puluhan operator. Dengan sistem produksi
masal ini dalam satu jam bisa menghasilkan puluhan hingga ratusan
pakaian. Sistem produksi masal ini mampu menekan ongkos produksi
sehingga biaya proses penjahitan bisa ditekan hanya beberapa ribu
rupiah saja untuk satu pakaian. Oleh karena itu, produk-produk pakaian
jadi ini seringkali jika dikalkulasikan oleh konsumen dibandingkan
dengan membuat sendiri, harganya sangat jauh lebih murah.
7. Melakukan proses finishing/penyelesaian, yaitu dengan dilakukan
penyelesaian akhir agar pakaian tampak lebih rapi dan sempurna.
Beberapa kegiatan pada proses ini misalnya membuat lubang kancing,
memasang yang dilakukan secara manual maupun dengan mesin.
51
Penyelesaian akhir lainnya adalah proses yang membutuhkan pengerjaan
manual dengan tangan seperti mengesum, menyetrika dan melipat.
8. Melakukan pengepakan, dimana untuk produk-produk yang memiliki
brand dan kualitas ekspor pengepakannya sangat rumit, yaitu proses
pelipatannya harus mengikuti standar ukuran packing yang telah
ditentukan baik dalam jumlah, model, ukuran maupun warna. Setiap
model dan jenis pakaian jadi memiliki karakteristik produksi yang
berbeda beda terutama dalam proses penjahitan membutuhkan jumlah
dan jenis mesin jahit yang berbeda-beda pula.

Fungsi pengawasan produksi garmen agar memenuhi standar kualitas


yang ditentukan ini dilaksanakan oleh petugas quality control (QC). Petugas
quality control berkewajiban untuk melakukan semua usaha pengawasan
untuk menjamin proses produksi garmen berjalan sesuai dengan rencana
produksi dan standar mutu yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, untuk
pengawasan mutu produksi di industri garmen ini maka dibentuk
departemen quality control secara khusus dengan melibatkan beberapa
karyawan. Pentingnya quality control adalah untuk mencegah agar produk jadi
yang tidak sesuai dengan standar dapat dilakukan perbaikan sedini mungkin
sehingga dapat meminimalisir terjadinya penyimpangan dari standar kualitas
yang telah ditentukan.
Berdasarkan alur produksi di industri garmen, maka sistem
pengawasan mutu produk garmen agar memenuhi standar kualitas yang
ditentukan terbagi dalam 3 tahapan proses, yaitu:

a) Pengawasan persiapan produksi (pre production inspection):


Dalam melakukan pemeriksaan pengawasan mutu harus senantiasa
memegang prinsip Q–MATCH (QUALITY–MATCH). MATCH
sendiri merupakan singkatan dari:

52
Q = Quality
M = Meet
A = Agreed
T = Term
CH = Changes

Artinya setiap produk/ output/ luaran dari setiap proses di bagian


produksi harus sebanding dengan syarat-syarat yang telah disetujui
oleh pihak pembeli (buyer) beserta dengan perubahan-perubahan yang
telah disetujui bersama antara pembeli (buyer) dan produsen. Oleh
sebab itu, di dalam melakukan pemeriksaan seorang tenaga QC akan
selalu mempunyai bahan pembanding yang telah disetujui oleh
pembeli. Bahan pembanding ini bisa berupa: model baju, contoh
bahan, contoh warna, ukuran-ukuran, informasi-informasi lain yang
diperlukan dimulai dari informasi-informasi yang terdapat dalam
Purchase Order (PO)/ Contract Details, juga bila ada perubahan-
perubahan yang datang selama dalam masa order sedang berjalan.
Sebelum melakukan tes maka diperlukan persiapan, yakni menyiapkan
bahan pembanding dan alat-alat tes yang diperlukan untuk keperluan
pemeriksaan. Standar pemeriksaan mutu yang harus disiapkan
diantaranya :

(1) Contoh baju yang telah disetujui (Sample approval):


Disain/model/contoh pakaian yang akan diproduksi yang telah
disetujui oleh buyer/konsumen harus selalu dijadikan patokan
pemeriksaan dalam setiap produksi.
(2) Contoh warna yang telah disetujui (Colour Swatch):
Warna kain, benang, bahan tambahan, aksesoris, hiasan dan bahan
pelapis dalam pemeriksaan kualitas harus sesuai dengan standar
warna yang telah dispakati.
(3) Contoh kain/ benang (Fabric Swatch)

53
Kain/benang dari aspek kehalusan, pegangan, kelangsaian,
kelembutan, kontruksi dalam pemeriksaan harus sesuai dengan
contoh standar kain/benang yang telah disepakati
(4) Contoh bahan pembantu (Accessories sample):
Bahan-bahan pembantu dari aspek jumlah, warna, bentuk dan
lainlainya harus sesuai dengan contoh
(5) Ukuran-ukuran (Size Specification)
Ukuran-ukuran standar yang telah disepakati harus dijadikan
patokan untuk pengecekan ukuran pada produk jadi.
(6) Informasi pengepakan (Packing instruction):
Informasi dan persyaratan pengepakan harus dijadikan standar
untuk memeriksa hasil pengepakan

Setelah semua bahan pembanding diperoleh maka selanjutnya dalam


pemeriksaan awal adalah melakukan pengecekan bahan baku (Piece
Good Quality Control) yang meliputi bahan utama, bahan pelengkap dan
bahan pelapis. Faktor pemilihan bahan busana sangat menentukan
kualitas produk busana sehingga perlu dilakukan pengawasan bahan
baku. Pengawasan bahan busana ini harus mampu menjamin ketepatan
dengan standar kualitas maupun ketersediaan dalam jumlah
(kuantitas). Pemeriksaan bahan kain sebelum potong dilakukan
menyeluruh untuk menghindari cacat. Karena di bagian potong inilah
tanggung jawab dari kain akan langsung berada di tangan produsen,
bila kain telah dipotong. Tetapi bila kain cacat maka masih bisa
dikembalikan kepada pembuat kain. Pemeriksaan ini menyangkut
dimensi, cacat warna, cacat kontruksi kain. Pemeriksaan ini dilakukan
secara visual maupun di laboratorium.

b) Pengawasan proses produksi ( In line/in process quality control):


Dalam pengawasan mutu proses produksi garmen perlu diperhatikan
4 faktor yang menyebabkan terjadinya cacat yang disebabkan oleh:
(1) Material/bahan kain yang sudah cacat:
54
Cacat produksi yang disebabkan bahan utama, bahan pelengkap
dan bahan pelapis yan memang sudah cacat. Oleh karena itu,
sebelum produksi dilakukan perlu dilakukan pemeriksaan bahan
secara teliti dan menyeluruh.
(2) Cacat akibat kesalahan pengerjaan dan penanganan bahan:
Cacat akibat proses pengerjaan ini disebabkan karena
keterampilan SDM yang kurang, motivasi kerja yang kurang baik,
prosedur kerja yang tidak baik, permasalahan permesinan dan
lingkungan serta manajemen perusahaan yang kurang baik.
(3) Cacat akibat material handling dan penyimpanan:
Proses angkat dan angkut bahan dan produk juga dapat
menyebabkan cacat, pengangkutan yang tidak baik bisa merusak
struktur bahan dan produk, produk terkena kotoran dan lainnya.
Demikian juga penyimpanan produk yang tidak baik bisa
membuat produk berjamur, terkena kotoran atau mengalami
perubahan warna.
(4) Cacat akibat kurang akuratnya pemeriksaan produksi dengan
standar produk/sample :
Cacat akibat kurang akuratnya proses pemeriksaan mutu baik di
tahap persiapan proses maupun hasil akhir. Untuk itu bagian QC
harus memeriksa secara teliti kesesuaian produk dengan standar
produksi yang diharapkan.

Pengawasan proses produksi dilakukan untuk memastikan bahwa


produk yang akan dihasilkan memenuhi spesifikasi yang telah ditentukan.
Oleh karena itu, dalam pengawasan proses produksi biasanya dilakukan
ketika order sedang berjalan di line produksi, Proses pemeriksaan dalam
proses produksi ini dibagi dalam 3 tahapan, yaitu:

a) Pemeriksaan marker:
Pemeriksaan dilakukan pada marker dengan melakukan pengecekan
terhadap jumlah komponen yang tercantum dalam marker, apakah lengkap

55
atau tidak. Peletakan pola pada marker apakah sesuai dengan arah serat kain
atau tidak. Pada order yang menggunakan rasio tertentu (perbanding
jumlah size), apakah jumlah komponen per size sesuai atau tidak. Untuk
bahan-bahan yang harus mengikuti motif/ jalur apakah tepat atau tidak
(biasanya dipotong dengan mesin khusus).
b) Pemeriksaan hasil potongan:
Hasil potongan harus diperiksa kembali karena bila ada kesalahan saat
pemotongan akan berpengaruh dalam proses jahit, perlu juga diperhatikan
agar hasil potongan tidak berbulu/ menempel atau ada potongan yang
melenceng. Pengurutan dan pengelompokan hasil potongan sesuai urutan,
komponen dan ukuran (bundling)

c) Pemeriksaan proses fusing:


Sebelum di jahit beberapa elemen pola memerlukan proses fusing
untuk meempelkan interlining maupun agar hasil jahitan lebih rapi dan baik.
Pemeriksaan ini meliputi suhu pemrosesan, kekeuatan perekatan, kerataan
dan kualitas hasil fusing.

d) Pemeriksaan pada proses jahit:


Sebelum proses penjahitan dimulai mesin harus sudah dipastikan
penyetingnnya sesuai dengan kebutuhan. Pemeriksaan pada proses jahit
sangat diperlukan karena pada proses ini sangat dipengaruhi oelh
kemampuan manusia (operator jahit), kesalahan karena faktor manusia ini
biasa lebih banyak dibanding dengan faktor-faktor lain. Konsistensi dari
operatorpun hampir dipastikan tidak bisa dijamin sama. Oleh sebab itu
pemeriksaan dalam line produksi membantu faktor-faktor kelemahan SDM
ini sedini mungkin.

e) Pemeriksaan pada Proses Finishing


Pemeriksaan pada proses finishing adalah proses pemeriksaan
pemasangan kancing, pembuatan lubang kancing dan bahan pelengkap
lainnya, penyetrikaan, pelipatan sehingga busana siap di packing.

56
f) Pengawasan Produk jadi (Final Audit Quality Control):
Pengawasan produk jadi sangat diperlukan untuk memastikan bahwa
produk jadi tersebut sesuai spesifikasi yang telah ditetapkan. Pengawasan
produk jadi dilakukan dengan membandingkan produk jadi dengan
spesifikasi yang diharapkan dari desain, ukuran, kualitas jahitan,
pemasangan hang tag, pelipatan, hingga packing. Pemeriksaan akhir,
dilakukan saat barang akan di kirim.

Sistem pengawasan mutu dikatakan berhasil jika mampu melakukan


efisiensi dalam berproduksi yaitu:
(1) Pengendalian biaya (Cost Control):
Proses produksi harus mampu memenuhi batasan biaya produksi yang
telah ditetapkan sehingga mampu mengahsilkan produk dengan harga yang
bersaing dan diperoleh keuntungan yang maksimal. Efisiensi penggunaan
bahan busana, waktu, energi, zero defect (minimalisasi cacat) dan
produktivitas kerja sangat menentukan pengurangan biaya produksi.

(2) Pengendalian Target Produksi (Production Control):


Proses produksi harus mampu memenuhi target produksi yang telah
ditetapkan baik dari kuantitas, kualitas maupun waktu. Produksi busana
harus mampu memenuhi target bahwa produk yang dihasilkan akan
memenuhi spesifikasi produk, memenuhi jumlah dan waktu pengiriman
secara tepat. Pada setiap proses produksi harus menjamin bahwa produk
jadi nantinya sesuai dengan standar prodk yang diinginkan. Pengawasan
selama setiap tahapan proses produksi berfungsi untuk mencegah sedini
mungkin ketidaksesuain produk jadi dengan stnadar produksi yang akan
dicapai.

(3) Memuaskan konsumen:


Tujuan utama pengendalian kualitas adalah memberikan kepuasan
kepada konsumen (buyer) dan melakukan peningkatan kualitas secara
berkelanjutan. Jika konsumen merasa puas dengan pelayanan produksi yang
dilakukan maka konsumen akan menjadi tenaga pemasaran yang baik dan
57
akan kembali lagi memberikan pekerjaan/order. Kelangsungan hidup
perusahaan juga akan semakin terjamin. Tentu untuk memuaskan
konsumen menjadi tanggung jawab dari semua elemen yang ada dalam
sebuah organisasi, tidak hanya bagian QC saja sehingga dalam berproduksi
harus ada sinergi dan kerjasama yang baik antar bagian yang terlibat. Dalam
sistem manajemen mutu ISO 9000 dikenal dua konsumen internal dan
konsumen eksternal. Konsumen internal adalah konsumen yang menerima
hasil pekerjaan setiap proses yang ada di dalam perusahaan dan konsumen
eksternal adalah yang menerima produk dari perusahaan. Kedua konsumen
ini harus sama-sama diberikan pelayanan prima yang memuaskan
konsumen.

(4) Proses Pemeriksaan Mutu Produksi Garmen (in Line QC):


(a) Pemeriksaan Mutu Pola dan Marker:
Proses produksi dimulai dengan pembuatan pola yang umumnya
dilakukan oleh bagian pola dan sample. Pemeriksaan pada produksi
desain dan pola ini dilakukan dengan cara:
(1) Menetapkan desain dan ukuran standar sesuai kesepakatan
anatara konsumen dan produsen
(2) Menetapkan standar peralatan pembuatan pola. Untuk
produksi perorangan dilakukan secara manual namun untuk
produksi masal terutama untuk merk-merk ternama umumnya
menggunakan persyaratan peralatan tertentu misalnya harus
dilakukan secara komputeris selain dengan manual.
(3) Memeriksa ukuran dasar pola untuk memperoleh informasi
yang benar, titik-titik keseimbangan dan kecocokan pola serta
pandangan klarifikasi (bila diperlukan) sesuai dengan
prosedur perusahaan.
(a) Pada saat membuat pola perhatikan hal-hal berikut ini:
 Lebar bahan – apakah pola akan sesuai secara ekonomis?

58
 Jenis bahan – apakah pola memerlukan perhatian khusus
sesuai jenis, misalnya, kesejajaran kelim, lembaran pelapis,
pelapis khusus?
 Garis dan kotak – apakah polanya sesuai?
 Bahan berbulu – apakah polanya sesuai?
 Ketebalan bahan – apakah ada lembaran bertumpuk atau
jahitan bersudut menjadi terlalu tebal untuk ditangani secara
efisien?

(b) Setelah menyelesaikan pola:


 Periksa semua lembaran yang sudah dibuat untuk model yang
diberikan
 Periksa apakah torehan, titik keseimbangan dan semua
kampuh sesuai
 Periksa apakah lebar kampuh yang ditambahkan sudah benar,
misalnya untuk ritsleting, lingkar leher, dan sebagainya
 Periksa arah serat pada semua lembaran pola
 Periksa informasi pemotongan dan ukuran untuk semua
lembaran pola
 Periksa nomor model, nama garmen, deskripsi dari setiap
lembaran pola, posisi tengah muka dan tengah belakang,
diberi tanda pada seluruh lembaran, jika diperlukan
 Periksa sisi yang benar dan salah diberi tanda, apabila ada
 Periksa posisi lubang kancing dan kancing diberi tanda
 Periksa apakah arah panah untuk lipit, cubit menghadap ke
arah yang benar

59
 Periksa apakah sambungan dan keliman yang sesuai telah
ditentukan alokasinya untuk model dan jenis bahan yang
sesuai telah digunakan
 Periksa lubang bor untuk kup, posisi saku, dsb, telah diberi
tanda.
 Periksa posisi torehan dan titik keseimbangan.

(c) Dalam melakukan pengubahan pola harus menyesuaikan


garis disain, mempertahankan ketepatan dan bentuk,
pembentukan sudut, proporsi disain dan persyaratan lainnya
sesuai dengan spesifikasi pekerjaan.

(d) Penyimpanan pola harus diatur sedemikian rupa sehingga


tidak merubah bentuk, ukuran dan tercampur dengan pola
yang lain.

(4) Pengawasan Mutu Penggelaran Kain Marker dan


Pemotongan:
Setelah produksi pola maka proses selanjutnya adalah proses
pemotongan bahan kain sesuai dengan pola. Proses
pemotongan ini diawali dengan penggelaran kain. Untuk
produksi garmen, penggelaran kain ini dilakukan secara
bertumpuk-tumpuk sehingga banyak hal yang perlu
diperhatikan. Proses pemeriksaan pada bagian ini adalah
sebagai berikut:

(a) Periksa hasil penggelaran kain (Spreading)


 Pastikan tumpukan kain dalam posisi tegak lurus dari lapisan
paling bawah sampai lapisan paling atas. Jika kualitas kain

60
dianggap kurang baik, maka upayakan salah satu sisi/pinggir
kain harus sejajar satu sama lain mulai dari lapisan paling
bawah sampai lapisan paling atas.
 Pastikan tiap lembar kain dalam tumpukan pada kondisi yang
rata; tidak terlipat, tidak kendor, tidak bergelombang, tidak
merenggang satu sama lain. Jadi tegangan kain harus sama dan
merata.
 Tinggi tumpukan kain atau jumlah lembar kain yang ditumpuk
harus lebih rendah dibanding tinggi efektif pisau potong (cutter
effective length) yang akan digunakan.
 Kerapatan atau kepadatan tumpukan kain di bagian atas,
tengah dan bawah harus sama.
 Siapkan mesin potong (cutting machine) sesuai dengan
spesifikasi tumpukan kain dan gunakan pisau yang tajam.

(b) Pemeriksaan susunan pola di atas tumpukan kain


 Pastikan posisi kertas marker (marker paper) berada di tengah
permukaan tumpukan kain, perhatikan kesejajarannya dengan
garis lusi (sejajar dengan arah serat)
 Periksa kelengkapan jumlah komponen pola (pattern – set
unit) untuk keseluruhan ukuran garmen yang hendak
dikerjakan.
 Gunakan pressure untuk menstabilkan posisi kertas marker di
permukaan kain selama proses pemotongan (cutting process)
berlangsung.

61
(c) Pemeriksaan pemotongan kain:
 Melakukan pemeriksaan terhadap hasil spreading/ampar
apakah kain yang diampar sudah benar benar rata tidak
bergelombang dan lurus.
 Melakukan pemeriksaan pada marker, apakah rasio size/ukuran
sudah memenuhi seluruh size/ukuran yang dipesan
 Melakukan pemeriksaan terhadap peralatan dan metode
cutting
 Pastikan seluruh komponen garmen jumlahnya telah sesuai
dengan rencana.
 Periksa apakah terdapat komponen garmen yang cacat
potong, perubahan ukuran akibat salah potong pada setiap
lapisan kain. Jika terdapat cacat atau perubahan ukuran, maka
segera ganti dengan kain sisa potongan (fabric waste/ pada kain
cadangan),
 Pemeriksaan pada hasil potong, apakah stripe atau kotak dari
potongan komponen benar benar matching dan balance
 Cocokkan komponen pola dengan komponen pola yang
terdapat pada kertas marker apakah komponen pola sudah
lengkap atau belum. Petugas QC harus mencatat semua
temuan pada lembar laporan pemeriksaan. Selesai periksa, beri
kode/tanda (coding) sesuai ukuran garmen (garmen size) setiap
kelompok komponen-komponen garmen yang akan dijahit
(assemble) kemudian diikat (bundle).

(d) Pemeriksaan FUSING:


Hal hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan interlining
adalah:

62
a) Memastikan kesesuaian jenis interlining dengan bahan utama:
Kesesuaian jenis interlining dengan bahan utama baik dari
aspek warna, daya rekat, daya susut bahan, daya luntur bahan
dan kesempatan pemakian busana. Kesesuaian jenis
interlining akan mempengaruhi kekuatan daya rekat, daya
tahan, daya jahit dan bentuk akhir busana setelah di
fuse/setrika. Jenis interlining ini juga harus disesuaikan dengan
bagian/komponen mana yang akan dipasang interlining.
Melakukan pemeriksaan apakah interlining yang digunakan
sudah sesuai dengan yang ditentukan oleh buyer atau tidak.
b) Memastikan peletakan interlining sudah tepat pada bagian
busana yang hendak dipasang. Yang perlu diperhatikan adalah
allowance dan ujung ujung sudut bahan yang akan dibentuk
dengan interlining. Periksa dengan teliti:
 Jenis dan bentuk interlining yang digunakan (sudah sesuai
atau belum),
 Jumlah interlining one ply atau two ply (satu atau dua lapis),
 Suhu gosokan (harus sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan)
 Kondisi kain dan interlining harus bagus, satu size, dan sama
style dalam satu ikatan/bundle.
 Cek kain (luar dalam)
 Khusus untuk manset, kain manset harus dicek tidak boleh
belang kiri dan kanan, serta posisi jatuhnya interlining kejalur
kain, harus sama (kiri dan kanan).

c) Proses menggosok:
 Bersihkan interlining dari kotoran dan sisa benang (Kain dan
interlining yang tidak ada lemnya dibersihkan dengan lakban).

63
Bagian interlining yang ada lemnya tidak boleh dibersihkan
dengan lakban, karena dapat menyebabkan bubling
 Posisi pucuk dan kain keras pada kain (Jarak atas-bawah, kiri
dan kanan harus sesuai). Khusus untuk kain jalur dan kotak
masing-masing ujung harus balance (vertikal dan horisontal)
serta harus lurus.
 Posisi interlining harus rileks pada kain (tidak
menggelembung atau legang)
 Saat menggosok, gosokan dilakukan dengan menekan bukan
menggeser, hal ini dilakukan agar interlining tidak
memuai/memanjang.
 Kain yang sudah digosok tidak boleh ditumpuk terlalu
banyak, hal ini bertujuan agar bagian bawah tidak terkena
panas gosokan berkali-kali
 Gosokan cukup pada bagian interlining (tidak perlu luar
dalam)

Hasil pemasangan interlining harus tidak bubling (tidak ada


gelembung), tidak ada kotoran atau benang yang ikut ter-
press, kain tidak berubah warna, kekuatan rekatnya sesuai
dengan standar Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh bagian
periksa:
 Hasil press harus bersih dan tidak boleh ada sisa lem yang
menempel pada kain
 Tidak ada gelembung / bubbling
 Kain tidak terbalik dan hasil press tidak boleh berubah
warna
 Garis/jalur harus lurus dan posisinya tepat (vertical dan
horizontal)
64
(e) Pemeriksaan Mutu Proses Penjahitan:
Proses penjahitan pakaian dilakukan dengan
menggabungkan komponen-komponen pola yang telah
dipotong. Dalam proses penjahitan beberapa bagian
mememerlukan pemeriksaan dan pengawasan secara khusus
diantaranya adalah:

a) Bagian yang berkontur (countouring):


Menyatukan potongan-potongan komponen garmen yang
mempunyai bentuk yang berbeda. Keliman bisa dalam
ukuran yang persis sama, atau berbeda dalam panjang atau
lengkungannya. Sangat penting untuk menyatukan torehan
(notch) dan menjaga tepi setiap bahan/kain menjadi satu.

Contoh-contoh contouring: menyatukan kerah dasar pada


garis leher, Menyatukan kerah dua potong yang sederhana,
menyatukan yoke berbentuk sederhana pada korset dan
menyatukan ikat pinggang yang sederhana pada rok.
Keahlian menyatukan dua bagian yang berlawanan, yaitu,
kurva cembung dan cekung, mengharuskan operator mesin
untuk melepaskan secara bersamaan tanpa menggores atau
mengerutkan bagian manapun juga. Sangat diharapkan tidak
terdapat kerutan atau kerusakan pada bagian yang telah
selesai.

b) Perubahan arah (Directional change):


Perubahan ini dapat mencakup hal-hal berikut: menjaga
ketajaman titik atau sudut, misal, ujung kerah, pemasukan
‘V’ pada yoke, garis leher, dll. Jika perubahan arah tidak tepat,
tampilan akhir akan menjadi kurang baik. Bentuk sudutnya

65
akan melengkung, bentuk pinggiran kerah akan berbeda,
dan/atau pemasukan ‘V’ yang tidak tepat di tengah.

c) Titik-titik pemberhentian kritis (Critical stopping points):


Hal ini dapat termasuk pada pinggir bibir saku, menjahit
keliman untuk pembuka (zipper), menjahit keliman untuk
titik yang tepat sehingga dapat pemakaian, misal, zipper
atau godet.

Prosedur pegawasan mutu proses penjahitan dilakukan


sebagai berikut:

a) Pemeriksaan persiapan dan proses penjahitan:


 Memeriksa potongan-potongan yang dikerjakan untuk
menyakinkan semua potongan-potongan komponen benar
– dalam hubungannya dengan persyaratan kerja seperti
desain, warna, dan ukuran
 Memeriksa kesiapan peralatan dan perlengkapan yang
digunakan untuk pengkonstruksian bagian-bagian
komponen garmen warna benang, dan alat bantu lainnya.
 Melakukan pemeriksaan dan meyesuaikan mesin-mesin
untuk meyakinkan bahwa mesin-mesin tersebut bekerja
dan Mengawasi dan menguji coba performa mesin-mesin
apakah mampu menghasilkan kualitas jahitan yang baik
sesuai standar.
 Mengidentifikasi persyaratan-persyaratan untuk pekerjaan
tersebut.
 Memeriksa kebesihan dan kesiapan area kerja

66
b) Pemeriksaan Mutu Jahitan
 Periksa hasil jahitan berdasarkan persyaratan teknis yang
diminta pihak pembeli (buyers) atau spesifikasi produk
yang diminta seperti jumlah stitch per inchi (SPI), tegangan
jahitan, jarak jahitan dari pinggir kain, jahitan tidak boleh
ngambang atau loncat atau ada sambunganndna lainnya
 Periksa setiap ujung bagian akhir jahitan, benang kancing,
ujung benang obras, ujung benang pada jahitan bartack
dan lain-lain. Seluruh ujung benang harus dapat
disembunyikan atau terpotong rapi tanpa sisa.
 Periksa seluruh kain pada garmen, apakah ada sisa
potongan benang yang masih menempel di kain, atau sisa
benang yang terselip di bekas jahitan. Diharapkan tidak
satu benda asing pun yang menempel pada produk
garmen, dan seluruhnya harus dalam keadaan bersih dan
rapi.
 Lakukan pemeriksaan kembali terhadap keseluruhan hasil
jahitan berupa: pencatatan ukuran komponen garmen
bagian kiri dengan bagian kanan, misalnya; panjang sisi luar
badan sebelah kiri harus sama dengan panjang sisi luar
badan sebelah kanan (left out-seam sama dengan right out-
seam), panjang sisi dalam badan bagian kiri apakah sudah
sama dengan panjang sisi dalam badan sebelah kanan.
 Spesifikasi ukuran pada dasarnya memberikan informasi
mengenai batas toleransi maksimum penyimpangan
ukuran komponen garmen yang kita buat terhadap
ketentuan/ukuran standar atau standar pembeli.
Pemeriksaan terhadap seluruh ukuran komponen garmen

67
mengacu kepada komponen garmen atau tolerance,
misalnya pada produk kemeja meliputi item dan toleransi
berikut:

Tabel 2.Toleransi Ukuran Garmen

No Item Allowance Remarks


1 Chest ± ½ inch Total round
2 Back length ± ¼ inch Half round
3 Waist ± ¼ inch Total round
4 Sleeve ± ¼ inch Total round
5 Cuff opening ± 1/8 inch Half round
6 Arm hole ± ¼ inch Total round
7 Shoulder ± ¼ inch Total round
8 Neck opening ± 1/8 inch Half round

Total round pada ukuran lingkaran dada (chest) sebesar ±½ inch


maksudnya adalah total toleransi ukuran yang diperkenankan standar
sebesar ±½ inch, misalnya lingkar dada ditetapkan 100 cm maka maksimum
lingkaran dada adalah 100 cm + ½ inch, dan minimum adalah 100 cm - ½
inch. Half round pada ukuran lingkar lengan (arm hole) sebesar ±¼ inch
maksudnya adalah toleransi ukuran yang diperkenankan standar sebesar 4½
inch maka maksimum setengah lingkaran lengan adalah 4½ inch + ¼ inch,
dan minimum adalah 4½ inch - ¼ inch. Hasil jahitan harus memenuhi
ukuran standar berikut toleransinya. Cara pengecekan ukuran seperti Tabel
3.

Tabel 3. Cara Pengecekan Ukuran Hasil Jahitan pada Kemeja


No Item Cara Pengecekan Ukuran
1. Chest Kemeja diletakkan merata di atas meja
dalam posisi kancing terpasang pada
lubangnya. Ukur sisi jahitan kiri ke sisi
kanan jahitan di titik ketiak, bandingkan
dengan spesifikasi dan standar.
Kadangkala pihak pembeli meminta

68
pengukuran dilakukan pada satu inchi di
bawah ketiak (the big armhole point)
2. Back length Ukur dari titik leher belakang (titik
sambungan badan dengan kerah) sampai
ke bawah batas hem (ujung bawah
kemeja), bandingkan dengan spesifikasi
dan standar.
3. Shoulder Ukur dari jarak titik leher (batas kaki
kerah sampai titik bahu paling luar.
Bandingkan dengan spesifikasi dan
standar.
4. Waist Ukur pada batas pinggang yaitu sisi kanan
ke sisi kiri. Bandingkan dengan spesifikasi
dan standar.
5. Sleeve length Sleeve outseam/lengan bagian luar diukur
dari sambungan bahu sampai ujung
lengan (cuff). Sleeve inseam diukur dari
sambungan ketiak sampai ke ujung
lengan. Bandingkan dengan spesifikasi
dan standar.
6. Armhole Ukur dari sambungan ketiak sampai ujung
bahu membentuk garis lurus. Bandingkan
dengan spesifikasi dan standar.
7. Elbow Diukur ½ panjang lengan bagian luar
(sleeve length). Bandingkan dengan
spesifikasi dan standar.
8. Cuff/manset Lebar (cuff opening) dan tinggi cuff.
Bandingkan dengan spesifikasi dan
standar.
9. Left side vs Right Bandingkan seluruh komponen garmen
side bagian kiri dengan bagian kanan, kedua
ukuran harus sama dengan lengan bagian
kiri baik pada outseam maupun inseam,
panjang ujung kerah bagian kiri badan
harus sama dengan panjang sisi kanan
badan, dan seterusnya. Bandingkan
dengan spesifikasi dan standar.

69
c) Pemeriksaan Proses Finishing:
Pada proses finishing umumnya dilakukan proses lubang
kancing pemasangan kancing, penyetrikaan, pelipatan,
dan pengepakan.

(1) Pemeriksaan pembuatan lubang kancing (button hole)


 Cek jenis button hole ( normal atau menulang/bone stitch )
 Cek pisau lubang kancing harus sesuai dari besarnya
kancing
 Cek jarak dan jumlah button hole
 Cek kualitas lubang: Benang dari jahitan lubang tidak
boleh terkena pisau, Harus simetris dan tepat di tengah
dari front placket dan Pisau pada lubang tajam, dam posisi
pisau tepat, Agar ada serat kain pada lubang kancing.

(2) Pemeriksaan proses pasang kancing:


 Cek posisi kancing dan jumlahnya
 Cek jenis dan ukuran kancing
 Cek jenis jahitan kancing ( Cross stitch atau Pararel stitch )
 Kancing pemasangannya tidak boleh terlalu kencang,
harus ada jarak bebas 1.5 mm
 Harus ada satu benang pengunci di belakang jahitan
kancing.
 Benang kancing harus matching dengan kancing atau
dengan badan, ikuti permintaan pelanggan/buyer.
 Jarak antara kancing dan lubang : Untuk kain polos/solid
umumnya posisi kancing harus turun 1/8” dari tengah
lubang dan Untuk kain motif posisi kancing harus tepat

70
di tengah lubang, tetapi bagian depan kiri pada bagian
lehernya harus dikurqngi 1/8” tujuannya untuk
menghindari folding terlalu kencang pada bagian atas.

(3) Pemasangan label:


Peletakan dan jenis label pada produk pakaian ada
bermacam-macam diiletakkan pada kerah, samping
badan, lengan, saku, plaket depan. Jenis label ada alabel
gantung atau label yang dijahit pada pakaian. Beberapa
hal yang perlu dilakukan dalam pemeriksaan label adalah:
 Posisi label harus tepat, simetris, dan lurus dengan jalur
 Cek sisi jahitan label ( 2 side, 4 side )
 Benang atas dan bawah harus tepat dan matching dengan
kain dan setelan benang harus tepat.
 Back tack harus mengunci label 1 jahitan.
 Allowance dari pemasangan label harus rapi tidak terlihat
dari bagian luar

(4) Pemeriksaan Proses Penyetrikaan


Sebelum proses penyetrikaan dilakukan proses
membersihkan sisa potongan benang yang menempel
pada pakaian dengan menggunakan mesin vacuum cleaner,
proses ini memakai metode pengunaan angin dan
tekanan yang tinggi, sehingga benang bisa lepas dari
Dalam proses ini , kita harus memperhatikan kekuatan
tekanan angin yang digunakan. Dimana tekanan angin
yang berlebihan akan mengakibatkan button/kancing
mudah pecah. Untuk menghindari masalah ini, maka ada

71
permukaan mesin vacuum cleaner harus dilapisi oleh
busa, agar button/kancing jatuh pada permukaan yang
empuk.

Prosedur dan hal hal yang harus diperhatikan pada proses


penggosokan:
 Tidak boleh menggosok permukaan garment dengan
menggunakan temperature/suhu tinggi.
 Pada saat menggosok bagian joining tidak boleh ditekan,
tetapi lebih bersifat hanya menyentuh/ touch up
 Untuk lapisan kain lebih dari satu, hanya menggunakan
steam/uap yang berjarak 1” dari permukaan kain.
 Tidak boleh digosok mati (menimbulkan bekas garis)
 Arah gosok harus mengikuti serat kain
 Jenis kain sangat menentukan pemilihan kondisi
ironing/gosok, hal ini akan berkaitan dengan
penggunaan temperature/suhu dan steam yang tepat.
Lakukan pemeriksaan secara tekhnis apakah
temperature/suhu yang digunakan sudah sesuai dengan
jenis kain yang akan digosok atau tidak.
 Periksa hasil gosokan, apakah ada perubahan warna,
bentuk dan ukuran setelah penggosokan, sudah halus
sesuai dengan yang diinginkan atau tidak.

(5) Pemeriksaan hasil pelipatan:


Proses pelipatan pakaian ahrus mengikuti ketentuan
pelipatan maupun ukuran pelipatn karena terkain proses

72
pengepakan. Beberapa jenis pelipatan untukproduk
kemeja diantaranya adalah:
 Stand Up Pack (kerah nampak berdiri pada posisi
folding/lipatan).
Untuk packing metode stand up pack, umumnya
digunakan untuk garment atau kemeja formal. Untuk
packing stand up pack kita harus menggunakan beberapa
material pembantu: card board/karton badan, paper collar
stripe/karton leher, plastic collar stripe/plastik leher, plasitic
butterfly/plastik kupu-kupu, tissue paper/kertas tissue.
Metode untuk stand up pack harus menggunakan mold dan
meja folding. Jenis jenis dari stand up pack:
 Stand Up pack cuff folded out: manset/cuff akan berada pada
bagian depan folding.
 Stand Up pack both cuff folded out: kedua manset/cuff akan
berada di bagian depan folding.
 Stand up pack Cuff fold in: manset/cuff akan tidak nampak
pada bagian depan folding.

One Cuff Folded Out

73
Cuff Folded In

Both Cuff Folded Out

Flat Pack

 Flat Pack/Soft Pack Kerah akan nampak tidur


Metode lipatan ini tidak terlalu rumit dapat dilakukan
secara manual tanpa menggunakan mesin, cukup dengan
menggunakan pola dari mika atau karton. Material
pembantu yang digunakan adalah: card board/karton

74
badan, paper collar stripe/karton leher, tissue paper/kertas
tissue.
 Hanger Pack
Metode untuk hanger pack umumnya digunakan untuk
sport wear, dimana garment finish akan digantung pada
hanger.

Hanger Pack

(6) Pemeriksaan hasil pengepakan


Ada ketentuan pengepakan dalam produk busana
diantaranya adalah:
 Solid Colour Solid Size: Packing metode ini dalam satu
karton pakaian dengan jumlah tertentu terdiri atas satu
warna dan satu ukuran
 Solid Colour Assorted Size: packing metode ini dalam satu
karton pakaian dengan dengan jumlah tertentu t akan
terdiri atas satu warna tetapi bermacam-macam ukuran.
 Assorted Colour assorted Size: Packing metode ini dalam satu
export karton pakaian akan terdiri atas bermacam-
macam warna dan ukuran.
75
Penyusunan tumpukan pakaian (stacking) dalam 1 karton
juga biasanya ditetukan dengan beberapa cara yaitu:
 Collar facing up stacking: susunan tumpukan pakaian pada
dalam karton dengan kerah/collar akan menghadap ke
atas.

 Married Collar stacking susunan tumpukan pakaian pada


dalam karton dengan kerah/collar akan saling
berhadapan.

 End stacking collar facing up: tumpukan pakaian pada dalam


karton dengan pakaian terakhir kerah/collar

76
 End stacking collar facing down: susunan tumpukan pakaian
pada dalam karton dengan pakaian terakhir kerah/collar
menghadap ke bawah.

D. Pemeriksaan Kualitas Sampel Produk Garmen


Setelah memperoleh PO (purchase order), maka bagian/departemen
sample (sampling departement) membuat beberapa contoh garmen (sample)
yang sesuai dengan ketentuan PO tersebut. Melalui sample ini pembeli
(Buyer) akan menilai cara kerja produsen, apakah dia bisa mengerjakan atau
tidak. Oleh sebab itu penting sekali memeriksa contoh garmen ini sebelum
dikirim kepada pemesan. Sample ini akan menjadi gambaran awal tentang
kemampuan sebuah industri garmen untuk mengerjakan produk dari
pembeli (pemegang merek). Pada tahap sample approval ini kemungkinan
terjadi perubahan model masih mungkin terjadi, karena mungkin saja
77
setelah pembeli mendapat sample tersebut akan melakukan beberapa
perbaikan. Bila buyer telah setuju dengan sample, maka tahap selanjutnya
siap dilakukan produksi dengan memastikan bahan-bahan yang dibutuhkan
tersedia dalam jumlah dan kualitas yang cukup. Adapun prosedur
pemeriksaan sampel produk garmen tersebut adalah sebagai berikut
1) Petugas bagian quality control (QC) akan menerima sample dan lembar
pemeriksaan sample dari petugas bagian sample.
2) Lembar rencana kerja (work-sheet) dan contoh produk garmen yang
akan diproduksi dibuat oleh petugas bagian sample & Merchandiser
diserahkan ke bagian QC (quality control).
3) Petugas QC akan memeriksa dan memberi komentar/koreksi terhadap
sample pada lembar pemeriksaan (work-sheet) dan menyerahkan
kembali kepada merchandiser.
4) Merchandiser mempelajari catatan QC dan memutuskan untuk dikirim
ke bagian produksi atau ditolak dan dikembalikan kepada bagian
pembuatan sample untuk dibuat ulang contoh atau sample.
5) Jika sample ditolak oleh merchandiser maka sample akan dikembalikan
kepada bagian pembuatan sample untuk diperbaiki atau dibuat ulang
sesuai dengan mutu sample yang dikehendaki oleh pembeli.
6) Jika sample diterima atau disetujui oleh merchandiser maka sample
tersebut akan dikirim oleh merchandiser ke pihak pembeli guna
mendapatkan persetujuan, sesuai permintaan atau tidak (approval
sample)
7) Petugas QC akan menerima salinan atau copy laporan pemeriksaan
sample dari merchandiser. Sampel yang telah disetujui pihak pembeli
(approval sample) dikembalikan ke bagian produksi untuk diproduksi
secara masal.

Berdasarkan hal di atas, maka standar kualitas produk garmen sangat


penting diketahui dan dipahami oleh seorang merchandiser garmen, sebab
berkaitan dengan pemenuhan kualifikasi produk yang akan dihasilkan.
Secara langsung hal ini berkaitan dengan kepercayaan dan standar kualitas
yang ditentukan buyer, sehingga merchandiser garmen harus
memperhatikan hal tersebut. Oleh karena itu, selanjutnya akan dijelaskan

78
beberapa hal yang berkaitan dengan standar kualitas garmen mulai dari
klasifikasi zona cacat produk garmen sampai pada bagaimana menentukan
atau menguji kualitas mutu produk garmen.

E. Klasifikasi Zona Cacat Produk Garmen


Pengetahuan tentang zona cacat produk garmen sangat penting
dipahami oleh merchandiser garmen agar dapat menjalankan tugasnya
dengan baik. Sebab, untuk menentukan tingkat kualitas busana dan
mendapatkan penampilan busana yang baik maka dalam pemeriksaan
kualitas harus memperhatikan ketentuan zona cacat produk garmen
tersebut. Pada produk garmen, ada 3 (tiga) zona cacat yang harus sangat
diperhatikan dalam pemeriksaan mutu yaitu:

1) Zona A, dimana pada produk garmen berupa kemeja, area pada zona
A ini tidak diperbolehkan ada cacat sama sekali, sebab area A
merupakan area dimana penampilan dari sebuah kemeja dalam kondisi
folding/lipat. Total bagian dari area A pada sebuah kemeja adalah 14%
dari keseluruhan kemeja Pemeriksaan pada area A ini harus sangat
teliti. Adapun komponen kemeja yang termasuk area A adalah:
 Top Collar/Krah lapisan atas atau luar.
 Bagian Luar dari collar band/ kaki kerah 2” dari ujung ke kiri dan
kanan
 Bagian dalam collar band/kaki kerah 4 1/2” dari tengah ke kiri dan
kanan.
 Inside Yoke/ bagian dalam bahu 6” dari tengah ke kiri dank e kanan,
 Pocket/saku seluruh bagian saku kecuali bagian pocket hemming/
lipatan saku
 Front body/ bagian depan badan dari tengah 12 1/2” ke bawah kiri
dan kanan dan 6 5/8” dari tengah ke samping kiri dan kanan.

2) Zona B, dimana pada produk kemeja, area ini disebut juga area
berpengaruh atau penting. Pada area ini diperbolehkan ada cacat yang
sangat minor. Total bagian dari area ini adalah 40% dari keseluruhan

79
kemeja. Pada produk kemeja, komponen yang termasuk area B ini
adalah:

 Bagian dalam collar band/ kaki kerah sisa dari area A.


 Seluruh bagian luar yoke/bahu
 Bagian belakang dari body/badan 3 1/2” dari samping kiri dan
kanan, 25” dari jahitan sambung belakang ke bawah.
 Bagian luar dari pada cuff/manset
 Bagian tangan dikurangi 2” dari samping kiri dan samping kanan
 Front body/badan depan 25” dan 31/2” dari samping kiri dan kanan
 dikurangi area A.

3) Zona C, dimana pada produk kemeja, area ini diperbolehkan terdapat


cacat minor yang tidak dapat dilihat. Total bagian dari area ini adalah
46% dari keseluruhan kemeja. Komponen kemeja yang termasuk pada
area C adalah:
 Lapisan dalam collar/kerah
 Bagian dalam dari yoke/bahu setelah dikurangi area A
 Bagian body/badan belakang setelah dikurangi area B
 Sleeve placket/corong tangan
 Lapisan dalam cuff/manset
 Bagian tangan setelah dikurangi area B
 Bagian pocket hemming/lipatan saku
 Bagian body/badan depan setelah dikurangi area A dan B

80
Gambar 20. Zona Cacat Pada Produk Kemeja dan Celana

E. Proses Pemeriksaan Akhir Kualitas Produk Garmen


Pemeriksaan akhir kualitas produk garmen pada umumnya dilakukan
secara visual untuk memeriksa berbagai cacat yang timbul. Beberapa hal
yang dilakukan dalam proses pemeriksaan akhir kualitas produk garmen
adalah:

1) Melakukan pemeriksaan kesesuaian pada jumlah pemesanan, warna


dan model.
2) Melakukan pemilihan/pengambilan garmen secara random sesuai
dengan statistical sample plan. Untuk produk garmen, penentuan produk
akhir dilakukan dengan standar Aceptance Quality Level (AQL). Tabel
dibawah ini menunjukkan AQL dari 1,0 hingga 10,0, dimana semakin
kecil AQLnya maka semakin tinggi standar kualitas. Sampel (contoh)
uji diambil secara acak dari jumlah produksi seperti yang tertera pada
kolom 2. Dari contoh uji yang diambil tersebut, maksimal jumlah
produk yang cacat adalah seperti yang tertera pada kolom Ac
(Acceptances) sehingga dapat dikatakan produksi hasilnya memenuhi
standar. Jika ditemukan jumlah produk yang cacat adalah sejumlah
yang tertera pada kolom Re (Reject) maka keseluruhan produksi harus
di cek ulang dan pengiriman ditunda.
81
Tabel 4. Daftar Standar AQL
Contoh Uji ACCEPTANCES QUALITY LEVEL
Jumlah Produksi Jumlah 1.0 1.5 2.5 4.0 6.5 10.0
Ac. Re. Ac. Re. Ac. Re. Ac. Re. Ac. Re. Ac. Re.
2-8 2 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 1 2
9 - 15 3 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 1 2
16 - 25 5 0 1 0 1 1 2 1 2 0 1 1 2
26 - 50 8 0 1 0 1 1 2 1 2 1 2 2 3
51 - 90 13 0 1 1 2 1 2 1 2 2 3 3 4
91 - 150 20 0 1 1 2 1 2 2 3 3 4 5 6
151 - 280 32 1 2 1 2 2 3 3 4 5 6 7 8
281 - 500 50 1 2 2 3 3 4 5 6 7 8 10 11
501 - 1,200 80 2 3 3 4 5 6 7 8 10 11 14 15
1,201 - 3,200 125 3 4 5 6 7 8 10 11 14 15 21 22
3,201 - 10,000 200 5 6 7 8 10 11 14 15 21 22 21 22
10,001 - 35,000 315 7 8 10 11 14 15 21 22 21 22 21 22
35,001 - 150,000 500 10 11 14 15 21 22 21 22 21 22 21 22

3) Melakukan pemeriksaan secara visual dari hasil operasi sewing/ jahit


yaitu apakah pemasangan komponen sudah tepat sesuai gambar dan
kualitas jahitnya sudah sesuai atau belum dengan standar yang
ditentukan.

82
Gambar 21. Cacat-cacat Jahitan

Gambar 22. Zona Cacat Jahitan pada Garmen

83
Gambar 23. Cacat pada Pemasangan Saku

Gambar 24. Cacat Benang Jahit Luntur Setelah di Cuci

Gambar 24 Cacat Karena Kotor Oli

84
Gambar 25.
Cacat Pemasangan saku yang tidak simetris (a) dan warna benang tidak
sama/tidak matching dengan kain (b)

Gambar 26. Cacat Pemasangan Label yang Tidak Tepat

Gambar 27.
Cacat Pemasangan Jahitan dan Motif Kain yang Tidak Simetris/Ketemu

4) Melakukan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap: ukuran, model,


kain, warna, jahitan, material penunjang, konstruksi material, price ticket,
folding method/cara lipat, carton marking dan label sesuai dokumen PO
(Purchace Order).

85
Gambar 28. Cacat-cacat pada Pemeriksaan Garmen

Gambar 29. Pengecekan Label, Dasi dan Pemasangan Kancing

86
Gambar 30. Hasil Packing yang Sudah Siap Dikirim

F. Teknik Pemeriksaan Akhir Produk Garmen

Gambar 31.Teknik Pemeriksaan Kualitas Produk Garmen dengan Sistem


Clockwise Garment Inspection

Salah satu teknik pemeriksaan kualitas produk garmen adalah dengan


melakukan pemeriksaaan searah jarum jam (clockwise garment inspection)
seperti terlihat pada Gambar 31. Beberapa keuntungan pemeriksaan dengan
cara ini adalah bahwa pemeriksaan dilakukan secara sistematis, tidak perlu
pengulangan, lebih efisien, meningkatkan kualitass, lebih cermat dan teliti.
Adapun langkah-langkah pemeriksannya adalah sebagai berikut:

87
1. Angkat pakaian pada bagian pundak (shoulder point) lalu periksa bagian
depan dan belakang terutama pada Zona A dan B. Amati apakah ada
cacat-cacat jahitan/warna, atau tidak.

2. Letakkan busana pada meja periksa lakukan pemeriksaan apakah


penampilannya sudah sesuai dengan model dan tidak terdapat cacat-
cacat jahitan, pada kain maupun kelengkapannya.

88
3. Buka bagian kancing/resluiting cek fungsi dan peletakannya apakah
sudah tepat pada posisinya (center).
Pengecekan pada bagian kancing:

Pengecekan pada bagian ritzluiting (zipper):

89
4. Selanjutnya cek bagian kerah baik bagian dalam maupun bagian luar
dan cek kualitas jahitannya termasuk jahitan pada bahu. Amati apakah
terdapat cacat atau tidak.

90
5. Kemudian lipat bagian bahu ke arah depan lalu periksa bagian belakang
leher. Amati apakah ada cacat baik itu cacat jahitan atau cacat warna,
atau tidak

6. Periksa kualitas jahitan bahu bagian kiri, amati apakah ada cacat atau
tidak.

7. Kemudian lipat bagian lengan menyilang ke arah depan produk


garmen dan periksa bagian belakang lengan apakah ada shading (belang
warna) atau tidak.

91
8. Cek bagian luar dan dalam manset lengan kiri. Amati apakah terdapat
cacat atau tidak

9. Cek jahitan samping dari bawah lengan kiri hingga lipatan bawah
busana. Jika ada pemasangan label pada jahitan smaping cek ketepatan
pemasanagan label sesuai order.

10. Periksa lipatan bawah (hemming) menyeluruh bagian depan, belakang,


luar dan dalam. Amati apakah ada cacat atau tidak.

92
11. Periksa jahitan samping kanan hingga bagian bawah lengan kanan.
Amati apakah adaa cacat atau tidak.

12. Periksa bagian luar dan dalam manset lengan kanan, amati apakah ada
cacat atau tidak

13. Lipat bagian lengan kanan menyilang kearah depan busana busana
periksa bagian belakang lengan apakah ada shading atau tidak.

93
14. Periksa jahihan sambung lengan dan bahu kanan, amatilah apakah ada
cacat atau tidak

15. Balik busana dan periksa bagian belakang secara teliti dan cermat,
amati apakah ada cacat atau tidak

16. Setelah selesai semua pemeriksaan, selanjutnya pisahkan garmen yang


perlu dipermak ataupun dikerjakan ulang dan klasifikasikan
berdasarkan tingkat kualitas produk garmen yang telah jadi sesuai
kategori yang telah ditentukan.

94
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa kualitas produk
garmen yang dihasilkan harus memenuhi standar kualitas yang telah
ditentukan sehingga sesuai dengan spesifikasi order yang diminta oleh
buyer. Seorang merchandiser garmen harus mengetahui dan memahami hal
ini agar tugas dan tanggung jawabnya mengawal proses dari penerimaan
order dari buyer sampai pengirimannya ke buyer dapat berjalan dengan
lancar dan sukses. Oleh karena itu, untuk mendukung hal ini maka dalam
tahap ini merchandiser garmen harus bekerja sama dengan bagian/
departemen pengendalian mutu atau quality Control (QC). Hal ini untuk
mencapai right product, right quality, right quantity, dan schedule time.

95
BAB IV
PENGETAHUAN BAHAN BAKU TEKSTIL (MAIN
MATERIAL)

A. Klasifikasi Bahan Baku Tekstil/Kain (Main Material)


Seorang merchandiser garmen harus memiliki pengetahuan dan
pemahaman tentang klasifikasi bahan baku untuk produk garmem, agar
dapat memilih bahan baku tersebut secara tepat. Oleh karena itu, dalam bab
ini akan dibahas tentang klasifikasi bahan baku tekstil yang dapat digunakan
dalam produksi garmen.
Bahan kain yang diperdagangkan beraneka ragam jenis dan kualitasnya,
dimensinya, dan ketebalannya. Bahan ini dapat berupa kain tenun, kain rajut
maupun kain non woven. Ada berbagai penamaan jenis kain yang ada di
pasaran yang didasarkan asal seratnya, jenis anyamannya/kontruksinya
ataupun hanya sekedar nama dagang dari perusahaan pembuatnya. Kain
(fabric) ini selain dapat dibuat dari satu jenis serat (fiber) saja misalnya dibuat
dari kapas (cotton), rayon, polyester, nylon, acrylic, wool, dan lain-lain, dapat
juga dibuat dari campuran dua jenis serat (fibers) atau lebih, misalnya T/C
(campuran polyester cotton), T/R (campuran polyester rayon), cotton-
lycra, dan lain-lain.
Proses pembuatan kain ini dapat dilakukan dari sekumpulan serat yang
diberi pilinan atau antihan menjadi benang yang dalam kuantitas tertentu
dapat ditenun atau dirajut menjadi kain. Apabila serat berbentuk filamen
dapat langsung berfungsi sebagai benang, tetapi jika berbentuk stapel harus
diproses terlebih dahulu untuk menjadi benang yang dapat dilakukan
dengan cara pemintalan baik secara tradisional, konvensional maupun
secara modern (Noor Fitrihana & Widihastuti, 2011). Secara historis
pembuatan kain telah dikenal sejak dahulu dan teknologinya berkembang
terus, mulai dari kain yang dibuat dari kulit kayu atau kulit binatang sampai
kemudian kain dibuat dengan cara pertenunan, perajutan atau dikempa.
Karakteristik dan sifat serat juga sangat menentukan proses
pengolahannya baik dari sisi pemilihan peralatan, prosedur pengerjaan
maupun jenis zat-zat kimia yang digunakan. Selama proses pengolahan
tekstil sifat-sifat dasar serat tidak akan hilang. Proses pengolahan tekstil

97
hanya ditujukan untuk memperbaiki, meningkatkan, menambah dan
mengoptimalkan sifat dasar serat tersebut sehingga menjadi bahan tekstil
berkualitas sesuai tujuan pemakaiannya.
Kain tekstil dapat digolongkan dalam dua golongan besar, yaitu: kain
yang dibuat dari benang kemudian ditenun atau dirajut menjadi kain dan
kain yang dibuat langsung dari serat dengan sistem kempa/presing yang
disebut kain non woven. Alur (flow) proses pembuatan kain baik yang terbuat
dari satu jenis serat maupun campuran serat sampai menjadi produk akhir
yang siap untuk dibuat garmen, pada dasarnya adalah sebagai berikut:

Gambar 32. Alur produksi serat menjadi produk busana


Sumber: GPI (2008: 14)

Berdasarkan alur di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang disebut


dengan kain adalah lembaran tekstil yang merupakan bahan utama untuk
pembuatan garmen yang dapat diperoleh dengan cara menenun (weaving),
merajut (knitting), dan non woven. Selanjutnya, berikut akan diuraikan tentang
klasifikasi kain.

1. Kain Tenun:
Kain tenun ini diperoleh dengan cara menenun/menyilangkan
(weaving) benang lusi (warp) yaitu benang yang sejajar dengan pinggir kain
dan benang pakan (weft, filling) yaitu benang yang tegak lurus terhadap
pinggir kain. Berdasarkan konstruksi silang dasar tenun/anyaman yang
menyusun kain tenun tersebut, maka ada 3 macam jenis silang dasar

98
tenunan, yaitu: (1) anyaman/silang polos (plain weave); (2) Anyaman/silang
kepar /keper (twill weave); dan (3) Anyaman/silang satin (sateen weave).

a. Anyaman/silang polos (plain weave)


Merupakan silang yang paling sederhana dan paling banyak dipakai
orang. Penyilangan antara benang lusi dan pakan bergantian. Anyaman ini
paling banyak silangannya dibandingkan dengan anyaman-anyaman lainnya.
Oleh karena itu, relatif paling kokoh diantara silang lainnya. Hanya saja,
pada kain kemungkinan jumlah benang setiap incinya relatif lebih sedikit
daripada anyaman lain. Terlalu banyak benang akan menghasilkan kain yang
kaku.

Gambar 33. Konstruksi Kain Tenun dengan Silang Polos

Contoh kain-kain yang dibuat dengan struktur silang polos (plain)


antara lain:
1) Kain mori (cambric), ada tiga macam yaitu: cambric biru, cambric prima,
dan cambric primisima.
2) Kain voile, ada tiga macam yaitu: voile asli (full voile), voile (half voile),
dan voile tiruan (imitation voile). Voile asli (full voile) yang berasal dari
Zwitserland, Amerika, dan lain-lain negara. Voile asli ialah baik
benang lusi maupun pakan dibuat dari benang yang disering atau 2
99
benang yang dipintal. Voile (half voile =setengah voile) hanya pakan
atau lusi (lungsin)nya yang disering. Voile tiruan (imitation voile), hanya
rupanya saja sebagai voile tapi benang pakan dan lusinya tidak
disering sama sekali, hanya terdiri dari satu benang yang dipintal kuat.
Contohnya: Shirting/sheeting, Poplin dan sebagainya.

b. Anyaman/silang kepar /keper (twill weave)


Anyaman/silang kepar adalah anyaman yang diperoleh dengan
2 2 3
melakukan silangan tiap lusi terhadap pakan, bisa dua atas satu bawah 1, 2, 2,
dan sebagainya, dan silangan-silangan pada lusi berikutnya meloncat 1, 2,
atau 3 helai pakan, sehingga dengan cara begitu dihasilkan kain yang berefek
lusi atau pakan berupa garis diagonal. Atau bisa dikatakan, dalam proses
penyilangannya, apabila pada baris pertama penyilangan biasa maka pada
baris kedua benang pakannya loncat tiga benang dari baris awal pada
penyilangan pertama. Karena perbedan loncatan dengan baris sebelumnya,
maka akan nampak seperti garis yang menyilang ke kiri atau ke kanan
menyerupai garis diagonal. Anyaman ini relatif lebih rapat dari pada
anyaman polos, sehingga banyak dipakai untuk konstruksi kain yang lebih
tebal dan dengan jumlah benang yang lebih banyak sehingga kain yang
dihasilkan akan lebih kuat. Contoh kain dari jenis silang kepar (Twill) ini
adalah: jean, denim, gabardine, dan lain-lain.

Gambar 34. Konstruksi Kain Tenun dengan Silang Kepar

100
c. Anyaman/silang satin (sateen weave)
Anyaman ini mempunyai silangan-silangan yang paling sedikit dan
cucukan merata, sehingga anyaman ini menghasilkan kain yang
permukaannya rata dan berkilau. Ditinjau dari sudut jumlah silangannya,
maka anyaman satin tidak begitu kokoh. Contoh produk tekstil dari jenis
silang satin antara lain: satin, damast, dan lain-lain.

Gambar 35. Konstruksi Kain Tenun dengan Silang Satin

Jenis jenis kain tenun di antaranya adalah:


 Kain untuk bahan pakaian, yaitu kain yang pada pembuatannya
dipentingkan kenampakan dan kenyamanannya.
 Pita, yaitu kain tenun yang lebarnya kecil dibuat pada mesin tenun
khusus.
 Kain mekanis, yaitu kain dengan anyaman sederhana dimana yang
diperlukan adalah kekuatan dan sifat-sifat mekaniknya, sedangkan
kenampakan (appearance) adalah nomor dua.
 Kain permadani, yaitu kain yang dibuat pada mesin tenun permadani.
 Kain rangkap, yaitu kain yang ditenun dengan menggunakan dua seri
lusi (atas bawah) dan satu seri pakan atau satu seri lusi dan dua seri
pakan (atas dan bawah) atau dua seri lusi dan dua seri pakan yang hasil
kainnya tebal dan berat. Kain rangkap ini dapat membentuk kain yang
berupa pipa, kantong, dan sebagainya. Diantaranya ada yang
menggunakan benang-benang pengisi supaya tebal, berat, dan kuat,
misalnya untuk tali ransel, ikat pinggang, dan sebagainya.

101
2. Kain Rajut (Knitted fabric)
Kain rajut adalah kain yang dibuat dengan cara membentuk jeratan
dengan alat yang terdiri dari jarum-jarum rajut (mesin rajut), atau jenis kain
yang diperoleh dengan cara merajut (knitting) sehelai benang atau lebih
sehingga terbentuk jeratan (loops). Dengan demikian, prinsip pembuatan
kain rajut adalah pembentukan jeratan benang secara berulang-ulang
dengan bantuan jarum rajut. Perajutan pada awalnya dikerjakan dengan
batang pengait benang dari kayu yang dikenal dengan cara pembuatan brein,
kemudian menggunakan batang besi berkait disebut hakpen yang dikenal
dengan cara merenda. Ada tiga macam kain rajut, yaitu: (1) Kain rajut pakan;
(2) Kain rajut lusi; dan (3) Kain rajut pakan atau lusi
1) Kain rajut pakan, yaitu kain yang dibentuk dengan jeratan-jeratan dari
helai benang yang horizontal arahnya, dengan menggunakan mesin
rajut pakan (weft knit).

Gambar 36. Konstruksi Weft Knit

102
2) Kain rajut lusi, yaitu kain yang dibentuk dengan jeratan-jeratan dari
helai benang yang vertikal, dengan menggunakan mesin rajut lusi (warp
knit)

Gambar 37. Konstruksi Warp-knit

3) Kain rajut lusi atau pakan, yaitu kain yang dibentuk dengan jeratan-
jeratan dari benang yang vertikal, tetapi dimasukkan juga benang-
benang arah horizontal.

3. Kain Tule:
Kain tule dibuat dari sutera asli, sutera tiruan, wol atau nilon, dan pada
umumnya bukan dari bahan kapas. Produk tule seperti ini disebut sebagai
klambutule. Dalam pemeriksaan kain tule perlu diperhatikan pertama jenis
serat, kemudian jenis jeratan, dan motif tambahan kain.

4. Kain Jala
Kain jala yaitu kain yang dibuat dengan cara mengikatkan benang satu
sama lainnya.

5. Kain berlapis
Kain berlapis adalah kain yang diperoleh dengan menyatukan dua
lembar atau lebih dengan perekat atau pelapisan foam plastik atau sheet.

6. Kain tidak ditenun (non woven fabric)


Kain tidak ditenun adalah kain yang dibuat dengan cara pengepresan
serat-serat ke dalam bentuk lembaran dengan bantuan perekat atau plastik,

103
atau dapat juga dibuat dengan mengempa langsung seratnya, contohnya
kain kempa. Kain kempa adalah kain yang dibuat dari serat yang dikempa
dengan bahan tambahan perekat. Kain kempa pada umumnya sedikit tebal.
Terdapat juga yang dibuat dengan penambahan kain lapis atau penyatuan
seratnya menggunakan perekat, salah satu produknya disebut sebagai kain
khusus dengan penggunaan terbatas, seperti: (1) tas dan karpet; (2) upholstry
atau lenan rumah tangga; (3) tapestry atau bahan pelengkap rumah tangga
seperti keset dan lap pel.
Secara spesifik dapat dijelaskan bahwa proses pembuatan kain bukan
tenun (non woven fabric) yang berupa lembaran, bukan melalui proses
pertenunan atau perajutan tetapi melalui proses pembentukan web dan
pengikatan strukturnya. Web adalah lembaran lapisan serat yaitu suatu bahan
berupa lembaran yang terdiri dari sekelompok serat yang diperoleh melalui
proses carding, melt spinning, dan proses yang mirip dengan teknologi
pembuatan kertas. Pembuatan kain non woven ini juga bisa dengan cara
fusing (pelelehan sifat thermoplastic serat) dan bonding (pengikatan serat).

B. Karakteristik Bahan Baku Tekstil/Kain (Main Materia


Karakteristik bahan baku yang akan digunakan untuk garmen perlu
dipahami oleh seorang merchandiser garmen. Hal ini bertujuan agar
merchandiser garmen mampu memilih dan menentukan bahan yang tepat
sesuai dengan standar kualitas dan spesifikasi order yang diminta buyer.
Aapun karakteristik kain tenun dibandingkan dengan jenis kain yang lain
adalah: (1) densitinya dari yang light (ringan, tidak padat) sampai kepada yang
heavy (berat, padat); (2) kestabilan dimensinya lebih baik dan kurang elastis;
(3) mulurnya kurang; dan (4) digunakan pada garmen untuk outware (casual
maupun formal).
Karakteristik kain rajut (knitted fabric) dibandingkan dengan jenis kain
yang lain antara lain adalah: (1) densitinya dari yang light (single knit) sampai
yang heavy (double knit); (2) elastisitasnya tinggi; (3) mulur tinggi; dan (4)
digunakan pada garmen untuk sportware, underware juga outware.
Berikut adalah jenis dan komposisi berbagai macam jenis kain (bahan
tekstil) untuk garmen:

104
Tabel 5. Jenis dan Komposisi Kain untuk Garmen

Adapun karakteristik dari beberapa kain yang biasa digunakan sebagai


bahan baku garmen antara lain misalnya, 1) Trimfit, tidak mudah kusut,
memiliki stabilitas bentuk yang baik, tidak perlu disetrika, lebih cepat kering
dibanding bahan yang terbuat dari 100% cotton, 2) Quick Dry, menyerap
keringat dengan cepat dari permukaan kulit dan kemudian difusikan keluar
melalui serat kapas dan keluar melalui serat kain, 3) Spandex, daya
elastisitas kain bisa mencapai 4-7 kali dari panjang normalnya dan kembali
ke ukuran normal jika tarikan dihilangkan, dan 4) Thermotron, fungsi kain
yang mampu mengubah sinar UV dari matahari menjadi panas,
mengumpulkan dan mengatur panas dari tubuh sehingga akan tetap terasa
hangat. Bahan ini cocok untuk jaket.

C. Standar Kualitas Bahan Baku Tekstil/Kain (Main Material)


Bahan baku tekstil/kain sebagai bahan baku (main material) garmen
harus memenuhi standar kualitas yang telah ditentukan. Standar kualitas ini
ditentukan melalui berbagai pengujian yang telah disepakati, misalnya
berdasarkan SNI (Standar Nasional Indonesia), SII (Standar Industri

105
Indonesia), atau AATCC (American Association Of Textile Chemists And
Colorists). Pengujian bahan baku tekstil untuk garmen dapat meliputi:
pengujian konstruksi kain, pengujian kekuatan kain, moisture regain, daya
serap, kekusutan, perubahan dimensi, ketahanan luntur warna, dan lain-lain.
Pemeriksaan kain dan bahan-bahan yang akan digunakan untuk
pembuatan produk garmen dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu:
1. Pemeriksaan Visual, yaitu dilakukan dengan cara pengamatan pada
kain yang digerakkan oeh mesin pemeriksa. Mesin pemeriksa kain
adalah mesin yang dipakai untuk memeriksa kain sebelum dipotong,
dengan maksud memeriksa apakah ada cacat-cacat kain saat
pembuatan bahan tersebut. Cacat yang dimaksud adalah cacat berupa:
benang putus, nep, penumpukan benang ke arah horisontal/ vertikal
dll. Pemeriksaan cacat kain ini dilakukan dengan alat Fabric Inspection
machine. Alat ini akan menggerakkan kain sesuai dengan lebar dan
panjang kain serat sekaligus mengukur panjang kain. Operator
pemeriksa kain mengamati, mengukur, dan mencatat jenis dan panjang
cacat kain pada posisi panjang kain ke sekian meter sesuai yang
ditunjukkan alat ke dalam lembar pencatatan.
2. Pengujian secara teknis laboratorium, yaitu dilakukan dengan
pengujian laboratorium. Mutu/kualitas bahan tekstil dapat diketahui
dengan cara menganalisis bahan tekstil tersebut berdasarkan pengujian
sifat-sifatnya, baik dengan pengujian secara fisika maupun secara
kimia. Pengujian bahan tekstil tersebut dapat dilaksanakan di
laboratorium pengujian/evaluasi tekstil dan mengacu pada standar
mutu yang telah ditentukan.

Berdasarkan hal di atas, maka seorang merchandiser garmen perlu


mengetahui bagaimana menentukan kualitas bahan baku untuk garmen
yang akan dihasilkan agar dapat memenuhi standar kualitas yang telah
ditentukan. Perlu diketahui bahwa untuk produksi garmen secara masal,
bahan baku tekstil atau kain yang digunakan tidak dalam bentuk potongan-
potongan kecil namun dalam bentuk gulungan kain yang sangat panjang.
Oleh karena itu, pemeriksaan dilakukan dengan membuka gulungan secara
keseluruhan yang bertujuan untuk melakukan pengamatan cacat bahan dan

106
menggulung kembali ke bentuk gulungan semula. Pengamatan dilakukan
pada macam-macam sumber penyebab cacat kain yang antara lain meliputi:
1) Cacat struktur/kontruksi bahan/kain
Yaitu cacat yang disebabkan karena proses pengerjaan pembuatan dan
pengangkutan kain yang tidak sempurna. Yang termasuk cacat ini
adalah kerapatan benang pakan/lusi yang tidak sempurna,
persilangan/anyaman benang pakan/lusi yang tidak sempurna, cacat
akibat kerataan benang yang tidak sama, kain berlubang, kain sobek,
perbedaan kontruksi kain darai standar yang disepakati, panjang/lebar
kain yang kurang dari standard dan lainnya.
2) Cacat Warna
Yaitu cacat kain akibat proses pewarnaan yang kurang sempurna
seperti belang (shading), timbulnya bintik-bintik hitam atau putih, warna
kain tidak sesuai contoh standar dan cacat akibat lipatan kain sehinga
menimbulkan efek garis perbedaan warna. Salah satu cara menguji test
beda warna pada kain adalah dengan test shading. Test Shading dilakukan
dengan memotong 10 cm kain dari awal – tengah – akhir, test ini
dilakukan pada 1 rol kain. Tujuan dari test ini adalah mengetahui
adanya perbedaan gradasi warna dalam satu roll kain. Tipe dari test
shading dan penentuan jenis marker:
 Side to side:
Shading ini berada di kedua sisi kain, hal ini akan mempengaruhi jenis
marker yang akan kita pakai. Umumnya untuk shading side to side
marker yang akan digunakan adalah block marker, yaitu komponen
garmen yang besar akan terletak di samping dan diletakkan pada posisi
memanjang, dan untuk komponen kecil akan terletak pada bagian
tengah marker.
 Side middle Side:
Untuk jenis shading ini, pada umumnya kain sudah tidak dapat
digunakan, karena akan sangat berpengaruh pada hasil garment jadi.
 Side to Middle:
Prinsip dari jenis shading ini sama seperti pada side to side, yaitu
marker yang akan digunakan adalah marker special/block marker.
Pertama yang harus dilakukan adalah menentukan peletakan
107
komponen besar garmen pada marker, dan untuk menghindari
shading pada satu garment jadi, maka dalam satu size komponen harus
diletakkan secara berdekatan.

3) Cacat kotor:
Yaitu cacat yang disebabkan cara penanganan bahan saat
pengangkutan, pengerjaan dan penyimpanan sehingga menyebabkan
bahan jadi kotor, sobek, berjamur dan cacat cacat lainnya.

Pemeriksaan visual kain dilakukan dengan alat Fabric Inspection machine.


Alat ini selain digunakan untuk mengidentifikasi jenis dan panjang cacat
kain juga untuk mengecek kebenaran panjang kain secara keseluruhan.
Dalam proses pengujian cacat kain secara visual ini ada beberapa system point
untuk menentukan grade kain dan point ini diberikan berdasarkan panjang
cacatnya seperti pada Tabel 6.

Setiap cacat yang ditemukan kemudian diklasifikasikan dalam kategori


tingkat cacat kain sebagai berikut:
1. Cacat sub minor, yaitu cacat yang tidak nampak dan tidak
mempengaruhi penilaian angka grading.
2. Cacat minor, yaitu cacat yang agak nampak pada kilasan pandang
pertama dan mungkin menyebabkan cacat pakaian.
3. Cacat mayor, yaitu cacat yang kelihatan atau sangat terlihat dan
kebanyakan menyebabkan kerusakan pakaian
4. Critical defect, yaitu cacat yang akan menyebabkan pakaian sudah tidak
bisa dipakai lagi meskipun untuk mutu kedua.

108
Tabel 6. Sistem Point Penilaian Grade Kain
Sistem Panjang Point
Cacat
4 Point System <7,5 cm 1 point
Setiap 100m kain dapat 7,5 cm – 15 cm 2 piont
dikatakan diterima jika 15 cm – 23 cm 3 point
point cacat tidak lebih 23 cm – 30 cm 4 point
dari 35 point
6 Point Sistem < 25 cm 1 point
Setiap 100m kain dapat 25 cm – 49 cm 2 point
dikatakan diterima jika 50 cm – 74 cm 3 point
point cacat tidak lebih
dari 40 point 75 cm – 99 cm 4 point
100cm – 124cm 5 point
125cm – 150 cm 6 point
10 point system Cacat sepanjang arah 10 point/m
Biasa digunakan untuk panjang kain
kain yang memiliki lebar Cacat sepanjang arah 10 point
>170cm. Setiap 100m lebar kain
kain dapat dikatakan Cacat sepanjang 5 point
diterima jika point cacat setengah lebar kain
tidak lebih dari 40 point Cacat sepanjang 3 point
seperempat lebar kain
2,5 cm – 6,5 cm 2 point

< 2,5 cm 1 p0int

Gambar 38. Fabric Inspection Machine

109
D. Pemilihan Bahan Baku Tekstil/Kain (Main Material) untuk
Garmen
Merchandiser garmen perlu memiliki kemampuan dalam memilih
bahan baku untuk garmen. Hal ini bertujuan agar mereka tidak mengalami
kesulitan saat harus menentukan bahan baku tekstil untuk produk garmen
mereka. Di pasaran, nama-nama kain tersebut tidak selalu berdasarkan asal
jenis seratnya saja, namun ada juga yang berdasarkan proses pembuatannya,
berdasarkan bentuknya, berdasarkan kegunaannya, berdasarkan
anyamannya dan berdasarkan merk dagang oleh pabriknya.
Pemilihan bahan tekstil yang tepat sangat mempengaruhi mutu dan
kualitas busana/garmen yang akan dihasilkan. Agar dapat memilih bahan
yang tepat perlu memperhatikan faktor-faktor berikut: (1) unsur-unsur
desain pada bahan tekstil; (2) pemilihan bahan tekstil (kegunaan,
kesempatan, karakteristik penanganan, model dan lebar kain); (3) kriteria
pemilihan bahan tekstil dengan memperhatikan faktor – faktor mendesain
busana. Oleh karena itu, saat memilih bahan baku untuk produk garmen
kita harus memperhatikan jenis kain dan penggunaannya.

Tabel 7. Jenis Kain dan Penggunaannya

Jenis Kain/Nama Penggunaan

Untuk pakaian seharihari, seragam, lingerie, bahan


Asetat
pelapis
Akrilik Untuk pakaian formal
Brocade Untuk kebaya, busana pengantin
Chiffon Untuk gaun malam, blouse dan scarf
Crepe Untuk semua jenis pakaian
Umumnya untuk celana dan jacket namun dewasa
Denim
ini banyak juga untuk kemeja
Drill Cocok untuk celana, seragam dan pakaian kerja
Untuk blazer, gaun, rok, jas dan mantel, jaket, dan
Flannel
kemeja.

110
Untuk jas laki laki dan perempuan, mantel,
Gabardine
seragam, dan kemeja pria.
Untuk pakaian pengantin, gaun ,sebagai bahan
Georgette
pelapis
Nylon Untuk pakaian dalam, kaos kaki , sweater
Organdy Untuk blus, pakaian resmi.
Organza Untuk gaun malam, underlining
Untuk kemeja pria. jaket, kemeja, rok, gaun, dan
Oxford
olahraga
Untuk semua jenis busana tergantung serat
Polyester
campurannya
Pongee Untuk gaun, blouse dan ajket
Rayon Untuk semua jenis pakaian
Satin Untuk gaun malam, jaket , bahan pelapis
Spandex Untuk pakaian olahraga, pakaian dalam
Taffeta Untuk gaun malam
Tulle Untuk gaun, kebaya, pakaian pengantin
Untuk gaun malam, pakaian dirumah, pakian
Velvet
pengantin
Voile Untuk gaun, blouse
Wool Untuk semua jenis pakaian
(Sumber: Noor Fitrihana & Widihastuti, 2011)

Selain yang sudah dijelaskan di atas, merchandiser garmen juga harus


mengetahui dan memahami bahwa dengan semakin tingginya tuntutan dari
para buyer yaitu dengan lead time (batas waktu) yang semakin pendek
misalnya 45 hari bahkan 32 hari dari penerimaan order hingga waktu
shipment (pengiriman), maka proses pemilihan dan pengadaan kain (bahan
baku tekstil) menjadi perhatian utama banyak pihak baik buyer maupun
pengusaha garmen sendiri. Tingginya tuntutan pasar saat ini juga membuat
para buyer harus lebih mencermati strategi untuk dapat mengisi outlet-
outletnya dengan produk-produk mereka yang terkini dan mengikuti trend
yang bergerak semakin cepat. Walaupun sampai saat ini masih banyak
industri garmen yang memiliki lead time lebih panjang misal 90 atau malah

111
120 hari, namun apabila industri garmen bisa mengendalikan lead time proses
produksi dengan baik, maka akan meninggikan daya saing yang dimiliki
industri garmen tersebut.
Selanjutnya saat terjadi proses order dari buyer ke industri, maka
setelah buyer memilih kain (fabric) sesuai style-nya maka proses pertama
adalah mengirimkan contoh-contoh kain yang paling dekat spesifikasinya
(spec) dengan permintaan mereka. Proses ini akan menjadi lebih mudah
apabila mereka memiliki spec yang jelas dari kain tersebut, misalnya
konstruksi, lebar kain, finishing, dan keterangan lainnya. Oleh karena itu,
merchandiser garmen harus mengetahui dan memahami spec tersebut,
seperti contoh di bawah ini:

Contoh 1:
Buyer meminta kain dengan konstruksi:
Woven Twill 2/1 CD16xCD12/108x56, 58” peach finish
Artinya bahwa: Buyer meminta jenis kain tenun (woven) twill 2/1 dengan
nomor benang lusi 16 dan benang pakan 12, baik benang lusi maupun pakan
adalah benang jenis carded. Kain ini memiliki 108 jumlah benang lusi per
inci dan 56 jumlah benang pakan per inci. Finish yang diminta adalah peach
yaitu permukaan kain agak berbulu dan pegangannya halus. Lebar kain
adalah 58 inci.

Contoh 2:
Buyer meminta kain dengan konstruksi:
Knit mesh, PES 150D/144 F, 110 gr/m2, 60”
Artinya bahwa: Buyer meminta jenis anyaman yang dihasilkan oleh mesin
rajut lusi (warp knit). Konstruksi yang diinginkan terdiri dari benang dengan
nomor 150 denier, dimana setiap benang terdiri dari 144 filamen. Berat kain
aalah 110 gr/m2 dengan lebar kain adalah 60 inchi.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa merchandiser garmen saat


memilih atau menentukan jenis kain yang akan digunakan untuk garmen
harus betul-betul memperhatikan spesifikasi yang diminta buyer. Hal ini

112
untuk mencapai kesepakatan (approval) lebih cepat antara buyer dan
industri garmen.

113
BAB V
PENGETAHUAN BAHAN BANTU (ADDITIONAL
MATERIAL)

Yang dimaksud dengan bahan bantu (additional material) dalam industri


garmen adalah semua bahan yang digunakan sebagai tambahan atau
pelengkap produk garmen, seperti: benang, kancing, zipper, bordir, elastic,
bantalan/ padding, renda, gasper, pita, pita rekat, balein, kom, bahan
pelapis, dan lain-lain. Bahan bantu ini memiliki peranan yang sangat penting
dalam menentukan kualitas produk garmen yang dihasilkan. Oleh karena
itu, seorang merchandiser garmen harus memiliki pengetahuan tentang
klasifikasi dan macam-macam bahan bantu, standar kualitas bahan bantu,
dan pemilihan bahan bantu, yang akan diuraikan secara rinci dalam bab ini.

A. Klasifikasi Bahan Bantu (Additional Material)


Bahan bantu (additional material) dalam industri garmen adalah semua
bahan pelengkap yang digunakan dalam pembuatan garmen
(pakaian/busana jadi) selain bahan baku utama. Bahan bantu atau bahan
pelengkap tersebut berupa benang jahit dan benang hias, zipper atau
ritsluiting, kancing, pita, renda, hak atau kancing kait dan lain-lain-lainnya.
Bahan pelengkap ini adalah detail-detail yang dipasang pada permukaan
busana, bisa dipasangkan pada permukaan garmen sebelum bahan
dipotong, pada bagian-bagian busana sebelum dijahit, atau setelah busana
selesai dijahit. Selain itu, bahan pelengkap ini juga dapat berfungsi
fungsional dan dekoratif sebagai aksesoris maupun hiasan pada busana.
Baik sebagai unsur dekoratif atau unsur fungsional, bahan pelengkap ini
harus selalu dirancang sebagai bagian tak terpisahkan dari busana.
Secara garis besar, bahan bantu garmen ini dapat diklasifikasikan
menjadi tiga jenis yaitu:
1. Bahan bantu utama (bahan pelengkap utama)
2. Bahan bantu tambahan (bahan pelengkap tambahan)
3. Bahan pelapis

115
Tabel 8. Klasifikasi Bahan Bantu untuk Garmen
No. Jenis Bahan Bantu Contoh
1. Bahan bantu utama (bahan Benang, kancing, resluiting
pelengkap utama)
2. Bahan bantu tambahan Bordir, elastic, bantalan/
(bahan pelengkap padding, renda, gasper,
tambahan) pita, pita rekat, balein,
kom dan mungkin bahan
bahan lain yang
diperlukan.
3. Bahan pelapis Lapisan bawah
(Underlining), lapisan dalam
(Interfacing), lapisan antara
(Interlining) dan bahan
pelapis (lining) yang biasa
disebut furing (Lining).

B. Macam-macam Bahan Bantu (Additional Material)


Sesuai dengan klasifikasi bahan bantu yang sudah dijelaskan pada
subbab sebelumnya, maka macam-macam bahan bantu garmen tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Bahan Bantu Utama (Bahan Pelengkap Utama)


Bahan pelengkap utama adalah bahan-bahan yang memiliki nilai
fungsi untuk menyambung bahan utama (kain) dan memudahkan
pemakaian dan pelepasan busana seperti benang, kancing, dan resluiting.
Bahan pelengkap utama ini umumnya mutlak ada pada semua produk
busana minimal salah satu pasti digunakan. Yang termasuk bahan pelengkap
utama ini antara lain:

a. Benang
Seperti diketahui bahwa untuk membuat baju diperlukan pembuatan
pola dengan memotong pola sesuai bagian bagian tubuh seperti lengan,
kaki, badan muka, badan belakang, kerah saku, manset dan lainnya. Bagian-
bagian ini perlu disambungkan sehingga terbentuklah sebuah busana yang
bisa dikenakan pada badan. Untuk menyambungkan bagian-bagian pola
inilah dibutuhkan benang jahit.
116
Gambar 39. Macam-macam Benang

Di pasaran banyak merk benang jahit yang dijual, dan yang paling
mudah ditemukan adalah merk Astra dan Extra. Sebenarnya ada merk-merk
benang lainnya seperti Tiger, Diamon, Yamalon bahkan ada yang tanpa
merk. Umumnya benang jahit dalam segulung memiliki panjang 500 yards
atau sekitar 450m. (1yard=0,914meter). Benang ini tersedia dalam berbagai
jenis serat kapas, polyester, nilon, wool dan lainnya.

Tabel 9. Macam-Macam Jenis Benang


Jenis benang Keterangan
Benang jahit katun dibuat dari proses spinning serat cotton
(cotton thread) 100%
benang jahit spun dibuat dari spinning chemical fibers (seratnya
(Spun thread) berasal dari serat pendek (spun) serat
polyester atau benang spun cotton)
benang jahit dibuat dari twisting serat filament polyester
polyester (polyester
thread)
dan benang jahit dibuat dari serat nylon filament, memiliki
nylon (bulk nylon sifat stretchy dan elastic.
thread):

117
Kontruksi benang tekstil ini dapat berupa: tunggal (single), gintir
(multiple), atau kepang (cable). Untuk keperluan pengelompokan benang,
maka pengertian beberapa jenis benang tersebut akan diuraikan di bawah
ini:
1) Benang tunggal (single yarn) ialah produk yang dihasilkan oleh mesin
pintal dengan jalan memintal serat tekstil yang pendek atau benang satu
filament atau memilin dua atau lebih filament
2) Benang multi filament adalah benang yang dibuat dari dua atau lebih
benang tunggal yang disejajarkan dan tidak dipintal.
3) Benang gintir adalah benang yang dibuat dari dua atau lebih benang
tunggal yang dipintal bersama.
4) Benang kepang (cable yarn) adalah benang yang diperoleh dengan
memintal paling sedikit dua benang gintir atau memintal satu atau lebih
benang gintir dengan satu atau lebih benang tunggal.

b. Kancing
Kancing merupakan bagian pelengkap yang sangat penting pada
busana. Pada umumnya selain produk T-shirt oblong semua produk busana
menggunakan kancing minimal satu. Fungsi kancing antara lain yaitu untuk
memudahkan mengenakan maupun melepas busana, sebagai penutup
belahan, dan sebagai hiasan pada busana antara lain.
Jenis-jenis kancing yang digunakan pada busana umumnya
dikategorikan sebagai kancing kemeja, kancing tekan (Press sap button),
kancing kait (Hook Button), kancing hias, kancing bungkus, kancing Cina,
daan kancing paku. Masing-masing jenis kancing memiliki karakteristik
sendiri-sendiri sesuai dengan fungsinya. Selanjutnya untuk memperjelas
bahasan tentang kancing, berikut disajikan macam-macam jenis kancing dan
karakteristiknya.

118
Tabel 10. Macam-macam Jenis Kancing dan Karakteristiknya
Jenis Kancing dan Karakteristiknya
1) Kancing kemeja:
Kancing ini umumnya berbentuk bulat dan berlubang di tengah
tengahnya. Banyaknya lubang bervariasi dari 2, 3 dan 4. Lubang-
lubang ini untuk masuknya benang jahit agar kancing menempel
pada busana. Umumnya pada industrI dilakukan dengan mesin
pasang kancing. Sedangkan untuk mengkaitkan harus dibuatkan
lubang kancing pada bagian busana lainnya dengan mesin lubang
kancing.

2) Kancing Tekan (Press sap button)


Kancing tekan terbuat dari logam/plastik yang terdiri atas 2 bagian
kancing timbul dan bagian yang pipih. Kedua bagian dijahitkan
pada masing-masing bagian busana yang akan dikaitakan dan
Untuk mengkaitkan kedua bagian kancing harus ditekan.

119
3) Kancing Kait (Hook Buton)
Kancing ini terbuat dari logam, terdiri atas dua bagian yang
dipasang pada pertemuan ban pinggang rok atau celana.
Pemasangan kancing dikaitkan. Kancing ini terbuat dari logam,
bentuk dan ukurannya beragam sehingga fungsinya selain sebagai
penutup belahan juga sebagai hiasan. Salah satu bagian nampak
dari luar. Pemasangannya dengan bantuan alat atau dipres.

4) Kancing Hias
Kancing berfungsi sebagai penutup belahan sekaligus hiasan
adalah kancing hias. Kancing hias banyak jenis dan bentuk dan
warnanya. Penggunaan kancing hias berwarna harus
mengutamakan keserasian dengan warna pakaian. Dari segi ukuran
kancing juga perlu disesuaikan. Kancing berukuran besar untuk
pakaian seperti jas, mantel pak blus, atau gaun yang hanya
memerlukan satu atau dua kancing, sedangkan untuk pakaian yang

120
memerlukan banyak kancing digunakan kancing yang berukuran
kecil atau sedang. Kancing hias dapat juga digunakan sebagai pusat
perhatian pada suatu busana.

5) Kancing Bungkus
Kancing bungkus ialah dibungkus dengan kain. Kancing bungkus
dibuat dengan memakai alat lubang kancing atau dijahit dengan
tangan. Kancing ini termasuk kancing hias, pembungkusnya
menggunakan perca bahan busananya. Bentuk kancing bungkus
ada yang bulat datar, bulat cembung dan berbentuk kerucut
dengan berbagai macam ukuran seperti pada kancing hias
bertangkai. Kancing bungkus dapat pula di hias dengan manik
payet dan dipasangkan pada kebaya modifikasi dari busana pesta.

6) Kancing Cina
Kancing Cina terbuat dari sejenis tali yang dibuat dengan teknik
simpul dan buhul, sehingga menghasilkan bentuk-bentuk tertentu.

121
7) Kancing paku: Model kancing seperti paku

c. Tutup Tarik (Retsluiting = Belanda, Zipper= Inggris)


Zipper berupa selembar kain dengan tenunan yang kuat yang
ditengahnya dilengkapi gigi dan tarikan sehingga dapat dibuka dan ditutup.
Fungsinya adalah sebagai penutup belahan dan sebagai hiasan.
Penggolongan zipper umumnya berdasarkan proses jalannya slider (tutup
tariknya). Bahan kain untuk zipper umumnya terbuat dari polyester atau
nylon. Untuk rel gigi dan slidernya dapat terbuat dari plastik maupun logam.
Jenis Zipper dapat dilihat pada Tabel 11.

122
Tabel 11. Jenis Zipper Berdasarkan Gerak Slider

No Jenis Keterangan Gambar


Zipper

1 Closed Zipper jenis ini


End pada bagian
ujungnya
terkunci (tidak
bisa dilepas).

2 Open Zipper jenis ini


End pada bagian
ujungnya bisa
dilepas.

Reversibl Slider bisa


e Open- dibolak-balik
End (reversilble) dan
ujungnya bisa
dilepas

3 Zipper Memiliki 2
With kepala slider
Double (pengaturan dari
Sliders kepala slider ke
kepala slider)

4 Zipper Memiliki 2
With kepala slider
Double (pengaturan dari
Sliders arah ujung
masing-masing)

123
Gambar 40.Tipe Zipper Berdasarkan Jenis Gigi

Tabel 12. Komponen Zipper

d. Bahan Pelengkap Tambahan


Bahan pelengkap tambahan adalah bahan pelengkap busana yang
tidak mutlak harus ada. Sifatnya hanya sebagai bahan tambahan yang
berfungsi untuk mempercantik penampilan dan meningkatkan kenyamanan
pakai sebuah produk busana/garmen. Bahan pelengkap tambahan ini dapat
berupa bordir, elastic, bantalan/padding, renda, gasper, pita, pita rekat,
balein, kom dan mungkin bahan-bahan lain yang diperlukan.

124
Gambar 41. Bahan Pelengkap Tambahan

e. Bahan Pelapis (Underlying)


Bahan pelapis (underlying) adalah bahan yang ditambahkan pada
pembuatan busana berupa kain yang terletak di bawah atau di belakang bahan
utama. Bahan pelapis berfungsi untuk membentuk, menopang kain,
menjaga tetap kuat dari gesekan, lipatan, tekanan dan tahan rendaman.
Bahan pelapis juga dapat digunakan untuk mempercantik penampilan
bahan utama dan menutupi bagian bagian tubuh tertentu yang tidak ingin
nampak dari luar jika bahan utama terlalu tipis dan transparan. Juga untuk
memberi rasa nyaman saat pemakaian seperti memberi rasa sejuk, hangat
dan menghindari rasa gatal. Bahan pelapis dapat berupa kain tenun maupun
kain non woven, Bahan pelapis ini juga ada yang menggunakan perekat
maupun tanpa perekat sesuai fungsi dan penggunaannya. Perekatan
umumnya menggunakan proses panas dengan setrika atau alat press/fusing.
Dalam pembuatan busana bahan pelapis digolongkan menjadi 4 jenis
yaitu lapisan bawah (underlining), lapisan dalam (interfacing), lapisan antara
125
(interlining) dan bahan pelapis (lining) yang biasa disebut furing (lining).
Masing-masing mempunyai fungsi yang khusus mempengaruhi penampilan
sebuah pakaian/busana.

Jenis-jenis Bahan Pelapis:


a. Lapisan Bawah (Underlining), yaitu bahan pelapis yang terletak di bagian
bawah (bagian buruk) bahan utama pakaian (Garment fabric) biasa
disebut lapisan bawah atau lapisan pertama. Pada umumnya lapisan
bawah ini dimaksudkan untuk:
1) Memperkuat bahan utama busana secara keseluruhan,
2) Memperkuat kelim & bagian-bagian busana,
3) Mencegah bahan tipis agar tidak tembus pandang, dan
4) Menjadikan sambungan bagian bagian busana atau kampuh tidak
kelihatan dari luar.

b. Lapisan Dalam (Interfacing), yaitu bahan pelapis yang lebih kokoh dari
lapisan bawah yang dipergunakan untuk menguatkan dan memelihara
bentuk pakaian. Bahan lapisan ini dapat dipergunakan pada seluruh
bagian dari pakaian, tetapi pada umumnya hanya dipergunakan pada
bagian-bagian tertentu saja seperti pada kerah, manset, saku dan
lainnya. Fungsi bahan interfacing:
 Memperbaiki bentuk pada busana seperti kerah, saku, garis leher
 Membuat kaku, licin, dan rata pada bagian-bagian busana
 Menstabilkan dan memberi bentuk tertentu pada bagian tertentu
seperti ujung dan detail pada busana
 Memperkuat dan mencegah bahan renggang

c. Lapisan Antara (Interlining), yaitu bahan pelapis lembut dan ringan


yang diletakkan diantara interfacing dan lining pada suatu pakaian untuk

126
memberikan rasa hangat selama dikenakan. Biasanya untuk lengan
baju dan bagian badan dari jaket atau mantel.

d. Bahan Pelapis (Lining) atau biasa disebut furing, yaitu bahan pelapis
yang memberikan penyelesaian yang rapi, rasa nyaman, kehangatan,
kehalusan terhadap kulit, biasanya disebut bahan pelapis terakhir
(furing) karena merupakan penyelesaian terakhir pada pembuatan
busana untuk menutupi bagian dalamnya. Fungsi lining adalah:
1) Menutup bagian dalam konstruksi bagian dalam busana agar tampak
rapi.
2) Menahan bentuk dan jatuhnya busana.
3) Pengganti petty coat (rok dalam).
4) Agar bahan tipis tidak tembus pandang.
5) Sebagai pelapis berbulu atau kasar seperti wol.
6) Untuk memberi rasa nyaman (sejuk, hangat) pada saat dikenakan.
7) Memudahkan pakaian untuk dipakai atau dilepas .

Untuk suatu desain, semakin berstruktur dan berdetail maka semakin


besar pula kebutuhan akan lapisan bawah dan lapisan di dalamnya. Bobot
bahan pakaian merupakan faktor lain yang harus diperhatikan, semakin
ringan bobot atau kelembutan dari suatu bahan utama pakaian, semakin
lebih membutuhkan bahan penyokong.
Tidak semua busana menggunakan keempat jenis bahan pelapis secara
bersama-sama contoh pada pembuatan kebaya cukup diperlukan bahan
interfacing untuk memberi bentuk dan lining untuk memberi rasa nyaman
saat dikenakan namun ada kalanya keempat jenis bahan pelapis digunakan
secara bersama-sama.

127
Gambar 42. Bahan Interlining Untuk Kerah

Gambar 43. Peletakan Bahan Pelapis dalam Kontruksi Busana

C. Standar Kualitas Bahan Bantu (Additional Material)


Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa bahan bantu /pelengkap
busana yang biasa digunakan dalam industri garmen adalah bahan-bahan
yang digunakan untuk melengkapi konstruksi busana garmen sehingga
semakin sempurna dan indah, yaitu antara lain benang, kancing, hiasan,
aksesoris dan risluiting. Bahan bantu/pelengkap tersebut tentunya harus
memenuhi standar kualitas yang telah ditentukan.
Untuk mengetahui bagaimana kualitas bahan bantu di atas biasanya
dilakukan pengujian di laboratorium. Misalnya, untuk menguji kualitas
benang jahit maka dilakukan pengujian benang jahit secara laboratorium

128
dengan prosedur seperti tertuang dalam SNI 08-0360-2000 yang terdiri atas
meliputi nomor benang, kekuatan tarik, keseimbangan antihan, ketidak
rataan benang, uji jahit dan tahan luntur warna. Umumnya proses pengujian
ini dilakukan di perusahaan pembuat benang. Namun untuk industri
garmen, benang jahit yang digunakan pada umumnya tidak dilakukan
pengujian secara mendetail. Produsen tinggal menggunakan sesuai dengan
pengalaman produksi yang telah dilakukan atau dari pemasok yang telah
terpercaya.
Namun demikian, kita perlu mengetahui dan memahami bagaimana
standar kualitas benang jahit yang baik untuk industri garmen, yaitu antara
lain bisa dilihat dari: kekuatan tariknya; kehalusannya (bisa dilihat dari
nomor benangnya); kerataannya; warnanya; daya pegangnya; dan
sebagainya.
Standar kualitas kekuatan benang dapat diuji dengan manual dengan
cara ditarik dengan tangan dan dirasakan kekuatan putus benangnya. Jenis
serat benang jahit dapat dilakukan dengan uji pembakaran diamati proses
pembakaran, bau dan abu. Ambil sepanjang satu meter benang dan dilipat
menjadi 10 cm kemudian dibakar. Jika benang terbakar dengan nyala yang
cepat, berbau kertas terbakar, dan abunya putih hancur, benang tersebut
berbahan serat katun. Jika benang terbakar seperti meleleh, berbau seperti
palstik, abunya hitam kecoklatan dan keras kemungkinan benang tersebut
berbahan sintetis seperti polyester ataupun nilon. Jika berbau seperti rambut
terbakar maka benang tersebut adalah sutera. Pengujian nomor benang
dapat dilakukan dengan menimbang benang dalam panjang tertentu dan
kemudian dikonversikan sesuai ketentuan penomeran benang.

129
Gambar 44. Jenis Cacat pada Zippe

Pengujian zipper pada pembuatan busana juga dilakukan melalui


pengamatan visual serta kemampuan fungsi zipper saat terpasang pada
busana. Beberapa kerusakan (cacat) yang sering terjadi pada zipper dapat
dilihat pada Gambar 44, dan arah tarikan pengujian kualitas zipper dapat
dilakukan seperti ditunjukkan pada Gambar 45.

130
Gambar 45. Arah Tarikan Pengujian Manual Kualitas Zipper

Sementara untuk kancing, kualitasnya dapat dilihat dari kesesuaian


warnanya, ukuran dan kesempurnaan bentuk fisik kancing, tidak mudah
pecah, dan untuk jenis kancing kait dan kancing tekan dapat dilihat dari
kemudahan pemasangan dan pelepasan kain serta kestabilan posisi kancing
saat digunakan. Secara umum, pengujian teknis yang biasa dilakukan di
industri garmen adalah yang terkait dengan kekuatan pemasangan kancing
saja, sedangkan pemeriksaan/pengujian yang lain lebih banyak dilakukan di
pabrik pembuatan kancing.

D. Pemilihan Bahan Bantu (Additional Material)


Memilih bahan bantu/pelengkap busana di industri garmen diperlukan
ketelitian dan kecermatan. Penambahan hiasan busana dibuat sedemikian
rupa sehingga tidak mempengaruhi struktur suatu busana dan kemungkinan
untuk dilepas dapat dilakukan. Dimensi, warna dan bahan dari suatu bahan
pelengkap juga harus sesuai dengan bahan utama/kain yang digunakan
untuk pembuatan busana. Bahan pelengkap juga harus tidak menyulitkan
dalam pemakaian dan perawatan busana itu sendiri.
Terutama untuk pemilihan bahan pelapis jenis interlining, banyak hal
yang harus kita perhatikan, antara lain adalah jenis serat dan konstruksi kain
utamanya (bahan baku garmen). Interlining ini pada umumnya dipasang pada
seluruh jenis garmen, misalnya: kemeja, blouses, rok, celana dan dress. Oleh
karena itu, pengetahuan dasar tentang jenis serat dan konstruksi kain utama
sangat menentukan dalam pemilihan jenis interlining yang akan digunakan.
Alasannya adalah bahwa jumlah dan konstruksi kain dari benang akan
mempengaruhi ketebalan dan kehalusan dari suatu jenis kain, dimana
pembagian jenis kain ini akan mempengaruhi pemilihan interlining yang tepat
dalam suatu produk garmen. Interlining untuk kemeja pada dasarnya
131
merupakan tenunan polos dan hampir seluruhnya terdiri atas konstruksi
cotton atau cotton/polyseter. Jenis interlining untuk kemeja formal adalah woven
interlining fuse, sedangkan untuk kemeja non formal adalah soft interlining.
Berikut ini adalah alur proses pemilihan interlining menurut Aas Asmawati
K (2008):

132
BAB VI
PENGETAHUAN BAHAN APLIKASI DAN LABEL

Pada Bab ini akan diuraikan tentang bahan aplikasi dan label yang
digunakan dalam industri garmen. Yang dimaksud dengan bahan aplikasi
adalah semua bahan yang melengkapi sebuah garmen seperti: embroidery,
printing, dan jenis aplikasi lainnya, termasuk label. Seorang merchandiser
garmen harus memiliki pengetahuan tentang bahan aplikasi dan label ini
agar dapat memilih secara baik dan tepat sesuai standar yang telah
ditentukan. Oleh karena itu, dalam bab ini akan diuraikan secara rinci
mengenai bahan aplikasi dan label dalam industri garmen disertai contoh-
contohnya.

A. Bahan Aplikasi untuk Garmen


Bahan aplikasi adalah bahan yang ditambahkan pada produk garmen
untuk menambah performance agar lebih indah.

133
Gambar 46. Contoh Aplikasi Embroidery pada Produk Garmen

134
B. Label untuk Produk Garmen
Label untuk produk garmen adalah etiket yang memuat informasi
tentang produk garmen (pakaian jadi) tersebut. Informasi ini biasanya
memuat tentang nama produk (merk), ukuran, asal bahan, harga, dan
cara/petunjuk pemeliharaannya. Proses pemberian/pemasangan label pada
produk sebagai tanda identifikasi produk dan atau sebagai informasi produk
bagi konsumennya disebut labelling/pelabelan. Pemasangan label ini
dilakukan bersamaan dengan proses produksi produk garmen yang
bersangkutan. Adapun macam-macam label adalah sebagai berikut:

1. Label Utama / Main Label / Brand Label


2. Label Identifikasi Ukuran / Size Label
3. Label Bendera / Flag Label
4. Label Sisip / Slip Label / Joker Label
5. Label Tempel / Patch Label
6. Label Indentifikasi / Identification Label
7. Label Penanganan Produk / Care Label

Sedangkan berdasarkan posisi pemasangannya, maka label dapat


dibedakan menjadi:
1. Label atas
2. Label bawah
3. Label samping
4. Label dalam
5. Label luar

Berdasarkan cara pemasangannya, maka label dibedakan menjadi:


1. Label yang digantung jahit
2. Label yang diselipkan
3. Label jahit satu sisi
4. Label jahit dua sisi
5. Label jahit keliling

135
Berikut adalah contoh macam-macam label yang biasa digunakan
dalam produk garmen:

CONTOH MACAM-MACAM LABEL


1. Label Utama / Main Label / Brand Label

2. Label Identifikasi Ukuran / Size Label

3. Label Bendera / Flag Label

136
4. Label Sisip / Slip Label / Joker Label

5. Label Tempel / Patch Label

6. Label Indentifikasi / Identification Label

137
7. Label Penanganan Produk / Care Label

Informasi ini diperlukan untuk menentukan penggunaan dan cara


pemeliharaan produk garmen (pakaian jadi). Label ini harus dipasangkan
pada produk garmen tersebut agar dapat membantu konsumen/pelanggan
dalam merawat dan memelihara produk garmen tersebut sesuai dengan
karakteristiknya berdasarkan informasi atau petunjuk yang disediakan dalam
label. Petunjuk perawatan adalah solusi sederhana untuk memecahkan
masalah yang lebih besar. Label petunjuk perawatan memberi panduan
kepada para pelanggan mengenai cara perawatan sebuah produk pakaian,
serta cara mencuci yang paling tepat untuk bahan kain, dekorasi benang dan
teknik jahit jenis tertentu. Mengikuti panduan pada label petunjuk
perawatan akan memberi jaminan bahwa tampak luar dan bentuk produk
garmen tetap terjaga meski dicuci berulang kali.
Dari sudut pandang produsen, kerusakan pada produk garmen akibat
cara pencucian yang tidak benar dapat menimbulkan keluhan pelanggan;
hilangnya pelanggan dan buruknya citra. Sedangkan label petunjuk
perawatan yang akurat dan ditulis dengan benar dapat mencegah hal ini
terjadi. Dari sudut pandang pelanggan, panduan perawatan yang akurat dan
138
ditulis dengan benar berfungsi sebagai panduan cara mencuci dan dapat
mempengaruhi daya jual sebuah produk. Produk garmen yang
perawatannya mudah lebih disukai daripada produk garmen yang cara
perawatannya sulit. Oleh karena itu, perusahaan /industri garmen harus
memperhatikan tentang hal ini, dan biasanya bentuk dan jenis label sudah
ada dalam spesifikasi order sheet yang diminta oleh buyer
(pembeli/pelanggan/konsumen). Terkait hal ini maka merchandiser
garmen harus mengetahui dan memahami tentang label petunjuk
perawatan. Berikut beberapa informasi yang belum diketahui tentang label
petunjuk perawatan, yaitu:

a. Negara tempat sebuah produk pakaian dijahit adalah negara asal yang
tertulis pada label petunjuk perawatan.
b. Label petunjuk perawatan harus terpasang secara permanen agar
mudah dilihat oleh para pelanggan pada saat membeli produk pakaian
tersebut. Pada umumnya, label ini terdapat di bagian samping atau
bagian dalam pakaian.
c. Produsen atau pengimpor yang bersangkutan dengan produk pakaian
ini bertanggung jawab atas informasi yang terdapat dalam petunjuk
perawatan.
d. Sebuah produk pakaian mungkin diimpor tanpa label produk
perawatan, namun tetap harus diberi label petunjuk perawatan pada
saat produk tersebut dijual.

Terdapat banyak sistem pelabelan petunjuk perawatan yang telah


berevolusi di seluruh dunia. Beberapa dari sistem ini telah ditetapkan
sebagai peraturan pemerintah, sedangkan lainnya ditetapkan sebagai standar
internasional. Namun tidak semuanya wajib untuk diikuti. Sistem Pelabelan
Petunjuk Perawatan. Terdapat lima sistem pelabelan petunjuk perawatan
yang umumnya digunakan pada label petunjuk perawatan. Kelima sistem ini
adalah:

139
1) Sistem Pelabelan Petunjuk Perawatan Internasional
2) Sistem Pelabelan Petunjuk Perawatan Jepang
3) Sistem Pelabelan Petunjuk Perawatan Kanada
4) Sistem Pelabelan Petunjuk Perawatan Eropa
5) Sistem Pelabelan Petunjuk Perawatan Amerika

1. Sistem Pelabelan Petunjuk Perawatan Internasional


Sistem pelabelan petunjuk perawatan international ditangani oleh
Asosiasi Internasional untuk Pelabelan Petunjuk Perawatan Tekstil
(GINETEX) yaitu sebuah badan dunia yang mengatur label petunjuk
perawatan sejak tahun 1975. Negara-negara anggota GINETEX ini adalah
Belgia, Perancis, Jerman, Inggris, Belanda, Israel, Austria, Swiss, dan
Spanyol. GINETEX ini bertujuan untuk:
a) Memberi informasi kepada pelanggan mengenai pelabelan petunjuk
perawatan tekstil melalui sistem pelabelan petunjuk perawatan yang
seragam dan simpel, tanpa kata-kata.
b) Mewujudkan dan mendorong pelabelan petunjuk perawatan sukarela
yang bersifat internasional melalui simbol GINETEX yang seragam
untuk menghindari penggunaan sistem yang berbeda-beda.

Sistem pelabelan petunjuk perawatan GINETEX berdasarkan pada


prinsip-prinsip berikut ini:
a) Simbol petunjuk perawatan harus berisi informasi mengenai jenis-jenis
perawatan yang diperbolehkan.
b) Simbol petunjuk perawatan harus digunakan secara utuh dan dalam
urutan yang telah ditetapkan.
c) Pelabelan petunjuk perawatan harus jelas, mudah dipahami, mudah
digunakan dan tidak terkait dengan bahasa apapun.
d) Simbol petunjuk perawatan sebaiknya tidak menimbulkan berbagai
interpretasi yang keliru dari pelanggan.
e) Penempatan label pada posisi yang sama serta penggunaan simbol
petunjuk perawatan yang urut.

140
f) Sistem pelabelan petunjuk perawatan seragam yang menggunakan
simbol harus memperhatikan kebiasaan pelanggan tanpa
menggunakan data-data teknis yang sulit dipahami.
g) Alat-alat yang digunakan dalam proses perawatan tekstil harus
dipastikan dapat memberi hasil yang terbaik jika digunakan sesuai
petunjuk.
h) Penyesuaian yang perlu dilakukan terkait dengan perkembangan teknis
dan ekonomi yang terus terjadi harus dilakukan sebaik-baiknya tanpa
menggunakan simbol atau tambahan baru pada sistem yang telah ada.

Lima simbol dasar yang digunakan dalam sistem pelabelan petunjuk


perawatan Internasional sesuai dengan aturan ini:

Catatan: Simbol-simbol untuk Sistem Pelabelan Petunjuk Perawatan


Internasional sama dengan yang terdapat dalam Sistem Pelabelan Petunjuk
Perawatan Eropa.

2. Sistem Pelabelan Petunjuk Perawatan Jepang


Sistem pelabelan petunjuk perawatan Jepang seperti sistem pelabelan
petunjuk perawatan lainnya memiliki simbol yang ditempatkan dalam
urutan tertentu. Label dirancang sesuai dengan ketentuan berikut ini:
a) Simbol-simbol harus diurutkan dari kiri ke kanan sesuai urutan berikut
ini: 1) Pencucian, 2) Pemutihan , 3) Penyetrikaan, 4) Pencucian Kering,
5) Pemerasan & 6) Pengeringan.
b) Untuk produk berwarna yang biasanya tidak perlu diputihkan, simbol
terkait penggunaan pemutih berbahan dasar klorin dapat dihilangkan.
c) Untuk produk yang biasanya tidak perlu disetrika, simbol untuk
penyetrikaan dapat dihilangkan. (Kecuali 'tidak dapat disetrika')

141
d) Untuk produk yang dapat dicuci dengan air, simbol pencucian kering
dapat dihilangkan. (Kecuali ‘tidak dapat dicuci kering’)
e) Simbol-simbol tersebut sebaiknya berwarna hitam atau biru tua
sedangkan simbol-simbol larangan sebaiknya berwarna merah atau
putih.

142
3. Sistem Pelabelan Petunjuk Perawatan Kanada
Berbeda dengan negara lain, hingga Juli 1973 pelabelan petunjuk
perawatan bukanlah sebuah kewajiban di Kanada. Namun sesudahnya
sebuah sistem pelabelan petunjuk perawatan baru pun diperkenalkan.
Sistem simbol petunjuk perawatan Kanada yang baru menggunakan warna
hijau (dapat dilakukan), kuning tua (hati-hati), dan merah (tidak dapat
dilakukan) dengan lima simbol yaitu gambar wash tub, segitiga pemutih,
pengering kotak, setrika dan lingkaran cuci kering. Pada tahun 2003 sistem
Kanada diperbarui agar sesuai dengan standar Perjanjian Perdagangan

143
Bebas Amerika Utara/North American Free Trade Agreement (NAFTA) dan
(ISO) sehingga kode warna pun berhenti digunakan.

4. Sistem Pelabelan Petunjuk Perawatan Eropa


Lembaga independen Uni Eropa terus melakukan peninjauan terhadap
standar label petunjuk perawatan yang ada melalui kerja sama dengan
berbagai lembaga internasional lainnya agar dapat menciptakan sistem yang
seragam sesuai dengan skema ISO. Simbol-simbol yang digunakan di Eropa
adalah merek dagang GENETEX dan dikenai biaya merek dagang yang
dibayarkan pada GENETEX, sebagai pemegang merek dagang jika produk
garmen tersebut akan dijual di negara-negara GENETEX.
Label petunjuk perawatan yang benar untuk negara-negara di Eropa
harus terdiri atas setidaknya empat atau kadangkala lima simbol dengan
urutan berikut ini: 1) Pencucian, 2) Pemutihan, 3) Penyetrikaan, 4)
Pencucian Kering dan 5) Pengeringan.

144
145
6. Sistem Pelabelan Petunjuk Perawatan Amerika
Sesuai dengan aturan Label Petunjuk Perawatan Komisi Perdagangan
Federal, label petunjuk perawatan harus terdiri atas kata-kata maupun
simbol-simbol. Baik dalam kata-kata, simbol-simbol ataupun keduanya,
petunjuk perawatan harus ditulis dengan urutan sebagai berikut ini:
a) Cuci mesin / cuci tangan / cuci kering.
b) Suhu pencucian (panas / hangat / dingin).
c) Program mesin cuci (halus / permanent press / putaran normal).
d) Petunjuk pemutihan (jangan gunakan pemutih / gunakan pemutih
berbahan dasar non-klorin / gunakan pemutih berbahan dasar klorin).
e) Cara pengeringan (dengan mesin pengering / jemur / hamparkan /
angin-anginkan).
f) Penyetrikaan (jangan disetrika / setrika dengan suhu rendah / setrika
dengan suhu sedang / setrika dengan suhu panas).
g) Peringatan.
Selain label petunjuk perawatan, produsen dan pengimpor juga harus
menyediakan label yang:
a) Dipasang pada tempat yang mudah terlihat pada saat produk dijual.
Jika produk dibungkus, dipajang atau dilipat dan menyebabkan
pelanggan tak dapat melihat label petunjuk perawatan, informasi
terkait juga harus ditulis pada bagian samping pembungkusnya atau
pada gantungan label.
b) Tidak lepas dan tulisan tidak hilang selama produk masih dapat
digunakan.
c) Menyebutkan perawatan berkala yang perlu dilakukan pada produk
untuk penggunaan biasa.
d) Memperingatkan pelanggan mengenai hal-hal yang dapat merusak
produk garmen.

Sejak bulan Desember 1996, sebuah sistem baru yang hanya


menggunakan simbol dan tanpa kata-kata digunakan di Amerika Serikat.
Simbol petunjuk perawatan yang telah direvisi ini dikembangkan oleh
American Society for Testing and Materials (ASTM) dengan penjelasan seperti
berikut ini

146
Kode Performa Kain
Premiere Vision Kode Performa diciptakan untuk menyoroti sifat atau
mutu tertentu dari sebuah kain, yang berisi kelebihan-kelebihan sebuah kain
yang mungkin terlihat atau tidak terlihat oleh pembeli. Premiere Vision ini
telah menciptakan 24 piktogram yang terdaftar di bawah ini beserta artinya:

Premiere Vision Kode Performa Kain

147
148
149
Berdasarkan sistem pelabelan di atas, maka merchandiser garmen
harus betul-betul memahami sistem mana yang akan diterapkan pada
produk garmennya. Tentunya hal ini harus sesuai dengan kesepakatan
antara buyer dan pihak produsen garmen.

150
1. Instruksi dalam Care Label

151
152
153
154
Cara penanganan yang tidak sesuai dengan care label bisa
menyebabkan kerusakan pada garmen, seperti luntur, printing rusak, dll.
Berikut contoh lain dari care label yang biasa terdapat pada produk.

155
Pada garmen jadi sangatlah penting untuk memperhatikan proses
penanganan dan perawatan agar garmen yang dibeli tidak rusak dan
bertahan lama. Cara penanganan dan perawatan ini dapat dilihat pada “care
label/instruction” yang tertulis di hang tag. Penanganan/ perawatan
garmen sangat ditentukan oleh bahan yang digunakan.

CONTOH BEBERAPA MACAM HANG TAG


1) Hang Tag Utama / Main / Brand Hang Tag

2) Hang Tag Fungsi / Function Hang Tag

3) Hang Tag Info / Information Hang Tag

156
4) Hang Tag Harga / Price Tag

157
BAB VII
PENGHITUNGAN KEBUTUHAN BAHAN
(FABRIC CONSUMPTION)

Fabric consumption harus dikuasai oleh seorang merchandiser garmen.


Oleh karena itu, pada bab ini akan diuraikan secara rinci mengenai fabric
consumption tersebut mulai dari pengertian fabric consumption, fungsi fabric
consumption dalam industri garmen, dan bagaimana melakukan perhitungan
fabric consumption disertai contoh-contohnya.

A. Pengertian Fabric Consumption


Fabric consumption adalah perhitungan kebutuhan bahan baku (main
material) untuk membuat satu produk garmen (apparel) dengan spesifikasi
ukuran yang telah ditentukan, yang dihitung dalam berat (gram) untuk kain
rajut (knitting) maupun dalam meter untuk kain tenun (woven).
Penghitungan kebutuhan bahan/kain (fabric consumption) ini juga
menjadi salah satu tugas dan tanggung jawab dari merchandiser garmen. Ini
merupakan tugas yang sangat penting bagi seorang merchandiser garmen
untuk memahami secara jelas tentang penghitungan bahan baku/ kain (fabric
consumption) dan penentuan biaya (costing), sebab biaya bahan baku/kain
mencapai 40% - 45% dari total biaya garmen. Oleh karena itu, merchandiser
garmen harus menguasai hal ini.

B. Fungsi Fabric Consumption


Penentuan fabric consumption (penghitungan bahan baku/kain) dalam
industri garmen ini sangat penting karena memiliki pembiayaan yang paling
besar dalam struktur biaya di perusahaan garmen. Hal ini bisa kita lihat
dalam Tabel 13 tentang struktur biaya di perusahaan garmen (data riil).
Berdasarkan data pada tabel tersebut dapat kita ketahui bahwa biaya untuk
bahan baku (kain) mendapatkan persentase yang paling besar yaitu rata-rata
49,7% (hampir 50% sendiri dari total struktur biaya di perusahaan garmen).

Tabel 13. Struktur Biaya di Perusahaan Garmen

159
Keterangan : H sampai dengan S adalah perusahan-perusahaan garment

Begitupun secara teori berdasarkan literatur, maka komposisi struktur


biaya garmen untuk bahan baku ini juga mendapatkan porsi yang paling
besar yaitu kurang lebih 50,58% dengan unit 1,138 (lihat Tabel 14)

160
Tabel 14. Komposisi Struktur Biaya Garmen dari Literatur

Berdasarkan hal di atas, maka secara langsung ataupun tidak langsung


penentuan fabric consumption ini akan mempengaruhi penghitungan biaya
produksi dan penentuan harga jual produk garmen (apparel) yang dihasilkan.
Oleh karena itu, proses penghitungan kebutuhan bahan/kain (fabric
consumption) ini perlu dan harus dilakukan dengan cermat dan hati-hati agar
hasilnya bisa akurat sesuai kebutuhan yang sesungguhnya.

C. Perhitungan Fabric Consumption


Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan
perhitungan kebutuhan bahan baku terutama untuk kain rajut maupun kain
tenun, yaitu antara lain:
1. gramation
2. fabric width
3. jumlah bagian-bagian produk garmennya (apparel)
4. size atau ukuran dasar yang dipakai
5. ukuran dari bagian-bagian produk garmennya (apparel)
6. seam allowance/kampuh yang dipakai
7. efisiensi pemanfaatan luas kain
8. arah peletakan bagian produk garmennya (apparel)
9. total kebutuhan bahan (kain)

161
Sebagai ilustrasi, berikut akan disajikan beberapa contoh perhitungan
fabric consumption dari beberapa jenis produk garmen (apparel), yaitu sebagai
berikut:

Contoh 1: Penghitungan fabric consumption untuk jenis garmen kemeja lengan


panjang berbahan dasar kain tenun.
Saat melakukan penghitungan fabric consumption untuk jenis garmen
kemeja lengan panjang berbahan dasar kain tenun ini, kita harus
memperhatikan lebar dan panjang maksimum dari setiap bagian kemeja
kemudian mengalikan panjang dan lebar tersebut untuk memperoleh luas
kain yang akan digunakan.
Contohnya bisa kita amati pada gambar ilustrasi anatomi kemeja
lengan panjang berikut ini.

Gambar 47. Ilustrasi Anatomi Kemeja Lengan Panjang Bagian Depan


(Anatomy of Long Sleeve Woven Shirt)

162
Gambar 48. Ilustrasi Kemeja Lengan Panjang Bagian Belakang (Back part
of Long Sleeve Woven Shirt)
Berdasarkan gambar anatomi model kemeja lengan panjang di atas,
maka dapat kita ketahui bagian-bagiannya yaitu antara lain:
a. Bagian belakang (back part of long sleeve woven shirt)
b. Yoke (yoke of long sleeve woven shirt)
c. Bagian depan (front part of long sleeve woven shirt)
d. Lengan (sleeve of long sleeve woven shirt)
e. Manset (cuff of long sleeve woven shirt)
f. Saku (pocket of long sleeve woven shirt)
g. Kerah (collar of long sleeve woven shirt)

Formula menghitung kebutuhan bahan baku/kain untuk setiap bagian


kemeja lengan panjang tersebut adalah:
a. Formula atau rumus fabric consumption untuk menghitung kebutuhan
bahan baku /kain bagian belakang (back part of long sleeve woven shirt)
pada contoh kemeja lengan panjang di atas adalah:
Required fabric
1
{(𝑐𝑒𝑛𝑡𝑒𝑟 𝑏𝑎𝑐𝑘 𝑙𝑒𝑛𝑔ℎ𝑡+𝑎𝑙𝑙𝑜𝑤𝑎𝑛𝑐𝑒)𝑥 ( 𝑐ℎ𝑒𝑠𝑡+𝑎𝑙𝑙𝑜𝑤𝑎𝑛𝑐𝑒)}
= 44 𝑥 36
2

163
(31"+2")𝑥 (24"+2")
= 44 𝑥 36
= 0.541 yds
b. Formula atau rumus fabric consumption untuk menghitung kebutuhan
bahan baku/kain bagian yoke (yoke of long sleeve woven shirt) pada kemeja
lengan panjang di atas adalah sebagai berikut:
Required fabric
{(𝑌𝑜𝑘𝑒 𝑙𝑒𝑛𝑔𝑡ℎ+𝑎𝑙𝑙𝑜𝑤𝑎𝑛𝑐𝑒)𝑥 (𝑌𝑜𝑘𝑒 𝑤𝑖𝑑𝑡ℎ+𝑎𝑙𝑙𝑜𝑤𝑎𝑛𝑐𝑒)}
= 44 𝑥 36
(21"+4")𝑥 (4"+1")
= 44 𝑥 36
= 0.079 yds

Gambar 49. Yoke pada Kemeja Lengan Panjang

c. Formula atau rumus fabric consumption untuk menghitung kebutuhan


bahan baku/kain bagian depan (front part of long sleeve woven shirt) pada
kemeja lengan panjang di atas adalah sebagai berikut:
Required fabric
1
{(𝐵𝑜𝑑𝑦 𝑙𝑒𝑛𝑔𝑡ℎ+𝑎𝑙𝑙𝑜𝑤𝑎𝑛𝑐𝑒)𝑥 ( 𝐶ℎ𝑒𝑠𝑡 +𝑎𝑙𝑙𝑜𝑤𝑎𝑛𝑐𝑒)𝑥 2}
= 2
44 𝑥 36
(31"+1")𝑥 (12"+2½") 𝑥 2"
= 44 𝑥 36
= 0.5858 yds

164
Gambar 50. Bagian Depan Kemeja Lengan Panjang (Front Part of Long
Sleeve Woven Shirt)
d. Formula atau rumus fabric consumption untuk menghitung kebutuhan
bahan baku/kain bagian lengan (sleeve of long sleeve woven shirt) pada
kemeja lengan panjang di atas adalah sebagai berikut:
Required fabric
{(𝑆𝑙𝑒𝑒𝑣𝑒 𝑙𝑒𝑛𝑔𝑡ℎ+𝑎𝑙𝑙𝑜𝑤𝑎𝑛𝑐𝑒)𝑥 (𝐴𝑟𝑚 ℎ𝑜𝑙𝑒 𝑑𝑒𝑝𝑡ℎ 𝑓𝑢𝑙𝑙 +𝑎𝑙𝑙𝑜𝑤𝑎𝑛𝑐𝑒)𝑥 2}
= 44 𝑥 36

165
Gambar 5. Pola Lengan Panjang pada Kemeja (Sleeve of of long sleeve woven
shirt)

Atau:
=
{(𝑆𝑙𝑒𝑒𝑣𝑒 𝑙𝑒𝑛𝑔𝑡ℎ−(½ 𝐷𝑟𝑜𝑝 𝑠ℎ𝑜𝑢𝑙𝑑𝑒𝑟+ ½")}+ 𝐴𝑙𝑙𝑜𝑤𝑎𝑛𝑐𝑒) 𝑥 (𝐴𝑟𝑚 ℎ𝑜𝑙𝑒 𝑑𝑒𝑝𝑡ℎ+𝑎𝑙𝑙𝑜𝑤𝑎𝑛𝑐𝑒)𝑥2
44 𝑥 36
((34½"−11")+1") 𝑥 (21"+1") 𝑥 2
= 44 𝑥 36
= 0.68 yds

e. Formula atau rumus fabric consumption untuk menghitung kebutuhan


bahan baku /kain bagian manset (cuff of long sleeve woven shirt) pada
contoh kemeja lengan panjang di atas adalah:
{(𝑐𝑢𝑓𝑓 𝑙𝑒𝑛𝑔𝑡ℎ+𝑎𝑙𝑙𝑜𝑤𝑎𝑛𝑐𝑒)𝑥 (𝑐𝑢𝑓𝑓 𝑤𝑖𝑑𝑡ℎ+𝑎𝑙𝑙𝑜𝑤𝑎𝑛𝑐𝑒)𝑥 2}
Required fabric = 44 𝑥 36
(9"+3")𝑥 (2½"+ ½") 𝑥 2
=
44 𝑥 36
= 0.05 yds

f. Formula atau rumus fabric consumption untuk menghitung kebutuhan


bahan baku /kain bagian saku (pocket of long sleeve woven shirt) pada
contoh kemeja lengan panjang di atas adalah:
Required fabric
{(𝑝𝑜𝑐𝑘𝑒𝑡 𝑙𝑒𝑛𝑔𝑡ℎ+𝑎𝑙𝑙𝑜𝑤𝑎𝑛𝑐𝑒)𝑥 (𝑝𝑜𝑐𝑘𝑒𝑡 𝑤𝑖𝑑𝑡ℎ+𝑎𝑙𝑙𝑜𝑤𝑎𝑛𝑐𝑒)}
= 44 𝑥 36
(6"+2")𝑥 (5½"+ 1")
=
44 𝑥 36
= 0.032 yds

166
Gambar 53. Saku pada Kemeja Lengan Panjang (Pocket of Long Sleeve Woven
Shirt)
g. Formula atau rumus fabric consumption untuk menghitung kebutuhan
bahan baku /kain bagian kerah (collar of long sleeve woven shirt) pada
contoh kemeja lengan panjang di atas adalah:
Required fabric
{(𝐶𝑜𝑙𝑙𝑎𝑟 𝑙𝑒𝑛𝑔𝑡ℎ+𝑎𝑙𝑙𝑜𝑤𝑎𝑛𝑐𝑒)𝑥 (𝐶𝑜𝑙𝑙𝑎𝑟 𝑤𝑖𝑑𝑡ℎ+𝑎𝑙𝑙𝑜𝑤𝑎𝑛𝑐𝑒) 𝑥 4}
= 44 𝑥 36
(16"+5")𝑥 (2"+ 1")𝑥 4
= 44 𝑥 36
= 0.159 yds

167
Gambar 54. Kerah pada Kemeja Lengan Panjang (collar of long sleeve woven
shirt)
Berdasarkan perhitungan kebutuhan bahan baku/kain (fabric
consumption) setiap bagian pada model kemeja lengan panjang di atas,
maka selanjutnya dapat kita hitung total kebutuhan bahan baku/kain
untuk setiap satu kemeja model lengan panjang tersebut, yaitu sebagai
berikut:
Formula total kebutuhan bahan baku/kain untuk satu kemeja lengan
panjang (Total Fabric Consumption for one Woven Shirt) adalah
= Bagian belakang (back part) + yoke + bagian depan (front part) +
lengan (sleeve) + manset (cuff) + saku (pocket) + kerah (collar)
= 0.541 yds + 0.079 yds + 0.5858 yds + 0.68 yds + 0.05 yds + 0.032
yds + 0.159 yds
= 2.1268 yds untuk setiap kemeja (per woven shirt)

Jadi kebutuhan bahan baku/kain (fabric consumption) untuk setiap 1


kemeja lengan panjang untuk model di atas adalah sebanyak 2.1268 yds
(yards) atau = 2.1268 x 91.44 …………………………..(1 yds = 91.44
cm)
= 194.474592 cm
= 194.5 cm
= 1.945 m

Berdasarkan hal di atas, maka total kebutuhan bahan baku/kain (fabric


consumption) per dozen adalah
= 2.1268 x 12 …………………… (1 Dozen = 12)
= 25.5216/dz (ypd) + 5% (yang dibuang atau wastages)
= 25.5216 + (5% x 25.5216)
= 25.5216 + 1.276
= 26.7976 yds per dozen
= 26.8 yds per dozen

Jadi total kain yang dibutuhkan untuk setiap 1 dz (dozen = 12 piece)


adalah 26.8 yds (yards) atau

168
= 26.8 x 91.44
(1 yds = 91.44 cm)
= 2450.592 cm
= 2450.6 cm
= 24.506 m

Contoh 2: Penghitungan fabric consumption untuk jenis garmen T-shirt yang


berbahan dasar dari kain tenun (knit).

Gambar 55. Ilustrasi Model Kaos Rajut (Knitted T-shirt (Front & Back))

Berdasarkan gambar ilustrasi model T-shirt di atas, maka berikut


adalah beberapa hal penting yang perlu dicermati saat menghitung
kebutuhan bahan (fabric consumption) dari Kaos (T-shirt) tersebut di atas,
yaitu antara lain:
a) Jenis kain dan beratnya (fabric type and weight (single jersey 145 GSM)
b) Ukuran dasar (basic measurement) misalnya setengah lingkar dada,
panjang punggung, panjang lengan (½ Chest, back length and sleeve
length)
c) Kampuh jahitan (sewing allowance)
d) Kain yang dibuang saat pemotongan atau penjahitan yaitu sekitar 10%,
15%, dan seterusnya (wastages (cutting and sewing -10%, 15%, etc)

169
Misalnya, diketahui:
 Panjang (length) = 70 cm
 ½ lingkar dada (½ Chest) = 60 cm/dia
 Panjang lengan (sleeve length) = 25 cm
 Lingkar kerung lengan (arm hole width) = 40 cm
 GSM = 145

Berdasarkan keterangan di atas, maka kita dapat menghitung


kebutuhan bahan baku rajut (fabric consumption) untuk T-shirt tersebut di atas
dengan formula atau rumus sebagai berikut:

𝐵𝑎𝑐𝑘 𝑙𝑒𝑛𝑔𝑡ℎ+𝑠𝑙𝑒𝑒𝑣𝑒 𝑙𝑒𝑛𝑔𝑡ℎ 𝐶ℎ𝑒𝑠𝑡 𝐺𝑆𝑀


Fabric consumption = + + x 12
100 100 1000
= ((Back length + sleeve length) x ½ chest x 2 x GSM x 12) / 10000000
= ((70 + 5) + (25 + 5)) x 60 x 2 x 145 x 12) /10000000
= 2.28 kg + 7% (2.28)
= 2.28 kg + 0.159
= 2.439 kg/doz (jika untuk leher dan lengan diberi rib, maka ditambah 0.10)

170
BAB VIII
PEMBIAYAAN (COSTING)

Pembiayaan (Costing) dilakukan melalui perhitungan biaya/ongkos


yang dibutuhkan dalam produksi garmen berikut keuntunganya. Adapun
pos-pos perhitungannya antara lain meliputi:
1. Biaya bahan baku (main material cost)
2. Biaya bahan bantu (additional material cost)
3. Biaya bahan aplikasi (applications/ applique cost)
4. Upah buruh langsung (direct labour cost)
5. Biaya overhead (overhead cost)
6. Biaya komersial (commercial cost)
7. Keuntungan (profit margin)

Kemampuan costing ini harus dikuasai oleh seorang merchandiser


garmen. Oleh karena itu, pada bab ini akan diuraikan secara rinci mengenai
costing tersebut mulai dari pengertian costing, komponen costing dalam industri
garmen, dan bagaimana melakukan perhitungan costing disertai contoh-
contohnya.

A. Pengertian Costing
Setelah proses developing sampel atau secara langsung menerima
sampel dari buyer, pihak pabrik garmen perlu mengirim harga FOB (Freight
On Board = barang dikirim sampai pelabuhan setempat/lokal) garmen.
Oleh karena itu, untuk memutuskan FOB, pabrik garmen tersebut harus
membuat cost sheet termasuk biaya bahan baku, total biaya tenaga kerja
langsung dari setiap proses, serta biaya overhead pabrik. FOB adalah jumlah
total biaya garmen ditambah keuntungan pabrik dan pajak. Dengan
demikian, merchandiser garmen harus melakukan penghitungan
pembiayaan (costing) yang dibutuhkan dengan cermat dan teliti agar tidak
mengalami kerugian.
Costing Garment adalah biaya kumulatif bahan baku, tenaga kerja yang
berhubungan langsung dan tidak langsung, serta biaya overhead langsung dan

171
tidak langsung. Terkait dengan costing garmen ini, maka kita kenal adanya
Biaya Standar (Standard Cost) dan Harga Pokok Standar (Standard Costing).
Biaya Standar (Standard Cost) adalah biaya yang ditentukan dimuka,
yang merupakan jumlah biaya yang seharusnya untuk membuat satu satuan
produk atau untuk membiayai kegiatan tertentu, dengan asumsi kondisi
ekonomi, efisiensi dan faktor-faktor lain dalam keadaan normal.
Harga Pokok Standard (Standard Costing) adalah pembebanan harga
pokok kepada produk atau jasa tertentu yang ditentukan di muka dengan
cara menentukan besarnya biaya standar dari biaya bahan baku, biaya tenaga
kerja langsung, dan biaya overhead pabrik untuk mengolah satu satuan
produk atau jasa tertentu. Harga pokok standar ini ditetapkan dengan cara
menentukan besarnya biaya standar dari biaya bahan baku, biaya tenaga
kerja langsung dan biaya overhead pabrik, dengan asumsi kondisi ekonomi
dan faktor-faktor lain tetap.
Sistem Harga Pokok Standar merupakan sistem harga pokok yang
ditentukan di muka untuk mengolah produk atau jasa. Biaya ditentukan di
muka merupakan pedoman di dalam pengeluaran biaya yang sesungguhnya.
Jika biaya yang sesungguhnya berbeda dengan biaya standar, maka yang
dianggap benar adalah biaya standar, sepanjang asumsi-asumsi yang
mendasari penentuan harga pokok standar tidak berubah.
Pada dasarnya di dalam Harga Pokok Standar terdiri dari 3 aktivitas
yaitu:
1. Penentuan Standar
2. Pengumpulan biaya yang sesungguhnya terjadi
3. nalisis selisih biaya standar dengan biaya sesungguhnya.

Adapun manfaat dari harga pokok standar adalah antara lain dapat
digunakan untuk:
a. Perencanaan dan penyusunan anggaran.
b. Pembuatan keputusan tentang harga jual produk, strategi
pengembangan produk dan lain sebagainya.
c. Pengendalian biaya.
d. Menilai hasil pelaksanaan.
e. Meningkatkan kesadaran akan pentingnya penghematan biaya.
172
f. Menerapkan Management by objective (MBO).
g. Membebankan biaya yang telah dikeluarkan ke produk selesai dan
persediaan produk dalam proses.
h. Menekan biaya administrasi dengan menyederhanakan prosedur
akuntansi.
i. Menyajikan laporan biaya dengan cepat.

Saat penentuan standar, kita kenal ada beberapa jenis standar, yaitu:
1) Standar Teoritis (Theoretical standard) disebut juga dengan standar ideal
atau standar teknis merupakan suatu standar pada kondisi operasi
yang sempurna, dimana semua pelaksana dan fasilitas dapat bekerja
dengan tingkat yang paling efisien. Standar ini umumnya tidak
digunakan untuk mengukur kinerja (prestasi suatu pelaksanaan),
tetapi hanya digunakan sebagai dasar untuk menetapkan standar yang
realistis.
2) Standar dasar (Basic Standard) disebut juga dengan standar historis
adalah suatu standar yang didasarkan pada informasi masa lalu.
Standar ini memberikan kerangka kerja untuk membandingkan
kinerja dari beberapa periode. Standar ini sering disebut sebagai
standar jangka panjang (long-range standard) karena sekali ditetapkan
tidak akan diubah untuk beberapa periode. Manfaat standar ini relatif
sangat terbatas untuk pembuatan keputusan dan penyusunan
anggaran. Kebaikan standar ini adalah relatif murah.
3) Standar pelaksanaan terbaik yang dapat dicapai (currently attainable
standard) adalah suatu standar yang didasarkan pada kondisi operasi
yang efisien. Standar ini telah memperhitungkan hambatan-
hambatan yang tidak dapat dihindari terjadinya, seperti: waktu untuk
pemeliharaan fasilitas, waktu istirahat, dan faktor-faktor kelelahan
karyawan. Standar ini merupakan standar yang realistis dapat dicapai
oleh pelaksana yang bekerja dengan efisiensi tinggi, sehingga
merupakan tingkat kinerja yang banyak digunakan di dalam praktik.
Standar ini sering disebut standar normal.

173
B. Komponen Costing
Komponen costing produk garmen meliputi:
1. Biaya bahan baku (main material cost)
2. Biaya bahan bantu (additional material cost)
3. Biaya bahan aplikasi (applications/ applique cost)
4. Upah buruh langsung (direct labour cost)
5. Biaya overhead (overhead cost)
6. Biaya komersial (commercial cost)
7. Keuntungan (profit margin)

Sedangkan cara penentuan harga pokok standar adalah dengan


menggunakan Harga Pokok Standar yang menyangkut biaya produksi
standar, yaitu meliputi:
a. Biaya Bahan Baku Standar
1) Harga bahan baku standar
2) Kuantitas bahan baku standar
b. Biaya Tenaga Kerja Langsung Standar
1) Tarif upah langsung standar
2) Jam kerja langsung standar
c. Tarif Biaya Overhead Pabrik Standar, misalnya:
1) Biaya listrik dan telepon
2) Biaya penyusutan peralatan
3) Biaya perawatan mesin
4) Biaya perawatan gedung
5) Biaya sewa gedung
6) Biaya iklan

C. Perhitungan Costing
Sebuah bisnis adalah bagaimana caranya meraup keuntungan. Terkait
hal ini, maka bisnis garmen pasti juga mentargetkan adanya keuntungan
dalam bisnisnya. Oleh karena itu, dalam bisnis garmen sangatlah penting

174
adanya “costing sebuah produk garmen” yang benar sebelum Final Order
(FO). Dengan demikian, maka perlu dilakukan costing produk secara
cermat dan teliti agar bisnis tidak mengalami kerugian.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka selanjutnya perlu diketahui
bagaimana Perhitungan Selisih Biaya dalam sebuah bisnis garmen, baik
menghitung selisih biaya bahan baku, selisih biaya tenaga kerja langsung,
dan selisih biaya overhead pabrik garmen, yaitu sebagai berikut:
Perhitungan Selisih Biaya:
1. Selisih Biaya Bahan Baku
a. Selisih Harga Bahan baku (Material Price Variance)

b. Selisih Kuantitas Bahan Baku (Material Quantity Variance)

2. Selisih Biaya Tenaga Kerja Langsung:


a. Selisih Tarif Upah (Labour Rate Variance)

b. Selisih Jam Kerja/Selisih Efisiensi Upah (Labour Effeiciency


Variance)

3. Selisih Biaya Overhead Pabrik


a. Selisih terkendali (Controllable Variance) adalah selisih antara
overhead pabrik aktual yang terjadi dengan kelonggaran
anggaran (total jumlah standar dari overhead variable yang
dianggarkan untuk produksi aktual ditambah total overhead
pabrik tetap yang dianggarkan)

175
b. Selisih Volume (Volume Variance)

Analisis 3 Selisih:
Selisih Pengeluaran (Spending Variance): yaitu selisih antara biaya
aktual dengan kelonggaran anggaran (suatu anggaran yang disesuaikan
untuk mencerminkan tingkat aktivitas aktual)

Selisih Kapasitas (Idle Capacity Variance) yaitu perbedaan antara


jumlah biaya overhead tetap dianggarkan dengan aktivitas aktual

Selisih Efisiensi (Efficiency Variance) yaitu setara dengan tarif


overhead dikalikan dengan selisih tingkat dasar alokasi aktual dengan
jumlah standar

Analisis 4 Selisih:
Merupakan perluasan dari analisis 3 selisih dimana Selisih Efisiensi
dibagi menjadi 2, yaitu:
Selisih Efisiensi Tetap (Fixed Efficiency Variance)

Selisih Efisiensi Variabel (Variable EfficiencyVariance)

176
Contoh:
Sebuah perusahaan garmen yang menghasilkan kemeja pria
menggunakan sistem harga pokok standar dalam menghitung harga
pokok dari produk yang dihasilkannya. Kapasitas normal per bulan
adalah 2.500 helai kemeja yang dikerjakan dalam 10.000 jam mesin.
Anggaran biaya overhead pabrik yang disusun berdasarkan jam mesin
berjumlah Rp 37.500.000, dimana 60% diantaranya bersifat variabel.
Diketahui juga:
Harga pokok standar untuk menghasilkan satu helai kemeja adalah
sebagai berikut:
Biaya bahan baku 2 m @ Rp 12.500 = Rp 25.000
Biaya tenaga kerja 5 jkl @ Rp 2000 = Rp 10.000
langsung
Biaya overhead pabrik 4 JM

Selama satu periode telah dihasilkan kemeja sebanyak 2.490 helai


dengan biaya sebagai berikut:
 Dipakai kain sebanyak 4990 m @ Rp 12.490
 Dibayar gaji dengan upah sebesar Rp 24.910.000 untuk 12.455
jam kerja langsung
 Biaya overhead pabrik sesungguhnya Rp 37.320.400 dengan
9.965 jam mesin

Diminta:
a) Hitung besarnya harga pokok standar untuk menghasilkan 1 helai
kemeja.
b) Hitung selisih biaya yang terjadi untuk menghasilkan 2.490 helai
kemeja.

177
c) Analisis penyebab terjadinya selisih biaya tersebut.
PENYELESAIAN:

178
Analisis Selisih

179
Ringkasan

180
Selisih Komposisi dan Selisih Hasil (Material Mix Variance dan Yield
Variance)
Apabila untuk menghasilkan barang jadi (produk garmen) dibutuhkan
lebih dari satu jenis bahan baku maka akan timbul selisih komposisi dan
selisih hasil. Adapun selisih biayanya adalah sebagai berikut:

Perhitungan Selisih Biaya:

CONTOH:
Sebuah perusahaan garmen yang menghasilkan pakaian anak-anak
menggunakan sistem harga pokok standar dalam menghitung harga pokok
dari produk yang dihasilkannya. Pakaian yang dihasilkan menggunakan
kombinasi dua jenis kain yaitu kain motif dan kain polos. Kapasitas normal
per bulan adalah 2.500 helai pakaian yang dikerjakan dalam 10.000 jam
mesin. Anggaran biaya overhead pabrik yang disusun berdasarkan jam
mesin berjumlah Rp 37.500.000, dimana 60% diantaranya bersifat variabel.
Harga pokok standar untuk menghasilkan satu helai pakaian anak-anak
adalah sebagai berikut:

181
Selama satu periode telah dihasilkan pakaian anak-anak sebanyak 2.490
helai dengan biaya sebagai berikut:
1) Dipakai kain motif sebanyak 3.740 m @ Rp 12.000 dan kain polos
sebanyak 1.250 m @ Rp 13.990.
2) Dibayar gaji dan upah sebesar Rp 24.910.000 untuk 12.455 jam kerja
langsung.
3) Biaya overhead pabrik sesungguhnya Rp 37.320.400 dengan 9.965 jam
mesin.

DIMINTA:
1) Hitung selisih biaya yang terjadi untuk menghasilkan 2.490 helai
pakaian anak-anak.
2) Analisis selisih biaya yang terjadi.

PENYELESAIAN:
Perhitungan Selisih Biaya:

182
Perhitungan Selisih Biaya:

Analisis Selisih:

*CATATAN:
Untuk menghasilkan 1 helai pakaian anak-anak dibutuhkan kain motif
sebanyak 1,5 m dan kain polos sebanyak 0,5 m. Dengan demikian, dari 2 m
pemakaian kain sebanyak 75% adalah pemakaian kain motif dan 25%
pemakaian kain polos.

183
**CATATAN:
Setiap dipakai 2 m kain (motif + polos) dapat dihasilkan 1 helai pakaian
anak-anak (standar). Jika dipakai total 4.990 m kain maka dapat dihasilkan
4.990 : 2 = 2.495 pakaian hasil standar.

184
Analisis 3 selisih:

Untuk analisis 2,3, dan 4 selisih, selanjutnya hitung Selisih Hasil


Overhead pabrik:

185
RINGKASAN:

Selanjutnya berikut akan ditampilkan contoh perhitungan harga pokok


produksi Konveksi Sinar Jaya Jakarta, yaitu menurut perusahaan dan
metode Full Costing berdasarkan hasil penelitian F. Husna (2012), dengan
tujuan untuk mengetahui apakah perhitungan harga pokok produk
perusahaan lebih baik apabila dibandingkan dengan metode full costing.

186
187
Selanjutnya kita lihat perbandingan perhitungan HPP (Harga Pokok
Produksi) dengan metode full costing di Konveksi Sinar Jaya seperti berikut
ini:

Tabel 15. Perbandingan Perhitungan HPP (Harga Pokok Produksi)


dengan Metode Full Costing Konveksi SINAR JAYA

Sumber: F. Husna (2012)

188
Dari hasil perhitungan di atas menggunakan metode Full Costing, dapat
terlihat selisih yang ditimbulkan memang tidak terlalu besar yaitu Rp.100.
Tetapi tetap akan mempengaruhi keuntungan yang diperoleh perusahaan,
jika kuantitas produk yang diproduksi semakin besar bukan tidak mungkin
perusahaan akan mengalami kerugian.

Kesimpulan dari contoh penelitian F. Husna (2012) di atas adalah


sebegai berikut:
1) Metode yang digunakan dalam menentukan harga pokok produksi
pakaian anak-anak perempuan pada Konveksi Sinar Jaya Jakarta
adalah Metode Full Costing.
2) Komponen biaya yang digunakan dalam menentukan harga pokok
produksi pakaian anak-anak perempuan pada Konveksi Sinar Jaya
adalah biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, biaya overhead
pabrik, biaya bahan penolong, dan biaya non produksi.
3) Perhitungan harga pokok produksi pakaian anak-anak perempuan
pada Konveksi Sinar Jaya Jakarta adalah sebagai berikut:

a) Menurut perhitungan perusahaan sebesar Rp64.614.000 lebih rendah


dibandingkan dengan perhitungan menurut full costing sebesar
Rp64.701.600 sehingga menimbulkan selisih sebesar Rp87.600.
b) Hal tersebut mengakibatkan harga jual yang dibebankan kepada
pemesan berbeda, yaitu sebesar Rp20.200 menurut perusahaan dan
sebesar Rp20.200 menurut full costing, sehingga menimbulkan selisih
sebesar Rp100.
189
c) Tujuan perhitungan harga pokok produksi pakaian anak-anak
perempuan pada Konveksi Sinar Jaya Jakarta adalah untuk
mengetahui besarnya harga jual yang ditetapkan berdasarkan harga
pokok produk menurut perusahaan dan menurut fullcosting. Sehingga
dapat diketahui apakah perhitungan harga pokok produk perusahaan
lebih baik apabila dibandingkan dengan metode full costing.

Berdasarkan hasil perhitungan dan kesimpulan yang diambil, maka


sebaiknya Konveksi SINARJAYA melakukan perhitungan harga pokok
produknya berdasarkan akuntansi biaya, terutama dalam pembebanan biaya
overhead pabriknya. Karena hal ini akan mempengaruhi total harga pokok
produk dan harga jual yang ditetapkan kepada customer. Kesalahan
penetapan harga jual akan mendatangkan kerugian bagi perusahaan.

190
191
192
Contoh Cost Sheet Format for Garment

193
BAB IX
METODE PEMBAYARAN (TERM OF PAYMENT)

Pengetahuan tentang metode pembayaran ini sangat penting dimiliki


oleh seorang merchandiser garmen karena dapat menunjang dalam
menyelesaikan pekerjaan merchandising dalam sebuah industri garmen.
Dalam hal ini, seorang merchandiser akan bekerja sama dengan dengan
bagian marketing. Oleh karena itu, seorang merchandiser garmen harus
dapat memahami dan menguasai materi tentang berbagai metode
pembayaran dalam proses jual beli di industri garmen agar dapat bekerja
sama dengan baik dengan bagian marketing sehingga pekerjaan dapat
berjalan lancar. Oleh karena itu, pada bab ini akan dipaparkan beberapa
Metode Pembayaran (Term of Payment) yang dapat dilakukan dalam industri
garmen.
Berikut beberapa cara pembayaran yang biasa berlaku antara eksportir
& importir dalam industri garmen, yaitu antara lain secara garis besar terbagi
menjadi dua yaitu tidak melibatkan jasa bank (metode biasa atau tanpa letter
of credit (L/C) dan melibatkan jasa bank (metode letter of credit (L/C).
Metode pembayaran yang tidak melibatkan bank (metode biasa atau
tanpa letter of credit (L/C) antara lain meliputi:
1. Down payment, yaitu pembayaran sebagian (uang muka) sebelum barang
dikirim.
2. Advance payment, yaitu pembayaran dimuka oleh importir, barang
dikirim kemudian.
3. Open account, yaitu pembayaran yang dilakukan setelah barang diterima.
4. Konsinyasi, yaitu pembayaran setelah barang laku (titip jual).

Prosedur penjualan ekspor biasa atau tanpa L/C yang menggunakan


metode pembayaran seperti contoh di atas, antara lain sebagai berikut:
a. Eksportir mengadakan korespondensi dengan importir.
b. Eksportir dan importir mengadakan kontrak jual beli.
c. Eksportir menyiapkan barang-barang sesuai dengan kontrak jual beli
yang telah disepakati.
d. Eksportir mengurus dokumen PEB ke Bea Cukai.

195
e. Ekspotir mengirim barang dan memesan ruang kapal.
f. Importir membayar Down Payment (DP).
g. Eksportir sendiri atau meminta bantuan EMKL untuk mengirim
barang kepada importir.
h. Eksportir sendiri atau EMKL memfiatmuatkan barangnya.
i. EMKL memberitahukan kepada eksportir barang telah dikirim ke
kapal.
j. Mengajukan permohonan ke Dinas Perindag atau Sudin Perindag
untuk memperoleh SKA (Surat Keterangan Asal).
k. Barang dikirim kepada importir.
l. Eksportir mengirimkan dokumen-dokumen ekspor kepada importir.
m. Importir melunasi sisa pembayaran.

Sedangkan yang melibatkan bank yaitu dengan metode pembayaran


Letter of Credit (L/C), yaitu pembayaran yang diatur dalam sales contract dan
yang telah disepakati oleh importir & eksportir dengan melibatkan bank.
Prosedur penjualan ekspor dengan L/C (Letter of Credit) ini antara lain
sebagai berikut:
1) Eksportir mengadakan korespondensi dengan importir luar negeri
(mengenai mutu, harga, delivery, dan lain-lain).
2) Eksportir dan importir mengadakan kontrak jual beli.
3) Importir membuka atau mengirim L/C melalui bank korespondennya.
4) Bank importir meneruskan L/C kepada bank devisa.
5) Bank devisa meneruskan L/C eksportir.
6) Eksportir menyiapkan barang-barangnya.
7) Eksportir mendaftarkan PEB ke Bea Cukai.
8) Ekspotir memesan ruang kapal.
9) Eksportir sendiri atau meminta bantuan EMKL untuk mengirim
barang kepada importir.
10) Eksportir sendiri atau EMKL memfiatmuatkan barangnya.
11) EMKL memberitahukan kepada eksportir barang telah dikirim ke
kapal.
12) Mengajukan permohonan ke Dinas Perindag atau Sudin Perindag
untuk memperoleh SKA (Surat Keterangan Asal).

196
13) Eksportir melakukan pencairan uang di bank devisa.
14) Bank devisa eksportir mengirim dokumen ekspor kepada bank
korespondensi importir.
15) Bank korespondensi importir mengirim dokumen ekspor kepada
importir.
16) Importir mengambil barang di pelabuhan.

Dokumen-dokumen yang digunakan antara lain:


a) Sales contract, yaitu surat kesepakatan antara eksportir dan importir
untuk melakukan perdagangan barang sesuai persyaratan yang
disepakati bersama.
b) Booking order atau detail sheet, yaitu dokumen yang berisi tentang
spesifikasi barang yang diinginkan oleh buyer. Dokumen ini
menjelaskan tentang bentuk, ukuran, warna, kuantitas dan jenis bahan
yang digunakan sesuai keinginan buyer.
c) Commercial invoice, yaitu merupakan nota perincian tentang keterangan
barang-barang yang dijual dan harga dari barang-barang tersebut.
d) Persetujuan Ekspor Barang (PEB), yaitu dokumen yang digunakan
untuk pemberitahuan ekspor barang yang isinya antara lain: jenis
barang, identitas eksportir, identitas importir, negara tujuan ekspor dan
lain-lain.
e) Packing list, yaitu dokumen yang berisi daftar perincian lengkap
mengenai barang yang tercantum dalam invoice. Fungsinya untuk
memudahkan untuk proses pemeriksaan oleh kantor Bea dan Cukai.
f) Bill of lading, yaitu bukti tanda terima barang, bukti kepemilikan, barang
yang dikeluarkan oleh perusahaan pelayaran (shipping company) sebagai
bukti adanya perjanjian pengangkutan barang. Certificate Of Origin
(COO) Certificate Of Origin (COO) atau SKA (Surat Keterangan Asal)
adalah surat keterangan yang diterbitkan oleh Menteri Perdagangan
atau pejabat yang ditunjuk. Surat ini menyatakan asal barang yang
diekspor.
g) Bukti transfer (BT), yaitu bukti pengiriman dana dari bank
koresponden importir yang ditujukan ke eksportir melalui advise bank.

197
h) Bukti setor bank (BSB), yaitu bukti yang diterima dari bank karena
menyetor uang ke rekening suatu bank.
i) Letter Of Credit (L/C), yaitu surat perikatan/ perjanjian antara importir
(applicant), bank koresponden (issuing bank) dan eksportir (beneficiary)
untuk melakukan pembayaran (jual beli) atas barang atau jasa yang
diperdagangkan.
j) Bukti kirim barang/ Delivery order, yaitu bukti yang diterima dari jasa
pengiriman barang atau EMKL yang menyatakan bahwa barang sudah
dikirim.
k) Laporan hasil produksi (LHP), yaitu catatan yang dibuat oleh bagian
produksi yang berisi tentang total harga produk yang dijual atau total
jumlah persediaan selama periode akuntansi tertentu.
l) Polis asuransi, yaitu surat bukti pertanggungan yang dikeluarkan oleh
perusahaan asuransi atas permintaan eksportir maupun importir untuk
menjamin keselamatan barang yang dikirim.

198
BAB X
ORDER SHEETS

Seorang merchandiser garmen harus mampu menyusun order sheets atau


lembar kerja yang akan disampaikan ke bagian produksi secara baik. Order
sheets ini harus jelas, detail, dan rinci, sehingga dapat dipahami dan
dilaksanakan dengan mudah oleh bagian produksi. Order sheets ini terdiri atas:
(1) Style sheets; (2) Sewing Details; (3) Bill of Materials (BOM); dan (4) Final
Report.

A. Style sheets
Style Sheets adalah lembaran kerja atau form yang merupakan panduan
untuk pengerjaan suatu produk. Style sheets ini sangat penting dipahami dan
dikuasai oleh seorang merchandiser garmen, sebab akan mempermudah
proses produksi garmen dan dapat menghindari munculnya kesalahan-
kesalahan yang mungkin terjadi. Dengan demikian, dengan style sheets ini
maka dapat dicapai produk yang benar, kualitas yang benar, kuantitas yang
benar, dan tepat waktu.
Isi dari style sheets ini antara lain:
1) Nama atau kode pemesanan
2) Nomor style/ artikel, nama model, jenis produk
3) Gambar produk berikut rincian warna dan kombinasinya
4) Jenis bahan berikut aksesorisnya
5) Jenis dan model aplikasinya (embroidery, printing, dsb)
6) Size spesifikasi

Berikut akan disajikan beberapa contoh bentuk style sheet yang ada di
industri garmen.

199
200
201
202
203
204
205
206
207
208
B. Sewing Detail
Sewing detail adalah lembaran kerja atau form yang memuat rincian
macam jahitan untuk pembuatan suatu produk, baik jahitan dasar maupun
jahitan tambahan dan jahitan dekorasi serta arah pemotongan bahan.

Contoh-contoh Sewing Detail:

209
C. Bill of Material (BOM)
Bill of material (BOM) adalah lembaran atau form yang merupakan
panduan bagi pengerjaan sebuah order produksi.
BOM ini berisi detail data mengenai:
1) Nomor style / artikel, jenis produk dan waktu pengiriman.
2) Size breakdown pesanan dan toleransi jumlah pengiriman.
3) Jenis dan spesifikasi kain berikut kebutuhannya.
4) Jenis dan spesifikasi asesoris berikut kebutuhannya.
5) Jenis dan spesifikasi bahan bantu berikut kebutuhannya.
6) Jenis dan spesifikasi perlengkapan packing berikut cara packingnya.
7) Carton marking.

210
Peraturan umum dan cara pengiriman produk jadi

Contoh-contoh BOM (Bill of Material):

211
212
D. Final Report
Final report adalah lembaran berbentuk form yang merupakan laporan
pertanggungjawaban merchandiser atas selesainya pengerjaan satu order
produksi. Laporan ini dibuat setelah produk selesai diproduksi dan
dikirimkan.
Isi dari form ini antara lain:
1) Nomor style / artikel produk
2) Size breakdown pesanan
3) Size breakdown cutting-an
4) Size breakdown produk yang dikirimkan kepada pemesan
5) Sisa produk yang tidak terkirim berikut alasan gagal kirim
6) Sisa bahan baku dan asesoris
7) Perhitungan biaya produksi
8) Keuntungan atau kerugian dalam pengerjaan order tersebut

213
BAB XI
FILLING

Pada bab ini akan dibahas tentang filling atau file yaitu kumpulan data
yang lengkap terkait dengan pengerjaan sebuah proses produksi dalam
bentuk satu rangkuman. Kelengkapan dan keteraturan sebuah file produksi
sangat berpengaruh dalam upaya mengurangi kemungkinan terjadinya
kesalahan dan demi pencapaian efektivitas dan efisiensi kerja produksi yang
tinggi. File ini dibuat dan didistribusikan oleh bagian merchandising ke bagian
produksi serta bagian quality assurance.
Isi file yang didistribusikan ini harus berisi antara lain:
(1) Order sheets
(2) Worksheet
(3) Surat Perintah Kerja (SPK)
(4) Comments sample
(5) Approval bahan baku, aksesoris, dan bahan bantu lainnya
(6) Lab test repor kain dan accessories (jika ada)
(7) Perubahan-perubahan model, rincian data dan atau cara pengerjaan
produksi
(8) Komunikasi-komunikasi antara supplier dan pemesan yang
berhubungan dengan proses produksi

Di halaman selanjutnya akan diberikan beberapa contoh file-file penting


yang dimasukkan dalam filling.
Contoh Worksheet:

215
216
Contoh Surat Perintah Kerja (SPK):

217
Contoh Lab Test Kain:

218
219
220
221
222
223
BAB XII
TIME ACTION CALENDAR (TAC)

Pada bab ini akan dipaparkan secara detail disertai contoh-contoh


tentang Time Action Calendar (TAC) yaitu perencanaan dan pengaturan
tahapan-tahapan proses produksi berdasarkan sumber dan kemampuan
yang tersedia untuk memastikan bahwa waktu penyelesaian produksi sesuai
dengan tenggat waktu (lead time) yang diberikan.
Time Action Calendar (TAC) adalah salah satu alat yang paling penting
untuk mengelola sebuah proyek. Kenapa dikatakan proyek, sebab di dalam
manufaktur garmen setiap pesanan tidak kurang dari sebuah proyek untuk
pedagang. Proses aktivitas di dalam garmen mulai dari menerima pesanan
(order) sampai penyelesaian (finishing) bahkan sampai pengiriman (shipping)
melibatkan sejumlah tugas dari berbagai durasi dan kebutuhan sumber daya.
Beberapa tugas datang satu demi satu dan lainnya bergerak pada saat yang
sama. Seperti misalnya jumlah proses dan banyaknya orang yang terlibat
untuk mencapai perintah. Selain itu, setiap pesanan adalah unik dalam hal
proses dan permintaan waktu. Jadi, rencana rinci dengan tanggung jawab
yang didefinisikan dengan baik adalah keharusan bagi setiap perintah untuk
menyelesaikannya sebelum waktu atau pada waktu yang telah ditentukan.
Biasanya pedagang/pihak industri garmen mempersiapkan rencana
dalam sebuah daftar spreadsheet proses secara menurun dalam satu kolom
dan tanggal yang direncanakan untuk mencatat setiap tindakan proses yang
dilakukan. Lembar perencanaan ini disebut waktu dan kalender tindakan
(Time Action Calendar= TAC). Setelah TAC dibuat, maka selanjutnya akan
mempermudah pedagang /pihak industri garmen untuk melakukan satu
persatu pekerjaaan yang telah ditentukan dalam TAC tersebut sesuai dengan
waktu yang telah ditentukan. Menurut TAC, proses jadwal dijalankan setiap
hari untuk melacak apakah perintah berada di trek atau mendapatkan
tertunda.

225
Bagaimana mempersiapkan TAC?
Ada dua format yang dapat digunakan untuk perencanaan TAC, yaitu:
1) Fomat untuk penjadwalan rinci pesanan/order dengan tanggung jawab
yang telah didefinisikan
2) Format untuk menindaklanjuti beberapa perintah dengan cepat.

Kedua format di atas tidak berarti harus digunakan semua pada waktu
yang sama. Hal ini tergantung pada individu/merchandiser garmen yang
akan menggunakannya, boleh menggunakan keduanya atau salah satu dari
dua. Tujuan utama dari penyusunan dan menjaga TCA adalah untuk
meningkatkan kinerja dalam mengelola proses sesuai rencana. Jika setiap
tahap order dikendalikan maka sebagian besar waktu yang ada dapat
digunakan untuk menyelesaikan pesanan secara tepat waktu.
Dalam format kalender TNA pertama (Format 1) perencanaan dibuat
untuk gaya tunggal dengan tugas rinci, jadwal, tanggung jawab pekerjaan,
dan komentar. Langkah yang harus diikuti selama pembuatan TCA
tercantum di bawah ini.

Format 1 Time Action Calendar

226
Langkah-langkah menyusun Format 1 TAC:
1) Buat tabel seperti format TAC di atas (Format 1) dalam spreadsheet di
komputer Anda.
2) Tambahkan header sesuai kebutuhan atau hanya menyalin format di atas.
3) Tambahkan rincian pesanan seperti, nama gaya, deskripsi gaya, tanggal
penerimaan order, tanggal ex-pabrik dan sebagainya.
4) Pada kolom "Proses Key" tulis proses secara menurun sesuai
kebutuhan. Kemudian menggunakan style detail untuk mengidentifikasi
semua proses kunci yang akan terlibat. Beberapa proses yang
disebutkan dalam tech pack dan komentar pembeli serta beberapa
proses, harus mudah dipahami dari style tersebut (contoh fisik).
5) Melakukan perencanaan ke belakang dan ke depan untuk memutuskan
tanggal yang direncanakan untuk tugas. Ambil saran dari kepala
departemen masing-masing untuk ketersediaan kapasitas dan
kebutuhan waktu untuk proses. Kemudian tambahkan tanggal terhadap
tugas. Diperlukan proses dimana beberapa hari perlu menambahkan
perencanaan untuk tanggal penyelesaian.
6) Perhatikan nama orang atau departemen yang bertanggung jawab untuk
tugas tersebut.
7) Tetapkan "tanggal realisasi awal dan akhir" pada kolom kosong selama
persiapan TCA.
8) Mencetak dan mendistribusikan salinan TCA untuk semua orang yang
telah disebutkan dalam “kolom tanggung jawab”.

227
Bagaimana Cara Menjaga TCA?

Beberapa praktisi garmen menyatakan bahwa mudah untuk membuat


TCA, tapi mempertahankan yang sama adalah tugas yang sangat sulit. Tapi
walaupun begitu pihak industri garmen harus selalu mempertahankannya
secara teratur. Jika tidak, tidak ada penggunaan TCA, dan akibatnya semua
pekerjaan dan target bisa tidak sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena
itu, cara untuk menjaga agar TAC dapat dilaksanakan dengan sebaik-
baiknya antara lain sebagai berikut:
1) Meminta tanda tangan dari orang yang bertanggung jawab ketika saat
mendistribusikan TCA kepada mereka. Hal ini diasumsikan bahwa
setelah mereka menandatangani mereka setuju pada rencana yang telah
dibuat dalam TAC, sehingga pada nantinya tidak ada yang
menunjukkan ketidaksetujuan atas rencana yang telah dibuat tersebut.
2) Mencetak masing-masing TCA, menggandakannya, dan
menyimpannya di meja merchandiser garmen untuk akses yang lebih
mudah.
3) Ketika seorang merchandiser garmen membuat perencanaan untuk
melakukan daftar kegiatan mengacu pada sekelompok kalender TCA,
maka pada saat yang sama perlu memperbarui setiap kalender dengan
menandai yang sudah dilakukan atau tidak dilakukan pada salinan
cetak.
4) Isi start aktual dan tanggal akhir untuk proses selesai.
5) Jika menemukan sesuatu semakin tertunda, maka perlu
memberitahukan ke departemen masing-masing atau orang yang
tersebut dalam TCA dan meminta alasan penundaan. Selanjutnya,
memeriksa apakah penundaan itu dikelola. Jika proses tertunda tidak
dikelola (lengkap pada tanggal jatuh tempo), proses selanjutnya akan
bergerak maju. Dalam hal ini, merchandiser garmen mungkin perlu
untuk membuat rencana baru untuk sisa tugas.
6) Memperbarui rencana baru yang ada di TCA asli dan memperbarui
spreadsheet TCA pada akhir hari. Jika pembaruan harian tidak mungkin
maka lakukanlah sesuai kenyamanan. Tapi itu harus dilakukan pada
interval reguler.

228
Dalam format kedua (Format 2), penjadwalan beberapa style dilakukan
di satu lembar. Ini membantu merchandiser garmen untuk menjaga mata
pada setiap pesanan/order dengan cepat. Semua proses kunci tercantum
dalam baris header dengan kolom untuk awal dan akhir dari proses. Terhadap
setiap style, format kedua ini memiliki dua baris untuk tanggal yang
direncanakan dan tanggal yang sebenarnya untuk tugas-tugas. Format untuk
mengurangi lembaran pesanan ketika pedagang menangani puluhan
pesanan tidak ada. Perbedaannya dengan format 1 adalah bahwa dalam
format 2 tidak menyimpan nama orang yang bertanggung jawab atau
departemen. Adapun format kedua (format 2) adalah sebagai berikut:

Format 2 Time Action Calendar (TAC)

229
DAFTAR PUSTAKA

Adang Karyana, S. & Ahmad Dimyati. (2011). Modul Teknik Pemeriksaaan


Barang Tekstil; Diklat Teknik Substantif Spesialisasi Teknik
Pemeriksaan. Jakarta: Kementerian Keuangan RI. Badan
Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Pusdiklat Bea dan Cukai.

A.K.M. Ashraf Uddin, Md. Mahmudul Hasan Khan, & S.M. Tanvir Ahmed.
(2012). Woven Garments Merchandising. Bangladesh: Daffodil
International University

Alex. T. Hidayat. (2014). Industri Fesyen (Garmen). Bandung: Referensi Mata


Kuliah Produksi dan Distribusi Fesyen di Sekolah Tinggi
Teknologi Tekstil - Bandung.

American Association Of Textile Chemists And Colorists (AATCC).


(2005). AATCC Technical Manual. Volume 80.

Anonim. (Th.-). Sistem perhitungan Biaya dan Akumulasi Biaya (Akuntansi


Biaya). Program Studi Akuntansi. Jurusan Pendidikan Ekonomi.
Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Universitas
Pendidikan Indonesia.

Ass Asmawati. (2008). Panduan Pembuatan Kemeja pada Industri Garmen


Modern. Materi Pelatihan Garmen.

Deden (2008). MATERI 1-2-3 AKBI II-Standard-Costing. Diakses pada


tanggal 15 Nopember 2015 dari
https://deden08m.files.wordpress.com/.../1-materi-1-2-3-4-5-
dan-6-akbi-

Donna Karan New York (DKNY). (2003). Garmen QualiTy Assurance


Manual, New York US

231
F Husna. (2012). Penentuan Harga Pokok Produksi pakaian Anak-Anak
Perempuan pada Konveksi Sinar Jaya Jakarta. Diakses pada tanggal 15
Nopemeber 2015 dari
publication.gunadarma.ac.id/bitstream/.../SLIDE %20
PRESENTATION.

Garment Partnership Indonesia-GPI. (2008). Fabric Sourcing Handbook.


Bandung: STTT & IGTC.

Goet Poespo. (2008). Pemilihan Bahan Tekstil. Yogyakarta: Kanisius.

Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia. (2009). Merchandising. Bandung:


Materi Pelatihan SDM Teknik Produksi Pakaian Jadi (Garmen).

Ishrat Zaman. (2013). Internship Report On Marchandising In Garments Industry.


Bangladesh: Beximco.

M. Riza Radiyanto.(Th.-). Modul 1-Peningkatan Produktivitas Industri Garmen.

Nathanael Suryadi. (2012). Perkembangan Industri Garmen dari Masa ke Masa.


Diakses pada tanggal 22 Oktober 2015 dari
http://nathanaelsuryadi.
blogspot.co.id/2012/03/perkembangan-industri-garmen-dari-
masa.html

Noor Ahmed Raaz. (2014). Fabric Consumption Calculation of Long Sleeve Woven
Shirt.

Noor Fitrihana & Widihastuti (2011). Pemilihan Bahan dan Pengendalian


Kualitas Busana. Yogyakarta: FT UNY.

Parckard, S., Winters, A.A., & Axelrod, N. (1983). Fashion Buying &
Merchandising. New York: Fairchild Publication.

232
Parckard, S., Axelrod, N. (1987). Concepts and Cases in Fashion Buying &
Merchandising. New York: Fairchild Publication.

Richard M Jones (2002). The Apparel Industry. Blackwell Science LTD


Australia.

Sahalie. (2009). Apparel Quality Guidelines. Norm Thompson Outfitters


Apparel Quality Guidelines.

Setyo Nugroho & Malik Cahyadin. (2014). Analisis Perkembangan Industri


Kreatif di Indonesia. Artikel Elektronik dipublikasikan.

Standar Nasional Indonesia Bidang Tekstil (SNI Tekstil)

Till Freyer & Celia, S. (2006). The Factory. Materi Pelatihan Garmen. Bogor:
IGTC.

Tina Martini, dkk. (2014). Perencanaan Perhitungan Kebutuhan Benang pada


Garmen T-Shirt untuk Gramasi Kain yang Berbeda. Jurnal INVOTEC.
Volume X, No. 1, Februari 2014: 89-100.

Widihastuti. (2013). Kumpulan Materi Merchandising versi PPt dan Elektronik.

Widihastuti. (2006). Quality Assurance and Quality Control for Garment


Manufacture (Jaminan Mutu dan Pengawasan/Pengendalian Mutu
Garmen dalam Proses Pembuatannya di Pabrik Garmen). Modul
Analisis Tekstil. Yogyakarta: Hibah Kompetisi A3 PKK FT
UNY.

233

Anda mungkin juga menyukai