Anda di halaman 1dari 14

MERDEKA BELAJAR

1. Merdek Belajar di Indonesia


Progresivisme adalah salah satu aliran filsafat pendidikan modern yang
menginginkan adanya perubahan mendasar terhadap pelaksanaan pendidikan ke arah
yang lebih baik, berkualitas dan memberikan kemanfaatan yang nyata bagi peserta didik.
Aliran progresivisme menekankan pentingnya dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan
kepada peserta didik. Peserta didik diberikan keleluasaan untuk mengembangkan bakat
dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat aturan-aturan formal
yang terkadang justeru membelenggu kreativitas dan daya pikirnya untuk menjadi lebih
baik (Mustaghfiroh, 2020). Dalam konteks pendidikan di Indonesia, konsep “merdeka
belajar” yang dicanangkan oleh Mendikbud RI yang baru dinilai sebagai kebijakan besar
untuk menjadikan pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik dan semakin maju. Selain
itu, konsep “merdeka belajar” memiliki arah dan tujuan yang sama dengan konsep aliran
filsafat pendidikan progresivisme John Dewey (Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi,
2020). Keduanya sama-sama menawarkan kemerdekaan dan keleluasaan kepada lembaga
pendidikan untuk mengekplorasi potensi peserta didiknya secara maksimal dengan
menyesuaikan minat, bakat serta kecendrungan masing-masing peserta didik. Dengan
kemerdekaan dan kebebasan ini, diharapkan pendidikan di Indonesia menjadi semakin
maju dan berkualitas, yang ke depannya mampu memberikan dampak positif secara
langsung terhadap kemajuan bangsa dan negara.
Pandangan progresivisme mengenai belajar bertumpu pada pandangan mengenai
peserta didik sebagai makhluk yang memiliki kelebihan dibandingkan dengan makhluk
lainnya. Kelebihan tersebut dimunculkan melalui potensi akal dan kecerdasan yang
bersifat dinamis dan kreatif dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Potensi peserta
didik tersebut perlu ditingkatkan dengan memberikan perhatian dan tanggung jawab
dunia pendidikan. Selain itu, potensi yang sudah dimiliki peserta didik diharapkan dapat
difungsikan secara aktif dalam mengambil bagian dari beberapa kejadian yang terjadi
disekitarnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa lembaga pendidikan merupakan
miniatur dari kehidupan di masyarakat, yang dalam keseharianya perlu bersosialisasi dan
berprinsip dalam menjalankan kehidupannya, yang dalam dunia pendidikan dikenal
dengan belajar edukatif. Belajar edukatif adalah belajar yang merdeka, yang dapat
dilaksanakan di dalam dan di luar kelas (Barnadib, 1997).
Terdapat lima hal yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran yang edukatif
selama dalam dunia pendidikan, yaitu: 1) Pendidik berperan sebagai fasilitator bagi
peserta didik sebagai subjek dalam proses pembelajaran dengan sistem Cara Belajar
Siswa Aktif, 2) Proses pembelajaran tidak monoton dan metode yang digunakan tidak
mengekslusifkan pada buku, 3) Proses pelaksanaannya tidak condong kepada metode
hafalan, karena hafalan hanya dapat membuat peserta didik bersifat pasif dan kurang
memahami inti materi, 4) Pendidikan harus bersifat terbuka dengan kenyataan sosial yang
bersifat luwes sesuai kondisi kenyataan yang bersifat dinamis, dan 5) Pengajaran tidak
diperkenankan memberikan hukuman fisik. Hal yang telah diuraikan sebelumnya jika
dilaksanakan dan diterapkan maka akan mengakibatkan peserta didik dan berkembang
(Ornstein, A. C., & Levine, 1989).
Berdasarkan penjelasan di atas, kita dapat mengetahui bahwa kondisi yang
memunculkan merdeka belajar menjadi faktor dasar dalam menentukan konsep merdeka
belajar itu sendiri. Merdeka Belajar adalah program kebijakan baru Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI) yang direncanakan
oleh Mendikbud Nadiem Anwar Makarim (Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, 2020).
Nadiem membuat kebijakan merdeka belajar bukan tanpa alasan. Pasalnya, penelitian
Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2019 menunjukkan hasil
penilaian pada peserta didik Indonesia hanya menduduki posisi keenam dari bawah;
untuk bidang matematika dan literasi, Indonesia menduduki posisi ke-74 dari 79
Negara (Pratiwi, 2019). Menyikapi hal itu, Nadiem pun membuat gebrakan penilaian
dalam kemampuan minimum, meliputi literasi, numerasi dan survey karakter. Literasi
bukan hanya mengukur kemampuan membaca, tetapi juga kemampuan menganalisis isi
bacaan beserta memahami konsep dibaliknya. Untuk kemampuan numerasi, yang dinilai
bukan pelajaran matematika, tetapi penilaian terhadap kemampuan peserta didik dalam
menerapkan konsep numerik dalam kehidupan nyata. Satu aspek sisanya, yakni Survei
Karakter, bukanlah sebuah tes, melainkan pencarian sejauh mana penerapan nilai-nilai
budi pekerti, agama, dan Pancasila yang telah dipraktekkan oleh peserta didik.
Esensi kemerdekaan berpikir, menurut Nadiem, harus didahului oleh para guru
sebelum mereka mengajarkannya pada peserta didik. Nadiem menyebut, dalam
kompetensi guru di level apapun, tanpa ada proses penerjemahan dari kompetensi dasar
dan kurikulum yang ada, maka tidak akan pernah ada pembelajaran yang terjadi. Pada
tahun mendatang, sistem pengajaran juga akan berubah dari yang awalnya bernuansa di
dalam kelas menjadi di luar kelas. Nuansa pembelajaran akan lebih nyaman, karena
murid dapat berdiskusi lebih dengan guru, belajar dengan outing class, dan tidak hanya
mendengarkan penjelasan guru, tetapi lebih membentuk karakter peserta didik yang
berani, mandiri, cerdik dalam bergaul, beradab, sopan, berkompetensi, dan tidak hanya
mengandalkan sistem ranking yang menurut beberapa survei hanya meresahkan anak dan
orang tua saja, karena sebenarnya setiap anak memiliki bakat dan kecerdasannya dalam
bidang masing-masing. Nantinya, akan terbentuk para pelajar yang siap kerja dan
kompeten, serta berbudi luhur di lingkungan masyarakat. Konsep Merdeka Belajar ala
Nadiem Makarim terdorong karena keinginannya menciptakan suasana belajar yang
bahagia tanpa dibebani dengan pencapaian skor atau nilai tertentu. Ada empat pokok
kebijakan baru Kemendikbud RI (Kemendikbud, 2019b), yaitu:
1. Ujian Nasional
(UN) akan digantikan oleh Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter.
Asesmen ini menekankan kemampuan penalaran literasi dan numerik yang
didasarkan pada praktik terbaik tes PISA. Berbeda dengan UN yang dilaksanakan
di akhir jenjang pendidikan, asesmen ini akan dilaksanakan di kelas 4, 8, dan 11.
Hasilnya diharapkan menjadi masukan bagi lembaga pendidikan untuk
memperbaiki proses pembelajaran selanjutnya sebelum peserta didik
menyelesaikan pendidikannya (Kemendikbud, 2019b).
2. Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) akan diserahkan ke sekolah. Menurut
Kemendikbud, sekolah diberikan kemerdekaan dalam menentukan bentuk
penilaian, seperti portofolio, karya tulis, atau bentuk penugasan lainnya
(Kemendikbud, 2019b).
3. Penyederhanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Menurut Nadiem
Makarim, RPP cukup dibuat satu halaman saja. Melalui penyederhanaan
administrasi, diharapkan waktu guru yang tersita untuk proses pembuatan
administrasi dapat dialihkan untuk kegiatan belajar dan peningkatan kompetensi
(Kemendikbud, 2019b).
4. Dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB), sistem zonasi diperluas (tidak
termasuk daerah 3T. Bagi peserta didik yang melalui jalur afirmasi dan prestasi,
diberikan kesempatan yang lebih banyak dari sistem PPDB. Pemerintah daerah
diberikan kewenangan secara teknis untuk menentukan daerah zonasi ini
(Kemendikbud, 2019b).
Berdasarkan pemaparan konsep kebijakan “Merdeka Belajar” yang dicanangkan
oleh Mendikbud Nadiem Makarim tesebut di atas, terdapat kesejajaran antara konsep
“merdeka belajar” dengan konsep pendidikan menurut aliran filsafat progresivisme John
Dewey. Kedua konsep tersebut sama-sama menekankan adanya kemerdekaan dan
keleluasaan lembaga pendidikan dalam mengeksplorasi secara maksimal kemampuan dan
potensi yang dimiliki oleh peserta didik yang secara alamiah memiliki kemampuan dan
potensi yang beragam. Jika dirumuskan kedua konsep tersebut sama-sama mengandung
makna yang senada yaitu, peserta didik harus bebas dan berkembang secara natural.
Pengalaman langsung adalah rangsangan terbaik dalam pembelajaran. Guru harus bisa
memandu dan menjadi fasilitator yang baik. Lembaga pendidikan harus menjadi
laboratorium pendidikan untuk perubahan peserta didik, Aktivitas di lembaga pendidikan
dan di rumah harus dapat dikooperasikan.
2. Kampus Merdeka
Merdeka Belajar – Kampus Merdeka merupakan salah satu kebijakan dari
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makariem. Salah satu program dari
kebijakan Merdeka Belajar – Kampus Merdeka adalah Hak Belajar Tiga Semester di
Luar Program Studi. Program tersebut merupakan amanah dari berbagai
regulasi/landasan hukum pendidikan tinggi dalam rangka peningkatan mutu pembelajaran
dan lulusan pendidikan tinggi. Landasan hukum pelaksanaan program kebijakan Hak
Belajar Tiga Semester di Luar Program Studi diantaranya, sebagai berikut (Direktorat
Jendral Pendidikan Tinggi, 2020):
1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012, tentang Pendidikan Tinggi.
3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, tentang Desa.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 04 Tahun 2014, tentang Penyelenggaraan Pendidikan
Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi.
5. Peraturan Presiden nomor 8 tahun 2012, tentang KKNI.
6. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2020, tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
7. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor
11 Tahun 2019, tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020.
8. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor
16 Tahun 2019, tentang Musyawarah Desa.
9. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor
17 Tahun 2019, tentang Pedoman Umum Pembangunan dan Pemberdayaan
Masyarakat Desa.
10. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor
18 Tahun 2019, tentang Pedoman Umum Pendampingan Masyarakat Desa.
Kebijakan Merdeka Belajar - Kampus Merdeka diharapkan dapat menjadi jawaban
atas tuntutan tersebut. Kampus Merdeka merupakan wujud pembelajaran di perguruan
tinggi yang otonom dan fleksibel sehingga tercipta kultur belajar yang inovatif, tidak
mengekang, dan sesuai dengan kebutuhan mahasiswa.
Terdapat empat pokok kebijakan merdeka belajar dalam kampus merdeka: 1)
Pembukaan program studi baru menyesuaikan, 2) Sistem akreditasi perguruan tinggi, 3)
perguruan tinggi negeri badan hokum, dan 4) hak belajar tiga semester diluar program
studi. Pada pelaksanaan kebijakan merdeka belajar pokok kebijakan yang mendapat
perhatian lebih adalah program “hak belajar tiga semester di luar program studi”, hal ini
memunculkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh mahasiswa dan perguruan
tinggi, yaitu: mahasiswa berasal dari program studi yang sudah terakreditasi dan sebagai
mahasiswa aktif yang terdaftar dalam PDDikti. Selaij itu, perguruan tinggi diharapkan
dapat memberikan pengembangan dan memfasilitasi pelaksanaan program merdeka
belajar tersebut dengan membuat pedoman akademik. Kegiatan-kegiatan dalam
pembelajaran sesuai dengan Permendikbud No. 3 Tahun 2020 Pasal 15 ayat 1 yang dapat
dilakukan di dalam dan di luar program studi meliputi (Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi, 2020):
a. Pertukaran pelajar
Pertukaran pelajar diselenggarakan untuk membentuk beberapa sikap
mahasiswa yang termaktub di dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 3 Tahun 2020, yaitu menghargai
keanekaragaman budaya, pandangan, agama, dan kepercayaan, serta pendapat
atau temuan orisinal orang lain; serta bekerja sama dan memiliki kepekaan sosial
serta kepedulian terhadap masyarakat dan lingkungan.
b. Magang/ Praktik kerja
Program magang 1-2 semester, memberikan pengalaman yang cukup
kepada mahasiswa, pembelajaran langsung di tempat kerja (experiential
learning). Selama magang mahasiswa akan mendapatkan hardskills
(keterampilan, complex problem solving, analytical skills, dsb.), maupun soft
skills (etika profesi/kerja, komunikasi, kerjasama, dsb.). Sementara industri
mendapatkan talenta yang bila cocok nantinya bisa langsung di-recruit, sehingga
mengurangi biaya recruitment dan training awal/ induksi. Mahasiswa yang sudah
mengenal tempat kerja tersebut akan lebih mantab dalam memasuki dunia kerja
dan karirnya. Melalui kegiatan ini, permasalahan industri akan mengalir ke
perguruan tinggi sehingga meng-update bahan ajar dan pembelajaran dosen serta
topik-topik riset di perguruan tinggi akan makin relevan.
c. Asistensi mengajar di satuan pendidikan
Tujuan program asistensi mengajar di satuan pendidikan antara lain:
 Memberikan kesempatan bagi mahasiswa yang memiliki minat dalam
bidang pendidikan untuk turut serta mengajarkan dan memperdalam
ilmunya dengan cara menjadi guru di satuan pendidikan.
 Membantu meningkatkan pemerataan kualitas pendidikan, serta relevansi
pendidikan dasar dan menengah dengan pendidikan tinggi dan
perkembangan zaman.
d. Penelitian/Riset
Bagi mahasiswa yang memiliki passion menjadi peneliti, merdeka belajar
dapat diwujudkan dalam bentuk kegiatan penelitian di Lembaga riset/pusat studi.
Melalui penelitian mahasiswa dapat membangung cara berpikir kritis, hal yang
sangat dibutuhkan untuk berbagai rumpun keilmuan pada jenjang pendidikan
tinggi. Dengan kemampuan berpikir kritis mahasiswa akan lebih mendalami,
memahami, dan mampu melakukan metode riset secara lebih baik. Bagi
mahasiswa yang memiliki minat dan keinginan berprofesi dalam bidang riset,
peluang untuk magang di laboratorium pusat riset merupakan dambaan mereka.
Selain itu, Laboratorium/ Lembaga riset terkadang kekurangan asisten peneliti
saat mengerjakan proyek riset yang berjangka pendek (1 semester – 1 tahun).
Tujuan program penelitian/riset antara lain:
1) Penelitian mahasiswa diharapkan dapat ditingkatkan mutunya. Selain itu,
pengalaman mahasiswa dalam proyek riset yang besar akan memperkuat pool
talent peneliti secara topikal.
2) Mahasiswa mendapatkan kompetensi penelitian melalui pembimbingan
langsung oleh peneliti di lembaga riset/pusat studi.
3) Meningkatkan ekosistem dan kualitas riset di laboratorium dan lembaga riset
Indonesia dengan memberikan sumber daya peneliti dan regenerasi peneliti
sejak dini.
e. Proyek Kemanusiaan
Indonesia banyak mengalami bencana alam, baik berupa gempa bumi,
erupsi gunung berapi, tsunami, bencana hidrologi, dsb. Perguruan tinggi selama
ini banyak membantu mengatasi bencana melalui program-program
kemanusiaan. Pelibatan mahasiswa selama ini bersifat voluntary dan hanya
berjangka pendek. Selain itu, banyak lembaga Internasional (UNESCO,
UNICEF, WHO, dsb) yang telah melakukan kajian mendalam dan membuat pilot
project pembangunan di Indonesia maupun negara berkembang lainnya.
Mahasiswa dengan jiwa muda, kompetensi ilmu, dan minatnya dapat menjadi
“foot soldiers” dalam proyek-proyek kemanusiaan dan pembangunan lainnya
baik di Indonesia maupun di luar negeri. Tujuan program proyek kemanusiaan
antara lain:
1) Menyiapkan mahasiswa unggul yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan
dalam menjalankan tugas berdasarkan agama, moral, dan etika.
2) Melatih mahasiswa memiliki kepekaan sosial untuk menggali dan
menyelami permasalahan yang ada serta turut memberikan solusi sesuai
dengan minat dan keahliannya masing-masing.
f. Kegiatan Wirausaha
Berdasarkan Global Entrepreneurship Index (GEI) pada tahun 2018,
Indonesia hanya memiliki skor 21% wirausahawan dari berbagai bidang
pekerjaan, atau peringkat 94 dari 137 negara yang disurvei. Sementara menurut
riset darn IDN Research Institute tahun 2019, 69,1% millennial di Indonesia
memiliki minat untuk berwirausaha. Sayangnya, potensi wirausaha bagi generasi
milenial tersebut belum dapat dikelola dengan baik selama ini. Kebijakan
Kampus Merdeka mendorong pengembangan minat wirausaha mahasiswa
dengan program kegiatan belajar yang sesuai. Tujuan program kegiatan
wirausaha antara lain:
1) Memberikan mahasiswa yang memiliki minat berwirausaha untuk
mengembangkan usahanya lebih dini dan terbimbing.
2) Menangani permasalahan pengangguran yang menghasilkan pengangguran
intelektual dari kalangan sarjana.
g. Studi/ Proyek Independen
Banyak mahasiswa yang memiliki passion untuk mewujudkan karya besar
yang dilombakan di tingkat internasional atau karya dari ide yang inovatif.
Idealnya, studi/ proyek independen dijalankan untuk menjadi pelengkap dari
kurikulum yang sudah diambil oleh mahasiswa. Perguruan tinggi atau fakultas
juga dapat menjadikan studi independen untuk melangkapi topik yang tidak
termasuk dalam jadwal perkuliahan, tetapi masih tersedia dalam silabus program
studi atau fakultas. Kegiatan proyek independent dapat dilakukan dalam bentuk
kerja kelompok lintas disiplin keilmuan. Tujuan program studi/proyek
independen antara lain:
1) Mewujudkan gagasan mahasiswa dalam mengembangkan produk inovatif
yang menjadi gagasannya.
2) Menyelenggarakan pendidikan berbasis riset dan pengembangan (R&D).
3) Meningkatkan prestasi mahasiswa dalam ajang nasional dan internasional.
h. Membangun desa/ Kuliah kerja nyata tematik
Kuliah Kerja Nyata Tematik (KKNT) merupakan suatu bentuk pendidikan
dengan cara memberikan pengalaman belajar kepada mahasiswa untuk hidup di
tengah masyarakat di luar kampus, yang secara langsung bersama-sama
masyarakat mengidentifikasi potensi dan menangani masalah sehingga
diharapkan mampu mengembangkan potensi desa/daerah dan meramu solusi
untuk masalah yang ada di desa. Kegiatan KKNT diharapkan dapat mengasah
softskill kemitraan, kerjasama tim lintas disiplin/keilmuan (lintas kompetensi),
dan leadership mahasiswa dalam mengelola program pembangunan di wilayah
perdesaan. Sejauh ini perguruan tinggi sudah menjalankan program KKNT,
hanya saja Satuan Kredit Semesternya (SKS) belum bisa atau dapat diakui sesuai
dengan program kampus merdeka yang pengakuan kreditnya setara 6 – 12 bulan
atau 20 – 40 SKS, dengan pelaksanaannya berdasarkan beberapa model.
Diharapkan juga setelah pelaksanaan KKNT, mahasiswa dapat menuliskan hal-
hal yang dilakukannya beserta hasilnya dalam bentuk tugas akhir.
Pelaksanaan KKNT dilakukan untuk mendukung kerja sama bersama
Kementerian Desa PDTT serta Kementerian/stakeholder lainnya. Pemerintah
melalui Kementerian Desa PDTT menyalurkan dana desa 1 milyar per desa
kepada sejumlah 74.957 desa di Indonesia, yang berdasarkan data Indeks Desa
Membangun (IDM) tahun 2019, terdapat desa sangat tertinggal sebanyak 6.549
dan desa tertinggal 20.128. Pelaksanaan KKNT dapat dilakukan pada desa sangat
tertinggal, tertinggal dan berkembang, yang sumber daya manusianya belum
memiliki kemampuan perencanaan pembangunan dengan fasilitas dana yang
besar tersebut. Sehingga efektivitas penggunaan dana desa untuk menggerakkan
pertumbuhan ekonomi masih perlu ditingkatkan, salah satunya melalui
mahasiswa yang dapat menjadi sumber daya manusia yang lebih memberdayakan
dana desa. Tujuan program membangun desa/kuliah kerja nyata antara lain:
1) Kehadiran mahasiswa selama 6 – 12 bulan dapat memberikan kesempatan
kepada mahasiswa untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
keterampilan yang dimilikinya bekerjasama dengan banyak pemangku
kepentingan di lapangan.
2) Membantu percepatan pembangunan di wilayah pedesaan bersama dengan
Kementerian Desa PDTT.
3. Sekolah Merdeka
Program Merdeka Belajar menurut Mendikbud akan menjadi arah pembelajaran
ke depan yang fokus pada meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sebagaimana
arahan bapak presiden dan wakil presiden (Kemendikbud, 2019b). Program Merdeka
Belajar merupakan bentuk penyesuaian kebijakan untuk mengembalikan esensi dari
asesmen yang semakin dilupakan. "Konsepnya, mengembalikan kepada esensi undang-
undang kita untuk memberikan kemerdekaan sekolah menginterpretasi kompetensi-
kompetensi dasar kurikulum, menjadi penilaian mereka sendiri, seperti disampaikan
Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Kemendikbud Supriano
(Kemendikbud, 2019a).
Berikut ditunjukkan gambaran konsep merdeka belajar.

Program pendidikan “Merdeka Belajar” meliputi empat pokok kebijakan, antara


lain: 1) Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN); 2) Ujian Nasional (UN); 3) Rencana
Pelaksanaan Pembelajaan (RPP), dan 4) Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru
(PPDB) zonasi. Bila dicermati dari isi pokok kebijakan merdeka belajar jelas lebih
difokuskan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, meskipun pada perkembangan
selanjutnya berdimensi juga ke jenjang pendidikan tinggi (Dikti) melalui program
“Kampus Merdeka”. Pastinya program “Merdeka Belajar” bukanlah sebuah kebijakan
yang secara tiba-tiba muncul, melainkan melalui serangkaian proses yang panjang dan
matang, setelah beberapa waktu lalu pasca dilantik menjadi Mendikbud banyak
melakukan kajian komprehensif dengan mengundang dan mendatangi para pakar
pendidikan, pengawas, kepala sekolah, guru-guru, organisasi profesi guru dan lain
sebagainya, untuk mendengar berbagai masukan terkait permasalahan praktik pendidikan.
Lebih jelasnya lagi keempat prinsip merdeka belajar tersebut diuraian sebagai berikut:
1. USBN 2020
Berdasarkan Permendikbud Nomor 43 Tahun 2019, tentang Penyelenggaraan
Ujian yang Diselengarakan Satuan Pendidikan dan Ujian Nasional,  khususnya pada
Pasal 2, ayat 1; menyatakan bahwa ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan
merupakan penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan yang bertujuan untuk
menilai pencapaian standar kompetensi lulusan untuk semua mata pelajaran.
Selanjutnya dijelaskan pada Pasal 5, ayat 1, bahwa; bentuk ujian yang diselenggarakan
oleh Satuan Pendidikan berupa portofolio, penugasan, tes tertulis, atau bentuk kegiatan
lain yang ditetapkan Satuan Pendidikan sesuai dengan kompetensi yang diukur
berdasarkan Standar Nasional Pendidikan. Ditambahkan pula pada penjelasan Pasal 6,
ayat 2, bahwa; untuk kelulusan peserta didik ditetapkan oleh satuan
pendidikan/program pendidikan yang bersangkungan. Dengan demikian jika melihat
isi Permendikbud tersebut menunjukkan, bahwa Guru dan sekolah lebih merdeka
untuk menilai hasil belajar siswa.
2. Ujian Nasional
UN adalah kegiatan pengukuran capaian kompetensi lulusan pada mata pelajaran
tertentu secara nasional dengan mengacu pada standar kompetensi lulusan. Merupakan
penilaian hasil belajar oleh pemerintah pusat yang bertujuan untuk menilai pencapaian
kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu (Permendikbud No.
43 Tahun 2019). Terkait untuk pelaksanaan UN tahun 2020, sebagaimana disampaikan
Mendikbud merupakan kegiatan UN yang terakhir kalinya, selanjutnya ditahun 2021
mendatang UN akan digantikan dengan  istilah lain yaitu Asesmen Kompetensi
Minimun dan Survey Karakter. Asesmen dimaksudkan untuk mengukur kemampuan
peserta didik untuk bernalar menggunakan bahasa dan literasi, kemampuan bernalar
menggunakan matematika atau numerasi, dan penguatan pendidikan karakter. Adapun
untuk teknis pelaksanaan ujian tersebut akan dilakukan ditengah jenjang sekolah.
Misalnya di kelas 4, 8, 11, dengan maksud dapat mendorong guru dan sekolah untuk
memetakan kondisi pembelajaran, serta mengevaluasi sehingga dapat memperbiki
mutu pembelajaran.  Dengan kata lain, agar bisa diperbaiki kalau ada hal yang belum
tercapai. Sebagai catatan hasil ujian ini tidak digunakan sebagai tolok ukur seleksi
siswa kejenjang berikutnya. Adapun untuk standarisasi ujian, arah kebijakan ini telah
mengacu pada level internasional, mengikuti  tolok ukur penilain yang termuat
dalam Programme for International Student Assessment (PISA) dan Trends in
International Mathematics and Science Study (TIMSS), tetapi penuh dengan kearifan
local. Untuk kompetensi PISA lebih difokuskan pada penilaian kemampuan membaca,
matematika, dan sains, yang diberlakukan pada negara-negara yang tergabung
dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), sedangkan
untuk kompetensi TIMSS lebih menekankan pada penilaian kemampuan  matematika,
dan sains, sebagai indikator kualitas pendidikan, yang tergabung dalam
wadah International Association for the Evaluation of Educational Achievement,
berpusat di Boston, Amerika Serikat.
3. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Berdasarkan Surat Edaran Mendikbud Nomor 14 Tahun 2019, tentang
Penyederhanaan RPP, isinya meliputi: (1) penyusunan RPP dilakukan dengan prinsip
efisien, efektif, dan berorientasi pada siswa; (2) Dari 13 komponen RPP yang tertuang
dalam Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016, yang menjadi komponen inti adalah
tujuan pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran, dan penilaian pembelajaran
(assesment) yang wajib dilaksanakan oleh guru, sedangkan sisanya hanya sebagai
pelengkap; dan (3) Sekolah, Kelompok Guru Mata Pelajaran dalam sekolah,
Kelompok Kerja Guru/Musyawarah Guru Mata Pelajaran (KKG/MGMP) dan individu
guru secara bebas dapat memilih, membuat, menggunakan, dan mengembangkan
format RPP secara mandiri untuk sebesar-besarnya keberhasilan belajar siswa. Adapun
RPP yang telah dibuat dapat digunakan dan dapat disesuaikan dengan ketentuan
sebagaimana maksud pada angka 1, 2, dan 3. Pada penyusunannya dapat lebih
disederhanakan dengan memangkas beberapa komponen. Guru dapat dengan leluasa
dalam melaksanakan proses pembelajaran untuk memilih, membuat, menggunakan,
dan mengembangkan format RPP, sebab gurulah yang mengetahui kebutuhan siswa
didiknya dan kebutuhan khusus yang diperlukan oleh siswa di daerahnya, karena
karakter dan kebutuhan siswa di masing-masing daerah bisa berbeda.
4. Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB)
Berdasarkan Permendikbud baru Nomor 44 Tahun 2019 tentang PPDB 2020,
sebagaimana dinyatakan pada Pasal 11, dalam persentase pembagiannya meliputi: (1)
untuk jalur zonasi paling sedikit 50 persen; (2) jalur afirmasi paling sedikit 15 persen;
(3) jalur perpindahan tugas orang tua/wali lima persen; dan (4) jalur prestasi (sisa
kuota dari pelaksanaan jalur zonasi, afirmasi dan perpindahan orang tua /wali (0-30
persen). Jelas ini berbeda dengan kebijakan PPDB  pada tahun-tahun sebelumnya,
setidaknya terdapat dua hal penting:  (1) kuota penerimaan siswa baru lewat jalur
berprestasi, semula 15 persen, sekarang menjadi 30 persen; dan (2) adanya satu
penambahan baru jalur PPDB, yaitu melalui jalur afirmasi, yang ditujukan
terutama bagi mereka yang memegang Kartu Indonesia Pintar (KIP). Dengan
demikian untuk PPDB 2020 masih tetap menggunakan sistem zonasi, akan tetapi
dalam pelaksanaannya lebih bersifat fleksibel, dengan maksud agar dapat
mengakomodir ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah.

Referensi
Barnadib, I. (1997). Filsafat Pendidikan: Sistem & Metode (9th ed.). Yogyakarta: ANDI Offset.

Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. (2020). Buku Panduan Merdeka Belajar - Kampus
Merdeka. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Kemendikbud RI.

Kemendikbud. (2019a). Dorong Kemerdekaan Belajar, Kemendikbud Lakukan Penyesuaian


Ujian Sekolah dan Ujian Nasional. Retrieved from
https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2019/12/dorong-kemerdekaan-belajar-
kemendikbud-lakukan-penyesuaian-ujian-sekolah-dan-ujian-nasional

Kemendikbud. (2019b). Mendikbud Tetapkan Empat Pokok Kebijakan Pendidikan “Merdeka


Belajar.” Retrieved from https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2019/12/mendikbud-
tetapkan-empat-pokok-kebijakan-pendidikan-merdeka-belajar

Mustaghfiroh, S. (2020). Konsep “Merdeka Belajar” Perspektif Aliran Progresivisme John


Dewey. Jurnal Studi Guru Dan Pembelajaran, 3(1), 144–147.

Ornstein, A. C., & Levine, D. U. (1989). Foundations of Education (4th ed.). Houghton: Mifflin
Company.

Pratiwi, I. (2019). Efek Program Pisa Terhadap Kurikulum di Indonesia. Jurnal Pendidikan Dan
Kebudayaan, 4(1), 51–71.

Anda mungkin juga menyukai