Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

MEMAHAMI KONSEP TENTANG PROBLEM AUTENTISITAS HADITS

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Al-Qur’an dan Al-Hadits

Dosen Pengampu:

Dr. H. Muhammad Muntahibun Nafis, M. Ag

Oleh:

Afifah Kulsum Az Zahroh 125062040003

Fatkhur Rahmawati 12506204011

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

PASCASARJANA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG

DESEMBER 2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah Swt. Yang telah
memberikan karunia kepada kita semua, hingga kita tidak dapat mampu menghitung
karunia dari Allah Swt. Sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini
tepat pada waktunya. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi
Muhammad Saw. Atas bimbingannya kepada kita semua untuk senantiasa berada pada
jalan kebajikan, jalan islam yang mulia. Dalam kesempatan ini, penulis hendak
mengucapkan terima kasih kepada dosen Pengampu Makalah ini di susun guna
melaksanakan tugas pada Mata kuliah Studi Al-Qur’an dan Hadits Dosen Pengampu Dr.
H. Muhammad Muntahibun Nafis, M.Ag.

Dalam penulisan makalah ini penulis sangat menyadari akan keterbatasan ilmu
pengetahuan yang dimiliki. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca maupun bagi penulis
sendiri. Amin.

Trenggalek, 12 Desembr 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul ................................................................................................................ i

Kata Pengantar...............................................................................................................ii

Daftar Isi .......................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1

A. Latar Belakang ................................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 1
C. Tujuan ................................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................... 3

A. Problem autentisitas hadits ................................................................................ 3


B. Problem autentisitas hadits yang dimunculkan oleh orientalis .......................... 3
C. Pandangan tokoh orientalis tentang autentisitas hadits ..................................... 5
D. Mendeteksi keautentisitasan hadits ................................................................. 12

BAB III KESIMPULAN ............................................................................................. 14

DAFTAR PUSAKA .................................................................................................... 15

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits secara harfiah berarti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi Islam
perkataan dimaksud adalah perkataan dari Nabi Muhammad SAW. Namun sering kali
kata ini mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan sunnah sehingga
berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi
Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama. Hadits
sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan
sumber hukum dibawah Al Qur'an.
Pada masa sekarang umat Islam dapat mempelajari hadits melalui kumpulan
hadits-hadits Rasulullah yang telah dibukukan. Mengetehui konsep problem
autentisitas hadits sangat penting karena jarak dari penyampaian hadist oleh
Rasulullah dengan pembukuan hadits itu sendiri sangat jauh sehingga hal tersebut
mengakibatkan munculnya pertanyaan-pertanyaan tentang keautentisitasan dari suatu
hadits.
Kajian tentang autesitisitas hadits ini juga mendapaatkan perhatian besar dari
kaum orientalis (outsider) seperti Sprenger, Ignaz Goldjiher, Montgomery Watt,
Joseph Schacht dan yang lain sebagai penentang yang berusaha untuk membuktan
bahwa hadits merupakan kumpulan dari cerita bohong yang cukup menarik.1 Oleh
karena itu sebagai umat islam kita harus memahami bagaimana konsep autentisitas
hadits untuk menjawab dari para kaum orientalis dan juga menjawab tentang
keilmuan modern yang menyangkut tentang problem keautentisitasan hadits.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian dari problem autentitas hadits?
2. Bagaimana problem autentisitas hadits yang dimunculkan oleh kaum orientalis?
3. Bagaimana pandangan tokoh orientalis terhadap autentisitas hadits?
4. Bagaimana cara mendeteksi keautentisitasan hadits?

1
Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis: Telaah Atas Pandangan Ignez Goldziher dan
Josseph Scacht, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hal. 96

1
C. Tujuan
1. Untuk menganalisis pengertian dari problem autentisitas hadits
2. Untuk menganalisis problem autentisitas hadits yang dimunculkan oleh kaum
orientalis
3. Untuk menganalisis pandangan tokoh orientalis terhadap problem autentisitas
hadits
4. Untuk menganalisis cara yang digunakan untuk mendeteksi keauentisitasan dari
hadits

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Problem Autentisitas Hadits
Problem autentisitas hadits adalah masalah-masalah yang dimunculkan untuk
menyelidiki apakah hadits yang kita terima saat ini otentik atau tidak. Problem
autentisitas hadits banyak dikaji oleh para ilmuan non-muslim yang ingin
membuktikan bahwa hadits yang dipakai sebagai sumber hukum Islam tidak dapat
dipercaya atau sudah tidak orisinil.
Konsep problem autentisitas hadits dipandang sangat penting karena hadits
merupakan sumber hukum Islam kedua stelah al-Qur’an. Selain itu hadits dianggap
sebagai kunci dalam memahami al-Qur’an, karena untuk memahami al-Qur’an secara
syamil maka dibutuhkan hadits sebagai bayan.2 Namun, berbeda dengan al-Qur’an,
hadits tidak memiliki garansi langsung dari Allah akan keterpeliharaannya.
Maraknya gugatan atas hadits berawal dari sejarah bahwa hadits tidak terdokumentasi
secara resmi sejak awal peradaban muslim, hadits baru dibukukan secara resmi jauh
setelah Nabi SAW wafat, yaitu masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, sehingga untuk
mengatakan hadits sebagai suatu sumber yang otentik sebagaimana al-Quran perlu
pengkajian yang mendalam. Sebagai konsekuensinya, muncullah para pembela hadits
untuk melakukan pembelaan terhadap setiap pendapat yang mencoba meragukan atau
bahkan menolak sama sekali terhadap kemungkinan hadits-hadits yang benar-benar
otentik dari Nabi SAW.

B. Problem Autentisitas Hadits oleh Kaum Orientalis


Masalah tentang autentisitas hadits ini banyak dikaji oleh kaum orintalis yang
meragukan kedudukn hadits sebagai sumber hukum bagi umat Islam. Orientalisme
adalah studi Islam yang dilakukan oleh orang-orang Barat. Kritikus orientalisme
bernama Edward W Said menyatakan bahwa orientalisme adalah suatu cara untuk
memahami dunia Timur berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman
manusia Barat Eropa.3

2
Khairuman, Badri. Otentisitas Hadits; Studi Kritis atas Kajian Hadits Kontemporer. (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 27
3
Edward W Said, Orientalisme, Terj. Asep Hikmat (Bandung: Pustaka Salman, 1996).

3
Secara bahasa orientalisme berasal dari kata orient yang artinya timur. Secara
etnologis orientalisme bermakna bangsa-bangsa di timur, dan secara geografis
bermakna hal-hal yang bersifat timur, yang sangat luas ruang lingkupnya. Orang yang
menekuni dunia ketimuran ini disebut orientalis. Menurut Grand Larousse
Encyclopedique seperti dikutip Amin Rais, orientalis adalah sarjana yang menguasai
masalah-masalah ketimuran, bahasabahasanya, kesusastraannya, dan sebagainya.
Karena itu orientalisme dapat dikatakan merupakan semacam prinsip-prinsip tertentu
yang menjadi ideologi ilmiah kaum orientalis.4
Diantara orientalis yang pertama kali mempersoalkan autentisitas hadits adalah
Alois Sprenger, dalam tesisnya dia mengatakan bahwa hadits adalah palsu karena
merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik). Kemudian
menurut William Muir yang merupakan teman sejawatnya, nama Nabi Muhammad
SAW sengaja dicatat untuk menutupi bermacam-macam kebohongan dan keganjilan.
Oleh karena itu ia berpendapat bahwa dari 4.000 hadits yang dianggap shahih oleh
Bukhari paling tidak separuhnya harus ditolak. Sementara itu, Ignaz Goldjiher
berpendapat bahwa hadits Nabi SAW sesungguhnya merupakan hasil evolusi social
historis Islam abad kedua Hijriyah. Menurutnya, sedikit sekali hadits yang benar-
benar asli berasal dari Nabi SAW. Ini artinya Ignaz Goldjiher berusaha memasukkan
virus keraguan dalam pikiran umat Islam mengenai otentisitas hadits, kalaupun toh
ada itu sangat sedikit sekali.
Studi hadits di kalangan sarjana Barat berbeda dengan studi hadits yang dilakukan
oleh para sarjana Timur Tengah maupun di Indonesia. Sarjana Timur Tengah dan di
Indonesia menekankan metode takhrij al-Hadits untuk membuktikan keautentisitasan
suatu hadits, sedangkan para Sarjana barat mempelajari hadits berdasarkan
historisitasnya dengan melakukan penanggalan (dating). 5 Setidaknya terdapat empat
metode penanggalan yang telah digunakan dalam kesarjanaan hadits oleh sarjana
non–Muslim Barat, yaitu sebagai berikut: Pertama, penanagalam atas dasar analisis
matan oleh Ignaz Goldziher dan Marston Speight. Kedua, penanggalan atas dasar
analisis sanad, secara khusus dikembangkan oleh Joseph Schacht dan
G.H.A.Juynboll. Ketiga, penanggalan atas dasar kitab-kitab koleksi hadis,

4
M. Amien Rais, Cakrawala Islam, (Bandung: Mizan, 1986). hal. 234
5
Koaruddin Amin, Diskursus Hadits di Jerman, Diakses melalui
http://islamlib.com/kajian/diskursus-hadis-di-jerman/ pada tanggal 18 Desember 2020

4
dipraktekkan oleh Schacht dan Juynboll. Dan keempat adalah penanggalan atas dasar
analisis sanad dan matan yang ditawarkan oleh Harald Motzki dan G.Schoeler.6

C. Pandangangan Tokoh Orientalis tentang Autentistas Hadits


Pada makalah ini penulis akan menuliskan pemikiran dari tiga tokoh orientalis
tentang hadits. Tiga tokoh tersebut adalah Ignaz Goldziher, Joseph Scacht, dan Harald
Motzki:
1. Ignaz Goldziher
Tokoh Orientalis tersebut adalah orientalis Hungaria yang dilahirkan dari
keluarga Yahudi, pada tahun 1850 M. Ia belajar di Budapest, Berlin dan Liepzig.
Pada tahun 1873 ia pergi ke syria dan belajar pada Syeikh Tahir al-Jazairi.
Kemudian dia pindah ke Palestina, lalu ke Mesir ia belajar dari sejumlah ulama
al-Azhar. Sepulangnya dari al-Azhar ia diangkat menjadi guru besar di
Universitas Budapset.
Menurut Prof. Dr. Muhammad Mustafa Azami, Goldziher barangkali
adalah orientalis yang melakukan kajian tentang Hadis. Baru kemudian disusul
oleh orientalis-orientalis yang lainnya seperti J. Schacht, Juynboll dan lain-lain.
Dan Ignaz Goldziher berkesimpulan bahwa apa yang disebut Hadis itu diragukan
otentisitasnya sebagai sabda Nabi saw. Dan dia menuduh bahwa penelitian Hadis
yang lakukan oleh ulama klasik tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
karena kelemahan metodenya. Hal itu karena ulama lebih banyak mengunakan
metode Kritik Sanad, dan kurang menggunakan Kritik Matan. Karenanya,
Goldziher kemudian menwarkan metode kritik baru yaitu Kritik Matan saja7
Sebenarnya para ulama klasik sudah menggunakan metode kritik matan,
hanya saja apa yang dimaksud metode kritik matan oleh Goldziher itu berbeda
dengan metode kritik matan yang dipakai oleh para ulama. Menurutnya, kritik
matan matan itu mencakup berbagai aspek, seperti politik, sains, sosiokultural dan
lain-lain. Ia mencotohkan sebuah hadis yang terdapat dalam kitab Shahih al-
Biakhari, dimana menurutnya, al-Bukhari hanya melakukan kritik sanad dan tidak
melakukan kritik matan. Sehingga setelah dilakukan kritik matan oleh Goldziher,

6
Kamarudin Amin, Metode Kritik hadis, (Jakarta: PT Mizan Publika, 2009), hal. 85.
7
M. M. Mustafa, Manhaj al-Naqad ‘inda ‘ala Muhaditsin (Riyadh: syirkah al-Tiba’ah al-‘Arabiyah,
1982), hal. 127

5
Hadis tersebut tersebut palsu. Hadis tersebut berbunyi, “Tidak diperintahkan
pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al-Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid
al-Aqsa”8menurut Goldziher, Abd al-Malik bin marwan (Khalifah dari Dinasti
Umayyah di Damaskus) merasa khawatir apabila Abdullah bin al-Zubair (yang
memproklamirkan dirinya sebagai Khalifah di Makkah) mengambil kesempatan
dengan menyuruh orang-orang Syam (Syiria dan sekitarnya) yang sedang
melakukan ibadah haji di Makkah untuk berbaiat (sumpah prasetia) kepadanya.
Karenanya Abd al-Malik bin marwan berusaha agar orang-orang Syam tidak lagi
pergi ke Makkah, tetapi cukup hanya pergi ke Qubbah Shakhra di al-Quds yang
pada saat itu menjadi wilayah Syam.
Maka dari itu semua, untuk mewujudkan usaha yang bersifat politis ini,
Abd al-Malik bin marwan menugaskan Ibnu Shihab al-Zuhri agar ia membuat
Hadis denga sanad yang bersambung kepada Nabi saw, dimana isinya ummat
Islam tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid tersebut.
Jadi kesimpulannya, Hadis tersebut tidak shahih, karena ia bikinan Ibnu
Shihab al-Zuhri, dan bukan sabda Nabi saw, meskipun Hadis tersebut tercantum
dalam kitab Shahih al-Bukhari yang diakui otentisitasnya oleh umat Islam,
bahkan diakui sebagai kitab yang paling otentik sesudah al-Qur’an.
Pemikiran Goldziher telah disanggah oleh tiga ahli Hadis kontemporer.
Masing-masing adalah Prof. Dr. Mustafa al-Siba’i (Guru besar Univesitas
Damaskus) dsalam bukunya al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islam,
Prof. Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib dalam bukunya al-Sunnah qabla al-
Tadwin, dan Prof. Dr. M. M. Azami (Guru besar Ilmu Hadis Universitas King
Suud Riyadh) dalam bukunya Studies in Early Hadith Literature.
Menurut Azami, tidak ada bukti-bukti historis yang mempertahankan teori
Goldziher, bahkan justru kebalikannya. Para ahli tarikh berbeda pendapat tentang
kelahiran al-Zuhri, antara 50 sampai 58 H. Al-Zuhri juga belum pernah bertemu
Abd al-Malik bin Marwan sebelum tahun 81 H. Pada tahun 68 H orang-orang
Dinasti Umayyah berada di Makkahpada musim haji. Dari sini Azami
berkesimpulan bahwa Abd al-Malik bin Marwan baru berfikir membangun

8
Muhammad Isma’il Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Suliman al-Mar’ie,Singapore, tth, i/206.

6
Qubbah Shakhra yang konon akan dijadikan pengganti Ka’bah itu pada tahun 68
H.
Apabila demikian halnya, maka al-Zuhri pada saat itu baru berumur 10
sampai 18 tahun. Karenanya sangat tidak logis seorang anak baru berumur belasan
tahun sudah populer sebagai sorang intelektual dan memiliki reputasi ilmiah di
luar daerahnya sendiri, di mana ia mampu mengubah pelaksanaan ibadah haji dari
Makkah ke Jerussalem. Lagi pula di Syam pada saat itu masih banyak terdapat
para Sahabat (generasi sesudah Nabi saw) dan para Tabi’in (generasi sesudah
Sahabat), dimana mereka tidak mungkin diam saja melihat kejadian tersebut.
Dan argumen lain yang juga meruntuhkan teori Goldziher adalah teks
Hadis itu sendiri sebagaiman termaktub dalam kitab Shahih al-Bukhari. Di situ
tidak ada isyarat pun yang menunjukkan bahwa ibadah haji dapat dilakukan di al-
Quds. Yang ada adalah isyarat pemberian „keistimewaan‟ kepada masjid al-Aqsa.
Dan itu wajar karena mengingat masjid tersebut pernah dijadikan kiblat pertama
umat Islam.

2. Joseph Scacht
Prof. Dr. Joseph Schacht dilahirkan di Silsie Jerman 1902. Karirnya
sebagai orientalis diawali dengan belajar theologi dan bahasa-bahasa timur di
Universitas Berslauw dan Leipzig. Bergelar doktor dari Universitas Berslauw
tahun 1923, ketika berumur 21 tahun. Pada tahun 1925 ia diangkat dosen di
Universitas Fribourg, dan pada tahun 1929 ia dikukuhkan sebagai Guru Besar.
Pada tahun 1932 ia pindah ke Universitas Kingsbourg, dan dua tahun kemudian
ia meninggalkan negrinya Jerman untuk mengajar Tata Bahasa Arab dan bahasa
Suryanidi Universitas Fuad Awal (kini Universitas Cairo) di Cairo Mesir. Ia
tinggal di Cairo sampai tahun 1939 sebagai Guru Besar.9
Pandangan Scacht dalam studi hadits banyak mendapatkan perhatian oleh
berbagai kalangan. Studi hadits yang dilakukan oleh Scacht ini banyak mengkaji
tentang hukum fiqih yang bertitik tolak dari sistem sanadnya. Sanad (sandaran)
atau isnad (penyanggah) yang dalam ilmu hadits dimaknai sebagai silsilah

9
Herin Fahri, Kontroversi Tentang Al-Hadits dan Upaya Ulama untuk Membela Otentitasnya,
(Jurnal Studi Keislaman: Al-Hikmah, volume 4 nomor 1, 2014), hal. 82

7
(rangkaian), mulai dari sumber pertama sampai yang terakhir, yang atas mereka
keaslian sebuah hadits disandarkan, menurut Schacht, otentisitasnya sangat
diragukan. Selanjutnya, pandangannya yang nyeleneh adalah dengan mengatakan
bahwa adanya isnad adalah hasil buatan ulama mutakhirin dan sangat
mengandung kemungkinan salah, karena menurut dia, isnad itu baru muncul pada
abad kedua dan ketiga Hijriyah.10
Kajiannya Scacht terhadap hadits dilakukan melalui penelitiannya
terhadap kitab al-Muwatta’ karya Imam Malik dan karyanya Imam Syaibani, serta
kitab al-Umm dan al-Risalah kitabnya Imam Syafi’i.11 Menunrut Azami, kitab-
kitab ini lebih layak di disebut kitab-kitab fiqih dari pada kitab-kitab Hadits sebab
kedua jenis buku tersebut memiliki karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu,
meneliti hadits yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih hasilnya tidak akan tepat.
penelitian Hadihs harus pada kitab-kitab hadits.12
Adapun perbedaan yang cukup mendasar dari kajian fiqih dan hadits
adalah dalam kitab-kitab fiqih biasanya terjadi pembuangan sebagian sanad untuk
mempersingkat pembahasan, oleh karenanya cukup disebutkan bagian dari matan
yang berkaitan dengan pembahasan, membuang sanad seluruhnya, dan langsung
menyebutkan hadits dari sumber pertama (Rasululullah SAW), penggunaan kata
“sunnah” untuk menunjuk kepada perbuatan Nabi SAW tanpa menyebut hadits
dan sanadnya.13
Lebih lanjut Azami berkesimpulan bahwa dalam penelitiannya, Schacht
tidak memperhatikan poin-poin diatas, sehingga dia berkesimpulan bahwa sanad
itu bikinan para ulama belakangan, padahal dalam kenyataannya, kitab-kitab fiqih
dan kitab-kitab biografi tidak dapat dijadikan sebagai obyek penelitian sanad
hadits, baik ditinjau dari gejala adanya sanad itu sendiri, pertumbuhannya,
maupun perkembangannya.14

10
Rahman, Fazlur dkk, Wacana Studi Hadits Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hal.
65
11
M. M. Azami, Disarasat fi al-Hadits al-Nabawi wa aTarikh Tadwinih, Juz II (Beirut: al-Maktab
al-Islami, 1980), hal. 392.
12
ibid
13
Abdurrahman, M. Pergeseran Pemikiran Hadits; Ijtihad al Hakim dalam Menentukan Status
Hadits. (Jakarta: Paramadina, 1999), hal. 101-102
14
M.M. Azami, Menguji Keaslian Hadits-Hadits Hukum; Sanggahan atas The
Origins of Muhammadan Jurisprudence Joseph Schacht. (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2004), hal. 246

8
Beberapa pendapat Scacht tentang sistem isnad adalah sebagai berikut:
a. Sistem isnad dimulai pada awal abad kedua atau paling awal akhir abad
pertama15
b. Isnad-isnad itu diletakkan secara sembarangan dan sewenang-wenang oleh
mereka yang ingin mencari legitimasi atas sanad-sanad awal dan juga doktrin
klasik

Menurut Scacht isnad-isnad itu meningkat secara bertahap oleh pemalsunya,


isnad yang tidak lengkap sebelumnya dilengkapi pada waktu koleksi-koleksi
klasik. Sumber-sumber tambahan diciptakan pada masa Syafi’i untuk menjawab
penolakan-penolakan yang dibuat untuk hadits-hadits yang dilacak ke belakang
sampai pada satu sumber.16

Teori utama Schacht lainnya bahwa isnad-isnad baru dan sumber-sumber


tambahan dibuat dengan tujuan mempertegas suatu doktrin dengan bukti yang
benar-benar independen. Schacht berkesimpulan bahwa dalam teori ini adanya
rawi-rawi tambahan itu dengan adanya perbaikan dan pertumbuhan ke belakang,
isnad-isnad itu terus menyebar, maka pembuatan sumber-sumber atau periwayat-
periwayat tambahan untuk doktrin atau hadits yang sama adalah untuk menjawab
keberatan yang biasa digunakan terhadap hadits yang terisolasi.17

Selanjutnya menurut teori Scacht semua isnad keluarga adalah palsu, karena
dimungkinkan disana adanya perencanaan atau kongkalikong antar keluarga
untuk menciptakan suatu hadits.18

Dalam ulum al hadits, hal ini dikatakan riwayat yang disebut ‘Alaqat Ruwat’
yang didalamnya ada riwayat dari keluarga, seperti periwayat dari saudara, anak
dari bapak atau sebaliknya. Semua itu diteliti dengan sedemikian rupa oleh para
muhadditsin dengan melewati jarh wa ta’dil. Diantara yang telah membahas
seberapa pentingnya riwayat ‘keluarga’ adalah Ibnu Shalah peletak batu pertama
teori dan macam-macam hadits dalam karangannya “Muqaddimah Ibnu Shalah”.

15
M.M. Azami, Menguji Keaslian…, hal. 233
16
M.M. Azami, Menguji Keaslian… hal. 258
17
Siti Fahimah, Sistem Isnad dan Otentisitas Hadits: Kajian Orintalis dan Gugatan Atasnya,
(Jurnal Ulul Albab volume 15 no. 2, 2014), hal. 215
18
M.M. Azami, Menguji Keaslian…hal. 279

9
Dengan demikian maka tidak bisa dikatakan dengan mudah bahwa sanad atau
riwayat keluarga adalah palsu. Demikian juga dalam masalah periwayatan hadits,
walaupun hadits diriwayatkan dari keluarga, hal itu tidak mengurangi ketelitian
para periwayat untuk menilainya dengan adil, sehingga tidak relevan lagi kalau
Schacht mengatakan bahwa semua sanad keluarga adalah palsu dan tidak
terbukti.19

Penolakan Schacht terhadap teori sistem isnad sebenarnya dimaksudkan


untuk ‘mendongkel’ otoritas sunnah yang oleh kaum muslim dijadikan salah satu
sumber ajaran. Jika dia gagal menyerang dan meragukan al Quran, maka sasaran
empuknya adalah sunnah Nabi SAW. Untuk menyerang sunnah Nabi SAW, maka
sistem isnad yang menjadi jalan sampainya sunnah ke kita, dia ragukan bahkan
ditolaknya sama sekali. Tampaknya dalam hal ini, Schacht sengaja meng abaikan
kesaksian dan pernyataan al Quran yang memerintahkan umat Islam untuk
mengikuti sunnah Nabi SAW.20

3. Harald Motzki
Harald Motzki lahir pada tahun 1948. Ia adalah seorang orientalis yang
menjadi Guru Besar sekaligus Profesor di Institut Bahasa dan Budaya dari Timur
Tengah, Universitas Nijmegen, Belanda. Motzki adalah sosok yang dikenal para
pemerhati orientalisme sebagai sosok yang banyak mengkaji hadis sejarah yang
berhubungan dengan sirah, metode pencermatan Motzki terhadap hadis lebih
didominasi penelitiannya terhadap sisi sejarah hadis itu sendiri.21
Teori-teori Harald Motzki berangkat dari sanggahan beliau terhadap
interpretasi Juynboll yang menilai Common Link (CL) sebagai pemalsu hadis.
Common Link adalah istilah untukseorang periwayat hadis dari (jarang lebih dari)
seorang yang berwenang dasn lalu ia menyiarkannya kepada kepada sejumlah
murid yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka menyiarkan lagi kepada dua
atau lebih muridnya. Dengan kata lain, Common Link adalah periwayat tertua
yang disebut dalam berkas isnad yang meneruskan hadis kepda lebih dari satu

19
Siti Fahimah, Sistem Isnad dan Otentisitas Hadits: Kajian Orintalis dan Gugatan Atasnya,
(Jurnal Ulul Albab volume 15 no. 2, 2014), hal. 215
20
Siti Fahimah, Sistem Isnad dan Otentisitas Hadits… hal. 216
21
Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hlm. 175.

10
murid. Dengan demikian, ketiaka berkas isnad hadis mulai menyebar untuk
pertama kalinya maka disanalah ditemukan Common Link-nya.22
Menurut Motzki tidak selalu Common Link tersebut dapat dikatakan
sebagai pemalsu hadis selama belum ditemukan data sejarah yang yang
menunjukkan beliau sebagai pemalsu hadis. Oleh karena itu menurut Motzi
Common Link tersebut lebih relevan dikatakan sebagai penghimpun hadis yang
pertama, yang berperan sebagai perekam dan meriwayatkannya ke dalam kelas-
kelas reguler, dan dari kelas- kelas itulah sebuah sistem belajar yang terlembaga
dan berkembang.23
Pada prinsipnya meskipun penafsiran Motzki pada teori common link
berbeda dengan dengan pemahaman Schacht dan Juynboll, di sisi lain beliau juga
cenderung mengakui sistem isnad secara umum dan sistem common link secara
khusus dapat digunakan untuk tujuan-tujuan penanggalan.24
Kajian terhadap otentifikasi hadis yang dilakukan Harald Moztki adalah
berangkat dari analisis dating yang dilakukan Motzki terhadap Kitab al-Musannaf
Karya Abdurrazzaq As-Shan’ani. Moztki menilai bahwa kitab hadis al-Musannaf
Karya Abdurrazzaq As-Shan’ani adalah dokumen hadis otentik pada abad
pertama Hijriyah, sekaligus sebagai bukti nyata bahwa hukum Islam telah eksis
sejak masa itu.
Penggunaan Moztki terhadap teori dating (menentukan umur dan asal
muasal terhadap sumber sejarah) yang di dasarkan atas sumber orisinil berupa
Kitab Musannaf karya Abd ar-Razzaq ditambah dengan metode isnad cum
analisis dengan pendekatan traditional-historical merupakan penelitian yang
dapat dipertangungjawabkan secara akademisi. Hal ini berbeda jauh dengan
analisis historisnya Schacht yang didasarkan atas keraguraguan dalam
menginterpretasi terhadap fenomena semata sebagaimana tampak dalam
projecting back (penyandaran ide kepada tokoh yang memiliki otoritas-nya).
Meskipun demikian, jika dicermati lebih mendalam teori yang dibangun oleh
Motzki sebenarnya sudah ada dalam kajian ilmu hadis dalam Islam. Misal

22
G.H.A. Juynboll, Some Isnad-Analytical Methods Illustrated on the Basic of Several Women-
DemeaningSayings from Hadith Literature, dalam W.A.L. Stokhof dan N.J.G Kaptein (ed), Beberapa
Kajian Islam dan Indonesia, terj. Lilian D. Tedjasudhana, (Jakarta: INIS, 1990), 295-296.
23
Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis..., hlm. 176-177.
24
Kamaruddin amin, Metode kritik hadis...,, hlm. 168

11
teorinya tentang traditional-historical dapat disejajarkan dengan ilmu al-rijal al-
hadis dan teorinya tentang external criteria dan argument internal formal criteria
of authenticity dalam periwayatan hadis dapat disejajarkan dengan teori al-
tahammul waal-‘ada al-hadis.
Motzki dalam penelitiannya menemukan tiga sumber dominan yang
sering dirujuk oleh Abd ar-Razaq, yang memberikan kontribusi ribuan hadis.
Mereka adalah Ma‟mar, Ibn Jurayj, dan Sufyan As-Sauri. Guna membuktikan
masalah ini Motzki meneliti empat tokoh sebagai sumber otoritas utama dari Abd
ar-Razzaq, yakni Ma‟mar di mana ar-Razzaq meriwayatkan materinya sekitar
32%, Ibnu Jurayj 29%, As-Sauri 22%, dan Ibn Uyainah 4%. Sisanya adalah
sekitar 13% yang berasal dari 90% tokoh yang berbeda dan kurang dari 1% tokoh
yang berasal dari abad ke-2 H seperti Abu Hanifah 0,7%, dan Imam Malik sebesar
0,6%. Motzki setiap koleksi memiliki karakteristik tersendiri, dan hampir
mustahil seorang pemalsu dapat memberikan sumber yang begitu bervariasi.25
Selain itu Motzki juga meneliti profil dari keempat sumber rujukan dari
karya Abd Razzaq serta meneliti tentang hubungan Abd Razaq dengan keempat
perawi tersebut. Brdasarkan hasil analisis beliau terhadap sanad maupun matan
hadits ia menyimpulkan bahwa hadits-hadits yang terdapat dalam Kitab al-
Mushannaf karya Abdurrazzaq as-Shan’ani adalah kecil sekali kemungkinan
adanya keberagaman data periwayatan hadis adalah suatu hasil pemalsuan yang
terencana. Dengan demikian beliau menyatakan bahwa suatu matan hadis dan
isnadnya dalam kitab-kitab hadis tersebut layak dipercaya.26

D. Mendeteksi Keautentisitasan Hadits


Dalam menentukan keautentisiasan suatu hadits, para ulama Hadist baik pada
masa klasik maupun kontemporer mengatakan bahwa sebuah Hadis dapat disebut
shahih (otentik) apabila ia memenuhi empat syarat, diantaranya:

25
Harald Motzki, The Musannaf of ar-razaq as-San‟ani a Source of Authentic Ahadit of the fist
Century, (journal of Near Easern Studies, vol. 50. No. 1), hal. 12.
26
M. Rofiq Junaidi, Otentitas Hadits dalam Perspektif Harald Motzki, (Al-A’raf: Jurnal Pemikiran
Islam dan Filsafat, volume 7 nomor 1, 2015), hal. 70

12
1. Ia diriwayatkan dengan sanad (transmisi) yang muttashil (berkesinambungan)
dari rawi terakhir yang membukukan Hadis sampai kepada Nabi saw sebagai
sumber Hadis
2. Para rawi itu terdiri dari orang-orang yang memiliki sifat-sifat ‘adil dan dhabit.
‘Adil adalah seorang muslim yang dewasa (baligh), berakal (‘aqil), tidak fasik
(suka berbuat maksiat). Dan selalu menjaga kehormatan dirinya. Sementara
dhabit adalah orang yang kuat ingatannya, tidak pelupa, tidak dungu, dan tidak
sering melakukan kekeliruan. Dalam istilah lain, rawi yang ‘adil dan dhabit
disebut tsiqah.
3. Hadis tersebut tidak mengandung syaz, yakni menurut arti kebahsaan adalah
janggal atau asing, adalah sebuah Hadis yang maksudnya berlawanan dengan
Hadis lain yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih tsiqah dari pada rawi yang
meriwayatkan Hadis aygn pertama.
4. Hadis tersebut tidak mengandung ‘illah. ‘Illah, yang secara kebahasaan berarti
cacat atau penyakit, adalah suatu faktor yang sangat menurunkan kualitas Hadis,
sementara pada lahiriyahnya faktor tersebut tidak ada.27

27
Jalal al-Din al-Suyuti, Tadrib al-Rawi, ed. ‘Abd al-Wahhab ‘Abd al-Latif (Cairo: Dar al-Kutub
al-Hadits, 1345/1966), hal. 63

13
BAB III
KESIMPULAN
Munculnya problem tentang keautentisitasan Hadits salah satunya dikarnakan
jarak dari penyampaian hadits oleh Rasulullah SAW. dengan pembukuan hadits cukup
jauh sehingga menimbulkan beberapa pertanyaan dari ilmuwan non-muslim tentang
keautentisitasan hadits sebagai sumber hukum kedua bagi umat Islam.

Beberapa tokoh orientalis yang mengkaji tentang autentisitas hadits antara lain
adalah Joseph Scacht, Ignez Goldziher, dan Harald Motzki. Menurut Ignez goldiher
penelitian Hadis yang lakukan oleh ulama klasik tidak dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal itu karena ulama lebih banyak
mengunakan metode Kritik Sanad, dan kurang menggunakan Kritik Matan.
Karenanya, Goldziher kemudian menwarkan metode kritik baru yaitu Kritik Matan
saja. Kemudian Menurut Joseph Scacht ia begitu berani dengan kesimpulannya yang
mengatakan bahwa semua hadits Nabi SAW adalah palsu dan hanya hasil proyeksi
orang-orang setelahnya, baik itu kelompok aliran fiqih maupun ahli-ahli hadits, sama-
sama meriwayatkan hadits, oleh karena itu maka keabsahan dan otentisitas hadits Nabi
SAW tetap saja harus diragukan, walaupun hadits tersebut misalnya dilengkapi dengan
sanad. Berbeda dari keduanya, menurut Harald Motzki berdasarkan penelitiannya ia
menyimpulkan bahwa hadits-hadits yang terdapat dalam Kitab al-Mushannaf karya
Abdurrazzaq as-Shan’ani adalah kecil sekali kemungkinan adanya keberagaman data
periwayatan hadis adalah suatu hasil pemalsuan yang terencana.

Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk menntukan keautentisiasan dari
hadits, yaitu dengan memperhatikan sanadnya, rawinya, matannya apabila terdapat
kejanggalan, kemudian memastikan apakah hadits tersebut tidak mengandung cacat.

14
DAFTAR PUSKA
Abdurrahman, M. 1999. Pergeseran Pemikiran Hadits; Ijtihad al Hakim dalam
Menentukan Status Hadits. Jakarta: Paramadina.
Darmalaksana, Wahyudi. 2004. Hadis di Mata Orientalis: Telaah Atas Pandangan Ignez
Goldziher dan Josseph Scacht. Bandung: Benang Merah Press.
Edward W Said. 1996. Orientalisme, Terj. Asep Hikmat. Bandung: Pustaka Salman.
G.H.A. Juynboll. 1990. Some Isnad-Analytical Methods Illustrated on the Basic of
Several Women-DemeaningSayings from Hadith Literature, dalam W.A.L. Stokhof
dan N.J.G Kaptein (ed), Beberapa Kajian Islam dan Indonesia, terj. Lilian D.
Tedjasudhana. Jakarta: INIS.
Harald Motzki, The Musannaf of ar-razaq as-San‟ani a Source of Authentic Ahadit of
the fist Century. Journal of Near Easern Studies, vol. 50. No. 1.
Herin Fahri. 2014. Kontroversi Tentang Al-Hadits dan Upaya Ulama untuk Membela
Otentitasnya. Jurnal Studi Keislaman: Al-Hikmah, volume 4 nomor 1.
Kamarudin Amin. 2009. Metode Kritik hadis, Jakarta: PT Mizan Publika)
Khairuman, Badri. 2004. Otentisitas Hadits; Studi Kritis atas Kajian Hadits
Kontemporer. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Jalal al-Din al-Suyuti. 1966. Tadrib al-Rawi, ed. ‘Abd al-Wahhab ‘Abd al-Latif. Cairo:
Dar al-Kutub al-Hadits.
Koaruddin Amin. Diskursus Hadits di Jerman, Diakses melalui
http://islamlib.com/kajian/diskursus-hadis-di-jerman/ pada tanggal 18 Desember
2020
M.M. Azami. 2004. Menguji Keaslian Hadits-Hadits Hukum; Sanggahan atas The
Origins of Muhammadan Jurisprudence Joseph Schacht. Jakarta: Pustaka Firdaus
M. M. Azami. 1980. Disarasat fi al-Hadits al-Nabawi wa aTarikh Tadwinih, Juz II.
Beirut: al-Maktab al-Islami.
M. M. Mustafa. 1982. Manhaj al-Naqad ‘inda ‘ala Muhaditsin. Riyadh: syirkah al-
Tiba’ah al-‘Arabiyah.
M. Rofiq Junaidi. 2015. Otentitas Hadits dalam Perspektif Harald Motzki. Al-A’raf:
Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat, volume 7 nomor 1.
Rahman, Fazlur dkk. 2002. Wacana Studi Hadits Kontemporer. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Siti Fahimah. 2014. Sistem Isnad dan Otentisitas Hadits: Kajian Orintalis dan Gugatan
Atasnya, Jurnal Ulul Albab volume 15 no. 2.

15
Umi Sumbulah. 2010. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN-Maliki Press.

16

Anda mungkin juga menyukai