Anda di halaman 1dari 9

Kasus 1: https://health.detik.

com/berita-detikhealth/d-4638350/distributor-nakal-bikin-obat-
palsu-salurkan-ke-197-apotek-di-jabodetabek

KASUS
Peredaran obat palsu kembali terjadi di Indonesia yang dilakukan Pedagang Besar Farmasi
(PBF) PT Jaya Karunia Investindo (JKI). Sebanyak 197 apotek di kawasan Jabodetabek menjadi
korban pelaku yang menggunakan modus repackaging. Obat generik dikemas menjadi obat
bermerk sehingga bisa dijual lebih mahal yang dilakukan juga pada obat kadaluwarsa.

Peredaran obat palsu sebetulnya bukan kasus baru yang kerap terjadi di masyarakat. Dalam kasus
ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan telah membekukan izin
operasional PBF PT JKI. Dalam siaran persnya, BPOM juga merekomendasikan pencabutan izin
PBF PT JKI pada Kementerian Kesehatan. Pelaku yang merupakan pemilik PBF PT JKI dan
produsen obat palsu sempat terkena kasus serupa pada 2018 Dalam kasus ini BPOM tidak
bersedia membuka daftar apotek yang disebut masuk dalam distribusi obat palsu. BPOM sendiri
sepakat repackaging adalah kejahatan yang merugikan masyarakat. Meski tidak menjelaskan
apotek yang menjadi korban obat palsu, BPOM memastikan menarik produk dari PBF JKI di
Jabodetabek, melakukan verifikasi produk dengan produsen obat, memusnahkan produk palsu,
dan melakukan pengawasan.
KODE ETIK
1. Berdasarkan Kode Etik Apoteker Indonesia BAB II tentang Kewajiban Apoteker Terhadap
Pasien
- Pasal 9 : “Seorang Apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian harus
mengutamakan kepentingan masyarakat, menghormati hak azasi pasien dan
melindungi makhluk hidup insani.”

PELANGGARAN
Pelanggaran pada kasus tersebut yaitu apotek lalai dalam pengawasan mutu obat dan
perdagangan obat di apotek tersebut. Sehingga terjadinya adanya pemalsuan obat.
Kajian pelanggarannya:
1. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1148/MENKES/PER/VI/2011
tentang Pedagang Besar Farmasi Pasal 13 ayat (1) yang berbunyi: “PBF dan PBF Cabang
hanya dapat mengadakan, menyimpan dan menyalurkan obat dan/atau bahan obat yang
memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan oleh Menteri.”
2. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 8
ayat (1) huruf a dan d yang berbunyi: Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan
standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan dan tidak sesuai
dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam
label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
3. Berdasarkan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 29
yang berbunyi: “Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan
profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.”
4. Berdasarkan Undang – undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 98 ayat (2)
dan (3) yang berbunyi:
(2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan,
menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat
obat.
(3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran
sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
5. Berdasarkan Undang – undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 106 ayat (1)
yang berbunyi: “Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat
izin edar.”

SANKSI
1. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 62
ayat (1) berbunyi: “Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”
2. Menurut Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 196 berbunyi:
“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan Farmasi
dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat
atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3)
dipidanan dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
3. Menurut Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 197 berbunyi:
“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan Farmasi
dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).”
Kasus 2 : https://kalsel.antaranews.com/berita/51020/dinkes-tanah-bumbu-cabut-izin-apotek-
nakal

KASUS
Batulicin, (Antaranews Kalsel) - Dinas Kesehatan Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan
Selatan, akan menutup apotek dan toko obat yang ada di "Bumi Bersujud" apabila tidak
mengikuti prosedur, dan menyalahi izin usaha dalam menjual obat.

Kepala Dinas Kesehatan Tanah Bumbu H. Damrah, di Batulicin, Senin, mengatakan


menindaklanjuti laporan dari masyarakat bahwa ada beberapa apotek di Kecamatan Satui
membuka praktik tidak sesuai dengan prosedur kefarmasian.

"Saat dilakukan sidak tim gabungan dari dinas kesehatan dan kepolisian menemukan tiga apotek,
BF, SF dan SNF menjual obat yang tidak sesuai dengan Harga Eceran Tertinggi (HET),"
katanya.

Selain menjual obat dari HET, apotek tersebut tidak memperpanjang izin usahanya dan tidak
memiliki asisten apoteker sebagai syarat utama dalam perijinan apotek sesuai peraturan
perundangan yang berlaku.

Pada saat sidak ke apotek tersebut tim bertugas juga menemukan krim racikan yang tidak
memiliki izin serta dikerjakan bukan oleh tenaga apoteker atau dokter tetapi dikerjakan oleh
tenaga yang tidak sesuai dengan bidangnya.
"Hal ini sangat membahayakan bagi masyarakat, dikhawatirkan apabila ada masyarakat yang
membeli obat di apotik tersebut akan tetapi penjaga apoteknya tidak memahami kegunaan dan
dosis obat yang akan diberikan bisa menimbukan bahaya bagi pasien," katanya.

Ditegaskan, Dinas Kesehatan Tanah Bumbu tidak main-main dalam melaksanakan sidak ini,
selain memantau apotek dan toko obat secara administrasi, pihaknya bersama kepolisian terus
mengawasi dan menyelidiki peredaran obat-obatan yang marak disalahgunakan.

Sementara, bagi pelaku yang melanggar undang-undang kefarmasian akan tutup dan tidak
diperbolehkan operasi selama opotek tersebut belum memiliki tenaga ahli apoteker dan
melakukan perpanjangan izin dagang obat dari Dinas Kesehatan.

KODE ETIK
1. Berdasarkan Kode Etik Apoteker Indonesia BAB I tentang Kewajiban Umum
- Pasal 3 : “Seorang Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai
kompetensi Apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh
pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya.”
- Pasal 5 : “Di dalam menjalankan tugasnya seorang Apoteker harus menjauhkan diri
dari usaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan
tradisi luhur jabatan kefarmasian.”
2. Berdasarkan Kode Etik Apoteker Indonesia BAB II tentang Kewajiban Apoteker
Terhadap Pasien
- Pasal 9 : “Seorang Apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian harus
mengutamakan kepentingan masyarakat, menghormati hak azasi pasien dan
melindungi makhluk hidup insani.”

PELANGGARAN
Pelanggaran pada kasus tersebut yaitu Apotek tidak memperpanjang izin usahanya dan tidak
memiliki Asisten Apoteker padahal itu sebagai syarat utama dalam perizinan Apotek. Salah
satu apotek juga meracik krim yang tidak memiliki izin dan yang meracik adalah perawat
bukan apoteker atau dokter. Dan juga salah satu toko obat menjual obat KB suntik dan pil
padahal izin toko tersebut tidak memperbolehkan menjual produk tersebut. Sehingga dari
pelanggaran itu semua apotek dan toko obat dicabut izin edarnya.
Kajian pelanggarannya:
1. Berdasarkan Pasal 106 ayat (1) Undang – undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1010/MENKES/PER/XI/2008
tentang Registrasi yang berbunyi : “Obat menyatakan bahwa sediaan farmasi dan alat
kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar. Dengan adanya izin edar
dari Badan POM menunjukan bahwa obat tersebut layak dikonsumsi serta memenuhi
persyaratan keamanan, khasiat/manfaat,dan mutu. Apabila ada obat yang tanpa
diregistrasi terlebih dahulu maka obat tersebut adalah obat illegal.”
2. Berdasarkan Undang-Undang tentang kesehatan No.36 Tahun 2009 Pasal 106 ayat (3)
yang berbunyi: “Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan
penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin
edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan
dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.”
3. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian
a. Pasal 1 ayat (13) yang berbunyi : “Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian
tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker.”
b. Pasal 20 yang berbunyi “ Dalam menjalankan kefarmasian pada fasilitas pelayanan
kefarmasian, Apoteker dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/atau Tenaga
Teknis Kefarmasian.”

SANKSI
1. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1799/MENKES/PER/XII/2010 Tentang Industri Farmasi pada Pasal 26 ayat (1) yang
berbunyi:
i. Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan ini dapat dikenakan sanksi
administratif berupa:
a. Peringatan secara tertulis;
b. Larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk
penarikan kembali obat atau bahan obat dari peredaran bagi obat atau bahan
obat yang tidak memenuhi standar dan persyaratan keamanan,
khasiat/kemanfaatan, atau mutu;
c. Perintah pemusnahan obat atau bahan obat, jika terbukti tidak memenuhi
persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu;
d. Penghentian sementara kegiatan;
e. Pembekuan izin industri farmasi; atau
f. Pencabutan izin industri farmasi.
2. Menurut Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 197
berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
Farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
rupiah).”
Kasus 3 : https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170914194844-12-241823/apoteker-jadi-
tersangka-kasus-obat-pcc-di-kendari

KASUS
"Tersangka ditangkap di tempat terpisah dan waktu yang berbeda. Dua tersangka berprofesi
sebagai apoteker dan asisten apoteker," kata Rikwanto, Kamis (14/9) dalam keterangan tertulis.

Polisi juga telah menyita sejumlah barang bukti dari tangan tersangka, antara lain sebanyak
2.631 butir PCC, uang senila Rp735 ribu, sebanyak 2.800 buah plastik klip, dan sebanyak
delapan buah toples putih.

Kasus ini bermula dari adanya 30 pesien yang berobat ke Rumah Sakit Jiwa Kendari dengan
dugaan keracunan obat-obatan kemarin.

Dari hasil pemeriksaan salah satu pasien berinisial A (17 tahun), diketahui ia sebelumnya
mengonsumsi obat jenis PCC sebanyak lima butir yang dibeli dari salah satu tukang parkir pusat
perbelanjaan, Rabam Mall.

"Sebanyak 30 orang, dengan rincian 26 orang pasien laki-laki dan empat orang pasien
perempuan," kata Rikwanto.


KODE ETIK
1. Berdasarkan Kode Etik Apoteker Indonesia BAB I tentang Kewajiban Umum
- Pasal 3 : “Seorang Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi
Apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip
kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya.”
- Pasal 5 : “Di dalam menjalankan tugasnya seorang Apoteker harus menjauhkan diri dari
usaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi
luhur jabatan kefarmasian.”
2. Berdasarkan Kode Etik Apoteker Indonesia BAB II tentang Kewajiban Apoteker Terhadap
Pasien
- Pasal 9 : “Seorang Apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian harus mengutamakan
kepentingan masyarakat, menghormati hak azasi pasien dan melindungi makhluk hidup
insani.”
3. Berdasarkan Kode Etik Apoteker Indonesia BAB V tentang Penutup
- Pasal 15 : “Seorang Apoteker bersungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode
Etik Apoteker Indonesia dalam menjalankan tugas kefarmasiannya sehari-hari. Jika
seorang Apoteker baik dengan sengaja maupun tak sengaja melanggar atau tidak
mematuhi Kode Etik Apoteker Indonesia, maka dia wajib mengakui dan menerima sanksi
dari pemerintah, ikatan / organisasi profesi farmasi yang menanganinya (IAI) dan
mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.”

PELANGGARAN
Pelanggaran pada kasus tersebut yaitu apoteker dan asisten apoteker telah mengedarkan obat
jenis PCC dan obat keras lainnya tanpa izin edar.
Kajian pelanggarannya:
1. Berdasarkan Pasal 106 ayat (1) Undang – undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
dan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1010/MENKES/PER/XI/2008 tentang
Registrasi Obat menyatakan bahwa sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan
setelah mendapat izin edar. Dengan adanya izin edar dari Badan POM menunjukan bahwa
obat tersebut layak dikonsumsi serta memenuhi persyaratan keamanan,khasiat/manfaat,dan
mutu. Apabila ada obat yang tanpa diregistrasi terlebih dahulu maka obat tersebut adalah
obat illegal.
2. Berdasarkan Undang – undang Republik Indonesia No.8 Tahun 1999 Tentang perlindungan
kosumen
a. Pasal 8 ayat (1) huruf (a) yang berbunyi : “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang dan/atau jassa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan
standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang – undangan”
b. Pasal 8 ayat (4) berbunyi : “Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan
ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib
menariknya dari peredaran.
SANKSI
1. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 62
ayat (1) berbunyi: “Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”
2. Menurut Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 196 berbunyi:
“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan Farmasi
dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat
atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3)
dipidanan dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
3. Menurut Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 197 berbunyi:
“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan Farmasi
dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).”

Anda mungkin juga menyukai